d ips 0809451 chapter1

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi merupakan tantangan bagi dunia pendidikan dan menciptakan peluang baru. Memahami globalisasi dengan segala aspeknya merupakan langkah strategis untuk memperbaiki pendidikan. Sebaliknya, pendidikan juga memainkan peran penting dalam menciptakan pemahaman ini. Sebagaimana dijelaskan Bloom (2004: 72) bahwa peluang yang ditimbulkan oleh integrasi global dalam bidang pendidikan melalui tiga saluran utama. Pertama, globalisasi memungkinkan peserta didik dan bangsa-bangsa untuk beroperasi lebih efektif dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Untuk itu diperlukan produktivitas tinggi dan fleksibilitas dalam menggunakan teknologi untuk meningkatkan nilai barang dan jasa. Kedua, globalisasi menjadikan negara semakin saling tergantung secara ekonomi, sosial, dan politik. Generasi sekarang perlu mengembangkan kemampuan dan keterampilan interpersonal untuk belajar dan bekerja, hidup dengan orang lain yang cenderung berbeda ras, agama, bahasa, dan latar belakang budaya. Diungkapkan oleh Suárez-Orozco dan Gardner (2004:252) bahwa:

Children growing up today will need to develop arguably more than in any generation in human history-the higher order cognitive and interpersonal skills to learn, to work, and to live with others, which are increasingly likely to be of very different racial, religious, linguistic, and cultural backgrounds.

Saluran ketiga, globalisasi akan mempengaruhi meningkatnya kecepatan perubahan pendidikan. Pendidikan dalam visi global perlu mempersiapkan peserta didik menjadi warga global yang bertanggung jawab dan mampu menjadi agen


(2)

perubahan dalam memerangi ketidakadilan sebagai dampak dari globalisasi.

Tantangan globalisasi bagi pendidikan menurut Gardner (2004: 252-258) adalah adanya ketegangan antara laju perubahan kelembagaan pendidikan dan organisasi sosial, ekonomi, dengan transformasi budaya yang begitu cepat. Pendidikan telah berubah karena adanya pergeseran nilai-nilai dan temuan ilmiah sehingga mengubah pemahaman kerangka fikir manusia. Sebagaimana dijelaskan Hannerz (1990: 250) bahwa salah satu wacana dominan era globalisasi adalah hipotesis tentang "homogenitas budaya". Prediksi ini didasarkan asumsi bahwa proses perubahan global yang didukung oleh pengetahuan dan media teknologi akan melahirkan budaya dunia yang homogen. Pada akhirnya, perubahan itu akan mengakibatkan hilangnya pengalaman dan pemahaman generasi muda terhadap keragaman budaya. Menanggapi hipotesis tersebut, Turkel (2002) berpendapat agar guru dan pembuat kebijakan menyiapkan peserta didik untuk memahami bahwa teknologi di satu sisi memberikan kemanfaatan tetapi juga membatasi generasi muda dalam mempersiapkan diri menjadi warga global.

Jenkins dan Watson (2004: 115) menekankan pentingnya peran kearifan lokal sebagai strategi menghadapi tantangan "imperialisme kultural" dan hipotesis "homogenitas budaya". Kearifan lokal secara kritis berperan dalam pertukaran budaya melalui media global dan membentuknya kembali dengan istilah asli. Ditegaskan oleh Watson bahwafaktor kearifan lokal akan mengubah produk global menjadi bermakna dan sesuai dengan kehidupan sosial budaya setempat sebagai bentuk "konvergensi media". Sebagaimana diungkapkanJenkins (2004: 115) bahwa:


(3)

Timur ke Barat. Tentu saja ada arus produk budaya di seluruh sumbu lainnya, seperti di negara-negara Asia. Arti gambar dan produk budaya yang dipertukarkan biasanya mengalami metamorfosis yang "tak terduga dan kontradiktif"

Maira (2004:202) menyebutkan bahwa kehidupan anak-anak dewasa ini dibentuk oleh proses global perekonomian dan budaya. Sistem pendidikan yang terikat pada kearifan lokal dalam rangka pembentukan warga negara secara proaktif dapat menghadapi tantangan globalisasi. Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu mempertimbangkan reformasi kurikulum yang mampu menghadapi tantangan perubahan dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Mengambil pelajaran dari negara lain dapat mendukung pengembangan sistem pendidikan tetapi menjaga dan memelihara pengetahuan lokal penting untuk eksistensi suatu negara. Sebagaimana diungkapkan Lewis (2004) pentingnya menjaga kemampuan masyarakat lokal dan nasional dalam mendukung dan memvalidasi "pengetahuan lokal", bahasa lokal, dan budaya lokal sebagai sebuah model pendidikan secara umum di seluruh dunia.

Menurut Dewantara (1977: 33), kebudayaan merupakan faktor penting bagi pendidikan suatu bangsa. Kebudayaan sebagai landasan pengembangan kurikulum karena kurikulum is a construct of that culture (Print, 1993:15). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hasan (1999) pakar kurikulum IPS mengingatkan perlunya para pengembang kurikulum memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses dan kegiatan belajar serta evaluasi siswa.


(4)

meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Sebagaimana dijelaskan Poespowardojo (1986: 36) bahwa pendidikan di sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya (cultural creation and cultural transmission) kepada generasi muda. Sebagaimana diungkapkan Azra (2000:3) bahwa pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 Bab I (2009: 3) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila pendidikan dimaknakan sebagai usaha sadar dan terencana melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk tercapainya tujuan pendidikan ideal maka kurikulum dipandang sebagai salah satu komponen yang memiliki kedudukan dan peran strategis di dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional.

Realitasnya, sampai saat ini kurikulum pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu menjadi instrumen yang efektif bagi terwujudnya suatu pendidikan nasional yang ideal, yang memberdayakan manusia dan masyarakat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Nata (2003: 45) bahwa permasalahan kegagalan


(5)

membina kecerdasan intelektual, wawasan, dan keterampilan semata tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional. Akibatnya, muncul counter

productive dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa dan menyebabkan

diabaikannya nilai dan moral dalam tata krama pergaulan pada suatu masyarakat yang beradab.

