Latar Belakang d ips 0809451 chapter1

1 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi merupakan tantangan bagi dunia pendidikan dan menciptakan peluang baru. Memahami globalisasi dengan segala aspeknya merupakan langkah strategis untuk memperbaiki pendidikan. Sebaliknya, pendidikan juga memainkan peran penting dalam menciptakan pemahaman ini. Sebagaimana dijelaskan Bloom 2004: 72 bahwa peluang yang ditimbulkan oleh integrasi global dalam bidang pendidikan melalui tiga saluran utama. Pertama, globalisasi memungkinkan peserta didik dan bangsa-bangsa untuk beroperasi lebih efektif dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Untuk itu diperlukan produktivitas tinggi dan fleksibilitas dalam menggunakan teknologi untuk meningkatkan nilai barang dan jasa. Kedua, globalisasi menjadikan negara semakin saling tergantung secara ekonomi, sosial, dan politik. Generasi sekarang perlu mengembangkan kemampuan dan keterampilan interpersonal untuk belajar dan bekerja, hidup dengan orang lain yang cenderung berbeda ras, agama, bahasa, dan latar belakang budaya. Diungkapkan oleh Suárez- Orozco dan Gardner 2004:252 bahwa: Children growing up today will need to develop arguably more than in any generation in human history-the higher order cognitive and interpersonal skills to learn, to work, and to live with others, which are increasingly likely to be of very different racial, religious, linguistic, and cultural backgrounds. Saluran ketiga, globalisasi akan mempengaruhi meningkatnya kecepatan perubahan pendidikan. Pendidikan dalam visi global perlu mempersiapkan peserta didik menjadi warga global yang bertanggung jawab dan mampu menjadi agen 2 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu perubahan dalam memerangi ketidakadilan sebagai dampak dari globalisasi. Tantangan globalisasi bagi pendidikan menurut Gardner 2004: 252-258 adalah adanya ketegangan antara laju perubahan kelembagaan pendidikan dan organisasi sosial, ekonomi, dengan transformasi budaya yang begitu cepat. Pendidikan telah berubah karena adanya pergeseran nilai-nilai dan temuan ilmiah sehingga mengubah pemahaman kerangka fikir manusia. Sebagaimana dijelaskan Hannerz 1990: 250 bahwa salah satu wacana dominan era globalisasi adalah hipotesis tentang homogenitas budaya . Prediksi ini didasarkan asumsi bahwa proses perubahan global yang didukung oleh pengetahuan dan media teknologi akan melahirkan budaya dunia yang homogen. Pada akhirnya, perubahan itu akan mengakibatkan hilangnya pengalaman dan pemahaman generasi muda terhadap keragaman budaya. Menanggapi hipotesis tersebut, Turkel 2002 berpendapat agar guru dan pembuat kebijakan menyiapkan peserta didik untuk memahami bahwa teknologi di satu sisi memberikan kemanfaatan tetapi juga membatasi generasi muda dalam mempersiapkan diri menjadi warga global. Jenkins dan Watson 2004: 115 menekankan pentingnya peran kearifan lokal sebagai strategi menghadapi tantangan imperialisme kultural dan hipotesis homogenitas budaya. Kearifan lokal secara kritis berperan dalam pertukaran budaya melalui media global dan membentuknya kembali dengan istilah asli. Ditegaskan oleh Watson bahwa faktor kearifan lokal akan mengubah produk global menjadi bermakna dan sesuai dengan kehidupan sosial budaya setempat sebagai bentuk konvergensi media. Sebagaimana diungkapkan Jenkins 2004: 115 bahwa: …konvergensi media cenderung multi arah, mencerminkan peredaran produk dari Barat ke Timur, serta aliran budaya terus menerus secara bersamaan dari 3 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Timur ke Barat. Tentu saja ada arus produk budaya di seluruh sumbu lainnya, seperti di negara-negara Asia. Arti gambar dan produk budaya yang dipertukarkan biasanya mengalami metamorfosis yang tak terduga dan kontradiktif Maira 2004:202 menyebutkan bahwa kehidupan anak-anak dewasa ini dibentuk oleh proses global perekonomian dan budaya. Sistem pendidikan yang terikat pada kearifan lokal dalam rangka pembentukan warga negara secara proaktif dapat menghadapi tantangan globalisasi. Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu mempertimbangkan reformasi kurikulum yang mampu menghadapi tantangan perubahan dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Mengambil pelajaran dari negara lain dapat mendukung pengembangan sistem pendidikan tetapi menjaga dan memelihara pengetahuan lokal penting untuk eksistensi suatu negara. Sebagaimana diungkapkan Lewis 2004 pentingnya menjaga kemampuan masyarakat lokal dan nasional dalam mendukung dan memvalidasi pengetahuan lokal, bahasa lokal, dan budaya lokal sebagai sebuah model pendidikan secara umum di seluruh dunia. Menurut Dewantara 1977: 33, kebudayaan merupakan faktor penting bagi pendidikan suatu bangsa. Kebudayaan sebagai landasan pengembangan kurikulum karena kurikulum is a construct of that culture Print, 1993:15. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hasan 1999 pakar kurikulum IPS mengingatkan perlunya para pengembang kurikulum memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses dan kegiatan belajar serta evaluasi siswa. Tujuan pendidikan nasional telah mengantisipasi dampak globalisasi dengan 4 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Sebagaimana dijelaskan Poespowardojo 1986: 36 bahwa pendidikan di sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya cultural creation and cultural transmission kepada generasi muda. Sebagaimana diungkapkan Azra 2000:3 bahwa pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 Bab I 2009: 3 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila pendidikan dimaknakan sebagai usaha sadar dan terencana melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk tercapainya tujuan pendidikan ideal maka kurikulum dipandang sebagai salah satu komponen yang memiliki kedudukan dan peran strategis di dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Realitasnya, sampai saat ini kurikulum pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu menjadi instrumen yang efektif bagi terwujudnya suatu pendidikan nasional yang ideal, yang memberdayakan manusia dan masyarakat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Nata 2003: 45 bahwa permasalahan kegagalan dunia pendidikan di Indonesia disebabkan karena dunia pendidikan selama ini hanya 5 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu membina kecerdasan intelektual, wawasan, dan keterampilan semata tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional. Akibatnya, muncul counter productive dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa dan menyebabkan diabaikannya nilai dan moral dalam tata krama pergaulan pada suatu masyarakat yang beradab. Menempatkan penalaran sebagai sumber primer ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal selaras dengan visi modern. Manusia modern sebagai alat dominasi terselubung bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Implikasinya, tugas pendidik adalah menggali dan mengembangkan kemampuan intelektual manusia agar dapat memelihara, melestarikan dan mengembangkan kehidupan manusia ke arah yang lebih beradab dan bermartabat Rasyidin dkk, 2009: 73-76. Dalam konteks pendidikan, modernitas telah menjerumuskan dunia pendidikan dalam problem-problem mekanis teknikalistik dengan pusat perhatiannya pada materi dengan orientasi pada hasil bukan pada proses. Secara lebih khusus dimensi kemanusiaan peserta didik telah terabaikan dan pendekatan afektif mulai ditinggalkan. Sebagaimana dijelaskan Abdullah 2008, bahwa pendidikan selama ini hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membuat dunia persekolahan memproduksi lulusan yang telah hilang sisi-sisi kemanusiaannya. Dominasi iptek dan penerapan rasio sebagai ukuran kebenaran menyebabkan masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, dan krisis sosial. Menurut Drost 1998:74 pengangkatan harkat dan martabat kemanusian harus terintegratif antara nalar rasional dan nalar 6 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu spiritual. Ketidakmampuan mengembangkan ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Sebagaimana refleksi Suyanto 2003 terhadap terjadinya perubahan kurikulum juga menyimpulkan guru hanya mendepositokan banyak informasi yang diturunkan dari berbagai cabang ilmu tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai peserta didik. Pendidikan di Indonesia, mengutip pendapat Freire mengikuti banking concept of education Freire, 2002: 28. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme melahirkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya Santoso, 2003:331. Paradigma ini merupakan mainstream gerakan postmodernisme. Postmodern sering dianggap sebagai istilah yang tidak relevan, sulit dipahami dan karenanya dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Sebagaimana dijelaskan Griffin et.al ., 1993: vii –viii: Insofar as a common element is found in the various ways in which the term is used, postmodernism refers to a diffuse sentime nt rather than to any set of common doctrines the sentiment that humanity can and must go beyond the modern‖ Griffin et al., 1993: vii– viii Argumen ini mengkristal menjadi dua filosofi, yakni Neo-Modernism dan Pasca-Modernisme, keduanya berbagi gagasan bahwa dunia modern telah berakhir dan sesuatu yang baru harus menggantinya . Pandangan dunia postmodern berbeda dengan gerakan anti modern. Postmodernisme berusaha untuk mengatasi kerusakan akibat modernitas dengan konsep baru di bidang budaya, bahasa, dan kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Jencks 1992:10 bahwa: 7 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Post-modernism has become more than a social condition and cultural movement, it has become a world view. But its exact nature is strongly contested and this has helped widen the debate to a world audience. The argument has crystallised into two philosophies — what I and many others call Neo- and Post-Modernism — both of which share the notion that the modern world is coming to an end, and that something new must replace it . Jencks, 1992: 10 Jencks 1984 menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis, dalam Antologia de la poesia Espanola e hispanoamericana 1934 yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme Siswanto, 1998: 159. Istilah posmodernisme dikenalkan oleh Lyotard 1986 secara eksplisit lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya tersebut, Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Berakhirnya modernisme yang terlalu mentotalisasi kehidupan manusia mempunyai korelasi dengan proses dekonstruksi. Dekonstruksi dari Jacques Derrida pada perkembangannya menjadi kekuatan utama dari etos post-strukturalisme 2002. Dekonstruksi pendidikan lebih memfokuskan membongkar hegemoni institusi yang selama ini telah dijadikan media dalam mempertahankan status quo. Dekonstruksi juga dimaksudkan untuk menentang ideologi-ideologi pendidikan yang dominan, praktek-praktek pengajaran yang kaku dan tidak manusiawi, mengacaukan otoritas institusi dan para pendidik. Dalam konteks post-modernisme, problematisasi struktur dan hirarki epistimologis ternyata memberikan kekuatan konseptual pemikiran baru bagi dunia pendidikan, baik di tingkat struktural maupun 8 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu personal sehingga pendidikan sendiri mengalami perubahan-perubahan mendasar tentang tujuan, isi, dan metode. Dalam konteks ini, Tilaar 1999:177 mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun nasional. Untuk itu perlu diintegrasikan kembali sehingga pendidikan betul-betul hidup, dihidupi, dan menghidupi kebudayaan. Diungkapkan oleh Poespowardojo 1986:36, pendidikan sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana dikutip Singleton, John 1974:26, bahwa budaya dalam konsep esensial pendidikan sebagai ‖the shared product of human learning‖, bahwa proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya cultural creation and cultural transmission kepada generasi muda. Ada interelasi sensitif pendidikan dengan kebudayaan dalam arti pertumbuhan yang satu harus diimbangi dengan pertumbuhan lainnya, yang diharapkan memiliki potensi saling dukung cross fertilizing dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti dijelaskan oleh Dewantara 1977: 3 bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunia atau kebudayaannya. Tanpa kebudayaan, perilaku manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Sebagaimana diungkapkan Geertz 1973, 45-46 bahwa: ... Tanpa arahan kebudayaan perilaku manusia tak terkendali, suatu chaos tindakan tanpa arah dan letupan emosi semata, pengalaman yang tidak berbentuk. Kebudayaan bukan merupakan hiasan eksistensi manusia, tetapi... kondisi esensial bagi eksistensi manusia. 9 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya dan dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas bangsa. Pendidikan merupakan wahana sentral dalam menterjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku. Sebagaimana diungkapkan Ortega 1959: 97, bahwa kebudayaan adalah interpretasi manusia atas kehidupannya, suatu rangkaian pemecahan masalah dan solusinya. Basis kemanusiaan adalah thinking dan bukan making , esensi manusia bukan making tetapi finding and interpreting. Pengetahuan mengenai dunia berasal terutama dari interpretasi bukan dari persepsi langsung. Merujuk pendapat Lewis 2004 tentang model pendidikan berbasis budaya lokal dan pendapat Dewantara 1977: 3 bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri maka dikembangkan model pendidikan IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa. Pendidikan IPS sebagai kelompok bahan ajar terikat oleh nilai-nilai sosial budaya bangsa, karena itu pendidikan IPS tidak dapat lepas dari tata nilai dan norma yang ada dalam suatu bangsa. Sebagaimana dijelaskan Soemantri 2001:92 bahwa program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat mengambil aspek-aspek tertentu dari ilmu-ilmu kealaman dan teknologi. Dengan pengertian ini, IPS merupakan pelajaran yang cukup komprehensif untuk menyikapi dan memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik. Sebagai mata pelajaran di sekolah IPS lebih bersifat edukatif ketimbang akademis. 10 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Beberapa alasan perlunya integrasi nilai-nilai budaya lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang sekarang ini memasuki milenium ketiga. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan pemahaman terhadap nilai-nilai ke Indonesiaan secara menyeluruh. Kedua, adanya kenyataan telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa yang merupakan identitas kolektif Kartadinata, 2009. Pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, dan kepribadian bangsa. Ketiga, pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil atau ajaran yang diperoleh dari Barat Alwasilah, 2009. Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Keempat, adanya ketidakpuasan terhadap modernitas dengan narasi-narasi besar grand narative yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi ke kinian. Hegemoni dan superioritas modernitas tidak memberikan tempat yang cukup bagi perkembangan narasi-narasi lokal local narative . Sesungguhnya tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi ―the global village‖, sebuah konsep Marshall McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the Global Village 1968 atau 11 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu menjadi satu dunia “sama”, ia juga pergi menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi. Hubungan antara globalisasi dan lokalisasi merupakan sebuah proses dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Globalisasi adalah tesis, lokalisasi adalah antitesis maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut “glokalisasi” dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal globalism dan localism diperkenalkan oleh Mike Feath Stone dalam karyanya Un doing Culture, Globalization, Postmodernism, and Identity 1995. Pandangan yang mengutamakan keseimbangan globalisasi dan lokalisasi itu sudah ada dalam masyarakat dan kebudayaan lokal. Dalam buku The Invention of Tradition 1988 yang disunting oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger. Kearifanpengeta huan lokal di sini disebut “ the invention of tradition‖ yang dapat diterjemahkan sebagai “penemuan tradisi”. Dalam artikel pembukanya, Hobsbawm 1988 menyepakati bahwa: Invented tradition is taken to mean a set of practices normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past . Yang tampak kemudian adalah kearifan lokal, pengetahuan lokal, indigenous knowledge, local genius, penemuan tradisi adalah sebuah epistemologi relasional. Ia adalah epistemologi mengenai hubungan-hubungan. Hobsbawm menyatakan bahwa “tradisi yang ditemukan” menunjukkan ketersambungan dengan masa lalu. Ini 12 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu berarti, masa lalu tidak benar-benar ditinggalkan meskipun zaman sudah berangkat sangat progresif. Foucault 1985:135 menjelaskan keterhubungan dari analisis sejarah tentang sistem hukuman dan disiplin, ia menyatakan lain kekuasaan, lain pengetahuan. Pengetahuan diserap dalam kekuasaan dan superioritasnya dibongkar. Menurut Derrida 2001 makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Budaya seperti teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks. Makna teks akan berubah dan berkembang, bukan milik suatu zaman melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan unvocity absolut melainkan multiplicity of meaning dan terkait dengan kreativitas manusia. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari identitas bangsa. Partington dan Cudden 1992:12 menjelaskan bahwa identitas masyarakat tercermin pada orientasi yang menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai masyarakat, persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup yang mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari, dan gaya hidup yang mewarisi perikehidupan masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, Soebadio 1986: 18-25 menjelaskan pengertian kearifan lokal secara keseluruhan dapat dianggap sama dengan Cultural Identify, yang diartikan sebagai identitas budaya bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya. 13 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Identitas nasional menurut Barker 2005:260 merupakan bentuk identifikasi imajinatif dengan simbol dan wacana negara bangsa. Bangsa bukan sekadar formasi politik melainkan sistem representasi kultural tempat identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif. Negara bangsa sebagai aparatus politik dan bentuk simbolis memiliki dimensi waktu, dalam arti struktur politik terus hidup dan berubah sementara dimensi simbolis dan diskursif identitas nasional terus menceritakan dan menciptakan gagasan mengenai asal usul, kesinambungan dan tradisi. Dengan demikian identitas bangsa ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Sebagaimana dikatakan Zaretsky 1994 dalam Castells 2002: 10 bahwa Identity: must be situated historically. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu dan tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa. Jati diri bangsa yakni suatu pilihan, yang merupakan pencerminan atau tampilan dari karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang berlaku di dalam ruang sosial global menciptakan kerangka kultural baru untuk mendefinisikan kembali identitas dan nilai-nilai bagi komunitas yang memiliki latar kebudayaan berbeda. Pada titik itulah Indonesia harus berproses aktif untuk menegaskan identitasnya di dalam desa global. Menurut Featherstone 1990:19 dibutuhkan kemampuan menjalin komunikasi, karena merupakan kunci bagi suatu komunitas dalam melakukan adaptasi yang berhasil terhadap pergeseran ruang sosial yang dikendalikan oleh logika pasar dan ditunjang dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. 14 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Pada komunitas yang besar nation dengan cakupan wilayah luas, kondisi lingkungan fisik yang beragam, dan kondisi sosio kultural heterogen, pembentukan identitas bersama memerlukan proses yang panjang dan selalu melibatkan inovasi politis political innovation. Dengan cara itu berbagai hal yang dipilih dan digunakan sebagai simbol identitas akan mendapat pengakuan sebagai milik bersama dan dapat didayagunakan untuk membangun solidaritas. Pada saat identitas bersama telah terbentuk lewat perantaraan simbol-simbol resmi maka perbedaan di antara etnis-etnis akan hilang dan yang tampak ke permukaan adalah perasaan bahwa mereka adalah warga dari suatu komunitas dan kebudayaan yang sama. Bangsanegara tidak dapat dilihat sebagai unit administrasi politik semata melainkan lebih tepat disebut sebagai sebuah cultural community Eriksen, 1993: 99. Gellner 1983:1 menyebut inovasi politis untuk mencapai tujuan itu seba gai ‟nasionalisme‟, yang dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai sentimen dan gerakan. Nasionalisme sebagai sentimen merupakan “ feeling of anger aroused by the violation of the principle or the feeling of satisfaction aroused by its fulfill-ment ‖. Sementara sebagai gerakan, nasionalisme merupakan “ one actuated by sentiment of this kind‖ . Salah satu pembentuk identitas bangsa Indonesia yakni kebudayaan yang meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. berinteraksi dalam lingkungan lokal. Dengan kata lain identitas didasarkan pada kelokalan yang berinteraksi dengan sumber-sumber pemaknaan dan pengakuan sosial, dalam pola yang beragam memungkinkan interpretasi alternatif. Dengan kebersamaan akan menghasilkan rasa memiliki feeling of belonging yang pada akhirnya 15 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu menghasilkan identitas kultural. Untuk itu, dibutuhkan proses mobilisasi sosial sehingga ditemukan common interest yang dipertahankan dan menghasilkan pemaknaan baru. Batik klasik sebagai hasil budaya memenuhi tiga wujud kebudayaan, yakni budaya ide dan cipta motif batik, budaya fisik yakni berupa hasil karya kain batik, dan budaya perilaku, yakni setelah kain batik digunakan sebagai busana dalam kegiatan manusia Indonesia Koentjaraningrat, 2001. Dalam tradisi masyarakat Jawa, motif batik klasik berhubungan dengan seluruh tahapan kehidupan manusia Jawa mulai dari lahir hingga mati. Batik klasik dapat memperkuat identitas nasional, regional, lokal, dan etnik. De Travail 1984:3 yang dikutip oleh Andrea Hauenschild berp endapat bahwa “ material goods become part of the heritage only as a function of the needs of this collective memory, either to illustrate, or to keep a representation that is real rather than imaginary, or to seize the future‖ Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1705 seorang Belanda bernama Chastelain telah menggunakan istilah ―batex‖ batik dalam laporannya kepada Gubernur Belanda Rijcklof Van Goens Veldhuisen, 1999: 22. Menurut Hamzuri 1981: VI dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik menyatakan bahwa: ”Batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam. Kain yang sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara pencelupan. Setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus ”. Sebagaimana dikutip Brandes 1889:122 sebelum kedatangan agama Hindu dari India, masyarakat Jawa telah memiliki sepuluh macam kepandaian basic 16 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu culural traits termasuk di antaranya adalah batik, wayang, gamelan, tembang, mengerjakan logam, sistem mata uang, pelayaran, bercocok tanam, irigasi, dan sistem pemerintahan yang teratur. Subroto 1991:41 menyiratkan bahwa tradisi batik pada masyarakat Jawa kuna pernah disebut-sebut dalam kitab Sumanasantaka yang tertulis: ewer noralega ngapanday anulis para lukis asipet mwang anjahit yang dalam hal ini bertolak menurut Zoetmulder 1978 kata-kata anulis dan asipet lebih diartikan membatik. Dalam perkembangannya, batik tetap menjadi seni klasik yang dimulyakan di Istana sebagaimana pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram abad XVI M Bratara, 2000: 90. Sejak itu sampai terjadinya palihan kerajaan Surakarta menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta batik mendapat formasi normatif yang tegas dan menjadi sistem pranata sosial sebagaimana termuat dalam kitab angger, serat winduaji, dan pranatan dalem bab kampuh lan dodotan Honggopura, 2002: 12. Memahami simbolisme dalam visualisasi tata warna motif batik terkandung nilai-nilai falsafah hidup orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius-magis. Kaitannya dengan seni batik klasik, pemakaian tata warna kuning, putih, merah soga, biru, hitam, menjadi karakteristik masyarakat Jawa yang dianggap memiliki lambang-lambang pemujaan terhadap causa prima yang berada dalam kedudukan tertinggi. Diungkapkan oleh Kartosoedjono 1950:14-23 pada mulanya simbolisme batik dinyatakan lewat pralampita atau pralambang . Warna dasar dalam motif batik klasik diilhami oleh lambang-lambang warna dalam 17 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu kosmologi Jawa, yaitu kiblat papat lima pancer . Orang Jawa memaknai “ kiblat papat kelimo pancer‖ Dewa atau Tuhan sebagai pusat yang mengatur segala. Djoemena 1986:11 menjelaskan bahwa setiap penciptaan motif batik selalu memiliki makna simbolis berdasarkan falsafah Jawa, karena itu pemakaian motif didasarkan pada dua hal, yakni 1 kedudukan sosial seseorang di dalam masyarakat, 2 pada kesempatan atau peristiwa apa batik dipergunakan tergantung dari makna dan harapan yang terkandung pada ragam hias batik tersebut. Dengan demikian batik klasik mengandung tuntunan dan tatanan. Ditambahkan Hitchcock 1991: 83- 89, bahwa motif batik klasik ada hubungannya dengan arti simbolis dan makna falsafah dalam kebudayaan Hindu-Budha di Jawa. Kartini 2005:11 menjelaskan bahwa sebagian idiom makna simbolik motif- motif batik Jawa mempunyai kandungan muatan kearifan lokal dan dianggap dapat melampui jamannya. Sebagai contoh adalah motif batik Semen, Truntum , dan Sidoluhur. Hasil penelitian Sariyatun dkk 2006:26 menyebutkan bahwa motif Truntum melambangkan cinta yang bersemi kembali. Selain itu juga dimaknai sebagai tum-tum, yakni menuntun, dalam pemakaiannya motif ini melambangkan orang tua yang menuntun anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu menjalankan kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga yang sarat godaan. Diharapkan motif ini akan menjadikan kehidupan pernikahan menjadi langgeng diwarnai kasih sayang yang selalu bersemi. Motif Parang Rusak, hanya digunakan oleh para bangsawan pada masa dahulu untuk upacara-upacara kenegaraan. Motif ini sampai sekarang masih tetap terjaga. Menurut Koeswadji 1985: 25 sesuai dengan arti kata, Parang Rusak 18 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Motif ini mengajarkan agar sebagai manusia mempunyai watak dan perilaku yang berbudi luhur sehingga dapat mengendalikan segala godaan dan nafsu. Keberadaan batik klasik sebagai tuntunan dan tatanan dibakukan oleh aturan yang dikeluarkan dari Kraton Surakarta yaitu pada tahun 1769 oleh Paku Buwono III 1749-1788, sebagai berikut: ―Anadene arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun: ba tik sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daragem, lan tumpal. Anadene batik cumangkiri ingkang acalacap lung-lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangken anganggoha papatih ingsun, lan sent aningsun kawulaningsun wedana‖. “Adapun rupa jarit yang termasuk larangan saya: batik sawat tdan batik parang rusak, batik cumangkiri yang berupa motif modang bangun tulak, lenga teleng, daragem, dan tumpal. Adapun batik cumangkiri yang berupa motif lung-lungan atau kekembangan bunga, saya ijinkan dipakai oleh patih saya, dan keluarga bangsawan, abdi dalem wedana Hasanudin, 2001: 23 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa motif batik tidak boleh dikenakan sembarang orang, yakni batik dengan motif sawat, parang rusak dan cumangkiri karena merupakan batik larangan. Direktorat Permuseuman 1991: 3-11, menjelaskan bahwa pemakaian batik pada mulanya sangat berkaitan dengan aktivitas seremonial dan ritual tertentu, seperti upacara-upacara adat yang sebagian besar berorientasi pada tata cara kerajaankraton, misalnya upacara jumenengan penobatan raja, pisowanan upacara menghadap raja, upacara gerebeg. Pemakaian batik juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya transendental atau berlatar belakang magis. Keberadaan batik dalam dimensi spasial-temporal telah melewati masa yang 19 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu panjang seumur dengan maraknya peradaban kebutuhan manusia untuk berpakaian, sehingga sangat tepat menjadikan “kearifan tradisional”, yakni batik klasik sebagai „produk‟ yang dikonsumsi dalam rangka „identifikasi diri‟. Pemilihan “citra tradisional” batik klasik dalam percaturan komunitas global yang dipenuhi dengan simbol-simbol modernitas, serta dalam proses „dialog dan interaksi‟ untuk menegosiasikan identitas keindonesiaan di hadapan negara-negara maju, sangat tepat. Sebagaimana diungkapkan Abdullah 2005:34-35 bahwa kearifan tradisional batik klasik sebagai pantulan identitas keindonesiaan berelasi dengan proses konsumsi simbolis yang