BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi dan Etiologi

  Trauma gigi dapat diartikan sebagai kerusakan yang mengenai gigi dan struktur jaringan periradikuler, dapat memberikan dampak pada pulpa, dengan atau tanpa kerusakan mahkota atau akar, atau pada kasus yang parah dapat terjadi

  8

  perpindahan posisi gigi. Trauma gigi dapat menjadi hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi anak maupun orang tua, karena trauma gigi dapat melibatkan kerusakan atau kehilangan dari gigi yang terlibat dan akan dapat mempengaruhi fisik, estetik dan psikologi anak. Jika trauma gigi terjadi pada saat anak mulai menyadari tentang penampilan, maka keadaan tersebut akan mengurangi rasa percaya diri dan

  11

  anak mencoba untuk tidak tersenyum dikarenakan hal tersebut. Trauma yang mengenai gigi anterior juga akan membuat anak susah untuk menggigit, kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang jelas dan akan merasa malu untuk memperlihatkan

  12,13 giginya.

  Studi epidemiologi Caldas dan Burgos cited in Kumar tahun 2001 menunjukkan bahwa trauma gigi merupakan masalah yang signifikan terhadap anak dimasa yang akan datang dikarenakan insidennya yang akan melewati insiden karies dan penyakit periodontal. Menurut Andreasen, trauma yang terjadi pada rongga mulut merupakan cedera urutan keempat dari cedera tubuh lainnya diantara kelompok usia 7-

  12

  30 tahun. Prevalensi trauma gigi permanen juga tinggi di berbagai negara dan dilaporkan juga bahwa di Amerika pada tahun 1997 pengalaman trauma sampai 22%

  6 terjadi sebelum anak tersebut meninggalkan bangku sekolah.

  Survei mengenai trauma gigi telah dilakukan di berbagai wilayah di dunia pada tahun 2005-2010. Artun et al tahun 2005 melakukan survei pada anak usia 13-14 tahun di Kuwait, mendapati bahwa sebanyak 14,9% dari 1583 anak mengalami trauma pada gigi permanennya. Survei di Taiwan juga ditemukan prevalensi trauma gigi

  11 permanen pada anak usia 15-18 tahun yang telah mencapai 19,2% ( Tabel 1).

  11 Tabel 1. Prevalensi trauma gigi permanen di berbagai studi yang berbeda.

  Wilayah Tahun Sampel Usia % Kuwait, Artun et al 2005 1583 13-14 14,9 Ontario, Fakhruddin et al 2008 2422 12-14 11,4 Afrika Selatan, Lin & Naido 2008 290 10-14 9,3 Brazil, Calvanti et al 2009 448 7-12 21,1 Taiwan, Huang et al 2009 6312 15-18 19,2 Iran, Navabazam & Farahani 2010 1440 9-14 27,5 Trauma gigi dapat terjadi disepanjang hidup dan sering mengenai anak.

  Trauma gigi pada anak sering dikarenakan terjatuh, berolahraga, kecelakaan lalu lintas dan beberapa disebabkan oleh kekerasan. Diberbagai literatur menunjukkan bahwa anak usia sekolah yaitu usia 7-15 tahun merupakan risiko tinggi terhadap trauma gigi

  13,14

  permanen. Besarnya overjet dengan protrusi gigi insisivus sentralis maksila dan penutupan bibir yang tidak sempurna merupakan keadaan rongga mulut menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya trauma gigi. Studi melaporkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak dengan protrusi gigi insisivus dibandingkan

  7 anak dengan oklusi normal.

