ISI BAB I BAB V .pdf

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu sebuah karya dari manusia yang begitu sangat populer dari dulu hingga sekarang, bahkan film sudah ada sejak sebelum Perang Dunia I, namun kala itu masih menggunakan format hitam putih dan tidak ada dialog antar tokoh atau disebut silent film. Bahkan film merupakan contoh dari komunikasi massa, yang dimana film tidak hanya menampilkan sebuah hiburan ( entertain ) bahkan film bisa dapat menampilkan sebuah pendidikan ( education ). Saat ini sudah banyak film yang dikeluarkan oleh produsen – produsen yang berurusan dengan film, yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Film merupakan salah satu komunikasi massa (Mcquail, 2011). Sebuah film hidup dari bentukan teknologi rekaman gambar dan suara, dan termasuk ada di dalamnya berbagai unsur kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan juga musik (Wikipedia, 2017).

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana – mana, khalayaknya heterogen dan anonym , dan menimpulkan efek tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, terutama sifatnya yang audio visual, tetapi dalam proses penyampaian pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda (Tan dan Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2005:3) (Vera, 2014).

Definisi film berbeda di setiap negara; di Perancis ada pembedaan antara film dan sinema.“Filmis” berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, misalnya sosial politik dan kebudayaan. Sedangkan di Yunani film dikenal dengan istilah cinema , yang merupakan singkatan dari cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara). Cinemathographie secara harfiah berarti cinema (gerak), tho atau phytos adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar.Jadi, yang dimaksud cinemathographie adalah melukis gerak dengan cahaya. Ada juga istilah lain yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu movies ; berasal dari kata move , yang berarti gambar bergerak atau gambar hidup (Vera, 2014).

Film gangster atau juga sering disebut “ Mafia Film ” atau “ Mob Film ” merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster umumnya berkisah bagaimana sebuah kelompok kriminal memperbesar kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin. Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas seperti senapan mes in “ tommy gun ”, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya.

Plot film gangster juga kadang melibatkan “kucing-kucingan” antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster . Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota – kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi “gelap” Plot film gangster juga kadang melibatkan “kucing-kucingan” antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster . Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota – kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi “gelap”

Meskipun film gangster terdapat unsur kekerasan didalamnya, namun film gangstser juga terdapat unsur maskulinitas di dalamnya. Salah satu film bertema gangster yang cukup terkenal dalam dunia perfilman dari tahun 1972 ialah The Godfather, karya Francis Ford Coppola. Film ini berasal dari novel karya Mario Puzo, dan mendapatkan Oscar Kategori Skenario Adaptasi Terbaik danFilm Terbaik tahun 1973. Film tersebut menceritakan kehidupan Mafia bernama Don Vito Corleone dan memiliki 4 orang anak yang selalu setia kepada ayahnya, mulai

dari Santino “Sonny” Corleone, Alfredo “Fredo” Corleone, Michael Corleone, Constanzia “Connie” Corleone, serta anak angkat bernama Tom Hagen, namun

dari film tersebut dipusatkan kepada Michael Corleone. Setting film tersebut di kota New York, Pulau Sicilia, dan California pada era pasca Perang Dunia II (1945), dimana terpusatkan di Little Italy, New York. Film ini mendapatkan citra positif dari kritikus, bahkan dalam Metacritic memberi skor 100 (nilai sempurna), dan menjadikan film ini membuat film terbaik sepanjang masa di sejarah perfilman dunia. Film ini meskipun mempunyai genre film kriminal khususnya gangster dan drama, namun film ini mempunyai sikap kekeluargaan yang sangat melekat didalamnya, serta dalam film tersebut terdapat dominanya pihak laki – laki ketimbang pihak perempuan adanya sifat kepimpinan layaknya kepala keluarga, lalu adanya unsur kelaki-laki yang dimana laki – laki jika berkelahi menggunakan tangan kosong untuk menonjolkan sifat machonya.

