Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

(1)

LAPORAN PENELITIAN

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN TABANAN

TENTANG

PERLINDUNGAN PEREMPUAN

DAN

ANAK KORBAN KEKERASAN

TAHUN 2015

KERJASAMA DPRD KABUPATEN TABANAN DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

TIM PENELITI

1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH

2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH

3. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi.,SH.,MH 4. Dr Jimy Z Usfunan, SH.,MH


(3)

KATA PENGANTAR

Negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada setiap warga negara sesuai dengan pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami kekerasan sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.Kekerasan merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat perempuan dan anak.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan agar terhindar dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk peraturan daerah.

Denpasar, 2 November 2015 Tim Peneliti


(4)

ABSTRAK

Perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami kekerasan sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.Kekerasan merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat perempuan dan anak.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan agar terhindar dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk peraturan daerah.


(5)

DAFTAR ISI

Narasi Pengantar

……….

ii

Daftar Isi

……….

iv

Daftar Tabel

……….

Bab I Pendahuluan

A.

Latar Belakang ……….

1

B

Identifikasi Masalah……….

5

C.

Tujuan dan Kegunaan……….

6

D.

Metode………..

7

Bab II Kajian Teoritis

A.

Kajian Teoritis ………...

9

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan

Penyusunan Norma ……….

14

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi

yang ada, serta permasalahan yang dihadapi

masyarakat………..

18

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru

yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap

aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya

terhadap aspek beban keuangan daerah………..

19

Bab III Evaluasi Dan Analisis Peraturan

Perundang-undangan Terkait

A. Kondisi Hukum Dan Satus Hukum Yang Ada... 21

B. Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan

Yang Lain...

24

Bab IV Landasab Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

A. Pandangan Ahli... 28


(6)

Bab V. Jangkauan Arah Pengaturan Dan Ruang Lingkup

Materi Muatan Peraturan Daerah

A. Ketentuan Umum... 36

B. Materi Muatan Yang Akan Diatur... 37

Bab V Penutup

A. Simpulan... 38

B. Saran ...

39

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN:

Racangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan

tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korba

Kekerasan


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Data jumlah kekerasan terhadap perempuan, laki-laki

dan anak………. 1 Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5

UU 12/2011 dan Penjelasannya)……… 14

Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)…….. 15 Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT………. 17 Tabel 5 : Jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap

perempuan, laki-laki dan anak 18

Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain ... 24 Tabel 7 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan

menurut Para Sarjana Indonesia ……….… 29 Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kabupaten Tabanan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali belum memiliki Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan. Segala bentuk kekerasan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi. Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Berdasarkan data jumlah korban kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak di Kabupeten Tabanan sebagaimana dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Data jumlah kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak

No Kesatuan Tahun Jumlah Korban KET

Perempuan Laki-laki

Anak-anak Polres

Tabanan

2012 21 2 10

2013 17 3 11

2014 20 6 13

Sumber : Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Resor Tabanan


(9)

Tingginya angka kekerasan tersebut menunjukkan sangat perlu pengaturan tentang Perlindungan terhadap korban kekerasan. Dalam KUHP Bab XIV yaitu Pasal 285,286, 287,288 dan 297 pengaturan tersebut dimaksud lebih untuk mengatur kesusilaan seseorang bukan melindungi perempuan yang menjadi korban dari tindak pidana tersebut dan hanya mengatur kekerasan yang berakibat perlakuan secara fisik.1 Dalam Konvensi

mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ( CEDAW) pengaturan kekerasan terhadap perempuan tidak saja kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis dan kekerasan seksual.2

Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT) mengatur bahwa negara jaminan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah Perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Dalam UU KDRT, Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan

1 Niken Savitri.2008,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis

terhadap KUHP, Refika Aditama, hal 10 2 Ibid, hal 4


(10)

yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.Berdasarkan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 UUKDRT mengatur bahwa :

Pasal 11

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga;

Pasal 12

(1)Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah:

a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;

b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri.

