Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

(1)

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA FIDUSIA SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 42

TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

SUDARMONO

NIM : 070200449

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA FIDUSIA SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 42

TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

SUDARMONO

NIM : 070200449

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH

Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana

Fidusia Sesuai Dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

4. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya


(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2012 Penulis

Sudarmono


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penulisan ... 19

G. Sistematika Penulisan. ... 20

BAB II. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA ... 22

A. Objek Fidusia ... 22

B. Keberadaan Lembaga Fidusia Dalam Hukum Jaminan ... 26

C. Eksekusi Jaminan Fidusia. ... 29

BAB III. PERBUATAN-PERBUATAN YANG DIGOLONGKAN DALAM TINDAK PIDANA FIDUSIA. ... 36

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana di Bidang Fidusia ... 36


(6)

Fidusia ... 46

C. Perbuatan Yang Digolongkan Sebagai Perbuatan Tindak Pidana Fidusia. ... 57

BAB IV. PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA FIDUSIA. ... 63

A. Penyidik Tindak Pidana di Bidang Fidusia ... 63

B. Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Fidusia ... 73

C. Upaya Yang Dilakukan Oleh Penyidik Dalam Hambatan Penyidikan Tindak Pidana Fidusia. ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran... 80 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

Penyelidikan adalah rangkaian proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari prose penyidikan oleh Polri sebagai bagian dari kebijakan aplikatif hukum pidana (politik kriminal). Salah satu sarana dari politik kriminal adalah sarana penal atau penegakan hukum pidana yang tercakup dalam sistem peradilan pidana. Peran Polri dalam penanganan tindak pidana fidusia merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia, apakah kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia serta apakah upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan hambatan penyidikan tindak pidana fidusia.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan penyidik tindak pidana di bidang fidusia adalah kepolisian. Kewenangan Polri sebagai penyidik tindak pidana fidusia adalah menyangkut ruang lingkup yang telah digariskan oleh undang-undang jaminan fidusia yakni melakukan serangkaian penyidikan tentang adanya dugaan tindak pidana fidusia. Peran penyidik Polri menyangkut penentuan kebenaran materil suatu peristiwa pidana, dasar kewenangan penyidik polri untuk menyidik tindak pidana fidusia dimulai dari kriminalisasi perbuatan debitur. Kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia adalah alamat tempat tinggal debitur tidak diketahui dan jauh, sehingga secara geografis agak sulit ditemui atau melakukan hubungan dan kendaraan yang menjadi Jaminan tidak diketahui keberadaannya. Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam hambatan penyidikan tindak pidana fidusia adalah memberikan pembinaan kepada

perusahaan leasing, untuk lebih selektif dalam rangka mencegah tindak pidana

fidusia, meskipun sebenarnya pihak perusahaan membutuhkan nasabah/debitur sebanyak-banyaknya, akan tetapi juga harus memperhatikan faktor resiko yang akan terjadi dan melakukan Cros cek terhadap informasi-informasi yang diberikan oleh pihak debitur dengan pihak leasing dalam rangka penyidikan suatu tindak pidana fidusia.


(8)

ABSTRAK

Penyelidikan adalah rangkaian proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari prose penyidikan oleh Polri sebagai bagian dari kebijakan aplikatif hukum pidana (politik kriminal). Salah satu sarana dari politik kriminal adalah sarana penal atau penegakan hukum pidana yang tercakup dalam sistem peradilan pidana. Peran Polri dalam penanganan tindak pidana fidusia merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia, apakah kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia serta apakah upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan hambatan penyidikan tindak pidana fidusia.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan penyidik tindak pidana di bidang fidusia adalah kepolisian. Kewenangan Polri sebagai penyidik tindak pidana fidusia adalah menyangkut ruang lingkup yang telah digariskan oleh undang-undang jaminan fidusia yakni melakukan serangkaian penyidikan tentang adanya dugaan tindak pidana fidusia. Peran penyidik Polri menyangkut penentuan kebenaran materil suatu peristiwa pidana, dasar kewenangan penyidik polri untuk menyidik tindak pidana fidusia dimulai dari kriminalisasi perbuatan debitur. Kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia adalah alamat tempat tinggal debitur tidak diketahui dan jauh, sehingga secara geografis agak sulit ditemui atau melakukan hubungan dan kendaraan yang menjadi Jaminan tidak diketahui keberadaannya. Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam hambatan penyidikan tindak pidana fidusia adalah memberikan pembinaan kepada

perusahaan leasing, untuk lebih selektif dalam rangka mencegah tindak pidana

fidusia, meskipun sebenarnya pihak perusahaan membutuhkan nasabah/debitur sebanyak-banyaknya, akan tetapi juga harus memperhatikan faktor resiko yang akan terjadi dan melakukan Cros cek terhadap informasi-informasi yang diberikan oleh pihak debitur dengan pihak leasing dalam rangka penyidikan suatu tindak pidana fidusia.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi dalam informasi dan kegiatan perdagangan dunia telah menyebabkan masuknya nilai-nilai, norma-norma dan budaya-budaya tertentu dari masyarakat yang saling berinteraksi. Gejala-gejala yang paling umum dan seringkali dijumpai adalah masuknya berbagai aktivitas atau kegiatan bisnis yang semula berkembang atau dikembangkan disuatu negara tertentu kedalam kegiatan bisnis negera-negara lainnya. Sehingga di Indonesiapun secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi tatanan, sistem atau struktur hukum yang berlaku di Indonesia jika mengadopsi kegiatan bisnis tersebut dari negara lain.

Dengan demikian akan terjadi adaptasi nilai-nilai sosial dan budaya, ekonomi, dan hukum, khusus adaptasi hukum, penyesuaian yang dilakukan tidak akan mengalami banyak kesulitan, jika kedua negara tersebut memiliki

latar belakang sistem hukum yang sama.1

Pemerintah Republik Indonesia, melalui lembaga legislatif dan eksekutifnya telah membentuk berbagai macam ketentuan hukum tertulis yang diberlakukan secara umum ke seluruh masyarakat Indonesia, agar ada hukum yang mengatur kegiatan atau hubungan antar sesama anggota masyarakat dalam

1

Kartini Muljadi & Gunawan Wijaya. Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004, hal. 3.


(10)

kehidupan sehari-hari melalui nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, serta dalam kegiatan dunia usaha bagi seluruh warga negarannya, agar dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Begitupula dalam kegiatan usaha sesuai dengan kemajuan informasi, maka di Indonesia telah berkembang dengan pesat perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor roda empat

finance, yang pada awalnya merupakan bentuk usaha yang diadopsi dari negara lain, dalam perkembangannya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengalami kemajuan, terbukti dengan telah dibuka cabang-cabang perusahaan sampai di tingkat Kabupaten.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, bahwa perusahaan pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor tersebut sangat menguntungkan, tetapi dalam kegiatannya tak akan lepas dari peran hukum, terutama hukum perdata yang mengatur tentang perikatan, diantaranya dalam dunia usaha. Biasanya dalam suatu perikatan atau perjanjian didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur agar perusahaan tersebut berkembang secara sehat. Dalam sebuah perikatan yang berhubungan dengan kepemilikan kendaraan roda empat sering dikenal dengan istilah jaminan fidusia yaitu :

Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu” (Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat (1),


(11)

Sehingga dalam inplementasinya bentuk perikatan ini yaitu dengan perjanjian sewa beli antara kreditur dan debitur selama kewajiban debitur belum melunasi utangnya terhadap kreditur, maka kendaraan tersebut masih menjadi milik kreditur.

Tetapi dalam pelaksanaannya dalam perjanjian sewa beli ini tidak selalu lancar sesuai dengan yang diharapkan, adakalanya pihak debitur yang dengan sengaja melakukan tindak penggelapan.

Dengan demikian terhadap debitur yang melakukan tindak penggelapan tersebut harus di berikan sanksi oleh pihak kreditur, berupa pengambilan paksa jaminan atau dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib (polisi). Adapun untuk mengetahui sampai sejauh mana tindak melawan hukum yang dilakukan oleh pihak dibitur yaitu dengan melakukan penggelapan.

Sehingga penerapan sanksi yang dilakukan oleh pihak kreditur terhadap tindak pidana penggelapan akan lebih tepat, memenuhi rasa keadilan dan dalam upaya penegakan hukum.

Suatu hal yang terkait langsung dengan tindak pidana fidusia ini adalah keberadaan penyidik khususnya penyidik kepolisian.

