FERMENTASI HIDROLISAT ONGGOK DENGAN MENGGUNAKAN MIKROBA ENDOFITIK (FERMENTATION OF ONGGOK HYDROLYZATES BY ENDOPHYTIC MICROBES)

ABSTRAK

FERMENTASI HIDROLISAT ONGGOK DENGAN MENGGUNAKAN
MIKROBA ENDOFITIK

Oleh

Muhamad Amin

Penelitian itu dilakukan untuk mengisolasi mikroba endofitik dari kulit kayu raru
dan menguji potensi mereka dalam fermentasi hidrolisat onggok singkong untuk
produksi bioetanol. Enam isolat yang diperoleh, diuji untuk fermentasi, dan
hanya satu isolat yang memiliki kemampuan menghasilkan bioethanol dengan
konsentrasi 15,5%, dengan konsentrasi gula pereduksi hampir 100 % dari onggok
singkong menggunakan hidrolisis asam.

ABSTRACT

FERMENTATION OF ONGGOK HYDROLYZATES BY ENDOPHYTIC
MICROBES


By

Muhamad Amin

This study was carried out to isolate endophytic microorganims form the bark of
raru tree and to test their potential for fermenting of hydrolizate of solid cassava
waste for bioethanol production. Six isolate were obtained and tested for
fermentation, and it was found that one isolate exhibited the ability to produce
bioethanol with the concentration of 15,5 %, with the concentration of reducing
sugar of practically 100 % from solid cassava waste use the hydrolysis of acid.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
I.

PENDAHULUAN ...................................................................................

A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Tujuan Penelitian .................................................................................
C. Manfaat Penelitian ...............................................................................

1
1
2
3

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
A. Pembuatan Tepung Tapioka ................................................................. 4
B. Onggok ................................................................................................. 5
C. Pati ........................................................................................................ 5
D. Hidrolisis Pati ....................................................................................... 6
E. Fermentasi Alkohol ............................................................................. 9
F. Mikroba Endofitik ................................................................................ 10
G. Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Endofitik ........................................ 11
H. Fase Pertumbuhan Bakteri .................................................................. 17
I. Analisis kadar alkohol ....................................................................... 18
J. Analisis gula reduksi dengan metode DNS (Dinitrosalisilat) .............. 19

III. METODOLOGI ...................................................................................... 21
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 21
B. Alat dan Bahan .................................................................................... 21
C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 22
1. Pembuatan media perkembangbiakan mikroba endofitik ............ 22
a. Pembuatan media nutrien agar (NA) ..................................... 22
b. Pembuatan media inokulum .................................................. 22
2. Penyiapan Contoh Kulit Kayu Raru .............................................. 23
3. Penapisan Mikroba Endofitik pada Media NA ............................ 23
4. Isolasi Mikroba Endofitik Hasil Penapisan .................................. 23
5. Pemurnian Mikroba Endofitik ...................................................... 24
6. Inokulasi Kultur ............................................................................ 24

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.


Penentuan Pertumbuhan Sel Mikroba Endofitik ........................... 24
Pengeringan Onggok .................................................................... 25
Ultrasonifikasi .............................................................................. 25
Hidrolisis Onggok ........................................................................ 25
Fermentasi Onggok Dengan Mengunakan Mikroba Endofitik ..... 26
Analisis kadar alkohol .................................................................. 26
Analisis gula reduksi dengan metode DNS .................................. 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASA................................................................... 27
A. Penapisan dan Isolasi Mikroba Endofitik ........................................... 27
B. Pemurnian Mikroba Endofitik ............................................................ 28
C. Pertumbuhan Sel Mikroba Endofitik ................................................ 29
D. Fermentasi Onggok Dengan Menggunakan Mikroba Endofitik ......... 32
E. Analisis kadar alkohol ......................................................................... 32
F. Analisis gula reduksi dengan metode DNS......................................... 35
V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 38
A. Simpulan ............................................................................................ 38
B. Saran .................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan hasil bumi dan memiliki
tanah yang subur untuk menghasilkan berbagai produk pertanian.

Salah

satunya adalah adalah ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta), dengan
jumlah produksi mencapai 9.321.545 ton pada tahun 2012 (BPS Indonesia,
2012).

Selain dimanfaatkan sebagai makanan tradisional, singkong telah

dimanfaatkan oleh industri besar untuk menghasilkan tepung tapioka yang
memiliki nilai ekonomi lebih tinggi karena dapat diolah menjadi berbagai

macam produk seperti makanan ringan, glukosa, fruktosa dan sorbitol.
Pada pengolahan singkong menjadi tapioka dihasilkan limbah padat berupa
onggok yang jumlahnya mencapai 10 – 30% dari berat singkong. Onggok
diketahui mengandungan pati dengan kadar cukup tinggi, yaitu sebesar 50 –
70% (Pandey et al., 2000).

Kandungan pati yang cukup besar ini

menunjukkan bahwa onggok berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan
baku produksi bioetanol karena pati dapat dihidrolisis menghasilkan gula
pereduksi (Trisnawati dan Suka, 2007) yang selanjutnya dapat difermentasi
menjadi bioetanol.

2

Dalam aspek fermentasi gula pereduksi menjadi bioetanol, salah satu potensi
yang dimiliki Indonesia namun belum banyak diteliti adalah mikroba
endofitik yang terkandung dalam kulit kayu raru. Potensi ini didasarkan pada
pemanfaatan kulit kayu raru untuk pengolahan nira menjadi minuman
tradisional (tuak) khususnya oleh masyarakat suku batak. Untuk menggali

potensi ini, dalam penelitian sebelumnya oleh Trisnawati dan Suka (2007)
telah menggunakan kulit kayu raru untuk fermentasi hidrolisat onggok, dan
diketahui mampu menghasilkan etanol dengan kadar sekitar 25%. Hasil ini
menguatkan dugaan bahwa dalam kulit kayu tanaman raru ini terdapat
mikroba endofitik yang mampu mengubah gula pereduksi dalam hidrolisat
onggok menjadi alkohol. Hasil studi pendahuluan isolasi mikroba endofitik
oleh Amin (2012) dan Elianasari (2012), diperoleh 12 jenis mikroba endofitik
dalam kulit kayu raru yang kemungkinan berpotensi untuk fermentasi gula
pereduksi menjadi bioetanol (Amin, 2012; Elianasari, 2012).

Dikaitkan

dengan mikroba endofitik yang hidup dalam kulit kayu raru, penelitian ini
dimaksudkan sebagai upaya lebih lanjut untuk mendapatkan isolat mana yang
paling berpotensi untuk fermentasi hidrolisat onggok menjadi etanol.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan isolat mikroba endofitik dari kulit kayu raru yang memiliki
kemampuan menghasilkan bioetanol dari hidrolisat onggok.