Film ini mempunyai durasi sekitar 2 jam 55 menit atau 175 menit dan di sutradarai oleh Francis Ford Coppola, dan dirilis pada tahun 1972 di Indonesia hampir sudah memiliki bioskop untuk menayangkan film tersebut. Di Amerika

Serikat sendiri memberi rating “R” atau “ Restricted ” yang dikata lain, film tersebut hanya diperbolehkan khusus dewasa. (filmratings.com)

Film ini mempunyai unsur ideologi yang terkandung dalamnya, dimana adanya unsur minoritas kaum perempuan didalamnya, serta dalam film tersebut menonjolkan dominan sifat kelaki – lakian atau maskulinitas, meskipun dari pihak perempuan hanya sedikit yang terkandung dalamnya. Serta didalamnya juga adanya unsur kreatif yang memetingkan dalam film tersebut.

Dari observasi yang dilakukan, film The Godfather tersebut memiliki adanya dominan laki – laki, sehingga di film tersebut jarang sifat feminisme ditonjolkan film tersebut. Film ini sangat fenomenal pada era saat itu (1970an) tetapi film ini sangat diminati oleh pencinta film diseluruh dunia sampai sekarang sehingga menduduki peringkat 2 dari 250 film terbaik sepanjang masa versi Internet Movie Database (IMDb) dengan skor 9.2 dari 10. Hal ini dikarenakan banyak peran laki – laki yang mempunyai peran dari scene awal hingga akhir didalamnya, sehingga penulis melakukan analisis penelitian deskriptif dengan cara menganalisis dengan cara semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce. Semiotika ini dinilai cocok dengan analisis yang terdapat dari teori tersebut, sehingga penulis dapat menjabarkan dengan mencocokan teori – teori maskulinitas dengan disisipkan scene – scene yang terkandung dengan maskulinitas.

Maskulin atau maskulinitas sendiri berasal dari bahasa Perancis, masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki - laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda dengan “kejantanan” (yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan maskulin jika: Gagah, kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan. Biasanya maskulin kerap dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan Maskulin atau maskulinitas sendiri berasal dari bahasa Perancis, masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki - laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda dengan “kejantanan” (yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan maskulin jika: Gagah, kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan. Biasanya maskulin kerap dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka terdapat identifikasi masalah, yang dapat dirumuskan adalah adanya elemen semiotika dalam film The Godfather cenderung bersifat seperti adanya sifat dari maskulin yang ditujukan bahwa laki – laki itu mempunyai tanggung jawab yang besar, bersifat sayang kepada keluarga, dan masih banyak lagi. Meskipun film The Godfather adalah film bergenrekriminal dan drama. Visual dalam film tersebut berperan penting dalam penyampaian pesan, karena pesan dalam film dibentuk berdasarkan elemen-elemen visualnya. Sedangkan kaitannya dengan semiotika adalah bahwa segala sesuatu yang dapat diinderai manusia dapat menjadi tanda, sehingga elemen visual iklan juga dapat menjadi sebuah tanda.Dalam semiotika Charles Sanders Peirce terdapat pengkajian tingkatan tanda yang menghasilkan makna – makna berdasarkan relasi tanda, yang dalam sebuah film makna - makna tersebut merupakan pesan dalam film.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas penulis menyusun sebuah rumusan yaitu

Bagaimana maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang peneliti capai dari penelitian ini ialah ingin mendeskripsikan maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce.

1.5 Signifikasi Penelitian

1) Akademis Untuk menjelaskan bahwa film merupakan salah satu komunikasi massa

yang di mana ada unsur budaya, sastra, dan sebagainya. Serta sebagai bahan referensi untuk mengkaji Ilmu Komunikasi dalam terkait unsur kajian film dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce.

2) Praktis Untuk menjelaskan kepada praktisi terutama bagi pembuat film agar

mengetahui adegan mana saja yang mengandung unsur – unsur maskulinitas dalam konteks Amerika Serikat pada tahun 1940an hingga 1950an.