  Trauma gigi juga dapat terjadi akibat faktor tidak sengaja maupun karena faktor disengaja. Literatur Internasional tentang trauma gigi menunjukkan bahwa terjatuh dan bertubrukan pada saat olahraga menjadi penyebab yang paling umum dikalangan remaja. US Departement Of Health and Human Service cited in Glendor melaporkan kejadian trauma gigi kira-kira mencapai 33% dan 19% trauma kepala dan wajah yang dilaporkan berhubungan dengan olahraga. Tuli et al cited in Glendor melaporkan bahwa 32,2% pasien yang datang ke klinik di universitas juga terkena trauma gigi karena olahraga, selain itu kecelakaan lalu lintas dapat terjadi pada pejalan kaki, pengendara sepeda, mobil dan kendaraan lainnya. Gassner et al cited in Glendor melaporkan bahwa anak yang terkena kecelakaan lalu lintas dua kali lipat lebih berisiko terkena fraktur tulang wajah. Acton et al cited in Glendor melaporkan bahwa 31% anak usia dibawah 15 tahun terkena trauma pada wajah dikarenakan kecelakaan saat bersepeda. Rumah dan lingkungan sekitar merupakan tempat yang paling sering

  7,14 terjadinya trauma gigi pada anak usia pra-sekolah dan anak usia sekolah.

  Penggunaan gigi yang tidak semestinya juga menjadi salah satu faktor dalam trauma gigi. Sebagian besar orang menggunakan gigi mereka sebagai alat untuk membuka jepitan rambut, memperbaiki peralatan elektronik, memotong atau memegang benda dan juga membuka botol dengan gigi. Ditemukan bahwa 18,7% trauma gigi disebabkan karena penggunaan gigi yang tidak tepat. Penyebab trauma gigi lainnya dapat disebabkan keterbatasan fisik atau dapat juga dikarenakan menderita epilepsi dan cerebral palsi. Alsarheed et al cited in Glendor menunjukkan bahwa pada anak dengan gangguan pendengaran dan penglihatan mempunyai risiko terkena trauma gigi yang lebih besar. Prevalensi trauma gigi pada anak yang mempunyai gangguan penglihatan sudah cukup tinggi yaitu sebesar 36,4%. Hal ini disebabkan pada anak yang mempunyai gangguan pendengaran, mereka masih bisa bermain dan bergerak lebih bebas daripada anak dengan dengan gangguan

  7,14 penglihatan.

  Kekerasan fisik merupakan hal paling tragis yang dapat menimpa anak dan daerah wajah paling sering menjadi sasarannya. Da Fonseca et al cited in Glendor menemukan 75% dari seluruh anak yang datang ke rumah sakit karena kekerasan fisik di Amerika Serikat menderita trauma pada kepala, wajah, mulut atau lehernya. Studi di Inggris 62% dari seluruh trauma diwajah tersebut dikarenakan pukulan. Kekerasan juga merupakan hal yang terlihat sebagai penyebab trauma gigi pada usia 7-18 tahun dan prevalensinya mencapai 5% di negara Nord-Trondelag dan 9% di ibu kota Oslo, Norway. Pada usia 16-18 tahun kekerasan dilaporkan menjadi penyebab langsung

  7,14 trauma dan prevalensinya mencapai 23%.

  Survei dari berbagai studi memperlihatkan tingginya persentasi penyebab dari beberapa kelompok usia pada anak. Di Jepang, anak usia 6-18 tahun terjatuh merupakan penyebab terjadinya trauma sebesar 37,7% dan diikuti oleh olahraga yaitu sekitar 29,2%. Suvei di Brazil, tahun 2007 penyebab trauma terbesar gigi anak usia 12 tahun adalah terjatuh sebesar 27,3%. Survei di Inggris dan Iraq juga diperoleh hasil

  14 yang sama (Tabel 2).

  14 Tabel 2. Frekuensi penyebab trauma gigi (dalam persen)

  Wilayah Tahun Usia Jatuh Olahraga Kecelakaan Kekerasan lalu lintas Iraq, Baghdady et al 1981 6-12 54,0 3,0 2,4 35,8 Jepang,Uji 1988 6-18 37,7 29,2 1,6 7,9 &Teramoto

  • Syria, Marcenes et al 1999 9-12 9,1 24,1 42,5 Inggris,Blinkhom 2000 11-14 339 17,2 14,6 4,3 Brazil, Soriano et al 2007

  12 27,3 8,2 2,7 6,4

2.2 Klasifikasi Trauma Gigi

  Klasifikasi yang direkomendasikan dari klasifikasi Andreasen yang diadopsi oleh World Health Organization (WHO) dalam Application of International

