I.C. TUJUAN PENELITAN
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :
C.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas cognitive behavior therapy untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja gay.
C.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas Cognitive Behavior Therapy CBT untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada dimensi-
dimensi yang meliputi penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi pada remaja gay.
I. D. MANFAAT PENELITIAN D.1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya mengenai homoseksualitas
remaja dan terapi kognitif, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian mengenai cognitive behavior therapy dan proses
pembentukan identitas seksual remaja gay.
Universitas Sumatera Utara
D.2. Manfaat Praktis
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat,
khususnya remaja gay untuk membantu mereka dalam menjalani proses pembentukan identitas seksual.
2. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi ataupun bahan
pertimbangan bagi para terapis dan konselor yang ingin menerapkan cognitive behavior therapy pada remaja gay yang menjalani proses pembentukan
identitas seksual.
I. E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: Bab I
Bab II
Bab III Pendahuluan : dalam bab ini berisikan uraian mengenai latar
belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Tinjauan pustaka : dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu kesejahteraan psikologis,
cognitive behavior therapy, homoseksual dan proses pembentukan identitas seksual pada homoseksual, serta gambaran efektifitas
cognitive behavior therapy untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay yang menjalani proses pembentukan
identitas seksual. Metode penelitian : dalam bab ini diuraikan tentang pendekatan
yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data,
Universitas Sumatera Utara
Bab IV
BAB V subjek dan lokasi penelitian, prosedur penelitian, tahap
pelaksanaan penelitian dan metode analisa data. Pelaksanaan dan Hasil Penelitian : dalam bab ini berisikan
pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penerapan terapi CBT pada remaja gay.
Kesimpulan dan Saran : pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi
hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Ryff 1989 meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia dan kemudian mengemukakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis
yang positif tidak sekedar terbebas dari hal-hal yang berkaitan dengan afek negatif, seperti bebas dari rasa cemas atau merasa bahagia, melainkan lebih
menekankan pada pemfungsian positif serta bagaimana pandangannya terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya. Menurutnya, kesejahteraan psikologis
adalah keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan
tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara
berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan hidup.
II.B.2. Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis
Ryff 1989 mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis sebagai berikut:
a. Penerimaan diri self-acceptance
Penerimaan diri merupakan ciri utama dari konsep kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi
secara optimal dan matang Ryff, 1989. Penerimaan diri yang baik
Universitas Sumatera Utara
ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya dari segi positif dan negatif Jahoda, dalam Ryff, 1989. Dengan menerima diri apa
adanya, seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri yang selanjutnya dapat meningkatkan toleransi akan frustasi dan
berbagai kondisi yang tidak menyenangkan, termasuk keterbatasan diri, tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam.
b. Hubungan positif dengan orang lain positive relations with others
Kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan yang positif dengan orang lain meliputi kemampuan untuk membina hubungan
interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati,
memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam Ryff, 1989.
c. Otonomi autonomy
Dimensi otonomi memiliki kualitas-kualitas seperti penentuan diri self- determination, kemandirian, pengendalian perilaku dari dalam diri, dan
penggunaan locus of control yang bersifat internal dalam mengevaluasi diri Ryff, 1989. Dimensi ini melihat kemandirian individu dalam
memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas tekanan dari pihak manapun.
d. Penguasaan lingkungan environmental mastery
Kualitas yang tercakup dalam dimensi ini meliputi kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kondisinya, berpartisipasi
dalam lingkungan
di luar
dirinya, mengendalikan dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta
kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan Ryff, 1989. Secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi ini melihat
kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri.
e. Tujuan hidup purpose in life
Orang yang berkualitas menurut dimensi ini adalah orang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan
masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki
tujuan hidup ditandai dengan karakteristik kurang mampu memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau,
tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. f.
Pertumbuhan pribadi personal growth Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu
memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan
untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan
untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada enam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
II.B.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff 1989 menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi
dan budaya mempengaruhi perkembangan kesejahteraan psikologis seseorang. a.