(3)Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 13

Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:

a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;

b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;

c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama programpelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan


(11)

d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Pasal 21 ayat (3) UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak mengatur, untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu

Pasal 4

(1) Panduan Pembentukan dan Pengembangan PPT memuat tahapan pembentukan dan pengembangan PPT, struktur organisasi, bentuk-bentuk pelayanan, mekanisme pelayanan, penyediaan sarana prasarana, penyediaan petugas pelaksana atau petugas fungsional, materi yang akan diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Pengembangan PPT, pemantauan, evaluasi dan pelaporan

(2) Pembentukan dan pengembangan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Panduan Pembentukan dan Pengembangan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 5

Mengenai struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang memuat kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja PPT diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.

Pasal 8

(1) Dalam pembentukan dan pengembangan PPT Gubernur, Bupati dan Walikota bertugas untuk :

a. menyusun dan menetapkan peraturan daerah tentang pembentukan dan pengembangan PPT bersama dengan DPRD setempat ;


(12)

b. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan PPT; c. menyediakan petugas pelaksana dan petugas

fungsional yang diperlukan;

d. menyediakan sarana dan prasarana;

e. menyediakan anggaran untuk operasional PPT;

f. melakukan pembinaan terhadap pembentukan dan pengembangan PPT; dan

g. menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Pembentukan dan Pengembangan PPT kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f

meliputi pemberian petunjuk pelaksanaan, bimbingan, supervisi, monitoring dan evaluasi

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi masalah, yakni bahwa perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan merupakan suatu hal yang mendapat perhatian sehingga perlu dilakukan pengaturan, oleh karena itu perlu Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:

1.Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan?.

2.Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan?.


(13)

3.Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan?.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.


(14)

D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.3

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai berikut:

1.Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini adalah perempuan dan anak korban kekerasan).

2.Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang perempuan dan anak korban kekerasan.

Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum4.

Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang menampilkan segi tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu

3 Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi

Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 177-178.

4Lihat Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 181.


(15)

memahami gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep, serta pemikiran para sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya berkenaan dengan tematik penelitian penyusunan Naskah Akademik ini5.

5 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18


(16)

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Pembaharuan hukum terjadi yang ditandai oleh adanya berbagai instrument hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan bersumber dari beberapa kovensi internasional, hukum positif nasional, termasuk yurisprudensi dimana perempuan mendapatkan keadilan. Namun terdapat jurang yang dalam di antara apa yang seharusnya ( das sollen) dikehendaki terjadi oleh hukum dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari ( das sein) sehingga hukum hanya dipandang sebagai payung fantasi.6

Dari studi yang dilakukan analisis gender banyak ditemukan ketidakadilan terhadap perempuan, antara lain: 1). terjadi marginalisasi/pemiskinan ekonomi terhadap perempuan; 2). terjadi sub ordinasi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan; 3) terjadi stereotype jenis kelamin dalam rumah tangga yang mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan; 4) terjadi kekerasan violence terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan karena perbedaan gender; 5) kerena peran gender perempuan adalah mengelola pekerjaan domestic lebih banyak dan lebih lama/burden.

Kekerasan berbasis gender seperti yang diserukan Rekomendasi Umum CEDAW merupakan pelanggaran HAM Anak adalah harapan bangsa dimasa mendatang. Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

6 Jurnal Perempuan, 2006,Sejauh Mana Komitmen Negara ?,jurnal YJP, No 25 thun 2006, ISSN1410-153X,hal 34-35


(17)

(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, oleh karenanya perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak.

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga, hal ini diakibatkan dari orang tua yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak memperdulikan keselamatan anaknya, sepanjang ia dapat memberikan keuntungan financial bagi keluarga. Di kota-kota besar, anak di eksploitasi untuk bekerja menafkahi keluarga.

Pelaksanaan perlindungan anak yang baik harus memenuhi persyaratan yang sebagai berikut :7

1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya

perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.

2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara setiap

warganegara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama.

3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan

kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan.

Dalam penyusunan Ranperda ini mempergunakan beberapa konsep antara lain:

1). Konsep perlindungan.

