PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH REGISTER 22 WAY WAYA

(1)

ABSTRACT

THE PROMINENT ROLE OF INTEGRATED TEAM OF

PRINGSEWU REGENCY TO MAKE RESOLUTION IN THE LAND

CONFLICT OF REGISTER 22 WAY WAYA

By

SERLY YOVICA ANDAYANI

The land conflict is one of a complex and prolonged problems, that need to be solved optimally. In process of resolving land conflicts sometimes even feared the emergence of new conflicts that occur between parties in conflict, so it needs an active role of the party who has the authority in moving towards conflict resolution. According to that statement, the Integrated Team of Pringsewu Regency took measures as the competent authority in the conflict resolution process occurs in the Register land of The North Subdistrict Pagelaran of Pringsewu Regency.

To see how is the prominent role of Integrated Team Pringsewu Regency writer uses the expected role theory by Hendropuspio has state that to analysis this problem implementation in making resolution in the land conflict of Registers 22 Way Waya of The North Subdistrict Pagelaran of Pringsewu Regency. A descriptive qualitative research applied n the analysis, the approach using primary data and secondary data. The data collection techniques used are observation, interview and documentation,while in the data analyzing the writer used research qualitative method.


(2)

facilitating the task force team from the pre to the past conflict. Moreover, several steps have to be taken in order to resolve the conflict for observing the location of the conflict and concluding with agencies. As the result, the research shows that the role of the task force teams, one as the mediator and fasilitator for the parts of the conflict.


(3)

ABSTRAK

PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU

DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH

REGISTER 22 WAY WAYA

Oleh

SERLY YOVICA ANDAYANI

Konflik tanah tergolong salah satu permasalahan yang kompleks dan bersifat berkepanjangan, sehingga diperlukan penyelesaian yang optimal. Dalam proses penyelesaian konflik tanah terkadang justru dikhawatirkan timbulnya konflik-konflik baru yang terjadi di antara pihak yang berkonflik-konflik, sehingga perlu adanya peranan aktif dari pihak yang memiliki wewenang dan otoritas dalam menuju kearah penyelesaian konflik. Berdasarkan hal tersebut Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu bertindak sebagai pihak yang berwenang dalam proses penyelesaian konflik tanah Register yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu.

Untuk melihat bagaimana peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu penulis menggunakan teori expected role yang dikemukakan oleh Hendropuspio, teori ini menyebutkan bahwa dalam pelaksanaanya peranan menurut penilaian masyarakat. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian deskriptif menggunakan


(4)

dokumentasi, sedangkan pada analisis penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Tim Terpadu dalam proses meresolusi konflik tanah di Register 22 Way Waya adalah sebagai mediator-fasilitator bagi pihak yang berkonflik, hal ini telah relatif berjalan sesuai dengan tugasnya berdasarkan Keputusan Bupati No: B/ 126/ KPTS/I.01 / 2012 yaitu pada tugas point pertama dan kedua; mengidentifikasi penyebab konflik, dan peranan Tim dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan sesudah terjadi konflik. Langkah-langkah tindak lanjut yang diambil dalam proses penyelesaian konflik di antara pihak yang berkonflik adalah dengan melakukan peninjauan ke lokasi dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara kaya, menyimpan banyak kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kekayaan tersebut diharapkan dapat menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki tersebut adalah tanah. Seperti yang penulis ketahui bahwa tanah merupakan kebutuhan dasar dari kehidupan manusia, hampir dari semua kegiatan kehidupan manusia memerlukan tanah. Mengingat begitu pentingnya tanah bagi kehidupan, maka setiap orang akan berusaha untuk memiliki bahkan menguasainya. Adanya alasan tersebut maka dapat menimbulkan konflik mengenai pengelolaan tanah dan usaha untuk menguasai tanah di dalam masyarakat. Sementara konflik sendiri merupakan proses perubahan sosial yang tidak dapat dihindari dari masyarakat yang salah satunya adalah konflik dalam pengelolaan tanah.

Nur Fauzi (2002: 2) menyebutkan bahwa masalah pertanahan perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak sebab masalah ini mempunyai kerawanan sosial akibat tindak kekerasan yang sering ditimbulkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tanah sebagai


(6)

sumber daya langka yang tidak dapat diperbaharui bukan saja merupakan faktor produksi utama, melainkan juga simbol status atau bahkan simbol harga diri.

Mengingat konflik pertanahan tergolong sebagai suatu permasalahan yang kompleks dan sifatnya berkepanjangan, maka diperlukan penyelesaian yang optimal. Salah satunya adalah konflik tanah yang terjadi di Kabupaten Pringsewu Kecamatan Pagelaran Utara tepatnya di kawasan Tanah Register 22 Way Waya. Tanah yang dipersengketakan adalah tanah seluas 175 hektar yang diklaim oleh sebagaian masyarakat adalah tanah kompensasi. Sementara masayarakat yang berkonflik adalah masyarakat Pekon Madaraya, Pekon Sumber Bandung Pagelaran Utara, dan Masyarakat pembeli lahan.

Konflik yang terjadi di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu itu bermula dari proses kompensasi (tukar guling) lahan register dengan tanah marga pada tahun 1999, serta terbitnya Surat Keputusan (SK) Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (RI) No: 742/MENHUT-II/2009 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Lindung Kelompok Way Waya register 22, seluas 175 hektar yang terletak di wilayah Kecamatan Pagelaran sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsinya sebagai hutan lindung.

Salah seorang dari masyarakat yang terlibat dalam konflik ini, yaitu Dharsono mengaku memiliki lahan di wiliyah Madaray, menurut Dharsono tanah tersebut sebelumnya adalah wilayah register. Pada tahun 2001 Badan Panalogi Kehutanan Pusat membuat batas-batas di Register 22 Way Waya yang disusul dengan keluarnya SK Kementerian Kehutanan RI No:


(7)

742/MENHUT-II/2009, sehingga tanah miliknya berubah status menjadi tanah marga.

Masyarakat khususnya petani warga Pekon Madaraya tidak setuju dengan adanya kompensasi lahan itu dengan anggapan bahwa munculnya SK itu tidak melalui proses clean and clear. Mereka tidak merasa menikmati lahan hasil tukar guling karena diserahkan ke orang lain yang sejak awal tidak mengelola lahan tersebut oleh panitia kompensasi.

Keluarnya SK tersebut disinyalir karena adanya akta notaris yang berdasar pada akta jual beli (AJB) palsu dari tim kompensasi. Warga sendiri merasa tidak pernah menandatangani AJB. Warga yang tidak mengetahui lahan resmi yang didapat dari proses jual beli dan masuk lahan marga itu, ditukar guling dengan lahan di register 22. Selain itu, lahan kompensasi yang seluas 175 hektar sebagian dianggap berasal dari lahan warga yang dimasukkan untuk memenuhi kuota kompensasi. Hal ini membuat warga menuntut agar Menteri Kehutanan RI mencabut SK MENHUT Nomor 742 kembali, karena SK tersebut diduga terjadi penipuan kepada warga.

Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang saat itu menunggu tanggapan dari Kementerian Kehutanan RI terkait surat yang dilayangkan, surat tersebut dimaksudkan untuk meredistribusikan lahan kompensasi tersebut. Sementara fakta di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan dan menyebabkan konflik horizontal antar warga yang sama-sama mengklaim lahan di wilayah Register 22 Way Waya.


(8)

Terjadinya konflik yang dikhawatirkan menjadi kekerasan terkait erat dengan proses penyelesaian konflik pada awalnya dan hal ini terkait dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik. Pencegahan konflik diarahkan untuk menciptakan kondisi yang mendorong penyelesaian konflik secara dini dan meningkatkan kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sebelum berkembang menjadi kekerasan.

Terkait dengan hal itu sesuai dengan Asas Desentralisasi yaitu Penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri, Gubernur Lampung menyerahkan penyelesaian konflik tanah Register 22 ini sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten Pringsewu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 1 ayat 4 dan 5 menyatakan:

(4) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Pringsewu sesuai dengan salah satu fungsi Pemerintah yaitu fungsi regulasi yang menyebutkan bahwa pemerintah mengkondisikan masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian dan kesewenang-wenangan. Seiring dengan hal itu maka keluarlah Keputusan


(9)

Bupati Pringsewu No. B/126/KPTS/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu, Tim ini dibentuk khusus untuk meresolusi konflik yang telah terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sejauh ini Tim Terpadu sendiri telah melakukan beberapa tindakan dalam upaya resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya, diawali dengan memberlakukannya status quo terhadap tanah sengketa. Hal ini dilakukan guna menghindari konflik horizontal antar masyarakat. Meski dalam status quo, masyarakat yang masih menggarap lahan di Register 22 Way Waya masih diperkenankan melanjutkan aktivitasnya, dengan ketentuan tidak diperkenankan melakukan aktivitas jual beli ataupun mengalihkan status atas lahan di Register 22 Way Waya. Keputusan ini dilakukan sampai menunggu hasil keputusan Menteri Kehutanan.