Penyelidikan adalah rangkaian proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari prose penyidikan oleh Polri sebagai bagian dari kebijakan aplikatif hukum pidana (politik kriminal). Salah satu sarana dari politik kriminal adalah sarana penal atau penegakan hukum pidana yang tercakup dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik


(12)

hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana. Namun demikian lembaga ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.2

Peran Polri

Sifat yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa kearah ketidakadilan. Dengan demikian demi yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

3

dalam penanganan tindak pidana fidusia merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana4

2

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995, hal. 4

3

Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana. penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan. Dengan demikian apa yang hendak dilakukan oleh setiap


(13)

penegak hukum yang menurut fungsi-fungsinya harus dilaksanakan dalam proses sistem peradilan pidana tersebut, tidak boleh menjadi dominan. Fungsi penyidikan, penuntutan dan mengadili haruslah ditundukkan kepada tujuan besar dan utama yakni subtantial dan protection of human rights.

Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice system tindak pidana

fidusia pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana,5 artinya

fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana,

yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum 6

4

Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2.

6

Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1994, hal. 157.

Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh


(14)

aparat eksekusi hukum.7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang “Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana

Fidusia Sesuai Dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia”.

Dari uraian yang dipaparkan di atas, agar penelitian lebih terarah maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia?

2. Apakah kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana

fidusia?

3. Apakah upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan

hambatan penyidikan tindak pidana fidusia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah:

Untuk mengetahui peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak

pidana fidusia.

Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan

7

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 30


(15)

hambatan penyidikan tindak pidana fidusia.

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Akan sangat bermanfaat dalam menyelesaikan debitur yang melakukan

tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.

b. Dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dihadapi

perusahaan leasing dalam penerapan sanksi terhadap tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli.

d. Bagi peneliti berguna untuk menambah wawasan, pengalaman dalam mengembangkan profesi, menambah kepekaan, menambah pengetahuan juga pemahaman akan kondisi sebenarnya tentang penerapan sanksi terhadap tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli yang terjadi di lapangan.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai Dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.


(16)

E. Tinjauan Kepustakaan Pengertian Penyidikan

Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari “ dan menemukan “ sesuatu peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut :

Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1 menyebutkan : “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang


(17)

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan “. Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah :

1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia,

2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang.

Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “ Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah “.

Dalam penjelasan dari pasal 6 ayat (2) KUHAP, disebutkan juga bahwa “Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah

diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum”.

Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :

Pasal 2 ayat (1) :

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat pembantu letnan dua polisi.

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat

pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu. Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2) dari pasal 2 di atas yaitu :


(18)

dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik “.

Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “.

Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “.

Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “.

Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).

Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus


(19)

mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.

Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.

Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. Tidak diberikannya kedudukan sebagai penyidik kepada setiap polisi negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain. Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri menjunjung hak asasi manusia.

Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang


(20)

tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.

2. Pengertian Fidusia

Fidusia atau lengkapnya disebut juga dengan Fidusia Eigendoms

overdracht dan sering juga disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, merupakan suatu jaminan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh Yurisprudensi.

Menurut asal katanya fidusia berasa dari kata fides yang berarti

“kepercayaan” berarti hubungan hukum antara debitur dengan kreditur diletakkan atas kepercayaan dalam hal ini pihak kreditur percaya sepenuhnya kepada debitur, bahwa tanpa jaminan yang dipegangnya debitur akan melaksanakan prestasi atau kewajibannya, hal ini sangat bertentangan dengan cara gadai, pada gadai benda itu diserahkan kepada debitur sebagai jaminannya.

Menurut asal usulnya, fidusia ini sudah dikenal sejak zaman Romawi, menurut hukum Romawi dengan fidusia dimaksudkan, peristiwa seorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya, dengan mengadakan jual pura-pura dengan maksud menerima benda itu kembali dari kredit tersebut setelah barang dibayar lunas, jadi sebagai gadai.


(21)

Menurut pendapat Oey Hoey Tiong:

“Orang-orang Romawi mengenai dua bentuk fidusia yaitu fidusia cum

creditore dan fidusia cum amico, keduanya timbul dari perjanjian yang disebut

dengan pacrum fidusiae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in

iure cessio”.8

Timbulnya fidusia cum creditore adalah disebabkan karena kebutuhan

masyarakat akan hukum jamian pada masyarakat Romawi pada saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan pada masyarakat Romawi pada saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan sehingga dalam prakteknya mempergunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pengalihan hak milik dari debitur kepada kreditur, cara pengalihan hak itu pada saat itu bukanlah berdasarkan atas kekuatan hukum akan tetapi berdasarkan atas kekuatan moral saja.

Dalam bentuk yang pertama (fidusia cum creditore) seorang debitur

menyerahkan suatu barang dalam pemilikan kreditur, kreditur sebagai pemilik mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemilikan atas barang itu kepada debitur apabila debitur sudah memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

9

Dengan kelemahan fidusia cum creditore, maka digantikan oleh gadai

dan hipotik, karena pada waktu itu jaminan kebendaan ini dianggap lebih sesuai dan gadai serta hipotik ini diatur dalam hukum yang tertulis sehingga lebih

Oleh karena kelemahan-kelemahan yang terdapat pada bentuk fidusia

cum creditore, maka ketika gadai dan hipotik berkembang sebagai hak-hak jaminan kebendaan maka terdesaklah fidusia hingga akhirnya sama sekali hilang dari hukum Romawi.

8

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 35.

9


(22)

menjamin kepastian hukum dan keduanya memberikan hak-hak yang seimbang antara debitur sebagai pihak pemberi jaminan dan kreditur sebagai pihak yang memberi jaminan.

Karena pada fidusia cum creditore banyak terdapat kelemahan, maka

sebagai penggantinya timbul pula fidusia cum amico. Bentuk fidusia ini terjadi apabila seseorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain untuk

diurus. Jadi terlihat perbedaan dengan fidusia cum creditore, dalam hal ini

kewenangan seakan pada pihak penerima akan tetapi kepentingan kepada pihak pemberi, jelasnya penerima hanya sebagai pihak yang menjalankan kewenangan untuk kepentingan pihak pemberi (debitur).

Kalau diperhatikan uraian di atas mengenai bentuk fidusia yang terjadi pada zaman Romawi, maka untuk itu tidaklah sama dengan fidusia yang

dipergunakan sekarang ini, akan tetapi fidusia cum creditore adalah sama

dengan perjanjian jaminan dengan gadai.

Jadi jelasnya fidusia yang terjadi di zaman Romawi sebenarnya adalah gadai sebab dengan nyata yang menjadikan objek perikatan itu berpindah dan beralih dari tangan debitur ke tangan kreditur. Sedangkan pengertian fidusia yang dikenal saat ini objek jaminan itu tetap berada dalam tangan pihak debitur.

Karena lembaga jaminan hipotik dan gadai pada zaman Romawi sudah diatur pada peraturan hukum yang tertulis, maka masyarakat pada masa itu banyak yang memakainya, karena pihak-pihak akan lebih terjamin hak-haknya sehingga lembaga jaminan fidusia yang tidak diatur secara tertulis itu ditinggalkan.


(23)

Tetapi saat sekarang ini lembaga jaminan fidusia telah menampakan wujudnya yang baru, dengan bentuk yang baru dan disesuaikan dengan kebutuhan pada jaman sekarang ini, fidusia yang baru ini dikenal dengan istilah

fidusiare eigendoms overdracht. Di Indonesia telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Menyangkut Hukum Romawi, maka pengaruhnya tidak terlepas dari hukum di negeri Belanda. Begitu pula hukum yang ada di negeri Belanda akan berpengaruh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum Romawi diterima oleh hukum Belanda, fidusia tidak ikut diterima di negeri Belanda, B.W Belanda tidak memuat pengaturan tentang fidusia, dengan demikian juga

halnya KUH Perdata Indonesia, yang menurut asas concordantie disesuaikan

dengan B.W yang berlaku di negeri Belanda.10

Dalam hukum di Romawi dan Belanda di Indonesia tentang lembaga jaminan dikenal dengan bentuk hipotik dan gadai, untuk jaminan benda bergerak dan hipotik untuk jaminan benda tidak bergerak. Kedua lembaga jaminan ini pada mulanya dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam perkreditan. 11

Tetapi pada abad pertengahan sampai akhir abad ke 19, terjadi krisis dalam bidang pertanian di negara-negara Eropa, sehingga menghambat perusahaan-perusahaan pertanian dalam memperoleh kredit, tanah sebagai

10

Ibid, hal. 37.

11


(24)

objek hipotik tidak populer, pihak pemberi kredit menghendaki jaminan gadai, sebagai tambahan di samping hipotik, untuk perusahaan pertanian memberikan gadai dan hipotik sekaligus dapat berarti menghentikan usahanya. Memberikan gadai ia harus menyerahkan alat-alat usahanya atau pertaniannya kepada kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk, dengan demikian seandainya memperoleh kredit pun tidak akan dapat mengolah pertaniannya karena tidak ada alat-alatnya.

