Kajian Dinamika Spatio-Temporal Komunitas Gulma di Lanskap Persawahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Cisadane

!

"

#

$
(

%&&'

!
+

)

, + - .

.

*


,

*

+
,

.

.

-

,

-

"
/

0 "

1
2

3

2

"
"
"

"
!

,4- /
,%- /

.

2

+ .
5

,6- /
"

5
"

"

,7- /
"
,8- /

"

"


"

"

"
"

"
8
+

.

,4-

.

,%-


,6-

"
,7-

"

"

"

"

"

,8"

"

"


4
,

5

2

"

"

, 0)- !

2
489

%

2


7
2

2

"

"

"

"
2

6

"
"


7
"

"

"

2

%

"
"
"

"

"
8


"

"

"
"

"
3
6' :4&

5

+ .
4' 7% ;
,
2

.


*

,

-

5

2
"
5
<

5

2

"

"


+
67

"

"
.

.

4=
"

'&

4'
77

%6
5

$

2
>

"

"
>

2

"
>
"
2
" , 0)-

"
2

#
9

"

6
"

"

"

%
"

#

0)
2

"

1

"
"

2

"

"
"
"

"
"

2

"

"
1
"

2

!

"

"
1

"
#
"
2

5

"

"

"

"

2

1
"

"
"
2

"

"

"

"

1
"

"

"

2

"

"

"
"
#
+
"

.

.
"

"
"
1

"

"

"
"
3
2
"

"
"

"

"
?

"

"

"

"

"
"
, + "

"

" , 0)-

2

!
*
.

".

!

@

"

"

" @

.

5

"

"
"
"
2

2

2

2
"

"
"2

""
2
,4-

D

,%-

"

D
2

"
,6-

"
5
"
"

"
,7-

"
"

"
,8-

D

2
D

"

""

"

""

"

"

2

2

"
""

"

!
.

<

"

"

-

"
""

A

2

"+ 2
.
".
.
@
,
- )
""
!
""
"
@
2
@
"
B
"
"
C
!
"
"
"
!
2
"
.
.
@

"

,

.

,B

"
"2
,%-

2
.

@

,4-

"
"
""

"

"

,8-

"

""
"

"
"
2

"
"

"

"
"

,6"

,7-

"

"
"

"

2

"
0

?

"

,

5

2

"

,)0 - ?2
"
"
E
0
"

"

"
2

2
2

2
" 489

"

"
2

"

2
2

2

"

!

0

"

"
"

2

2

#

"
"

!
E

"

"

#
"
0

"
<

2

"

2
"

"
2

"

"
"

"

2

"

2

"

"
!
"

"

2
2

"
"

"

0

"

"

""



2

2

"
>

2

"
"

#

"

2

"
2

2

2

"

,)0 -

"8

"

6

2

+

"

2

"

+
C

2

%

2

"

2
"

A

"

"
+
"
"

)0

2

E

2

"

#

"

2
"

2

+

"
"

2
0

2
"

"

"

2

2

"

""

"

F
" E

"

3

2
D

"
"

"
"

"

C

D

"

#

"

#

"

"

2

"
1 "

"
"

2
"1"

"

2

2

D

"

"

"

2
F

2
5

2

"

2

"
" E

"
"

"
C

"

D

!
"

"
2

"
" E

1 "

2
"

D

F

2
"
"
D
+

"
"

C

"

"

"
"

2

2

2

"

"

""

#
.

"

"
"

"
.

"

@
"

"

2

"

!

"

2
"

" "
"

" E
1"
!

"

C

D

"

"
"

"

D

2
"

2

@

2

2
!

" ""
"

"

2

"
C

" E
/
"
2

E

"

"
"

2

!

2

F
"

"
"

"

"

"

"

2

" ""
"

"

"
"
"

2

2

!

"
"

"

"
,)0 -

2

G3

0

!"#$#%# &'#(!$(! )*)'
3
D
#
"
"

%&&'

C

+&,-

$"&'#("$
).#)'
0

#

C

$

!

!

"

#

$%

"

%
1

/

-

1A

-

/
4

"

"

0 3
+

0 / +

+ "

. D

/+

0

/

!

/

+

0

)

/

+

%

+

0

!

0

6

"

/

!

0

+

1

/

*

C

+

@!

1
+

0

#

!

%
,

%&&65%&&7+

A
, + -.

.
#
,

-

1

"

/

"

"

"

!
?

4

"

%

6

"

A

0

/ +

.

0 3

+ "

)

/

D

/+

/

0

!

/

0

+

B 2

0 #

<

B 2
, 67

#

,#

0 ##
-

$

!
, 68

!
!

"

#

$

%

B 2

"!
$

50 #

5 0 !0

C

9

50

#

!

#

!
5 "

' A

/
2
H

3

-

/

,

/

,

,

2

-

0

/

+

2
,

/

,
-

0 +

3

#

/

,

- &
:

,0

#

-

,'
!
= 0

,!

(

)
,

-

*

+

@!