Usia Ryff 1989 menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan
psikologis pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi pengasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu
tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.
b. Jenis kelamin
Menurut Ryff 1989, satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif
dengan orang lain. Sejak kecil, stereotip gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri,
sementara itu, perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain Papalia Feldman,
Universitas Sumatera Utara
2001. Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotip ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersbeut dewasa. Sebagai sosok
yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmoni
dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan
positif dan dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. c.
Status sosial ekonomi Ryff, dkk. dalam Ryan Deci, 2001 mengemukakan bahwa status sosial
ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki
status sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari
dirinya. Menurut Davis dalam Robinson Andrews, 1991, individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai
dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.
d. Budaya
Ruff 1995 mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampay terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki suatu
masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang
Universitas Sumatera Utara
menjunjung tinggi kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan empat faKtor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, yaitu usia, jenis kelamin, status
social ekonomi, dan budaya.
II.B. COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY CBT
II.B.1. Definisi dan Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy
CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan
kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak overt action. Beck dalam Spiegler Guevremont, 2003 menekankan CBT
pada pandangan individu tentang keyakinan hipotesa sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk
menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci 2005 menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional,
yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat. CBT bertu
juan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik,
seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya McGinss, 2000. Beck dalam Spiegler Guevremont, 2003 menyatakan bahwa
salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional.
Universitas Sumatera Utara
Hackney Cormier dalam Cengage Learning, 2008 dalam penelitiannya mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalah-
masalah emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai treatmen untuk berbagai gangguan psikologis dan juga meningkatkan
kesejahteraan psikologis dan emosional Bortholomew, 2013. Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan
prinsip “S-O-R-C”. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut
secara rinci adalah sebagai berikut: S Stimulus
: peristiwa
yang terjadi
sebelum individu
menunjukkan perilaku tertentu. O Organism
: individu dengan aspek kognisi K dan Emosi E di dalamnya.
R Response : apa yang dilakukan oleh individu atau organism,
sering juga disebut dengan perilaku behavior, baik perilaku yang tampak overt behavior ataupun perilaku yang tidak tampak covert behavior.
C Consequences : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil
dari perilaku atau response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil
dari perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif, individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama. Sebaliknya, ketika
consequences atas perilaku adalah negatif, individu cenderung mengurangi untuk melakukan perilaku yang sama. Consequences dapat berasal dari dalam internal
Universitas Sumatera Utara
ataupun dari luar individu eksternal. Diagram analisa S-O-R-C dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 2.1. Diagram Analisa S-O-R-C
II.B.2. Proses Kognisi dan Kesalahan yang Umum dalam Cognitive Behavior
Therapy
Oei 1999 menyatakan bahwa pada situasi stressful, seringkali individu menghadapinya dengan menggunakan pemahaman atau pengalaman masa lalu.
Masalahnya, pemahaman tersebut seringkali berupa kognisi yang maladaptif dan memicu emosi negatif, yang kemudian memunculkan perilaku-perilaku yang
semakin memperburuk masalah. Beck menyebut hal itu dengan automatic thought, yaitu pikiran yang muncul secara otomatis dan sangat cepat, yang
sifatnya repetitif dank has. Mengidentifikasi automatic thought merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya mengubah pikiran-pikiran yang irasional
menjadi pikiran yang rasional Beck, dalam Spiegler Guevremont, 2003. Adapun beberapa bentuk distorsi kognitif yang umum ditemui, yaitu:
a. Arbitrary inference jumping to conclusion – mengambil kesimpulan tanpa
bukti yang relevan atau tanpa pengujian lebih lanjut. S
Stimulus: Peristiwa
O Organism:
Kognisi dan Emosi
R Response:
Perilaku C
Consequences: Konsekuensi
positif atau negatif
Universitas Sumatera Utara
b. Overgeneralization – menggeneralisasikan satu kejadian negative pada
kejadian lainnya. c.
Selective abstraction – memperhatikan detail dengan mengabaikan keseluruhan
d. Personalization – mengaitkan situasi eksternal pada diri sendiri secara
berlebihan. e.