Menempatkan penalaran sebagai sumber primer ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal selaras dengan visi modern. Manusia modern sebagai alat dominasi terselubung bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Implikasinya, tugas pendidik adalah menggali dan mengembangkan kemampuan intelektual manusia agar dapat memelihara, melestarikan dan mengembangkan kehidupan manusia ke arah yang lebih beradab dan bermartabat (Rasyidin dkk, 2009: 73-76).

Dalam konteks pendidikan, modernitas telah menjerumuskan dunia pendidikan dalam problem-problem mekanis teknikalistik dengan pusat perhatiannya pada materi dengan orientasi pada hasil bukan pada proses. Secara lebih khusus dimensi kemanusiaan peserta didik telah terabaikan dan pendekatan afektif mulai ditinggalkan. Sebagaimana dijelaskan Abdullah (2008), bahwa pendidikan selama ini hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membuat dunia persekolahan memproduksi lulusan yang telah hilang sisi-sisi kemanusiaannya. Dominasi iptek dan penerapan rasio sebagai ukuran kebenaran menyebabkan masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, dan krisis sosial. Menurut Drost (1998:74) pengangkatan harkat dan martabat kemanusian harus terintegratif antara nalar rasional dan nalar


(6)

spiritual. Ketidakmampuan mengembangkan ranah tersebut akan melahirkan out put

pendidikan yang timpang.

Sebagaimana refleksi Suyanto (2003) terhadap terjadinya perubahan kurikulum juga menyimpulkan guru hanya mendepositokan banyak informasi yang diturunkan dari berbagai cabang ilmu tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai peserta didik. Pendidikan di Indonesia, mengutip pendapat Freire mengikuti "banking concept of education" (Freire, 2002: 28).

Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme melahirkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau

desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan

sebagainya (Santoso, 2003:331). Paradigma ini merupakan mainstream gerakan postmodernisme. Postmodern sering dianggap sebagai istilah yang tidak relevan, sulit dipahami dan karenanya dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Sebagaimana dijelaskan Griffin et.al., 1993: vii–viii:

Insofar as a common element is found in the various ways in which the term is used, postmodernism refers to a diffuse sentime nt rather than to any set of common doctrines the sentiment that humanity can and must go beyond the

modern‖ (Griffin et al., 1993: vii–viii)

Argumen ini mengkristal menjadi dua filosofi, yakni Neo-Modernism dan Pasca-Modernisme, keduanya berbagi gagasan bahwa dunia modern telah berakhir dan sesuatu yang baru harus menggantinya. Pandangan dunia postmodern berbeda dengan gerakan anti modern. Postmodernisme berusaha untuk mengatasi kerusakan akibat modernitas dengan konsep baru di bidang budaya, bahasa, dan kekuasaan.


(7)

Post-modernism has become more than a social condition and cultural movement, it has become a world view. But its exact nature is strongly contested and this has helped widen the debate to a world audience. The

argument has crystallised into two philosophies what I and many others

call Neo- and Post-Modernism both of which share the notion that the

modern world is coming to an end, and that something new must replace it .

(Jencks, 1992: 10)

Jencks (1984) menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis, dalam Antologia de la poesia

Espanola e hispanoamericana (1934) yang memperkenalkan istilah postmodernisme

untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme (Siswanto, 1998: 159). Istilah posmodernisme dikenalkan oleh Lyotard (1986) secara eksplisit lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya tersebut, Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.

Berakhirnya modernisme yang terlalu mentotalisasi kehidupan manusia mempunyai korelasi dengan proses dekonstruksi. Dekonstruksi dari Jacques Derrida pada perkembangannya menjadi kekuatan utama dari etos post-strukturalisme (2002). Dekonstruksi pendidikan lebih memfokuskan membongkar hegemoni institusi yang selama ini telah dijadikan media dalam mempertahankan status quo. Dekonstruksi juga dimaksudkan untuk menentang ideologi-ideologi pendidikan yang dominan, praktek-praktek pengajaran yang kaku dan tidak manusiawi, mengacaukan otoritas institusi dan para pendidik. Dalam konteks post-modernisme, problematisasi struktur dan hirarki epistimologis ternyata memberikan kekuatan konseptual pemikiran baru bagi dunia pendidikan, baik di tingkat struktural maupun


(8)

personal sehingga pendidikan sendiri mengalami perubahan-perubahan mendasar tentang tujuan, isi, dan metode.

Dalam konteks ini, Tilaar (1999:177) mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun nasional. Untuk itu perlu diintegrasikan kembali sehingga pendidikan betul-betul hidup, dihidupi, dan menghidupi kebudayaan. Diungkapkan oleh Poespowardojo (1986:36), pendidikan sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana dikutip Singleton, John (1974:26), bahwa budaya dalam konsep esensial pendidikan sebagai ‖the shared product of human learning‖, bahwa proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya (cultural creation and cultural

transmission) kepada generasi muda. Ada interelasi sensitif pendidikan dengan

kebudayaan dalam arti pertumbuhan yang satu harus diimbangi dengan pertumbuhan lainnya, yang diharapkan memiliki potensi saling dukung (cross

fertilizing) dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti

dijelaskan oleh Dewantara (1977: 3) bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunia atau kebudayaannya. Tanpa kebudayaan, perilaku manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Sebagaimana diungkapkan Geertz (1973, 45-46) bahwa:

" ... Tanpa arahan kebudayaan perilaku manusia tak terkendali, suatu chaos tindakan tanpa arah dan letupan emosi semata, pengalaman yang tidak berbentuk. Kebudayaan bukan merupakan hiasan eksistensi manusia, tetapi... kondisi esensial bagi eksistensi manusia."


(9)

Kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya dan dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas bangsa. Pendidikan merupakan wahana sentral dalam

menterjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku. Sebagaimana

diungkapkan Ortega (1959: 97), bahwa kebudayaan adalah interpretasi manusia atas kehidupannya, suatu rangkaian pemecahan masalah dan solusinya. Basis kemanusiaan adalah thinking dan bukan making, esensi manusia bukan making

tetapi finding and interpreting. Pengetahuan mengenai dunia berasal terutama dari interpretasi bukan dari persepsi langsung.