7 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta 1989.h. 19


(18)

Perlindungan adalah segala tindakan pelayanan untuk menjamin dan melindungi hak-hak korban tindak kekerasan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu;

2) Konsep kekerasan,

Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan baik fisik, seksual, psikologis termasuk penelantaran, ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi;

3) Konsep perempuan, perempuan adalah manusia dewasa berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum diakui sebagai perempuan;

4) Konsep anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 ayat (1)

Tentang Perlindungan Anak sebagi berikut: “Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pelaksanaan perlindungan anak yang baik harus memenuhi persyaratan yang sebagai berikut :8

1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi

8 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta 1989.hal. 19


(19)

permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.

2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara setiap warganegara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama.

3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan.

4. Dalam membuat kebijakan dan rencana kerja perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.

5. Perlu adanya kepastian hukum dalam upaya perlindungan anak dengan mengutamakan perspektif yang diatur dan bukan yang mengatur.

6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

7. Mengupayakan pemberian kemampuan dan kesempatan pada anak unuk ikut serta melindungi diri sendiri.

8. Perlindungan anak yang baik harus mempunyai dasar-dasar filosofi, etis dan yuridis.

9. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang bersangkutan, oleh karena adanya penimbulan penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.

10. perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.


(20)

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.9

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)

Agar perlindungan anak diselenggarakan dengan baik dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”,

disebabkan ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk dikemudian hari. 10

c. Ancangan daur kehidupan (life circle approach) Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu diindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik melalui ibunya. Jika ia telah lahir, maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer

9 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 39 10 Ibid, hal 39


(21)

dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit.11

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6. Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.

Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)

Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011 Dalam membentuk

Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat

bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat

dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan

bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.


(22)

d. dapat dilaksanakan bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan

bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. kejelasan rumusan bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.

Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan

Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya, sebagaimana tampak dalam tabel berikut.

Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)

PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU 12/2011 Ayat (1)

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. Pengayoman bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan (PPu) harus

berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus

mencerminkan pelindungan dan

penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara


(23)

dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. Kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu

senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara. h. Kesamaan Kedudukan

dalam Hukum dan Pemerintahan

bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. Ketertiban dan Kepastian Hukum

bahwa setiap Materi Muatan PPu harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.


(24)

j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Ayat (2)

PPu tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan

Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.

Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT

Pasal 3 UU 23/2004

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:

a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender;

c. nondiskriminasi; dan d. perlindungan korban

Penyusunan Raperda Kabupaten Tabanan didasarkan pada asas-asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun asas yang termuat dalam UU KDRT.

Ada tiga asas yang relevan untuk diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan


(25)

dan Anak Korban Kekerasan. Asas tersebut adalah sebagai berikut: asas kemanusiaan, asas keadilan, dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga asas ini pada dasarnya merupakan hakekat dari hak asasi manusia, yakni asas yang utama dalam paham hak asasi manusia yaitu non diskriminasi.

Sedangkan asas keterbukaan, selain menjadi landasan dalam pembentukan Perda adalah juga sebagai asas yang melandasi pokok pengaturan di dalam Peraturan daerah yang sedang dirancang ini.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT

Dalam pratik penyelengaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan, terdapat beberapa jenis tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak .Adapun data tindakan kekerasan tersebut terdapat dalam tabel berikut :

Berdasarkan data dari BP3A & KB Kabupaten Tabanan jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak tahun 2012,2013,2014 sebagaimana dalam table dibawah ini.

Tabel 5 : Jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak

No Pelaku dan Korban

Kekerasan

Tahun 2012

Tahun 2013

Tahun 2014


(26)

1 Jumlah Pelaku Kekerasan a. Perempuan b. Laki-laki c. Anak-anak 6 25 6 6 23 4 6 30 10 2 Jumlah Korban Kekerasan

d. Perempuan e. Laki-laki f. Anak-anak 21 2 10 17 3 11 20 6 13

Sumber : BP3A & KB dan data yang ada di P2TP2A Kabupaten Tabanan

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan menunjukkan perlunya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Perlunya pengaturan ini diharapkan mampu menanggulangi dan menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga, kewajiban pemerintah daerah dalam pemenuhan hak asasi manusia terpenuhi.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN KEUANGAN DAERAH.

Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan akan membawa implikasi pada aspek kehidupan masyarakat, yakni:

1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat, terutama perlakuan kekerasan terhadap perempuan dan anak, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.

2. Adanya tuntutan kesadaran hukum masyarakat, untuk memahami jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan masalah hukum berkenaan perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.


(27)

3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah dan masyarakat yang mengemban tugas pengawasan bagi Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

4. Adanya tuntutan bagi Pemerintah yang mengemban tugas dan ngawasan terhadap untuk mengadakan sosialisasi dan konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran hukum berkaitan dengan melakukan perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan akan membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, sehingga sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan..


(28)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG TERKAIT

A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA

Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan adalah:

1. Pasal Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 10 ).

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).


(29)

6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak ( Lembaran Negara Tahun 2014 No 297 dan Tambahan lembaran Negara Nomor 5606 ). 7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 473 ).

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Tentang Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

11. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Perempuan


(30)

12. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

13. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

14. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang ` Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.

15. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan 16. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2

Tahun 2008 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan Kabupaten Tabanan (Lembaran Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2);

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh


(31)

undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).

Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Sebagai dasar hukum formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945..

B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi pokok yang diatur mengenai Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang akan diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain

Materi Muatan

KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM

UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ( CEDAW)

PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah an Antara Pemerintah, Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan No. 4 Tahun 2008 tentang

Urusan Pemerintah Kabupaten


(32)

Pemerintah an Daerah Provinsi, Dan

Pemerintah an Daerah Kabupaten/ Kota Tabanan Mengen ai struktu r organis asi kedudu kan, tugas, fungsi, susuna n organis asi, dan tata kerja PPT Pasal 49 Wanita (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan , jabatan, dan

profesi sesuai dengan persyarat an dan peraturan perundan

g-undanga n.

(2) Wanita berhak untuk mendapat kan perlindun gan khusus dalam pelaksan aan pekerjaan atau profesiny Pasal 12

Negara wajib menghapus diskriminasi terhadap

perempuan di bidang

pemeliharaan dan pelayanan kesehatanreprod uksi

Pasal 2

(1) …..

(2) ……

(3) Urusan pemerin tahan yang dibagi bersam a antar tingkata n dan/ata u susuna n pemerin tahan sebagai mana dimaksu d pada ayat (1) adalah semua urusan pemerint ahan di luar urusan sebagai mana dimaks ud pada ayat (2). Pasal 2 Dalam menjalankan otonomi daerah pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah Pasal 3 Urusan pemerintah sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas 31 bidang urusan pemerintah : a. ... b. ... c. ... d. ... e. ... f. .. g. ... h. ... i. ... j. ... k. pemberd ayaan perempu


(33)

a terhadap hal-hal yang dapat menganc am keselamat an dan atau kesehata nnya berkenaa n dengan fungsi reproduk si wanita.

(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenak an fungsi reproduk sinya, dijamin dan dilindung i oleh hukum. Pasal 52 Anak (1) Setiap anak berhak atas perlindun gan oleh orang tua, keluarga,

(4) Urusan pemerint ahan sebagai mana dimaksu d pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerint ahan meliputi : ……. k. pemberdaya an perempuan dan perlindunga n anak; …..

an dan perlindu ngan anak. Pasal 5

(1). Urusan wajib meliputi : a. ... b. ... c. .. d. ... e. ... f. ... g. ... h. ... i. ... j. ... k. ... l. ... m.... l. pemberd ayaan perempu an dan perlindu ngan anak.


(34)

masyarak at, dan negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepenting annya hak anak itu diakui dandilind ungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandunga n.

Sumber : Diolah dari UU Ham, UU Perlindungan Anak, Konvensi hak-hak anak.


(35)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011

Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen, adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung

“kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh

peraturan tersebut12.

Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.

Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum13.

Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum

12 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 40

13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 19


(36)

didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu mencerminkan nilai kepastian hukum.

Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie14, Bagir

Manan15, dan Solly Lubis16.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 7: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia17

Landasan Jimly

Asshiddiqie

Bagir Manan M. Solly Lubis Filosofis Bersesuaian

dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Contoh, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila Mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan

14 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 169-174, 240-244

15 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hlm. 14-17.

