Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi dalam informasi dan kegiatan perdagangan dunia telah

  menyebabkan masuknya nilai-nilai, norma-norma dan budaya-budaya tertentu dari masyarakat yang saling berinteraksi. Gejala-gejala yang paling umum dan seringkali dijumpai adalah masuknya berbagai aktivitas atau kegiatan bisnis yang semula berkembang atau dikembangkan disuatu negara tertentu kedalam kegiatan bisnis negera-negara lainnya. Sehingga di Indonesiapun secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi tatanan, sistem atau struktur hukum yang berlaku di Indonesia jika mengadopsi kegiatan bisnis tersebut dari negara lain.

  Dengan demikian akan terjadi adaptasi nilai-nilai sosial dan budaya, ekonomi, dan hukum, khusus adaptasi hukum, penyesuaian yang dilakukan tidak akan mengalami banyak kesulitan, jika kedua negara tersebut memiliki

  

latar belakang sistem hukum yang sama.

  Pemerintah Republik Indonesia, melalui lembaga legislatif dan eksekutifnya telah membentuk berbagai macam ketentuan hukum tertulis yang diberlakukan secara umum ke seluruh masyarakat Indonesia, agar ada hukum yang mengatur kegiatan atau hubungan antar sesama anggota masyarakat dalam 1 Kartini Muljadi & Gunawan Wijaya. Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004, hal. 3.

  1 kehidupan sehari-hari melalui nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, serta dalam kegiatan dunia usaha bagi seluruh warga negarannya, agar dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan.

  Begitupula dalam kegiatan usaha sesuai dengan kemajuan informasi, maka di Indonesia telah berkembang dengan pesat perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor roda empat

  

finance , yang pada awalnya merupakan bentuk usaha yang diadopsi dari negara

  lain, dalam perkembangannya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengalami kemajuan, terbukti dengan telah dibuka cabang-cabang perusahaan sampai di tingkat Kabupaten.

  Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, bahwa perusahaan pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor tersebut sangat menguntungkan, tetapi dalam kegiatannya tak akan lepas dari peran hukum, terutama hukum perdata yang mengatur tentang perikatan, diantaranya dalam dunia usaha.

  Biasanya dalam suatu perikatan atau perjanjian didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur agar perusahaan tersebut berkembang secara sehat. Dalam sebuah perikatan yang berhubungan dengan kepemilikan kendaraan roda empat sering dikenal dengan istilah jaminan fidusia yaitu :

  Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu” (Undang-undang No. 42 Tahun 1999

  

,

  Tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat (1)

  Sehingga dalam inplementasinya bentuk perikatan ini yaitu dengan perjanjian sewa beli antara kreditur dan debitur selama kewajiban debitur belum melunasi utangnya terhadap kreditur, maka kendaraan tersebut masih menjadi milik kreditur.

  Tetapi dalam pelaksanaannya dalam perjanjian sewa beli ini tidak selalu lancar sesuai dengan yang diharapkan, adakalanya pihak debitur yang dengan sengaja melakukan tindak penggelapan.

  Dengan demikian terhadap debitur yang melakukan tindak penggelapan tersebut harus di berikan sanksi oleh pihak kreditur, berupa pengambilan paksa jaminan atau dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib (polisi). Adapun untuk mengetahui sampai sejauh mana tindak melawan hukum yang dilakukan oleh pihak dibitur yaitu dengan melakukan penggelapan.

  Sehingga penerapan sanksi yang dilakukan oleh pihak kreditur terhadap tindak pidana penggelapan akan lebih tepat, memenuhi rasa keadilan dan dalam upaya penegakan hukum.

  Suatu hal yang terkait langsung dengan tindak pidana fidusia ini adalah keberadaan penyidik khususnya penyidik kepolisian.