2. Menganalisis kadar bioetanol yang mampu dihasil mikroba endofitik.

3

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memanfaat mikroba endofitik yang diisolasi
dari kulit kayu raru dan dikembangkan lebih lanjut untuk mendukung
produksi bioetanol dari onggok, sebagai alternatif terhadap mikroba yng
sudah umum digunakan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuatan Tepung Tapioka
Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong dengan
tahap dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.

Umbi singkong


Pengupasan dan pencucian

Pemarutan

Penyaringan

Pengendapan

Ampas

Pencucian pati

Pengeringan

Pati singkong ( tepung tapioka)
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Rahman, 2007)

5

Dari proses pembuatan tepung tapioka, dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian

atau sekitar 3/4 dari bahan mentahnya, berupa limbah cair dan padat yaitu
kulit dan ampas (onggok). Limbah cair tepung tapioka memiliki kisaran
10 – 15% dari total bobot singkong, sedangkan limbah kulit menempati
kisaran 16% dari total bobot singkong, dan onggok sendiri dihasilkan sekitar
10 – 30% dari berat singkong (Pandey et al., 2000).

B. Onggok
Onggok (ampas) singkong merupakan limbah padat dari pembuatan tepung
tapioka. Susijahadi, (1997) menyatakan bahwa komposisi onggok tepung
tapioka sangat bervariasi bergantung pada jenis/varietas singkong, daerah asal
serta cara pengolahan tepung tapioka. Kandungan pati dari onggok sekitar
50 – 70% (Pandey et al., 2000) dan serat kasar sekitar 8 % (Judoamidjojo,
dkk., 1992), kandungan pati yang cukup tinggi ini, sehingga dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan alkohol (Astuti, 2008).

C. Pati
Pati adalah golongan polisakarida yang terbentuk dari glukosa sebagai
monomer dengan ikatan monomer adalah

- 1, 4.


Pati (amilum) pada

tanaman digunakan sebagai penyimpan yang paling penting di alam. Pati
terdapat di dalam sel dalam bentuk gumpalan besar atau granula (Lehninger
1982). Pati merupakan karbohidrat yang berasal dari hasil proses fotosintesis
tanaman, disimpan dalam bagian tertentu tanaman dan berfungsi sebagai

6

cadangan makanan yang tergolong dalam homopolimer glukosa dengan
ikatan L-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin
(Soebagio dkk., 2009). Pati singkong dari tepung tapioka memiliki rasio 17%
amilosa dan 83% amilopektin. Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Struktur amilosa dan amilopektin
D. Hidrolisis Pati
Hidrolisis adalah proses konversi pati menjadi glukosa. Prinsip hidrolisis pati
adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6).
Dalam prakteknya, hidrolisis pati menjadi gula pereduksi dapat dilakukan
dengan cara, yakni hidrolisis asam dan enzimatis. Hidrolisis secara enzimatis
memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan
fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara
kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan

7

hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada
percabangan tertentu. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni,
hidrolisis asam (penambahan katalisator asam) dan hidrolisis enzim (BeMiller
dan Whistler, 2009).

Hidrolisis ampas singkong terjadi antara ampas

singkong dengan air. Pada reaksi hidrolisis ini air akan memecah komponen
karbohidrat atau hemiselulosa menjadi gula atau monosakarida yang lebih
sederhana seperti glukosa, galaktosa, dan mannosa (Agra, dkk., 1973).
Proses hidrolisis onggok yang dilakukan dengan menggunakan asam untuk
mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan mengubah pati
menjadi gula pereduksi. Masing-masing proses hidrolisis baik menggunakan
asam maupun enzim memiliki kelebihan dan kekurangan. Hidrolisis asam
menghasilkan proses yang lebih murah namun produk yang dihasilkan tidak
sebaik yang dihasilkan dari hidrolisis menggunakan enzim yang tentunya jauh
lebih mahal (BeMiller dan Whistler, 2009). Jika onggok dipanaskan dengan
asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil secara berurutan
dan hasilnya adalah glukosa.
(C6H10O5)n
Pati

+

n-1 H2O
Air

Hidrolisis dengan asam, diperlukan suhu yang tinggi.

nC6H12O6
Glukosa
Semakin lama

hidrolisis asam akan memecah molekul pati secara acak dan gula pereduksi
yang dihasilkan semakin banyak (Judoamidjojo, dkk., 1992). Penambahan
asam sulfat (H2SO4) berfungsi sebagai katalis dalam pemecahan rantai
heksosa dari polimer pati yang terdapat dalam singkong. Aktivitas suatu

8

katalis banyak dipengaruhi oleh konsentrasi katalis yang diberikan (Stout and
Ryberg, 1989). Penambahan asam sulfat dapat juga mempengaruhi pH. Bila
pH mendekati netral, maka jumlah asam yang dikandung relatif rendah
sehingga ikatan glikosida yang membentuk polisakarida lebih kuat
dibandingkan dengan suspensi pati yang mengandung jumlah asam yang
lebih tinggi.

Akibatnya proses pemutusan rantai heksosa dari ikatan

polisakarida yang mendekati pH netral menjadi lebih sulit (Meyer, 1970).
Hidrolisis dengan enzim, enzim adalah biomolekul berupa protein yang
berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa
habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia organik. Molekul awal yang disebut
substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang disebut
produk dalam bentuk gula sederhana seperti glukosa, froktosa, dan galaktosa.
Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk
menghasilkan senyawa intermediat melalui suatu reaksi kimia organik yang
membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan reaksi kimia
terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi membutuhkan
waktu lebih lama (BeMiller dan Whistler, 2009). Hasil dari kedua hidrolisis
ini adalah Hidrolisat pati, hidrolisat pati ini dihasilkan dari proses hidrolisis
pati.

Hidrolisat pati mempunyai total nilai gula pereduksi (DE) yang

bervariasi. Hidrolisat pati yang dibuat memiliki total nilai gula pereduksi
hingga 35 - 40% (Alexander R.J, 1992).

9

E. Fermentasi Alkohol
Fermentasi alkohol merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan
sehingga dihasilkan alkohol. Alkohol yang dihasilkan salah satunya adalah
etanol, Etanol umumnya digunakan dalam minuman beralkohol, dan bagi
masyarakat luas etanol juga digunakan sebagai bahan bakar yang diproduksi
oleh peragian (fermentasi). Ketika peragian berlangsung metabolisme gula
terjadi secara anaerob menghasilkan etanol dan gas karbondioksida.
Persamaan reaksinya adalah :

Mikroba yang umum digunakan dalam fermentasi adalah bakteri, ragi dan
kapang. Beberapa contoh proses fermentasi diantaranya adalah pembuatan
tempe, tape, susu fermentasi dan sebagainya. Mikroba yang terlibat pada
fermentasi alkohol adalah Saccharomyces Cerevisiae.

