HUKUM INTERNASIONAL Perkembangan Sejarah

Perkembangan Sejarah
Dasar dari Hukum Internasional (atau Hukum antar Negara) bersumber dengan
kuat pada perkembangan dari kebudayaan Barat dan organisasi-organisasi
politik.
Pertumbuhan dari gagasan mengenai kedaulatan dan Negara-Negara
mandiri di Eropa membutuhkan metode yang dapat diterima dimana hubungan
antar-Negara dapat diselenggarakan bersesuaian dengan standar yang dapat
diterima secara umum akan tingkah laku, dan Hukum Internasional yang dapat
memenuhi kebutuhan. Tetapi meskipun Hukum antar-Negara berakar dari
pengalaman masa Renaissance di Eropa, hal ini berasal dari sejarah yang jauh
lebih tua.

AWAL ASAL USUL
Pada sekitar 2100 BC, sebuah
perjanjian
resmi
ditandatangani
antara penguasa-penguasa di Lagash
dan Umma, Negara-Negara yang
terletak pada area yang diketahui
oleh sejarawan sebagai Mesopotamia.

Hal ini diukirkan pada bongkahan
batu dan terkait mengenai pendirian
perbatasan yang ditetapkan dan
harus di hormati oleh kedua belah
pihak dibawah Hukuman pengasingan
oleh sejumlah dewa-dewi Sumerian.
1000 tahun kemudian, ditemukan
perjanjian
Internasional
antara
kekuasaan Rameses II dari Mesir dan
Raja dari Hittites untuk pelaksanaan
perdamaian abadi dan persaudaraan
diantara keduanya. Poin penting
lainnya yang ditemukan ialah suatu
perjanjian pada Kadesh, sebelah
utara
Damascus,
yang
berisi

penghormatan
untuk
kedaulatan
teritori masing-masing, penghentian
penyerangan
antar-Negara,
dan
pembentukan persekutuan pasukan
pertahanan.
Semenjak itu banyak perjanjian
antara
kekuatan-kekuatan
yang
bersaing di Timur Tengah diakhiri,
biasanya bertujuan untuk usaha

menciptakan kerjasama politik yang
memuat pengaruh dari Kerajaan
dengan kekuatan besar.
Bagaimanapun

juga,
pendekatan utama kepada peradaban
kuno adalah terlarang dari sisi
geografis dan budaya. Pada waktu itu
tidak
ada
gambaran
tentang
komunitas Internasional atas NegaraNegara hidup bersama didalam
kerangka kerja yang ditetapkan.
“Hukum Internasional” dalam bentuk
apapun pada waktu itu sangatlah
terbatas, dan segala hal yang dapat
digarisbawahi
ialah
keberadaan
beberapa
kondisi
ideal,
seperti

kesucian dari suatu perjanjian, yang
mana masih dipertahankan hingga
saat ini sebagai elemen penting
dalam masyarakat. Tetapi gagasan
mengenai
komunitas
Universal
dengan peraturan dunia yang ideal
masih belum ditemukan.
Nilai dari pemerintahan Mesir
dalam
pembelajaran
mengenai
Hukum
Internasional
berasal
sebagian dari nilai-nilai filosofis, sains
ilmiah, dan analisa politik yang
diwariskan kepada umat manusia,


dan sebagian dari keadaan yang
mengagumkan
tentang
antarhubungan yang dibangun selama
masa Hellenistic. Sejumlah perjanjian
menyatukan Negara-Negara tersebut
dalam suatu jaringan kerjasama
perdagangan
dan
politik.
Hak
seringkali diberikan kepada warga
Negara pada masing-masing teritori
dan peraturan mengenai kesucian
dan perlindungan utusan diplomatik
dikembangkan. Tidak ada pemikiran
mengenai komunitas mendunia yang
dapat ditelusuri kembali hingga
kepada ideologi Mesir meskipun
pesatnya pertumbuhan koloni-koloni

Mesir diseluruh Mediteranian.
Negara-Negara
di
Roma
memiliki penghormatan yang amat
sangat besar untuk organisasi dan
Hukum. Hukum lah yang menyatukan
Kerajaan-Kerajaan
mereka
dan
mengangkat
sumber
vital
akan
referensi untuk setiap penduduk di
daerah kekuasaan yang sangat luas.
Awal Hukum di Roma (jus civile)
diaplikasikan hanya kepada penduduk
Roma. Hal ini bersifat formal, sulit,
dan mencirikan sebuah status akan

masyarakat yang kecil, sederhana,
dan berkehidupan dari tanah.
Jus
Gentium
kemudian
menyediakan
peraturan
yang
disederhanakan untuk menentukan
hubungan antara orang asing dengan
orang asing, dan hubungan antara
orang asing dengan warga Negara.
Instrumen yang digunakan pada
sistem perkembangan khusus ini
diketahui secara resmi adalah Praetor
Peregrinus, yang berfungsi untuk
mengawasi semua hubungan Hukum,
termasuk
birokrasi
dan

hal-hal
perdagangan, didalam Kerajaan.
Kemajuan
peraturan
Jus
Gentium secara berangsur-angsur
mengesampingkan Jus Civile yang
terbatas sampai akhirnya sistem
tersebut berhenti digunakan. Dengan
demikian,
Jus
Gentium
menjadi
Hukum Adat dari Kerajaan Roma dan