Permasalahan tersebut sulit dicari pemecahannya, kreditur menghendaki jaminan yang pasti sedang debitur selain menghendaki kredit juga ingin meneruskan usaha, mereka tidak dapat mengadakan gadai tanpa penguasaan untuk mengatasi keadaan ini, akhirnya ditemui juga jalan keluarnya itu dengan mempergunakan konstruksi hukum yang ada berupa jual beli dengan hak membeli kembali secara tidak benar.12

12

Ibid., hal. 38.

Cara ini dipergunakan hanya untuk menutupi sesuatu perjanjian pinjam uang dengan suatu jaminan. Jual beli dengan hak membeli kembali ini agaknya dapat mengatasi masalah, akan tetapi karena bukan suatu bentuk jaminan yang sebenarnya tentu saja mempunyai kekurangan-kekurangan dalam hubungan antara debitur dan kreditur.

Kelemahan yang pertama adalah dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali, pihak pembeli menjadi pemilik dari barang-barang yang dijual, sampai pihak penjual membeli kembali, dalam jangka waktu yang ditentukan penjual tidak membeli maka pembeli menjadi pemiliknya untuk seterusnya, kelemahan kedua ialah jangka waktu pembelian kembali itu terbatas sesuai dengan apa yang diperjanjikan tetapi tidak boleh lebih dari lima tahun.


(25)

Kelemahan-kelemahan yang dilakukan pihak-pihak terutama pihak debitur, akan tetapi mereka dipaksa oleh keadaan yaitu dengan memperoleh kredit dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali sehingga ia dapat meneruskan usahanya, atau sama sekali tidak memperoleh kredit, apabila ingin memperoleh kredit maka dipergunakanlah lembaga jual beli dengan hak membeli kembali dengan segala akibatnya.

Sifat spekulatif pada lembaga jual beli dengan hak membeli kembali agak menonjol, karena kalau diperoleh kredit berarti meneruskan usaha dan kemungkinan mendapatkan untung dan dari keuntungan ini didapat membeli kembali barang-barang yang telah dijualnya.

Keadaan itu artinya keadaan tidak ada bentuk jaminan yang memadai,

telah berakhir dengan dikeluarkannya keputusan Hoge Raad Belanda tanggal

29 Januari 1929 yang terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest.

Sejak dikeluarkannya putusan Arrest tersebut maka timbullah kembali

nama fidusia, fidusia yang dimaksud adalah penemuan dari hakim, yang berbeda dengan fidusia yang dikenal dalam Hukum Romawi.

Menurut beberapa ahli hukum Belanda nama fidusia itu adalah beraneka ragam, antara lain:

Eggen menyebutkan dengan Oneigenlijk Pandrecht-Pandrecht palsu,

fidusia adalah benci, mukanya adalah eigendom, tetapi jiwanya adalah

Pand. Bloom memberi nama Bezit loos Pand, Pand tanpa bezit, Pitlo

menamakan bentuk ini Zakerheid Eigendom, Fidusiare Eigendom atau

Uitgeholde Eigendom, hak milik sebagai tanggungan atau hak milik yang sudah digerogoti.13

13

Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangun-Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa, Majalah Hukum dan Keadilan, No. 3 Tahun III, Mei–Juni 1972, hal. 4.


(26)

Kahrel memberi nama, Verium Pand Begrip (pengertian gadai yang

diperluas). A. Veenhoven menyebut Eigendomsoverdracht Tot Zakerheid

(penyerahan milik sebagai jaminan).14

R. Subekti, menyebutkan dengan nama fidusia saja.15

Perihal keberadaan lembaga fidusia ini di Indonesia sama saja seperti di Negara Belanda bahwa mereka juga mencari jalan keluar cara tersebut, juga jual beli dengan hak membeli kembali, hal ini terlihat dengan di keluarkannya peraturan tentang ikatan panen (Dogsverbend) yang diatur dalam Stb. 1886 No. 57. Ikatan panen itu ialah suatu jaminan untuk pinjam uang, yang diberikan atas panenan yang diperoleh dari suatu perkebunan.16

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diterangkan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

Dalam lembaga ini ikatan panenan jaminan dapat terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak, di mana benda itu masih berada di tangan debitur, namun perikatan itu hanya terbatas di perkebunan-perkebunan, akan tetapi dalam bidang lainnya seperti perdagangan atau bidang-bidang lainnya belum dapat pemecahannya.

Setelah keluarnya keputusan Hoge Raad tanggal 29 Januari 1929

tersebut, barulah ada petunjuk bahwa praktek hukum di Indonesia mengikuti

Arrest tersebut, hal ini terbukti dalam sebuah kasus yang dikenal dengan

Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) lawan Pedro Clignett.

14

Mariam Darus Badrulzaman, Hipotik dan Credietverband II, FH-USU, Medan, 1978, hal. 4.

15

R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 75.

16


(27)

kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Keberadaan jaminan fiusia adalah sangat membantu pihak debitur dimana alat-alat atau benda-benda yang dijaminkan dapat dipergunakan debitur.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan telaah peranan penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana fidusia dengan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2. Sumber Data

Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder. Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUHP dan


(28)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, KUHAP dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti.

4. Analisis Data

Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang menggambarkan fenomen-fenomena mengenai hasil penelitian dengan kalimat-kalimat sehingga dapat memecahkan rumusan masalah.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:


(29)

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang menyangkut Jaminan Fidusia

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Objek Fidusia,

Keberadaan Lembaga Fidusia Dalam Hukum Jaminan serta Eksekusi Jaminan Fidusia.

Bab III. Perbuatan-Perbuatan yang Digolongkan Dalam Tindak Pidana Fidusia.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Faktor

Penyebab Terjadinya Tindak Pidana di Bidang Fidusia Pihak-Pihak Yang Ditugikan Dalam Tindak Pidana Fidusia serta Perbuatan Yang Digolongkan Sebagai Perbuatan Tindak Pidana Fidusia.

Bab IV. Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Penyidik

Tindak Pidana di Bidang Fidusia, Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Fidusia serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Penyidik Dalam Hambatan Penyidikan Tindak Pidana Fidusia.


(30)

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana


(31)

BAB II

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT

JAMINAN FIDUSIA

Objek Fidusia

Lembaga jaminan fiducia memegang peranan yang penting, karena selain sebagai jaminan tambahan apabila dianggap masih kurang mencukupi, artinya, apabila jaminan dengan hak tanggungan sebagaimana diterangkan dalam UU No. 4 Tahun 1996 kurang mencukupi, atau tidak jelas apakah benda tersebut digolongkan kepada benda bergerak atau tidak bergerak, maka keadaan demikian benda tersebut dijaminkan melalui fidusia, misalnya mesin-mesin pabrik, ada kalanya melalui fidusia ia digolongkan kepada benda tidak bergerak.

Pada mulanya ojek fidusia itu hanya ditujukan pada benda-benda bergerak saja, misalnya sepeda motor, mesin-mesin ringan atau perkakas rumah tangga dan lain-lainnya, kemudian perkembangan selanjutnya dalam praktek juga seperti bangunan-bangunan, misalnya rumah, toko, gedung di atas tanah orang lain, yaitu tanah sewa dan pakai , semua ini dapat difidusiakan, bahkan juga hak pakai atas tanah juga dapat difidusiakan.

Sri Soedewi Majhoen Sofwan, mengemukakan, mengenai pertumbuhan fidusia di Indonesia mengalami perkembangan yang lain, perkembangan menjurus kearah pertumbuhan yang semarak, subur dan meluas kearah jaminan dengan benda tidak bergerak.17

17

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek dan pelaksanaannya di Indonesia, Fak. Hukum Gajah Mada, Yogyakarta, 1977, hal. 75.


(32)

Selanjutnya beliau mengatakan “Pada umumnya perkembangan fidusia di Indonesia disebabkan rasa kebutuhan dari masyarakat sendiri, di samping juga terpengaruh dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 di Indonesia, dirasakan sesuai dengan kebuthan masyarakat karena prosesnya lebih mudah, lebih luwes biayanya murah, selesainya cepat dan meliputi benda-benda bergerak ataupun benda tidak bergerak.