Etanol yang

diproduksi secara fermentasi dengan menggunakan yeast, yaitu S. cerevisiae
masih dianggap kurang memuaskan dalam sudut pandang industri, terutama
karena harganya yang relatif mahal dan prosedurnya yang cukup rumit.
Selain itu, mikroorganisme ini hanya dapat menghasilkan etanol sekitar
14−16% ( Gunasekaran, 1999).

Selain itu, dapat digunakan bakteri

Zymomonas mobilis untuk menghasilkan etanol. Etanol yang dihasilkan oleh
mikroba Z. mobilis dari fermentasi molasse adalah 77,29 % (Puspita dkk.,
2010). Mikroba Z. mobilis tumbuh secara anaerob dan mempunyai toleransi
suhu tinggi, pH rendah, kemampuan mengubah gula menjadi etanol yang

10

lebih tinggi dan tahan terhadap kadar etanol yang tinggi (Gunasekaran, 1986;
Tanate dan Putra, 2008).

F. Mikroba Endofitik
Mikroba endofitik merupakan mikroba yang tumbuh dalam jaringan
tumbuhan, yaitu pada jaringan akar, batang dan daun. Mikroba endofitik
dapat diisolasi dari jaringan tersebut, dan yang paling umum ditemukan
adalah dari jenis fungi dan bakteri (Strobel, 2003). Mikroba ini berasosiasi
dengan jaringan tanaman sehat yang bersifat netral atau menguntungkan.
Hampir setiap tanaman tingkat tinggi memiliki beberapa mikroba endofitik
yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder. Bahan
aktif yang dihasilkan mikroba endofitik ini diperkirakan memiliki
kemampuan yang sama dengan bahan aktif yang dihasilkan oleh tanaman
induknya.
Beberapa keuntungan mikroba ini adalah meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan kekuatan menyerap nutrisi tanaman. Demikian pula dengan
banyaknya kandungan sebagai agen biokontrol, endofitik juga memproduksi
biokontrol berikut aktivitas produksi senyawa antimikroba, persaingan untuk
mempertahankan tempat hidup dan nutrisi serta stimulasi pertahanan
inangnya;

sebagai

mekanisme

inhibisi

mereka

terhadap

berbagai

patogen(Ting, dkk, 2010). Bakteri endofit bersifat diazotrof dalam tanaman
induk yang sudah dibuktikan oleh banyak peneliti (Boonjawat et al. 1991;
Dong et al. 1994; Muthukumarasamy et al. 2002), dan bahkan bentuk asosiasi
ini dikategorikan sebagai obligate endophyte (Boddey et al. 1991). Sifat

11

obligate endophyte bakteri diazotrof pada tanaman induk ditunjukkan oleh
persistensi bakteri dalam jaringan tanaman tersebut, yaitu bakteri akan tetap
terbawa dalam jaringan tanaman yaitu jaringan akar, batang, daun dan kulit
kayu.
G. Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Endofitik
Perhatian ilmuan terhadap potensi mikroba endofitik telah mendorong
pengembangan metode isolasi dan karakterisasi mikroba endofitik diisolasi
dari berbagai jenis tanaman dengan cara mengambil bagian dari tanaman
seperti akar, batang, dan daun.

Berdasarkan Simarmata (2007), isolasi

mikroba endofitik dari tanaman sambung nyawa dilakukan dengan metode
F. Tomita (Lumyong et al., 2001). Metode ini dilakukan dengan mengoleksi
bagian contoh tanaman sambung nyawa yaitu umbi, batang dan daun,
kemudian contoh tanaman dibersihkan dari kotoran dengan cara mencucinya
dengan air mengalir. Contoh yang telah bersih kemudian dipotong-potong
dan selanjutnya disterilisasi permukaan menggunakan larutan etanol 75%
selama 1 menit, Natrium Hipoklorit 5,3% selama 5 menit, dan terakhir
dengan etanol kembali selama 30 detik. Setelah itu contoh dibilas dengan air
steril beberapa kali dan kemudian ditanam di dalam media agar PDA atau NA
dengan cara membelah contoh dan meletakkan pada posisi tertelungkup.
Mikroba endofitik yang diperoleh dari isolasi ini adalah dari jenis bakteri dan
kapang. Bakteri dan kapang ini memiliki aktivitas antimikroba yang baik
terhadap bakteri patogen E. coli, Pseudomonas sp. dan B. subtilis, serta
cendawan patogen C. albicans sedangkan 24% isolat hanya menunjukkan
aktivitas anti B. subtilis (Simarmata, dkk., 2007).

12

Peran mikroba endofitik yang memiliki aktivitas antimikroba dapat terlihat
pula dalam tanaman kedelai yaitu sebagai antijamur Sclerotium rolfsii Sacc
yang menyebabkan penyakit busuk batang. Menurut Taringan dan kuswandi
(2010), metode isolasi dengan merendam batang kedelai dengan Na3OCl
5,25 % selama 5 menit, kemudian dicuci dengan menggunakan akuades steril,
selanjutnya digerus dengan menambahkan 10 mL akuades dan hasil gerusan
ditanam pada media NA (Nutrient Agar). Isolat yang didapat berjumlah 6
dari jenis bakteri dengan bentuk coccus dan bacillus serta termasuk dalam
gram negatif dan positif. Uji aktivitas antimikroba pada 6 isolat, semua isolat
positif memiliki kemampuan antijamur S. rolfsii Sacc yang menyebabkan
penyakit busuk batang (Taringan dan Kuswandi, 2010).
Tidak hanya mikroba endofitik yang berasal dari tanaman kedelai yang
mampu menghasilkan aktivitas anti jamur, tetapi aktivitas antijamur dan
antibakteri dapat dimiliki oleh jamur endofitik yang diisoolasi dari tanaman
kentang (Sunarni, 2010). Menurut Sunarni (2010), jamur uji diperoleh dari
isolasi tanaman kentang di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga serta telah diidentifikasi
dan merupakan Penisillium sp. Berdasarkan uji aktivitas anti jamur dan anti
bakteri, disimpulkan bahwa jamur ini berpotensi sebagai Anti jamur
Fusarium sp, Phytopthora infestans dan Anti Bakteri dan Ralstonia
solanacaerum.
Pada tanaman trengguli (Cassia futula L) terdapat mikroba endofitik dari
jenis kapang yang meiliki kemampuan sebagai antimikroba (Kumala dkk.,
2006).

Menurut kumala dkk. (2006), kapang yang diisolasi dengan

13

menggunakan metode steril permukaan dan tanam langsung pada media PDY
(Potato Dextro Yeast) didapatkan 10 kapang.

isolat kapang endofit

menunjukkan hasil uji hayati antimikroba yang positif terhadap bakteri.
Sementara hanya 3 isolat kapang endofit yang menunjukkan basil positif
terhadap khamir. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa antimikroba yang
dihasilkan kapang endofit bersifat spesiiik terhadap bakteri Gram positif dan
Gram negatif.