dianggap sebagai salah satu aplikasi
Universal.
Salah satu konsep Mesir yang
sangat mempengaruhi Roma adalah
ide mengenai Hukum Alam. Hal ini

dirumuskan oleh para filsuf di Stoic
pada abad ke-3 BC dan teori mereka
adalah bahwa Hukum Alam berisi
sekumpulan
peraturan
mengenai
hubungan secara Universal. Karena
pemikiran dan ajaran Hukum Alam
berakar pada kecerdasan manusia,
hal ini dimengerti dengan peraturan
bahwa hal ini tidak dapat terbatas
kepada
Negara
atau
kelompok
manapun
tetapi
bersangkut-paut
dengan
seluruh

dunia.
Elemen
Universal ini adalah dasar untuk
doktrin modern tentang Hukum
Internasional
dan
penningkatan
kekuatan manusia dalam deduksi
logis untuk mencapai puncak dari
“penemuan”
Hukum
memberi
inspirasi kepada filsuf-filsuf rasional di
dunia Barat. Selain daripada menjadi
konsep dasar pada teori Hukum,
Hukum Alam juga vital kepada
pengertian
tentang
Hukum
Internasional, seperti halnya berperan

sebagai perintis kepada perhatian
mengenai hak asasi manusia yang
tidak dapat diabaikan.
Beberapa
filsuf
Roma
menyatukan
ide-ide
dari
Mesir
tersebut mengenai Hukum Alam
kedalam teori Hukum mereka sendiri,
sebagai pokok dasar kebenaran dari
Jus Gentium, yang mana dianggap
untuk mengabadikan prinsip-prinsip
rasional
umum
kepada
seluruh
Negara yang beradab.
Peraturan
klasik
mengenai
Hukum Roma disusun dalam Corpus
Juris Civilis, sekumpulan materimateri Hukum berdasarkan seri-seri
oleh para filsuf Romawi Timur yang
diselesaikan pada 534 AD. Koleksi ini
tak terhingga nilainya ketika terjadi
kemunduran selama masa Middle
Ages, diikuti oleh runtuhnya kerjaan
Roma,
yang
kemudian
secara
berangsur-angsur menghilang. Sejak

saat
itu
sekumpulan
peraturan
Hukum yang berkembang telah siap
dibuat dan menunggu pemindahan ke
Negara-Negara
Eropa
yang
berkembang.
Pada tingkat ini, referensi harus
dibuat merujuk kepada pertumbuhan
Negara-Negara Islam. Pendekatannya
kepada
hubungan
dan
Hukum
Internasional
berdasarkan
atas

keadaan permusuhan terhadap dunia
non-muslim dan konsep kesatuan
diantara
Negara-Negara
Muslim.
Ketika periode penjajahan selesai dan
kekuatan-kekuatan
digabungkan,
norma-norma
yang
mengatur
memimpin dengan Negara-Negara
non-muslim mulai berkembang.

MASA ABAD PERTENGAHAN DAN RENAISSANCE
Masa
abad
pertengahan
diperkenalkan
oleh
wewenang
organisasi
Gereja
dan
struktur
kekuasaan yang meliputi banyak hal
yang diperintah olehnya. Untuk
sebagian besar dari periode ini,
terdapat banyak sekali perebutan
kewenangan antara Gereja dengan
pemerintah dari Kerajaan Suci Roma.
Konflik
ini
secepatnya
diselesaikan
dengan
dukungan
Papacy, tetapi kemenangan kaum
penganut sekuler terbukti secara
relatif bertahan sebentar. Agama dan
warisan umum yang diperoleh dari
Kerajaan
Roma
secara
kuat
mempersatukan
pengaruh,
sementara persaingan politis dan
regional tidak.
Kepentingan yang dikhususkan
selama era ini adalah kewenangan
dari Kerajaan Suci Roma dan peran
Canon Law yang melampaui batasbatas Negara. Hukum Negara Inggris
menetapkan Hukum Perdagangan,
suatu kode peraturan yang meliputi
perdagangan dengan Negara asing,
dan ini dinyatakan untuk digunakan
secara Universal.
Di sepanjang Eropa, pengadilan
niaga
telah
disiapkan
untuk
menyelesaikan perselisihan antara
para pedagang pada pasar yang
berbeda-beda, suatu jaringan yang

berisi peraturan umum dan praktek
menenun jalannya melintasi kain
perdagangan
di
Eropa
dan
merupakan
janin
dari
Hukum
perdagangan Internasional. Dengan
cara yang sama, kebiasaan atau adat
yang berlaku pada kelautan mulai
diterima di sepanjang benua.
Peraturan-peraturan
yang
demikian tumbuh dari awal Masa
Abad Pertengahan, yang merupakan
bakal dari Hukum Internasional, tetapi
sebelum hal ini maju, Negara-Negara
di
Eropa
berpikir
mengalami
sebelumnya
perkembangan
yang
diakibatkan oleh ledakan intelektual
yang dikenal sebagai Renaissance.
Keruntuhan dari Kerajaan Roma
Timur terpusat pada Konstatinopel
sebelum angkatan bersenjata Turki
pada tahun 1453 menggerakkan
banyak sarjana Mesir untuk mencari
tempat perlindungan di Itali dan
memeriahkan kehidupan berbudaya
di daerah Barat Eropa.
Suksesnya Negara Kesatuan
Inggris, Prancis, Spanyol dikenali
dengan fakta-fakta dalam proses
penciptaan yang secara teritorial
terdiri dari gabungan Negara-Negara
independen maupun secara teori dan
doktrin. Hal ini merujuk kepada
tingkat yang lebih tinggi dalam
interaksi antar kekuasaan yang