Sebagai mana kita ketahui objek dari hak tanggungan itu adalah benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan yang ada di atasnya, akan tetapi di dalam fidusia dimungkinkan jaminannya dengan benda tidak bergerak, yang menjadi masalah apakah hak jaminan yang seharusnya dengan hak tanggungan dapat difidusiakan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka sebaliknya kita melihat dahulu pendapat yang dikemukakan oleh Asser Scholten, mengemukakan apakah benda tidak bergerak dapat difiduciakan atau tidak, secara dogmatis dikatakan tidak mungkin, karena tidak ada publisitas dari penyerahan dan karena

Bierbroowerij Arrest memberi sanksi pada kebutuhan dan kebiasaan menjamin benda bergerak saja.

Atas jawaban tersebut Pitlo mengemukakan dengan mengatakan “Bisa saja dan kiranya bila penyerahnnya secara yuridis juga telah terjaadi, artinya dengan Zakelijk Overeenkost, pendaftaran pada pejabat pendaftaran tanah disamping adanya perjanjian bahwa penyerahnannya ini hanya atas kepercayaan saja, bukanlah fiducia itu dalam sistematika B.W merupakan suatu perjanjian baru yang bernama. Hanya tentunya tidak banyak yang menggunaan karena sudah ada lembaga jaminan dengan hipotik yang untuk mendapatkan sertifikatnya lebih murah


(33)

biayanya. Sedangkan freferensi-freferensi dan klausule-klausulenya telah diatur rapi dalam undang-undang dan grossenya telah mempunyai titel executorial.18

Pendapat yang menerima pendapat Pitlo adalah A. Veenhoven, ia menegaskan bahwa, semua benda baik bergerak maupun tetap yang dapat diserahkan hak miliknya dapat pula diserahkan hak miliknya atas kepecayaan (sebagai jaminan).19

Cara membedakan benda yang bergerak dan benda tidak bergerak itu Dari pendapat-pendapat di atas, dijelaskan bahwa lembaga jaminan cara fidusia ini yang objeknya benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak adalah wajib untuk dipertahanan dan disebarluaskan penggunaannya, karena lembaga ini prosesnya tidak panjang, tidak berbelit-belit, jaminan dapat dimamfaatkan terus oleh debitur, sehingga hal ini cocok di dalam pembangunan nasional sekarang ini, dan lembaga ini sesuai dengan sikap dan keperibadian bangsa Indonesia yang memegang teguh setiap janiji karena sangat menghargai kehormatannya.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Pitlo dan A. Veenhoven dapatlah kita ketahui bahwa mereka tidak mempermasalahkan apakah fidusia itu benda tetap atau tidak tetap, tetapi lebih jauh menekankan semua itu kepada cara penyerahannya, jelaslah cara penyerahan atas jaminan itu secara yuridis berdasarkan kepercayaan.

18

Roesnastiti Prayitno, “Suatu Tinjauan Mengenai Masalah Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Jaminan Hutang”, Majalah Hukum Universitas Indonesia, No. 3 Tahun ke-VI, Mei 1976, hal. 203.

19


(34)

adalah dengan sistem yang dianut oleh UUPA No. 5 tahun 1960.

Perihal apakah jaminan benda bergerak, tidak bergerak itu dapat jaminan secara fiducia, Sumardi Mangun Kusumo mengemukakan :

Bila di Indonesia sekarang ini hak tanahpun dapat difidusiakan tanpa mempersoalkan pengertian “roerand” dan “onroerand”, apakah gerangan tidak dapat memfiduciakan suatu bagunan diatas tanah hak sewa yang tidak merupakan kesatuan hak dengan tanah, sungguhpun bangunan itu tertancap atau terpaku diatasnya”. Selanjutnya beliau mengemukakan : Bahwa dalam Hukum Adat yang telah disempurnakan dan yang disesuaikan dengan perkembangan suatu negara modern, maka soal pendaftaran dan registrasi menjadi unsur yuridis dari peristiwa hukum walaupun hukum Agraria kita tidak mengenl pengertian kebendaan dan

zakelijk overenkomst.20

Praktek perbankan di Indonesia telah sejak lama berpengalaman dengan pemasangan fidusia sebagai jaminan atas pemberian kreditnya, hal ini dilakukan baik oleh Bank-bank pemerintah maupun Bank-bank swasta, jaminan fidusia ini terutama tertuju kepada benda-benda bergerak yang berupa barang-barang invetaris, barang-barang dagangan, mesin-mesin maupun kenderaan bermotor dan lain-lain.

Di Indonesia penggunaan lembaga jaminan ini banyak dilakukan di Bank-bank, menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, :

21

20

Ibid., hal. 19.

21

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.Cit., hal. 95.

Selanjutnya beliau mengemukakan lagi “Praktek lain yang terjadi pada bank, yaitu disamping akta fidusia, Bank juga mengadakan perjanjian dengan pemilik tanah, dimana dalam perjanjian itu pemilik tanah menyetujui bila bank mengoper hak sewa atas tanah tersebut kepada pihak lainselama bank mempunyai hak milik atas kepercayaan terhadap bangunan di atas tanah tersebut, di samping itu juga menyetujui untuk meneruskan perjanjian sewa kepada si pembeli jika bank terpaksa harus menjual bangunan tersebut.


(35)

Untuk kepastian hukum maka sebaliknya pemberian jaminan kredit secara fidusia ini dibuat dihadapan notaris karena perjanjian yang hanya diberikan dengan pengakuan atau dengan akta dibawah tangan akan banyak mendapat kesulitan apabila timbul perselisihan dikemudian hari.

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sri SoedowiMasjhoen Sofwan, dalam kertas kerjanya pada Seminar Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, tanggal 28 sampai 30 Juli 1977 yang diadakan di Yogyakarta, beliau berkesimpulan. “Fidusia hendaknya dapat diadakan atas rumah atau bangunan di atas tanah orang lain, tanah-tanah hak sewa, hak pakai, hak pengelolaan dan demi kepastian hukum mengenai fidusia di atas tanah orang lain hendaknya dicatat pada sertifikat tanahnya pada Kantor Seksi Pendaftaran Tanah.

Di lingkungan perbankan Medan hal mengenai hak mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah orang lain dapat diterima sebagai jaminan kredit dengan fidusia.

Keberadaan Lembaga Fidusia Dalam Hukum Jaminan

Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya. Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima fidusia


(36)

terhadap kreditor lainnya.22

Ketentuan Pasal 10 dihubungkan dengan Pasal 16 UUJF, kita bisa Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.

Ruang lingkup jaminan fidusia diatur dalam Pasal 2 UUJF yang berbunyi: Undang-Undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia dan Pasal 10 UUJF yaitu: Kecuali diperjanjikan lain :

1. Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek fidusia diasuransikan.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, Jaminan Fidusia sudah dengan sendirinya mencakup pula hasil dari benda jaminan fidusia.

a. Penafsiran luas

Penjelasan atas Pasal 10 sub 1, yang mengartikannya sebagai segala sesuatu yang diperoleh dan benda yang dibebani jaminan fidusia, memberi petunjuk kepada kita, bahwa kata hasil ditafsirkan luas, meliputi, baik hasil alamiah maupun hasil perdata. Hasil alamiah misalnya adalah anak dan sapi induk yang dijaminkan, sedang hasil perdata adalah bunga dan tagihan atau uang sewa dan benda yang dijaminkan. Demikian juga dengan deviden suatu saham.

b. Tidak berlaku asas asesi.

22


(37)

menyimpulkan, bahwa jaminan fidusia tidak otomatis meliputi perbaikan dan penambahan-penambahannya di kemudian hari atau dengan perkataan lain lebih luas di sini tidak berlaku asas asesi.

Pada hubungan fiduciare, pemilik-asal sebagai orang yang tetap menguasai benda jaminan fidusia sadar, benda tersebut sekarang paling tidak sementara dijaminkan sudah bukan miliknya dan kalau ia tetap melaksanakan perbaikan dan penambahan-penambahan atas benda fidusia, maka kedudukannya dapat kita samakan dengan bezitter dengan itikad buruk. Pada saat kreditur penerima-fidusia akan melaksanakan eksekusi, maka terhadapnya kiranya bisa diberlakukan ketentuan Pasal 581 KUH Perdata yaitu ia hanya bisa mengambil kembali apa yang telah ditambahkan pada benda jaminan, dengan syarat pengambilan kembali itu tidak merusak benda jaminan. Kalau penambahan itu berupa suatu bangunan, maka berlakulah Pasal 603 KUHPerdata dan dalam peristiwa seperti itu, pemilik bisa menyuruh bongkar tambahan bangunan yang bersangkutan.

Sekalipun ada perlindungan bagi kreditor penerima fidusia dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, kiranya adalah lebih aman bagi kreditor untuk memperjanjikan bahwa semua perbaikan dan penambahan atas benda jaminan fidusia, yang menyatu dengannya, termasuk dalam lingkup jaminan fidusia yang mereka tutup.