Pada tahapan selanjutnya, Tim Terpadu mulai melakukan identifikasi kepemilikan lahan, masyarakat yang merasa memiliki lahan dipersilahkan untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan atas lahan. Warga di sekitar wilayah tersebut seperti Pekon Giritunggal dan Pekon Margosari diketahui sudah banyak yang ikut dalam program transmigrasi lokal ke Mesuji, sehingga secara administrasi mereka tidak berhak lagi menguasai lahan di tempat tingal semulanya, dengan begitu Tim Terpadu melakukan pendataan ulang guna menyelesaikan sengketa lahan di kawasan Register 22 Way Waya secara konfrehensif mengingat masih banyaknya warga yang merasa tidak mengikuti program transmigrasi lokal tersebut.


(10)

Peranan lainnya yang dilakukan Tim Terpadu adalah melakukan sosialisasi mengenai tapal batas di Register 22 Way Waya, sosialisasi ini selain dihadiri oleh masyarakat juga dihadiri oleh LSM SERTANI, kelompok dari Ma’mun (Ketua Kompensasi). Tim Terpadu bersama Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan penelusuran dengan turun lapangan untuk memastikan batas wilayah tanah kawasan dan memastikan patok yang hilang maupun yang telah berpindah di wilayah Pekon Madaraya guna mendapat data berupa perbatasan tanah kawasan dan tanah marga yang sebenarnya. Penelusuran ini dilakukan sesuai dengan dokumen serta bantuan alat khusus dari Dinas Kehutanan.

Perbedaan pemahaman mengenai status lahan yang beredar di masyarakat, bahwa lahan yang menjadi sengketa itu sebelumnya adalah lahan register, dan sebagian masyarakat menyebutkan bahwa sebagai tanah marga mebuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang didatangkan oleh Tim Terpadu ke lapangan memberi catatan bahwa harus diadakannya koordinasi antara Pemerintah Daerah ke Kementrian Kehutanan untuk merekonstruksi tapal batas dan identifikasi fisik lahan dengan maksud untuk memudahkan Tim Terpadu dalam mengidentifikasi antara lahan Register dan lahan warga.

Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh Tim Terpadu adalah Ketua Tim Kompensasi (Makmun) dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polsek Sukoharjo karena telah memalsukan akta jual beli yang dijadikan dasar kompensasi lahan Register 22 Way Waya seluas 175 hektar tersebut,


(11)

sehingga semakin jelas bahwa keluarnya SK 742 itu tidak melalui proses clean and clear. Hal itu juga didukung oleh pernyataan Kepala Bidang Intag Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bahwa SK 742 hanya menetapkan areal pengganti sebagai hutan tetap fungsi lindung, yang semestinya untuk dijadikan lahan kompensasi harus ada SK pelepasan dengan kewenangan dari Kementrian Kehutanan.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan yang didatangkan langsung oleh Tim Terpadu pada tanggal 25 Februari 2013 (Radar Tanggamus, 26 Februari 2013) guna menindaklanjuti adanya penyalahgunaan wewenang SK Menteri Kehutanan oleh panitia kompensasi, dan menjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Proses penukaran lahan sendiri menurutnya akan terjadi apabila tersedianya lahan pengganti dari penukaran. Sementara yang terjadi di Register 22 Waya Waya terkait penukaran lahan justru menimbulkan konflik antar masyarakat karena lahan kompensasi sebagian merupakan lahan warga, sehingga harus diidentifikasi secara mendalam antara lahan register dengan lahan marga.

Melihat dari fenomena yang ada, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana peranan yang dilakukan secara aktif oleh Tim Khusus Kabupaten Pringsewu, peniliti mencoba melihat peranan yang dilakukan Lembaga Pemerintah tersebut dalam kontribusinya sebagai Tim yang dibentuk langsung Pemkab Pringsewu dalam menanggapi fenomena terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan.


(12)

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah konflik yang melibatkan kelompok masyarakat diperlukan adanya penyelesaian dari pihak pemerintah yang berwenang untuk memberikan solusi terbaik dalam penyelesaiannya. Perumusan masalah yang akan dibahas

melalui penelitian ini adalah : “Bagaimanakah peranan yang dilakukan oleh

Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan dari Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam resolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran.

D. Manfaat Penelitian

1.Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Pemerintahan dalam mengkaji tentang konflik pengelolaan tanah register di Kabupaten Pringsewu.


(13)

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi dalam menyikapi kasus konflik horizontal antar masyarakat khususnya di bidang sengketa tanah di masa mendatang.


(14)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Peranan

1. Definisi Peranan

Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto 1989: 234). Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang atau kelompok. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Atas dasar tersebut Soekanto menyimpulkan bahwa sesuatu peranan mencakup paling sedikit tiga aspek, yaitu:

a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.


(15)

b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan jugan dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Menurut Abdulsyani (2007: 94) peranan adalah suatu perbuatan seseorang atau sekelompok orang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Pelaku peranan dikatakan berperan jika telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dengan masyarakat. Jika seseoarang mempunyai status tertentu dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya akan ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru.

Sedangkan, Abu Ahmadi (1982: 256) menyebutkan bahwa peranan dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Seseorang dapat memainkan fungsinya dengan menduduki jabatan tertentu.

Pengertian ini dikembangkan oleh paham interaksionis, karena lebih memperlihatkan konotasi aktif dinamis dari fenomena peranan. Seseorang dikatakan menjalankan peranannya manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peranan sosial.


(16)

Merujuk dari beberapa definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa peranan adalah suatu kegiatan yang di dalamnya meliputi status atau keberadaan seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya atau posisinya dalam suatu kelompok. Jika ditinjau dari sudut organisasi atau kelembagaan maka dapat disimpulkan bahwa peran adalah suatu kegiatan yang didalamnya mencakup hak-hak dan kewajiban yang dilaksanakan oleh sekelompok orang yang memiliki suatu posisi dalam suatu organisasi atau lembaga.

2. Konsep dan Teori Peranan

Narwoko (2006 : 159) peranan dinilai lebih banyak menunjukkan suatu proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya. Dalam pembahasan tentang aneka macam peranan yang melekat pada individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan adanya beberapa pertimbangan sehubungan dengan fungsinya, yaitu sebagai berikut:

a. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya. b. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu yang oleh

masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka harus telah terlebih dahulu terlatih dan mempunyai pendorong untuk melaksanakannya.

c. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu yang tak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana


(17)

diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan yang terlalu banyak dari kepentingan-kepentingan pribadinya.

d. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.

Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. (Sarbin & Allen, 1968 dalam www.freelist.com diakses tanggal 9 februari 2013). Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut. Sarbin dan Allen (1968) juga menyebutkan bahwa analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1. Ketentuan peranan, adalah pernyataan formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya.

2. Gambaran peranan, yaitu suatu gambaran tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya.


(18)

3. Harapan peranan, adalah harapan orang-orang terhadap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam menampilkan peranannya.

Menurut Narwoko peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah:

1. Memberi arahan pada proses sosialisasi;

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan;

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan

4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.

Sejalan dengan hal itu untuk melihat peranan dari Tim Terpadu, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Hendropuspio dalam Narwoko (2006: 160) dikatakan bahwa peranan sosial dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Peranan yang diharapkan (expencted roles)

Yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya dan peranan ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan.

Perana jenis ini antara lainperanan hakim, peranan protoler, diplomatik, dan sebagainya; dan

2. Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangan yang muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.

Menurut penulis terkait permasalahan dalam konflik tanah Register 22 Way Waya teori yang sesuai dan dirasa tepat untuk digunakan dalam pendekatan resolusi konflik adalah teori yang dikemukakan oleh Hendropuspio yaitu teori expected roles karena pelaksanaan peranan Tim Terpadu harus mendapatkan penilaian ideal dan menyeluruh dari


(19)

pihak yang bertikai dalam hal ini yaitu masyarakat Pekon Madaraya dan Sumber Bandung. Masyarakat menjadi instrumen penilaian yang utama dalam konflik ini sebab tugas pokok dan fungsi dari Tim Terpadu tersebut memang ditujukan untuk pemecahan masalah dan masyarakat adalah informan yang paling memahami akar permasalahan secara lebih mendalam, dengan demikian penilaian dari masyarakat merupakan sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh Tim Terpadu.