menjadi salah satu tanda penting dari tumbuhnya budaya konsumen consumer culture seiring dengan terbentuknya ruang sosial global. Proses konsumsi simbolis pada hakikatnya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas. Barang yang dikonsumsi kemudian juga merepresentasikan kehadiran dan citra seseorang atau suatu komunitas. Friedman 1990: 312 berpendapat menjadikan „kearifan tradisional‟ yang bersumber dari motif batik klasik sebagai „produk‟ dalam rangka pembentukan jati diri bangsa merupakan cultural strategy of self-definition. „Kearifan tradisional‟ menunjuk pada anggapan bahwa kesempurnaan bentuk dalam budaya dan kesenian tradisional Indonesia bukan merupakan lambang supremasi artistik seperti yang berlaku di Barat, melainkan bertumpu pada nilai transenden yang melampaui jangkauan estetis. Dalam perspektif ini seni menjadi medium untuk mencapai tingkat totalitas kehidupan yang lebih tinggi, suatu yang tak pernah dicapai oleh seni modern Barat yang gagal menjawab persoalan eksistensial manusia. Dalam konteks ini, penciptaan realitas baru melalui dekonstruksi terhadap 20 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu makna filosofis batik klasik sejalan dengan pandangan Postmodern. Makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Karena itu, postmodernisme menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan tetapi justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan un consciousness di balik fenomena budaya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esensial. Penanda mengambang terus maka perlu mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut dan mendekonstruksi realitas. Kasanah batik klasik V orstenlanden yang sarat akan pesan-pesan filosofis, aspek spiritualitas dan aspek social, pada masa feodalisme yakni masa kerajaan Surakarta dan Djogjakarta digunakan sebagai media untuk meligitimasi kekuasaan, didekonstruksi menjadi media yang mencitrakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Penciptaan realitas baru terhadap batik klasik secara paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme. Konsepsi dasar pemikiran dekonstruktif ini adalah ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai ditentukan oleh tanda. Dalam konteks ini realitas ciptaan tersebut ditentukan oleh tanda, yakni batik klasik. Untuk menuju pada pengakuan identitas bangsa, selain menjadi proyek yang dilakukan Barat, bangsa Timur juga mempunyai kesadaran dalam mengagendakan untuk melihat Barat dengan kacamata Timur yang disebut oksidentalisme Said, 1996: 2-3. Kesadaran ini sebagai wacana keilmuan yang netral dan mengutamakan keseimbangan dalam berhubungan dengan berbagai entitas lain. Antara dunia Barat dengan Timur terjadi suatu hubungan yang dialektis yang saling mengisi sehingga akan terhindar dari relasi hegemonik Barat terhadap dunia Timur. Sikap kehati- hatian bangsa Timur Indonesia dalam merespon globalisasi adalah mengutamakan 21 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu pentingnya nasionalisme dan dalam bentuk ketahanan Budaya. Nilai-nilai budaya yang bersumber dari motif batik klasik mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Sebagaimana dijelaskan oleh Greertz 2001 bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Konstruksi budaya batik Indonesia telah tumbuh dalam kesadaran masyarakat dengan segala kekhasan yang dimiliki. Batik mampu bertahan melintasi zaman dan akhirnya menjadi warisan pusaka. Ada dua hal yang perlu dicermati menurut Kasiyan 1980:3, yakni pertama pengkritisan atas dimensi sosiologis batik akan digunakan untuk melihat bagaimana budaya batik dipahami dalam kesadaran dalam lingkungan masyarakat kontemporer. Kedua, pengkritisan dari dimensi akademis untuk mencermati bagaimana sesungguhnya nilai-nilai filosofis batik mendapatkan ruang concern sebagai disiplin kajian. Perspektif pada dimensi akademis atas batik menjadi urgent , karena dimensi edukasi tetap merupakan salah satu pilar bagi penguatan jati bangsa. Dalam konteks ini perlu diciptakan realitas baru dekontruksi terhadap nilai-nilai yang bersumber dari motif batik klasik sebagai komponen pendukung pembentukan karakter bangsa. Bagian inti dari kebudayaan yakni nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang perlu diinternalisasikan kepada anak didik sepanjang proses belajarnya. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya batik klasik dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai budaya tidak hanya pada tataran kognitif tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari. 22 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Sebagaimana diungkapkan Stahl 2008:2 dalam jurnal NCSS bahwa adanya prinsip pembelajaran IPS social studies pada sebuah penelitian berjudul “ A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building Social Understanding and Civic Efficacy ― , yakni: 1 Social studies teaching and learning are powerful when they are meaningful; 2 Social studies teaching and learning are powerful when they are integrative. 3 Social studies teaching and learning are powerful when they are value-based, 4 Social studies teaching and learning are powerful when they are challenging, 5 Social studies teaching and learning are powerful when they are active . Dari lima karakteristik PIPS salah satu yang merefleksikan paradigma konstruktivisme adalah bermakna meaningful dan belajar bermakna merupakan inti dari Pendidikan IPS Brophy Alleman, 1995:213. Dijelaskan oleh Farisi 2005 bahwa kebermaknaan program IPS menurut visi NCSS terjadi apabila memenuhi unsur-unsur: 1 Siswa harus belajar jaringan yang saling berkaitan dari pengetahuan, keterampilan, keyakinan, watak yang bisa digunakan baik di dalam maupun di luar sekolah. 2 Pembelajaran menekankan pada perkembangan gagasan gagasan penting sesuai keluasan cakupan topik dan fokus pembelajaran untuk memberikan pengertian, penghargaan, dan aplikasi kehidupan. 