1.6 Sistematika Penelitian Untuk memberikan sistematika penelitian yang jelas, maka pada skripsi ini

peneliti mencoba menguraikan isi kajian penelitian. Adapun sistematika penelitian sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan pengantar dari skripsi ini terdiri dari beberapa subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi masalah, dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti menjelaskan secara rinci mengenai beberapa tinjauan pustaka atau peneliti terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Juga menjelaskan teori yang nantinya akan digunakan sebagai landasan penelitian. Tidak lupa juga menjelaskan teori yang berdasarkan dari penelitian dan pendapat ahli teori tersebut.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode peneltian yang akan peneliti gunakan, seperti paradigma penelitian, cara teknik mengumpulkan dan bagaimana prosedur cara peneliti dalam menganalisis data tersebut.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang penyajian data dan pembahasan tentang maskulinitas dalam film The Godfather dengan cara menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang peneliti akan menjabarkan mengenai kesimpulan dan juga saran dari penelitian yang sudah peneliti lakukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka (Peneliti Terdahulu)

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian – penelitian terdahulu yang sebelumnya yang pernah dilakukan sebagai pembanding dan kajian refrensi.

Penelitian mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki beberapa skripsi, tesis dan jurnal rujukan. Berikut dibawah ini merupakan skripsi rujukanatau penelitian terdahulu:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul, Penulis, Tahun,

Metode Institusi

Objek

Fokus dan

Penelitian Representasi

Penelitian

Paradigma

Maskulinitas Dalam Iklan Produk Perawatan Tubuh

Untuk Laki – Laki

Iklan Produk

Perawatan

(Analisis Semiotika

Analisis Iklan Clear Men

Tubuh Laki

Maskulinitas

Semiotika Sampo Versi Rain

1 laki (Clear

(Paradigma

Roland Barthes dan L’oreal Men

Men Sampo

Kritis)

dan L’Oreal

Expert Versi Matthew

Fox), (2011) – Febriyanti, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Men Expert)

Hegemoni Maskulinitas Dalam Iklan Minuman

Iklan

Berenergi (Analisis

Minuman

Semiotika TVC Extra

2 Joss dan Kuku Bima

Semiotika Ener-G), (2011) –I

(Extra Joss

(Paradigma

Roland Barthes Nyoman Winata,

dan Kuku

Kritis)

Bima Ener-

Universitas

G)

Diponegoro, Semarang

Maskulinitas Pada Iklan Televisi

Iklan Produk

(Analisis Semiotik

Khusus Pria:

Iklan Produk Khusus

Maskulinitas

Analisis Pria: Extra Joss,

Extra Joss,

(Paradigma

Semiotika Surya Pro Mild, dan

3 Surya Pro

Critical

Roland Barthes Vaseline Men

Mild, dan

contrutionism )

Moisturiser), (2012) –

Vaseline Men

Moisturiser

Rosalina, Universitas Indonesia, Depok

Representasi Maskulinitas Dalam Film Legend No. 17

Analisis Karya Nikolai

Film Legend

Semiotika

Maskulinitas

Lebedev: Sebuah

No. 17 Karya

Roland Barthes

(Paradigma

Kajian Semiotika,

Nikolai

dan Semiotika

(2014) – Anniesa

Deskriptif)

Charles Sanders Fithiriana,

Lebedev

Peirce Universitas Indonesia, Depok Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika

Film The

Analisis Komunikasi Charles

5 Sanders Peirce),

Karya

(Paradigma

Charles Sanders (2017) – Felix Francis Ford Konstruktivisme) Peirce Kencana, Universitas

Coppola

Pembangunan Jaya, Tangerang Selatan

Tabel 2.1 Menjabarkan peneliti terdahulu yang fokus penelitian sejenis dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Sumber: Dokumen Peneliti

Dari hasil beberapa jurnal, skripsi dan tesis rujukan maka hasil yang pertama ialah mengenai penelitian dengan judul Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Produk Perawatan Tubuh Untuk Laki – Laki (Analisis Semiotika Iklan Clear Men Sampo Versi Rain dan L’oreal Men Expert Versi Matthew Fox), karya Febriyanti tahun 2011. Penelitian ini merepresentasikan

maskulinitas yang mengukuhkan ideologi patriarki. Hampir dalam setiap adegan, maskulinitas direpresentasikan melalui kekuatan laki - laki, perlindungan laki - laki terhadap perempuan, penempatan laki - laki di ranah publik,kesuksesan dan kesejahteraan. Ada tiga mitos maskulinitas dalam ideologi patriarki yang sering muncul dalam iklan Clear Men Sampo dan L’Oreal Men Expert yakni:

(1) No sissy stuff , di mana laki - laki tidak boleh tampil feminin dan laki - laki sangat dianjurkan untuk tidak mengurusi hal yang berkaitan dengan femininitas,

(2) Be a Big Wheel , maskulinitas juga diukur dari kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki, tingkat kesuksesan, tingkat kesejahteraan, dan status yang dimiliki,

(3) Give ‘em Hell, mengacu pada sikap dan aura laki - laki yang berani dan agresif, dimana setiap laki - laki maskulin berani menambil resiko.