Yang demikian ini memang dimungkinkan oleh Pasal 10 tersebut di atas, sebagai yang tampak dan kata-kata “kecuali ditentukan lain”, yang

Diakses tanggal 12 Juni 2012.


(38)

memberikan petunjuk kepada kita, bahwa pasal tersebut merupakan ketentuan hukum yang bersifat menambah.

Eksekusi Jaminan Fidusia

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara efektif Kantor Pendaftaran Fidusia yang telah terbentuk pada tanggal 30 September 2000 mulai menerima pendaftaran barang-barang dan Akta Pembebanan Fidusia pada tanggal 30 September 2000, maka jaminan yang bersifat kebendaan dan eksekusinya yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di Indonesia telah dikenal lembaga Fidusia yang bersumber

dari Yurisprudensi yaitu Arrest H.G.H. (Hogerechts Hof) tanggal 18 Agustus

1932 dalam perkara BPM – CLYGNETT dan di negara Belanda Arrest Hoge

Raad tanggal 25 Januari 1929 yang terkenal dengan nama Bierbrouwry Arrest. Bahwa Jaminan Fidusia yang bersumber pada yurisprudensi dan lahir untuk menyimpangi syarat mutlak jaminan gadai bahwa barang yang digadaikan harus dikuasai oleh penerima gadai atau kreditur atau pihak ketiga dengan persetujuan penerima gadai merupakan hak pribadi atau persoonlijk recht yang bersumber pada perjanjian, dan eksekusi tentu berbeda dengan eksekusi Jaminan Fidusia yang bersifat kebendaan.

a. Eksekusi objek jaminan fidusia sebelum berlakunya Undang-Undang


(39)

Lembaga Jaminan Fidusia yang bersumber pada Yurisprudensi merupakan hak perorangan maka dalam hal debitur pemberi Fidusia cidera janji, tidak memenuhi kewajibannya (membayar utang) yang dijamin dengan fidusia, maka upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mendapatkan pelunasan piutangnya dari hasil penjualan gugatan perdata terhadap debitur pemberi fidusia dengan memohon sita jaminan terhadap barang yang difidusiakan dan mohon putusan serta merta dalam perkara tersebut dengan mendasarkan pada bukti otentik atau dibawah tangan (yang tidak disangkal debitur/Tergugat sesuai Pasal 180 HIR). Dalam hal barang yang difidusiakan sudah tidak ada karena telah dijual oleh pihak ketiga atau karena alasan lain atau kredit penggugat memperkirakan bahwa hasil penjualan barang yang difidusiakan tidak cukup untuk melunasi piutangnya maka kreditur/penggugat dapat minta agar barangbarang milik debitur/tergugat yang lain/yang tidak difidusiakan disita jaminan. Sedangkan terhadap debitur/tergugat yang telah menjual objek jaminan dapat dikenakan tindak pidana penggelapan.

b. Eksekusi objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999

Eksekusi jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam BAB V Undang Nomor 42 Tahun 1999 sebagaimana bunyi Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan, ”dalam hal debitur Pemberi Fidusia cidera janji maka kreditur Penerima Fidusia yang telah


(40)

mempunyai/memegang Sertifikat Fidusia dapat/berhak untuk menjual objek Jaminan Fidusia dengan cara :

1. Mohon eksekusi sertifikat yang berjudul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud Pasal 15 (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.

2. Menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan (Pasal 15 ayat 3).

2. Menjual objek jaminan fidusia dibawah tangan yang dilakukan

berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungka para pihak. Penjualan bawah tangan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada piha-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

1. Pelaksanaan Titel Eksekusi

Dalam sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia dicantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sertifikat jaminan fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta


(41)

mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

Ada 2 (dua) syarat utama dalam pelaksanaan titel eksekusi (alas hak eksekusi) oleh penerima fidusia, yakni :

a. Debitur atau pemberi fidusia cidera janji;

b. Ada sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Pada pelaksanaan titel eksekusi tidak dijelaskan atau dicantumkan apakah pelaksanaan eksekusi tersebut dengan lelang atau dibawah tangan, namun mengingat sifat eksekusi dan mengingat penjualan secara di bawah tangan telah diberi persyaratan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia, maka pelaksanaan titel eksekusi haruslah dengan cara lelang.

2. Penjualan atas kekuasaan penerima fidusia

Dalam hal debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Penjualan

dengan cara ini dikenal dengan lembaga parate eksekusi dan diharuskan

dilakukan penjualan di muka umum (lelang). Dengan demikian Parate Eksekusi kurang lebih adalah kewenangan yang diberikan (oleh undang-undang atau putusan pengadilan) kepada salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian dalam hal pihak yang lainnya (debitur) ingkar janji (wanprestasi).

Kekuasaan untuk pelaksanaan ini harus dibuktikan dengan sertifikat jaminan fidusia dan secara otomatis eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate


(42)

eksekusi) ini mengandung persyaratan yang sama dengan eksekusi atas alas hak eksekusi (titel eksekusi).

3. Penjualan di bawah tangan

Pelaksanaan eksekusi jaminan dengan cara penjualan di bawah tangan merupakan suatu perkembangan dalam sistem eksekusi yang sebelumnya juga telah dianut dalam eksekusi Hak Tanggungan atas Tanah (UU No. 4 Tahun 1996). Seperti halnya dalam Undang Hak Tanggungan maka Undang-Undang Fidusia ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan. Ada 3 (tiga) persyaratan untuk dapat melakukan penjualan di bawah tangan :

• Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.

• Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan. • Diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

menguntungkan.

Melihat beratnya persyaratan tersebut di atas maka besar kemungkinan (seperti halnya selama ini Hak Tanggungan Hak Atas Tanah) penjualan dengan cara di bawah tangan ini tidak akan popular. Diperkirakan kalau cara ini ditempuh hanya akan terbatas pada kredit berskala besar.

Besar kemungkinan cara yang selama ini berlangsung akan lebih disenangi oleh para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam Undang-Undang Fidusia. Dengan cara lama debitur atau pemilik jaminan atas


(43)

persetujuan debitur akan menebus atau melunasi beban (nilai pengikatan) barang yang menjadi objek fidusia. Mungkin uang penebusan adalah berasal dari calon pembeli setelah itu atau pada saat yang sama pemilik melakukan jual beli dengan pembeli secara di bawah tangan (ditanda tangani oleh pemilik barang).

Dengan melihat topik dan alasan dari penjualan di bawah tangan ini adalah untuk memperoleh harga tertinggi lalu dilakukan jual beli dengan sukarela maka penjualan lelang melalui Balai Lelang kiranya juga dapat digunakan pada kesempatan ini. Khusus dalam hal benda yang menjadi objek jamina fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat diperjualbelikan di pasar atau di bursa. Undang-Undang Fidusia mengatur bahwa penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi efek yang terdaftar di bursa di Indonesia berlaku peraturan perundangan-undangan di bidang Pasar Modal. Pengaturan serupa dapat ditemukan pula dalam hal lembaga gadai sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 1155 KUH Perdata.

Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia

bersifat mengikat (dwinged recht) yang tidak dapat dikesampingkan atas

kemauan para pihak. Penyimpangan dari ketentuan-ketentuan tersebut berakibat batal demi hukum. Mengingat bahwa jaminan fidusia adalah lembaga jaminan


(44)

dimaksudkan untuk semata-mata memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki objek jaminan fidusia adalah batal demi hukum. Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi fidusia dan teristimewa dalam hal nilai objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang dijaminkan. Ketentuan serupa dapat kita jumpai pula dalam Pasal 1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata sehubungan dengan hipotik.


(45)

BAB III

PERBUATAN-PERBUATAN YANG DIGOLONGKAN DALAM

TINDAK PIDANA FIDUSIA

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana di Bidang Fidusia

Faktor utama terjadinya tindak pidana di bidang fidusia adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini adalah faktor mencari keuntungan semata dengan merugikan pihak lain.

Sepanjang masalah ekonomi merupakan sebuah segi daripada tingkah laku sosial, tentulah pengaruhnya tak dapat dikecualikan. Penulis-penulis seperti Healy and Bronner atau Sheldon Glueck and Eleanor T. Glueck antara status ekonomi para narapidana dan demikian pula mengenai status ekonomi anak-anak yang terlibat dalam delikuensi.23

Latar belakang ekonomi, kami kira lebih terarah pengaruhnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menyangkut harta benda, kekayaan dan perniagaan atau hal-hal lain sejenisnya. Walau pun mungkin terjadi seorang remaja melakukan pencurian sebentuk cincin dengan maksud untuk menghadiahkan cincin itu kepada pacarnya, namun perkara pencurian, penipuan dan penggelapan, lebih banyak dipengaruhi oleh gejala-gejala ekonomi. Kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran, secara relatif dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, perampokan, penggelapan, penipuan atau penyelundupan.