16 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hlm. 6-9.

17 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit., hlm. 38.


(37)

sebagai

staatsfunda-mentalnorm”.

laku

masyarakat.

) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara. Sosiologis Mencerminkan

tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan dengan (1) kriteria pengakuan terhadap daya ikat norma hukum; (2) kriteria penerimaan terhadap daya ikat norma hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut norma hukum secara faktual memang berlaku efektif dalam masyarakat]. Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. -

Yuridis Norma hukum itu sendiri memang ditetapkan (1) Keharusan (1) adanya kewenangan dari pembuat Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi


(38)

sebagai norma hukum

berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan (4) oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu. peraturan perundang-undangan; (2) adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukanny a. pembuatan suatu peraturan, yaitu:

(1) segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan tertentu; dan (2) segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.

Politis Harus tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 sebagai politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang [juga dikatakan, pemberlakuanny a itu memang didukung oleh faktor-faktor Garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan -kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksana an pemerintahan. Misalnya, garis politik


(39)

kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].

otonomi dalam GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1973) memberi pengarahan dalam

pembuatan UU Nomor 5 Tahun 1974.

Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan tersebut menunjukan:

1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang

terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks

landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif. 2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly

Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.

3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis

Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan


(40)

perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis, sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 8: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan 18

LANDASAN URAIAN

Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).

Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan. Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan

masyarakat yang memerlukan penyelesaian.

Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan. Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut

dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.

Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang– undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan perundang-undangan.

Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik


(41)

penyusunan peraturan perundang-undangan19 dan teknik

penyusunan naskah akademik20 yang diadopsi Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 8 Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011

LANDASAN URAIAN

Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan.

Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.

Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan

19 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).


(42)

hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.

Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2) memajukan kesejahteraan umum. Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang juga merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten Tabanan perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi antara lain kewajiban dan tanggung jawab, layanan pengaduan, layanan rehabilitasi kesehatan, layanan rehabilitasi social, layanan bantuan hokum, pemulangan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pendanaan, pembinaan dan pengawasan


(43)

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. KETENTUAN UMUM

Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.

pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.

Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan diantaranya adalah:

1. Perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, dilaksanakan berdasarkan asas:

b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan

2. Hak-hak Korban 3. Tanggung Jawaban


(44)

4. Layanan Pengaduan dan Rehabilitasi 5. Layanan Pemulihan

6. Pemantauan 7. Evaluasi 8. Pembinaan 9. Pendanaan

10. Pengawasan

B. MATERI YANG AKAN DIATUR

Materi Pokok Yang Diatur adalah Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian (Pedoman 111 TP3U), yakni:

1. Bab I : Ketentuan Umum 2. Bab II : Asas dan Tujuan 3. Bab III : Hak Korban.

4. Bab IV : Kewenangan dan Tanggung Jawab 5. Bab V : Kelembagaan

6. Bab VI : Standar Pelayanan Minimal 7. BabVII : Rumah Perlindungan Sosial 8. Bab VIII : Pemantauan dan Evaluasi 9. Bab IX : Pelaporan

10. Bab X : Pembinaan dan Pengawasan 11. Bab XI : Peran Serta Masyarakat 12. Bab XII : Pendanaan


(45)

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan belum mempunyai Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas dirumuskan simpulan yaitu :

Kabupaten Tabanan mempunyai kewenangan membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Selanjutnya dalam. Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT) mengatur bahwa negara menjamin untuk melakukan pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah Perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

UU KDRT, Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah


(46)

tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu, Mengenai struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang memuat kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja PPT diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.

B. Saran

1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati tentang pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan mekanisme kerja PPT untuk melaksanakan Peraturan Daerah

2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah 2004.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1989).

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992).

Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum

dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan

Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012).

Gultom, Maidin Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama,

Bandung

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006),.

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989).

Niken Savitri.,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, 2008.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000).