  Penyelidikan adalah rangkaian proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari prose penyidikan oleh Polri sebagai bagian dari kebijakan aplikatif hukum pidana (politik kriminal). Salah satu sarana dari politik kriminal adalah sarana penal atau penegakan hukum pidana yang tercakup dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana. Namun demikian lembaga ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

  

  sosial. Sifat yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa kearah ketidakadilan. Dengan demikian demi yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

3 Peran Polri dalam penanganan tindak pidana fidusia merupakan tujuan

  dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab

  

Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari kebenaran

  materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of

  human rights ). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem

  peradilan Pidana. penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan. Dengan demikian apa yang hendak dilakukan oleh setiap

  2 3 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995, hal. 4 Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. penegak hukum yang menurut fungsi-fungsinya harus dilaksanakan dalam proses sistem peradilan pidana tersebut, tidak boleh menjadi dominan. Fungsi penyidikan, penuntutan dan mengadili haruslah ditundukkan kepada tujuan besar dan utama yakni subtantial dan protection of human rights.

  Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice system tindak pidana

  

  fidusia pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana, artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana,

  

  yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh

  4 Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2. 6 Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1994, hal. 157.

   aparat eksekusi hukum.

  Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana

  

Fidusia Sesuai Dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia”.

  B.

  Perumusan Masalah Dari uraian yang dipaparkan di atas, agar penelitian lebih terarah maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia? 2.

  Apakah kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia?

  3. Apakah upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan hambatan penyidikan tindak pidana fidusia? C.

  Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan ini adalah: Untuk mengetahui peranan penyidik dalam tindak pidana di bidang fidusia.

  Untuk mengetahui kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan tindak pidana fidusia.

  Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam penanggulangan 7 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

  Pidana , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 30 hambatan penyidikan tindak pidana fidusia.

  Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut : a. Akan sangat bermanfaat dalam menyelesaikan debitur yang melakukan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.

  b.

  Dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dihadapi perusahaan leasing dalam penerapan sanksi terhadap tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli.

  d. Bagi peneliti berguna untuk menambah wawasan, pengalaman dalam mengembangkan profesi, menambah kepekaan, menambah pengetahuan juga pemahaman akan kondisi sebenarnya tentang penerapan sanksi terhadap tindak pidana penggelapan dalam perjanjian sewa beli yang terjadi di lapangan.

  D.

  Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Penyidik Dalam

  Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai Dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

  E.

  Tinjauan Kepustakaan Pengertian Penyidikan

  Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang- undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

  Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari “ dan menemukan “ sesuatu peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut :

  Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1 menyebutkan : “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan “. Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah : 1.

  Pejabat polisi negara Republik Indonesia, 2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

  Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “ Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah “. Dalam penjelasan dari pasal 6 ayat (2) KUHAP, disebutkan juga bahwa “Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum”.

  Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :

  Pasal 2 ayat (1) : a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua polisi.

  b.

  Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu.

  Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2) dari pasal 2 di atas yaitu : “ dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik “. Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku “. Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “. Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “.

  Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).

  Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.

  Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.

  Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. Tidak diberikannya kedudukan sebagai penyidik kepada setiap polisi negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain. Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri menjunjung hak asasi manusia.

  Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.

2. Pengertian Fidusia

  Fidusia atau lengkapnya disebut juga dengan Fidusia Eigendoms

  

overdracht dan sering juga disebut sebagai jaminan hak milik secara

  kepercayaan, merupakan suatu jaminan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh Yurisprudensi.

  Menurut asal katanya fidusia berasa dari kata fides yang berarti “kepercayaan” berarti hubungan hukum antara debitur dengan kreditur diletakkan atas kepercayaan dalam hal ini pihak kreditur percaya sepenuhnya kepada debitur, bahwa tanpa jaminan yang dipegangnya debitur akan melaksanakan prestasi atau kewajibannya, hal ini sangat bertentangan dengan cara gadai, pada gadai benda itu diserahkan kepada debitur sebagai jaminannya.

  Menurut asal usulnya, fidusia ini sudah dikenal sejak zaman Romawi, menurut hukum Romawi dengan fidusia dimaksudkan, peristiwa seorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya, dengan mengadakan jual pura-pura dengan maksud menerima benda itu kembali dari kredit tersebut setelah barang dibayar lunas, jadi sebagai gadai.