3 Signifikansi dan kebermaknaan materi ditekankan pada bagaimana materi tersebut disajikan kepada siswa dan dikembangkan lebih jauh dalam aktivitas-aktivitas. 4 Interaksi kelas difokuskan pada pengujian berkelanjutan terhadap sejumlah topik penting dari pada materi yang banyak. 5 Aktivitas belajar bermakna dan strategi asesmen difokuskan pada gagasan utama materi yang dipelajari. 6 Guru harus reflektif dalam merancang, melaksanakan, dan menilai pembelajaran. 23 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Realitasnya, pembelajaran IPS belum mampu memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa, yakni membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa. Sebagaimana diungkapkan Sardiman 2010: 148-149, bahwa keluarnya Permen nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permen nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan SKL, yang kemudian dimunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, termasuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS terutama pada jenjang SMPMTs belum begitu memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS. Sejumlah penelitian tentang pembelajaran IPS, diantaranya Hasan 1993; 1996; 2002 memandang bahwa materi PIPS kurang memuat masalah sosial, budaya, dan nilai dalam hidup keseharian anak. Pendidikan IPS lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan sumber keilmuan dari pada realitas sosial budaya sebagai sumber nilai rujukan bagi anak. Karena itu terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar anak. Hasil penelitian Lasmawan 2008, menunjukkan bahwa guru IPS cenderung terikat pada buku teks, baik isi, urutan materi, contoh-contoh, dan latihan-latihan soal yang menyertainya secara kaku. Padahal buku tersebut belum tentu sesuai dengan struktur kurikulum dan kebutuhan belajar peserta didik. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan dan minat peserta didik dalam belajar terabaikan. Hasil penelitian Farisi 2005 menjelaskan bahwa rendahnya apresiasi peserta didik SD terhadap PIPS karena pelajaran IPS sulit dimengerti dan pelajaran IPS banyak yang harus dihafalkan. Syaodih 2008:2 24 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu menyebutkan bahwa kondisi ideal yang diharapkan dari hasil pembelajaran IPS di persekolahan dianggap belum sesuai dengan harapan, bahkan beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan memperkuat kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS belum begitu nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Hasil penelitian Supriatna 2008 menemukan bahwa budaya ajar di sekolah masih dipengaruhi oleh kurikulum perenealisme dan proses belajar esensialistik, serta penilain yang bersifat behavioristik. Karena itu proses pembelajaran IPS- sejarah di sekolah menekankan pada pewarisan nilai dan transmisi pengetahuan sejarah dari guru pada peserta didik, serta penilaian hasil untuk mengukur aspek intelektual merupakan kondisi yang tidak bisa dilepaskan dari budaya ajar. Peranan guru sangat dominan dan pendewaan terhadap kurikulum menggambarkan status quo dari budaya ajar. Dalam kondisi seperti itu, pengajaran IPS lebih cenderung menjadi pelajaran yang dipahami dengan cara menghafal dari pada dipahami secara bermakna. Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selain faktor materi, penyebab yang lain adalah pelaksanaan pengajaran IPS di sekolah itu sendiri. Menurut Soemantri 2002 pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga peserta didik kurang antusias dan berakibat pelajaran menjadi kurang menarik. 25 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Salah satu hambatan yang paling kuat dalam pembelajaran IPS berdasar hasil penelitian Leming, Ellington, dan Schug 2006 melalui Dewan Perwakilan Nasional yang dilakukan pada lebih dari 1.000 guru Pendidikan IPS tahun 2005 di Indiana dan North Carolina disebabkan karena rendahnya kedudukan pendidikan IPS dalam kurikulum dibanding matematika dan membaca. Temuan ini menguatkan hasil survei Phillip J.Van Fossen s 2005 pada 600 guru SD di Indiana yang menyebutkan bahwa studi sosial berada pada urutan keempat mata pelajaran inti, yakni membacaseni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, dan penelitian sosial. Hasil survey ini mendukung Maria E. Hass dan Margaret A. Laughlin s 2001 menyebutkan bahwa guru-guru studi sosial ditempatkan sebagai pengajar di sekolah rendah. Posisi marginal studi sosial diperkuat dengan kebijakan sekolah yang menempatkan pengajaran sosial terintegrasi dalam pelajaran membacabahasa seni, matematika, dan ilmu pengetahuan yang merupakan disiplin utama dalam kurikulum Sekolah Dasar. Rendahnya status pendidikan IPS sesuai dengan hasil survey Larry Kuba 1991 bahwa studi sosial sering ditempatkan pada jadwal sore hari ketika peserta didik dan guru kurang memiliki energi atau yang lebih sedikit dan perhatian, sedangkan bahasa dan seni serta matematika diajarkan pada pagi hari. Dengan demikian diperlukan kurikulum pendidikan IPS yang mampu menjembatani pencapaian visi dan tujuan IPS, yakni kurikulum memberdayakan peserta didik agar memiliki kepedulian dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab pada komunitas global. Hal ini berhubungan dengan tujuan utama dari pendidikan IPS, yakni mengembangkan kemampuan kaum muda sebagai 26 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu warga negara dalam membuat keputusan yang tepat untuk kepentingan masyarakat publik yang memiliki keragaman budaya dan saling tergantung NCSS, 1994: 3. Kelas merupakan tempat belajar peserta didik yang beragam sehingga tidak mungkin perencanaan pelajaran yang didasarkan pada standar yang telah ditetapkan dan metode yang sama untuk semua peserta didik dapat dilaksanakan Slattery, 2004:58. Kurikulum harus fleksibel dalam