-

/
-

,+

D-

, 64&

"
"

5

"
+

#

$

%&&'

C

!

,$

!

-

%4 1

+

0

4==7

+/
2

<

D.

1
!

0!

4=''

/

+

4=:4

4='7 !
1

!

<

I %9 /

#

#

4=:=

0

!

44 /

4==6
, 6-

#

4/

4=:'

#

"

<

0
0

/

0

!
$

'

%&&4
+

47

4==&

#

49 <

/

4=:8

+
%

4=:4
B 2

%4
<

4=9%

B 2

,B1 A0-

4=='

B1 A0

!
H

!

*

H

H "
"

C2

3
+ 15 %, konsentrasi kerapatan drainase tinggi, tingkat permukaan air
tanah ditentukan pola drainase, dan bukan merupakan daerah banjir.

Bagian hilir

mempunyai tingkat kemiringan < 8 %, kerapatan drainase tinggi, merupakan daerah
pemanfaatan, dan pada beberapa tempat merupakan daerah genangan (banjir). Bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS tersebut (Asdak, 1995).
Pola penggunaan lahan (
wilayah DAS.

) merupakan faktor penting dalam pengelolaan

Hal ini karena pola penggunaan lahan merupakan konfigurasi spasial/

tata"ruang di suatu wilayah dan secara umum merefleksikan aktivitas manusia yang
membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi pemukiman, dan keperluan lain.
Pola penggunaan lahan umumnya merupakan paduan antara manusia penghuni wilayah
tersebut, tingkat teknologi usahatani yang digunakan, dan jumlah kebutuhan hidup yang
harus dipenuhi (Mather, 1986). Tergantung kepadatan penduduk dan kebutuhan hidup, maka
keseimbangan penggunaan lahan mengalami perubahan. Penggunaan lahan di dalam DAS
mengalami peningkatan bukan saja karena pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga karena
intensitas dan jenis kebutuhan manusia dalam memanfaatkan lahan juga meningkat.
Keragaman penggunaan lahan sebagai ruang terbukan hijau (

) di suatu DAS

berupa hutan, talun, kebun campuran, pekarangan, ladang/tegalan, dan persawahan. Lanskap
persawahan di suatu DAS terdapat di dataran rendah (hilir) hingga dataran tinggi (hulu).
Terdapat perbedaan secara gradual kondisi lanskap persawahan dari dataran rendah hingga
ke dataran tinggi dalam hal skala unit lahan/pertanaman, fasilitas irigasi/drainase, dan
sebagainya (Chandrapanya, 1977; Ohkuro

., 1995).

6

% & '

&!

(

DAS merupakan suatu unit fisiografik yang dianggap memadai untuk mengkaji
gulma dalam konteks regional. Dalam hal ini gulma tak hanya dipandang penting dalam
konteks lokal, tetapi juga penting dalam konteks regional. Beberapa hal yang menjadi alasan
utama perlunya mengkaji gulma dalam konteks regional adalah (1) kenyataan bahwa banyak
spesies gulma mempunyai kisaran toleransi lingkungan yang lebar dan distribusi lokasi yang
luas, (2) karakteristik umum dari spesies gulma cenderung untuk menyebar dari suatu lokasi
ke lokasi lain, dan (3) untuk mengapresiasi sepenuhnya kompleksitas masalah gulma yang
terjadi di lapangan. Toleransi dan distribusi gulma merupakan bagian dari adaptasi umum
spesies terhadap kisaran kondisi lingkungan, biasanya dibatasi kondisi agroklimat regional
yang spesifik, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor"faktor tersebut adalah faktor
lingkungan (yang menentukan tipe"tipe habitat), faktor biotik, dan aktivitas manusia. Faktor
historis khususnya praktik budidaya juga memainkan peranan penting dalam pencapaian
spesies gulma di suatu lokasi (Auld

., 1987; Radosevich

., 1997).

Penyebaran spesies gulma menimbulkan konsekuensi masalah bagi masyarakat
petani, sebab akan mengakibatkan kerugian bagi petani yang pertanamannya diinvasi dan
diinfestasi. Fenomena ini dikenal sebagai efek eksternal dan menjadikan masalah gulma
sebagai masalah regional. Keuntungan eksternal terjadi ketika petani mampu mengendalikan
gulma di pertanamannya yang mempunyai potensi menyebar, sehingga mengurangi resiko
invasi dan infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Sebaliknya jika petani tersebut
tidak mampu mengendalikan gulma di pertanamannya, maka terdapat resiko invasi dan
infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Hal itu akan mengakibatkan petani
tetangganya menderita kerugian karena harus mengeluarkan biaya untuk melakukan
pengendalian dan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat infestasi gulma.

Oleh

karena itu dalam konteks regional penyebaran gulma menimbulkan masalah ke banyak orang
khususnya masyarakat petani. Dalam situasi demikian maka peranan peraturan/legislasi
mengenai lalu"lintas/perpindahan tanaman menjadi sangat penting untuk mengurangi atau
menekan penyebaran gulma (Radosevich

., 1997).