23

G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hal. 89.


(46)

Di dalam KUHP, kita menjumpai kejahatan harta benda itu, misalnya pencurian, penipuan, pemerasan yang kita kemukakan di atas tadi banyak menerima pengaruh ekonomi. Hal ini harus kita bedakan dengan kejahatan ekonomi. Walaupun perkara-perkara pencurian, penipuan dan pemerasan banyak berlatarbelakangkan keadaan ekonomi, tetapi delik-delik itu merupakan bagian dari pada KUHP dan oleh karena itu bukanlah delik ekonomi. Delik-delik ekonomi dapat kita jumpai di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Tindak Pidana Ekonomi yaitu Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 yang kemudian telah ditetapkan sebagai Undang-Undang No. 1 Tahun 1961

Lembaran Negara No. 3 Tahun 1961.24

Dengan demikian dapatlah kita lihat bahwa pada kejahatan mengenai harta benda dan sebagainya, faktor ekonomi merupakan masalah yang dapat memberi pengaruhnya. Lain halnya dengan akibat pengaruh ekonomi yang relatif menyolok sedang di pihak lain dampak akibat dipandang sangat besar mempengaruhi pula kondisi perekonomian sosial. Dalam perkara pencurian atau penipuan misalnya yang dirugikan hanya terbatas pada orang yang dicuri barangnya atau ditipu hartanya, tetapi di dalam perkara penyelundupan dipandang mampu merusak tata perekonomian negara dan bahkan mampu pula untuk ditunggangi oleh unsur-unsur subversi. Penyelundupan merupakan salah sebuah kejahatan ekonomi di samping pelanggaran-pelanggaran mengenai devisa serta pelanggaran terhadap ordonansi perundangan dan sebagainya.

24


(47)

Tampilnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi itu merupakan usaha Pemerintah R.I. untuk menyelamatkan keadaan perekonomian.

Jikalau pendapat-pendapat tentang sebab-sebab kejahatan hendak dirangkum dalam kelompok-kelompok, maka tepatlah untuk dipecahkan menjadi kelompok :

1. Pendapat, bahwa kejahatan disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari

luar terhadap si pelaku,

2. Pendapat, bahwa kejahatan adalah akibat dari sifat-sifat si pelaku

ditentukan oleh bakatnya.

Dalam tiap-tiap kelompok ini dapat diadakan lagi penggolongan selanjutnya, yang bila telah mempunyai banyak pengikut, dapat dinamakan madzab. Bila disusun secara kronologis, maka madzab-madzab ini memberikan suatu gambaran tentang sejarah pemikiran kriminologi sebagai mana terdapat dalam karangan Bonger dalam alur yang berlainan dengan karya Sutherland. Dalam hal ini wajiblah diingat bahwa mdzab-madzab ini dalam masa ketenarannya tidak pernah mengambil kedudukan yang monopolitis. Selalu terdapat para pengarang yang mempunyai pendapat yang menyimpang atau yang bertentangan, namun hal ini tidak dengan sendirinya mengakibatkan timbulnya suatu madzab yang baru.

Bilamana ditinjau ketiga pendapat tersebut di atas, selanjutnya, dapatlah diperoleh gambaran sebagai berikut :


(48)

1. Kejahatan disebabkan oleh faktor-faktor yang terletak di luar si pelaku

Menurut pendapat ini, lingkungan ditentukan sebagai pusat, dalam hal mana pelbagai pengarang kadang-kadang sangat berbeda dalam pendapat mereka atas pertanyaan, pengaruh-pengaruh lingkungan yang manakah yang penting bagi kriminologi. Hal ini untuk sebagian disebabkan karena pengertian lingkungan mempunyai arti yang sangat luas, yaitu dimulai dari rahim ibu, saat kelahiran, masa hidup sampai pada kematian. Akan tetapi untuk para penganut ajaran lingkungan berlaku hal ini, keadaan lahiriah, tanpa memperdulikan ruang lingkup dan jumlah, dilihatnya sebagai faktor-faktor yang menentukan dan dalam banyak hal sebagai satu-satunya faktor bagi terjadinya kejahatan.

Banyak diantara mereka yang berpendapat bahwa keadaan ekonomilah sebagai satu-satunya unsur yang menentukan. Pengarang yang lain menganggap keluarga, tempat kediaman, bentuk negara, lingkungan geografis (termasuk iklim) dan lain-lain, sebagai faktor yang terpenting.

Sebagai contoh dari pendapat lingkungan dapat dikemukakan pendirian Bonger. Beliau melihat kejahatan pertama-tama sebagai suatu gejala massa

dalam pergaulan hidup, dimana terutama fluktuasi (bertambah atau berkurang)

mempunyai arti penting. Di samping itu, meskipun Bonger berpendapat bahwa ada orang-orang yang karena struktur kepribadiannya dapat menjadi penjahat,

namun jumlah persentasi mereka dalam satu pergaulan hidup selama satu

tenggang waktu yang panjang sebagai tidak berobah. Jika dalam jangka waktu itu dan dalam masyarakat itu terjadi juga fluktuasi dalam jumlah kejahatan yang terbagi dalam jenis-jenis delik, maka hal ini tentu diakibatkan oleh faktor-faktor


(49)

yang terletak di luar individu itu, jadi dari faktor lingkungan. Meningkatnya kejahatan berarti, bahwa keadaan lingkungan sudah sedemikian rupa untuk sejumlah besar orang, sehingga kesempatan yang ada pada mereka meningkat untuk melakukan kejahatan. Berkurangnya kejahatan merupakan suatu petunjuk bahwa keadaan lingkungan telah bertambah baik, sehingga orang-orang yang secara berpotensi dapat menjadi jahat dalam jumlahnya yang lebih besar, tidak melakukan kejahatan. Menurut Bonger unsur bakat merupakan faktor yang

konstan (tetap tidak berubah), unsur lingkungan merupakan faktor yang

variabel (berubah-ubah), dan faktor variabel inilah yang harus dianggap sebagai sebab musabab.

2. Kejahatan adalah akibat dari pembawaan sifat-sifat tertentu si

pembuat

Para penganut ajaran ini berpendapat bahwa kejahatan merupakan akibat dari sifat-sifat si pembuat yang erat bertalian dengan pembawaannya. Beberapa dari mereka melihat hal tersebut lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa kejahatan tak dapat tiada merupakan bentuk perwujudan dari bakat.

Acapkali pula, unsur bakat dilihat sebagai ditentukan oleh keturunan, terutama dalam literatur Jerman dari tahun 1933 sampai tahun 1945, sehingga kejahatan dipandang sebagai unsur keturunan. Sebagian (penganut) yang lain tidak sejauh itu dan hanyalah berbicara tentang faktor-faktor pembawaan perorangan, tanpa mempersoalkan bahwa faktor bakat seharusnya merupakan faktor-faktor keturunan. Menurut mereka, bukan tipe geno tetapi tipe phaenolah yang


(50)

merupakan faktor yang menentukan.25

Sebagai pelopor tertua dari aliran bakat dalam kriminologi dapat disebut Lombroso, cikal bakal dari madzab anthropologi (Italia). Pangkal tolaknya yaitu, bahwa di antara para penjahat adalah sekelompok orang dalam tahun-tahun kemudian ia menaksir besarnya kelompok itu 35% dari semua penjahat yang sejak lahir telah berbeda dari manusia-manusia lainnya. Perbedaan ini

Tipe geno adalah modal keturunan yang dapat dimiliki oleh individu.

Modal ini meliputi semua sifat yang diwariskan oleh orang tua individu itu kepadanya (dan pada gilirannya diteruskan lagi kepada turun-temurunnya). Selanjutnya bergantung dari keadaan (pengaruh lingkungan dalam arti luas unsur-unsur keturunan yang manakah yang akan menjadi nyata dalam hidup individu itu di kemudian hari. Demikian pula unsur-unsur yang manakah yang tidak akan berkembang seterusnya, tetapi senantiasa akan sedemikian rupa sehingga individu itu dalam kesempatan pertumbuhannya yang maximal dibatasi oleh faktor-faktor keturunan (tipe geno).

Dengan demikian tipe phaeno adalah individu, sebagai mana

diwujudkan di bawah pengaruh tipe geno dan lingkungan, dimana tipe phaeno

ini selama hidupnya individu itu memungkinkan perubahan-perubahan.