Sedangkan 3 isolat lain hanya spesifik terhadap khamir

Candidaalbicans. Isolat yang diperoleh dari hasil penelitian ini isolat kapang
endofit yang mempunyai kemampuan menghasilkan senyawa antimikroba
yang lebih kuat terhadap bakteri gram negatif jika dibandingkan terbadap
bakteri gram positif. Sedangkan pada isolat lain menunjukkan kemampuan
senyawa antimikroba pada bakteri gram positif dan gram negatif. Metabolit
sekunder kapang yang aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
B. subtilis dapat dikembangkan menjadi baban baku untuk obat antimikroba
Grampositif. Sedangkan yang aktif atau memberikan hasil positif terhadap
bakteri E. coli dan Salmonella typhii mempunyai prospek untuk dijadikan
bahan baku obat antimikroba gram negatif (Kumala dkk., 2006).
Mikroba endofitik yang berasal dari tanaman nilam (Pogostemon cablin
Bent.) yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan nematoda peluka
akar (Pratylenchus brachyurus) (Harni dkk., 2007). Menurut Harni dkk.
(2007), mikroba endofitik yang diisolasi dengan menggunakan metode
sterilisasi permukaan (Hallmann et al. 1997), didapat 9 isolat yaitu
P. fluorescent ES32 mampu memproduksi (protease, HCN, pelarut posfat,
dan fluoresensi), Pseudomonas E26 (protease, selulase, pelarut posfat, dan

14

kitinase), B. subtilis ERB21 (protease, selulase, dan pelarut posfat), Bacillus
NA22 (protease, pelarut posfat), Bacillus NJ41 ( selulase, pelarut posfat),
Bacillus NJ46 (pelarut posfat, kitinase), Bacillus NJ57 (pelarut posfat,
kitinase), Bacillus NJ2 (pelarut posfat). Kemampuan Bacillus NJ46, Bacillus
NA22, dan Bacillus NJ2 dalam menekan populasi P. brachyurus cukup
tinggi. Terjadinya penekanan populasi nematoda yang tinggi oleh isolatisolat tersebut, diduga disebabkan oleh metabolit sekunder, enzim kitinase,
dan protease yang dihasilkannya. Enzim ini dapat digunakan langsung oleh
bakteri untuk mendegradasi dinding sel patogen. Enzim kitinase merupakan
enzim penting yang dihasilkan bakteri endofit untuk mengendalikan
nematoda karena enzim ini dapat mendegradasi lapisan tengah telur nematoda
seperti M. javanica, R. reniformis, Tylenchulus semipenetrans, dan
Pratylenchus minyus (Tian et al. 2000).
Tingginya penurunan populasi nematoda tidak selalu sejalan dengan
peningkatan pertumbuhan tanaman (berat tajuk tanaman, berat akar, dan
panjang akar). Isolat Bacillus NA22 dapat menekan populasi P. brachyurus
cukup tinggi tetapi tidak diikuti dengan tingginya berat tajuk tanaman dan
panjang akar. Hal ini mungkin disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan
Bacillus NA22 bersifat toksik terhadap akar, sehingga menghambat
pertumbuhannya (Harni dkk., 2007).
Menurut Shiomi et al.(2006), mikroba endofitik yang diperoleh dari bagian
tanaman kopi robosta dan arabika yang diisolasi dapat mengendalikan
penyakit kuning daun yang disebabkan oleh jamur Hemileia vastatrix. Isolat
dapat menghambat pertumbuhan H. vastatrix yang baik. Akan tetapi, ada

15

isolat yang telah menghasilkan aktivitas terbaik yaitu 62,0 % menghambat
pertumbuhan H. vastatrix pada tanaman kopi.

Pada uji pengendalian

penyakit kuning daun, terjadi penurunan jumlah isolat disertai mengurangnya
keparahan penyakit, sebagai interval antara kehadiran agen biocontrol dan
patogen yang menurun. Bakteri endofitik dari tanaman ini, diidentifikasi
sebagai Bacillus lentimorbus, Bacillus cereus, Clavibacter michiganensis
subsp. michiganensis Smith, dan Klebsiella pneumoniae Schroeter, masingmasing, menunjukkan aktivitas terbaik.

Bakteri endofitik lain yang

diidentifikasi sebagai Bacillus sp., Klebsiella pneumoniae, Pandorae
pnomenusa, Kocuria kristinae, Cedecea davisae, dan Acinetobacter
calcoaceticus Beijerinck (Shiomi et al.,2006).
Kemampuan mikroba endofitik yang memiliki aktivitas antibakteri dan
antijamur tidak hanya berada pada tanaman pertanian seperti tanaman
kedelai, kentang dan kopi yang dijelaskan diatas, tetapi terdapat juga mikroba
endofitik yang terdapat pada tanaman semua tanaman (Melliawati dkk.,
2006). Menurut Melliawati dkk. (2006), Isolasi bakteri endofitik dilakukan
pada 126 contoh tanaman yang berasal dari Taman Nasional Gunung
Halimun, Kebun Raya Bali, Kebun Raya Jambi, Hutan di Riau, Kebun
Plasma Nutfah Puslit Bioteknologi, dan tanaman pertanian di Sukabumi
dilakukan berdasarkan metode Tanaka et al. (1999). Hasil isolasi dari 126
contoh tanaman hutan diperoleh 238 isolat bakteri endofit. Hasil pewarnaan
gram menunjukkan 107 isolat gram negatif dan 131 isolat gram positif
dengan berbagai bentuk sel seperti bulat, oval, batang pendek, dan panjang.
Dari bakteri yang terseleksi, 44 isolat mampu menghambat pertumbuhan X.

16

campestris, 49 isolat menghambat P. solanacearum, 28 isolat menghambat
C. glocosporoides, dan 18 isolat menghambat F. oxysporum.

Di antara

bakteri yang terseleksi ada yang mempunyai kemampuan ganda yaitu
19 isolat menghambat X. campestris dan P. solanacearum, tujuh isolat
menghambat C. gloeosporioides dan F. oxysporum, enam isolat menghambat
X.

campestris

dan

C.

gloeosporioides,

empat

isolat

menghambat

X. campestris dan F. oxysporum, lima isolat menghambat P. Solanacearum
dan C. gloeosporioides, dua isolat menghambat P. solanacearum dan
F. oxysporum.

Di antara mikrobia endofit yang mampu menghambat

mikrobia patogen, lima isolat dapat menghambat tiga mikrobia patogen
(X. campestris, P. solanacearum dan C. gloeosporioide). Hasil analisis KLT
terhadap ekstrak isolat mikroba endofitik, ternyata mengandung senyawa
aktif (steroid) yang mampu menghambat pertumbuhan mikrobia patogen
(Melliawati dkk.,2006).
Selain memiliki mampu memproduksi senyawa metabolit sekunder steroid,
mikroba endofitik juga mampu memproduksi senyawa kuinina yang
berkhasiat sebagai antimalaria.

