Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior Anak Usia 12-14 Tahun pada Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

(1)

PREVALENSI TRAUMA GIGI PERMANEN ANTERIOR

ANAK USIA 12-14 TAHUN PADA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN

MEDAN BARAT DAN MEDAN

SUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RIDHO FERNANDES NIM: 100600077

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2014

Ridho Fernandes

Prevalensi trauma gigi permanen anterior anak usia 12-14 tahun pada Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

xi + 36 halaman

Trauma gigi permanen anterior atau yang dikenal dengan Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras dan atau periodontal gigi permanen anterior karena sebab mekanis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Medan Barat dan kecamatan Medan Sunggal.

Jenis penelitian ini adalah survei cross-sectional. Jumlah sampel sebanyak 290 anak usia 12-14 tahun berasal dari empat SMP yaitu SMP Panca Budi dan SMP Negeri 9 Medan yang mewakili kecamatan Medan Sunggal dan SMP Negeri 11 Medan dan SMP Negeri 16 Medan yang mewakili kecamatan Medan Barat. Teknik pemilihan daerah penelitian menggunakan metode multistage random sampling dan pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Data pengalaman trauma gigi permanen anterior diperoleh dengan wawancara dan pemeriksaan klinis


(3)

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TDI permanen anterior adalah sebesar 23,10%. Jenis TDI permanen anterior yang paling sering terjadi adalah fraktur enamel (64,38%) dan diikuti fraktur enamel-dentin (26,03%). Elemen gigi yang paling sering mengalami trauma gigi adalah gigi insisivus sentralis rahang atas. TDI permanen anterior lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Etiologi trauma gigi paling banyak karena terjatuh dan tempat paling sering terjadi trauma gigi adalah di rumah.


(4)

PREVALENSI TRAUMA GIGI PERMANEN ANTERIOR

ANAK USIA 12-14 TAHUN PADA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN

MEDAN BARAT DAN MEDAN

SUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RIDHO FERNANDES NIM: 100600077


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Ucapan terima kasih yang tiada henti penulis haturkan kepada Ayahanda Sulaiman dan Ibunda Elides Usni tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, mendoakan serta memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis, juga kepada adik tersayang Silvi Ayu Pradiptatiwi atas motivasi dan doanya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan, dukungan, motivasi serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Yati Roesnawi, drg., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA).

3. Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi Departemen IKGA yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis.

5. Zulfi Amalia, drg selaku dosen pembimbing akademik penulis, yang telah membina dan mengarahkan penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(6)

6. Teman-teman sejawat angkatan 2010, khususnya teman-teman seperjuangan di Departemen IKGA, Alfina, Emalia, Una, Rizky, Mala, Wanda, Anda, Shahirah, Vanisha, Robin, Vita, Vida, Anurekha dan Kuhantini.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Zulmi, Fandra, Dedi, Malfi, Yosua, Faber, Mila, Mala, Elsa, Riska, Shinta, Erda, teman-teman kos dan teman-teman Ikatan Mahasiswa Payakumbuh dan Lima Puluh Kota (IMAPALIKO) yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kekompakan dan persahabatan yang telah tercipta, semoga persahabatan kita tak lekang termakan waktu.

8. Keluarga besar K-Mus FKG USU, drg. Armia, Bang Yusuf, Bang Hilman, Bang Aqwam, Bang Rudi, Bang Edi, Bang Mike, Bang Ridwan, Bang Rezi, Riyan, Roni, Bowo dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan, motivasi, dan kekeluargaan selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulis masih dalam proses pembelajaran sehingga skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk kedepannya.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga penulisan skripsi ini diridhoi Allah SWT dan dapat memberikan sumbangan ilmu yang berguna bagi fakultas dan masyarakat umumnya.

Medan, 17 Maret 2014 Penulis,

Ridho Fernandes NIM: 100600077


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Definisi dan Distribusi Trauma Gigi ... 5

2.2 Etiologi dan Prevalensi ... 6

2.2.1 Etiologi ... 6

2.2.2 Prevalensi ... 7

2.3 Klasifikasi Trauma ... 8

2.3.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa ... 8

2.3.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal ... 9

2.3.3 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung ... 11

2.3.4 Kerusakan pada Gusi atau Jaringan Lunak Rongga Mulut ... 11

2.4 Riwayat, Pemeriksaan Klinis, dan Diagnosis ... 12

2.5 Penanganan Darurat ... 13

2.6 Kerangka Teori ... 14

2.7 Kerangka Konsep ... 15

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Jenis Penelitian ... 16

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16


(8)

3.4 Variabel Penelitian ... 18

3.5 Definisi Operasional ... 18

3.6 Prosedur Penelitian ... 20

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 22

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Responden ... 23

4.2 Prevalensi Trauma Gigi ... 24

BAB 5 PEMBAHASAN ... 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi operasional ... 18 2. Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin ... 23 3. Prevalensi trauma gigi permanen anterior pada setiap sekolah... 24 4. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan klasifikasi

trauma gigi Andreasen yang diadopsi WHO………... 25 5. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi

yang terlibat ... 25 6. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan usia ... 26 7. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin

dan usia ... 27 8. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi……. 27 9. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa ... 9 2. Kerusakan pada jaringan periodontal ... 10


(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Distribusi Traumatic Dental Injury berdasarkan gigi permanen yang terlibat ... 5 2. Distribusi Traumatic Dental Injury berdasarkan usia dan jenis


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Surat persetujuan komisi etik

2. Surat keterangan melakukan penelitian di SMP Panca Budi 3. Surat keterangan melakukan penelitian di SMP N 9 Medan 4. Surat keterangan melakukan penelitian di SMP N 11 Medan 5. Surat keterangan melakukan penelitian di SMP N 16 Medan 6. Lembar penjelasan kepada subjek penelitian

7. Lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent) 8. Lembar pemeriksaan


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Trauma adalah suatu kejadian atau suatu penyebab sakit berupa luka atau jejas baik fisik maupun psikis yang disebabkan oleh tindakan – tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur jaringan. Trauma pada regio oral sering terjadi dan merupakan 5% dari keseluruhan injuri. Trauma gigi atau yang dikenal dengan Traumatic Dental Injury (TDI) merupakan salah satu jenis trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis. TDI dapat berupa trauma pada gigi anterior maupun pada gigi posterior pada rahang atas dan bawah, umumnya melibatkan gigi anterior, terutama insisivus sentralis dan insisivus lateralis rahang atas baik pada gigi sulung maupun gigi permanen.1,2

TDI merupakan suatu masalah karena frekuensi yang tinggi dan sering terjadi pada usia muda ketika pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan sangat pesat. Penelitian yang dilakukan oleh Kaste et al. cited in Glendor U. menunjukkan bahwa 18,4% dari individu yang berumur antara 6-20 tahun mengalami setidaknya 1 kali TDI pada gigi permanennya.2 Hasil penelitian Malikaew et al. cited in Glendor U. di Thailand terhadap gigi permanen dari 2725 anak yang berusia antara 11-13 tahun menunjukkan hasil bahwa 35% pernah mengalami TDI.2 Penelitian di Brazil pada tahun 2002-2006 menunjukkan hasil bahwa prevalensi TDI adalah sebesar 9,4% pada tahun 2002, 12,9% pada tahun 2004, dan 13,9% pada tahun 2006. Hasil ini menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dari prevalensi TDI yang terjadi dari tahun ke tahun.3 Perawatan terhadap TDI biasanya rumit dan membutuhkan biaya yang besar dan mungkin berlanjut sepanjang sisa usia pasien, dan melibatkan partisipasi dokter gigi spesialis dari berbagai disiplin ilmu.2

Berdasarkan penelitian dari berbagai negara maka dapat diambil kesimpulan bahwa TDI merupakan suatu permasalahan yang serius. Selain itu data mengenai prevalensi TDI di Indonesia terutama di Medan masih jarang. Oleh karena itu,


(14)

peneliti merasa hal ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian mengenai prevalensi trauma gigi permanen anterior anak usia 12-14 tahun pada Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan Umum

Berapa prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i Sekolah Menengah Pertama (SMP) usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?