Jikalau bakat individu dipilih sebagai pokok pangkal pembicaraan

selanjutnya, maka harus dilihat tipe phaeno pada waktu kelahiran. Ini

ditentukan oleh tipe geno dan oleh semua pengaruh yang berperan mulai dari

saat penghamilan sampai pada waktu kelahiran.

25


(51)

tampak pada ciri-ciri jasmani yang diterangkannya secara panjang lebar.

Ciri-ciri jasmani ini (stigmata atau anomali) bukanlah sebab musabab dari

kriminalitas, namun ciri-ciri tersebut memang memberi indikasi adanya pradisposisi untuk kriminalitas. Pradisposisi ini, seperti ciri-ciri jasmani, merupakan akibat dari gejala aktivitas atau degenerasi, dan hanyalah dalam keadaan lingkungan yang sangat memuaskan, indivisu yang menunjukkan sejumlah ciri tersebut tidak akan melakukan kriminalitas. 26

Pendirian yang sama seperti Lombroso, yakni, bahwa manusia kriminal karena ciri-ciri jasmani berbeda dari yang bukan kriminal, dinyatakan juga dalam tahun-tahun kemudian oleh seorang Amerika yang bernama Hooton. Meskipun pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan oleh Hotoon lebih teliti dan diperhalus, dan walaupun ia telah mengadakan banyak pengukuran

Ajaran Lombroso tentang dilahirkan sebagai penjahat didasarkan pada pengukuran fisik orang-orang tahanan, dan dalam tahun-tahun kemudian oleh penentang-penentang serangan mereka tujukan terhadap ketidak telitian dalam mengadakan pengukuran-pengukuran tersebut. Di samping itu ditekankan pula, bahwa ciri-ciri jasmani yang menurut Lombroso merupakan corak khas si penjahat, boleh dikatakan terdapat dalam persentase yang sama pada orang-orang yang dipidana dan yang tidak dipidana, dan tidak ada sesuatu juapun yang dapat membuktikan bahwa semua orang (atau sebagian besar dari mereka itu) yang tidak dipidana merupakan para penjahat yang belum tertangkap.

26


(52)

banding dengan orang-orang bukan kriminal (setidak-tidaknya pada mereka yang ternyata tidak tersangkut dengan kejahatan), namun pendirian Hootoon

hanya memperoleh sedikit pengikut.27

Pandangan lain yang oleh Sutherland dinamakan madzab psikiatris yaitu, kejahatan merupakan pengungkapan yang tidak dapat dihindarkan dari struktur kepribadian tertentu, yang ditentukan oleh bakat. Keadaan lingkungan boleh dikatakan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan itu.

Dengan berpangkal tolak pada tipe phaeno, tetapi tidak pada waktu

kelahiran, maka Sheldon sampai juga pada suatu pertalian antara tipe pisik dengan kejahatan. Ia berbicara tentang tipe-tipe konstitusi dan dalam garis besarnya sependapat bahwa tipe kontitusi ditentukan oleh bakat. Meskipun pendapat Sheldon didasarkan pada sejumlah besar pengukuran, namun hingga kini banyak kritik dilontarkan pada pendapatnya Sheldon.

Jika pendapat yang melihat sebab musabab kejahatan dalam faktor-faktor bakat jasmani memperoleh sedikit penganut, lain pula halnya dengan pandangan yang melihat bahwa kejahatan adalah semata-mata akibat dari bakat psikis, atau dari faktor-faktor psikis dan fisik bersama-sama.

Menurut Goddard, lemah pikiran merupakan suatu faktor bakat yang membawa kepada kejahatan sebab orang yang lemah pikiran tidak mampu memahami akibat-akibat dari perbuatan-perbuatannya, dan tidak sanggup memahami maksud dan makna dari undang-undang. Pandangan tersebut untuk waktu yang lama di Amerika memperoleh banyak penganut, namun lambat laun telah ditinggalkan.

28

Struktur-struktur kepribadian yang mendorong terjadinya kejahatan, merupkan struktur yang memanifestasikan diri dalam gambaran penyakit

27

Ibid, hal. 61.

28


(53)

psikose, epilepsi dan moral insanity.

Pandangan tersebut juga kehilangan penganutnya karena semakin mendalam pandangan yang diperoleh tentang psikologi dan psikiatri, di

samping bakat juga lingkungan diberikan tempat sebagai faktor sebab musabab, atau setidak-tidaknya dalam hal pengungkapannya ada tempat untuk

menyimpangan norma psikis.

Pandangan baru tentang jurusan bakat mulai timbul akibat dari penelitian yang lebih luas dan lebih terperinsi mengenai kembar dua.

Dalam penelitian kembar dua dibedakan antara kembar dua dari satu indung telur (identik, monozigote) dan kembar dua dari dua indung telur (tidak identik, dizigote). Pada umumnya dapatlah diterima bahwa kembar dua ari satu indung telur terjadi sesudah pembuahan biasa (satu ovum oleh satu sperma), dan indung telur yang telah dibuahi dalam tahap perkembangannya yang sangat dini terbelah dua dan tiap-tiap bagian bertumbuh menjadi satu individu. Kedua individu ini berhubung dengan cara terjadinya itu, akan memiliki sifat-sifat keturunan yang sama.29

Mengingat begitu ringannya persyaratan yang diberikan oleh pihak Berlainan halnya dengan kembar dua dari dua indung telur. Kembar dua ini terjadi oleh karena pada saat yang sma dua sperma membuahkan dua ovum, dan tiap-tiap ovum berkembang menjadi satu individu. Jadi kembar dua dari dua indung telur bertalian dengan faktor-faktor keturunan dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan besar, sama seperti dua anak yang telah lahir pada berbagai saat dari orang tua yang sama.

Faktor ekonomi yang menjadi penyebab terjadinya tindak di bidang fidusia ini didukung oleh mudahnya persyaratan pengajuan kredit kendaraan bermotor pada perusahaan leasing.

29

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal. 22.


(54)

perusahaan leasing terhadap debitur, maka dimungkinkan sekali adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak debitur dalam upaya melanggar kesepakatan perjanjian sewa beli yang telah disepakati bersama.

Pelanggaran-poelanggaran ini yang sering dilakukan oleh pihak debitur biasanya diketahuii, apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya membayar cicilan dalam kurun waktu tertentu, misal dua bulan/tiga bulan menunggak cicilan. Meskipun biasanya apabila terlambat dari batas tanggal jatuh tempo pembayaran cicilan biasanya pihak perusahaan akan melakukan penagihan baik via telepon maupun oleh kolektor lapangan langsung ke rumah debitur.

Tetapi pada tahap ini biasanya pihak perusahaan leasing belum melakukan tindakan apa-apa, hanya baru memberikan denda selama waktu pembayaran melebihi batas jatuh tempo yang dihitung perhari dengan perhitungan yang telah ditentukan berdasarkan dari jumlah cicilan.

Sedangkan bagi debitur yang telah menunggak selama tiga bulan berturut-turut, maka pihak leasing, dengan persetujuan atau tanpa persetujuan debitur berhak untuk mengambil secara paksa kendaraan yang menjadi jaminan, karena berdasarkan perjanjian sewa beli tindakan tersebut adalah hasil dari kesepakatan bersama antara kreditur dan debitur.

Dari pelaksanaan tindakan yang dilakukan leasing ini, dari keseluruhan jumlah debitur yang menunggak hanya 10% saja yang dapat ditarik barang/kendaraan roda empat (mobil) oleh pihak leasing, yang sisanya oleh pihak debitur sudah dipindahtangankan ke pihak lain, dengan alasan; ada yang


(55)

sudah dijual, digadaikan atau dioperkreditkan ke pihak lain tanpa sepengetahuan pihak Perusahaan leasing.

Berdasarkan KUHP Pasal 372 termasuk kepada tindak pidanan Pengelapan adalah:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai

milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau

sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu rupiah.

Berdasarkan penjelasan Pasal 372 KUHP di atas maka tindakan yang tersebut di atas seperti: menggadaikan, menjual, dan memindahtangankan kendaraan roda empat (mobil) yang masih ada perikatan perjanjian sewa beli

dengan pihak leasing, maka debitur tersebut sudah melakukan tindak

penggelapan. Karena tindak penggelapan ini sudah termasuk kepada tindak

pidana, sehingga dalam melakukan tindakannyapun pihak leasing disamping

oleh pihak perusahaan melakukan penyelesaiannnya, juga meminta bantuan pihak kepolisian. Sampai permasalahannya yang berhubungan dengan pihak debitur dan perusahaan Leasing dapat diselesaikan dengan baik.

B. Pihak-Pihak Yang Dirugikan Dalam Tindak Pidana Fidusia

Pihak yang dirugikan dalam tindak pidana fidusia ini adalah pihak perusahaan leasing.