(48)

Jurnal Perempuan ( Untuk Pencerahan dan Kesetaraan ),

Sejauh Mana Komitmen Negara ? Diskriminasi Terhadap

Perempuan, ISSN : 1410-153X,2006.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109 ).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan


(49)

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Ri Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 ).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Tentang Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 2 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Perempuan.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 3 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 5 Tahun 2010 Tentang ` Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik

Indonesianomor 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan


(50)

Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan Kabupaten Tabanan (Lembaran Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2);


(51)

PERATURAN DAERAH

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG,

Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan ;

b. bahwa kekerasan terhadap perempuan dan

anak merupakan tindakan yang melanggar hak

asasi manusia yang harus mendapat

perlindungan hukum;

c. bahwa penyelenggaraan perlindungan perempuan

dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan belum memiliki dasar pengaturan;


(52)

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan;

Mengingat : 1.Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4419);

4.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);


(53)

6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perlindungan Perempuan;

7. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak;

8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan;

9. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu; 10. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pedoman penanganan anak Korban Kekerasan;

11. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 );

13. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 4 tahun 2008 tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten Tabanan

Nomor…, Tambahan Lembaran Daerah Nomor


(54)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TABANAN

dan

BUPATI BADUNG, MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN

PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Tabanan.

2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Tabanan. 3. Bupati dalah Bupati Badung.

4. Perlindungan adalah segala tindakan pelayanan untuk menjamin dan melindungi hak-hak korban tindak kekerasan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu.

5. Perempuan adalah manusia dewasa berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum diakui sebagai perempuan.

6. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

7. Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan baik fisik, seksual, psikologis termasuk penelantaran, ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

8. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut.

9. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara


(55)

sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi.

10. Korban adalah perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan.

11. Korban tindak kekerasan adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), atau tindak pidana serta tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh aparat negara atau oleh negara atau aparat pemerintah daerah atau oleh orang perorangan.

12. Pusat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disingkat PPT, adalah lembaga penyedia pelayanan terhadap korban kekerasan, yang berbasis rumah sakit, dikelola secara bersama-sama dalam bentuk pelayanan medis, psikososial dan pelayanan hukum.

13. Rumah Aman adalah tempat tinggal sementara, yang diberikan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, dilaksanakan berdasarkan asas:

a. keadilan dan kesetaraan gender; b. nondiskriminasi; dan

c. Kepastian hukum.


(56)

Perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan bertujuan : a. melindungi perempuan dan anak korban kekerasan;

b. menindak pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak;

c. memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak korban tindak kekerasan;dan

d. Pemberdayaan Perempuan dan anak korban kekerasan.

BAB III

HAK –HAK KORBAN Pasal 4

Korban berhak mendapat :

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada

setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

BAB IV

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 5

(1) Pemerintah Kabupaten berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya perlindungan korban kekerasan, dalam bentuk:


(57)

b. melakukan pendidikan tentang nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan dan anak;

c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan korban kekerasan;

d. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap korban; dan e. melakukan pemberdayaan terhadap korban.

(2) Pemerintah Kabupaten berkewajiban untuk menyediakan dan menyelenggarakan layanan bagi korban dalam bentuk:

a. mendirikan PPT untuk korban dengan melibatkan unsur masyarakat;

b. memfasilitasi terbentuknya pusat-pusat layanan terpadu lainnya; dan

c. mendorong kepedulian masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menjamin terselenggaranya perlindungan untuk korban kekerasan dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, suami atau orang lain secara hukum bertanggungjawab terhadap korban.

(4) Pemerintah Kabupaten berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, dengan standar pelayanan yang melibatkan masyarakat.

(5) Bupati menunjuk pejabat untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan terhadap Perempuan dan anak korban kekerasan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan mekanisme kerja PPT, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IV

LAYANAN PENGADUAN Pasal 6


(58)

dilakukan oleh penyelenggara layanan terpadu untuk menindaklanjuti laporan adanya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diajukan korban, keluarga atau masyarakat.