Menurut Simanjuntak (2002), mikroba

endofitik yang telah berhasil diisolasi dari tanaman kina (Cinchona sp.)
adalah mikroba endofitik dari jenis bakteri, kapang dan khamir. Semua isolat
ini mampu meningkatkan produksi senyawa kuinina kecuali beberapa jenis
khamir, sedangkan untuk isolat kapang mampu menghasilkan kuinina sebesar
2,2 kali dengan menggunakan media PDB (Potato Dextro Broth)
(Simanjuntak dkk., 2002).

17

Dari banyaknya manfaat dan kegunaan mikroba endofitik baik sebagai
antijamur, antibakteri dan penghasil metabolit sekunder, mikroba endofitik
memiliki kemampuan dalam menghasilkan etanol (Amin, 2012; Elianasari,
2012).

Menurut Amin (2012) dan Elianasari (2012), isolasi mikroba

endofitik yang berasal dari kulit kayu raru dengan metode steril permukaan,
diperoleh 12 mikroba endofitik yang berperan dalam fermentasi gula
pereduksi menjadi etanol.
H. Fase Pertumbuhan Bakteri
Suatu mikroba mempunyai siklus pertumbuhan tergantung jenis dan produk
yang akan dihasilkan. Fase pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi 4 fase,
yaitu fase lag, fase logaritma (eksponensial), fase stasioner dan fase kematian.
Fase lag merupakan fase penyesuaian bakteri dengan lingkungan yang baru.
Lama fase lag pada bakteri sangat bervariasi, tergantung pada komposisi
media, pH, suhu, aerasi, jumlah sel pada inokulum awal dan sifat fisiologis
mikroorganisme pada media sebelumnya. Ketika sel telah menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang baru maka sel mulai membelah hingga mencapai
populasi yang maksimum.

Fase ini disebut fase logaritma atau fase

eksponensial (Volk dan Wheeler, 1993).
Fase eksponensial ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang
cepat. Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial ini sangat
dipengaruhi oleh sifat genetik yang diturunkannya.

Selain itu, derajat

pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu
inkubasi, kondisi pH dan aerasi. Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah

18

menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan terjadi keseimbangan
antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup (Volk dan Wheeler,
1993).
Fase stasioner terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju
kematiannya,

sehingga

jumlah

bakteri

keseluruhan

akan

tetap.

Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya
pengurangan derajat pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi
yang berkurang dan terjadi akumulasi produk toksik sehingga mengganggu
pembelahan sel. Fase stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang
ditandai

dengan

peningkatan

laju

kematian

yang

melampaui

laju

pertumbuhan, sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan populasi bakteri
(Volk dan Wheeler, 1993).
I.

Analisis Kadar Etanol
Penentuan kadar etanol dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan
penggunaan spektrometer UV-Vis pada panjang gelombang ( ) 414 nm.
Pada

ini merupakan serapan maksimum dari hasil oksidasi etanol dengan

menggunakan K2Cr2O7 dalam suasana asam. Dengan demikian, absorbansi
etanol pada panjang gelombang diatas dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif dengan memanfaatkan hukum Lambert-Beer (Supriyanto, 1999;
Day dan Underwood, 2002).
Prinsip analisis ini, didasarkan pada besarnya absorbansi yang terjadi pada
perubahan warna pada K2Cr2O7 dalam suasana asam yang berwarna jingga
menjadi hijau pada kadar alkohol yang terkandung dalam larutan. Prinsip ini

19

dapat dimanfaatkan dengan bantuan kurva kalibrasi yang dapat dibuat dengan
mengukur absorbansi larutan etanol dengan kadar etanol yang berbeda pada
414 dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dari absorbansi ini
didapat kurva kalibrasi dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan
antara absorbansi hasil oksidasi etanol dengan kadar etanol, sehingga dapat
digunakan untuk menentukan kadar etanol dalam contoh (Day dan
Underwood, 2002).

J.

Analisis Gula Pereduksi Dengan Metode DNS (Dinitrosalisilat)
Gula pereduksi adalah suatu gula yang mengandung gugus aldehida atau
keton dan dapat dioksidasi oleh oksidator tertentu. Analisis gula reduksi ini
menggunakan metode DNS atau metode TRS (Total Raducing Sugar), yang
bertujuan untuk menentukan kandungan gula pereduksi yang tersisa dari hasil
fermentasi sehingga dapat diketahui kadar alkohol yang terbentuk. Glukosa
merupakan gula pereduksi karena memiliki gugus aldehida sehingga dapat
dioksidasi menjadi gugus karboksil. Pada metode ini, gugus aldehida pada
glukosa akan dioksidasi oleh asam 3,5-dinitrosalisilat menjadi gugus
karboksil dan menghasilkan asam 3-amino-5-nitrosalisilat, reaksi ini
berlangsung pada kondisi basa dan suhu tinggi sekitar 90-100°C. Senyawa
ini memiliki serapan maksimum pada

510 nm bila diukur absorbansinya

dengan menggunakan spektrofotometer (Apriyantono, dkk., 1988).

20

Reaksi DNS dengan glukosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Reaksi asam 3,5-dinitrosalisilat dengan glukosa

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,
bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA
Universitas Lampung. Hidrolisis onggok di Laboratorium Biomassa Terpadu
Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan yaitu alat-alat gelas yang biasa digunakan di
laboratorium, inkubator P-SELECTA, auto clave SPEED CLAVE S-90N,
alat sentrifugasi, ruang laminar air flow CRUMA 9005-FL, jarum ose, pinset,
mikropipet, neraca analitik, alat pengguncang STUART SSL2, Vortex,
Analisis gula reduksi menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit kayu raru didapat dari pembuat
tuak di daerah Gading Rejo, limbah padat tapioka (onggok) yang didapat dari
pabrik singkong di daerah Karang Anyar, akuades, ekstrak ragi, pepton,
serbuk agar, glukosa, NaCl, alkohol 70%, DNS (Dinitrosalisilat), H2SO4
pekat, Na2S2O3, Fenol, NaK-tartrat, NaOH, urea, dan (NH4)2HPO4.

22

C. Prosedur Kerja
1.

Pembuatan Media Perkembangbiakan Mikroba Endofitik
Mikroba endofitik ditumbuhkan pada tiga media yaitu pada media
Nutrien Agar (NA), inokulum dan fermentasi.
a.