Dalam kaitan ini maka perlu dilakukan pemantauan secara kontinyu terhadap
pergerakan spesies"spesies tumbuhan eksotik baik yang berstatus sebagai tanaman maupun
gulma.

Pemantauan seperti itu akan memberikan informasi mengenai kisaran posisi

distribusinya, sehingga dapat membantu upaya pengelolaan untuk mencegah perubahan
statusnya dari tanaman mejadi gulma dan menekan penyebaran lebih lanjut dari yang telah
berstatus sebagai gulma agar tidak menjadi gulma yang invasif. Hal ini karena spesies"
spesies gulma invasif sering menjadi sangat sulit untuk dikendalikan ketika telah menginvasi
dan menginfestasi suatu pertanaman (Godilano, 2003). Proses invasi terjadi melalui 3 fase,

7

yaitu fase introduksi (proses penginvasian ke daerah baru yang sebelumnya belum pernah
ditumbuhi), fase kolonisasi (proses pemapanan di daerah baru hingga mampu bertahan dan
bereproduksi, serta menghasilkan pertumbuhan populasi yang berlanjut), dan fase
naturalisasi (proses penyebaran menjadi lebih luas dan pertumbuhan populasi lebih lanjut
hingga menjadi bagian tetap dari komunitas gulma di daerah itu).

Kemampuan gulma

menginvasi dan menginfestasi sangat ditentukan karakteristik adaptasi dan kesesuaian
habitatnya (McLaren

., 1998). Oleh karena itu pengendalian gulma perlu diupayakan

secara sungguh"sungguh untuk menekan dan mengurangi infestasinya agar tidak
menimbulkan kerugian, serta meminimalkan peluang tumbuh dan berkembangnya spesies"
spesies gulma yang baru (Godilano, 2003).
Dengan menempatkan masalah gulma dalam konteks regional, maka kompleksitas
masalah gulma di lapangan dapat dikaji melalui pemodelan yang disusun berdasarkan data
berbasis regional. Dalam hal ini basis data regional mencakup distribusi dan kelimpahan
spesies gulma yang ada, serta berbagai data lain yang secara aktual maupun secara potensial
berpengaruh.

Melalui pemodelan tersebut maka dapat dilakukan pengkajian

terhadap

masalah gulma di lapangan yang kompleks dengan mengakomodasi semaksimal mungkin
faktor"faktor yang berpengaruh. Disamping itu berdasarkan pemodelan tersebut juga dapat
diformulasikan kebijaksanaan pengelolaan dan prioritas penelitian masalah gulma, serta
perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma (Auld
Briese

., 1987;

., 2000).

) % & '

* "

Gulma merupakan masalah aktual yang selalu terjadi di lanskap persawahan
(De Datta, 1995; Moody, 1995). Komunitas gulma di pertanaman padi sawah terdiri dari
berbagai macam famili, genus, dan spesies. Smith (1983) mencatat ada sekitar 60 famili, 150
genus, dan 350 spesies gulma di pertanaman padi sawah. Selanjutnya Sastroutomo (1990)
mencatat 33 jenis gulma yang sering dijumpai tumbuh di pertanaman padi sawah, dengan 10
jenis diantaranya merupakan jenis yang dominan.

Keberadaan gulma menimbulkan

persaingan terhadap tanaman padi sawah dalam penggunaan unsur hara, air, cahaya, dan
ruang. Gulma yang tidak disiang dengan baik dapat menurunkan produksi padi sawah
sebesar 18 – 35 % (Ardjasa

., 1980; Burhan, 1994; Burhan dan Zakaria, 1999).

Komposisi gulma di lanskap persawahan bersifat dinamik dan berubah karena faktor"
faktor tertentu.

Faktor"faktor tersebut dapat berupa karakter spesies gulma itu sendiri

maupun pengaruh luar (Aldrich, 1984). Pengaruh luar berupa lingkungan makro maupun
lingkungan mikro, serta praktik budidaya. Lingkungan makro adalah lingkungan regional
skala luas yang mencakup banyak aspek tanah dan iklim. Lingkungan mikro adalah berbagai
aspek lingkungan skala kecil yang dipengaruhi topografi mikro, batu"batuan, bahan organik,