Polarized or dichotomous thinking all or nothing thinking – berpikir secara ekstrim, ya atau tidak, hitam atau putih.
f. Magnification or minimization – memandang sesuatu lebih jauh atau lebih
penting dari yang sebenarnya, ataupun mengurangi kepentingan sesuatu dari yang seharusnya.
g. Mental filter – mengambil pernyataan negative dari situasi dan
menggunakannya dengan mengabaikan pertimbangan positif yang lebih besar.
h. Automatic discounting – sensitifitas terhadap informasi negative yang diserap
dan memotong informasi negatif. i.
Emotional reasoning – menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi.
j. “Should statement” – kewajiban moral yang berlebihan.
k. Labeling Mislabelling – reaksi emosional memberikan label pada
seseorang yang berkaitan dengan suatu fenomena.
Universitas Sumatera Utara
II.B.3. Teknik-teknik dalam Cognitive Behavior Therapy
Beberapa ahli terapi CBT memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menjalankan terapi CBT. Pendekatan tersebut diterjemahkan dalam teknik-teknik
berstruktur yang disesuaikan dengan target terapi. Spiegler Guevremont 2003 menyatakan bahwa ada 2 model CBT,
yaitu: a.
Cognitive restructuring : berfokus pada kognitif maladaptif dan bertujuan untuk menggantikan kognisi yang maladaptif dengan kognisi yang adaptif.
b. Cognitive behavior coping skills : berfokus pada kogninsi yang kurang
adaptif dan bertujuan untuk melatih individu dalam memberikan respon yang adaptif, agar mampu menghadapi situasi secara efektif.
McGinn 2000 secara spesifik menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT dan kemudian dibagi atas tiga area, yaitu:
a. Area kognitif : cognitice restructuring, yaitu mengoreksi pikiran-pikiran yang
terdistorsi secara negative dan diarahkan menjadi lebih logis dan adaptif. b.
Area perilaku : activity scheduling, social skills training, dan assertiveness training.
c. Area fisiologis : teknik imagery, meditasi, relaksasi.
Pada penelitian ini akan digunakan teknik cognitive restructuring yang kemudian akan dikombinasikan dengan social skills training. Cognitive
restructuring berfokus pada kognisi yang maladaptif, dan digunakan untuk mengajari individu mengubah distorsi kognisi tersebut, yang merupakan sumber
masalah dalam diri individu. Social skills training merupakan teknik yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk melatih individu agar lebih mampu dalam mengatur situasi interpersonal secara efektif. Teknik social skills training yang akan digunakan
adalah social perception skills training, yaitu mengajarkan individu untuk mampu memonitor, membedakan, dan mengidentifikasi: a emosi dan perasaan
orang lain, b emosi, perasaan, dan perspektif orang lain dalam interaksi, c karakteristik dan aturan-aturan sosial dalam konteks sosial yang spesifik Milne
Spence, dalam Spence, 2003.
II.C. GAY DAN PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS SEKSUAL PADA
GAY COMING OUT II.C.1. Definisi
Gay
Sebelum mendefinisikan apa yang dimaksud dengan gay, perlu dipahami terlebih dahulu konsep orientasi seksual. Yang dimaksud dengan orientasi seksual
adalah ketertarikan seseorang secara emosional, fisik, seksual dan romantis terhadap suatu gender maupun lebih Carroll, 2005. Individu yang tertarik
kepada lawan jenis kelaminnya disebut heteroseksual dan individu yang tertarik pada jenis kelamin yang sama disebut homoseksual. Sementara itu, individu yang
tertarik pada kedua jenis kelamin disebut biseksual. Kelompok yang disebut dengan gay adalah kaum laki-laki homoseksual Kelly, 2001; Carroll, 2005.
Menurut Hawkins dalam Sadock Sadock, 2003 istilah gay merujuk pada identititas pribadi dan identitas seksual yang dibentuk individu, yang
merefleksikan perasaan keterkaitan seseorang terhadap kelompok sosial yang memiliki label yang sama.
Universitas Sumatera Utara
II.C.2. Definisi dan Proses Pembentukan Identitas Seksual Coming Out
Menurut Klinger dan Cabaj dalam Sadock Sadock, 1998 pembentukan identitas seksual merupakan proses dimana individu mengemukakan orentasi
seksualnya dihadapan stigma sosial dengan keberhasilan untuk menerima dirinya sendiri. Cass dalam Carroll, 2005 mengemukakan model enam tahapan dalam
pembentukan identitas homoseksual. Tidak semua individu homoseksual mencapai tahap keenam, tergantung seberapa nyaman individu dalam orientasinya
di masing-masing tahapan. a.