memerintah dan kebutuhan untuk
mengatur aktivitas yang demikian
dengan mode yang dapat diterima
secara
umum.
Pencarian
atas
kekuatan
politik
dan
supermasi
menjadi jelas dan terkenali.
Dari sekian jumlah keributan
mengenai
perebutan,
muncullah
banyak
pokok-pokok
kehidupan
Internasional
modern:
diplomasi,
kenegarawanan,
teori
mengenai
keseimbangan antara kekuasaan dan
ide
tentang
himpunan
NegaraNegara.
Gagasan yang demikian segera
menjadi cukup besar dan dapat
diidentifikasi
dengan
berbagai
manuver untuk keunggulan politik.
Persekutuan,
penghianatan,
manipulasi lembaga kenegaraan, dan
gerakan untuk mencapai kekuasaan
bukanlah sesuatu yang oleh kita.
Masa Renaissance mewariskan
prasyarat
yaitu
independensi,
pemikiran
kritis
dan
secara
kemanusiaan, pendekatan sekuler
kepada kehidupan juga kerangka
politis di masa depan. Tetapi faktor
yang belakangan muncul lah yang
menjadi vital untuk pertumbuhan
Hukum Internasional yang berikutnya.
Dalam banyak cara peperangan ini
ditandai dengan penolakan dari
sistem continental yang ditemukan
dalam Agama dan kelahiran dari
sistem continental yang ditemukan
dalam supermasi sebuah Negara.
Teori
Hukum
Internasional
secara Alami dan mendalam terlibat
pada penilaian kembali kehidupan
politis yang demikian dan amat
terpengaruh oleh penemuan kembali
ide-ide dari masa Greco-Roman. Jadi,
nilai
sistem
yang
jelas
untuk
menyokong hubungan Internasional
telah diubah menjadi Hukum antar
Negara dan digembar-gemborkan
sebagai bagian dari Hukum Alam
Universal.

Dengan kebangkitan Negara
modern dan emansipasi hubungan
Internasional,
doktrin
mengenai
kedaulatan
muncul. Konsep
ini,
pertama
kali
dianalisa
secara
sistematis pada tahun 1576 dalam
buku Six Livres de la Republique oleh
Jean Bodin, yang mana merupakan
orang pertama yang berniat untuk
berurusan
dengan
struktur
kewenangan
di
dalam
Negara
modern. Ia menekankan kebutuhan
akan kekuatan kekuasaan yang
memerintah di dalam Negara yang
akan
menciptakan
Hukum.
Sementara
kekuasaan
yang
memerintah yang seperti ini tidak
dapat dibatasi oleh Hukum yang
dimulai oleh dirinya sendiri, ia adalah
subyek dari Hukum Tuhan dan Hukum
Alam.
Ide mengenai kekuasaan yang
memerintah
sebagai
pembuat
undang-undang
tertinggi
telah
menjadi rangkaian yang mengubah
waktu
menjadi
asas-asas
yang
memberikan suatu Negara kekuasan
supreme untuk berhadap-hadapan
dengan
Negara
lain.
Negara
dihormati dengan berada diatas
Hukum. Gagasan yang demikian
membentuk dasar-dasar intelektual
pada suatu paham yang dikenal
sebagai paham Positivisme.
Aquinas
mempertahankan
bahwa Hukum Alam membentuk
sebagian dari Hukum Tuhan, dan
merupakan partisipasi oleh makhluuk
rasional pada Hukum Kekekalan. Hal
ini melengkapi bagian dari Hukum
Kekekalan
yang
telah
dengan
sempurna di ungkapkan bahwa akal
budi merupakan intisari dari manusia
dan demikian harus dilibatkan dalam
pengaturan hidup sesuai dengan
keinginan Tuhan. Pandangan Aquinas
pada
akhir
abad
ke-13
dapat
dihormati
sebagai
dasar
untuk
memahami sikap agama Katolik pada
saat ini, tetapi tidak boleh dibiaskan
dengan tafsiran Hukum Alam di

kemudian hari yang menekankan
konsep dari hak-hak dasar.
Dengan
latar
belakang
intelektual
yang
demikian
para
sarjana pada masa Renaissance
mencapai
pertanyaan
mengenai

asas-asas dan dasar kebenaran dari
suatu sistem Hukum Internasional.
Hukum Internasional kemudian mulai
muncul sebagai topik terpisah untuk
dipelajari
dari
isinya
sendiri,
walaupun berasal dari asas-asas
Hukum Alam.