Pembuatan media nutrien agar (NA)
Ekstrak ragi 3 gram, pepton 5 gram dan agar 15 gram dalam
1000 mL akuades kemudian disterilikan dengan auto clave,
campuran yang dihasilkan disebut media NA.

b. Pembuatan media inokulum
Nutient Broth (NB) 0,8 gram dilarutkan dalam 100 mL akuades
kemudian disteril selama 15 menit. Pada media ini dimasukkan
sebanyak 1 ose mikroba kemudian diinkubasi pada suhu 35°C
selama 3 hari.
c.

Pembuatan media fermentasi
Lima puluh mL hidrolisat dimasukkan masing-masing ke dalam
12 labu Erlenmeyer 250 mL.

Kemudian masing-masing labu

ditambahkan urea dan (NH4)2HPO4 sebanyak 1% sebagai nutrisi
(Trisnawati dan Irwan, 2008).

23

2.

Penyiapan Contoh Kulit Kayu Raru
Kulit kayu raru yang digunakan dipotong kecil dengan menggunakan
pisau, kemudian ditimbang hingga berat 1 gram. Contoh ini disterilkan
dengan dicelupkan sebentar ke dalam alkohol 70%. Setelah itu, contoh
direndam dalam air salin (NaCl 0,85%) selama 15 menit dalam mortar
dengan ditutup oleh aluminium foil pada ruang Laminar air flow.
Setelah 15 menit, contoh digerus dengan mortar hingga air salin menjadi
keruh. Cairan hasil gerusan diencerkan dari 10-1-10-5 dan dihomogenkan
dengan menggunakan alat vortex.

3.

Isolasi Mikroba Endofitik pada Media NA
Dari masing-masing pengenceran contoh kulit kayu raru diambil 200 µL
kemudian ditumbuhkan pada medium NA. Contoh diratakan dengan
menggunakan spreader, yaitu suatu alat yang berbentuk L yang
permukaannya halus untuk meratakan contoh yang telah diencerkan.
Pertumbuhan mikroba diamati setiap hari selama 5 hari.

4.

Penapisan Mikroba Endofitik Hasil Isolasi
Mikroba yang didapat dari hasil isolasi dipilih berdasarkan pada
morfologi mikroba, seperti warna, bentuk dan margin pada koloni.
Berdasarkan bentuknya, untuk bakteri memiliki koloni yang lebih besar
serta lebih beranekragam warna dan bentuk koloninya, sedangkan pada
ragi, koloninya berbentuk kecil dan warnanya hanya putih dan sedikit
kekuningan.

Pemisahan bakteri dan ragi dari hasil isolasi dilakukan

24

dengan menggunakan metode tusuk, yaitu mengambil bakteri dan ragi
yang diinginkan dengan menggunakan jarum ose tusuk. Isolat mikroba
diremajakan pada media NA yang baru.
5. Pemurnian Mikroba Endofitik
Isolat mikroba yang didapat dari proses sebelumnya ditumbuhkan pada
media NA yang baru, kemudian dimurnikan dengan menggunakan
metode gores kuadran. Cawan petri yang akan digunakan dibagi menjadi
4 kuadran yang diberi penomoran 1-4.

Mikroba diambil dengan

menggunakan jarum ose gores, kemudian digoreskan pada kuadran
pertama.

Jarum ose disterilkan, ujung dari penggoresan pertama

kemudian diteruskan dengan menariknya pada kuadran kedua dan
digores kembali. Begitu seterusnya hingga kuadran ke-4. Mikroba yang
tumbuh terpisah di kuadran 4 diremajakan pada media NA baru.
6.

Inokulasi Kultur
Sebelum kultur dilakukan, disiapkan starter inokulum.

Inokulum

disiapkan dengan menginokulasi 1 ose biakan isolat ke medium NB steril
dalam labu Erlenmeyer.

Biakan diinkubasi pada suhu 35ºC selama

3 malam.
7. Penentuan Pola Pertumbuhan Sel Mikroba Endofitik
Penentuan pola pertumbuhan sel ini dilakukan pada media NB.
Sebanyak 0,4 mL kultur dimasukan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 3,6 mL akuades, lalu diukur serapannya menggunakan

25

spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 600 nm (overnight :
12-72 jam).
8.

Pengeringan Onggok
Sebelum digunakan onggok terlebih dahulu dikeringkan untuk menurun
kadar

airnya

sehingga

onggok

tidak

mengalami

pembusukan.

Pengeringan onggok dilakukan dengan oven pada suhu 50°C dengan
lama pengeringan 24 jam (BPPT, 2005). Bila belum kering, onggok
akan dikeringkan dengan waktu yang lebih lama, kemudian onggok
dihaluskan hingga ukuran 125 mesh.

9.

Ultrasonifikasi
Pada proses ini, disiapkan 40 gram onggok kering kedalam gelas kimia
dan ditambahkan 800 mL air.

Contoh selanjutnya diultrasonifikasi

selama 90 menit (Trisnawati dan Irwan, 2008). Ultrasonifikasi dilakukan
menggunakan alat ultrason Bason, yang bekerja pada frekuensi tetap
yaitu 20 kHz.

Setelah proses ini selesai, contoh digunakan untuk

percobaan hidrolisis.
10. Hidrolisis Onggok
Contoh yang sudah diultrasonifikasi ditambahkan H2SO4 hingga pH 2,
campuran diaduk hingga rata, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama
2 jam (Trisnawati dan Irwan, 2008). Kemudian hidrolisat onggok dibuat
pH 5 dan dapat digunakan untuk proses fermentasi.

26

11. Fermentasi Hidrolisat Onggok dengan Menggunakan Mikroba
Endofitik
Media fermantasi yang mengandung hidrolisat onggok sebagai substrat
di tambahkan 10% inokulum dari mikroba endofitik hasil penapisan dari
kulit kayu raru dan diinkubasi selama 72 jam.

Setelah fermentasi

berlangsung, diamati kadar alkohol yang pada 72 jam untuk menentukan
kadar etanol yang dihasilkan dan gula pereduksi yang digunakan dalam
fermentasi.
12. Analisis kadar alkohol
Membuat kurva standar hasil oksidasi etanol dengan menggunakan
K2Cr2O7, berdasarkan pada larutan standar etanol dengan konsentrasi
0, 5. 10, 15, 20, 25, dan 30%. Sebanyak 0,5 mL masing-masing larutan
standar ditambahkan dengan 0,5 mL larutan K2Cr2O7 dalam suasana
asam yang dibuat dengan mencampurkan larutan K2Cr2O7 0,1 N dengan
perbandingan 1:1.

Masing-masing campuran dipanaskan selama

10 menit dan diukur absorbansi pada

414 nm.

Selanjutnya

menggunakan kurva standar ini untuk mengukur kadar etanol dari larutan
contoh.
Analisis kadar etanol dalam contoh dilakukan dengan cara mangambil
0,5 mL contoh dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan mikropipet.