Rumusan Khusus

a. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan klasifikasi trauma gigi menurut Andreasen yang diadopsi WHO pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?

b. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi yang terlibat pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

c. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan usia pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?

d. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?

e. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?

f. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi terjadinya trauma pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal?


(15)

1.3Tujuan Penelitian Tujuan umum

Untuk mengetahui besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di kecamatan Medan Barat dan kecamatan Medan Sunggal.

Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi WHO.

b. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan elemen gigi yang terlibat.

c. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan usia.

d. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan jenis kelamin.

e. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan etiologi.

f. Untuk mengetahui berapa besar prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa/i SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal berdasarkan lokasi terjadinya trauma.

1.4Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk mengadakan penelitian-penelitian selanjutnya.


(16)

b. Menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman langsung bagi peneliti dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

c. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan gigi untuk merencanakan program penyuluhan kesehatan mengenai trauma gigi pada anak remaja terkait upaya – upaya pencegahan dan penanggulangan pendahuluan pada trauma gigi yang harus dilakukan oleh remaja.

d. Sebagai bahan masukan kepada anak SMP mengenai trauma gigi sehingga mereka lebih dapat berhati-hati saat beraktifitas dengan cara melakukan penyuluhan.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Distribusi Trauma Gigi

Trauma gigi atau yang dikenal dengan Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras dan atau periodontal karena sebab mekanis. TDI umumnya melibatkan gigi anterior, terutama insisivus sentralis dan insisivus lateralis rahang atas, berlaku baik pada gigi sulung maupun gigi permanen.1,2 Trauma gigi dapat melibatkan kerusakan atau kehilangan dari gigi yang terlibat dan akan dapat mempengaruhi fisik, estetik dan psikologi anak.Jika trauma gigi terjadi pada saat anak mulai menyadari tentang penampilan, maka keadaan tersebut akan mengurangi rasa percaya diri anak sehingga anak akan mencoba untuk tidak tersenyum dikarenakan hal tersebut.4,5 Trauma yang mengenai gigi anterior juga akan membuat anak susah untuk menggigit, kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang jelas dan akan merasa malu untuk memperlihatkan giginya.6,7

TDI biasanya terjadi hanya pada satu gigi, tetapi pada beberapa kejadian seperti trauma saat berolahraga, berkelahi, dan kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan terjadi pada beberapa gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Jokic et al. menunjukkan hasil bahwa gigi permanen yang paling sering mengalami trauma gigi adalah gigi insisivus sentralis rahang atas dengan distribusi sebesar 42,4 % pada insisivus sentralis kanan atas dan 38 % pada insisivus sentralis kiri atas.8,9


(18)

Berdasarkan jenis kelamin, distribusi angka kejadian trauma mengalami perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi perbedaan ini tidak begitu terlihat pada anak dengan usia di bawah 13 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut tidak terlalu banyak perbedaan tipe permainan yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Namun, semakin besar usia anak trauma gigi anterior pada anak laki-laki cenderung dua kali lebih banyak dibanding pada anak perempuan, hal ini terjadi akibat aktifitas anak laki-laki yang lebih aktif berpartisipasi dalam permainan olahraga dibandingkan dengan anak perempuan.10,11 (Grafik 2).

Grafik 2. Distribusi TDI berdasarkan usia dan jenis kelamin8

2.2 Etiologi dan Prevalensi 2.2.1 Etiologi

Berbagai literatur telah melaporkan mengenai etiologi dan epidemiologi dari trauma gigi berdasarkan kepada tipe, lokasi, prevalensi, dan penyebab dari terjadinya injuri. Terdapat keragaman hasil yang diperoleh oleh berbagai literatur tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena literatur-literatur tersebut mengumpulkan informasi dari berbagai kelompok yang bervariasi baik dalam faktor lingkungan, geografis, iklim, maupun kondisi sosial ekonomi.10


(19)

lalu lintas dan beberapa disebabkan oleh kekerasan. Trauma gigi yang disebabkan oleh terjatuh meliputi antara 26% hingga 82% dari keseluruhan trauma gigi yang terjadi. Kecelakaan ketika bermain atau berolahraga umumnya menempati tempat kedua sebagai penyebab dari trauma gigi.10,11 Berbagai literatur menunjukkan bahwa anak usia sekolah yaitu usia 7-15 tahun merupakan risiko tinggi terhadap trauma gigi permanen.7,12 Besarnya overjet dengan protrusi gigi insisivus sentralis maksila dan penutupan bibir yang tidak sempurna merupakan keadaan rongga mulut yang menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya trauma gigi. Studi melaporkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak dengan protrusi gigi insisivus dibandingkan anak dengan oklusi normal.2,7

Penyebab trauma bisa dibagi menjadi dua kategori utama yaitu trauma yang tidak disengaja (unintentional trauma) dan trauma yang disengaja (intentional trauma).10 Unintentional trauma dapat terjadi karena terjatuh, kecelakaan saat berolahraga, kecelakaan lalu lintas, penggunaan gigi yang tidak pada tempatnya seperti menggigit pena, dan membuka tutup botol. Intentional trauma terjadi karena kekerasan fisik yang terjadi pada anak dan prosedur iatrogenik.10,13

2.2.2 Prevalensi

Hasil penelitian yang dilakukan dua lembaga survei nasional di Amerika mengindikasikan bahwa sekitar 1 dari 6 orang remaja dan 1 dari 4 orang dewasa pernah mengalami TDI. Di Inggris, O’Brien menyatakan bahwa 1 dari 5 orang anak pernah mengalami TDI pada gigi permanennya sebelum lulus dari Sekolah Menengah Atas. Hasil ini berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan Andreasen dan Ravn, yang pada tahun 1972 melaporkan bahwa 22% dari anak yang mereka teliti pernah mengalami TDI pada gigi permanennya.Prevalensi TDI pada gigi permanen cukup tinggi di berbagai belahan dunia. Berdasarkan statistik dari berbagai negara menunjukkan bahwa seperempat dari seluruh anak usia sekolah dan sepertiga orang dewasa pernah mengalami trauma pada gigi permanennya.2,11

Penelitian yang dilakukan oleh Kaste et al. di Amerika Serikat pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 18,4% dari individu yang berumur antara 6 – 20 tahun


(20)

mengalami setidaknya 1 kali TDI pada gigi permanennya. Malikaew et al. cited in

Glendor U, juga melakukan penelitian prevalensi TDI pada gigi permanen di Thailand terhadap 2725 anak yang berusia antara 11 – 13 tahun dan menunjukkan hasil bahwa 35% dari sampel yang diperiksa pernah mengalami TDI.2

Penelitian lainnya juga dilakukan di Brazil untuk melihat prevalensi TDI pada anak dibawah usia sekolah antara tahun 2002 hingga tahun 2006. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi TDI adalah sebesar 9,4% pada tahun 2002, 12,9% pada tahun 2004, dan 13,9% pada tahun 2006. Hasil ini menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dari prevalensi TDI yang terjadi dari tahun ke tahun.3

2.3 Klasifikasi Trauma

Salah satu klasifikasi yang terbaik yang telah diterima secara internasional adalah klasifikasi Andreasen yang diadopsi oleh WHO. Klasifikasi ini dianggap lebih baik karena memiliki format yang deskriptif dan didasari oleh pertimbangan klinis dan anatomis. WHO mengklasifikasikan menjadi 4 garis besar yang meliputi kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa; kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa dan tulang alveolar; kerusakan pada jaringan periodontal; serta kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut.13,14

2.3.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

a. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.

b. Fraktur enamel (enamel fracture) yaitu suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

c. Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.