PARA PENEMU HUKUM INTERNASIONAL MODERN
Dasar dari pendekatan baru
kepada Hukum Internasional dapat
ditelusuri kembali hingga kepada
filsuf Spanyol pada masa keemasan
Negara tersebut, Fransisco Vitoria,
profesor pada bidang Teologi dari
University of Salamanca (1480 –
1546). Ia mengatakan bahwa Hukum
Internasional
ditemukan
dalam
Hukum Alam Universal dan ini berarti
bahwa
Negara-Negara
non-Eropa
pasti
termasuk
dalam
pengecualiannya. Akan tetapi, Vitoria
tanpa maksud apapun mencetuskan
pengakuan
terhadap
kebangsaan
Indian
yang
sederajat
dengan
Negara-Negara Kristen di Eropa.
Baginya, menentang pekerjaan dari
para utusan dalam teritori hanya
menjadi
alasan
untuk
memulai
perang,
dan
ia
mengadopsi
pandangan yang cenderung luas
terhadap hak-hak orang Spanyol di
Selatan Amerika.
Suarez (1548 – 1608) adalah
seorang profesor Teologi yang secara
mendalam
terbenam
pada
kebudayaan
sejarah
abad
pertengahan. Ia mencatat bahwa
peranan wajib Hukum Internasional
berdasarkan atas Hukum Alam,
sementara hakekat atau isi pokoknya
berasal dari Hukum Alam yang
memuat
persetujuan
yang
diikutsertakan.
Alberico Gentili (1552 – 1608)
lahir di belahan utara Itali dan
melarikan diri ke Inggris untuk
menghindari penganiayaan, yang

kemudian berpindah agama menjadi
seorang penganut Protestan. Pada
tahun 1598 tulisannya De Jure Belli
dipublikasikan. Tulisannya tersebut
meliputi diskusi yang luas mengenai
Hukum dalam perang dan memuat
bagian
berharga
dalam
Hukum
perjanjian. Gentili, yang kemudian
menjadi profesor di Oxford, disebutsebut sebagai pencetus sekolah
pemikiran sekuler dalam Hukum
Internasional dan ia sampai sekarang
meremehkan
pentingnya
tesis
Teologis.
Bagaimanapun
juga,
Hugo
Grotius, seorang sarjana Jerman,
yang namanya menjulang tinggi pada
periode ini dan telah dielu-elukan
sebagai Bapak Hukum Internasional.
Ia lahir pada tahun 1583 dan
merupakan seorang yang sangat
berkebudayaan Renaissance. Seorang
sarjana yang sangat sukses dalam
pembelajarannya,
ia
menguasai
Sejarah, Teologi, Matematika, dan
Hukum. Hasil karya utamanya adalah
De Jure Belli ac Pacis, yang ditulis
selama 1623 hingg 1624. Karyanya
ialah suatu hasil kerja yang luas dan
termasuk didalamnya cukup banyak
ketaatan daripada penjelasan yang
terperinci mengenai Hukum partikelir
dan gagasan yang mungkin akan
terlihat pantas saat ini.
Grotius
pada
akhirnya
menghilangkan Teologi dari Hukum
Internasional dan menekankan pada
penyimpangan yang terdapat dalam
pembelajaran mengenai gambaran

apapun dan sebagainya tentang
Hukum KeTuhanan. Ia berpendapat
bahwa Hukum Alam tetap akan sah
walau tidak ada Tuhan. Keadilan
adalah bagian dari tatanan manusia
dan
kemudian
tidak
hanya
bermanfaat tapi juga bersifat dasar.
Pengertian Grotius mengenai sistem
yang luas akan Hukum Internasional
dan hasil kerjanya dengan cepat
menjadi
buku
pelajaran
di
Universitas. Ia menahan perbedaan
Teologis antara perang yang adil dan
yang tidak adil, sebuah pemikiran
yang kemudian segera menghilang
dari risalat Hukum Internasional,
tetapi yang mana dengan cara
tertentu
menjadi
penyokong
pendekatan
modern
kepada
penyerangan, pertahanan diri, dan
kemerdekaan.

Salah satu pendapatnya yang
paling
kronis
terdiri
dalam
proklamasinya
mengenai
kemerdekaan perairan laut. Para
sarjana Jerman menentang konsep
“perairan tertutup” milik Portugis
yang belakangan dijelaskan oleh
penulis asal Inggris John Selden.
Bagaimanapun juga, hal ini
memberitahukan
apa
yang
seharusnya tidak diabaikan, yakni
konsep dari Hukum-Hukum sebagai
politik dan disiplin ilmu lain yang
dengan kuat mengakar pada dunia
realitas,
dan
mencerminkan
ketertarikan pada jaman sekarang.
Dengan
tidak
mengacuhkan
ini
adalah untuk mengubah teorinya
sendiri.

POSITIVISME DAN NATURALISME
Mengikuti ajaran Grotius, tanpa
memisahkan pemikiran dari sarjanasarjana yang lainnya, pembagian
dapat dideteksi dan dua aliran yang
berbeda teridentifikasi. Pada satu sisi
terdapat aliran “Naturalis”, diberikan
contoh oleh Samuel Pufendorf (1632 –
1694),
yang
berusaha
untuk
mengidentifikasi Hukum Internasional
sepenuhnya dengan Hukum Alam;
dan pada sisi lainnya terdapat aliran
“Positivisme”, yang membedakan
antara Hukum Internasional dan
Hukum Alam dan menekankan pada
permasalahan praktis dan keadaan
praktis
saat
ini.
Pufendorf
menghormati Hukum Alam sebagai
suatu sistem yang bermoral, dan
salah mengerti arah dari Hukum
Internasional
modern
dengan
menolak keabsahan suatu peraturan
mengenai kebiasaan. Ia juga menolak
untuk mengakui perjanjian-perjanjian
dalam berbagai cara bersangkutan