Kemudian ditambahkan 0,5 mL K2Cr2O7

0,1 N dalam suasana asam warna larutan jingga dan dididihkan selama
10 menit,warna larutan contoh yang mengandung etanol akan berubah

27

menjadi hijau dan berbau aldehida. Hasil oksidasi ini, kemudian diukur
absorbansi pada

414 nm dengan menggunakan spektrofotometer

UV-Vis.
13. Analisis Gula Pereduksi dengan Metode DNS
Dalam menghitung gula pereduksi dalam contoh, perlu dibuat kurva
standar dari gula reduksi yang akan diukur. Untuk hal ini,dibuat larutan
standar glukosa dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,8; 1; 1,2 dan
1,4 mg/mL. Pembuatan larutan standar glukosa 2 mg/mL, dilarutkan
0,1 g glukosa dalam 50 mL akuades, dan dari larutan tersebut dibuat
larutan standar konsentrasi 0,2; 0,4; 0,8; 1; 1,2 dan 1,4 mg/mL.
Analisis gula pereduksi dalam contoh dilakukan dengan cara mangambil
0,25 mL contoh dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan mikropipet. Kemudian ditambahkan 0,25 mL akuades dan
1 mL DNS. Selanjutnya dididihkan selama 10 menit, dan didinginkan
pada suhu ruang, ditambahkan 1,5 mL akuades, kemudian diukur
absorbansi pada
UV-Vis.

510 nm dengan menggunakan spektrofotometer

38

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan maka
dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1.

Mikroba endofitik yang terdapat pada kulit kayu raru memiliki morfologi
bentuk dan ukuran koloni yang beraneka ragam.

2.

Dari serangkaian kegiatan isolasi dan penapisan pada medium NA
didapat enam mikroba endofitik kulit kayu raru, yaitu MA1-01, MA1-02,
MA1-03, MA2-01, MA2-02 dan MA2-03.

3.

Waktu Pertumbuhan optimum isolat mikroba MA1-01, ,MA1-03, MA201 dan MA2-03 pada medium NB adalah 36 jam, sedangkan mikroba
MA1-02 dan MA2-02 adalah 48 jam

4.

Hasil oksidasi dari destilat hasil fermentasi hidrolisat onggok dengan
mikroba MA1-01, MA1-02, MA1-03, MA2-01, MA2-02 dan MA2-03
dengan K2Cr2O7, hanya destilat MA2-02 yang positif mengandung etanol
dengan konsentrasi 15,5 %

5.

Berdasarkan dari analisis gula reduksi hasil fermentasi hidrolisat onggok
dengan mikroba MA2-02, mikroba MA2-02 memerlukan gula reduksi
sebesar 0,6439 mg/mL untuk menghasilkan etanol dengan konsentrasi
15,5 %..

39

B. Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka pada penelitian selanjutnya
disarankan:
1.

Perlu dilakukan analisis kadar alkohol dari hasil fermentasi hidrolisat
onggok oleh mikroba MA2-02 dengan menggunakan spektrofotometri
GCMS.

2.

Perlu dilakukan klasifikasi dari mikroba agar didapat mikroba yang lebih
spesifik lagi.

3.

Perlu ditentukan kondisi optimal dari fermentasi hidrolisat onggong
menggunakan mikroba MA2-02 agar didapatkan kadar etanol yang lebih
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Agra, I. B., Warnijati, S., dan Pujianto, B., 1973. “ Hidrolisa Pati Ketela Rambat
Pada Suhu Lebih Dari 100 C”, Forum Teknik, 3, 115-129.
Alberty, F. D., 1992. Kimia Fisik. Jakarta, Erlangga
Alexander, R.J. 1992. Maltodextrins: Production, properties, and applications.
Dalam. Zobel
Amin, M., 2012. Pembelajaran Awal Isolasi Mikroba Endofitik Kayu Raru pada
Media Kaya Nutrisi Untuk Fermentasi Alkohol. Laporan Kerja Praktik,
Universitas Lampung. Lampung.
Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Budiyanto, S.,
1988. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. IPB
Astuti, T. D., 2008. Lama Inkubasi dan dosis Ragi pada Fermentasi Tepung
Gaplek (Manihot esculanta Crantz) Terhadap Kadar Glukosa dan BioEtanol dengan Penambahan Aspergilus Niger. Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Atkins, P.W. 1999. Kimia Fisika. Jilid 1. Edisi Keempat. Jakarta, Erlangga
Balai Pusat Statistik Indonesia. 2010. http://www.bps.go.id/. Lampung dalam
Angka: Tanaman Pangan di Provinsi Lampung Tahun 2005 – 2010.
Diakses pada tanggal 20 juni 2012 pukul 19.15 WIB
BeMiller,J.N., dan Whistler,R. 2009. Starch: Chemistry and Technology.
Academic Press,Inc
Boddey RM, Urquiaga S, Reis V, Dobereiner J. 1991. Biological nitrogen fixation
associated with sugarcane. In: Polsinelli M, Materassi R, Vincenzini M
(eds). Nitrogen Fixation. London: Kluwer Acad. P 105-111.
Boonjawat J et al. 1991. Biology of nitrogen fixing rhizobacteria. In: Polsinelli M,
Materassi R, Vincenzini M (eds). Nitrogen Fixation. London: Kluwer
Acad. p 97-103.

41

Day, A. A dan Underwood, A. L., 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta,
Erlangga
Dong Z et al. 1994. A nitrogen-fixing endophyte of sugarcane stems. A new role
for thr apoplast. Plant Physiol 105:1139-1147.
Elianasari, V. D., 2012. Pembelajaran Awal Isolasi Mikroba Endofitik Kayu Raru
pada Media Miskin Nutrisi Untuk Fermentasi Alkohol. Laporan Kerja
Praktik, Universitas Lampung. Lampung.
Gunasekaran, P. T. Karunakaran dan M. Kasthuribai. (1986). “Fermentation
pattern of Zymomonas mobilis strains on different substrates—a
comparative study”, J. Biosci., Vol. 10. Number 2. pp. 181-186.
Gunasekaran, P. dan Raj, K.C., (1999), “Fermentation Technology-Zymomonas
mobilis”, Departement of Microbial Technology, School of Biological
Sciences, Mandurai Kamaraj University: India.
Hallmann J., Hallmann A.Q., Mahaffee W.F., Kloepper. 1997. Bacterial
endophytes in agricultural crops. Can J Microbiol 43:895-914.
Harni, R., Abdul M., Supramana, dan Ika M., 2007. Potensi Bakteri Endofit
Pengendali Nematoda Peluka Akar (Pratylenchus brachyurus) pada
Nilam. HAYATI Journal of Biosciences. vol 14. p 7-12.
Hidayat, N., M. C. Padaga dan S. Suhartini, 2006. Mikrobiologi Industri. Andi,
Yogyakarta
Judoamidjojo, M., A. A. Darwis, dan E. G. Said, 1992. Teknologi Fermentasi.
Rajawali-Press, Jakarta.
Kompas, 2005. Emisi Karbon Gasohol lebih Rendah Dibanding Pertamax.
http:/www.kompas-online.co.id. Diakses pada tanggal 15 juni 2012
pukul 19.15 WIB
Kumala, S., Agustina E., dan Wahyudi P., 2006. Uji Aktivltas Antimikroba
Metabolit Sekunder Kapang Endofit Tanaman Trengguli (Cassia Futula
L). FF Universitas Pancasila, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta
Selatan
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy Thenawijaya, penerjemah.
Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of
Biochemistry.
Litbang, 2008. Gunakan Bahan Lokal untuk Pakan Unggas.
http://www.litbang.deptan.co.id.