(21)

e. Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture), yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan sementum tetapi tidak melibatkan jaringan pulpa.

f. Fraktur mahkota akar yang kompleks (complicated crown-root fracture), yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, sementum, dan melibatkan pulpa.

g. Fraktur akar (root fracture), yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa. 10,13,14,15

A B C

D E F

Gambar 1.Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa: A. retak mahkota B. fraktur enamel C. fraktur email-dentin D. fraktur mahkota kompleks E. fraktur mahkota akar F. fraktur akar .14

2.3.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

a. Konkusi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.


(22)

b. Subluksasi yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.

c. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

d. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu keluarnya sebagian gigi dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang.

e. Luksasi intrusi yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.

f. Avulsi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu lepasnya seluruh gigi ke luar dari soket.10,13,14,15

A B C

D E F

Gambar 2. Kerusakan pada jaringan periodontal: A. konkusi B. Subluksasi C. luksasi


(23)

2.3.3 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung

a. Communition of the maxillary alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi dari soket alveolar pada rahang atas. Hal ini dapat juga dilihat pada intrusif dan luksasi lateral.

b. Communition of the mandibular alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi dari soket alveolar pada rahang bawah. Hal ini dapat juga dilihat pada intrusif dan luksasi lateral.

c. Fraktur dinding soket alveolar maksila adalah fraktur tulang alveolar pada rahang atas yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

d. Fraktur dinding soket alveolar mandibula adalah fraktur tulang alveolar pada rahang bawah yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

e. Fraktur prosesus alveolar maksila adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi pada rahang atas.

f. Fraktur maksila adalah fraktur pada maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

g. Fraktur mandibula adalah fraktur pada mandibula yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.10,13-15

2.3.4 Kerusakan pada Gusi atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

a. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

b. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

c. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.10,13-15


(24)

2.4 Riwayat, Pemeriksaan Klinis, dan Diagnosis

Seorang anak yang mengalami trauma gigi dan dibawa ke dokter gigi perlu dilakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan lukanya dan menanyakan keterangan yang berhubungan agar perawatan dapat direncanakan dengan baik.15 Data keterangan kesehatan umum maupun kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu informasi penting yang dapat mempengaruhi diagnosis dan perawatan. Riwayat kesehatan lengkap hanya dimiliki oleh anak yang melakukan perawatan rutin ke dokter giginya, namun pada beberapa anak dokter gigi haruslah menanyakan tentang riwayat kesehatan secara langsung kepada anak ataupun orang tua.11,16

Riwayat kesehatan umum yang berhubungan dan dapat mempengaruhi perawatan gigi adalah penyakit jantung, kelainan pembuluh darah, alergi obat-obatan, kelainan syaraf, dan status profilaxis tetanus. Pertanyaan yang terpenting untuk menggali informasi kesehatan gigi dan mulut anak adalah mengenai kapan, dimana, dan bagaimana kecelakaan itu terjadi.11,16

Pemeriksaan pasien yang mengalami fraktur terdiri dari pemeriksaan darurat dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan darurat meliputi pengumpulan data vital, riwayat kesehatan pasien, dan keluhan pasien, sedangkan pemeriksaan lanjutan meliputi pemeriksaan kembali klinis lengkap yang terdiri dari pemeriksaan ekstra oral dan intra oral serta dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiografis untuk dapat melihat ukuran pulpa dan jarak garis fraktur, dan kelainan pada jaringan pendukung.17

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang berupa radiografi, tes elektrik dan uji termal. Pada fraktur yang dapat terlihat secara klinis yaitu seperti fraktur enamel, fraktur mahkota, avulsi,

displacement umumnya dapat ditegakkan hanya dengan riwayat dan pemeriksaan klinis. Kasus fraktur yang diperkirakan terjadi dibagian akar gigi atau tulang alveolus membutuhkan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiografi untuk


(25)

sebuah formulir yang dianjurkan. Formulir ini nantinya akan berfungsi sebagai bantuan untuk dokter dalam melakukan perawatan selanjutnya.9

2.5 Penanganan Darurat

Prognosa trauma gigi akan menjadi lebih baik jika orang tua dan masyarakat menyadari langkah – langkah pertolongan pertama dan kebutuhan untuk mencari pengobatan segera. Riwayat kesehatan anak, pola tingkah laku anak dan bentuk trauma gigi yang terjadi pada anak harus dipertimbangkan dalam melakukan penanganan darurat untuk menentukan perawatan yang tepat.18

Trauma gigi anak sering disertai dengan luka terbuka dari jaringan mulut, abrasi jaringan wajah atau bahkan luka tusukan. Tindakan darurat yang harus dilakukan seperti debridement luka, penjahitan, kontrol perdarahan dari luka jaringan lunak, dan pemberian anti tetanus serum bila ada kemungkinan luka yang didapat sepsis.16

Pada trauma gigi yang hanya mengenai enamel atau hanya menyebabkan retaknya enamel, selain prosedur diagnostik yang lengkap, perawatan dilakukan dengan menghaluskan struktur gigi yang kasar saja dan dikontrol setelah 2 minggu dan 1 bulan setelah terjadi trauma. Trauma gigi yang mengenai enamel dan dentin memerlukan restorasi sementara, atau indirect pulp capping . Trauma gigi yang mengenai pulpa dan atau saluran akar memerlukan perawatan dengan tujuan untuk mempertahankan vitalitas pulpa. Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping, pulpotomi, ataupun pulpektomi.1,16 Pada gigi yang mengalami avulsi, penanganan darurat yang dapat dilakukan adalah dengan menyimpan gigi yang avulsi tersebut di dalam cairan susu yang dingin sebelum kemudian dibawa ke dokter gigi untuk ditanamkan kembali sesegera mungkin. Cairan susu dipilih sebagai media penyimpanan karena susu memiliki osmolalitas yang paling mirip dengan darah manusia sehingga dapat membantu mempertahankan vitalitas dari jaringan ligamen periodontal. Susu dianggap lebih baik menjadi media penyimpanan dibanding saliva karena pada saliva terdapat banyak bakteri. Media lain yang juga dapat digunakan untuk penyimpanan adalah cairan saline fisiologis dan albumin telur.19


(26)

2.6 Kerangka Teori

Anak

Etiologi Predisposisi

Trauma Gigi Pencegahan

Pemeriksaan Perawatan

Klasifikasi trauma Andreasen yang diadopsi oleh WHO:

• Kerusakan pada jar. Keras gigi dan pulpa

• Kerusakan pada jar. Periodontal

• Kerusakan pada tulang

pendukung

• Kerusakan pada gingiva atau jar. lunak


(27)

2.7 Kerangka Konsep

Anak SMP Prevalensi trauma gigi permanen anterior. Berdasarkan :

• Klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi oleh WHO

• Elemen gigi permanen anterior yang terkena trauma

• Usia anak

• Jenis Kelamin

• Etiologi

• Lokasi terjadinya trauma


(28)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian survei deskriptif cross-sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada dua SMP di masing-masing kecamatan yaitu kecamatan Medan Barat dan kecamatan Medan Sunggal.