8

unsur hara, dan sebagainya (Radosevich

l., 1997). Faktor"faktor tanah yang mempunyai

pengaruh utama terhadap gulma adalah kesuburan, air tanah, aerasi, pH, dan temperatur
tanah. Temperatur tanah terutama berpengaruh terhadap perkecambahan dan dormansi biji
gulma. Karena tanah merupakan reservoir biji dan

gulma, maka beberapa faktor

yang mempengaruhi kemampuan tanah bertindak sebagai penyelamat biji"biji gulma akan
berpengaruh terhadap kehadiran gulma. Temperatur udara berpengaruh terhadap distribusi
gulma secara latitudinal maupun elevasional (Akobundu, 1987). Perbedaan temperatur udara
dan intensitas cahaya mempengaruhi komposisi dan penyebaran jenis gulma (Connolly dan
Dahl, 1970; Everaarts, 1981). Peningkatan porsi penyinaran meningkatkan laju fotosintesis,
pertumbuhan relatif, dan bobot kering gulma golongan rumput dan daun lebar (Sutarto dan
Bangun, 1988). Meski secara umum tumbuh dan berkembangnya jenis"jenis gulma dalam
suatu wilayah/lahan ditentukan faktor"faktor tanah, iklim, dan spesies gulma itu sendiri,
tetapi dalam suatu kesatuan wilayah yang sempit maka faktor topografi dan iklim mikro
menjadi faktor yang penting (Partomihardjo dan Suhardjono, 1988). Sementara praktik
budidaya berpengaruh terhadap komunitas gulma baik secara ekologi maupun evolusi, dan
intesifikasi praktik budidaya sering mengakibatkan timbulnya spesies"spesies gulma
berbahaya (

) melalui seleksi interspesifik dan intragenotipik (Hill

., 1997;

Janiya dan Moody, 1995). Karena itu komunitas gulma dapat berubah karena pengaruh
praktik"praktik budidaya seperti, penyiapan lahan/pegolahan tanah, kultivar tanaman, jarak
tanam, cara pengairan, pemupukan, dan cara pengendalian gulma termasuk penggunaan
herbisida (Moody, 1995; Sundaru dan Pane, 1984; Vongsaroj, 1995). Hubungan timbal"balik
antara faktor lingkungan dengan gulma dan antar gulma itu sendiri pada suatu habitat seperti
persawahan dalam batas regional tertentu sering disebut sebagai ekotopologi gulma
(Wirjahardja dan Sindoro, 1984).
Penyiapan lahan/pengolahan tanah merupakan sarana penting untuk pengendalian
gulma. Ketika pembajakan dengan tenaga hewan dilakukan pada kondisi basah dan
mayoritas biji"biji gulma telah berkecambah, maka bibit"bibit gulma akan tercabut ke atas,
terbunuh, dan kemudian tertutup tanah. Namun ketika pembajakan dengan tenaga traktor
dilakukan pada kondisi kering, maka biji"biji gulma di permukaan tanah akan terbenam dan
sebaliknya yang terbenam dari musim sebelumnya akan terangkat ke atas untuk
berkecambah, sehingga terjadi infestasi gulma yang tinggi. Kultivar"kultivar unggul padi
baru umumnya kurang kompetitif terhadap gulma dibandingkan jenis"jenis padi tradisional,
karena kultivar"kultivar unggul tersebut berhabitus pendek, berdaun tegak, dan berumur
pendek sehingga untuk mencegah persaingan gulma perlu pengendalian gulma yang lebih
awal. Sifat"sifat kultivar padi yang mampu bersaing dengan gulma antara lain berhabitus
tinggi, berdaun panjang dan lebar, konfigurasi daun agak datar, dan mempunyai

9

pertumbuhan awal yang cepat (Moody, 1991; Moody, 1995; Vongsaroj, 1995). Pengaturan
jarak tanam merupakan hal penting dalam pengendalia gulma. Pada padi tapin jarak tanam
menentukan tingkat infestasi gulma, sedangkan pada padi tabela secara umum petani
menyebar benih dalam jumlah banyak untuk menghasilkan populasi tanaman padi yang
tinggi agar mampu bersaing dengan gulma (Kanchanonamai, 1981). Cara pengairan yang
tepat merupakan sarana yang efektif untuk pengendalian gulma. Pada pengaturan pengairan
yang berbeda terdapat jenis gulma yang berbeda, dan penggenangan selama 30 hari setelah
tanam (HST) pada padi tapin dapat menekan pertumbuhan gulma (Pablico dan Moody, 1993;
Sundaru dan Pane, 1984). Pemupukan selain berpengaruh terhadap tanaman juga
berpengaruh terhadap gulma. Pertumbuhan dan persaingan gulma biasanya dipengaruhi
pemberian N dan P sebelum tanam. Peningkatan dosis N dapat mengakibatkan penurunan
hasil yang lebih besar karena umumnya gulma lebih tanggap terhadap penambahan pupuk N
daripada padi sawah (Sundaru dan Pane, 1984). Pengendalian gulma secara mekanis dengan
penyiangan perlu dilakukan pada stadium awal pertumbuhan. Penyiangan pada padi tapin
dianjurkan untuk dilakukan pada 20 – 30 HST dan penundaan penyiangan hingga primordia
bunga akan sangat menurunkan produksi (Vongsaroj, 1995). Penggunaan herbisida perlu
dilakukan pada takaran dan waktu yang tepat. Aplikasi herbisida dengan takaran yang
berlebihan dapat mengakibatkan meningkatnya kasus resistensi gulma, dan berubahnya
beberapa spesies gulma yang tadinya tidak penting menjadi spesies gulma penting (Janiya
dan Moody, 1995; Vongsaroj, 1995).
Tolok"ukur infestasi gulma yang umum dipakai adalah tingkat kepadatan. Namun
beberapa peubah lain seperti bentuk pertumbuhan (habitus), daya adaptasi, dan distribusinya
juga sangat penting (Aldrich, 1984). Distribusi spasial gulma mencerminkan konfigurasi
aktual komunitas gulma di lapangan, sehingga menentukan interaksi dan persaingan antara
gulma dengan tanaman (Kropff