dengan diskusi mengenai dasar dari
Hukum Internasional.
Salat satu dari pemrakarsa
dasar dari aliran positivis ialah
Richard Zouche (1590 – 1660), ia
tidak cukup menaruh perhatian
kepada doktrin-doktrin tradisional.
Perhatiannya adalah untuk situasi
spesifik dan bukunya mengandung
banyak contoh dari kejadian yang
baru saja terjadi. Ia meninggikan
Hukum
Perdamaian
diatas
pertimbangan
sistematis
tentang
Hukum Peperangan dan menjauhkan
diri dari karangan teoritis yang
terperinci.
Bynkershoek (1673 – 1743)
menekankan kepentingan dari praktik
modern
dan
hampir
tidak
mengacuhkan
Hukum
Alam.
Ia
memberikan kontribusi yang besar
kepada
perkembangan
teori
mengenai hak dan kewajiban dari
Negara netral dalam perang, dan
setelah pembelajaran yang teliti

mengenai fakta yang bersangkutan ia
memutuskan
untuk
menyokong
kebebasan perairan laut.
Pendekatan Positivis berasal
dari metode empiris yang diadopsi
oleh Renaissance. Hal ini berfokus
tidak pada bangunan besar teori yang
terstruktur berdasarkan deduksi dari
prinsip-prinsip dasar, tetapi lebih
kepada
memperhatikan
kejadiankejadian selama itu berlangsung dan
mendiskusikan permasalahan aktual
yang muncul. Metode ilmiah melalui
eksperimen dan pembuktian dari
hipotesis
ditekankan
pada
pendekatan ini.
Dari sikap filosofis ini, adalah
langkah
pendek
untuk
penginterpretasian
ulang
Hukum
Internasional tidak dalam terminologi
konsep yang berasal dari alasan,
tetapi lebih kepada terminologi atas
apa yang sebenarnya terjadi antara
Negara-Negara yang bersaing. Apa
yang Negara-Negara tersebut lakukan
adalah kuncinya, bukan apa yang
Negara-Negara tersebut seharusnya
lakukan memberikan aturan dasar
atas Hukum Alam. Kesepakatan dan
kebiasaan dikenali oleh NegaraNegara sebagai dasar dari Hukum
Antar-Negara.
Positivisme berkembang selagi
sistem Negara kesatuan modern
muncul,
setelah
Perdamaian
di
Westphalia pada tahun 1648, dari
perang keagamaan.
Elemen-elemen
dari
Positivisme dan Naturalisme muncul
dalam hasil karya Vattel (1714-1767),
seorang
pengacara
di
Swiss.
Karyanya Droit des Gens berdasarkan
pada prinsip-prinsip dasar Hukum

Alam tetapi berorientasi praktikal. Ia
mengenalkan
doktrin
kesamaan
derajat atas Negara-Negara kepada
Hukum Internasional, menyatakan
bahwa Negara kecil tidaklah kurang
kedaulatannya dibanding Kerajaan
yang
paling
kuat.
Dengan
membedakan
antara
Hukum
berdasarkan hati nurani dan Hukum
berdasarkan aksi dan menyatakan
bahwa kekhawatiran praktikal adalah
hal
yang
paling
akhir,
ia
menyepelekan pentingnya Hukum
Alam.
Pemikiran akan kontrak Sosial,
bahwa suatu kesepakatan antara
individu mendahului dan dibenarkan
oleh masyarakat, menekankan pada
peran utama dari seorang individu,
dan apakah teori yang demikian
ditafsirkan dengan pesimis untuk
menuntut
kekuasaan
yang
memerintah absolut sesuai dengan
yang dikatakan oleh Hobbes, atau
secara optimis dimaksudkan suatu
penerimaan yang bersyarat atas
kewenangan seperti yang Locke
setujui, hal ini tidak dapat gagal
untuk
menjadi
doktrin
yang
revolusioner.
Sekalipun demikian, pada sisi
lain, doktrin dari Hukum Alam telah
dipekerjakan untuk mempertahankan
kepastian
dari
kedaulatan
dan
kesucian dari kepemilikan privat.
Teorinya memiliki aspek reaksioner
karena hal itu dapat diperdebatkan,
dan apa yang seharusnya terjadi
semenjak hal itu berevolusi dari
kontrak
sosial
atau
dengan
sempurnanya ditakdirkan tergantung
kepada seberapa sekuler sebuah
Hukum Alam dikonstruksikan untuk
dijadikan.

ABAD KE-19

Abad ke-19 bersifat praktikal,
ekspansionis
dan
era
positivis.
Kongres di Vienna, yang mana
menandai
akhir
dari
perang
Napoleon,
mengabadikan
ketentraman Internasional baru yang
berdasarkan
atas
keseimbangan
kekuatan
di
Eropa.
Hukum
Internasional menjadi berpusat di
Eropa,
pemeliharaan
dari
yang
beradab,
Negara-Negara
Kristen,
penyeberangan laut dan Negara
asing yang dapat masuk hanya
dengan
persetujuan
dan dalam
kondisi
yang
ditetapkan
oleh
kekuatan-kekuatan di Barat. Abad ini
juga
melihat
kedatangan
kemerdekaan di Amerika Latin dan
tempaan dari pendekatan yang
berbeda
kepada
elemen-elemen
tertentu dari Hukum Internasional
oleh Negara-Negara pada daerah
tersebut,
terutama
dengan
memperhatikan
pada,
misalnya,
suaka diplomatik dan perlakuan oleh
perusahaan-perusahaan asing dan
warga Negara.
Terdapat banyak ciri-ciri yang
menandai abad ke-19. Demokrasi dan
nasionalisme, keduanya menghimbau
peperangan pada revolusi Perancis
dan kerajaan, menyebar sepanjang
benua dan mengubah inti dari
hubungan Internasional. Demokrasi
dibawa kepada pengaruh politik
individual dan perkataan di dalam
pemerintahan. Hal ini juga membawa
pulang kenyataan berupa tanggung
jawab,
untuk
peperangan
yang
menjadi
perhatian
bagi
semua.
Revolusi Industri berpusat di Eropa,
menciptakan pembagian ekonomi
menjadi dua, yakni kapital dan buruh
dan mendorong pengaruh Barat
keseluruh dunia. Semua faktor ini
menciptakan pertambahan jumlah
yang sangat besar dan variasi dari
Lembaga Internasional baik publik
maupun
privat,
dan
Hukum
Internasional berkembang dengan
pesat untuk menampung mereka.
Aksi
dari
Kongres
di
Vienna
mewujudkan
dasar-dasar
dari