Proposal penelitian dilakukan Desember 2013. Waktu penelitian dilakukan mulai minggu ketiga Februari sampai dengan minggu keempat Februari 2014. Pengolahan dan analisis data satu minggu, yaitu minggu pertama Maret 2014. Penyusunan dan pembuatan laporan penelitian satu minggu, yaitu pada minggu kedua Maret 2014.

3.3 Populasi dan Sampel.

a. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh anak SMP usia 12-14 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

b. Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah siswa-siswi SMP di kecamatan Medan Barat dan kecamatan Medan Sunggal yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih secara random. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode multistage random sampling, yaitu terlebih dahulu memilih secara random satu kecamatan


(29)

empat SMP tersebut dilakukan dengan cara purposive sampling hingga didapat jumlah sampel yang dibutuhkan.

c. Besar sampel

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jumlah sampel untuk estimasi proporsi. Penggunaan rumus dibawah ini dilakukan karena penelitian ini menggunakan skala pengukuran kategorikal yaitu skala nominal. Skala nominal tidak mempunyai makna besaran, tetapi hanya sekedar pemberian label.

n = d2

Zα2

.P.Q

=

(0,05)2

1,962. 0,22 . (1-0,22)

= 264 sampel

Dengan ketentuan : n : jumlah sampel

Zα : deviat baku alfa = 1,96

P : proporsi yang diambil dari hasil penelitian Andreasen dan Ravn = 22 % Q : 1- P = 1- 0,22 = 0,78

d : presisi (0,05)

Dari rumus tersebut, presisi penelitian 0,05 berarti kesalahan penelitian yang masih bisa diterima untuk memprediksi proporsi yang akan diperoleh yaitu 5%. Jumlah sampel ditambahkan 10% dari jumlah sampel yang didapat dari rumus untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop-out. Jadi, besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 290 orang.


(30)

Jumlah subjek penelitian kemudian didistribusikan merata pada masing – masing SMP yang telah dipilih di Kecamatan Medan Barat dan Kecamatan Medan Sunggal.

a. Kecamatan Medan Barat : ½ x 290 = 145 orang b. Kecamatan Medan Sunggal : ½ x 290 = 145 orang

Kriteria Inklusi

a. Anak yang duduk di SMP kelas 7-9. b. Anak yang berusia antara 12-14 tahun.

c. Anak yang mampu mengikuti jalannya pemeriksaan gigi dan mulut. Kriteria Ekslusi

a. Anak yang tidak kooperatif.

b. Anak yang tidak hadir pada hari pemeriksaan.

3.4 Variabel penelitian

a. Klasifikasi trauma gigi permanen anterior yang dapat dilihat secara klinis berupa: fraktur enamel, fraktur enamel-dentin, fraktur mahkota dengan pulpa terbuka, luksasi intrusi, luksasi ekstrusi, avulsi.

b. Usia

c. Jenis kelamin d. Etiologi trauma


(31)

3.5 Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Klasifikasi trauma pada gigi permanen anterior menurut WHO

1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa: a). Fraktur enamel adalah fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

b). Fraktur enamel-dentin

yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai enamel gigi dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa. c). Fraktur mahkota yang kompleks adalah fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan pulpa.

2. Kerusakan pada jaringan periodontal:

a). Luksasi merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal, maupun lateral.

b). Luksasi ekstrusi adalah keluarnya sebagian gigi dari soketnya sehingga mahkota gigi terlihat lebih panjang. c). Luksasi instrusi adalah pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar

Berdasarkan wawancara dan pemeriksaan Berdasarkan wawancara

Sonde, kaca mulut dan kuesioner

Sonde, kaca mulut dan kuesioner


(32)

sehingga mahkota gigi akan terlihat lebih pendek. d). Avulsi adalah lepasnya seluruh gigi keluar dari soketnya.

dan

pemeriksaan

Usia Usia responden yang mengikuti penelitian yang diambil berdasarkan ulang tahun terakhir anak

Wawancara Kuesioner

Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden, yaitu laki-laki atau perempuan

Observasi Kuesioner

Etiologi Penyebab dari trauma gigi permanen anterior yang dialami anak, yaitu karena terjatuh, olahraga, kecelakaan, kekerasan fisik, dan lain-lain (sebutkan)

Wawancara Kuesioner

Lokasi kejadian

Tempat anak mengalami trauma gigi permanen anterior yaitu : di rumah, di sekolah, di ruang bermain, di jalan, dan di tempat lainnya (sebutkan)

Wawancara Kuesioner

3.6 Prosedur Penelitian

Pengumpulan data dilakukan secara survei lapangan dengan mengunjungi subjek penelitian pada SMP yang telah dipilih di setiap kecamatan yaitu Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal. Metode pengumpulan data yang akan digunakan peneliti adalah wawancara dan pemeriksaan terhadap gigi permanen anterior anak yang mengalami trauma dan hasil pemeriksaan dimasukkan ke dalam lembar


(33)

1. Peneliti menentukan SMP yang akan dijadikan lokasi penelitian. Pemilihan SMP ini menggunakan teknik random, dimana setiap nama SMP dimasing-masing kecamatan ditulis dikertas dan dipilih salah satu diantaranya. Terpilihlah dua SMP di Kecamatan Medan Barat, dan dua SMP di Kecamatan Medan Sunggal.

2. Peneliti mempersiapkan kelengkapan administrasi surat izin dari komisi etik.

3. Penelitian akan dilakukan oleh 4 orang pemeriksa yang telah dilakukan kalibrasi sebanyak dua kali untuk mendapatkan validitas dan realibilitas dari hasil penelitian yang akan dilakukan. Pemeriksa adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Nilai Kappa minimal dari masing-masing pemeriksa adalah 0,8.

4. Setelah mendapatkan surat izin dari komisi etik, peneliti mendatangi setiap lokasi penelitian satu persatu untuk meminta persetujuan penelitian, mengetahui jadwal siswa SMP untuk menentukan kapan akan dilakukan penelitian.

5. Peneliti memberikan informed consent kepada wali kelas selaku wali dari siswa yang akan menjadi sampel untuk ditandatangani.

6. Peneliti mendatangi sekolah sesuai jadwal yang telah ditentukan sebelumnya satu persatu, kemudian melakukan penelitian secara langsung kepada siswa.

7. Pihak sekolah diminta untuk menyediakan sebuah ruangan yang memiliki penerangan yang cukup dan di dalamnya terdapat empat buah meja, delapan buah kursi dan minimal dua buah tong sampah. Penelitian dilakukan pada pagi hari sampai menjelang siang.

8. Peneliti akan mewawancarai anak perihal identitas anak, pengalaman trauma anak, lokasi dimana anak mengalami trauma. Setelah itu dilakukan pemeriksaan trauma gigi permanen anterior pada anak yang menjadi subjek penelitian dengan menggunakan kaca mulut, sonde, kain kasa, dan dengan bantuan cahaya senter. Peneliti juga menyediakan nierbekken dan cairan disinfektan untuk membersihkan alat.