  

Classification of Disease to Dentistry and Stomatology baik gigi sulung dan gigi

  permanen, dibagi berdasarkan kerusakan jaringan keras gigi dan pulpa, kerusakan pada jaringan periodontal, kerusakan pada tulang pendukung serta kerusakan pada

  2,7

  gingiva atau jaringan lunak rongga mulut adalah sebagai berikut :

2.2.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

  Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa terdiri atas : 1) Retak mahkota (enamel infraction) yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna (retak) pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal maupun arah vertikal. 2) Fraktur enamel yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

  3) Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur mahkota gigi yang mengenai lapisan enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa. 4) Fraktur mahkota yang komplek (complicated crown fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin dan pulpa.

  5) Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown- root fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum tanpa melibatkan pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown- root fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum dan pulpa. 7) Fraktur akar (root fracture) yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum dan

  7 pulpa.

  15 Gambar 1. Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

2.2.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada jaringan periodontal terdiri atas : 1) Konkusi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi, yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi. 2) Subluksasi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi dengan adanya kegoyangan dan tanpa perubahan posisi gigi.

  3) Luksasi ekstrusi yaitu pergerakan sebagian gigi keluar dari soketnya sehingga gigi terlihat lebih panjang. 4) Luksasi yaitu perubahan letak gigi ke arah labial, palatal maupun lateral yang menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

  5) Luksasi intrusi yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar yang menyebabkan kerusakan alveolar dan gigi akan terlihat lebih pendek .

  7 6) Avulsi yaitu pergerakan seluruh gigi keluar dari soketnya.

  15 Gambar 2. Kerusakan pada Jaringan Periodontal

2.2.3 Kerusakan pada Tulang Pendukung

  Kerusakan pada tulang pendukung terdiri atas: 1) Kerusakan soket alveolar yaitu kerusakan dari soket alveolar, pada kondisi ini dijumpai intrusi.

  2) Fraktur dinding soket alveolar maksila dan mandibula yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket labial atau lingual dibatasi oleh bagian fasial atau oral dari dinding soket. 3) Fraktur prosessus alveolaris maksila dan mandibula yaitu fraktur yang mengenai prosessus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi. 4) Fraktur tulang alveolar yaitu fraktur tulang alveolar maksila atau mandibula yang

  7 melibatkan prosessus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar.

  15 Gambar 3. Kerusakan pada Tulang Pendukung

2.2.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri atas: 1) Laserasi yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak rongga mulut yang biasanya disebabkan oleh benda tajam.

  2) Kontusio yaitu memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa. 3) Abrasi yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau

  7 goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah dan lecet.

2.3 Riwayat, Pemeriksaan Klinis dan Diagnosis

  Informasi yang berhubungan dengan trauma yang terjadi harus diperoleh secara lengkap untuk merencanakan perawatan dan menentukan prognosis. Riwayat pasien berupa riwayat dental dan riwayat medis harus ditanyakan oleh dokter gigi kepada pasien. Penting bagi dokter gigi untuk menanyakan kapan, dimana dan bagaimana trauma gigi tersebut terjadi. Riwayat dental berupa kapan trauma terjadi menunjukkan rentang waktu antara trauma dan perawatan yang akan mempengaruhi prognosis dari trauma avulsi, luksasi, fraktur mahkota (dengan atau tanpa keterlibatan pulpa) dan fraktur dento-alveolar. Dimana trauma terjadi dapat memperkirakan kebutuhan akan anti tetanus serum. Bagaimana trauma terjadi untuk mengidentifikasi jenis trauma yang dialami serta trauma lain yang berkaitan. Penting ditanyakan apakah anak tersebut mengalami gegar otak, sakit kepala, mual, muntah, perdarahan telinga dan gangguan pandangan mata. Riwayat medis yang berhubungan dan dapat mempengaruhi perawatan yang dilakukan adalah penyakit jantung kongenital, demam rematik, immuno supresi berat. Gangguan perdarahan harus menjadi perhatian utama jika terjadi laserasi jaringan lunak dan avulsi atau luksasi. Riwayat tentang alergi obat juga harus ditanyakan karena pada kasus trauma gigi tertentu pada anak juga harus

  16-19 diberikan antibiotik dan obat lainnya.

  Pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan ekstraoral dan pemeriksaan intraoral serta pemeriksaan penunjang radiografi. Pemeriksaan ekstraoral dilihat adakah pembengkakan, memar atau laserasi jaringan lunak yang mungkin dapat menunjukkan kerusakan tulang dan trauma gigi. Pemeriksaan intraoral melihat adanya mobiliti gigi yang mungkin dapat mengetahui adanya fraktur akar, perubahan posisi gigi atau fraktur dento-alveolar. Perkusi untuk menunjukkan adanya cedera pada jaringan periapeks seperti fraktur akar. Melihat perubahan warna gigi dan tes vitalitas gigi dapat dilakukan dengan tes panas gutta perca dan tes dingin chlor etil atau tes pulpa elektrik (EPT). Untuk memastikan adanya fraktur akar, malposisi gigi dan fraktur

  16-19 tulang alveolar diperlukan pemeriksaan penunjang radiografi.

  Setelah riwayat trauma, riwayat medis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang radiografi maka seorang dokter gigi dapat menegakkan diagnosis dan menentukan rangkaian perawatan yang akan dilakukan kepada pasien. Semua informasi tersebut dicatat dalam sebuah formulir yang nantinya berfungsi sebagai bantuan untuk dokter gigi dalam melakukan perawatan selanjutnya.

2.4 Penanganan Darurat, Perawatan, dan Pencegahan Trauma

  Trauma gigi harus dipertimbangkan sebagai keadaan darurat yang idealnya harus dengan segera diberikan perawatan untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan akibat trauma. Trauma gigi sering disertai oleh luka yang terpapar di jaringan mulut, abrasi pada jaringan wajah atau bisa juga ditemukan luka tusukan. Debridement, penjahitan dan ataupun kontrol perdarahan pada luka jaringan lunak yang terbuka harus segera dilakukan. Penyakit gangguan perdarahan harus menjadi

  20-22 perhatian utama jika terjadi laserasi jaringan lunak, avulsi atau luksasi. Trauma gigi yang hanya menyebabkan hilangnya sebagian kecil struktur gigi harus dilakukan perawatan dengan cara menghaluskan struktur gigi yang kasar. Pasien

  18

  harus diperiksa kembali setelah 2 minggu dan 1 bulan setelah trauma. Trauma yang mengakibatkan hilangnya struktur gigi yang luas dan terpaparnya dentin memerlukan restorasi sementara, hiperemi pulpa yang dikarenakan tekanan, suhu atau iritasi bahan kimia juga harus di tangani. Selain itu, jika kontak normal dari gigi hilang, restorasi sementara dapat dibuat untuk memelihara integrasi lengkung gigi, karena restorasi permanen yang adekuat dapat bergantung pada pemeliharaan alignment yang normal dan posisi gigi itu sendiri. Perawatan yang segera dilakukan sangat penting untuk

  21 memelihara vitalitas gigi.

  Pada infraksi enamel tidak ada perawatan khusus, tujuan perawatannya adalah untuk memelihara keutuhan struktur dan vitalitas pulpa. Fraktur enamel dapat dengan mengkonturing atau melakukan restorasi dengan menggunakan resin komposit tergantung dari luas dan lokasi frakturnya. Fraktur enamel dan dentin dengan melakukan restorasi sementara dengan semen glass ionomer dan restorasi permanen dengan resin komposit. Jika dentin terpapar sampai kedalaman 0,5 mm, aplikasikan kalsium hidroksida dan tutup dengan semen ionomer kaca. Fraktur enamel dentin pulpa dapat melakukan perawatan seperti kaping pulpa, pulpotomi dan perawatan

  3 pulpa lainnya.