., 1993; Kropff dan Bastiaans, 1997). Oleh karena

komunitas gulma bersifat dinamis, maka distribusi spasial gulma juga bervariasi antar waktu
(secara temporal), atau mengalami dinamika spatio"temporal (Azmi dan Baki, 1995; Bakar
dan Baki, 1999; Janiya dan Moody, 1995). Derksen (1994) mengamati bahwa perubahan
komunitas gulma yang bersifat spatio"temporal lebih menampakkan indikasi fluktuasional
daripada indikasi direksional yang berupa perubahan konsisten dalam komposisi komunitas
gulma. Baki (1995) juga mengamati bahwa perubahan spatio"temporal dalam komunitas
gulma bersifat fluktuasional dan eratik, serta tergantung musim tanam, praktik budidaya
yang diterapkan, dan sifat

komposisi komunitas gulma.

Perubahan komunitas

gulma dapat terjadi secara allogenik ataupun autogenik. Perubahan allogenik dikendalikan
oleh tenaga dari luar agroekosistem padi.

Tenaga ini antara lain meliputi pengelolaan

pengairan (jumlah dan lama tersedianya air), dan praktik"praktik agronomi (penyiapan

10

lahan/pengolahan tanah, penggunaan herbisida, dan sebagainya)(Azmi dan Baki, 1995).
Praktik pengendalian gulma biasanya tak mudah menghilangkan suatu spesies gulma dari
pertanaman padi, tetapi dapat mengubah hubungan antar spesies gulma, interaksi persaingan,
dan pola"pola perkembangan alami yang terjadi di dalam komunitas gulma (Cook, 1990;
Moody, 1991). Perubahan autogenik terjadi karena pengaruh dari dalam agroekosistem itu
sendiri. Perubahan seperti ini dapat terjadi karena persaingan inter" dan intraspesifik diantara
jenis"jenis gulma yang berdekatan, dan hal itu mengakibatkan pergantian spesies"spesies
gulma yang kurang mampu bersaing dengan spesies"spesies gulma yang menang dalam
persaingan (Azmi dan Baki, 1995).
Mengingat komunitas gulma secara ekologis maupun secara evolutif tanggap
terhadap praktik budidaya, maka berbagai praktik budidaya yang diterapkan seperti cara
penanaman, penyiapan lahan/pengolahan tanah, kultivar tanaman padi yang ditanam,
pengaturan pengairan, pemupukan, pengendalian gulma, dan penggunaan herbisida perlu
dipertimbangkan (Blacklow, 1997.

Pertimbangan seperti itu perlu dilakukan sebagai

bagian dari penerapan strategi pengendalian gulma jangka panjang dengan tujuan
mengoptimalkan produktivitas tanaman padi sawah melalui pengelolaan gulma di bawah
tingkat yang merugikan. Strategi tersebut harus berarti pula mengupayakan berkurangnya
masalah gulma di masa mendatang dan bukan sebaliknya masalah gulma menjadi semakin
besar dan sulit (Burhan dan Zakaria, 1999; Kon, 1993). Oleh karena itu pertimbangan dari
tiap praktik budidaya yang diterapkan menjadi sangat penting dan kombinasi praktik
budidaya yang diterapkan hendaknya spesifik sesuai dengan distribusi spasial komunitas
gulma di lapangan (Kropff dan Bastiaans, 1997).
Distribusi spasial komunitas gulma di lapangan belum sepenuhnya terlihat dari
pengkajian komunitas gulma melalui analisis vegetasi sebagaimana yang biasa dilakukan.
Untuk itu maka Park

(1995) mengaplikasikan sistem informasi geografik (SIG) guna

menentukan distribusi spasial komunitas gulma pada pertanaman padi lahan basah di Korea
(Selatan). Dari aplikasi tersebut didapatkan bahwa meskipun berdasarkan analisis vegetasi
spesies gulma

merupakan yang dominan pada padi lahan basah di

seluruh Korea (Selatan), tetapi menurut teknologi SIG terdapat perbedaan distribusi spasial
yang tinggi antar daerah. Dalam kaitan ini maka penggunaan analisis SIG akan dapat
membantu perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma yang tepat,
serta pemantauan dan pengevaluasian efektivitasnya.

11

!
!