Tahap I: Identity Confusion Individu mulai meyakini bahwa tingkah lakunya dapat diidentifikasi
sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan ulang konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias dan
kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin menerima peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan menyembunyikan
segala tingkah laku homoseksual bahkan mungkin menjadi seorang anti homoseksual dan mengutuknya, atau mungkin menyangkal keterkaitannya
dengan identitasnya. b.
Tahap II: Identity Comparison Individu menerima potensi identitas dirinya sebagai seorang homoseksual,
menolak heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi penggantinya. Individu merasa dirinya berbeda dan tersesat. Jika ia kemudian
mempertimbangkan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang homoseksual, ia akan mencari seorang model yang sesuai untuk itu.
Universitas Sumatera Utara
c. Tahap III: Identity Tolerance
Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan
sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun tetapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya individu masih tidak
memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual.
d. Tahap IV: Identity Acceptance
Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan kaum homoseksual yang lain. Ia mulai membuka diri
terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya homoseksual.
e. Tahap V: Identity Pride
Berkembang kebanggaan akan homoseksualitas sejalan dengan kemarahan akan treatment
yang pada
akhirnya mengakibatkan
penolakan terhadap
heteroseksualitas karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa gaya hidupnya yang baru adalah sesuatu yang benar dan sesuai.
f. Tahap VI: Identity Shynthesis
Individu menjalani gaya hidup homoseksual yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa ada banyak sisi
dan aspek kepribadian dan orentasi seksual hanya salah satu dari aspek-aspek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
II.D. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses
Pembentukan Identitas Seksual
Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah membentuk identitas diri Hurlock, 1999. Sebagian besar remaja dapat memenuhi
tugas ini dengan baik, namun tidak bagi remaja gay. Remaja gay harus mengintegrasikan identitas diri mereka sebagai gay Newman Muzzognigro,
1993, yang mana hal ini bertentangan dengan norma masyarakat. Di dalam prosesnya, pada awal pencarian jati diri sebagai seorang individu gay, akan
banyak konflik batin yang dialami oleh individu. Menurut situs Gay Lesbian Information 2006, ada 4 elemen yang berkaitan dengan konflik individu dalam
membentuk identitas seksualnya sebagai gay, yaitu: 1 perasaan akan persepsi pembentukan diri yang ”berbeda” dengan orang lain; 2 perasaan dan proses
menjalani pengalaman tertarik dan terangsang dengan kehadiran individu lain yang memiliki jenis kelamin sama; 3 perasaan sensitif terhadap stigma seputar
kehidupan homoseksualitas;
dan 4
kurangnya pengetahuan
terkait homoseksualitas itu sendiri.
Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan menakutkan bagi remaja gay. Mereka dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh
masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan sosial yang
menjadi penghalang bagi individu homoseksual untuk membentuk identitas seksualnya sebagai gay atau lesbian Stevens, 2004. Miller dan Major 2000
juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa proses pembentukan identitas seksual
Universitas Sumatera Utara
menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai gay akan membuat
mereka distigma dan dinilai ”sakit” oleh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang mereka terima menjadi salah satu penyebab utama munculnya
berbagai masalah selama proses pembentukan identitas seksual Caroll, 2005. Membuka diri merupakan sesuatu yang sulit, penuh risiko dan dapat
menimbulkan risiko dan dapat menimbulkan kecemasan Savin-Williams, 1996; Maris, 2000; Woolfe, 2003; Carroll, 2004. Terkait dengan kondisi tersebut, tidak
sedikit remaja gay yang memutuskan untuk menutup diri dan menyembunyikan kondisinya. Akan tetapi hal ini dapat meningkatkan stres dan berbagai
permasalahan psikologis yang dialami oleh remaja gay. Menutup diri dari lingkungan mengenai kebenaran seksualitasnya juga dapat menimbulkan rasa
bersalah, ketidakjujuran, keterasingan dari orang lain dan diri sendiri, serta ketakutan bahwa rahasianya akan terungkap Maris, 2000; Woolfe, 2003.