Sedangkan teori yang juga serupa dan memungkinkan untuk digunakan dalam penelitian ini adalah actual roles, yang lebih menekankan bagaimana peranan itu dijalankan dalam tataran pelaksanaan yang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada lokasi penelitian. Namun, penulis merasa bahwa teori actual roles justru berdampak pada lambatnya penyelesaian konflik dikarenakan pendekatan dalam teori ini lebih mengedepankan fleksibilitas dari penanganan konflik ini, sedangkan konflik horizontal yang terjadi sudah tergolong urgent untuk segera diselesaikan mengingat kondisi di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan, yang tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya konflik yang lebih serius seperti anarkisme pihak yang berkonflik. Pendekatan dalam teori actual roles seperti yang telah dikemukakan juga belum tentu dapat mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang berkonflik karena teori ini melihat kekurangan yang muncul dalam pelaksanaan resolusi konflik dapat dianggap wajar oleh masyarakat, hal ini jelas tidak sesuai


(20)

dengan fakta di lapangan yang penulis ketahui setelah pra riset dari penelitian ini.

B. Tinjauan Mengenai Pemerintah Daerah

1. Pengertian Pemerintah Daerah

Pengertian Pemerintah adalah Badan Eksekutif mulai dari Kepala Pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri) beserta pembantunya, Menteri-menteri dan seterusnya. Pengertian di atas merupakan pengertian pemerintahan dalam arti sempit. Dalam pelaksanaannya pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, melainkan membutuhkan pihak-pihak lain terutama dalam pelaksanaan pemerintah di daerah.

Menurut Pasal 1 dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah:

“Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkatnya sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.”

Menurut Harris dalam Nurcholis (2005 : 20) Pemerintahan Daerah adalah:

“unsur (turunan) pemerintahan daerah (localself-governance) yang

diselenggarakan oleh badan-badan yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan untuk mengambil kebijakan), tanggungjawab dan dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi.”


(21)

Berdasarkan penjelasan tersebut yang menggambarkan kapasitas pemerintahan daerah maka di dalam pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah bersama perangkatnya menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dengan mengadopsi dan mengakui supremasi pemerintahan nasional.

2. Wewenang Pemerintah Kabupaten

Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 21 menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah memiliki hal:

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. Memilih Pemimpin Daerah;

3. Mengelola Aparatur Daerah; 4. Mengelola kekayaan Daerah;

5. Memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya yang berada di daerah;

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik Luar Negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama (pasal 9 ayat 1).

Selanjutnya dalam pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;


(22)

5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah social; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan;

12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayaan administrasi umum pemrintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16. Urusan wajib lainnya diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

3. Fungsi Pemerintah

Menurut Rasjid menyebutkan beberapa mengenai fungsi dari Pemerintah, yaitu:

a. Fungsi Regulasi

Yaitu dimana dalam fungsi ini pemerintah mengkondisikan masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian dan kesewenang-wenangan. Pemerintah menjalankan fungsi pengaturan ini dengan dua jalan, yakni dengan peraturan ataua perundang-undangan dan yang kedua adalah mengadakan aparatur pengamanan. Dengan 2 kebijakan ini maka pemerintah dapat memaksimalkan fungsinya dengan baik.

b. Fungsi Pelayanan

Pada fungsi ini pemerintah akan memunculkan keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah rakyat. Dimana seperti yang diketahui bahwa setap warga negara menginginkan sebuah kesejahteraan di dalam kehudupan bernegara.

c. Fungsi Pemberdayaan

Fungsi ini dimaksudkan agar membina rakyat agar dapat mencapai kehidupan yang sentosa. Dengan mengoptimalkan segala potensi yang ada di wilayah atau daerah sebuah masyarakat. Membangkitkan perekonomian dan kesadaran berpolitik adalah salah satu jalan pemberdayaan masyarakat yang paling ampuh. (http://www.anneahira. com/fungsi-pemerintah.htm diakses pada 14 februari 2013)


(23)

Berdasarkan penjelasan mengenai fungsi pemerintah di atas, khususnya pada fungsi Regulasi atau pengaturan, maka dalam penelitian ini peneliti mencoba melihat peranan Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam menjalankan fungsi Regulasinya dengan membentuk Tim Terpadu dalam upaya resolusi konflik Register 22.

C. Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu

Tim Terpadu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tim yang dibentuk secara khusus yang bersifat ad hoc oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam upaya Resolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya. Sesuai dengan Keputusan Bupati Pringsewu No. B/126/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu, Tim ini diketuai oleh Firman Muntako selaku Asisten 1 Bidang Pemerintahan Kabupaten Pringsewu. Tim Terpadu ini beranggotakan:

1. Asisten Bidang Pemerintahan (Wakil Ketua);

2. Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu (Sekretaris);

3. Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pringsewu;

4. Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pringsewu;

5. Inspektur Kabupaten Pringsewu; 6. Staf Ahli Bupati Bidang Pemerintahan;

7. Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pringsewu;

8. Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsuwe;

9. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Kabupaten Pringsewu;

10.Kepala Kantor Pertahanan Nasional Kabupaten Tanggamus; 11.Camat Pagelaran;


(24)

12.Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pemangku Hutan Lindung Batu Tegi;

13.Kepala Bagian INTAG Dinas Kehutanan Provinsi Lampung; 14.Kepala Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu; 15.Kepala Pekon Giri Tunggal;

16.Kepala Pekon Sumber Bandung;

17.Staf Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu;

18.Ma’mun;

19.Tasirul Himam; 20.Firman (Blentung).

Tugas Tim Khusus yang juga dijelaskan dalam Keputusan Bupati Pringsewu No. B /126 /1. 01/2012 yaitu :

1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.

D. Tinjauan Mengenai Konflik

1. Pengertian Konflik

Pengertian konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya kesenjangan yang terjadi antara kedua belah pihak masyarakat di Desa Madaraya dan Sumber Bandung, dimana diantara keduanya telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hak kepemilikan tanah atas pengelolaan tanah kompensasi yang ada di tanah Register 22 Way Waya Kec. Pagelaran Utara. Peneliti mencoba untuk menjelaskan defenisi konflik dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagaimana konflik yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (1992: 149) dalam bukunya yang menyebutkan:


(25)

“Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.”

A Constantino, dan Christina Asickles Merchant dalam buku Ramlan Surbakti (1992: 8), mengatakan bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi.

Konflik banyak dipersepsi dan diperlakukan sebagai sebuah sumber bencana. Konflik banyak dipahami sebagai keadaan darurat yang tidak mengenakkan. Sedapat mungkin dihindari dan dicegah. Berbeda dengan pandangan tersebut, pendekatan kritis terhadap konflik lebih menempatkan konflik sebagai suatu relitas sosial dan merupakan bagian yang dibutuhkan dalam proses perubahan sosial. Konflik secara “anatomis” dipahami tidak hanya memiliki satu warna atau satu dimensi saja. Konflik memiliki banyak warna atau multidimensi (Dewi 200 : 6).

Dilihat dari pandangan beberapa ahli di atas maka penulis menyimpulkan bahwa konflik adalah sebuah proses yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, dimana masing-masing pihak mempersepsikan adanya interferensi dari pihak lain yang dinggap menghalangi jalan untuk mencapai sebuah tujuan. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat merasa tidak menemukan adanya kesepakatan. Konflik yang terjadi pada masyarakat Pekon Sumber Bandung, dan Madaraya sesungguhnya terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat yang berawal dari adanya perbedaan pendapat antara kedua belah pihak


(26)

masyarakat yang sama-sama merasa memiliki hak atas tanah yang dikelola di Pekon Sumber Bandung. Dari hal tersebut menimbulkan adanya persaingan diantara kedua belah pihak untuk sama-sama memperjuangkan hak atas tanah tersebut.

Berawal dari hal tersebut penulis menilai bahwa konflik tidak bisa dilihat dari hanya satu dimensi, melainkan sebagai kenyataan yang berdimensi banyak. Dimensi lain dari konflik yang jarang diperhatikan adalah “peluang” sekaligus “energi” bagi proses perubahan sosial. Oleh karena konflik merupakan energi (sumberdaya), maka ia senantiasa ada selama yang disebut masyarakat itu ada. Konflik tidak bisa dihilangkan karena akan bertentangan dengan sifat ilmiahnya, yang bisa dilakukan terhadap konflik hanya memahami, menghadapi, dan mengelolanya.

2. Sumber Konflik

Berdasarkan konsep konflik dapatlah dipahami bahwa pengertian konflik lebih banyak kepada perbedaan dan pertentangan kepentingan. Bagaimana konflik-konflik tersebut bisa timbul atau sering terjadi, hal yang menjadi sebuah pertanyaan yang mendasar, karena konflik sudah tentu memiliki sebab kemunculan seperti pepatah mengatakan tidak ada asap tanpa api, pernyataan tersebut yang kemudian sering dinamakan dengan “sumber konflik”.