Merujuk pendapat Lewis (2004) tentang model pendidikan berbasis budaya lokal dan pendapat Dewantara (1977: 3) bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri maka dikembangkan model pendidikan IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

Pendidikan IPS sebagai kelompok bahan ajar terikat oleh nilai-nilai sosial budaya bangsa, karena itu pendidikan IPS tidak dapat lepas dari tata nilai dan norma yang ada dalam suatu bangsa. Sebagaimana dijelaskan Soemantri (2001:92) bahwa program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat mengambil aspek-aspek tertentu dari ilmu-ilmu kealaman dan teknologi. Dengan pengertian ini, IPS merupakan pelajaran yang cukup komprehensif untuk menyikapi dan memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik. Sebagai mata pelajaran di sekolah IPS lebih bersifat edukatif ketimbang akademis.


(10)

Beberapa alasan perlunya integrasi nilai-nilai budaya lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang sekarang ini memasuki milenium ketiga. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan pemahaman terhadap nilai-nilai ke Indonesiaan secara menyeluruh. Kedua, adanya kenyataan telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa yang merupakan identitas kolektif (Kartadinata, 2009). Pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, dan kepribadian bangsa. Ketiga, pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil atau ajaran yang diperoleh dari Barat (Alwasilah, 2009). Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Keempat, adanya ketidakpuasan terhadap modernitas dengan narasi-narasi besar (grand narative) yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi ke kinian. Hegemoni dan superioritas modernitas tidak memberikan tempat yang cukup bagi perkembangan narasi-narasi lokal (local narative). Sesungguhnya tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi ―the global village‖, sebuah konsep Marshall McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the Global Village (1968) atau


(11)

menjadi satu dunia (“sama”), ia juga pergi menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi.

Hubungan antara globalisasi dan lokalisasi merupakan sebuah proses dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Globalisasi adalah tesis, lokalisasi adalah antitesis maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut

“glokalisasi” dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal (globalism dan

localism) diperkenalkan oleh Mike Feath Stone dalam karyanya Un doing Culture,

Globalization, Postmodernism, and Identity (1995). Pandangan yang mengutamakan

keseimbangan globalisasi dan lokalisasi itu sudah ada dalam masyarakat dan kebudayaan lokal.

Dalam buku The Invention of Tradition (1988) yang disunting oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger. Kearifan/pengetahuan lokal di sini disebut “the

invention of tradition‖ yang dapat diterjemahkan sebagai “penemuan tradisi”. Dalam artikel pembukanya, Hobsbawm (1988) menyepakati bahwa:

Invented tradition is taken to mean a set of practices normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past .

Yang tampak kemudian adalah kearifan lokal, pengetahuan lokal, indigenous

knowledge, local genius, penemuan tradisi adalah sebuah epistemologi relasional. Ia

adalah epistemologi mengenai hubungan-hubungan. Hobsbawm menyatakan bahwa


(12)

berarti, masa lalu tidak benar-benar ditinggalkan meskipun zaman sudah berangkat sangat progresif. Foucault (1985:135) menjelaskan keterhubungan dari analisis sejarah tentang sistem hukuman dan disiplin, ia menyatakan lain kekuasaan, lain pengetahuan. Pengetahuan diserap dalam kekuasaan dan superioritasnya dibongkar.

Menurut Derrida (2001) makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Budaya seperti teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda melainkan sebuah

“rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks. Makna teks akan berubah dan berkembang, bukan milik suatu zaman melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan unvocity absolut melainkan multiplicity of meaning dan terkait dengan kreativitas manusia.

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari identitas bangsa. Partington dan Cudden (1992:12) menjelaskan bahwa identitas masyarakat tercermin pada orientasi yang menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai masyarakat, persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup yang mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari, dan gaya hidup yang mewarisi perikehidupan masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, Soebadio (1986: 18-25) menjelaskan pengertian kearifan lokal secara keseluruhan dapat dianggap sama dengan Cultural

Identify, yang diartikan sebagai identitas budaya bangsa, yang mengakibatkan

bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya.


(13)

Identitas nasional menurut Barker (2005:260) merupakan bentuk identifikasi imajinatif dengan simbol dan wacana negara bangsa. Bangsa bukan sekadar formasi politik melainkan sistem representasi kultural tempat identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif. Negara bangsa sebagai aparatus politik dan bentuk simbolis memiliki dimensi waktu, dalam arti struktur politik terus hidup dan berubah sementara dimensi simbolis dan diskursif identitas nasional terus menceritakan dan menciptakan gagasan mengenai asal usul, kesinambungan dan tradisi. Dengan demikian identitas bangsa ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Sebagaimana dikatakan Zaretsky (1994) dalam Castells (2002: 10) bahwa Identity: must be situated historically. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu dan tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa.

Jati diri bangsa yakni suatu pilihan, yang merupakan pencerminan atau tampilan dari karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang berlaku di dalam ruang sosial global menciptakan kerangka kultural baru untuk mendefinisikan kembali identitas dan nilai-nilai bagi komunitas yang memiliki latar kebudayaan berbeda. Pada titik itulah Indonesia harus berproses aktif untuk menegaskan identitasnya di dalam desa global. Menurut Featherstone (1990:19) dibutuhkan kemampuan menjalin komunikasi, karena merupakan kunci bagi suatu komunitas dalam melakukan adaptasi yang berhasil terhadap pergeseran ruang sosial yang dikendalikan oleh logika pasar dan ditunjang dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.


(14)

Pada komunitas yang besar (nation) dengan cakupan wilayah luas, kondisi lingkungan fisik yang beragam, dan kondisi sosio kultural heterogen, pembentukan identitas bersama memerlukan proses yang panjang dan selalu melibatkan inovasi politis (political innovation). Dengan cara itu berbagai hal yang dipilih dan digunakan sebagai simbol identitas akan mendapat pengakuan sebagai milik bersama dan dapat didayagunakan untuk membangun solidaritas. Pada saat identitas bersama telah terbentuk lewat perantaraan simbol-simbol resmi maka perbedaan di antara etnis-etnis akan hilang dan yang tampak ke permukaan adalah perasaan bahwa mereka adalah warga dari suatu komunitas dan kebudayaan yang sama. Bangsa/negara tidak dapat dilihat sebagai unit administrasi politik semata melainkan lebih tepat disebut sebagai sebuah cultural community (Eriksen, 1993: 99).