Lalu dalam penelitian kedua dengan judul Hegemoni Maskulinitas Dalam Iklan Minuman Berenergi (Analisis Semiotika TVC Extra Joss dan Kuku Bima Ener-G), karya I Nyoman Winata tahun 2011. Penggunaan image - image simbolik dan bahasa - bahasa dalam kedua iklan tersebut sangatlah hegemoni maskulin. Iklan Kuku Bima Ener-G maupun Extra Joss memanfaatkan kuatnya ideologi patriarki yang terdapat dalam masyarakat mereproduksi dan Lalu dalam penelitian kedua dengan judul Hegemoni Maskulinitas Dalam Iklan Minuman Berenergi (Analisis Semiotika TVC Extra Joss dan Kuku Bima Ener-G), karya I Nyoman Winata tahun 2011. Penggunaan image - image simbolik dan bahasa - bahasa dalam kedua iklan tersebut sangatlah hegemoni maskulin. Iklan Kuku Bima Ener-G maupun Extra Joss memanfaatkan kuatnya ideologi patriarki yang terdapat dalam masyarakat mereproduksi dan

Dalam penelitian ketiga berdasarkan tesis yang berjudul Maskulinitas Pada Iklan Televisi (Analisis Semiotik Iklan Produk Khusus Pria: Extra Joss, Surya Pro Mild, dan Vaseline Men Moisturiser), karya Rosalina tahun 2011. Penelitian ini menemukan bahwa iklan yang dibuat oleh produsen dengan melanggengkan ideologi patriarki di Indonesia supaya industri tetap berjalan sesuai dengan kepentingan kapitalis.Sehingga iklan bukan sekedar mengemas produk, tetapi juga bagaimana para produsen menggunakan maskulinitas sebagai komoditas bagi produk mereka.

Dengan demikian penelitian yang berjudul Representasi Maskulinitas Dalam Film Legend No. 17 Karya Nikolai Lebedev: Sebuah Kajian Semiotika, karya Anniesa Fithiriana tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa film Legend No.

17 karya sutradara Nikolai Lebedev ini telah memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk maskulinitas, sesuai dengan konsep stereotipe maskulinitas yang berkaitan erat dan tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki.

Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan ialah mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki perbedaan antara Peneliti dengan peneliti lainnya adalah adanya perbedaan dari paradigma penelitian atau pendekatan penelitian. Dalam hal ini Peneliti menggunakan teori konstruktivisme dan peneliti lain menggunakan teori kritis dan teori deskriptif. Dari kebanyakan peneliti terdahulu hanya membahas dalam iklan yang mengandung maskulinitas, dan dari film hanya satu peneliti. Oleh karena itu Peneliti ingin mengembangkan fokus penelitian maskulinitas dalam dunia film, dan menggunakan metode penelitian dengan cara Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan ialah mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki perbedaan antara Peneliti dengan peneliti lainnya adalah adanya perbedaan dari paradigma penelitian atau pendekatan penelitian. Dalam hal ini Peneliti menggunakan teori konstruktivisme dan peneliti lain menggunakan teori kritis dan teori deskriptif. Dari kebanyakan peneliti terdahulu hanya membahas dalam iklan yang mengandung maskulinitas, dan dari film hanya satu peneliti. Oleh karena itu Peneliti ingin mengembangkan fokus penelitian maskulinitas dalam dunia film, dan menggunakan metode penelitian dengan cara

Lalu dalam film The Godfather karya sutradara Francis Ford Coppola tersebut memilki peran penting laki – laki dalam hal kekeluargaan, dimana adanya di scene – scene film tersebut laki – laki mempunyai hal yang dingin untuk mengambil keputusan dalam hal ini menunjukan sifat maskulinitas. Hal ini terjadi dalam budaya Indonesia yang memiliki sistem budaya patriarki, sehingga dalam kekeluargaan laki – laki mempunyai dominan lebih tinggi dari pada perempuan.