(34)

9. Data dimasukkan kedalam lembar pemeriksaan. yang telah selesai dapat dikumpul untuk selanjutnya diolah dan dianalisa oleh peneliti.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerisasi. Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :

a. Editing : untuk mengetahui dan mengecek apakah data yang terkumpul sudah diteliti semua atau belum

b. Coding : mengklasifikasikan jawaban dengan memberi kode pada masing-masing jawaban

c. Data entry : mengisi kolom – kolom lembar kode sesuai dengan jawaban masing – masing pertanyaan

d. Saving : proses penyimpanan data sebelum data diolah atau dianalisis e. Tabulasi : proses menyusun data dalam bentuk tabel, selanjutnya diolah dengan bantuan computer.

f. Cleaning : kegiatan pengetikan kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam program Microsoft excel dalam bentuk tabel agar penghitungan data lebih mudah dilakukan. Penghitungan dan analisa data dilakukan secara manual, yaitu melakukan penghitungan dengan hasil berupa persentase.


(35)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Responden

Responden berasal dari empat sekolah yaitu dua sekolah di kecamatan Medan Sunggal yang diwakili oleh SMP Panca Budi dan SMP N 9 Medan, dan dua sekolah di kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SMP N 11 Medan dan SMP N 16 Medan dengan jumlah responden sebanyak 290 siswa. Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin

Nama Sekolah

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n (%) n (%) n (%)

SMP Panca Budi 43 (60,56)

28 (39,44)

71 (24,48)

SMP N 9 Medan 31

(41,89)

43 (58,11)

74 (25,52) SMP N 11 Medan 26

(35,14)

48 (64,86)

74 (25,52) SMP N 16 Medan 30

(42,25)

41 (57,75)

71 (24,48)

Total 130

(44,83)

160 (55,17)

290 (100)


(36)

4.2 Prevalensi Trauma Gigi

Tabel 3 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior. Hasil penelitian diperoleh sebanyak 67 (23,1%) siswa pernah mengalami trauma pada gigi permanen anterior dan 223 (76,9%) siswa tidak pernah mengalami trauma pada gigi permanen anterior.

Tabel 3. Prevalensi trauma gigi permanen anterior pada setiap sekolah

Nama Sekolah

Trauma Gigi

Ada Tidak Total

n (%) n (%) n (%)

SMP Panca Budi 22 (30,99)

49 (69,01)

71 (24,48)

SMP N 9 Medan 12

(16,22)

62 (83,78)

74 (25,52) SMP N 11 Medan 17

(22,97)

57 (77,03)

74 (25,52) SMP N 16 Medan 16

(22,54)

55 (77,46)

71 (25,52)

Total 67

(23,10)

223 (76,90)

290 (100)

Tabel 4 menunjukkan distribusi trauma gigi berdasarkan klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi oleh WHO. Trauma gigi paling sering menyebabkan fraktur enamel yaitu sebanyak 47 (64,38%) gigi diikuti dengan fraktur enamel-dentin sebanyak 19 (26,03%) gigi, fraktur mahkota kompleks dan avulsi dengan jumlah yang sama yaitu sebanyak 3 (4,11%) gigi, dan luksasi intrusi sebanyak 1 (1,37%) gigi, sementara itu luksasi ekstrusi tidak ditemukan.


(37)

Tabel 4. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi WHO

Klasifikasi Trauma gigi n %

Fraktur enamel

Fraktur enamel-dentin Fraktur mahkota kompleks Luksasi Intrusi Avulsi 47 19 3 1 3 64,38 26,03 4,11 1,37 4,11

Total 73 100

Tabel 5 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi yang terlibat. Elemen gigi yang paling sering mengalami trauma adalah gigi insisivus sentralis kiri atas sebanyak 29 (39,73%) diikuti gigi insisivus sentralis kanan atas sebanyak 22 (30,14%), dan trauma gigi pada gigi permanen kaninus kanan bawah dan kaninus kiri bawah tidak dijumpai.

Tabel 5. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi yang terlibat

Elemen Gigi n %

Insisivus sentralis kanan atas Insisivus sentralis kiri atas Insisivus sentralis kanan bawah Insisivus sentralis kiri bawah Insisivus lateralis kanan atas Insisivus lateralis kiri atas Insisivus lateralis kanan bawah Insisivus lateralis kiri bawah Kaninus kanan atas

Kaninus kiri atas

22 29 4 1 7 2 3 2 1 2 30,14 39,73 5,48 1,37 9,58 2,74 4,11 2,74 1,37 2,74


(38)

Tabel 6 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan usia anak. Trauma gigi paling sering ditemukan pada siswa usia 12 tahun dengan persentase sebesar 27,14% diikuti usia 14 tahun dengan persentase sebesar 24,09% dan usia 13 tahun dengan persentase sebesar 18,07%.

Tabel 6. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan usia

Usia

Trauma Gigi Ada

n (%)

Tidak n (%)

Total n (%) 12 tahun (27,14) 19 (72,86) 51 (24,14) 70

13 tahun (18,07) 15 (81,93) 68 (28,62) 83

14 tahun (24,09) 33 (75,91) 104 (47,24) 137

Total 67

(23,10)

223 (76,90)

290 (100)

Tabel 7 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin dan usia. Trauma gigi lebih sering terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 36 (27,69%) kasus dibandingkan perempuan sebanyak 31 (19,37%) kasus . Pada anak laki-laki trauma gigi permanen anterior lebih banyak terjadi pada usia 12 tahun yaitu sebesar 33,33% dibandingkan daripada usia 13 dan 14 tahun sebesar 23,08% dan 25%, tetapi pada anak perempuan usia 14 tahun merupakan usia paling banyak terjadi trauma gigi permanen anterior yaitu sebesar 22,35% dibandingkan dengan pada usia 12 dan 13 tahun yaitu sebesar 19,35% dan 13,64%.


(39)

Jenis Kelamin Usia

Tabel 7. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin dan usia

Laki-Laki Perempuan

Ada n (%)

Tidak

n (%) Jumlah

Ada n (%)

Tidak

n (%) Jumlah 12 tahun 13

(33,33)

26

(66,67) 39

6 (19,35)

25

(80,65) 31 13 tahun 9

(23,08)

30

(76,92) 39

6 (13,64)

38

(86,36) 44 14 tahun 14

(26,92)

38

(73,08) 52

19 (22,35)

66

(77,65) 85

Jumlah 36

(27,69) 94 (72,31) 130 (100) 31 (19,37) 129 (80,63) 160 (100)

Tabel 8 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi. Etiologi yang paling sering dari terjadinya trauma gigi adalah terjatuh sebanyak 35 (52,24%) kasus diikuti oleh menggigit benda keras sebanyak 22 (32,84%) kasus, olahraga sebanyak 8 (11,94%) kasus, dan kecelakaan lalu lintas sebanyak 2 (2,98%) kasus. Trauma gigi yang disebabkan oleh perlakuan kasar keluarga / teman tidak dijumpai.

Tabel 8. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi

Etiologi n %

Jatuh Olahraga Kecelakaan

Menggigit benda keras

35 8 2 22 52,24 11,94 2,98 32,84


(40)

Tabel 9 menunjukkan distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi terjadinya trauma. Trauma gigi paling sering terjadi di rumah yaitu sebanyak 40 (59,70%) kasus diikuti oleh di sekolah sebanyak 16 (23,88%) kasus, tempat olahraga sebanyak 8 (11,94%) kasus, dan di jalan sebanyak 3 (4,48%) kasus.