Gellner (1983:1) menyebut inovasi politis untuk mencapai tujuan itu sebagai ‟nasionalisme‟, yang dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai sentimen dan gerakan. Nasionalisme sebagai sentimen merupakan “feeling of anger aroused by the violation of the principle or the feeling of satisfaction aroused by its

fulfill-ment. Sementara sebagai gerakan, nasionalisme merupakan “one actuated by

sentiment of this kind‖.

Salah satu pembentuk identitas bangsa Indonesia yakni kebudayaan yang meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. berinteraksi dalam lingkungan lokal. Dengan kata lain identitas didasarkan pada kelokalan yang berinteraksi dengan sumber-sumber pemaknaan dan pengakuan sosial, dalam pola yang beragam memungkinkan interpretasi alternatif. Dengan kebersamaan akan


(15)

menghasilkan identitas kultural. Untuk itu, dibutuhkan proses mobilisasi sosial sehingga ditemukan common interest yang dipertahankan dan menghasilkan pemaknaan baru.

Batik klasik sebagai hasil budaya memenuhi tiga wujud kebudayaan, yakni budaya ide dan cipta motif batik, budaya fisik yakni berupa hasil karya kain batik, dan budaya perilaku, yakni setelah kain batik digunakan sebagai busana dalam

kegiatan manusia Indonesia (Koentjaraningrat, 2001). Dalam tradisi masyarakat

Jawa, motif batik klasik berhubungan dengan seluruh tahapan kehidupan manusia Jawa mulai dari lahir hingga mati. Batik klasik dapat memperkuat identitas nasional, regional, lokal, dan etnik. De Travail (1984:3) yang dikutip oleh Andrea Hauenschild berpendapat bahwa “material goods become part of the heritage only as a function of the needs of this collective memory, either to illustrate, or to keep a

representation that is real rather than imaginary, or to seize the future‖

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1705 seorang Belanda bernama Chastelain telah menggunakan istilah ―batex‖ (batik) dalam laporannya kepada Gubernur Belanda Rijcklof Van Goens (Veldhuisen, 1999: 22). Menurut Hamzuri (1981: VI) dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik menyatakan bahwa:

”Batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam. Kain yang sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara pencelupan. Setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus”.

Sebagaimana dikutip Brandes (1889:122) sebelum kedatangan agama Hindu dari India, masyarakat Jawa telah memiliki sepuluh macam kepandaian (basic


(16)

culural traits) termasuk di antaranya adalah batik, wayang, gamelan, tembang, mengerjakan logam, sistem mata uang, pelayaran, bercocok tanam, irigasi, dan sistem pemerintahan yang teratur. Subroto (1991:41) menyiratkan bahwa tradisi batik pada masyarakat Jawa kuna pernah disebut-sebut dalam kitab Sumanasantaka

yang tertulis: ewer noralega ngapanday anulis para lukis asipet mwang anjahit

yang dalam hal ini bertolak menurut Zoetmulder (1978) kata-kata anulis dan asipet

lebih diartikan membatik.

Dalam perkembangannya, batik tetap menjadi seni klasik yang dimulyakan di Istana sebagaimana pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram abad XVI M (Bratara, 2000: 90). Sejak itu sampai terjadinya palihan kerajaan Surakarta

menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta batik mendapat formasi normatif yang tegas dan menjadi sistem pranata sosial sebagaimana termuat dalam kitab angger,

serat winduaji, dan pranatan dalem bab kampuh lan dodotan (Honggopura, 2002:

12).

Memahami simbolisme dalam visualisasi tata warna motif batik terkandung nilai-nilai falsafah hidup orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius-magis. Kaitannya dengan seni batik klasik, pemakaian tata warna kuning, putih, merah (soga), biru, hitam, menjadi karakteristik masyarakat Jawa yang dianggap memiliki lambang-lambang pemujaan terhadap causa prima yang berada dalam kedudukan tertinggi. Diungkapkan oleh Kartosoedjono (1950:14-23) pada mulanya simbolisme batik dinyatakan lewat pralampita atau pralambang. Warna dasar dalam motif batik klasik diilhami oleh lambang-lambang warna dalam


(17)

kosmologi Jawa, yaitu kiblat papat lima pancer. Orang Jawa memaknai “kiblat

papat kelimo pancer‖ Dewa atau Tuhan sebagai pusat yang mengatur segala. Djoemena (1986:11) menjelaskan bahwa setiap penciptaan motif batik selalu memiliki makna simbolis berdasarkan falsafah Jawa, karena itu pemakaian motif didasarkan pada dua hal, yakni (1) kedudukan sosial seseorang di dalam masyarakat, (2) pada kesempatan atau peristiwa apa batik dipergunakan tergantung dari makna dan harapan yang terkandung pada ragam hias batik tersebut. Dengan demikian batik klasik mengandung tuntunan dan tatanan. Ditambahkan Hitchcock (1991: 83-89), bahwa motif batik klasik ada hubungannya dengan arti simbolis dan makna falsafah dalam kebudayaan Hindu-Budha di Jawa.

Kartini (2005:11) menjelaskan bahwa sebagian idiom makna simbolik motif-motif batik Jawa mempunyai kandungan muatan kearifan lokal dan dianggap dapat melampui jamannya. Sebagai contoh adalah motif batik Semen, Truntum, dan

Sidoluhur. Hasil penelitian Sariyatun dkk (2006:26) menyebutkan bahwa motif

Truntum melambangkan cinta yang bersemi kembali. Selain itu juga dimaknai

sebagai tum-tum, yakni menuntun, dalam pemakaiannya motif ini melambangkan orang tua yang menuntun anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu menjalankan kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga yang sarat godaan. Diharapkan motif ini akan menjadikan kehidupan pernikahan menjadi langgeng

diwarnai kasih sayang yang selalu bersemi.