  Pada mahkota akar tidak kompleks, jika gigi tidak dapat direstorasi lagi, perawatannya adalah melakukan ekstraksi. Fraktur mahkota akar kompleks dapat melakukan perawatan saluran akar dan perawatan pulpa lainnya. Fraktur akar tergantung dari stabilitas dari fragmen mahkota, jika mahkota bergeser maka dapat

  3 direposisikan kembali dan melakukan pensplinan selama 4 minggu.

  Kasus konkusi tidak memerlukan perawatan khusus. Kasus subluksasi memerlukan perawatan seperti splin fleksibel untuk menstabilkan gigi dan digunakan selama 2 minggu. Perawatan kasus luksasi ekstrusi dengan cara pengembalian posisi gigi ke soket dan menggunakan splin yang fleksibel selama 2 minggu. Perawatan luksasi intrusi dengan mereposisi gigi dan menggunakan splin yang flexibel selama 4 minggu. Perawatan avulsi dengan mereplantasi gigi secepat mungkin pada posisi yang normal dan menstabilisasikan gigi dengan splin fleksibel selama 4-8 minggu. kontrol berkala dilakukan pada 2 minggu pertama, 4 minggu, kemudia 6-8 minggu, setelah 6

  3 bulan dan setelah 1 tahun.

  Kejadian trauma pada gigi sangat sulit untuk diantisipasi dikarenakan seluruh permainan dan olahraga menjadi faktor risiko terjadinya trauma gigi. Bagaimanapun tindakan pencegahan merupakan hal yang terbaik. American Academy of Pediatric

  

Dentistry (AAPD) menyarankan untuk menggunakan alat pelindung seperti

mouthguard , alat ini dapat membantu mendistribusikan kekuatan dampak hantaman

  sehingga trauma yang parah dapat diminimalkan. Alat pencegah lainnya berupa helm dan sabuk pengaman juga berperan dalam pencegahan terhadap trauma gigi. penggunaan helm saat bersepeda dapat mengurangi resiko trauma wajah sampai 65%, tetapi anak tersebut tetap saja mempunyai risiko tinggi terhadap trauma gigi dikarenakan helm tidak menutupi wajah bagian bawah dan rahang bawah. Penggunaan helm saat bersepeda tidak hanya dapat mengurangi insiden dan keparahan trauma kepala dan otak tetapi juga mengurangi trauma wajah dan beberapa kasus trauma

  5,14,22 gigi.

2.5 Kerangka Teori

  Perawatan Lanjutan Penanganan Darurat dan Riwayat, pemeriksaan kinis dan diagnosis

  Perawatan

  Kerusakan pada Jaringan Keras

  Trauma gigi (Klasifikasi trauma Gigi dan Pulpa Andreasen yang diadopsi oleh

  Kerusakan pada

  WHO)

  Jaringan

  Pencegahan trauma

  Periodontal

  gigi

  Kerusakan pada Tulang Pendukung

  Predisposisi Etiologi

  Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  Anak

2.6 Kerangka Konsep

  Trauma gigi permanen anterior diliat berdasarkan:

  • Prevalensi o

  Usia o Jenis kelamin o Klasifikasi trauma gigi berdasarkan

  Andreasen yang diadopsi oleh WHO o

  Elemen gigi o Lokasi terjadinya trauma

  Anak usia 15-17 tahun

  • Etiologi • Perawatan yang dilakukan

Dokumen yang terkait

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

5 297 72

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior Anak Usia 12-14 Tahun pada Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

1 84 48

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

0 41 78

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak SMP di Kecamatan Medan Baru dan Medan Johor

0 46 72

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Trauma Gigi - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior pada Anak Usia 1- 4 Tahun di TK, PAUD dan Posyandu Kecamatan Medan Maimun dan Medan Perjuangan.

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Paud, Tk Dan Posyandu Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Marelan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gigi Sulung Anterior - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Tk/Paud Dan Posyandu Kecamatan Medan Petisah Dan Medan Tuntungan

0 1 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior Pada Anak Usia 8-12 Tahun Di SDNegeri Kecamatan Medan Johor Dan Medan Selayang

0 0 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

0 1 21