merencanakan seluruh program pembelajaran dan dilakukan secara kooperatif antara guru dan peserta didik untuk kepentingan peserta didik. Doll Bab VII, 1993 berpendapat : ― post-modernists suggested that curriculum should be flexible to plan throughout a course and the planning should be done cooperatively between teacher and students for the benefits of students … Post-modernists aimed to create a learner-centered classroom that students possessed the ability to share control with the teacher. Kurikulum Doll 1993 menekankan pada eksplorasi apa yang tidak diketahui oleh guru dan peserta didik melalui dialog dan refleksi. Kurikulum berperan membantu proses negosiasi dengan berdasar pada unsur 4 R, yakni richness, recursions, relations, dan rigor Slattery, 2004: 64. Kurikulum pendidikan IPS postmodern bersifat konstruktif dan nonlinier yang muncul melalui aksi dan interaksi dari para peserta didik. Kurikulum bersifat terbuka mendorong berpikir kritis, pengambilan keputusan oleh semua orang sehingga mempromosikan sebuah masyarakat demokratis. Peran guru sebagai fasilitator yang melayani kebutuhan dan perbedaan individu. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, menarik, dan fleksibel. Lebih lanjut Doll 1993:163 menyatakan: In fact, it is to use see the concept of tra nsforma tion as central to curriculum - thereby transfonnig curriculum materials, processes, though, and participants. This means, I believe, that teachers and students need to 27 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu be- free, encouraged, demanded to develop their own curriculum in conjoint interaction with one another. Melalui pembelajaran yang interaktif, menarik, dan fleksibel pendidikan IPS akan menjadi media pengembangan daya kritis peserta didik yang mengutamakan pengembangan kemampuan pengetahuan dan memupuk keberanian mengemukakan pendapat atau argumen. Pendidikan IPS harus dapat mengembangkan kemampun berfikir kritis critical thinking dengan berbagai metode pemecahan masalah problem solving . Pendidikan IPS juga sebagai pengembangan pribadi seseorang social studies as personal development of the individual . Dengan demikian pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya social life skill. Untuk itu diperlukan upaya seleksi dan pemilihan materi dari ilmu-ilmu sosial menjadi materi pendidikan IPS di sekolah sebagai upaya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan yang abstrak abstract knowledge yang berguna dan bermakna dalam kehidupannya. Dijelaskan oleh Sumaatmaja 1980:20 bahwa mata pelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan dan terampil mengatasi setiap masalah yang menimpa dirinya sendiri maupun masyarakat. Implikasinya, pendidikan IPS diharapkan lebih memfokuskan pada pembinaan nilai nilai karakter, sikap sosial, dan keterampilan sosial serta untuk membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial dan keterampilan sosial dalam kehidupan di masyarakat. 28 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Sebagai upaya menumbuhkan motivasi dan partisipasi peserta didik maka pembelajaran dirancang secara kreatif sehingga dicapai pembelajaran yang bermakna. Perancangan pembelajaran yang kreatif dan bermakna menjadi penting karena kenyataannya pembelajaran terjadi pada suatu komunitas dan hasil belajar juga akan diterapkan pada komunitas budaya tertentu. Dalam hal ini, integrasi nilai- nilai budaya lokal batik klasik dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna secara kontekstual. Pendekatan pembelajaran berbasis nilai budaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan komunitas budayanya Sutarno, 2004. Dari latar belakang di atas maka dilakukan penelitian pengembangan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat menguatkan jati diri bangsa, untuk selanjutnya disingkat menjadi “IBNBBK”. Melalui konstruksi tersebut penelitian ini dapat memperdayakan empowering peneliti, guru IPS, dan peserta didik. Peneliti dan guru secara kolaboratif merencanakan dan menyusun desain pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat meningkatkan penguasaan materi IPS dan memperkuat jati diri bangsa. Model pembelajaran dikembangkan melalui pembelajaran Cooperative Learning dan Value Clarification Technique , karena itu membutuhkan dukungan partisipasi peserta didik yang tinggi dalam kegiatan belajar mengajar. 29 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu Menurut Eggen and Kauchak 1996: 279 model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengajaran yang melibatkan peserta didik belajar secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran ini dapat meningkatkan partisipasi dan memfasilitasi peserta didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berinteraksi dan belajar bersama peserta didik yang berbeda latar belakangnya. Hasil belajar akan meliputi kemampuan akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit dan membantu peserta didik dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis. Pendekatan klarifikasi nilai values clarification approach memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif dalam alam demokrasi karena akan membantu peserta didik untuk: pertama, menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri Hersh, 1980. Model IBNBBK diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memenuhi tuntutan pembelajaran IPS berbasis nilai, menantang dan bermakna Sthall, 2007. Secara spesifik model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan 30 Sariyatun, 2012 Model Pembelajaran Ips Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik Untuk Menguatkan Jati Diri Bangsa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta meningkatkan jati diri bangsa. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dikembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

B. Rumusan Masalah Penelitian