Motif Parang Rusak, hanya digunakan oleh para bangsawan pada masa dahulu untuk upacara-upacara kenegaraan. Motif ini sampai sekarang masih tetap terjaga. Menurut Koeswadji (1985: 25) sesuai dengan arti kata, Parang Rusak


(18)

mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Motif ini mengajarkan agar sebagai manusia mempunyai watak dan perilaku yang berbudi luhur sehingga dapat mengendalikan segala godaan dan nafsu. Keberadaan batik klasik sebagai tuntunan dan tatanan dibakukan oleh aturan yang dikeluarkan dari Kraton Surakarta yaitu pada tahun 1769 oleh Paku Buwono III (1749-1788), sebagai berikut:

―Anadene arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun: batik sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daragem, lan tumpal. Anadene batik cumangkiri ingkang acalacap lung-lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangken

anganggoha papatih ingsun, lan sentaningsun kawulaningsun wedana‖.

“Adapun rupa jarit yang termasuk larangan saya: batik sawat tdan batik

parang rusak, batik cumangkiri yang berupa motif modang bangun tulak, lenga teleng, daragem, dan tumpal. Adapun batik cumangkiri yang berupa motif lung-lungan atau kekembangan (bunga), saya ijinkan dipakai oleh patih saya, dan keluarga bangsawan, abdi dalem wedana (Hasanudin, 2001: 23)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa motif batik tidak boleh dikenakan sembarang orang, yakni batik dengan motif sawat, parang rusak

dan cumangkiri karena merupakan batik larangan. Direktorat Permuseuman (1991:

3-11), menjelaskan bahwa pemakaian batik pada mulanya sangat berkaitan dengan aktivitas seremonial dan ritual tertentu, seperti upacara-upacara adat yang sebagian besar berorientasi pada tata cara kerajaan/kraton, misalnya upacara jumenengan

(penobatan raja), pisowanan (upacara menghadap raja), upacara gerebeg. Pemakaian batik juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya transendental atau berlatar belakang magis.


(19)

panjang seumur dengan maraknya peradaban kebutuhan manusia untuk berpakaian, sehingga sangat tepat menjadikan “kearifan tradisional”, yakni batik klasik sebagai

„produk‟ yang dikonsumsi dalam rangka „identifikasi diri‟. Pemilihan “citra

tradisional” batik klasik dalam percaturan komunitas global yang dipenuhi dengan simbol-simbol modernitas, serta dalam proses „dialog dan interaksi‟ untuk menegosiasikan identitas keindonesiaan di hadapan negara-negara maju, sangat tepat. Sebagaimana diungkapkan Abdullah (2005:34-35) bahwa kearifan tradisional batik klasik sebagai pantulan identitas keindonesiaan berelasi dengan proses konsumsi simbolis yang menjadi salah satu tanda penting dari tumbuhnya budaya konsumen (consumer culture) seiring dengan terbentuknya ruang sosial global. Proses konsumsi simbolis pada hakikatnya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas. Barang yang dikonsumsi kemudian juga merepresentasikan kehadiran dan citra seseorang atau suatu komunitas.

Friedman (1990: 312) berpendapat menjadikan „kearifan tradisional‟ yang

bersumber dari motif batik klasik sebagai „produk‟ dalam rangka pembentukan jati

diri bangsa merupakan cultural strategy of self-definition. „Kearifan tradisional‟

menunjuk pada anggapan bahwa kesempurnaan bentuk dalam budaya dan kesenian tradisional Indonesia bukan merupakan lambang supremasi artistik seperti yang berlaku di Barat, melainkan bertumpu pada nilai transenden yang melampaui jangkauan estetis. Dalam perspektif ini seni menjadi medium untuk mencapai tingkat totalitas kehidupan yang lebih tinggi, suatu yang tak pernah dicapai oleh seni modern Barat yang gagal menjawab persoalan eksistensial manusia.


(20)

makna filosofis batik klasik sejalan dengan pandangan Postmodern. Makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Karena itu, postmodernisme menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan tetapi justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan un consciousness di balik fenomena budaya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esensial. Penanda mengambang terus maka perlu mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut dan mendekonstruksi realitas.

Kasanah batik klasik (Vorstenlanden) yang sarat akan pesan-pesan filosofis, aspek spiritualitas dan aspek social, pada masa feodalisme yakni masa kerajaan Surakarta dan Djogjakarta digunakan sebagai media untuk meligitimasi kekuasaan, didekonstruksi menjadi media yang mencitrakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Penciptaan realitas baru terhadap batik klasik secara paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme. Konsepsi dasar pemikiran dekonstruktif ini adalah ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai ditentukan oleh tanda. Dalam konteks ini realitas ciptaan tersebut ditentukan oleh tanda, yakni batik klasik.

Untuk menuju pada pengakuan identitas bangsa, selain menjadi proyek yang dilakukan Barat, bangsa Timur juga mempunyai kesadaran dalam mengagendakan untuk melihat Barat dengan kacamata Timur yang disebut oksidentalisme (Said, 1996: 2-3). Kesadaran inisebagai wacana keilmuan yang netral dan mengutamakan keseimbangan dalam berhubungan dengan berbagai entitas lain. Antara dunia Barat dengan Timur terjadi suatu hubungan yang dialektis yang saling mengisi sehingga akan terhindar dari relasi hegemonik Barat terhadap dunia Timur. Sikap


(21)

kehati-pentingnya nasionalisme dan dalam bentuk ketahanan Budaya. Nilai-nilai budaya yang bersumber dari motif batik klasik mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Sebagaimana dijelaskan oleh Greertz (2001) bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.