kebebasan
bernavigasi
dengan
memperhatikan terusan Internasional
dan mengatur Komisi Sentral dari
Rhine untuk mengatur kegunaannya.
Pada tahun 1856 Komisi untuk
Danube diciptakan dan sejumlah
sungai di Eropa juga menjadi subyek
dari persetujuan dan pengaturan
Internasional.
Pada
tahun
1865
Persatuan
Telegraf
Internasional
diciptakan dan pada tahun 1874
didirikan Universal Postal Union.
Komite
Palang
Merah
Internasional didirikan pada 1863,
membantu mempromosikan sejumlah
seri dari Konvensi Geneva dimulai
pada tahun 1864 yang berurusan
dengan konflik kemanusiaan, dan
Konverensi Hague pada tahun 1899
dan 1907 didirikan Permanent Court
of Arbitration dan berurusan dengan
cara memperlakukan tawanan dan
kontrol dari peperangan.
Teori positivis mendominasi
abad
ini.
Pendekatan
telah
dipindahkan
kedalam
kejadian
Internasional dan segera berhadapan
dengan realita dari kekurangan
terhadap
kewenangan
tertinggi.
Semenjak
Hukum
sepenuhnya
tergantung kepada kehendak dari
kekuasaan yang mengatur di sistem
nasional, hal ini terlihat bahwa
Hukum Internasional ikut tergantung
pada keinginan dari Negara-Negara
dengan kekuasaan yang mengatur.
Hal
ini
menyiratkan
kebingungan atas pembuat undangundang tertinggi di dalam Negara
dengan Negara itu sendiri dan
kemudian
positivisme
harus
menerima identitas metafisis dari
suatu Negara. Suatu Negara memiliki
kehidupan dan keinginannya sendiri
dan kemudian menjadi dapat untuk
mendominasi Hukum Internasional.
Tekanan atas kondisi abstrak alami
suatu Negara ini tidak muncul pada
segala teori positivis dan terlambat
dikembangkan.

Pertumbuhan dari kesepakatan
Internasional, adat, dan peraturan
membujuk teori-teori positivis untuk
menggasak masalah ini di Hukum
Internasional
dan
Negara;
dan
sebagai hasilnya dua aliran pemikiran
muncul.
Penganut
Monis
mengakui
bahwa
terdapat
satu
prinsip
fundamental yang mendasari baik
Hukum nasional maupun Hukum
Internasional. Penganut Dualis, yang
berjumlah lebih dan cenderung
berpikiran dalam aliran positivis,
menekankan
elemen
dari
persetujuan.
Bagi Triepel, seorang teoris
Jerman lainnya, Hukum Internasional
dan Hukum Domestik ada pada latar
atau bidang yang berbeda, hal yang
dulunya
mengatur
hubungan

Internasional, hubungan akhir antara
individu dengan individu dan antara
individu dengan Negara.
Hal ini merujuk kepada suatu
paradox. Dapatkah pengaturan umum
ini
mengikat
Negara-Negara
individual, dan, apabila iya, kenapa?
Hal ini akan muncul untuk mengarah
kepada kesimpulan bahwa keinginan
sautu
kekuasaan
Negara
dapat
memberikan
kelahiran
kepada
peraturan yang mana hal itu tidak
memiliki kontrol.
Abad
ke-19
juga
melihat
publikasi dari sejumlah pekerjaan dari
Hukum Internasional, yang mana
menekankan praktek suatu Negara
dan kepentingan dari sikap sautu
Negara terhadap perkembangan dari
peraturan-peraturan dalam Hukum
Internasional.

ABAD KE-20
Kerajaan
Eropa
menguasai
dunia dan ideologi Negara-Negara di
Eropa menjadi hal yang utama, tetapi
Great War pada Tahun 1914 – 1918
melemahkan
dasar-dasar
dari
peradaban Negara-Negara di Eropa.
Harta
waris
yang
paling
penting dari Perjanjian Perdamaian
pada tahun 1919 dari sudut pandang
hubungan
Internasional
adalah
penciptaan
Liga
Bangsa-Bangsa.
Sistem anarkis yang sudah tua telah
gagal dan dibutuhkan lembagalembaga
baru
untuk
mempertahankan dan mengamankan
perdamaian. Liga tersebut terdiri dari
Majelis dan Dewan Eksekutif, tetapi
telah buntung semenjak awal dengan
ketiadaan Amerika dan Uni Soviet
untuk sepanjang umur hidupnya dan
pada
dasarnya
tetap
sebagai
organisasi Negara-Negara di Eropa.