Tabel 9. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi trauma

Lokasi Kejadian n %

Rumah Sekolah Jalan

Tempat lain ( tempat olahraga)

40 16 3 8

59,70 23,88 4,48 11,94


(41)

BAB 5 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa SMP di kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SMP N 11 dan SMP N 16 Medan, dan kecamatan Medan Sunggal yang diwakili oleh SMP Panca Budi dan SMP N 9 Medan adalah sebesar 23,10% (Tabel 3). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Andreasen dan Ravn sebesar 22%, Nicolau, dkk sebesar 20,4% dan Kaste, dkk sebesar 18,4%. Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Malikaew, dkk di Thailand pada tahun 2005 dengan hasil sebesar 35% dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Bonini, dkk di Brazil pada tahun 2006 dengan hasil sebesar 13,9%. Perbedaan ini bisa diperoleh karena adanya variasi lingkungan, sosio-ekonomi, perbedaan tingkah laku dan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan negara-negara tersebut.2,3

Prevalensi trauma gigi tertinggi dijumpai pada siswa SMP Panca Budi. Hal ini mungkin terjadi karena SMP Panca Budi merupakan sekolah swasta yang terletak pada kompleks sekolah yang terdiri dari TK sampai fakultas sehingga memiliki fasilitas bermain yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tiga sekolah lainnya yang hanya mempunyai lapangan upacara. Fasilitas bermain yang lebih lengkap membuat siswa SMP Panca Budi bisa lebih aktif dalam aktivitas bermain dibandingkan siswa tiga SMP lainnya. Tempat tinggal para siswa di sekolah tersebut sebagian besar berada di daerah Sei. Sikambing dan Helvetia yang merupakan daerah padat penduduk. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya terjadi trauma gigi permanen anterior. Menurut Andreasen, trauma gigi lebih sering terjadi di lingkungan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan daripada lingkungan yang tingkat kepadatannya lebih rendah.13

Fraktur enamel dan fraktur enamel-dentin merupakan jenis fraktur yang paling sering dijumpai dan dengan persentase yang jauh lebih besar dibandingkan jenis


(42)

fraktur lain yang dijumpai dalam penelitian ini (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan Andreasen yang mengatakan bahwa jenis fraktur yang paling sering terjadi sebagai akibat dari trauma gigi adalah fraktur enamel dan diikuti oleh fraktur enamel-dentin. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Jokic, dkk yang menunjukkan hasil bahwa 37,2% sampel mengalami fraktur enamel dan 38,7% sampel mengalami fraktur enamel-dentin.8,13 Jenis fraktur yang paling sedikit dijumpai adalah luksasi intrusi, sedangkan luksasi ekstrusi tidak dijumpai dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini dijumpai bahwa trauma gigi paling sering mengenai gigi insisivus sentralis atas. Trauma yang mengenai gigi insisivus sentralis kanan atas memiliki persentase sebesar 30,14% dan gigi insisivus kiri atas sebesar 39,73% (Tabel 5). Kondisi rahang atas yang kaku dan tidak bisa digerakkan seperti rahang bawah merupakan salah satu faktor predisposisi trauma gigi pada rahang atas dibandingkan dengan trauma gigi pada rahang bawah. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Jokic, dkk. Gigi insisivus sentralis atas lebih sering mengalami trauma seringkali dikaitkan hubungannya dengan keadaan gigi yang terkadang mengalami protusi dan penutupan bibir yang tidak adekuat. Keadaan ini juga dijumpai oleh peneliti pada beberapa anak yang mengalami trauma gigi permanen anterior. Hal ini menjadi kekurangan dalam penelitian ini karena tidak ada pencatatan mengenai kondisi maloklusi pada anak.8,13

Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi trauma gigi permanen anterior paling tinggi terdapat pada siswa dengan usia 12 tahun (Tabel 6) . Perbedaan yang signifikan tidak dijumpai dalam prevalensi trauma gigi antara kelompok usia 12, 13, dan 14 tahun. Bastone, dkk menyatakan bahwa frekuensi tertinggi trauma gigi permanen terjadi pada usia antara 9-15 tahun.20 Pada penelitian ini dijumpai bahwa trauma gigi terjadi lebih sering pada siswa laki-laki (27,69%) dibandingkan daripada siswa perempuan (19,37%) (Tabel 7). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bonini, dkk dan, Jokic dkk. Tingginya prevalensi pada siswa


(43)

perempuan, dimana anak laki-laki lebih aktif dalam berolahraga maupun bermain di luar rumah.3,8,11

Pada penelitian ini dijumpai perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior pada anak laki-laki dan perempuan dibawah usia 13 tahun (Tabel 7). Hal ini tidak sejalan dengan Berman yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior antara laki-laki dan perempuan pada usia di bawah 13 tahun. Penelitian ini juga tidak dijumpai adanya perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior yang signifikan pada anak laki-laki dan perempuan usia 14 tahun (Tabel 7). Hal ini tidak sejalan dengan Berman yang mengatakan bahwa pada anak usia diatas 13 tahun trauma gigi pada anak laki-laki cenderung dua kali lebih banyak dibanding pada anak perempuan.10 Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan tidak homogen baik dari kelompok umur ataupun kelompok jenis kelamin dan anak yang mengalami trauma hanya 67 dari 290 siswa.. Hal ini terjadi karena dijumpai kendala perijinan dari pihak sekolah yang hanya memberi izin untuk melakukan penelitian di kelas yang sudah ditentukan.

Penelitian ini menunjukkan trauma gigi yang terjadi paling sering disebabkan oleh terjatuh (52,24%) dan menggigit benda keras (32,84%) (Tabel 8). Hasil ini sesuai dengan literatur yang ditulis oleh Glendor yang menyatakan bahwa terjatuh merupakan faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya trauma gigi.12 Hasil ini juga sesuai dengan pernyataan Berman bahwa trauma gigi yang disebabkan oleh terjatuh meliputi antara 26% hingga 80% dari keseluruhan trauma gigi yang terjadi.10 Penyebab lain trauma gigi yang ditemukan pada penelitian ini adalah olahraga dan kecelakaan kendaraan. Penyebab trauma yang dijumpai pada penelitian ini semuanya digolongkan ke dalam penyebab trauma yang tidak disengaja (unintentional trauma) sedangkan penyebab trauma yang disengaja (intentional trauma) tidak dijumpai.1,10,13 Menurut Andreasen, penyebab paling sering dari terjadinya trauma gigi adalah terjatuh dan diikuti oleh trauma ketika berolahraga, akan tetapi di dalam penelitian ini didapati hasil penyebab kedua terbanyak dari trauma gigi yang terjadi adalah menggigit benda keras.1,10,13 Hal ini bisa terjadi karena perbedaan kebiasaan antara orang Indonesia yang mungkin lebih sering dalam menggunakan gigi untuk


(44)

menggigit benda keras dibandingkan dengan negara lain. Tipe makanan di Indonesia yang lebih banyak makanan keras jika dibandingkan negara-negara di Eropa yang lebih banyak mengonsumsi makanan lunak dan siap saji juga bisa menyebabkan lebih banyak terjadi trauma gigi karena menggigit benda keras.