Konstruksi budaya batik Indonesia telah tumbuh dalam kesadaran masyarakat dengan segala kekhasan yang dimiliki. Batik mampu bertahan melintasi zaman dan akhirnya menjadi warisan pusaka. Ada dua hal yang perlu dicermati menurut Kasiyan (1980:3), yakni pertama pengkritisan atas dimensi sosiologis batik akan digunakan untuk melihat bagaimana budaya batik dipahami dalam kesadaran dalam lingkungan masyarakat kontemporer. Kedua, pengkritisan dari dimensi akademis untuk mencermati bagaimana sesungguhnya nilai-nilai filosofis batik mendapatkan ruang concern sebagai disiplin kajian. Perspektif pada dimensi akademis atas batik menjadi urgent, karena dimensi edukasi tetap merupakan salah satu pilar bagi penguatan jati bangsa. Dalam konteks ini perlu diciptakan realitas baru (dekontruksi) terhadap nilai-nilai yang bersumber dari motif batik klasik sebagai komponen pendukung pembentukan karakter bangsa.

Bagian inti dari kebudayaan yakni nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang perlu diinternalisasikan kepada anak didik sepanjang proses belajarnya. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya batik klasik dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai budaya tidak hanya pada tataran kognitif tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.


(22)

Sebagaimana diungkapkan Stahl (2008:2) dalam jurnal NCSS bahwa adanya prinsip pembelajaran IPS (social studies) pada sebuah penelitian berjudul “A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building Social

Understanding and Civic Efficacy, yakni:

(1) Social studies teaching and learning are powerful when they are

meaningful; (2) Social studies teaching and learning are powerful when they are integrative. (3) Social studies teaching and learning are powerful when they are value-based, (4) Social studies teaching and learning are powerful when they are challenging, (5) Social studies teaching and learning are

powerful when they are active.

Dari lima karakteristik PIPS salah satu yang merefleksikan paradigma konstruktivisme adalah bermakna (meaningful) dan belajar bermakna merupakan inti dari Pendidikan IPS (Brophy & Alleman, 1995:213). Dijelaskan oleh Farisi (2005) bahwa kebermaknaan program IPS menurut visi NCSS terjadi apabila memenuhi unsur-unsur: (1) Siswa harus belajar jaringan yang saling berkaitan dari pengetahuan, keterampilan, keyakinan, watak yang bisa digunakan baik di dalam maupun di luar sekolah. (2) Pembelajaran menekankan pada perkembangan gagasan gagasan penting sesuai keluasan cakupan topik dan fokus pembelajaran untuk memberikan pengertian, penghargaan, dan aplikasi kehidupan. (3) Signifikansi dan kebermaknaan materi ditekankan pada bagaimana materi tersebut disajikan kepada siswa dan dikembangkan lebih jauh dalam aktivitas-aktivitas. (4) Interaksi kelas difokuskan pada pengujian berkelanjutan terhadap sejumlah topik penting dari pada materi yang banyak. (5) Aktivitas belajar bermakna dan strategi asesmen difokuskan pada gagasan utama materi yang dipelajari. (6) Guru harus reflektif dalam merancang, melaksanakan, dan menilai pembelajaran.


(23)

Realitasnya, pembelajaran IPS belum mampu memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa, yakni membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa. Sebagaimana diungkapkan Sardiman (2010: 148-149), bahwa keluarnya Permen nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permen nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang kemudian dimunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), termasuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS terutama pada jenjang SMP/MTs belum begitu memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS.

Sejumlah penelitian tentang pembelajaran IPS, diantaranya Hasan (1993; 1996; 2002) memandang bahwa materi PIPS kurang memuat masalah sosial, budaya, dan nilai dalam hidup keseharian anak. Pendidikan IPS lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan (sumber keilmuan) dari pada realitas sosial budaya sebagai sumber nilai rujukan bagi anak. Karena itu terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar anak. Hasil penelitian Lasmawan (2008), menunjukkan bahwa guru IPS cenderung terikat pada buku teks, baik isi, urutan materi, contoh-contoh, dan latihan-latihan soal yang menyertainya secara kaku. Padahal buku tersebut belum tentu sesuai dengan struktur kurikulum dan kebutuhan belajar peserta didik. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan dan minat peserta didik dalam belajar terabaikan. Hasil penelitian Farisi (2005) menjelaskan bahwa rendahnya apresiasi peserta didik SD terhadap PIPS karena pelajaran IPS sulit dimengerti dan pelajaran IPS banyak yang harus dihafalkan. Syaodih (2008:2)


(24)

menyebutkan bahwa kondisi ideal yang diharapkan dari hasil pembelajaran IPS di persekolahan dianggap belum sesuai dengan harapan, bahkan beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan memperkuat kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS belum begitu nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Hasil penelitian Supriatna (2008) menemukan bahwa budaya ajar di sekolah masih dipengaruhi oleh kurikulum perenealisme dan proses belajar esensialistik, serta penilain yang bersifat behavioristik. Karena itu proses pembelajaran IPS- sejarah di sekolah menekankan pada pewarisan nilai dan transmisi pengetahuan sejarah dari guru pada peserta didik, serta penilaian hasil untuk mengukur aspek intelektual merupakan kondisi yang tidak bisa dilepaskan dari budaya ajar. Peranan guru sangat dominan dan pendewaan terhadap kurikulum menggambarkan status quo dari budaya ajar. Dalam kondisi seperti itu, pengajaran IPS lebih cenderung menjadi pelajaran yang dipahami dengan cara menghafal dari pada dipahami secara bermakna.

Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selain faktor materi, penyebab yang lain adalah pelaksanaan pengajaran IPS di sekolah itu sendiri. Menurut Soemantri (2002) pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga peserta didik kurang antusias dan berakibat pelajaran menjadi kurang menarik.


(25)

Salah satu hambatan yang paling kuat dalam pembelajaran IPS berdasar hasil penelitian Leming, Ellington, dan Schug (2006) melalui Dewan Perwakilan Nasional yang dilakukan pada lebih dari 1.000 guru Pendidikan IPS tahun 2005 di Indiana dan North Carolina disebabkan karena rendahnya kedudukan pendidikan IPS dalam kurikulum dibanding matematika dan membaca. Temuan ini menguatkan hasil survei Phillip J.Van Fossen 's (2005) pada 600 guru SD di Indiana yang menyebutkan bahwa studi sosial berada pada urutan keempat mata pelajaran inti, yakni membaca/seni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, dan penelitian sosial. Hasil survey ini mendukung Maria E. Hass dan Margaret A. Laughlin 's (2001) menyebutkan bahwa guru-guru studi sosial ditempatkan sebagai pengajar di sekolah rendah. Posisi marginal studi sosial diperkuat dengan kebijakan sekolah yang menempatkan pengajaran sosial terintegrasi dalam pelajaran membaca/bahasa seni, matematika, dan ilmu pengetahuan yang merupakan disiplin utama dalam kurikulum Sekolah Dasar. Rendahnya status pendidikan IPS sesuai dengan hasil survey Larry Kuba (1991) bahwa studi sosial sering ditempatkan pada jadwal sore hari ketika peserta didik dan guru kurang memiliki energi atau yang lebih sedikit dan perhatian, sedangkan bahasa dan seni serta matematika diajarkan pada pagi hari.