D’Augelli dalam Legate, Ryan, Weinstein, 2012 menemukan bahwa proses pembentukan identitas seksual akan menimbulkan berbagai dampak
negatif, yang salah satunya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu. Dalam penelitian, Gottschalk 2007 menemukan bahwa kesadaran dan keyakinan
individu gay atau lesbian mengenai stereotip negatif terkait seksualitasnya akan berdampak pada rasa keberhargaan diri self-worth dan kesejahteraan
psikologisnya. Tugas-tugas yang terkait dengan perkembangan identitas seorang homoseksual juga dapat menuntut sumber psikologis dari individu dan pada
akhirnya dapat mengancam kesejahteraan psikologisnya Woolfe, 2003.
Universitas Sumatera Utara
II.E. Efektifitas Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses
Pembentukan Identitas Seksual
Selama bertahun-tahun, individu homoseksual telah melakukan konsultasi pada terapis untuk mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual dengan
terapi reparatif. Banyak sekali terapi reparatif yang mengajarkan bahwa homoseksulitas tidak wajar dan menjijikkan. Hal ini akan meningkatkan
kecemasan dan perasaan membenci diri sendiri pada individu homoseksual Robinson, 2006. Walaupun demikian, menurut beberapa ahli psikologi, tekanan
sosial terhadap individu untuk menjadi seorang heteroseksual menimbulkan keraguan bahwa permintaan tersebut memang pilihan yang mereka buat dengan
kondisi dimana mereka memiliki kebebasan untuk memilih. Salvin-Williams 1996 melaporkan bahwa individu yang menyadari orientasi seksualnya sebagai
seorang homoseksual akan kehilangan kemampuan untuk menghormati dan menghargai dirinya sendiri karena hal tersebut berbeda atau dipandang tidak
normal oleh lingkungannya. Individu yang memiliki dugaan bahwa dirinya seorang homoseksual akan berhadapan dengan pesan seksual yang negatif tentang
perasaan seksual mereka, yang terbukti bersifat korosif terhadap self-esteem dan psychological well-being Wolfe, 2003.
Beck dalam LaSala, 2006 menyatakan bahwa distress emosional yang dialami oleh individu bukanlah dampak dari peristiwa dan situasi yang
dialaminya, melainkan bagaimana mereka menerima situasi tersebut. Dalam merespon situasi yang penuh stres, beberapa individu mengalami distorsi kognitif,
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan emosional dalam dirinya, seperti depresi dan kecemasan.
Terapi CBT memungkinkan individu untuk menyadari pikiran dan perasaan yang dimilikinya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran, dan
perilaku mempengaruhi emosi, dan meningkatkan perasaan positif dengan mengubah pikiran yang disfungsional dan perilaku individu Cully Teten,
2008. Pendekatan CBT dapat diadaptasi untuk membantu individu gay dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami terkait dengan orientasi
seksualnya. Teknik CBT yang berfokus pada mengembangkan teknik coping yang efektif dan meningkatkan frekuensi klien dalam menilai kejadian positif akan
membantu mereka dalam menghadapi berbagai stressor terkait dengan stigma masyarakat terhadap diri mereka Safren, Hollander, Hart, Heimberg, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Remaja
Salah satu tugas perkembangan: Membentuk identiitas diri
Membentuk identitas seksual
Orientasi Seksual: Ketertarikan secara
emosional dan seksual
Homoseksual Heteroseksual
Gay
Lesbi
Tahapan: 1.
Identity Confusion 2.
Identity Comparison 3.
Identity Tolerance 4.
Identity Acceptance 5.
Identity Pride 6.
Identity Synthesis Ketakutan ditolak keluarga dan sosial
Menghadapi stigma dan stereotype gay Kesulitan untuk mengembangankan
public intimate relationship Menerima tindak kekerasan dan
pelecehan Merasakan diskriminasi
Kesejahteraan psikologis rendah
Cognitive Behavior Therapy
Homoseksual
Cognitive restructuring
Social perception
skills training
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara
II. F. HIPOTESA PENELITIAN