&
Lanskap persawahan di kawasan DAS Ciliwung"Cisadane terdistribusi dari dataran

rendah (di bagian hilir) hingga dataran tinggi (di bagian hulu). Kondisi lanskap persawahan
di dataran rendah secara gradual menunjukkan perbedaan dengan di dataran tinggi. Pada
kondisi biofisik yang berbeda, vegetasi yang tumbuh pada matriks dari lanskap persawahan
juga berbeda. Selain vegetasi tanaman padi, pada lanskap persawahan juga tumbuh vegetasi
lain khususnya gulma. Masalah gulma selalu muncul sebagai bagian yang harus dihadapi
dalam budidaya padi sawah. Infestasi gulma menimbulkan persaingan terhadap tanaman
padi sawah, sehingga mengakibatkan kerugian. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
kerugian, maka pengelolaan gulma perlu dilakukan.

Dalam rangka menyusun strategi

pengelolaan gulma yang tepat, maka pengetahuan tentang komunitas gulma dan
karakteristiknya sangat diperlukan. Pengetahuan tersebut biasanya merupakan hasil analisis
vegetasi, yang antara lain meliputi komposisi jenis gulma, jenis gulma dominan, dan tipe
komunitas gulma. Namun strategi pengendalian gulma yang disusun berdasarkan
pengetahuan hasil analisis vegetasi masih sering kurang tepat, sebab analisis vegetasi belum
cukup memberikan informasi mengenai perubahan komunitas gulma antar waktu dan
distribusinya antar lokasi (spatio"temporal).
Oleh karena itu kajian dinamika komunitas gulma secara spatio"temporal dan faktor"
faktor yang berpengaruh di dalam suatu wilayah dengan kondisi biofisik yang beragam
diperlukan. Dalam hal ini maka kajian melalui pendekatan lanskap dengan menggunakan
sistem informasi geografi (SIG) dilakukan untuk mengintegrasikan data spasial dan data
tabular yang bersifat multiaspek. Dengan menggunakan SIG maka dilakukan pembuatan peta
lahan sawah dan beberapa peta tematik faktor lingkungan fisik.

Berdasarkan peta"peta

tersebut kemudian dibangkitkan data faktor lingkungan fisik. Sementara itu dari survei
lapang diperoleh data gulma, data praktik budidaya, serta data sosial"ekonomi dan
aksesibilitas. Dari analisis data gulma maka diketahui komposisi komunitas gulma, jenis
gulma dominan, dan tingkat infestasi gulma, serta distribusinya. Melalui analisis gabungan
data tingkat infestasi gulma, lingkungan fisik, praktik budidaya, serta sosial"ekonomi dan
aksesibilitas, maka dapat diketahui hubungan antar faktor yang diduga berpengaruh dan
faktor"faktor yang berperanan, sehingga dapat diformulasikan model pendugaan tingkat
infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Berdasarkan kaidah"kaidah
yang ditemukan di dalam model pendugaan, komposisi komunitas gulma, distribusi jenis
gulma dominan dan tingkat infestasi gulma, serta referensi/hasil"hasil penelitian lain, maka
disusun strategi pengelolaan gulma yang efektif dan efisien di lanskap persawahan.

12

"
Penelitian ditempuh melalui 5 tahap sebagai berikut : (1) pengumpulan peta"peta
dasar dan data iklim, (2) pemetaan distribusi lahan sawah, (3) penentuan lokasi sampel lahan
sawah dan pelaksanaan survei lapang, (4) pengolahan dan analisis data, dan (5) penentuan
kesimpulan dan saran. Kelima tahap penelitian tersebut secara skematis disajikan dalam
bentuk diagram alir yang terlihat pada Gambar 1.
Pada tahap 1 dilakukan pengumpulan peta"peta dasar guna mendapatkan informasi
awal daerah penelitian untuk menyusun kerangka kegiatan pada tahap penelitian berikutnya.
Selain itu juga dilakukan pengumpulan data iklim khususnya curah hujan dan suhu udara.
Pada tahap 2 dilakukan pembuatan peta lahan sawah dan beberapa peta tematik lain (peta
ketinggian tempat/elevasi, peta lereng, peta jenis tanah, dan peta isohyet) melalui digitasi
peta"peta dasar yang dikumpulkan pada tahap 1. Peta lahan sawah setelah diverifikasi lapang
menghasilkan peta lahan sawah aktual. Tumpangsusun (

) peta lahan sawah aktual

dengan beberapa peta tematik lain setelah diverifikasi lapang menghasilkan peta distribusi
lahan sawah pada masing"masing kelas elevasi, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah
hujan. Pada tahap 3 dilakukan penentuan distribusi lokasi sampel lahan sawah (berdasarkan
peta lahan sawah aktual yang dihasilkan pada tahap 2) dan memetakannya. Susun"silang
(