Mark dan Snyder (1981: 75) dalam bukunya “Stabilitas dan Pengelolaan

Konflik”, menyatakan sumber konflik muncul karena kelangkaan posisi dan sumber-sumber (resources). Berbeda dengan sebelumnya, Maurice


(27)

Duverger (2003: 158 ) lebih cenderung melihat “faktor ideologi” sebagai penyebab konflik. Menurutnya “ideologi politik” yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi dapat menjadi landasan berfikir dan bergerak suatu organisasi dalam mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya, ideologi politik dapat menjadi penuntun, pendorong, dan pengendali perilaku dan tindakan politik suatu bangsa, partai politik, bahkan individu.

Penulis menyimpulkan bahwa sumber atau penyebab konflik dapat terjadi karena kelangkaan posisi dan semakin banyaknya ideologi yang ada dalam masyarakat sehingga timbulnya perbedaan asumsi, persepsi dan nilai-nilai yang ingin diterapkan.

3. Manajemen Konflik

Konflik merupakan unsur yang dibutuhkan untuk mengembangkan organisasi, jika organisasi ingin terus hidup dan tumbuh, karena konflik itu sendiri tumbuh dari sebuah kedinamisan manusia dan sulit untuk dihindari dalam proses kehidupannya. Seni dari manajemen konflik atau seni memimpin dalam situasi dan kondisi konflik sangatlah penting dan merupakan tugas yang paling berat dan paling sukar bagi mereka terutama bagi para pemimpin.

Perlunya dikembangkan seni mengelola konflik atau biasa sering disebut dengan Manajemen Konflik. Manajemen Konflik ini dilakukan bertujuan agar konflik yang akan, sedang, dan telah terjadi menjadi konflik yang sulit untuk diselesaikan dan merusak keberlangsungan organisasi,


(28)

melainkan justru organisasi mampu mengambil pelajaran atau menemukan inovasi baru dari adanya konflik tersebut.

Menurut Wirawan (2010:134), Manajemen Konflik dapat dijalankan dengan cara sebagai berikut :

a. Membuat standar-standar penilaian

b. Menemukan masalah-masalah controversial dan konflik-konflik c. Menganalisa situasi dan mengadakan evaluasi terhadap konflik d. Memiliki tindakan-tindakan yang tepat untuk melakukan koreksi

terhadap penyimpangan dan kesalahan-kesalahan.

Jika sikap yang berbeda, tujuan atau sasaran individu maupun kelompok yang tidak sama, dan segala macam perbedaanlainnya bisa diperbesar dan diperkuat sehingga menambah semakin kuatnya ketegangan, dan pergesekan atau friksi-friksi dan konflik-konflik dengan sendirinya akan menjadi semakin meruncing. Maka akan menjadi masalah yang cukup penting bagi pemimpin besar maupun kecil untuk menemukan teknik-teknik guna merangsang konflik secara interpersonal atau kelompok, atau bahkan sekaligus mengendalikannya, serta mampu menyelesaikan secara sistematis tanpa menimbulkan banyak korban dan kesusahan terhadap pihak lain.

4. Resolusi Konflik

Proses perdamaian merupakan serangkaian tindakan, pertemuan, aktivitas yang diambil oleh kelompok yang berkonflik dan orang di wilayah yang terkena imbasnya untuk menuju penyelesaian secara terbuka serta penerimaan secara sosial, ekonomi, politik dan akar-akar penyebab konflik yang melahirkan pertempuran. Proses perdamaian yang efektif akan


(29)

memperhitungkan dan menyentuh tujuh elemen: jender, generasi, politik, militer, ekonomi, budaya, social, nasional, batas-batas kewilayahan dan sumber daya alam. (Rachmadi, 2003).

Konflik tanah yang terjadi di Register 22 Way Waya juga perlu adanya resolusi konflik yang optimal, dengan hal itu peranan dari Tim Khusus yang dibentuk secara khusus untuk meberikan jalan penyelesaian terbaik atas konflik tersebut. Sepertiya halnya yang di sebutkan oleh Wirawan (2010: 177) menyatakan, resolusi adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik.

Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (self regulation) atau melalui intervensi pihak ketiga. Disini dengan adanya Tim Khusus diharapkan akan adanya keluaran konflik yang berujung penyelesaian yang memuaskan kedua pihak yang bersengketa dan tetap menjunjung adanya keadilan. Penulis menyimpulkan bahwa resolusi konflik merupakan suatu cara pengambilan kesepakatan atau kompromi untuk mencari keputusan dari konflik yang didasari prinsip win-win solution, dimana kelompok atau individu yang mengalami konflik dapat menemukan titik terang dalam penyelesaian konflik yang ada. Pada dasar nya dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa resolusi konflik sangat berperan dalam penyelesaian konflik yang ada.


(30)

a. Model Resolusi

Resolusi terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi sampai suatu organisasi/kelompok telah berkembang mencapai suatu titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar di dalam organisasi/kelompok terjadi dengan pasti. Tentunya dalam hal ini setiap konflik yang terjadi membutuhkan suatu model resolusi atau kesepakatan bersama dalam pemecahan konflik tersebut.

Wahyu M.S. (1988:162) dalam buku Harahap Abdul menjelaskan tentang model-model resolusi konflik, adapun model-model resolusi tersebut adalah:

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan :

a. Kami mengalah; b. Kami mendongkol; c. Kami ke luar;

d. Kami membentuk kelompok kami sendiri.

2. Subjugation atau Domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Majority Rule, artimya suara terbanyak yang ditentukan dengan

voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya majority ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.

4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.

5. Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah

6. Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai tercapainya suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.


(31)

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dapat simpulkan bahwa resolusi konflik adalah upaya yang mengarah kepada tercapainya suatu kesepakatan untuk mengakhiri sengketa antara pihak-pihak yang sedang terlibat dalam suatu pertentangan karena adanya perbedaan kepentingan dan kekuasaan, selain itu adanya beberapa model resolusi yang ada terdapat cara dan tahapan yang berbeda pula dalam setiap penyelesaiannya.

Melihat konflik yang ada di Kec. Pagelaran Utara ini menurut penulis konflik yang terjadi antar masyarkat ini membutuhkan penyelesaian yang optimal, maka dalam konflik ini model resolusi konflik yang diharapkan dapat terapkan yaitu model compromise dan integration mengingat model resolusi compromise sendiri merupakan penyelesaian yang melibatkan pihak - pihak yang berkonflik untuk mencari jalan tengah dalam penyelesaian konflik yang biasanya dengan dibuatnya perjanjian damai. Sedangkan model resolusi integration merupakan model penyelesaian yang paling dewasa karena dalam penyelesaian konflik ini tidak hanya selesai pada perjanjian damai, melainkan pemyampaian dan mendiskusikan pendapat-pendapat yang bertentangan, sehingga diharapakan tidak lagi ada dendam antar masyarakat yang berkonflik dan masyarakat dapat hidup berdampingan sebagaimana mestinya.


(32)

E. Tinjauan tentang Tanah

1. Definisi Tanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam

Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Tanah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap otang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat di atasnya. Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara-negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas pelekatan. Asas pelekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda/tanaman yang terdapat di atasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali ada kesepakatan lain dengan pihak lain (Supriadi 2007: 3).


(33)

2. Sumber Hukum Tanah Indonesia

Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini (Sihombing 2004: 55).

Sumber Hukum Tanah Indonesia (Sihombing 2004: 56) dikelompokkan menjadi:

a. Hukum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu: 1. Hukum Tanah Adat Masa Lampau 2. Hukum Tanah Adat Masa Kini b. Kebiasaan

c. Tanah-tanah Swapraja d. Tanah Partikelir e. Tanah Negara f. Tanah Garapan

g. Hukum Tanah Belanda h. Hukum Tanah Jepang, dll.

Sedikit penjelasan mengenai pembagian sumber hukum tanah di Indonesia, Tanah Garapan yaitu status tanah menduduki, mengerjakan dan atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu


(34)

dibangun sendiri atau tidak. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya tidak mengatur mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah garapan bukanlah status hak atas tanah. Menurut Sihombing, dalam peraturan perunadang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini, yaitu pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah (onwettige occupatie), sedangkan jenis tanah garapan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein), tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah, dan tanah garapan di atas tanah negara perorangan atau badan hukum swasta.

3. Konflik Tanah

Menurut Fauzi (2002: 43-45) konflik tanah terfokus pada pincangnya hak dan kewajiban atas tanah Warga Negara Indonesia. Ada beberapa hal dasar dalam pembangunan yang menyebabkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban masyarakat dalam pertanahan, yaitu:

a. Perubahan sistem pembangunan kehidupan ekonomi berupa peningkatan ekspor menjadi pembangunan ekonomi konsumtif. b. Sikap pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang selalu

memfasilitasi penyediaan tanah bagi pemodal, baik pemodal domestik maupun luar negeri.