Perserikatan ini gagal ketika
dihadapkan kepada para penyerang
yang bertekad untuk berperang.
Jepang menyerang Cina pada tahun
1931 dan dua tahun kemudian
mengundurkan diri dari LBB. Italia
menyerang Ethiopia, dan German
memulai serangkaian penyerangan
internal dan eksternal yang tak
terelakkan. Uni Soviet, pada langkah
final,
akhirnya
dikeluarkan
dari
organisasi
pada
tahun
1939
mengikuti
penyerangannya
ke
Finland.
Pengadilan permanen Hukum
Internasional didirikan pada tahun
1921 pada Hague dan telah sukses
pada tahun 1946 dengan Mahkamah
Pengadilan Internsional dan banyak
lembaga-lembaga
Internasional
lainnya
yang
diresmikan
atau
meningkatkan
usahanya
selama
periode ini.

Setelah kejadian traumatis dari
Perang Dunia kedua LBB sukses pada
tahun 1946 dengan pembentukan
Perserikatan Bangsa Bangsa, yang
mana berusaha untuk memperbaiki
banyak kerusakan yang diakibatkan
oleh
pendahulunya.
Munculnya
dekolonisasi memenuhi ekspetasi dan
Majelis Umum di Perserikatan Bangsa-

Bangsa sampai saat ini memiliki 192
Negara anggota.
Peningkatan
besar
dalam
jumlah kebiasaan dan perjanjian
Internasional, penetapan dari sistem
arbitrase dan perkembangan dari
organisasi
Internasional
telah
didirikan dan inti dari Hukum
Intersional seperti yang diakui saat
ini.

PENDEKATAN KOMUNIS TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL
Teori
klasik
Marxist
menjabarkan Hukum dan politik
sebagai alat dimana pihak yang
mengatur mempertahankan dominasi
mereka terhadap masyarakat. Inti
dari kehidupan ekonomi adalah
kepemilikan atas alat-alat produksi,
dan semua kekuasaan berasal dari
kontrol ini. Sesungguhnya, teori
bahwa Hukum dan Negara akan
menghilang ketika dasar baru untuk
masyarakat telah ditetapkan dan,
karena Hukum Internasional klasik
ditemukan
berdasarkan
Negara,
maka Hukum Internasional juga akan
turut menghilang.

dimulai. Selama waktu ini, Hukum
Internasional
sebagai
metode
pemanfaatan akan dikritisi oleh
Negara
sosial,
tetapi
Hukum
Internasional
tetap
akan
diakui
sebagai sebuah sistem yang sah.

Profesor Tunkin menekankan
bahwa
Revolusi
Oktober
Rusia
menghasilkan serangkaian baru ideide
Hukum
Internasional
yang
dibedakan menjadi tiga kelompok
yang saling berhubungan: (a) Prinsipprinsip
Internasionalisme
dalam
hubungan
antara
Negara-Negara
sosialis, (b) Prinsip-prinsip kesamaan
dan penentuan nasib sendiri oleh
bangsa-bangsa dan manusia, yang
terutama
ditujukan
terhadap
kolonialisme, dan (c) Prinsip-prinsip
dari kehidupan damai bersama pada
hubungan antar Negara dengan
sistem sosial yang berbeda.

Pendekatan baru pada akhir
1930 telah dicerminkan secara politis
pada kesuksesan usaha Rusia untuk
bergabung dengan Liga BangsaBangsa dan kebijakannya untuk
mencoba merebut kekuasaan dari
dunia Barat. Rusia mengadopsi lebih
banyak pandangan Hukum akan
Hukum
Internasional
dan
menekankan pada penerimaan Rusia
akan prinsip-prinsip yang demikian
sebagai Negara yang menentukan
nasibnya sendiri, kedaulatan Negara,
dan
persamaan
bangsa-bangsa,
tetapi tidak yang lainnya. Peranan
dari Hukum Internasional bukan
merupakan sistem Hukum tunggal
Internasional yang mengikat semua
Negara.

Selama periode pasca-revolusi
yang baru berakhir, pada waktu itu
didalilkan bahwa fase transisi telah

Pashukanis mengatakan bahwa
Hukum Internasional bukanlah suatu
bentuk dari kompromi sementara
antara Negara kapitalis dan USSR,
melainkan sebagai saran untuk
melaksanakan perang antar kelas.
Uni Soviet diikat hanya oleh aturanaturan dari Hukum Internasional yang
mana selaras dengan tujuannya.

Mengenai hal teoritis akan
Hukum dari tahap peralihan telah
digantikan oleh Hukum Internasional
mengenai kehidupan berdamai dan
berdampingan. Perang tidak lagi
dianggap sebagai suatu hal yang
tidak
terelakkan
antara
Negara
kapitalis dan Negara sosialis dan
periode
saling
toleransi
dan
kerjasama dimulai.
Tunkin mendefinisikan Hukum
Internasional modern sebagai berikut:

