6
komoditi terakhir yang dihapuskan melalui pengelolaan cultuurstelsel karena kedua tanaman ini adalah komoditi yang paling mnguntungkan.
2. Politik Pintu Terbuka
Agrarische Wet UU Agraria 1870 menandai dimulainya era liberal di Jawa. Pengelolaan Jawa tidak lagi monopoli pemerintah, kini pihak swasta memiliki
kesempatan yang sama untuk melakukan eksploatasi. UU itu juga menjamin kebebasan dan keamanan pengsaha perkebunan. Dalam ketentuan yang berlaku
hanya orang-orang Hindia Belanda Indonesia dan pemerintah yang diijinkan memiliki tanah. Pemerintah sebagai pemilik tanah dapat menyewakan kepada
pengusaha asing atau Belanda dengan jangka waktu sewa 75 tahun, sementara pihak pribumi yang memiliki tanah diijinkan menyewakan tanahnya selama 5
sampai 20 tahun. Dengan demikian mulai berlakukanya UU Agraria 1870 sampai awal 1900 di Hindia Belanda marak dengan munculnya usaha agroindustri.
Tidak hanya Jawa, wilayah luar Jawa juga mulai dikembangkan untuk usaha perkebunan dan pertambangan. Selesainya terusan Suez menyusul pembukaan
terusan itu untuk kapal-kapal non militer memangkas jarak tempuh Eropa-Asia sekaligus memicu perkembangan perhubungan laut. Perkembangan agroindustri
swasta dengan dukungan transportasi laut Koeninglijk Paketvaart Maschapij KPM yang dikelola pemerintah Belanda mendorong pertumbuhan perekonomian
berbasis agroindustri. Ekspor Hindia Belanda pada tahun 1860 baik pemerintah maupun swasta memiliki nilai sama, tetapi pada 1885 nilai ekaspor pihak swasta
sepuluh kali lipat nilai ekspor pemerintah. Secara keseluruhan nilai ekspor Hindia Belanda tahun 1885 adalah dua kali lipat dari nilai tahun 1860. Keberadaan orang-
orang sipil Eropa meningkat pesat dari 17.285 pada tahun 1852 menjadi 62.477 pada tahun 1900. Periode liberal adalah periode peningkatan eksploatasi Hindia
Belanda secara besar-besaran Ricklef, 2001:269-270 Jaman liberal juga berarti masa ketika alat tukar uang menjangkau lebih ke
pedalaman Hindia Belanda terutama pada masyarakat Jawa. Semua ini akibat system sewa tanah yang mewajibkan pembayaran berupa uang, selain itu usaha
7
perkebunan memperkenalkan uang melalui system pengupahan atas buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan besar.
Keberadaan perkebunan besar mendorong munculnya usaha sector jasa yaitu ekspor-impor. Industry ekspor merupakan penggerak perekonomian Hindia
Belanda dan berpengaruh terhadap sector ekonomi lainnya. Keberadaan industry itu tidak lepas dari meningkatnya permintaan pasar Eropa akan komoditi
pertanian dan pertambangan dari Negara-negara koloni. Komoditi primadona yang terus mengalami peningkatan permintaan adalah gula, kopi, tembakau,
karet, dan barang-barang tambang seperti timah, bauxite dan lain-lain. Prinsip ekonomi liberal adalah kebebasan ekonomi tanpa campur tangan
pemerintah serta penghapusan semua unsure paksaan. Kaum liberal yakin apabila perekonomian dibiarkan bebas maka akan berjalan menujun ke taraf yang lebih
baik, kebebasan berarti siapa saja memiliki kesempatan berusaha yang sama, hal itulah yang akan mendorong perkembangan ekonomi. Liberalism menunjukkan
keberhasilannya dalam hal perkembangan industry khususnya ekspor yang berkembang pesat. Ketersediaan capital dalam jumlah besar dengan dukungan
system keuangan bank yang solid perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda berhasil mengembangkan usahanya. Modal membuat perkebunan dapat
menggunakan tehnologi baru hasil Revolusi Industri untuk memaksimalkan produktifitas mereka. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan tebu di Jawa adalah
54.176 bau, luas areal perkebunan tebu mengalami peningkatan yaitu menjadi 128.301 bau pada 1900. Produksi gula meningkat dari 2.440.000 pikul pada 1870
menjadi 12.050.544 pikul pada tahun 1900. Hal yang sama terjadi pada perkebunan teh, khususnya setelah perkebunan-perkebunan tersebut membudida
yakan tanaman the yang berasal dari Assam. Tembakau mengalami hal yang sama, bahkan sempat memiliki harga yang sangat bagus dan sangat terkenal di Eropa
Notosusanto, 1984: 124-125
8
Gambar pabrik gula di Jawa www.willemsmithistorie.nl
Komoditi dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang telah mengalami perkembangan pesat selama masa ini adalah kopi dan kina.