Trauma gigi yang dijumpai dalam penelitian ini paling sering terjadi di rumah (59,70%) dan di sekolah (23,88%) (Tabel 9). Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar aktivitas siswa SMP dilakukan di rumah maupun di sekolah. Tempat lain yang menjadi tempat terjadinya trauma adalah di jalan raya dan tempat olah raga. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Andreasen yang menyatakan bahwa berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil trauma gigi sebagian besar terjadi di rumah kemudian diikuti oleh sekolah, jalan, dan tempat umum lainnya.13

Pada penelitian ini terdapat kendala yang dijumpai peneliti dalam pengisian

informed consent yang seharusnya diisi oleh orang tua siswa/i. Pihak sekolah tidak memberi izin kepada peneliti untuk memberikan informed consent kepada orang tua siswa/i karena pihak sekolah sebagai wali dari siswa/i sudah memberikan izin kepada siswa/i untuk dijadikan sampel dalam penelitian sehingga dalam penelitian ini


(45)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa SMP di kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SMP N 11 dan SMP N 16 Medan, dan kecamatan Medan Sunggal yang diwakili oleh SMP Panca Budi dan SMP N 9 Medan adalah sebesar 23,10% dari sampel yang berjumlah 290 orang. Tipe trauma gigi yang paling sering terjadi pada anak adalah fraktur enamel (64,38%) dan diikuti oleh fraktur enamel-dentin (26,03%). Gigi yang paling sering mengalami trauma adalah gigi insisivus sentralis rahang atas dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan daripada perempuan. Usia 12-14 tahun merupakan saat paling sering terjadinya trauma pada gigi permanen. Penyebab paling sering dari trauma gigi permanen anterior adalah karena terjatuh dan paling sering terjadi di rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa trauma gigi permanen anterior merupakan suatu masalah yang serius terhadap kesehatan gigi anak sehingga diperlukan adanya tindakan pencegahan untuk mengurangi terjadinya trauma gigi permanen anterior.

6.2 Saran

1. Diharapkan dokter gigi dan tenaga kesehatan masyarakat agar lebih memperhatikan upaya penyuluhan dan edukasi tentang pencegahan terjadinya trauma gigi pada anak.

2. Diperlukan pengarahan tentang masalah trauma terhadap orang tua, anak, dan pihak sekolah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma gigi.

3. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar data penelitian dibuat homogen untuk jumlah data masing-masing kelompok baik untuk jenis kelamin maupun kelompok umur.

4. Untuk mendapatkan hasil yang lebih luas dan akurat, perlu dilakukan penambahan jumlah sampel.


(46)

5. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, perlu dilihat mengenai kelainan maloklusi pada anak untuk melihat hubungannya dengan trauma gigi.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanti E. Penatalaksanaan trauma gigi pada anak. FKG UNPAD: 2, 4-8.

2. Glendor U. Epidemiology of traumatic dental injuries – a 12 year review of the literature. Dent Traumatol 2008; 24: 605-6.

3. Bonini GA, Marcenes W, et al. Trends in the prevalence of traumatic dental injuries in Brazilian preschool children. Dent Traumatol 2009; 25: 594-8. 4. Stanley FP. Traumatic injuries to the teeth. Notes on pediatric dentistry. 1 st

ed., London: Wright, 1991: 120-43.

5. Carvalho B, Franca C, Heimer M, et al. Prevalence of dental trauma among 6-7-year-old children in the city of Recife, PE, Brazil. Brazil Journal Oral Science 2012;11(1):72-5.

6. Kumar A, Bansal V, Lingappa K, et al. Prevalence of traumatic dental injuries among 12-15-year-old schoolchildren in Ambala District, Haryana, India. Oral Health Prev Dent 2011; 9: 301-5.

7. Varghese RK, Argawal A, Mitra A, et al. Anterior fracture among visually impaired individual, India. J of Advanced Oral Research 2011;2: Issue 3. 8. Jokic NI, Bakarcic D, Fugosic V, Majstorovic M, Skrinrajic I. Dental trauma

in children and young adults visiting a University Dental Clinic. Dent Traumatol 2009; 25: 84-7.

9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Meia Aesculapius, 2009: 476-80, 529-32.

10.Berman LH, Blanco L, Cohen S. A Clinical guide to dental traumatology. Missouri; Mosby Elsevier, 2007: 9, 17-26.

11.Cameron A, Abbot P, Gregory P, et al.Trauma management. In: Cameron A, Widmer R. Handbook of pediatric dentistry, 3 rd ed., Canberra: Mosby Elsevier, 2008: 95-8.


(48)

12.Glendor U. Aetiology and risk factors related to traumatic dental injuries- a review of the literature. Dent Traumatol 2009; 25: 19-31.

13.Glendor U, Marcenes W, Andreasen JO. Classification, epidemiology, and etiology. In: Andreasen JO, Andreasen FM, Anderson L. Texbook and color atlas of traumatic injuries to the teeth, 4 th ed., Copenhagen: Blackwell Munksgaard, 2007: 229-35.

14.Tsukiboshi M. Treatment planning for traumatized teeth. 1 st ed., Tokyo: Quintessence Publishing Co, Inc., 2000: 11-5.

15.Laskin DM. Oral and maxillofacial surgery. St. Louis: Mosby, 2002: 403. 16.McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Management of trauma to the teeth and

supporting tissues.In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA, et al. Dentistry for the child and adolescent. 8 th ed., Missouri: Mosby Inc, 2004: 455-60.

17.Eva F, Hendrarlin S. Perawatan fraktur kelas tiga ellis pada gigi tetap insisif sentral atas. Indo J of Dent 2008; 15 (2): 169-74.

18.American academy of pediatric dentistry. Guideline management of acute dental trauma. Reference Manual. 2011; 34: 217-8.

19.Skapetis T, Curtis K. Emergency Management of dental trauma. Australasian Emergency Nursing J 2010; 13: 30-4.

20.Bastone EB, Freer TJ, McNamara JR. Epidemiology of dental trauma: a review of the literature. Australian Dent J 2000; 45: 2-9.


(1)

perempuan, dimana anak laki-laki lebih aktif dalam berolahraga maupun bermain di luar rumah.3,8,11

Pada penelitian ini dijumpai perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior pada anak laki-laki dan perempuan dibawah usia 13 tahun (Tabel 7). Hal ini tidak sejalan dengan Berman yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior antara laki-laki dan perempuan pada usia di bawah 13 tahun. Penelitian ini juga tidak dijumpai adanya perbedaan distribusi trauma gigi permanen anterior yang signifikan pada anak laki-laki dan perempuan usia 14 tahun (Tabel 7). Hal ini tidak sejalan dengan Berman yang mengatakan bahwa pada anak usia diatas 13 tahun trauma gigi pada anak laki-laki cenderung dua kali lebih banyak dibanding pada anak perempuan.10 Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan tidak homogen baik dari kelompok umur ataupun kelompok jenis kelamin dan anak yang mengalami trauma hanya 67 dari 290 siswa.. Hal ini terjadi karena dijumpai kendala perijinan dari pihak sekolah yang hanya memberi izin untuk melakukan penelitian di kelas yang sudah ditentukan.