) peta distribusi lokasi sampel lahan sawah dengan masing"masing peta tematik

faktor lingkungan fisik menghasilkan data lingkungan fisik untuk masing"masing lokasi
sampel lahan sawah. Selanjutnya dilakukan survei lapang terhadap seluruh lokasi sampel
lahan sawah dan petani pemiliknya, sehingga didapatkan data gulma, data praktik budidaya,
serta data sosial"ekonomi dan data aksesibilitas dari tiap lokasi sampel lahan sawah. Pada
tahap 4 dilakukan pengolahan dan analisis data. Dari pengolahan dan analisis data gulma
maka diketahui komposisi komunitas gulma dan tingkat infestasi gulma, serta dihasilkan peta
distribusi jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma. Kemudian dari pengolahan dan
analisis gabungan data gulma, data lingkungan fisik, data praktik budidaya, serta data sosial"
ekonomi dan data aksesibilitas maka diketahui hubungan faktor"faktor yang berpengaruh
dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Berdasarkan hubungan
faktor"faktor tersebut kemudian dapat diformulasikan model pendugaan tingkat infestasi
gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Selanjutnya pada tahap 5 dilakukan
penyusunan rekomendasi pengelolaan gulma.

Dalam hal ini penyusunan rekomendasi

pengelolaan gulma didasarkan pada hasil"hasil kajian distribusi lahan sawah, komposisi
komunitas gulma, distribusi jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma, hubungan
antar faktor"faktor yang berpengaruh, kaidah"kaidah yang ditemukan di dalam model
pendugaan, serta data referensi/hasil"hasil penelitian lain.

13

Pengumpulan peta"peta
dasar dan data iklim
Verifikasi
lapang

Peta elevasi

Peta lahan sawah

Peta lereng
Peta lahan sawah aktual
Peta jenis tanah
Verifikasi
lapang

Peta isohyet
Tumpangsusun
(
)
Peta distribusi lahan sawah pada kelas elevasi,
kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah
hujan
Distribusi lokasi
sampel lahan sawah

Survei
lapang

Data gulma

Komposisi
komunitas
gulma

Distribusi
gulma
dominan

Data
lingkungan
fisik
Data praktik budidaya,
sosial"ekonomi, dan
aksesibilitas

Tingkat
infestasi
gulma

Hubungan faktor"faktor yang
berpengaruh dalam infestasi gulma,
produksi, dan efisiensi usahatani padi
sawah
Formulasi pendugaan tingkat
infestasi gulma, produksi, dan
efisiensi usahatani padi sawah
Data referensi/
penelitian lain

Rekomendasi
pengelolaan gulma
Gambar 1. Bagan tahapan pelaksanaan penelitian.
14

Dengan demikian dari beberapa tahap tersebut maka pada prinsipnya penelitian ini
terdiri dari 5 bagian yang saling menunjang, yaitu (1) kajian distribusi lahan sawah di
kawasan DAS Ciliwung"Cisadane, (2) kajian komunitas gulma di lanskap persawahan DAS
Ciliwung"Cisadane, (3) kajian distribusi tingkat infestasi gulma dan jenis gulma dominan di
lanskap persawahan DAS Ciliwung"Cisadane, (4) hubungan antar faktor"faktor yang
berpengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah, dan (5)
peranan faktor"faktor yang berpengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efiesiensi
usahatani padi sawah.

15

+ !
- *

.-

,
'

"

* " '

! *

)
Pemanfaatan tata"ruang dalam suatu kawasan DAS terdiri dari dua bagian yang
saling terkait, yaitu (1) kawasan lindung/konservasi yang terdiri atas hutan lindung dan
kawasan penyangga, dan (2) kawasan produksi. Kawasan produksi merupakan wilayah
tempat kegiatan perekonomian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan,
pemukiman, dan industri. Pemanfaatan ruang dalam bentuk sawah merupakan kegiatan
produktif yang dilakukan di kawasan produksi. Perubahan luas lahan sawah tidak terlepas
dari pertumbuhan penduduk dan tersedianya sumberdaya alam khususnya air. Ketersediaan
air dalam kuantitas dan kualitas yang memadai secara berkelanjutan akan berdampak positif
terhadap luas dan intensitas atau pengelolaan lahan sawah (Irawan

., 1993).

Faktor topografi, tanah, dan iklim merupakan faktor"faktor lingkungan fisik yang
sangat berpengaruh terhadap kondisi lahan sawah.

Pengaruh topografi dapat ditelaah

berdasarkan unsur"unsurnya, yaitu ketinggian tempat/elevasi dan kemiringan lereng. Elevasi
mempunyai hubungan linier dengan kondisi iklim, sehingga merupakan peubah yang dapat
digunakan sebagai pengganti ukuran geografik untuk menggambarkan variasi kondisi
lingkungan (Aspinall, 1993; Tan, 1984 ). Kemiringan lereng berpengaruh terhadap ketebalan
tanah, beberapa sifat fisik dan kimia tanah, serta kemudahan dalam pengelolaan dan
konservasi tanah. Makin curam lereng maka cenderung tanah makin dangkal, sifat fisik dan
kimianya kurang baik, serta makin sulit pengelolaan dan pelaksanaan konsevasi tanah
(Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 1995). Faktor jenis tanah sangat penting dalam peranannya
sebagai matriks tempat berjangkarnya akar tanaman, sumber unsur hara, air, dan udara yang
diperlukan tanaman, sehingga menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Hardjowigeno, 1995; Rachman, 1987). Faktor iklim terutama adalah suhu udara dan curah
hujan. Suhu udara berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologis tanaman dan menentukan
kesesuaian jenis/varietas padi sawah yang diusahakan. Sementara itu curah hujan
berhubungan dengan ketersediaan air, sehingga berperanan penting dalam pemenuhan
kebutuhan air yang diperlukan dalam pengelolaan lahan sawah (Partoatmodjo