  Menurut pendapat Oey Hoey Tiong: “Orang-orang Romawi mengenai dua bentuk fidusia yaitu fidusia cum

  creditore dan fidusia cum amico, keduanya timbul dari perjanjian yang disebut

  dengan pacrum fidusiae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in

   iure cessio ”.

  Dalam bentuk yang pertama (fidusia cum creditore) seorang debitur menyerahkan suatu barang dalam pemilikan kreditur, kreditur sebagai pemilik mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemilikan atas barang itu kepada debitur apabila debitur sudah memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

  Timbulnya fidusia cum creditore adalah disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan hukum jamian pada masyarakat Romawi pada saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan pada masyarakat Romawi pada saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan sehingga dalam prakteknya mempergunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pengalihan hak milik dari debitur kepada kreditur, cara pengalihan hak itu pada saat itu bukanlah berdasarkan atas

   kekuatan hukum akan tetapi berdasarkan atas kekuatan moral saja.

  Oleh karena kelemahan-kelemahan yang terdapat pada bentuk fidusia

  cum creditore , maka ketika gadai dan hipotik berkembang sebagai hak-hak

  jaminan kebendaan maka terdesaklah fidusia hingga akhirnya sama sekali hilang dari hukum Romawi.

  Dengan kelemahan fidusia cum creditore, maka digantikan oleh gadai dan hipotik, karena pada waktu itu jaminan kebendaan ini dianggap lebih sesuai dan gadai serta hipotik ini diatur dalam hukum yang tertulis sehingga lebih 8 Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 35. 9 Ibid., hal. 36.

  menjamin kepastian hukum dan keduanya memberikan hak-hak yang seimbang antara debitur sebagai pihak pemberi jaminan dan kreditur sebagai pihak yang memberi jaminan.

  Karena pada fidusia cum creditore banyak terdapat kelemahan, maka sebagai penggantinya timbul pula fidusia cum amico. Bentuk fidusia ini terjadi apabila seseorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain untuk diurus. Jadi terlihat perbedaan dengan fidusia cum creditore, dalam hal ini kewenangan seakan pada pihak penerima akan tetapi kepentingan kepada pihak pemberi, jelasnya penerima hanya sebagai pihak yang menjalankan kewenangan untuk kepentingan pihak pemberi (debitur).

  Kalau diperhatikan uraian di atas mengenai bentuk fidusia yang terjadi pada zaman Romawi, maka untuk itu tidaklah sama dengan fidusia yang dipergunakan sekarang ini, akan tetapi fidusia cum creditore adalah sama dengan perjanjian jaminan dengan gadai.

  Jadi jelasnya fidusia yang terjadi di zaman Romawi sebenarnya adalah gadai sebab dengan nyata yang menjadikan objek perikatan itu berpindah dan beralih dari tangan debitur ke tangan kreditur. Sedangkan pengertian fidusia yang dikenal saat ini objek jaminan itu tetap berada dalam tangan pihak debitur.

  Karena lembaga jaminan hipotik dan gadai pada zaman Romawi sudah diatur pada peraturan hukum yang tertulis, maka masyarakat pada masa itu banyak yang memakainya, karena pihak-pihak akan lebih terjamin hak-haknya sehingga lembaga jaminan fidusia yang tidak diatur secara tertulis itu ditinggalkan.

  Tetapi saat sekarang ini lembaga jaminan fidusia telah menampakan wujudnya yang baru, dengan bentuk yang baru dan disesuaikan dengan kebutuhan pada jaman sekarang ini, fidusia yang baru ini dikenal dengan istilah

  

fidusiare eigendoms overdracht. Di Indonesia telah diatur di dalam peraturan

  perundang-undangan tersendiri yaitu pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

  Menyangkut Hukum Romawi, maka pengaruhnya tidak terlepas dari hukum di negeri Belanda. Begitu pula hukum yang ada di negeri Belanda akan berpengaruh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum Romawi diterima oleh hukum Belanda, fidusia tidak ikut diterima di negeri Belanda, B.W Belanda tidak memuat pengaturan tentang fidusia, dengan demikian juga halnya KUH Perdata Indonesia, yang menurut asas concordantie disesuaikan

   dengan B.W yang berlaku di negeri Belanda.