2.2 Komunikasi Massa

Menurut kodratnya manusia sebagai mahluk sosial ( Zoon politicon ) atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal dan pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan.Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, memiliki dorongan ingin tahu, ingin maju dan berkembang, salah satu sarananya adalah komunikasi.

Komunikasi menurut James A.F.Stoner yang dikutip oleh A.W. Widjaja, meny ebutkan bahwa komunikasi adalah: “Proses di mana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan ”. (Widjaja, 1993:8).

Pendapat John R. Schemerhorn cs yang dikutip oleh A.W. Widjaja, menyatakan bahwa komunik asi itu dapat diartikan sebagai: “Proses antar pribadi dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka“. (Widjaja, 1993 : 8).

Lalu ilmu komunikasi menurut Berger dan Chaffe yang dikutip Wiryanto, menyebutkan bahwa ilmu komunikasi adalah : “Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahamu mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari symbol serta sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya.” (Wiryanto, 2004)

Komunikasi massa menurut Richard West dan Lynn H. Turner adalah “Komunikasi kepada khalayak luas dengan menggunakan media massa”. Lalu apa itu media massa? “Media massa adalah sebuah saluran – saluran atau cara pengiriman bagi pesan – pesan dengan menggunakan massa”. (West & Turner, 2008).

Dennis McQuail mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak orang serentak (Denis McQuail, 2011:32).

Proses komunikasi massa ada dua model proses komunikasi massa tersebut yaitu

a. Linear Process : komunikasi massa merupakan sebuah proses produksi dan penyampaian pesan kepada khalayak massa yang berlangsung satu arah atau linear . Contohnya ialah membaca koran.

b. Cultural Process : audiens berperan serta aktif dalam menafsirkan pesan mereka dapat memilah pesan, bahkan menolak pesan dari media massa yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka atau disebut juga selective exposure yaitu

dimana individu selalu mencari pesan yang memiliki hubungan dengan keyakinan, kepercayaan, nilai, budaya, dan minat mereka.

2.3 Media Massa

Media massa adalah “komunikasi dengan menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang seluas- luasnya”.

Dennis McQuail menyatakan “Komunikasi massa tak akan lepas dari massa, karena dalam komunikasi massa, penyampaian pesannya adalah melalui

media.” (McQuail 2005:3) Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai

pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

Ada berbagai jenis media massa, seperti:

a. Media Cetak ( Printed Media ): Surat kabar, Tabloid, Majalah.

b. Media Elektronik ( Electronic Media ): Radio, Televisi, Film/Video

c. Media Siber ( Cyber Media ) atau disebut juga Media Baru ( New Media) : Website, Portal Berita, Blog, Media Sosial.

2.4 Film

Media film tidak lepas dari perkembangan dari era elektronik yang dimana baru pertama kali dalam pertemuan teknologi telegraf pada tahun 1840. Banyak kontribusi telegraf untuk komunikasi seperti:

a. Membedakan komunikasi dari transportasi. Membuat berbagai macam pesan dapat diterima secara langsung tanpa harus bergantung pada moda transportasi lain.

b. Telegraf, bersamaan dengan berkembangnya surat kabar mulai merubah informasi menjadi komoditas.

c. Telegraf memudahkan kalangan militer, bisnis dan para pemimpin politik untuk berkoordinasi dengan pihak –pihak terkait, terlebih lagi setelah adanya instalasi kabel transatlantic pada tahun 1860-an

d. Telegraf merupakan awal mula dari perkembangan teknologi komunikasi, yang mengawali penemuan radio, mesin faksimili, dan telepon.