Selama jaman liberal Hindia Belanda menjadi Negara penghasil kina yang paling terkemuka di dunia, karena hamper 90 dari kina yang digunakan di dunia pada
waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Sayangnya kopi tidak lagi menjanjikan keuntungan yang bagus seperti selama masa cultuurstelsel
meskipun kopi Jawa Barat sangat terkenal. Harga kopi dan gula jatuh setelah tahun 1885, sehingga keuntungan yang
diperoleh juga menurun secara signifikan. Tahun 1891 menyusul harga tembakau jatuh di pasar internasional. Jatuhnya harga tembakau cukup serius sehingga
membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan tembakau di Deli. Jatuhnya harga gula terutama disebabkan oleh munculnya pesaing gula tebu yaitu
gula bit yang dibudidayakan di Eropa. Budidaya tanaman bit di Eropa memangkas ongkos kirim sehingga komoditas baru itu dapat menyaingi gula dari Hindia
Belanda. Penurunan keuntungan akibat turunnya harga komoditas berimbas
terhadap jasa keuangan atau perbankan yang hidup dari perkebunan. Kredit macet menjadi ancaman yang akan menjatuhkan lembaga keuangan di Hindia
Belanda. Untuk menghindari kejatuhan semua usaha perekonomian perusahaan perkebunan dan lembaga perbankan perlu dilakukan perubahan mendasar untuk
menyelamatkan perekonomian Hindia Belanda. Keputusan yang diambil pemerintah Hindia Belanda adalah melakukan merger atas perkebunan yang
9
dimiliki perseorangan menjadi sebuah perseroan terbatas yang dikendalikan oleh manager professional bukan oleh pemilik perkebunan. Pemilik perkebunan akan
menjadi pemegang saham yang memiliki hak memilih dewan direksi yang akan mengawasi kinerja perkebunan yang dijalankan oleh sang manajer. Dengan
demikian perbankan tetap dapat menyalurkan kreditnya dengan resiko yang lebih kecil. Namun pihak perbankan kemudian juga melakukan pengawasan terhadap
perusahaan perkebunan sehingga salah urus, ketidakefisienan operasi perkebunan-perkebunan besar dapat diminimalisir. Bank-bank di Hindia Belanda
tidak lagi beroperasi secara mandiri, tetapi menjadi bagian dari bank-bank yang berkedudukan di Belanda.
Perkembangan usaha perkebunan yang pesat dan sangat menguntungkan, ternyata hanya dinikmati para pengusaha dan pemerintah Belanda. Rakyat
pribumi tetap masih berada dalam kemiskinan. Kemakmuran seperti yang didengung-dengungkan kaum liberal atas penduduk pribumi tidak terwujud.
Widjojo Nitisastro dalam penelitiannya tentang pertumbuhan penduduk Hindia Belanda setelah 1880 memperlihatkan adanya penurunan laju pertumbuhan
penduduk Notosusanto, `1984: 128 Di pihak lain ketersediaan produksi pangan mengalami sedikit penurunan dari pertumbuhan penduduk. Ini berarti
pertumbuhan penduduk Jawa tidak diiringi pertumbuhan produksi pangan, seperti yang sudah diramalkan Malthus bahwa suatu hari pertumbuhan penduduk akan
melampaui pertumbuhan produksi pangan sehingga kelangkaan pangan menjadi niscaya
Penurunan kesejahteraan penduduk pribumi Jawa dilaporkan oleh Mindere Welvaarts Commisie Komisi Kemerosotan Kemakmuran yaitu suatu
badan yang dibentuk pemerintah colonial Hindia Belanda untuk menyelidiki tingkat kemakuran penduduk pribumi. Hasil penyelidikannya menyatakan bahwa
pada awal abad ke-20 pendapatan rata-rata rumah tangga Jawa berkisar f.80 untuk satu tahun, dari jumlah itu kurang lebih f.16 harus dibayarkan kepada
pemerintah sebagai pajak, sehingga pendapatan sebenarnya adalah f.64thn atau f.5,3bln jumlah yang sangat kecil
10
Penurunan kemakmuran penduduk Jawa tidak hanya disebabkan penurunan usaha perkebunan besar Belanda tetapi juga karena sebab-sebab lain.
Pertama adalah meningkatnya penduduk Jawa setelah Perang Jawa dengan tidak diikuti perluasan areal lahan pertanian untuk pangan. Kedua adanya system kerja
rodi baik untuk pejabat colonial maupun pejabat pribumi sebagai patron mereka. Petani tidak memiliki motivasi kerja keras karena mereka paham bahwa hasil kerja
mereka tidak dapat mereka nikmati. Ketiga adalah kebijakan politik colonial yang menjadikan Jawa sebagai tulang punggung financial untuk daerah-daerah lain
yang dikuasai Belanda. Keempat adalah system pajak regresif yaitu system perpajakan yang memberatkan kelompok berpendapatan rendah yang sebagian
besar adalah pribumi tetapi di pihak lain menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi mayoritas Eropa karena rendahnya pajak yang harus
mereka tanggung. Kelima adalah krisis yang melanda perkebunan pada tahun 1885 Notosusanto 1984: 129-131
3. Politik Etis