  Dalam hukum di Romawi dan Belanda di Indonesia tentang lembaga jaminan dikenal dengan bentuk hipotik dan gadai, untuk jaminan benda bergerak dan hipotik untuk jaminan benda tidak bergerak. Kedua lembaga jaminan ini pada mulanya dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan

   masyarakat dalam perkreditan.

  Tetapi pada abad pertengahan sampai akhir abad ke 19, terjadi krisis dalam bidang pertanian di negara-negara Eropa, sehingga menghambat perusahaan-perusahaan pertanian dalam memperoleh kredit, tanah sebagai 10 11 Ibid, hal. 37.

  Ibid. objek hipotik tidak populer, pihak pemberi kredit menghendaki jaminan gadai, sebagai tambahan di samping hipotik, untuk perusahaan pertanian memberikan gadai dan hipotik sekaligus dapat berarti menghentikan usahanya. Memberikan gadai ia harus menyerahkan alat-alat usahanya atau pertaniannya kepada kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk, dengan demikian seandainya memperoleh kredit pun tidak akan dapat mengolah pertaniannya karena tidak ada alat-alatnya.

  Permasalahan tersebut sulit dicari pemecahannya, kreditur menghendaki jaminan yang pasti sedang debitur selain menghendaki kredit juga ingin meneruskan usaha, mereka tidak dapat mengadakan gadai tanpa penguasaan untuk mengatasi keadaan ini, akhirnya ditemui juga jalan keluarnya itu dengan mempergunakan konstruksi hukum yang ada berupa

  

  jual beli dengan hak membeli kembali secara tidak benar .

  Cara ini dipergunakan hanya untuk menutupi sesuatu perjanjian pinjam uang dengan suatu jaminan. Jual beli dengan hak membeli kembali ini agaknya dapat mengatasi masalah, akan tetapi karena bukan suatu bentuk jaminan yang sebenarnya tentu saja mempunyai kekurangan-kekurangan dalam hubungan antara debitur dan kreditur.

  Kelemahan yang pertama adalah dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali, pihak pembeli menjadi pemilik dari barang-barang yang dijual, sampai pihak penjual membeli kembali, dalam jangka waktu yang ditentukan penjual tidak membeli maka pembeli menjadi pemiliknya untuk seterusnya, kelemahan kedua ialah jangka waktu pembelian kembali itu terbatas sesuai dengan apa yang diperjanjikan tetapi tidak boleh lebih dari lima tahun. 12 Ibid., hal. 38.

  Kelemahan-kelemahan yang dilakukan pihak-pihak terutama pihak debitur, akan tetapi mereka dipaksa oleh keadaan yaitu dengan memperoleh kredit dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali sehingga ia dapat meneruskan usahanya, atau sama sekali tidak memperoleh kredit, apabila ingin memperoleh kredit maka dipergunakanlah lembaga jual beli dengan hak membeli kembali dengan segala akibatnya.

  Sifat spekulatif pada lembaga jual beli dengan hak membeli kembali agak menonjol, karena kalau diperoleh kredit berarti meneruskan usaha dan kemungkinan mendapatkan untung dan dari keuntungan ini didapat membeli kembali barang-barang yang telah dijualnya.

  Keadaan itu artinya keadaan tidak ada bentuk jaminan yang memadai, telah berakhir dengan dikeluarkannya keputusan Hoge Raad Belanda tanggal

  29 Januari 1929 yang terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest.

  Sejak dikeluarkannya putusan Arrest tersebut maka timbullah kembali nama fidusia, fidusia yang dimaksud adalah penemuan dari hakim, yang berbeda dengan fidusia yang dikenal dalam Hukum Romawi.