Penelitian ini menunjukkan trauma gigi yang terjadi paling sering disebabkan oleh terjatuh (52,24%) dan menggigit benda keras (32,84%) (Tabel 8). Hasil ini sesuai dengan literatur yang ditulis oleh Glendor yang menyatakan bahwa terjatuh merupakan faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya trauma gigi.12 Hasil ini juga sesuai dengan pernyataan Berman bahwa trauma gigi yang disebabkan oleh terjatuh meliputi antara 26% hingga 80% dari keseluruhan trauma gigi yang terjadi.10 Penyebab lain trauma gigi yang ditemukan pada penelitian ini adalah olahraga dan kecelakaan kendaraan. Penyebab trauma yang dijumpai pada penelitian ini semuanya digolongkan ke dalam penyebab trauma yang tidak disengaja (unintentional trauma) sedangkan penyebab trauma yang disengaja (intentional trauma) tidak dijumpai.1,10,13 Menurut Andreasen, penyebab paling sering dari terjadinya trauma gigi adalah terjatuh dan diikuti oleh trauma ketika berolahraga, akan tetapi di dalam penelitian ini didapati hasil penyebab kedua terbanyak dari trauma gigi yang terjadi adalah menggigit benda keras.1,10,13 Hal ini bisa terjadi karena perbedaan kebiasaan antara orang Indonesia yang mungkin lebih sering dalam menggunakan gigi untuk


(2)

menggigit benda keras dibandingkan dengan negara lain. Tipe makanan di Indonesia yang lebih banyak makanan keras jika dibandingkan negara-negara di Eropa yang lebih banyak mengonsumsi makanan lunak dan siap saji juga bisa menyebabkan lebih banyak terjadi trauma gigi karena menggigit benda keras.

Trauma gigi yang dijumpai dalam penelitian ini paling sering terjadi di rumah (59,70%) dan di sekolah (23,88%) (Tabel 9). Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar aktivitas siswa SMP dilakukan di rumah maupun di sekolah. Tempat lain yang menjadi tempat terjadinya trauma adalah di jalan raya dan tempat olah raga. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Andreasen yang menyatakan bahwa berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil trauma gigi sebagian besar terjadi di rumah kemudian diikuti oleh sekolah, jalan, dan tempat umum lainnya.13

Pada penelitian ini terdapat kendala yang dijumpai peneliti dalam pengisian informed consent yang seharusnya diisi oleh orang tua siswa/i. Pihak sekolah tidak memberi izin kepada peneliti untuk memberikan informed consent kepada orang tua siswa/i karena pihak sekolah sebagai wali dari siswa/i sudah memberikan izin kepada siswa/i untuk dijadikan sampel dalam penelitian sehingga dalam penelitian ini informed consent diisi oleh wali kelas selaku wali dari siswa/i yang akan diteliti.


(3)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Prevalensi trauma gigi permanen anterior pada siswa SMP di kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SMP N 11 dan SMP N 16 Medan, dan kecamatan Medan Sunggal yang diwakili oleh SMP Panca Budi dan SMP N 9 Medan adalah sebesar 23,10% dari sampel yang berjumlah 290 orang. Tipe trauma gigi yang paling sering terjadi pada anak adalah fraktur enamel (64,38%) dan diikuti oleh fraktur enamel-dentin (26,03%). Gigi yang paling sering mengalami trauma adalah gigi insisivus sentralis rahang atas dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan daripada perempuan. Usia 12-14 tahun merupakan saat paling sering terjadinya trauma pada gigi permanen. Penyebab paling sering dari trauma gigi permanen anterior adalah karena terjatuh dan paling sering terjadi di rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa trauma gigi permanen anterior merupakan suatu masalah yang serius terhadap kesehatan gigi anak sehingga diperlukan adanya tindakan pencegahan untuk mengurangi terjadinya trauma gigi permanen anterior.

6.2 Saran

1. Diharapkan dokter gigi dan tenaga kesehatan masyarakat agar lebih memperhatikan upaya penyuluhan dan edukasi tentang pencegahan terjadinya trauma gigi pada anak.

2. Diperlukan pengarahan tentang masalah trauma terhadap orang tua, anak, dan pihak sekolah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma gigi.

3. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar data penelitian dibuat homogen untuk jumlah data masing-masing kelompok baik untuk jenis kelamin maupun kelompok umur.

4. Untuk mendapatkan hasil yang lebih luas dan akurat, perlu dilakukan penambahan jumlah sampel.


(4)

5. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, perlu dilihat mengenai kelainan maloklusi pada anak untuk melihat hubungannya dengan trauma gigi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanti E. Penatalaksanaan trauma gigi pada anak. FKG UNPAD: 2, 4-8.

2. Glendor U. Epidemiology of traumatic dental injuries – a 12 year review of the literature. Dent Traumatol 2008; 24: 605-6.

3. Bonini GA, Marcenes W, et al. Trends in the prevalence of traumatic dental injuries in Brazilian preschool children. Dent Traumatol 2009; 25: 594-8. 4. Stanley FP. Traumatic injuries to the teeth. Notes on pediatric dentistry. 1 st

ed., London: Wright, 1991: 120-43.

5. Carvalho B, Franca C, Heimer M, et al. Prevalence of dental trauma among 6-7-year-old children in the city of Recife, PE, Brazil. Brazil Journal Oral Science 2012;11(1):72-5.

6. Kumar A, Bansal V, Lingappa K, et al. Prevalence of traumatic dental injuries among 12-15-year-old schoolchildren in Ambala District, Haryana, India. Oral Health Prev Dent 2011; 9: 301-5.

7. Varghese RK, Argawal A, Mitra A, et al. Anterior fracture among visually impaired individual, India. J of Advanced Oral Research 2011;2: Issue 3. 8. Jokic NI, Bakarcic D, Fugosic V, Majstorovic M, Skrinrajic I. Dental trauma

in children and young adults visiting a University Dental Clinic. Dent Traumatol 2009; 25: 84-7.

9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Meia Aesculapius, 2009: 476-80, 529-32.

10.Berman LH, Blanco L, Cohen S. A Clinical guide to dental traumatology. Missouri; Mosby Elsevier, 2007: 9, 17-26.

11.Cameron A, Abbot P, Gregory P, et al.Trauma management. In: Cameron A, Widmer R. Handbook of pediatric dentistry, 3 rd ed., Canberra: Mosby Elsevier, 2008: 95-8.


(6)

12.Glendor U. Aetiology and risk factors related to traumatic dental injuries- a review of the literature. Dent Traumatol 2009; 25: 19-31.

13.Glendor U, Marcenes W, Andreasen JO. Classification, epidemiology, and etiology. In: Andreasen JO, Andreasen FM, Anderson L. Texbook and color atlas of traumatic injuries to the teeth, 4 th ed., Copenhagen: Blackwell Munksgaard, 2007: 229-35.

14.Tsukiboshi M. Treatment planning for traumatized teeth. 1 st ed., Tokyo: Quintessence Publishing Co, Inc., 2000: 11-5.

15.Laskin DM. Oral and maxillofacial surgery. St. Louis: Mosby, 2002: 403. 16.McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Management of trauma to the teeth and

supporting tissues.In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA, et al. Dentistry for the child and adolescent. 8 th ed., Missouri: Mosby Inc, 2004: 455-60.

17.Eva F, Hendrarlin S. Perawatan fraktur kelas tiga ellis pada gigi tetap insisif sentral atas. Indo J of Dent 2008; 15 (2): 169-74.

18.American academy of pediatric dentistry. Guideline management of acute dental trauma. Reference Manual. 2011; 34: 217-8.

19.Skapetis T, Curtis K. Emergency Management of dental trauma. Australasian Emergency Nursing J 2010; 13: 30-4.

20.Bastone EB, Freer TJ, McNamara JR. Epidemiology of dental trauma: a review of the literature. Australian Dent J 2000; 45: 2-9.