Pertama kali dikembangkan oleh Marconi pada tahun 1896, radio mulai berkembang menjadi sebuah bisnis yang sangat menguntungkan terutama pada tahun 1920. Pada saat itu radio menjadi satu media bagi masyarakat yang menyediakan berbagai berita dan hiburan, sehingga banyak produsen yang mulai memasang iklan mereka di radio. Pada abad ke 20, industri perfilman mulai berkembang. Masyarakat terutama di Amerika memiliki alternatif hiburan. Munculnya film dan radio merupakan pertanda awal kebangkitan era informasi. Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie ( pelesetan untuk frasa moving picture , ‘gambar bergerak’). Film, secara kolektif, sering disebut ‘sinema’. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk symbol - simbol dari hiburan, dan juga bisnis. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan simbol palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Pengertian film berdasarkan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. (Vera:2014)

Karakteristik film yang spesifik menurut (Vera, 2014), yaitu layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifkasi psikologis.

1. Layar yang luas/lebar, maksudnya kelebihan media film dibandingkan televisi adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film lebih berukuran besar atau luas. Dengan layar film yang luas, telah 1. Layar yang luas/lebar, maksudnya kelebihan media film dibandingkan televisi adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film lebih berukuran besar atau luas. Dengan layar film yang luas, telah

2. Pengambilan gambar pemandangan menyeluruh, dengan kelebihan film, yaitu layar yang besar, maka teknik pengambilan gambarnya pun dapat dilakukan dapat dilakukan atau dapat memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot. Pengambilan gambar yang seperti ini dapat memunculkan kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya.

3. Konsentrasi penuh. Karena kita menonton film di bioskop, tempat yang memilki ruangan kedap suara, maka pada saat kita menonon film, kita fokus pada alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya gangguan dari luar.

4. Identifikasi psikologis, konsentrasi penuh saat kita menonton di bioskop, tanpa kita sadari dapat membuat kita benar – benar menghayati apa yang ada di dalam film tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat kita secara tidak sadar menyamakan diri kita sebagai salah seorang pemeran dalam film tersebut. Menurut ilmu jiwa sosial, gejala seperti ini disebut sebagai identifikasi psikologis.

Film juga terdapat dua macam yaitu film dokumenter dan film fiksi. Masing – masing karakteristik memilki pengertian yang berbeda, seperti;

1. Film Dokumenter Film dokumenter menurut (Beaver, 2006) ialah sebuah film non-fiksi.

Film Dokumenter biasanya di- shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek –subyek seperti Film Dokumenter biasanya di- shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek –subyek seperti

2. Film Fiksi Film fiksi menurut (Bordwell, Thompson, & Smith, 2017) adalah

sebuah genre film yang mengisahkan cerita fiktif maupun narasi. Film cerita biasanya berkebalikan dengan film yang menyajikan informasi, seperti film dokumenter, begitupun beberapa film percobaan (seperti Wavelength oleh Michael Snow, Man with a Movie Camera oleh Dziga Vertov, atau film-film karya Chantal Akerman). Dalam beberapa contoh film dokumenter, bila nonfiksi, dapat menyajikan sebuah kisah.

Sejak kemunculan gaya klasik Hollywood di awal abad ke-20, film cerita yang biasanya dalam bentuk film utama telah mendominasi film komersial. Pembuatan film zaman dulu dan tak terlihat (sering disebut fiksi "realis") sering menjadi pusat definisi umum ini. Unsur kunci pembuatan film tak terlihat ini berada pada pengeditan berkelanjutan.

Sebelum masa ini, film akan termasuk catatan di awal yang menginformasikan pemirsa bahwa kejadian yang ditayangkan adalah fiktif dan jika ada kesamaan dengan peristiwa nyata, hanyalah bersifat "kebetulan belaka". Kini, film cenderung memasukkan catatan kalau tidak menayangkan kejadian fiktif, yang dapat "berdasar atas kisah nyata" atau beberapa ragamnya. Menurut (Vera, 2014), genre adalah klasifikasi tertentu pada sebuah film yang memiliki ciri tersendiri, dalam film fiksi atau film cerita. Genre film antara lain seperti berikut:

1. Film drama. Film drama adalah sebuah genre film yang sebagian besar tergantung pada pengembangan mendalam karakter realistis yang berurusan dengan tema emosional. Contoh dari film drama; “Citizen Kane” (1941), ”All About Eve” (1950), “Metropolis” (1927), “The Godfather” (1972).