Dengan demikian diperlukan kurikulum pendidikan IPS yang mampu menjembatani pencapaian visi dan tujuan IPS, yakni kurikulum memberdayakan peserta didik agar memiliki kepedulian dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab pada komunitas global. Hal ini berhubungan dengan tujuan utama dari pendidikan IPS, yakni mengembangkan kemampuan kaum muda sebagai


(26)

warga negara dalam membuat keputusan yang tepat untuk kepentingan masyarakat /publik yang memiliki keragaman budaya dan saling tergantung (NCSS, 1994: 3).

Kelas merupakan tempat belajar peserta didik yang beragam sehingga tidak mungkin perencanaan pelajaran yang didasarkan pada standar yang telah ditetapkan dan metode yang sama untuk semua peserta didik dapat dilaksanakan (Slattery, 2004:58). Kurikulum harus fleksibel dalam merencanakan seluruh program pembelajaran dan dilakukan secara kooperatif antara guru dan peserta didik untuk kepentingan peserta didik. Doll (Bab VII, 1993) berpendapat :

post-modernists suggested that curriculum should be flexible to plan

throughout a course and the planning should be done cooperatively between

teacher and students for the benefits of students Post-modernists aimed to

create a learner-centered classroom that students possessed the ability to share control with the teacher.

Kurikulum Doll (1993) menekankan pada eksplorasi apa yang tidak diketahui oleh guru dan peserta didik melalui dialog dan refleksi. Kurikulum berperan membantu proses negosiasi dengan berdasar pada unsur 4 R, yakni

richness, recursions, relations, dan rigor (Slattery, 2004: 64). Kurikulum pendidikan

IPS postmodern bersifat konstruktif dan nonlinier yang muncul melalui aksi dan interaksi dari para peserta didik. Kurikulum bersifat terbuka mendorong berpikir kritis, pengambilan keputusan oleh semua orang sehingga mempromosikan sebuah masyarakat demokratis. Peran guru sebagai fasilitator yang melayani kebutuhan dan perbedaan individu. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, menarik, dan fleksibel. Lebih lanjut Doll (1993:163) menyatakan:


(27)

be- free, encouraged, demanded to develop their own curriculum in conjoint interaction with one another.

Melalui pembelajaran yang interaktif, menarik, dan fleksibel pendidikan IPS akan menjadi media pengembangan daya kritis peserta didik yang mengutamakan pengembangan kemampuan pengetahuan dan memupuk keberanian mengemukakan pendapat atau argumen. Pendidikan IPS harus dapat mengembangkan kemampun berfikir kritis (critical thinking) dengan berbagai metode pemecahan masalah

(problem solving). Pendidikan IPS juga sebagai pengembangan pribadi seseorang

(social studies as personal development of the individual). Dengan demikian

pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya (social life skill).

Untuk itu diperlukan upaya seleksi dan pemilihan materi dari ilmu-ilmu sosial menjadi materi pendidikan IPS di sekolah sebagai upaya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan yang abstrak (abstract knowledge) yang berguna dan bermakna dalam kehidupannya. Dijelaskan oleh Sumaatmaja (1980:20) bahwa mata pelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan dan terampil mengatasi setiap masalah yang menimpa dirinya sendiri maupun masyarakat. Implikasinya, pendidikan IPS diharapkan lebih memfokuskan pada pembinaan nilai nilai karakter, sikap sosial, dan keterampilan sosial serta untuk membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial dan keterampilan sosial dalam kehidupan di masyarakat.


(28)

Sebagai upaya menumbuhkan motivasi dan partisipasi peserta didik maka pembelajaran dirancang secara kreatif sehingga dicapai pembelajaran yang bermakna. Perancangan pembelajaran yang kreatif dan bermakna menjadi penting karena kenyataannya pembelajaran terjadi pada suatu komunitas dan hasil belajar juga akan diterapkan pada komunitas budaya tertentu. Dalam hal ini, integrasi nilai-nilai budaya lokal batik klasik dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna secara kontekstual. Pendekatan pembelajaran berbasis nilai budaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan komunitas budayanya (Sutarno, 2004).

Dari latar belakang di atas maka dilakukan penelitian pengembangan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat menguatkan jati diri bangsa, untuk

selanjutnya disingkat menjadi “IBNBBK”. Melalui konstruksi tersebut penelitian ini dapat memperdayakan (empowering) peneliti, guru IPS, dan peserta didik. Peneliti dan guru secara kolaboratif merencanakan dan menyusun desain pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat meningkatkan penguasaan materi IPS dan memperkuat jati diri bangsa. Model pembelajaran dikembangkan melalui pembelajaran Cooperative Learning dan Value Clarification Technique, karena itu membutuhkan dukungan partisipasi peserta didik yang tinggi dalam kegiatan belajar


(29)

Menurut Eggen and Kauchak (1996: 279) model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengajaran yang melibatkan peserta didik belajar secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran ini dapat meningkatkan partisipasi dan memfasilitasi peserta didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berinteraksi dan belajar bersama peserta didik yang berbeda latar belakangnya. Hasil belajar akan meliputi kemampuan akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit dan membantu peserta didik dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis.

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif dalam alam demokrasi karena akan membantu peserta didik untuk: pertama, menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Hersh, 1980). Model IBNBBK diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memenuhi tuntutan pembelajaran IPS berbasis nilai, menantang dan bermakna (Sthall, 2007). Secara spesifik model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan


(30)

akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta meningkatkan jati diri bangsa.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dikembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah penelitian maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimanakah Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik yang dapat Menguatkan Jati Diri Bangsa?