(35)

c. Dualisme Undang-undang pertanahan, dimana UUPA bertentangan dengan UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Irigasi, UU Pokok Transmigrasi dan UU Pokok Kehutanan dan Perkebunan.

d. Pembangunan industri tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah penduduk.

Seiring dengan itu, Fauzi mengatakan bahwa konflik tanah yang terjadi di Indonesia pada dasarnya bersifat multi-dimensional. Dilihat dari aspek pemanfaatan tanah berdasarkan struktur pembangunan, konflik petanahan muncul hampir di semua sektor, mulai dari kehutanan, pertambangan industri, perkebunan sampai pariwisata. Dilihat dari level konflik, kasus/konflik pertanahan muncul baik pada level lokal maupun nasional. Dilihat dari arah konflik, masalah tersebut dapat melibatkan antara masyarakat dengan perusahaan, antar warga masyarakat maupun kombinasi dari ketiganya. Sementara dari segi tempat terjadinya, konflik pertanahan muncul hampir disetiap wilayah negeri ini.

Menurut Rusmadi Murad (dalam http://anggibuana.wordpress.com diakses tanggal 15 februari 2013), pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sengketa tanah merupakan konflik


(36)

antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan berbeda terhadap satu atau beberapa obyek Hak Atas Tanah.

Sedangkan Nasikun (1995:18), mengatakan bahwa para penganut pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan mengukuhkan Status Quo dari pola hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk mengubah atau merubah Status Quo dari pola hubungan-hubungan tersebut.

Melihat dari paparan beberapa ahli mengenai konflik tanah diatas maka penulis menyimpulkan bahwa konflik tanah adalah timbulnya perbedaan pendapat dari antar masyarakat mengenai pengelolaan atas kepemilikan atas tanah yang salah satunya dikarenakan adanya dualisme undang-undang pertanahan yang sama halnya dengan yang terjadi di tanah Register 22 Way Waya dimana kedua belah pihak yang berkonflik sama-sama memiliki akta dan sertifikat tanah yang berbeda.

F. Kerangka Pikir

Mengingat konflik tanah Register merupakan salah satu dari permasalahan yang tergolong kompleks, terutama melibatkan banyak kepentingan, maka diperlukan suatu penyelesaian yang optimal, sehingga diharapkan tidak


(37)

menimbulkan konflik-konflik baru di masa mendatang. Proses penyelesaian tersebut dapat diupayakan dengan melibatkan pihak ketiga yang memiliki otoritas dan kewenangan yang mendukung ke arah penyelesaian, sehingga memungkinkan tumbuhnya pola-pola diskusi antara pihak yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan bersama.

Berkaitan dengan resolusi konflik tersebut, khususnya pada proses resolusi konflik tanah Register yang melibatkan kepentingan masyarakat banyak, maka keluarlah Keputusan Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 yaitu dibentuknya Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu sebagai Organisasi bentukan Pemerintah menjadi pihak yang diharapkan dapat mewakili Pemerintah Kabupaten dalam penyelesaian konflik. Tim Terpadu sendiri memiliki tugas:

1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap laha Ekas Register 22 Way Waya.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Hendropuspio yaitu expected roles untuk dijadikan ladasan perbandingan dengan fakta yang ada, dengan alasan mengingat teori ini menyebutkan bahwa pelaksanaan peranan Tim Terpadu mendapat penilaian ideal dan menyeluruh dari masyarakat sebagai instrumen penilaian utama dan dilihat dari tugas pokok dari Tim Terpadu ditujukan untuk pemecahan masalah yang ada di masyarakat, sehingga penilaian masyarakat merupakan


(38)

sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Kemampuan dari Tim Terpadu dapat dilihat melalui penilaian tersebut dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya dan dapat dilihat dengan menggunakan keluaran model resolusi yang diterapkan oleh Tim Terpadu.

Berdasarkan kerangka pikir tersebut maka dapat dibuat bagan kerangka pikir penelitian sebagai berikut:


(39)

35 Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir

Konflik tanah Register 22 Way Waya

Tugas Tim Khusus dalam Kep. Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 : 1. Menginventarisasi, mengidentifikasi

masalah-masalah

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan

Proses : 1. Mengumpulkan

data. 2. Melakukan

Koordinasi kepada Pihak yang terlibat 3. Mengikuti semua

pelaksanaan sampai dengan tercapainya keamanan, ketertiban, dan kenyamanan. Teori expected roles

Resolusi konflik

Kemampuan Tim Khusus Penyelesaian Register 22 Way Waya dalam resolusi konflik tanah di tanah Register 22 Kab. Pringsewu


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana Peranan Tim Terpadu yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu terhadap konflik yang terjadi di tanah Register 22 Way Waya. sehingga tergolong kedalam penelitian deskriptif. Penelitian ini tergolong ke dalam tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendskripsikan secara terperinci tentang fenomena sosial tertentu dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis, sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagimana adanya (Bruce A Chadwick, 1991: 63)

Peneliti tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena metode analisis deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan variabel yang akan diteliti. Adapun variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah peranan, yaitu peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi konflik tanah Register di Kecamatan Pagelaran Utara


(41)

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan hal yang penting apabila kita melakukan sebuah penelitian. Melalui fokus penelitian, kita dapat membatasi studi untuk memandu dan mengarahkan jalannya penelitian, karena adanya fokus penelitian seorang peneliti akan mudah terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Selain itu, antara masalah dan fokus penelitian akan saling terkait, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan bagi fokus penelitian meskipun fokus dapat berubah dan berkurang berdasarkan data yang ditemukan di lapangan.

Memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang kemanfaatannya sebagai reduksi data yang diantisipasi. Ini merupakan bentuk pra analisis yang mengesampingkan variabel-varibel dan yang memperhatikan lainnya. Dengan adanya pemfokusan, akan menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah (Nazir 1983 : 30).

Dalam penelitian ini yang dijadikan fokus oleh penulis adalah Peranan Tim Terpadu dalam menyelesaikan konflik dengan menjalankan tugasnya sesuai dengan Keputusan Bupati No. B/126/KPTS/I.01/2012 yaitu:

1. Mengumpulkan data tentang konflik tanah di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu, mengidentifikasi masalah penyebab terjadinya konflik di Way Waya. Penulis memfokuskan bagaimana proses pengumpulan data sampai bagaimana mengidentifikasi masalah dan


(42)

sampai menemukan penyebab masalah yang terjadi di Register 22 Way Waya;

2. Peranan Tim Terpadu dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan sesudah terjadi konflik di Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu. Menyelesaikan penyerahan wewenang dari Pemerintah Daerah kepada Tim Terpadu dalam penyelesaian masalah atau resolusi konflik terkait perluasan lahan kepada yang berhak karena adanya kesalahan batas wilayah kompensasi di tanah Register 22 Way Waya; 3. Menetapkan jatah proporsional hasil panen dari lahan garapan bagi

penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.

Selain itu yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah kesesuaian antara teori expected roles dengan peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu sesuai dengan tugasnya, yaitu dengan melihat penilaian ideal dan menyeluruh dari masyarakat sebagai instrumen penilaian yang utama dalam meresolusi konflik yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara.

Informasi yang didapat tidak hanya dari masyarakat yang terlibat konflik dan tokoh masyarakat pekon saja, namun juga informasi diperoleh dari Tim Terpadu penyelesaian konflik tanah Register 22 Way Waya. Informasi yang didapat dari masyarakat merupakan bentuk penilaian sesuai yang dikehendaki oleh masyarakat dalam melihat kemampuan dari Tim Terpadu Penyelesaian konflik dalam meresolusi konflik tanah Register 22 Way Waya.


(43)

C. Lokasi Penelitian

Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposive atau berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan tujuan penelitian. Purposive adalah penentuan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Pada penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di Pekon Sumber Bandung dan Madaraya Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu. Adapun alasan penentuan lokasi ini adalah disesuaikan dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui peranan Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya yang berada di Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu.

D.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana informasi dapat diperoleh. Pengambilan informasi dipilih secara purposive sampling yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap berdasarkan penilaian tertentu mewakili populasi. Informan yang dipilih adalah mereka yang bersedia memberikan dan memiliki pengalaman atau pernah terlibat dalam proses penyelesaian.

Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat pekon. Pemilihan informan sendiri dilihat dari mereka yang mengetahui atau terlibat secara langsung dalam konflik maupun dalam


(44)

penyelesaian konflik dan dianggap mewakili dari pihak masyarakat. Selain itu, untuk mendukung data yang ada, informan penelitian ini juga berasal dari Tim Terpadu selaku informan pendukung sebagai penilaian objektif mengingat Tim Terpadu merupakan objek dari penelitian ini.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari keterangan yang sesungguhnya terjadi dalam praktek. Untuk mendapatkan data primer, peneliti melakukan wawancara dengan informan. Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan informan hal ini adalah mereka yang terlibat dalam konflik dan mereka yang memilki peranan dalam membantu proses resolusi konflik tanah register di Kabupaten Tanggamus. Dalam hal ini, data primer diperoleh dari masyarakat dan tokoh masyarakat Pekon Madaraya dan Pekon Sumber Bandung, selain itu data primer juga diperkuat dengan informan pendukung yaitu Tim Terpadu Penyelesaian masalah tanah Register 22 Way Waya.