2. Film laga ( action ). Film laga atau action adalah sebuah genre film yang satu atau beberapa tokohnya terlibat dalam tantangan yang memerlukan kekuatan fisik ataupun kemampuan khusus. Contoh

dari film laga; “Mad Max: Fury Road” (2015), “Wonder Woman” (2017), “Dunkirk” (2017), “Logan” (2017).

3. Film komedi. Film komedi merupakan genre film yang di mana penekanan utamanya pada humor. Contoh dari film komedi; “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part I” (2016), “Ghostbusters” (1984), “Get Out” (2017), “La La Land” (2016).

4. Film horor. Film horor adalah merupakan genre film yang berusaha untuk memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri dari penontonnya. Alur cerita film horor sering melibatkan tema – tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Contoh dari film horor; “It” (2017), “Keluarga Tak Kasat Mata” (2017), “ The Exocist” (1973), “Psycho” (1960).

5. Film animasi. Film animasi adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan menjadi gambar yang bergerak. Pada awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar – lembar kertas gambar yang kemudian di”putar” sehingga muncul efek gambar bergerak. Dengan bantuan komputer dan grafika komputer, pembuatan film menjadi lebih mudah dan cepat. Sekarang akhir – akhir ini lebih banyak memunculkan film animasi 3 dimensi daripada film 2 dimensi. Contih dari film animasi; “Toy Story”

(1995), “Battle of Surabaya” (2015), “Moana” (2016), “Coco” (2017).

6. Film fiksi ilmiah ( science fiction ). Film fiksi ilmiah atau science fiction adalah film yang menggunakan tema fiksi sains, yang dimana penggambaran fenomena berbasis ilmu pengetahuan yang belum tentu diterima pada oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, seperti bentuk kehidupan di luar bumi, dunia asing, persepsi akan ekstra-indrawi, dan perjalanan waktu. Film tersebut sering bersama dengan unsur dengan futuristik seperti, wahana, robot, cyborg , perjalanan ruang angkasa antarbintang, mahluk asing ( alien ), dan

teknologi lainnya. Contoh dari film fiksi ilmiah; “Star Wars: Episode IV – A New Hope” (1977), “Jurassic Park” (1993), “Terminator 2: Judgment Day” (1991), ‘The Day the Earth Stood Still” (1951).

7. Film musikal. Film musikal adalah genre film di mana lagu dinyanyikan oleh karakter terjalin ke dalam narasi, kadang – kadang disertai menari. Cont oh dari film musikal; “Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street” (2007), “Les Misérables” (2012), “La La Land” (2016), “Beauty and the Beast” (2017).

2.4.1 Perkembangan Film di Indonesia

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop- bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy , Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari. Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman

Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri.

Periode 1900 – 1942, merupakan era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda

G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic , Bandung. Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Periode 1942 – 1949 pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional. Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam. Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak Periode 1942 – 1949 pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional. Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam. Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak

Periode 1950 – 1962 terlahirlah Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya. Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole (sekarang bernama Metropole XXI), bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik)

Periode 1962 – 1965, era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, Periode 1962 – 1965, era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat,

Periode 1965 – 1970, era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.

Periode 1970 – 1991 merupakan teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape .

Periode 1991 – 1998, perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, Periode 1991 – 1998, perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta,

Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat. Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu ' Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.

Periode 1998 – sekarang, merupakan sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.

2.4.2 Film Gangster

Sejak awal perkembangan sinema di Amerika Serikat, elemen gangster telah muncul pada film – film pendek seperti “The Moonshiners” (1904) and “The Black Hand ” (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. “The Musketeers of Pig Alley” (1912) karya D.W Griffith serta “The Regeneration” (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film gangster berpengaruh yakni, “Dr. Mabuse , the Gambler Part I – The Great Gambler: A Picture of the Time dan Part II – Inferno: A Game for the People of our Age ” (1922 – 1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui “Underworld” (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering

dianggap sebagai film gangster “modern” pertama karena menggunakan tokoh gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, “The Racket ” (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster . Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film

gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster “bicara” pertama adalah “The Ligths of New York” (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota besar. Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre

gangster . Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi Besar ( Great Depression ) yang melanda Amerika Serikat mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota – kota besar. Juga

pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920 – 1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film – film pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920 – 1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film – film

Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, “Little Caesar” (1930), “The Public Enemy” (1931), serta “Scarface , The Shame of Nation ” (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist . “Little Caesar ” arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan

“The Public Enemy” , dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial

“Scarface” arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.