  Menurut beberapa ahli hukum Belanda nama fidusia itu adalah beraneka ragam, antara lain: Eggen menyebutkan dengan Oneigenlijk Pandrecht-Pandrecht palsu, fidusia adalah benci, mukanya adalah eigendom, tetapi jiwanya adalah

  Pand. Bloom memberi nama Bezit loos Pand, Pand tanpa bezit, Pitlo

  menamakan bentuk ini Zakerheid Eigendom, Fidusiare Eigendom atau

  Uitgeholde Eigendom, hak milik sebagai tanggungan atau hak milik yang sudah digerogoti.

   13 Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangun-Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa, Majalah Hukum dan Keadilan , No. 3 Tahun III, Mei–Juni 1972, hal. 4.

  Kahrel memberi nama, Verium Pand Begrip (pengertian gadai yang diperluas). A. Veenhoven menyebut Eigendomsoverdracht Tot Zakerheid

   (penyerahan milik sebagai jaminan).

   R. Subekti, menyebutkan dengan nama fidusia saja.

  Perihal keberadaan lembaga fidusia ini di Indonesia sama saja seperti di Negara Belanda bahwa mereka juga mencari jalan keluar cara tersebut, juga jual beli dengan hak membeli kembali, hal ini terlihat dengan di keluarkannya peraturan tentang ikatan panen (Dogsverbend) yang diatur dalam Stb. 1886 No. 57. Ikatan panen itu ialah suatu jaminan untuk pinjam uang, yang diberikan atas panenan yang diperoleh dari suatu

   perkebunan.

  Dalam lembaga ini ikatan panenan jaminan dapat terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak, di mana benda itu masih berada di tangan debitur, namun perikatan itu hanya terbatas di perkebunan-perkebunan, akan tetapi dalam bidang lainnya seperti perdagangan atau bidang-bidang lainnya belum dapat pemecahannya.

  Setelah keluarnya keputusan Hoge Raad tanggal 29 Januari 1929 tersebut, barulah ada petunjuk bahwa praktek hukum di Indonesia mengikuti

  

Arrest tersebut, hal ini terbukti dalam sebuah kasus yang dikenal dengan

Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) lawan Pedro Clignett.

  Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diterangkan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak 14 Mariam Darus Badrulzaman, Hipotik dan Credietverband II, FH-USU, Medan, 1978, hal. 4. 15 16 R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 75.

  Ibid., halaman 79. kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Keberadaan jaminan fiusia adalah sangat membantu pihak debitur dimana alat- alat atau benda-benda yang dijaminkan dapat dipergunakan debitur.

  F.

  Metodologi Penulisan Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan telaah peranan penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana fidusia dengan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2. Sumber Data Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder.

  Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi: a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUHP dan

  Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, KUHAP dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

  b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

  c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

  3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti.

  4. Analisis Data Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang menggambarkan fenomen-fenomena mengenai hasil penelitian dengan kalimat-kalimat sehingga dapat memecahkan rumusan masalah.

  G.

  Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

  Bab I. Pendahuluan

  Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

  Bab II. Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang menyangkut Jaminan Fidusia Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Objek Fidusia, Keberadaan Lembaga Fidusia Dalam Hukum Jaminan serta Eksekusi Jaminan Fidusia. Bab III. Perbuatan-Perbuatan yang Digolongkan Dalam Tindak Pidana Fidusia. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana di Bidang Fidusia Pihak-Pihak Yang Ditugikan Dalam Tindak Pidana Fidusia serta Perbuatan Yang Digolongkan Sebagai Perbuatan Tindak Pidana Fidusia. Bab IV. Peranan Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Penyidik Tindak Pidana di Bidang Fidusia, Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Fidusia serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Penyidik Dalam Hambatan Penyidikan Tindak Pidana Fidusia.

  Bab V. Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.

Dokumen yang terkait

Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

7 146 121

Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

8 110 91

Analisis Hukum Terhadap Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Perbankan Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

1 46 129

Tinjauan Yuridis Eksekusi Benda Sebagai Objek Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999

5 86 88

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

Analisis Yuridis Fungsi Dan Peranan Kantor Pendaftaran Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Suatu Penelitian Di Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 54 140

Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Fidusia Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

0 26 5

Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

4 24 95

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Wanprestasi Debitur Pada Perjanjian Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

1 15 59

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA Objek Fidusia - Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Fidusia Sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

0 0 14