Atas dasar itulah maka peneliti menetapkan sebanyak 12 orang informan sebagai sumber informasi guna mengumpulkan data dalam penelitian ini, yang menjadi informan terdiri dari 8 orang masyarakat sebagai informan utama dan 4 orang mewakili Tim Terpadu sebagai informan pendukung.


(45)

Tabel 1. Data Informan

No Nama Informan Jabatan Waktu Wawancara 1 A. Khusaeri Mayarakat Pekon

Sumber Bandung dan

pernah menjabat

sebagai Kepala Pekon Sumberbandung

Pada hari Selasa 28 Mei 2013 pukul 19.15

2 Ridwan Masyarakat

sekaligus Carig Pekon Sumber Bandung

Pada hari Selasa 28 Mei 2013 pukul 09.54 3 Khusni Masyarakat Pekon

Sumber Bandung

Pada hari selasa 28 Mei 2013 pukul 15.16 4 Asnata Masyarakat Pekon

Sumber Bandung

Pada hari kamis 30 Mei 2013 pukul 19.38 5 Marzuki Masyarakat Pekon

Sumber Bandung

Pada hari sabtu 1 Juni 2013 pukul 13.20 6 Sobirin Masyarakat

sekaligus Carig Pekon Madaraya

Pada hari Senin 27 Mei 2013 pukul 14.45 7 Hj. Tasmilah Masyarakat Pekon

Madaraya

Pada hari senin 27 Mei 2013 pukul 15.29 8 M. Saleh Masyarakat

sekaligus Kepala

Dusun II Pekon

Madaraya

Pada hari rabu 29 Mei 2013 pukul 18.18

9 Firman Muntako Asisten I Bidang Pemerintahan Kab. Pringsewu (Ketua Tim Terpadu)

Pada hari kamis 30 Mei 2013 pukul 11.15

10 Tira Paraniba Sangjaya, S.H

Wakil Kepala Kesbangpolda

Pringsewu (Anggota Tim Terpadu)

Pada hari kamis 30 Mei 2013 pukul

13.17 11 Ir. Y. Ruchyansyah Kepala Unit

Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pemangku Hutan Lindung Batu Tegi (Anggota Tim Terpadu)

Pada hari senin 3 Juni 2013 pukul

10.15

12 Drs. Junaidi Camat Pagelaran Utara (Anggota Tim Terpadu)

Pada hari kamis 29 Mei 2013 pukul 08.40


(46)

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan telaah dokumen, yang didapat secara tertulis dari Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, pemberitaan di surat kabar, serta arsip-arsip pengaduan yang disampaikan kepada Tim Terpadu, arsip-arsip pekon yang berkaitan dengan penelitian ini.

Berikut merupakan daftar arsip-arsip atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini:

Tabel 2: Arsip- arsip yang berkaitan dengan penelitian No Arsip – arsip Substansi

1 SK Menteri Kehutanan No: 742/ MENHUT-II/2009

Berisi mengenai penetapan 175 hektar yang berada di kawasan Register 22 Way Waya sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung.

2 SK Bupati Pringsewu NO: B/ 126/ KPTS/ I.01/ 2012

Berisi mengenai pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian tanah eks Register 22 Way waya

3 Surat dari Kementrian Kehutanan No: 230/ VII- KUH/ 2013

Berisi mengenai tanggapan atas lahan tukar menukar kawasan hutan seluas 175 hektar (yang dikompensasikan)

4 Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu No 12 tahun 2012

Berisi mengenai pembentukan Kecamatan Pagelaran Utara 5 Profil Desa Perisi mengenai informasi

keadaan Pekon Sumber Bandung 6 Berita Acara hasil pekerjaan

pembuatan batas kawasan hutan lindung

Berisi mengenai hasil pekerjaan pembuatan batas kawasan hutan lindung reguster 22 yang berasal dari areal pengganti kawasan hutan.

7 Surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung No: 522/ 1276/ III.16/ 2008

Berisi mengenai Evaluasi pemanfaatan kawasan hutan. Sumber : Olah data, Juni 2013


(47)

E. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Teknik ini digunakan untuk mengamati objek penelitian langsung serta meninjau lokasi yang menjadi objek penelitian, dalam teknik atau kegiatan ini dilakukan juga kegiatan pencatatan tentang hasil pengamatan, gejala-gejala bagaimana peranan Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu. Peneliti melakukan pengamatan secara langsung dan melakukan pencatatan data atau informasi secara sistematis terhadap objek penelitian.

2. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data melalui percakapan langsung dengan informan. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Sugiyono, 2003 : 157). Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab langsung antara pewawancara dan informan dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara (Interview Guide) yang berdasarkan pada daftar pertanyaan diajukan kepada Tim Terpadu, Tokoh Masyarakat dan masyarakat yang terlibat dalam proses resolusi konflik tanah Register 22,


(48)

dengan maksud untuk mendapat kejelasan mengenai peranan Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam membantu menyelesaikan permasalahan pengelolaan tanah Register di Kabupaten Pringsewu.

3. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan mengkaji dan mempelajari informasi dari data yang diperoleh dari berbagai literatur yang mendukung penelitian.

F. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Tahap Editing

Yaitu cara yang digunakan untuk meneliti kembali data yang telah diperoleh di lapangan baik yang melalui wawancara maupun dokumentasi guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Tehnik editing data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyalin ulang hasil dari wawancara dengan informan yang berupa data mentah yang berkaitan dengan peranan dari Tim Terpadu dalam meresolusi konflik ke dalam bentuk tulisan dan berupa lampiran dalam penelitian ini.


(49)

2. Tahap Interpretasi

Yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian untuk dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diperoleh dengan data lain. Adapun proses interpretasi atas hasil penelitian dalam skripsi ini berupa menghubungkan hasil akhir dari wawancara terhadap informan dengan tinjauan pustaka yang ada pada bab 2 dalam skripsi ini.

G. Teknik Analisis Data

Analisa data betujuan untuk menyedehanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa data dengan cara memaparkan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti. Untuk mengolah dan mendeskripsikan data agar lebih bermakna dan mudah dipahami maka digunakan prosedur analisa data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992), adapun prosedur analisa datanya sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang mengacu dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data


(50)

merupakan suatu bentuk analisa data yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasikan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam hal ini, adalah dimana data yang berhasil didapatkan, baik berupa hasil wawancara maupun dokumentasi yang kemudian diklasifikasikan dan dikelompokkan sedemikian rupa sehingga semakin mempertajam dan memperjelas serta mendukung penelitian.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan usaha menampilkan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Kecenderungan kognitifnya, akan menyederhanakan informasi yang komplek ke dalam bentuk yang disederhanakan dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami.

3. Menarik Kesimpulan

Dari singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Langkah-langkah yang dilakukan adalah pemahaman-pemahaman yang telah ditampilkan kemudian didukung oleh data yang memperkuat kebenarannya berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian.


(51)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Terbentuknya Kecamatan Pagelaran Utara

Kecamatan Pagelaran Utara merupakan Kecamatan yang baru terbentuk pada tanggal 30 Agustus tahun 2012. Kecamatan ini terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor : 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Kecamatan Pagelaran Utara di Kabupaten Pringsewu. Berlandaskan Peraturan Daerah ini maka dibentuk Kecamatan Pagelaran Utara di wilayah Kabupaten Pringsewu. Kecamatan Pagelaran Utara sendiri berasal dari sebagian wilayah Kecamatan Pagelaran yang terdiri atas cakupan wilayah:

1. Pekon Fajar Baru; 2. Pekon Kamilin; 3. Pekon Neglasari; 4. Pekon Mulia; 5. Pekon Margosari; 6. Pekon Giri Tunggal; 7. Pekon Sumber Bandung; 8. Pekon Madaraya;

9. Pekon Way Kunyir; dan 10.Pekon Gunung Raya.

Kecamatan Pagelaran Utara mempunyai batas-batas wilayah:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah;

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Banyumas Kabupaten Pringsewu;


(52)

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu dan Kabupaten Tanggamus; dan

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.

Ibu Kota Kecamatan Pagelaran Utara berkedudukan di Pekon Fajar Mulia.