42

Lumyong S, Norkaew N, Ponputhachart D, Lumyong P, dan Tomita F, 2001.
Isolation, Optimitation and Characterization of Xylanase from
Endophytic fungi. Biotechnology for Sustainable Utilization of
Biological Resources. The Tropic, 15.
McFarland, J. 1907. Nephelometer; JAMA 14:1176 1178
Melliawati R., Dian Noverita W., Apridah C D., dan Harmastini S., 2006.
Pengkajian Bakteri Endofit Penghasil Senyawa Bioaktif untuk Proteksi
Tanaman. B I O D I V E R S I T A S. Vol. 7, Halaman: 221-224
Meyer, L. H., 1970. Food Chemistry. Reinhold Publishing Coorporation, New
York.
Muthukumarasamy R, Revathi G, Seshadri S, Lakshminarasimhan C. 2002.
Gluconacetobacter diazotrophicus (syn. Acetobacter diazotrophicus), a
promising diazotrophic endophyte in tropic. Curr Sci 83:137-145.
Onsoy T., P. Thanonkeo, S. Thanonkeo dan M. Yamada. 2007. “Ethanol
Production From Jerusalem Artichoke By Zymomonas Mobilis In Batch
Fermentation”. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S1
Pandey, A., Soccol, C. R., Ningam, P. dan Soccol, V. T. 2000. Biotechnological
potential of agro – industrial residues : II cassava bagasse. J.
Bioresource Technology. 74, pp 81 – 87.
Pasaribu,G. T.,2009. “Zat Ekstraktif Kayu Raru Dan Pengaruhnya Terhadap
Penurun Kadar Gula Darah Secara In Vitro”. Tesis, IPB. Bogor.

Puspita, E. M., Silviana H. dan Ismail T., 2010. “Fermentasi Etanol Dari Molasses
Dengan Zymomonas Mobilis A3 Yang Diamobilisasi Pada Karaginan”. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses 2010.
Rahman, A. M., 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung
Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut
Kacang Pada Produk Kacang Salut. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian
Bogor.
Soebagio, B., Sriwododo, dan Adhika, A. S. 2009. Pengujian Sifat Fisikokimia
Pati Biji Durian (Durio Zibethinus Murr) Alami dan Modifikasi cecara
Hidrolisis Asam (skripsi). Bandung: Universitas Padjadjaran
Shiomi H. F.; Harllen Sandro A. S.; Itamar S. M.; Flávia V. N.; Wagner B., 2006.
Bioprospecting Endophytic Bacteria For Biological Control Of Coffee
Leaf Rust. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), v.63, n.1, p.32-39

43

Simarmata, R., Lekatompessy, S., dan Sukiman, H., 2007, “Isolasi Mikroba
Endofitik Dari Tanaman Obat Sambung Nyawa (Gynura procumbens)
dan Analisis Potensinya Sebagai Antimikroba”. Berk. Penel. Hayati: 13
(85–90)
Sriyanti, 2003. Perbandingan Kadar Alkohol dan Asam Asetat pada Cuka Air
Cucian Beras. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.
Stout, L. E., dan Ryberg, 1989. Polysacharida Chemistry. Academic-Press. Inc
Publisher, New York.
Strobel, G.A. 2003. “Endophytes as sources of bioactive products”. pp.11
Sunarni, N., 2010. Isolasi Dan Identifikasi Jamur Endofit Dari Akar Tanaman
Kentang Sebagai Anti Jamur (Fusarium Sp, Phytoptora Infestans) Dan
Anti Bakteri (Ralstonia Solanacaerum). Skripsi. Fakultas Sains Dan
TeknologiUniversitas Islam Negeri Malang (Uin) Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Supriyanto, R., 1990. Kimia Analitik. Lampung, Universitas Lampung

Susijahadi, 1997. Hasil Olahan Tepung Tapioka. http://www.iptekindo.com.

Tanate T. S. dan S. R. Putra, 2008, “Pembuatan Etanol Menggunakan Zymomonas
Mobilis Pada Kondisi Steril dan Nonsteril dengan Memanfaatkan
Limbah Padat Pabrik Rokok Kretek Sebagai Substrat”, Tesis. ITS.
Surabaya.
Tan, R.X., dan W.X. Zou. 2001. “Endophytes : a rich source of functional
metabolites”. Nat. Prod. Rep. 18: 448-459.
Tian H., Riggs R.D., and Crippen D.L., 2000. Control of soybean cyst nematode
by chitinolytic bacteria with chitin subtrate. J Nematology 32:370-376.
Ting A.S.Y., S.W. Mah dan C.S. Tee. 2010. “Identification of Volatile
Metabolites from Fungal Endophytes with Biocontrol Potential
towards Fusarium oxysporum F. sp. cubense Race 4”. A. J. of
Agri.and Bio. Sci. 5 (2): 177-182
Taringan, R. Dan Kuswandi. 2010. “Efektivitas Asal Isolat Bakteri Endofit Dan
Kerapatan Pengenceran Dalam Mengendalikan Penyakit Busuk Batang
(Sclerotium Rolfsii Sacc) Pada Tanaman Kedelai”. Balai Penelitian
Tanaman Buah

44

Trisnawati, E. And Suka, S. G., 2007. Pembuatan Etanol Dari Onggok
Terhidrolisis. Laporan Kerja Praktik, Universitas Lampung. Lampung
Trisnawati, E. And Suka, G. I., 2008. Pengaruh Ultrasonifikasi Terhadap
Hidrolisis Pati Dan Onggok Serta Kaitannya Dengan Fermentasi
Menggunakan Kulit Kayu Tanaman Raru (Garcinia Mangostana)
Skripsi. Universitas Lampung. Lampung
Vidya, E. Y., 2002. Pemanfaatan Ampas Singkong Menjadi Mkanan Bernilai
Gizi. http://www.tanimakmursejahtera.blogspot.com.
Volk, W.A dan M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar, Jilid 1, Edisi kelima.
Alih bahasa oleh Soenarto Adisoemarto, Ph.D. Erlangga. Jakarta. 396
halaman.
Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utana
:Jakarta
Winarno, F.G.1994. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama :Jakarta