(2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. Melakukan wawancara dan observasi keadaan korban; b. Membuat rekomendasi layanan lanjutan;

c. Melakukan koordinasi dan rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait;

d. Melakukan administrasi proses pengaduan. BAB V

LAYANAN REHABILITASI KESEHATAN Pasal 7

(1)Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

(2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Melakukan pemeriksaan;

b. Pengobatan;

c. perawatan lanjutan terhadap korban;

d. Melakukan koordinasi pelaksanaan rehabilitasi kesehatan; e. Melakukan pemeriksaan mediko-legal meliputi

pengumpulan barang bukti pada korban dan pembuatan visum et repertum.

f. Melakukan pemeriksaan penunjang dan laboratorium terhadap barang bukti.

g. Melakukan konsultasi kepada dokter ahli atau melakukan rujukan.


(59)

BAB VI Pasal 8

LAYANAN REHABILTASI SOSIAL

(1)Rehabilitasi sosial merupakan pelayanan yang ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

(2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Melakukan pendampingan selama proses penanganan kasus; b. Melakukan konseling.

BAB VII Pasal 9

LAYANAN BANTUAN HUKUM

(1)Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh pendamping hukum dan advokat untuk melakukan proses pendampingan saksi dan/atau korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

(2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Mendampingidan/atau membela setiap proses penanganan hukum.

b. Membuat laporan perkembangan penanganan hukum.


(60)

PEMULANGAN Pasal 10

(1)Pemulangan merupakan upaya mengembalikan perempuan dan anak korban kekerasan dari daerah kabupaten ke daerah asal. (2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Melakukan Koordinasi dengan instansi terkait untuk pemulangan korban.

b. Membuat laporan perkembangan proses pendampingan pemulangan korban;

c. Melakukan pemantauan sekurang-kurangnya tiga bulan setelah korban dipulangkan kekeluarganya.

BAB IX

REINTEGRASI SOSIAL Pasal 11

(1)Reintegrasi sosial merupakan upaya penyatuan kembali korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan

kebutuhan bagi korban.

(2)Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Pemberdayaan ekonomi dan sosial;

b. Pendidikan; dan

c. Monitoring dan/atau bimbingan lanjut.

BAB X


(61)

Pasal 12

(1)Untuk menjamin sinergi, kesinambungan, dan efektivitas langkah-langkah secara terpadu dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, pemerintahan daerah kabupaten melakukan pemantauan.

(2)Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk mengetahui perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di daerah Kabupaten Tabanan.

(3)Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap SKPD yang melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.

(4)Pemantauan dilakukan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan untuk tahun berjalan.

Pasal 13

(1)Evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan

perlindungan perempuan dan anak dilakukan setiap berakhirnya tahun anggaran atau jika diperlukan sesuai kebutuhan.

(2)Hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak untuk tahun berikutnya.

(3)Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI PELAPORAN


(62)

Pasal 14

(1)Bupati bertanggung jawab untuk membuat laporan pelaksanaan SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan disampaikan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Dalam Negeri. (2)Pelaporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan setiap tahun. .

(3)Bentuk pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

BAB XII PENDANAAN

Pasal 15

Dana untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan, bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan b. sumber lain yang sah .

Pasal XIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 16

Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di wilayahnya.


(1)

martabatnya serta dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.

Kekerasan merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak. Keberadaan perempuan dan anak korban kekerasan belum mendapatkan pelayanan yang memadai sehingga diperlukan pelayanan minimal untuk korban kekerasan.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan agar terhindar dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk peraturanDaerah.

Peraturan Daerah ini mengatur upaya perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan khususnya dalam hal pelayanan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan, pendanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1


(2)

Pasal 2

Cukup jelas Pasal 3

Cukup jelas Pasal 4

Huruf a

Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial.

Huruf e

Cukup jelas Pasal 5


(3)

Pasal 6

Ayat (1 )

Cukup jelas Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas Huruf b

Yang dimaksud dengan rekomendasi layanaan lanjutan adalah petugas PPT memberikan rekomendasi intervensi

layanan dengan tujuan untuk

menetapkan langkah-langkah tindak lanjut yang terbaik dalam pemenuhan hak korban.

Huruf c

Cukup jelas Huruf d

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.


(4)

Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11


(5)

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABANAN TAHUN 2012 NOMOR …..


(6)