Selanjutnya, berdasarkan rumusan masalah maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kondisi pembelajaran IPS di SMP Surakarta ?

2. Bagaimanakah pengembangan model konseptual pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?

3. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP dalam mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?


(31)

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran IPS di SMP Surakarta.

2. Mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

3. Menguji efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta dalam meningkatkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

D. Manfaat Penelitian

Produk utama penelitian ini adalah model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa peserta didik SMP di Surakarta.

1. Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu model yang bermanfaat bagi pengembangan mata pelajaran IPS. Khususnya pengembangan pembelajaran IPS dengan mengintegrasikan nilai budaya dan karakter bangsa.

2. Bagi guru mata pelajaran IPS, penelitian ini bermanfaat untuk menjadi acuan dalam mengembangkan model-model pembelajaran inovatif dan kreatif berkaitan dengan integrasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran IPS di sekolah.

3. Bagi Kepala Sekolah, penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur upaya guru dalam mewujudkan pengembangan kompetensi profesionalnya.

4. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal.


(32)

5. Bagi LPTK, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan guna meningkatkan kualitas lulusan yang kelak akan menghadapi dinamika dan problematika pendidikan dan pembelajaran di sekolah pada khususnya.


(1)

be- free, encouraged, demanded to develop their own curriculum in conjoint interaction with one another.

Melalui pembelajaran yang interaktif, menarik, dan fleksibel pendidikan IPS akan menjadi media pengembangan daya kritis peserta didik yang mengutamakan pengembangan kemampuan pengetahuan dan memupuk keberanian mengemukakan pendapat atau argumen. Pendidikan IPS harus dapat mengembangkan kemampun berfikir kritis (critical thinking) dengan berbagai metode pemecahan masalah (problem solving). Pendidikan IPS juga sebagai pengembangan pribadi seseorang (social studies as personal development of the individual). Dengan demikian pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya (social life skill).

Untuk itu diperlukan upaya seleksi dan pemilihan materi dari ilmu-ilmu sosial menjadi materi pendidikan IPS di sekolah sebagai upaya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan yang abstrak (abstract knowledge) yang berguna dan bermakna dalam kehidupannya. Dijelaskan oleh Sumaatmaja (1980:20) bahwa mata pelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan dan terampil mengatasi setiap masalah yang menimpa dirinya sendiri maupun masyarakat. Implikasinya, pendidikan IPS diharapkan lebih memfokuskan pada pembinaan nilai nilai karakter, sikap sosial, dan keterampilan sosial serta untuk membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial dan keterampilan sosial dalam kehidupan di masyarakat.


(2)

Sebagai upaya menumbuhkan motivasi dan partisipasi peserta didik maka pembelajaran dirancang secara kreatif sehingga dicapai pembelajaran yang bermakna. Perancangan pembelajaran yang kreatif dan bermakna menjadi penting karena kenyataannya pembelajaran terjadi pada suatu komunitas dan hasil belajar juga akan diterapkan pada komunitas budaya tertentu. Dalam hal ini, integrasi nilai-nilai budaya lokal batik klasik dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna secara kontekstual. Pendekatan pembelajaran berbasis nilai budaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan komunitas budayanya (Sutarno, 2004).

Dari latar belakang di atas maka dilakukan penelitian pengembangan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat menguatkan jati diri bangsa, untuk selanjutnya disingkat menjadi “IBNBBK”. Melalui konstruksi tersebut penelitian ini dapat memperdayakan (empowering) peneliti, guru IPS, dan peserta didik. Peneliti dan guru secara kolaboratif merencanakan dan menyusun desain pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat meningkatkan penguasaan materi IPS dan memperkuat jati diri bangsa. Model pembelajaran dikembangkan melalui pembelajaran Cooperative Learning dan Value Clarification Technique, karena itu membutuhkan dukungan partisipasi peserta didik yang tinggi dalam kegiatan belajar mengajar.


(3)

Menurut Eggen and Kauchak (1996: 279) model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengajaran yang melibatkan peserta didik belajar secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran ini dapat meningkatkan partisipasi dan memfasilitasi peserta didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berinteraksi dan belajar bersama peserta didik yang berbeda latar belakangnya. Hasil belajar akan meliputi kemampuan akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit dan membantu peserta didik dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis.

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif dalam alam demokrasi karena akan membantu peserta didik untuk: pertama, menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Hersh, 1980). Model IBNBBK diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memenuhi tuntutan pembelajaran IPS berbasis nilai, menantang dan bermakna (Sthall, 2007). Secara spesifik model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan


(4)

akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta meningkatkan jati diri bangsa.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dikembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah penelitian maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimanakah Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik yang dapat Menguatkan Jati Diri Bangsa?

Selanjutnya, berdasarkan rumusan masalah maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kondisi pembelajaran IPS di SMP Surakarta ?

2. Bagaimanakah pengembangan model konseptual pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?

3. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP dalam mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?

C. Tujuan Penelitian


(5)

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran IPS di SMP Surakarta.

2. Mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

3. Menguji efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta dalam meningkatkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

D. Manfaat Penelitian

Produk utama penelitian ini adalah model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa peserta didik SMP di Surakarta.

1. Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu model yang bermanfaat bagi pengembangan mata pelajaran IPS. Khususnya pengembangan pembelajaran IPS dengan mengintegrasikan nilai budaya dan karakter bangsa.

2. Bagi guru mata pelajaran IPS, penelitian ini bermanfaat untuk menjadi acuan dalam mengembangkan model-model pembelajaran inovatif dan kreatif berkaitan dengan integrasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran IPS di sekolah.

3. Bagi Kepala Sekolah, penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur upaya guru dalam mewujudkan pengembangan kompetensi profesionalnya.

4. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal.


(6)

5. Bagi LPTK, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan guna meningkatkan kualitas lulusan yang kelak akan menghadapi dinamika dan problematika pendidikan dan pembelajaran di sekolah pada khususnya.