Adegan – adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film – film tersebut, terutama “Public Enemy” dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser “Public Enemy ” berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat jika kehidupan kriminal ( gangster ) penuh dengan glamour dan “kesenangan“. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus “Scarface” mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang

dinilai tidak pantas.

Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangster nya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam “G-Men” (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok gangster . Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film – film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam “Bullets or Ballots”

(1936). Dalam “Angels with Dirty Faces” (1938) yang dibintangi Cagney, mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang

bertolakbelakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.

Warner Bros yang sukses bersama Cagney kali ini mendapat lawan main sepadan dengan munculnya bintang baru yakni, Humprey Bogart. Bersama sutradara Raoul Walsh, dua aktor tersebut sukses dengan tiga film gangster yakni,

“The Roaring Twenties” (1939), “They Drive By Night” (1940), dan “High Sierra” (1941). Karir Bogart semakin meroket dengan beberapa film noir- nya

yang merupakan pengembangan dari genre gangster . Melalui film noir , genre gangster melunak dengan menitikberatkan pada aspek misteri pada plot serta pendekatan estetik yang khas. Film noir menjadi tren film kriminal hingga dekade

50-an. Bogart sukses dengan film – film noir seperti, “The Maltese Falcon” (1940) dan “The Big Sleep” (1946). Adapun film – film noir lainnya yang sukses seperti “Double Ind emnity” (1944), “The Asphalt Jungle” (1950), “The Big Heat”

(1953), hingga “The Third Man” (1959).

Selain film noir , genre gangster juga berkembang lebih variatif dengan film bertema penjara, “Each Dawn I Die” (1938), “Brute Force” (1947), “The Defiant Ones” , (1958) hingga yang paling sukses, “Cool Hand Luke” (1967).

Sineas besar Billy Wilder sukses menggabungkan genre komedi dan gangster melalui “Some Like It Hot” (1950) yang dibintangi aktris seksi, Marilyn Monroe.

Pada era ini adaptasi kisah nyata rupanya masih juga menjadi pilihan, seperti “Machine Gun Kelly” (1958), “Al Capone” (1959), dan “The St . Valentine Day Massacre (1967). Sementara film – film kriminal- gangster lain yang menonjol

sebelum era 70- an adalah “On the Waterfront” (1954) arahan Elia Kazan, “The Killing” (1956) arahan Stanley Kubrick, serta “Bonny and Clyde” (1967) arahan

Arthur Penn.

Pada era 70-an genre gangster kembali mengulangi masa jayanya melalui film-film kriminal-gangster yang sangat populer. Francis Ford Coppola menjadi motor dengan dua film gangster yang dianggap terbaik sepanjang masa yakni, “The Godfather” (1972) dan “The Godfather Part II” (1974). Film yang

mengisahkan keluarga Mafia Corleone tersebut sangat sukses baik komersil maupun kritik. Keduanya bahkan sama-sama mendapatkan Oscar untuk film terbaik. Pada era ini pula sineas spesialis gangster , Martin Scorcese mulai menarik perhatian pengamat melalui “Mean Street” (1973), lalu karya fenomenalnya, “Taxi Driver” (1976). Variasi gangster yang juga populer pada dekade ini yakni, “The French Connection” (1971) arahan John Frankenheimer

(mendapatkan Oscar untuk film terbaik), seri pertama si detektif keras, “Dirty Harry” (1971) yang dibintangi Clint Easwood, lalu film neo-noir “Chinatown” (1 974) arahan Roman Polanski, serta juga “Dog Day Afternoon” (1975) karya

Sidney Lumet.

Pada periode 80-an hingga era milenium baru beberapa sineas kawakan memproduksi beberapa film gangster berpengaruh. Martin Scorcese makin memantapkan posisinya sebagai spesialis gangster dengan film-filmnya yang