B. Gambaran Umum Pekon Sumber Bandung 1. Sejarah Berdirinya Pekon Sumber Bandung

Pada tahun 1960, sekelompok penduduk dari Desa Tangkit sedang melakukan pembukaan lahan pertanian dengan mengadakan penebangan hutan di wilayah tepian sungai Way Waya dan menetap di sana. Seiring dengan pertambahan penduduk dan jauhnya desa induk (Tangkit Serdang), maka pada tahun 1967 di wilayah yang diberi nama Sumber Bandung tersebut membentuk pemerintahan sendiri yang dipimpin Kepala Desa yang pertama bernama Bp. M. Hojali (alm) yang terdiri atas tiga dusun yaitu: Sumber Bandung, Menggeh, dan Suka Damai.

Tahun 1982 wilayah dari Pekon Sumber Bandung bertambah dari pecahan wilayah Banjar Agung Ilir sehingga menjadi 7 Dusun. Program transmigrasi lokal saat itu dikarenakan wilayah induk masuk dalam kawasan register 22 reboisasi, penduduk sebagian besar ditranslokkan yaitu pada tahun 1982.

Tahun 1997 diadakan Pilkades dan saat itu Sumber Bandung dipimpin oleh Kades ke-2 yaitu bapak Jaya Ahyar yang memerintah selama 8 tahun, karena Pekon Madaraya memisahkan diri menjadi Pekon sendiri (pemekaran pekon). Seiring dengan berjalannya waktu dusun yang ada di


(53)

Pekon Sumber Bandung saat ini hanya 3dusun, yaitu Dusun Sinar Baru, Dusun Way Waya, dan Dusun Suka Rendah.

Kepala Pekon di Sumber Bandung sebagai berikut:

Tabel 3: Daftar nama Kepala Pekon Sumber Bandung No Nama Kepala Pekon Tahun Memerintah 1 Alm. M. Hojali 1967 – 1996

2 Jaya Ahyar 1997 – 2005

3 Ahmad Khusaeri 2005 – 2012

4 Haryadi 2012 – sekarang

Sumber : Demografi Pekon Sumber Bandung, 2012

2. Letak Geografis

Secara administratif Pekon Sumber Bandung berbatasan dengan: a. Sebelah Utara : Register 22 Way Waya

b. Sebelah Selatan : Pekon Neglasari, Kec. Pagelaran c. Sebelah Barat : Pekon Neglasari, Kec. Pagelaran

d. Sebelah Timur : Pekon Neglasari dan Madaraya, Kec. Pagelaran


(54)

Luas Wilayah Pekon Sumber Bandung sendiri yaitu: Tabel 4: Luas wilayah Pekon

Pemukiman 30 ha

Pertanian Sawah 15 ha

Ladang / tegalan 25 ha

Hutan 3.852 ha

Perkantoran 1 ha

Sekolah 1 ha

Jalan 168 Km

Lapangan sepak bola ¾ ha Sumber : Demografi Pekon Sumber Bandung, 2012

Pekon Sumber Bandung sendiri memiliki potensi pertanian yang cukup baik terutama pada beberapa jenis tanaman mengingat luas hutan yang masuk dalam wilayah Pekon Sumber Bandung cukup luas. Adapun jenis tanaman yang berpotensi di Pekon Sumber Bandung yaitu:

1. Padi sawah : 15 ha 2. Padi ladang : 25 ha 3. Kakao / Coklat : 170 ha 4. Sawit : 75 ha

5. Kelapa : 5 ha

6. Kopi : 1.073 ha

Jumlah penduduk Pekon Sumber Bandung adalah 1.745 jiwa dari 865 orang laki-laki dan 880 perempuan, dengan jumlah kepala keluarga 349 KK. Penduduk Pekon sendiri berasal dari penduduk asli keturunan Sunda


(55)

dan penduduk pendatang keturunan Lampung. Mata pencaharian penduduk yaitu sebagai petani, pedagang, guru, buruh tani, dan swasta.

3. Organisasi Pemerintahan Pekon

Struktur organisasi pemerintahan Pekon Sumber Bandung terdiri dari: a. Kepala Pekon

Kepala Pekon merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan pekon berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Hippun Pemekonan (BHP), dengan kata lain bahwa kepala pekon merupakan pemimpin lembaga eksekutif pekon yang dibantu oleh para perangkat pekon yang telah dibentuk oleh kepala pekon tersebut untuk membantu menjalankan tugas-tugas kepala pekon.

b. Sekertaris Pekon

Sekertaris Pekon adalah unsur staf yang dipimpin oleh seorang Sekertaris Pekon dan bertanggung jawab kepada Kepala Pekon, dalam rangka membantu Kepala Pekon dibidang administrasi dalam melakukan tugas pokok penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pembinaan administrasi serta memberikan pelayanan teknis maupun administratif kepada masyarakat dan instansi lainnya di tingkat pekon.

c. Kepala Urusan (Kaur) Pekon

Kedudukannya yaitu sebagai unsur pembantu sekertaris pekon dalam bidang tugasnya. Tugas utama dari Kaur sendiri yaitu menjalankan kegiatan-kesgiatan dari sekertariat dalam bidang tugasnya masing-masing tiap Kaur.


(56)

1. Kepala Urusan Pemerintahan

Yaitu unsur pembantu sekertaris pekon di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada kepala pekon melalui sekertaris pekon.

2. Kepala Urusan Umum

Yaitu unsur pembantu sekertaris pekon dibidang pelayanan umum pemerintahan yang bertanggung jawab kepada kepala pekon melalui sekertaris pekon.

3. Kepala Urusan Pembangunan

Yaitu unsur pembantu sekertaris pekon di bidang pelaksaan pembangunan yang bertanggung jawab kepada kepala pekon melalui sekertaris pekon.

4. Kepala Urusan Kesra

Yaitu unsur pembantu sekertaris pekon di bidang penyelenggaraan kesejahteraan yang bertanggung jawab kepada kepala pekon melalui sekertaris pekon.

5. Kepala Urusan Keuangan

Yaitu unsur pembantu sekertaris pekon di bidang penyelenggaraan administrasi keuangan yang bertanggung jawab kepada kepala pekon melalui sekertaris pekon.

d. Kepala Dusun

Kepala Dusun berkedudukan sebagai perangkat pembantu kepala pekon dan unsur penyelenggaraan pemerintah pekon di wilayah dusun.


(57)

Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Pekon Sumber Bandung. Sumber: Demografi Pekon Sumber Bandung, 2012

Kepala Pekon Haryadi

Sekertaris Pekon Ridwan

Kaur Pemerintahan Kaur Umum

Kaur Kesra

Kaur Pembangunan

Kaur Keuangan

Nurdin Ahmad S Karna Abdullah Karsim

Kadus 1 Sinar Baru

Kadus II Way Waya

Kadus III Suka Rendah

Alang Soleh Anhar

MASYARAKAT BHP

& LPM


(58)

4. Visi dan Misi Pekon Sumber Bandung

Demokratisasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi dari masyarakat melalui Badan Hippun Pemekonan dan Lembaga Kemasyarakatan yang ada sebagai mitra Pemerintahan Desa / Pekon yang mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa sehingga diharapkan adanya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan seyogyanya benar-benar berdasarkan pada prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat dengan harapan secara bertahap Pekon dapat mengalami kemajuan.

a. Visi Pekon Sumber Bandung

Visi dari Pekon Sumber Bandung yaitu “Pada Tahun 2015 Pekon Sumber Bnadung dapat menikmati penerangan, masyarakat aman dan sejahtera”.

Rumusan visi tersebut merupakan suatu ungkapan dari suatu ungkapan niat yang luhur untuk memperbaiki dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan di Pekon Sumber Bandung baik secara individu maupun kelembagaan sehingga 5 (lima)


(59)

tahun kedepan Pekon Sumber Bandung mengalami suatu perubahan yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dilihat dari segi ekonomi dengan dilandasi semangat kebersamaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan.

b. Misi Pekon Sumber Bandung

1. Peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan pekon kepada masyarakat;

2. Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana umum strategis dalam menunjang penghidupan dan ketahanan ekonomi masyarakat; dan 3. Peningkatan peran aktif masyarakat di dalam proses perencanaan

maupun pelaksanaan pembangunan sumber daya manusia dan stabilitas keamanan ketertiban masyarakat.


(60)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Sesuai uraian terkait peranan Tim Terpadu dalam meresolusi konflik tanah Register 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara maka dapat diberi simpulan dan saran sebagai berikut:

A. Simpulan

1. Terjadinya sengketa tanah di antara masyarakat Pekon Sumber Bandung, Pekon Madaraya dengan masyarakat pembeli lahan dan Tim Kompensasi lahan dikarenakan mayoritas petani penggarap awal banyak yang tidak memiliki bukti fisik dan bukti yuridis yang medukung status pengelolaan lahan oleh mereka, sementara Tim Kompensasi merasa memiliki kekuatan hukum atas pengelolaan lahan tersebut dengan adanya SK No: 742/MENHUT-II/2009 namun SK tersebut disinyalir tidak sesuai sebagaimana mestinya.

2. Peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu dengan melaksanakan tugasnya sesuai SK Bupati pada point pertama dan kedua dalam menginventarisasi, mengidentifikasi masalah, memfasilitasi pertemuan kedua pihak yang berkonflik relatif sudah berjalan sesuai dengan tugasnya.


(61)

3. Langkah – langkah tindak lanjut penyelesaian yang dilakukan dalam proses penyelesaian konflik di antara kedua belah pihak yang bersengketa adalah dengan memfasilitasi, memediasi, meninjau lapangan, serta koordinasi dengan instansi terkait.

B. Saran

1. Pemerintah Daerah Pringsewu dan Pemerintah Daerah lainnya yang ada di Provinsi Lampung diharapakan dapat mengantisipasi terjadinya konflik pertanahan dengan menertibkan masyarakat yang menggarap lahan kawasan tanpa meiliki izin resmi, tidak hanya tu Pemerintah juga diharapakn dapat berpegang pada peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Pertanahan. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi konflik serupa, yang dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang mengatur tentang sengeta dan kepemilikan / pengelolaan lahan yang resmi. 2. Tim Terpadu bersama-sama instansi terkait khususnya BPN diharapkan

dapat lebih memperketat pengawasan terhadap jalannya proses pengajuan perubahan status tanah yang melibatkan status tanah kawasan dan kehidupan masyarakat terutama yang termasuk dalam skala besar, baik untuk kepentingan swasta maupun untuk kepentingan umum. Hal ini patut diperhatikan karena pada beberapa kasus pertanahan yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh faktor ketidak jelasan status hukum tanah dan kurang memperhatikan hak adat atau hak perorangan masyarakat banyak.


(62)

3. Untuk kedepannya dalam penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan kepentingan masyarakat luas disarankan agar selalu mengedepankan pola-pola penyelesaian melalui jalur musyawarah mufakat dan bersikap lebih tegas dengan memberikan sanksi baik denda ataupun pidana kepada pihak yang menguntungkan kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu.


(1)

tahun kedepan Pekon Sumber Bandung mengalami suatu perubahan yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dilihat dari segi ekonomi dengan dilandasi semangat kebersamaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan.

b. Misi Pekon Sumber Bandung

1. Peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan pekon kepada masyarakat;

2. Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana umum strategis dalam menunjang penghidupan dan ketahanan ekonomi masyarakat; dan 3. Peningkatan peran aktif masyarakat di dalam proses perencanaan

maupun pelaksanaan pembangunan sumber daya manusia dan stabilitas keamanan ketertiban masyarakat.


(2)

91

VI.SIMPULAN DAN SARAN

Sesuai uraian terkait peranan Tim Terpadu dalam meresolusi konflik tanah Register 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara maka dapat diberi simpulan dan saran sebagai berikut:

A. Simpulan

1. Terjadinya sengketa tanah di antara masyarakat Pekon Sumber Bandung, Pekon Madaraya dengan masyarakat pembeli lahan dan Tim Kompensasi lahan dikarenakan mayoritas petani penggarap awal banyak yang tidak memiliki bukti fisik dan bukti yuridis yang medukung status pengelolaan lahan oleh mereka, sementara Tim Kompensasi merasa memiliki kekuatan hukum atas pengelolaan lahan tersebut dengan adanya SK No: 742/MENHUT-II/2009 namun SK tersebut disinyalir tidak sesuai sebagaimana mestinya.

2. Peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu dengan melaksanakan tugasnya sesuai SK Bupati pada point pertama dan kedua dalam menginventarisasi, mengidentifikasi masalah, memfasilitasi pertemuan kedua pihak yang berkonflik relatif sudah berjalan sesuai dengan tugasnya.


(3)

3. Langkah – langkah tindak lanjut penyelesaian yang dilakukan dalam proses penyelesaian konflik di antara kedua belah pihak yang bersengketa adalah dengan memfasilitasi, memediasi, meninjau lapangan, serta koordinasi dengan instansi terkait.

B. Saran

1. Pemerintah Daerah Pringsewu dan Pemerintah Daerah lainnya yang ada di Provinsi Lampung diharapakan dapat mengantisipasi terjadinya konflik pertanahan dengan menertibkan masyarakat yang menggarap lahan kawasan tanpa meiliki izin resmi, tidak hanya tu Pemerintah juga diharapakn dapat berpegang pada peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Pertanahan. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi konflik serupa, yang dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang mengatur tentang sengeta dan kepemilikan / pengelolaan lahan yang resmi. 2. Tim Terpadu bersama-sama instansi terkait khususnya BPN diharapkan

dapat lebih memperketat pengawasan terhadap jalannya proses pengajuan perubahan status tanah yang melibatkan status tanah kawasan dan kehidupan masyarakat terutama yang termasuk dalam skala besar, baik untuk kepentingan swasta maupun untuk kepentingan umum. Hal ini patut diperhatikan karena pada beberapa kasus pertanahan yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh faktor ketidak jelasan status hukum tanah dan kurang memperhatikan hak adat atau hak perorangan masyarakat banyak.


(4)

93

3. Untuk kedepannya dalam penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan kepentingan masyarakat luas disarankan agar selalu mengedepankan pola-pola penyelesaian melalui jalur musyawarah mufakat dan bersikap lebih tegas dengan memberikan sanksi baik denda ataupun pidana kepada pihak yang menguntungkan kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Harahap. 2005. Manajemen Dan Resolusi Konflik. Pustaka Cidesindo Jakarta.

Abdulsyani. 2007. Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan. Bumi Aksara. Jakarta.

Ahmadi, Abu. 1982. Psikologi Sosial. PT Bina Ilmu. Surabaya

Bungin, Burhan. 2001. Metodolodi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi kearah ragam varian kontemporer. Jakarta. PT. Raja Grafindo

Chadwick, Bruce A, dkk. 1991. Metode Penelitian Ilmu Sosial. IKIP Semarang. Semarang

Dalton, Patrick J. 1996. Land Law. Pitman Publishing. Washington DC.

Duverger, Maurice. 2003. Sosiologi Politik. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Fauzi, Nur. 2002. Tanah Lampung. PUUSSbik. Bandar Lampung

Fortuna Anwar, Dewi. 2005. Konflik Kekerasan Internal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Handayaningrat. 1989. Manajemen Konflik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Mark dan Snyder. 1981. Stabilitas dan Pengelolaan Konflik. Grafindo. Jakarta Narwoko, J. Dwi. Suyanto, Bagong. 2006. Sosisologi Teks Pengantar dan

Terapan. Kencana. Jakarta

Nasikun, Dr. 1995. Sistem Sosial Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Nurcholis. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah.

Grafindo. Jakarta

Sihombing, B.F. 2004. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesi. Gunung Agung. Jakarta

Soekanto Soerjono. 1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta Sugiyono. 2002 . Prilaku, Struktur dan Proses. Gunung Agung. Jakarta


(6)

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administratasi. Alfabeta. Bandung Suhardono, Edy. 1994. Teori Peran. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Sinar Grafika. Jakarta

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia. Jakarta

Usman, Rachmadi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.. PT Citra Aditya Bakti. Bandung

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Mandar Maju. Jakarta.

Dokumen :

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

Referensi :

Rasjid. 2000. http://www.anneahira. com/fungsi-pemerintah.htm diakses pada 14 februari 2013


Dokumen yang terkait

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA BERBAGAI PERIODE PENGELOLAAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG REGISTER 22 WAY WAYA – KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

0 11 6

PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH REGISTER 22 WAY WAYA

0 14 99

Konflik Pembebasan Tanah Dalam Proyek Pembangunan Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera (Studi kasus konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timur)

4 22 56

PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HUTAN DI REGISTER 22 WAY WAYA KABUPATEN PRINGSEWU

0 13 49

PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HUTAN DI REGISTER 22 WAY WAYA KABUPATEN PRINGSEWU

0 27 67

Tradisi Sebambangan Dalam Adat Lampung Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Kelurahan Sinar Waya Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu Lampung

0 8 75

Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2015 Tentang Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial Kabupaten Bojonegoro

0 0 5

PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HUTAN DI REGISTER 22 WAY WAYA KABUPATEN PRINGSEWU Bayu manggala, Sudirman Mechsan, S.H., M.H., Ati Yuniati, S.H., M.H. Jurusan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jl Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung

0 0 11

KEWENANGAN KANTOR PERTANAHAN DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU

0 0 13

81 PENGEMBANGAN POTENSI HASIL HUTAN BUKAN KAYU OLEH KELOMPOK SADAR HUTAN LESTARI WANA AGUNG DI REGISTER 22 WAY WAYA KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (THE DEVELOPMENT PLAN OF NON-TIMBER FOREST PRODUCTS POTENTIAL BY SADAR HUTAN LESTARI WANA AGUNG GROUPS AT REGISTER

0 0 11