Sekumpulan
norma-norma
yang
mana
dibuat
oleh
kesepakatan antar NegaraNegara dengan sistem sosial
yang berbeda, mencermikan
kehendak yang bersesuaian
dari Negara-Negara tersebut
dan memiliki secara umum
karakter demokratis, mengatur
hubungan
antara
mereka
dalam proses memperjuangkan
dan
kerja
sama
dalam
pengarahan yang menjamin
perdamaian dan kehidupan
damai
berdampingan
dan
kebebasan serta kemandirian
dari
masyarakat,
dan
dilindungi ketika dibutuhkan
dengan
paksaan
untuk
menyelenggarakan
oleh
masing-masing
Negara
ataupun secara bersama.
Profesor
Kozhevnikov
lainnya mengatakan bahwa:

dan

Hukum Internasional dapat
didefinisikan
sebagai
sekumpulan
aturan
yang
mengatur
hubungan
antar
Negara
dalam
proses
mengenai pertentangan dan
kerjasama diantara mereka,
dirancang uuntuk melindungi
perdamian dalam kehidupan
berdampingan
bersama,
menyatakan kehendak dari
pihak-pihak yang mengatur
dari
Negara-Negara
yang
terlibat
dan
melakukan
pertahanan apabila dibutuhkan

dengan
paksaan
yang
dilaksanakan
oleh
masingmasing Negara atau secara
bersama.
Hal ini merupakan usaha, yang
pada intinya, dilaksanakan untuk
mengurangi konsep-konsep dasar
dari Hukum internsional dengan cara
yang
dilaksanakan
untuk
mencermikan tren ideologis. Tetapi
harus ditekankan bahwa prinsipprinsip itu sendiri telah lama diterima
oleh komunitas Internasional.
Meskipun prinsip-prinsip dasar
tentang
penghormatan
terhadap
kedaulatan
Negara,
ketiadaan
campur
tangan
dalam
perkara
internal dan kesamaan derajat antar
Negara dan individu diakui dalam
Hukum Internasional, prinsip-prinsip
yang
sama
dalam
Hukum
Internasional sosialis dibuat lebih
tegas dengan pengurangan dari
persaingan ekonomis dan eksploitasi
dan
meningkatnya
kerja
sama.
Karena
itu,
prinsip-prinsip
ini
tergabung
tidak
hanya
sebagai
kewajiban
materiil
untuk
tidak
melanggar hak masing-masing, tetapi
juga tugas untuk menolong satu
sama lain dalam menikmati dan
melindungi
hak-hak
seperti
ini
terhadap ancaman kapitalis.
Uni Soviet menekanan pada
keutuhan dan kedaulatan territorial,
yang sementara itu diranang pada
praktiknya untuk melindungi NegaraNegara sosialis dalam lingkunan yang
didominasi
oleh
kapitalis,
membuktikan adanya ketertarikan
besar
terhadap
Negara-Negara
berkembang pada Blok Ketiga.
Kesalingtergantungan
dalam
dunia
dan
kebutuhan
untuk
kerjasama
Internasional
telah
ditekankan, dan telah diterima bahwa
ketegangan antara kapitalis dan
komunis
tidak
lagi
menjadi
pertentangan utama pada dunia
modern dan bahwa dibawah dogma
sebelumnya
terdapat
banyak

ketertarikan umum. Hal ini juga
ditekankan
bahwa
Hukum
Internasional harus bersifat Universal
dan tidak secara artifisal dipisahkan
menjadi kapitalis, sosialis, dan blok
ketiga sistem “Hukum Internasional”.
Pembubaran dari Uni Soviet
pada tahun 1991 menandai akhir dari
perang
dingin
dan
munculnya
kembali
sistem
dari
hubungan
Internasional yang didasarkan pada
beragam sumber kekuasaan yang
tidak terhalang oleh determinasi
ideologis.
Perang
dingin
telah
mengenakan suprastruktur dualistik
terhadap
hubungan
Internasional
yang
mana
sebenarnya
telah
mengakibatkan segala perselisihan
politis Internasional yang serius dan
telah membelenggu pengoperasian
dari persatuan bangsa-bangsa secara
khusus.
Pengertian Hukum oleh cina
adalah suatu birokrasi yang rumit
yang dikerjakan untuk mencapai
keselarasan dan keseimbangan dan
suatu sistem tentang hak legal untuk
melindungi individu dari pengaruh
dunia Barat tidak terlalu berkembang.
Hal ini diyakini bahwa masyarakat
akan lebih baik jika dilayani dengan
contoh
dan
moralitas
yang
ditetapkan, daripada oleh aturan dan
sanksi.
Cina sepertinya telah mengakui
beberapa sistem Hukum Internasional
dan telah menyiratkan bahwa hanya
dengan
penyebaran
akhir
dari
sosialisme sebuah sistem Universal
dapat
dilaksanakan.
Kesepakatan
Internasional
dianggap
sebagai
sumber
utama
dari
Hukum
Internasional dan Cina telah terlibat
dalam
banyak
perjanjian
dan
konvensi
dan
melaksanakan
semuanya
sebaik
Negara-Negara
lainnya.
Bagaimanapun juga, sekarang
bahwa fase dari pengasingan diri dari

dunia telah berakhir, hubunganhubungan dengan Negara-Negara lain
telah dibangun dan masuknya Cina
ke dalam Persatuan Bangsa-Bangsa
telah
dipastikan,
Cina
telah
mengadopsi lebih banyak peranan
aktif dalam hubungan Internasional,
sebuah pendekatan yang lebih sesuai
dengan perkembangan kekuasaan
ekonominya yang pesat. Cina kini
telah terlibat penuh dalam politik
dunia dan hal ini mengarah kepada
pengesahan kepada pandangannya
akan Hukum Internasional, seperti
yang
sungguh-sungguh
terjadi
kepada Uni Soviet.