., 1982;

Soekardi, 1991; William dan Joseph, 1977).
Lahan sawah yang baik adalah yang berjenis tanah subur dan mendapat pengairan
teratur. Lahan sawah merupakan tanah pertanian yang berpetak"petak dan dibatasi dengan
pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, dan biasanya ditanami padi
sawah, tanpa memandang dari mana memperolehnya atau status dari tanah tersebut (BPS
Propinsi Jabar, 2000). Berdasarkan sumber air dan ketersediaannya, maka sawah dibedakan

16

menjadi sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang
digunakan menanam padi dengan sumber air dari hujan. Sawah irigasi adalah lahan sawah
yang digunakan menanam padi dengan sumber air irigasi. Ditinjau dari sistem pengairannya,
maka sawah irigasi dapat dibedakan menjadi irigasi sederhana/tradisional, irigasi setengah
teknis, dan irigasi teknis (Irawan

l., 1993).

Di dalam suatu kawasan DAS maka lahan sawah terdistribusi dari dataran rendah
(bagian hilir) sampai dataran tinggi (bagian hulu). Oleh karena penyebaran unsur"unsur
lingkungan fisik di kawasan DAS bervariasi menurut ruang dan waktu, maka lahan sawah
dari bagian hilir ke bagian hulu juga terdistribusi pada kondisi lingkungan fisik yang
beragam (Gandasasmita, 2001).

Kajian mengenai distribusi lahan sawah dalam

hubungannya dengan faktor"faktor lingkungan fisik diperlukan sebagai dasar untuk
melakukan pengelolaannya.
)

a. Memetakan lahan sawah yang secara spasial terdistribusi dari dataran rendah (bagian
hilir) hingga dataran tinggi (bagian hulu) kawasan DAS Ciliwung"Cisadane.
b. Menganalisis distribusi lahan sawah dalam hubungan dengan proporsinya di dalam
beberapa kategori faktor lingkungan fisik.
)

/

'

a. Tempat dan Waktu
Penelitian ini mengambil obyek lanskap persawahan DAS Ciliwung"Cisadane di
Wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, dan Kota
Tangerang. Pemrosesan data melalui teknologi sistem informasi geografik (SIG) dilakukan
di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB.
Waktu penelitian selama 5 bulan, yaitu mulai dari bulan Juli sampai dengan
bulan Nopember 2003.
b. Bahan dan Alat
Bahan"bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi (skala 1 : 25.000) lembar 1209"
131 (Cihiris), 1209"132 (Gunungsari), 1209"133 (Cigudeg), 1209"134 (Leuwiliang), 1209"
141 (Ciawi), 1209"142 (Cisarua), 1209"143 (Bogor), 1209"411 (Lebakwangi), 1209"412
(Parung), 1209"413 (Curug), 1209"414 (Serpong), 1209"421 (Cibinong), 1209"431
(Jatiuwung), 1209"432 (Tangerang), 1209"433 (Mauk), dan 1209"434 (Teluknaga); peta
tanah semi detail (skala 1 : 50.000) Jabotabek I, Jabotabek II, Jabotabek V, DAS Ciliwung
Hulu, dan DAS Cisadane Hulu; peta administratif (dari peta wilayah kecamatan), dan data
iklim (curah hujan dan suhu udara).

17

Alat"alat yang dipakai meliputi (1) perangkat keras terdiri dari satu set komputer
(Pentium IV) dengan konfigurasi SD"RAM 128 MB,
perangkat lunak berupa sistem operasi
("#$), serta (4)

40 GB,
dan

!

IP"1600, (2)

versi 3.2, (3)

, altimeter, dan kompas.

c. Pelaksanaan
1. Menginventarisasi peta dasar dan data yang telah dikumpulkan untuk digunakan
sebagai masukan data (

).

2. Melakukan digitasi peta dasar dan data yang ada untuk memperoleh beberapa peta
tematik, yaitu peta lahan sawah, peta elevasi, dan peta kelas lereng (dari peta rupa
bumi), peta jenis tanah (dari peta tanah semi detail), peta isohyet (dari data curah
hujan), dan peta administratif (dari peta wilayah kecamatan).
3. Menumpangsusunkan (

) peta lahan sawah dengan masing"masing peta

tematik lain, yaitu peta administratif, peta elevasi, peta kemiringan lereng, peta jenis
tanah,dan peta isohyet. Penumpa