(56)

Usaha yang lahir dalam praktek, sampai saat ini belum ada peraturan tertulis yang mengatur mengenai usaha sewa beli tetapi dalam perkembangannya sudah maju dengan pesatnya. Keadaan yang seperti inilah yang memungkinkan dianutnya sistem terbuka dan azas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian oleh buku ke-III KUHPerdata. Dimana para pihak diberikan kebebasan untuk mengatur dan membuat sendiri isi perjanjiannya yang mana perjanjian perjanjian tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya sebagai Undang-undang, asalkan kebebasan itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum dengan norma kesusilaan.

Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setia oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama. Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperole dengan jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak

lessor/kreditur. Melalui pembiayaan leasing barang-barang modal untuk operasional dengan mudah dan cepat. Hal ini sungguh berbeda jika mengajukan kredit kepada bank yang memerlukan persyaratan serta jaminan yang besar. Bagi


(57)

perusahaan dalam menjalankan roda kegiatannya. Setelah jangka leasing

selesai, perusahaan dapat membeli barang modal yang bersangkutan. Perusahaan yang memerlukan sebagian barang modal tertentu dalam suatu proses produksi secara tiba-tiba, tetapi tidak mempunyai dana tunai yang

cukup, dapat mengadakan perjanjian leasing untuk mengatasinya. Dengan

melakukan leasing akan lebih menghemat biaya dalam hal pengeluaran dana

dibanding dengan membeli secara tunai.

Di leasing baru dikenal melalui surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No.KEP122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/I/1974

tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinaleasing.

Sejalan dengan perkembangan waktu dan pe

permasalahan yang melibatkan leasing semakin banyak dan kompleks. Mulai

dari jenis leasing yang paling sederhana sampai yang rumit. Perbedaan jenis leasing menyebabkan perbedaan dalam pengungkapan perlakuan pajak dan akibatnya pada pajak penghasilan badan akhir tahun.

Capital lease dan operating lease sama-sama dikenakan pajak pertambahan nilai, sedangkan untuk operating lease disamping dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenakan pemotongan pajak penghasilan Pasal 23, hal ini karena diperlakukan sebagai sewa menyewa biasa. Biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi lease dianggap sebagai biaya usaha bagi pihak lessee.

Munculnya lembaga leasing merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha karena saat ini mereka cenderung menggunakan dana rupiah


(58)

tunai untuk kegiatan operasional perusahaan. Melalui leasing mereka bisa memperoleh dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dengan jangka waktu pengembalian antara tiga tahun hingga lima tahun atau lebih.

Disamping hal tersebut di atas para pengusaha juga memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya seperti kemudahan dalam pengurusan, dan

adanya hak opsi. Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu

pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada suat

Pengertian leasing menurut surat Keputusan Bersama Menteri

dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No.KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 adalah: ”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.

Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing

sebagai berikut: “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa sesuatu atas barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh

lessee. Hak pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa


(1)

Ada beberapa aspek yang mempengaruhi perubahan (kendala) sikap mental individu kepolisian dalam menyongsong citra polisi mandiri dan profesional serta peran melindungi konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, antara lain:

1. Kecenderungan Polri masih sebagai alat pemerintah dan bukan alat negara yang memihak pada kepentingan masyarakat/rakyat.

2. Sifat agresif militerisme masih terlihat pada individu Polri khususnya dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

3. Kemampuan individu Polri yang masih belum memadai dibandingkan dengan tugas yang dibebankan oleh institusi.

4. Beberapa kendala lainnya yang bersifat menghambat pembangunan citra Polri seperti yang didambakan oleh masyarakat.

Tugas Polri agar menjadi institusi yang semakin mandiri tidak bergaya kondisional dan profesional tidak saja membutuhkan perangkat normatif yang memadai tetapi juga membutuhkan berbagai dukungan baik itu dana, sarana maupun sumber daya manusia. Tuntutan terhadap institusi polri yang semakin kompleks menuntut keseriusan pemerintah untuk tidak lagi menjadikan kepolisian sebagai penjaga kebijakannya, tetapi menjadikan kepolisian sebagai pengayom dan pelayan masyarakat.

Selanjutnya, peran masyarakat dapat mendukung penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen dan sekaligus juga dapat menjadi penghambat penegakan hukum, efektifitas pelaksanaan penegakan hukum menjadikan kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap hukum itu sendiri sebagai


(2)

indikator, oleh karenanya diperlukan upaya pembinaan atas sikap, pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap arti pentingnya perlindungan konsumen.

Ketaatan hukum masyarakat ini haruslah diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengidentifikasi variable-variable dalam budaya hukum dan institusi hukum yang mampu meningkatkan efektifitas hukum. Pencapaian sesuatu hanya dapat dilakukan jika budaya hukum meneropong konsepsi instrumental dari hukum untuk mengarahkan secara jelas tujuan ekonomi dan hubungannya dengan sistem hukum. Friedman mengatakan, bahwa tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Sementara itu, budaya masyarakat tergantung kepada budaya anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penyidik tindak pidana di bidang fidusia adalah kepolisian. Kewenangan Polri sebagai penyidik tindak pidana fidusia adalah menyangkut ruang lingkup yang telah digariskan oleh undang-undang jaminan fidusia yakni melakukan serangkaian penyidikan tentang adanya dugaan tindak pidana fidusia. Peran penyidik Polri menyangkut penentuan kebenaran materil suatu peristiwa pidana, dasar kewenangan penyidik polri untuk menyidik tindak pidana fidusia dimulai dari kriminalisasi perbuatan debitur.

2. Kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia adalah alamat tempat tinggal debitur tidak diketahui dan jauh, sehingga secara geografis agak sulit ditemui atau melakukan hubungan dan kendaraan yang menjadi Jaminan tidak diketahui keberadaannya.

3. Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam hambatan penyidikan tindak pidana fidusia adalah memberikan pembinaan kepada perusahaan leasing, untuk lebih selektif dalam rangka mencegah tindak pidana fidusia, meskipun sebenarnya pihak perusahaan membutuhkan nasabah/debitur sebanyak-banyaknya, akan tetapi juga harus memperhatikan faktor resiko yang akan terjadi dan melakukan Cros cek terhadap informasi-informasi yang diberikan oleh pihak debitur dengan pihak leasing dalam rangka

79


(4)

penyidikan suatu tindak pidana fidusia. B. Saran

1. Para perusahaan leasing seyogianya lebih memperhatikan kinerja debitur dalam membayar kewajibannya, dan tidak sekedar mengejar nasabah sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kemampuan debitur.

2. Menjalin Kerjasama dengan instansi terkait, terutama dengan pemerintahan setempat dimana pihak debitur tinggal, karena dengan demikian akan dapat diperoleh informasi seakurat mungkin mengenai tindakan yang dilakukan oleh debitur terhadap barang/kendaraan roda empat (mobil) yang menjadi jaminan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991.

___________, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1994.

___________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.

___________, Pengantar Psychologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1973.

Kartini Muljadi & Gunawan Wijaya. Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004.

Komariah Emong Sapardjaja, Pembahasan Terhadap Buku Kesatu dan Bab II RUU KUHP, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol Nomor 2, September 2004. Loeby Loqman, Pra Peradilan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987. Mariam Darus Badrulzaman, Hipotik dan Credietverband II, FH-USU, Medan,

1978.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995. Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983.

O. C. Kaligis, Perlinduangan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2006.

Roesnastiti Prayitno, “Suatu Tinjauan Mengenai Masalah Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Jaminan Hutang”, Majalah Hukum Universitas Indonesia, No. 3 Tahun ke-VI, Mei 1976.

R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1983. 81


(6)

Salim, HS. Perkembangan hukum jaminan di Indonesia, PT. Rajafindo Persada. Jakarta. 2004.

Satoehid Kartanegara dalam Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing & Ayyccs Group, Bandung, 2006.

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Pres, Malang, 2004.

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006. Soerjono Dirdjosisworo, Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

Majalah Bhayangkara N0. 05, Juli 1998.

Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1987.

Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangun-Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa,

Majalah Hukum dan Keadilan, No. 3 Tahun III, Mei–Juni 1972.

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek dan pelaksanaannya di Indonesia, Fak. Hukum Gajah Mada, Yogyakarta, 1977.

B. Peraturan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia KUH Pidana

C. Internet:

Wikipedia Indonesia, “Jaminan Fidusia”


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 3 16

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 2 12

Jaminan Fidusia Atas Pesawat Terbang Dalam Perjanjian Kredit Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 88

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 1 88

UPAYA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

0 0 18

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA Objek Fidusia - Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

0 0 14

Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

0 0 22

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62