Proses Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Pengering Semprot

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

SKRIPSI
AGUS LAHMUDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

Oleh
AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2006

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota


Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
NIP. 132 206 246

Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S.
NIP. 131 415 133

Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc.
NIP. 131 624 188

RINGKASAN
AGUS LAHMUDIN. D14201019. 2006. Proses Pembuatan Tepung Putih Telur
dengan Pengering Semprot. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., M.S.
Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat
ovomucin dalam sejumlah larutan protein globular. Putih telur mempunyai kadar

protein yang tinggi dan merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Pengawetan
dengan cara pengeringan semprot merupakan salah satu cara yang dapat
diaplikasikan untuk mempertahankan kualitas. Hasil pengeringan dengan spray
drying berupa tepung. Keunt ungan bentuk tepung tersebut diantaranya adalah lebih
awet dan volume lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan
transportasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik pada proses
pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat fungsional tepung
putih telur pada perlakuan. Perlakuan penelitian meliputi putih telur murni, putih
telur + 0,3% ragi roti dan putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat
putih telur. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) persiapan bahan baku,
(2) penentuan suhu pengering semprot dan (3) proses pembuatan tepung putih telur.
Pengeringan putih telur pada penelitian ini dengan menggunakan alat spray
dryer merk Buchi Tipe-190 dan suhu pengeringan yang digunakan adalah inlet 160
0
C, 170 0 C dan 180 0 C. Secara deskriptif diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan
yang baik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, karena menghasilkan
produk tepung yang kering dan tekstur yang halus.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan
pengaruh yang nyata (P0,05).

Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan tepung putih telur terbaik diperoleh dari
perlakuan: (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti) dan (putih telur dengan
penambahan 0,3% ragi roti dan 4% maltodekstrin dari berat putih telur).
Kata-kata kunci: Pengering semprot, fermentasi, maltodekstrin, tepung putih telur

ABSTRACT
The Making of Albumen Powder with Spray Dryer
Lahmudin, A., Z. Wulandari, I. Rahayu
Albumen is a protein system which consist of ovomucin fibre in a number of
globular protein solution. Albumen have a high protein rate and as a perishable food.
The preservative with spray drying is a method could be applicated to maintain the
quality. Drying result by spray drying is a powder. The advantage of powder form
are more preservative and less volume so that economically save the storage room
and transfortation. Research objective is to determine the best treatment of making
albumen powder and to know physical and functional of albumen at the treatment.
Research treatment include pure albumen, albumen + 0.3% yeast and albumen +
0.3% yeast + 0.4% maltodextrin from albumen weight. Research was divided to tree
stage: (1) material preparation, (2) spray drying temperature determination and (3)
the making of albumen powder. Albumen drying at this research using spray dryer
Buchi Tipe-190 and drying temperature are inlet 160 0 C, 170 0 C and 180 0C.

Descriptively, from this research a good drying temperature were inlet 180 0 C and
outlet temperature 86-96 0 C, because producing dry powder and soft texture.
According to variance analysis, the treatment value show a significant difference
(P0.05). According to research result, the best making of albumen
powder got from treatment: (albumen with 0.3% yeast) and (albumen with 0.3%
yeast and 4% maltodextrin from albumen weight).
Keywords : spray dryer, fermentation, maltodextrin, albumen powder

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1982 di Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Asep Saepudin,
S.Pd. dan Ibu Nanih.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN
Gunung Geulis. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan
penulis di SLTPN 1 Cisolok pada tahun 1998 dan pendidikan SMU diselesaikan
penulis pada tahun 2001 di SMUN 1 Pelabuhan Ratu. Tahun 2001, penulis mendapat
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Teknologi Hasil Ternak
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan.
Selama mengikuti pendidikan Penulis, aktif sebagai pengurus di berbagai
organisasi intern kampus seperti : UKM Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2003-2006

dan LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2003-2006. Penulis juga pernah bekerja
sebagai manajer di KOPMA IPB tahun 2005-2006 dan menjadi asisten mata kuliah
Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala nikmat yang telah dikcurahkan sehingga Penulis memperoleh kemudahan
dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Proses
Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Spray Drying” dibimbing oleh
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS.
Skripsi ini membahas mengenai penentuan perlakuan terbaik pada proses
pembuatan tepung putih telur dan proses pembuatan tepung putih telur pada putih
telur murni, putih telur ditambah ragi roti dan putih telur dengan penambahan ragi
roti dan maltodekstrin dengan metode spray drying. Penggunaan ragi roti pada
proses pembuatan tepung putih telur bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi
Maillard (pencoklatan) pada saat proses pengeringan dan penggunaan maltodekstrin
juga bertujuan sebagai bahan pengisi dan membantu mengurangi proses pencoklatan.
Penulis berharap, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan nilai tambah khususnya
bagi Penulis dan para pembaca pada umumnya.


Bogor, November 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN

i

ABSTRACT

ii

RIWAYAT HIDUP

iii

KATA PENGANTAR


iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Telur Ayam

Putih Telur
Sifat Fisiko Kimia Putih Telur
Dispersi Protein
Daya Busa
Koagulasi
Fermentasi Putih Telur
Pengeringan
Spray Drying
Pengeringan Telur Ayam
Maltodekstrin
METODE
Lokasi dan Waktu
Materi
Rancangan
Perlakuan
Model
Peubah
Analisis Data
Prosedur
Persiapan Bahan Baku

Penelitian Pendahuluan
Penelitian Utama

viii
1
1
2
3
3
5
6
7
7
9
10
11
12
13
14
16

16
16
16
16
17
17
19
19
19
20
22

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Penentuan Suhu Pengering Semprot
Penelitian Utama
Proses Pembutan Tepung Putih Telur
Rendemen
pH
Kadar Air
Kelarutan Tepung
Nilai Kecerahan
Daya Busa
Stabilitas Busa
Penentuan Perlakuan Terbaik
KESIMPULAN DAN SARAN

24
24
24
24
24
25
26
27
28
29
29
30
31
32

Kesimpulan
Saran

32
32

UCAPAN TERIMA KASIH

33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

38

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)

3

2.

Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur

6

3.

Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung
Kuning Telur (nilai dalam %)

14

4. Karakteristik Maltodekstrin

15

5.

Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida

15

6.

Macam Suhu Inlet dan Outlet pada Pengering Semprot

21

7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g
berat putih telur)
8.

Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung
Putih Telur

9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga
Suhu Inlet dan Outlet

21
23
24

10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet

24

11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur

25

12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur

29

13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring

32

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

SKRIPSI
AGUS LAHMUDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

Oleh
AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2006

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
NIP. 132 206 246

Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S.
NIP. 131 415 133

Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc.
NIP. 131 624 188

RINGKASAN
AGUS LAHMUDIN. D14201019. 2006. Proses Pembuatan Tepung Putih Telur
dengan Pengering Semprot. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., M.S.
Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat
ovomucin dalam sejumlah larutan protein globular. Putih telur mempunyai kadar
protein yang tinggi dan merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Pengawetan
dengan cara pengeringan semprot merupakan salah satu cara yang dapat
diaplikasikan untuk mempertahankan kualitas. Hasil pengeringan dengan spray
drying berupa tepung. Keunt ungan bentuk tepung tersebut diantaranya adalah lebih
awet dan volume lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan
transportasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik pada proses
pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat fungsional tepung
putih telur pada perlakuan. Perlakuan penelitian meliputi putih telur murni, putih
telur + 0,3% ragi roti dan putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat
putih telur. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) persiapan bahan baku,
(2) penentuan suhu pengering semprot dan (3) proses pembuatan tepung putih telur.
Pengeringan putih telur pada penelitian ini dengan menggunakan alat spray
dryer merk Buchi Tipe-190 dan suhu pengeringan yang digunakan adalah inlet 160
0
C, 170 0 C dan 180 0 C. Secara deskriptif diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan
yang baik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, karena menghasilkan
produk tepung yang kering dan tekstur yang halus.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan
pengaruh yang nyata (P0,05).
Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan tepung putih telur terbaik diperoleh dari
perlakuan: (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti) dan (putih telur dengan
penambahan 0,3% ragi roti dan 4% maltodekstrin dari berat putih telur).
Kata-kata kunci: Pengering semprot, fermentasi, maltodekstrin, tepung putih telur

ABSTRACT
The Making of Albumen Powder with Spray Dryer
Lahmudin, A., Z. Wulandari, I. Rahayu
Albumen is a protein system which consist of ovomucin fibre in a number of
globular protein solution. Albumen have a high protein rate and as a perishable food.
The preservative with spray drying is a method could be applicated to maintain the
quality. Drying result by spray drying is a powder. The advantage of powder form
are more preservative and less volume so that economically save the storage room
and transfortation. Research objective is to determine the best treatment of making
albumen powder and to know physical and functional of albumen at the treatment.
Research treatment include pure albumen, albumen + 0.3% yeast and albumen +
0.3% yeast + 0.4% maltodextrin from albumen weight. Research was divided to tree
stage: (1) material preparation, (2) spray drying temperature determination and (3)
the making of albumen powder. Albumen drying at this research using spray dryer
Buchi Tipe-190 and drying temperature are inlet 160 0 C, 170 0 C and 180 0C.
Descriptively, from this research a good drying temperature were inlet 180 0 C and
outlet temperature 86-96 0 C, because producing dry powder and soft texture.
According to variance analysis, the treatment value show a significant difference
(P0.05). According to research result, the best making of albumen
powder got from treatment: (albumen with 0.3% yeast) and (albumen with 0.3%
yeast and 4% maltodextrin from albumen weight).
Keywords : spray dryer, fermentation, maltodextrin, albumen powder

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1982 di Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Asep Saepudin,
S.Pd. dan Ibu Nanih.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN
Gunung Geulis. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan
penulis di SLTPN 1 Cisolok pada tahun 1998 dan pendidikan SMU diselesaikan
penulis pada tahun 2001 di SMUN 1 Pelabuhan Ratu. Tahun 2001, penulis mendapat
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Teknologi Hasil Ternak
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan.
Selama mengikuti pendidikan Penulis, aktif sebagai pengurus di berbagai
organisasi intern kampus seperti : UKM Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2003-2006
dan LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2003-2006. Penulis juga pernah bekerja
sebagai manajer di KOPMA IPB tahun 2005-2006 dan menjadi asisten mata kuliah
Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala nikmat yang telah dikcurahkan sehingga Penulis memperoleh kemudahan
dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Proses
Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Spray Drying” dibimbing oleh
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS.
Skripsi ini membahas mengenai penentuan perlakuan terbaik pada proses
pembuatan tepung putih telur dan proses pembuatan tepung putih telur pada putih
telur murni, putih telur ditambah ragi roti dan putih telur dengan penambahan ragi
roti dan maltodekstrin dengan metode spray drying. Penggunaan ragi roti pada
proses pembuatan tepung putih telur bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi
Maillard (pencoklatan) pada saat proses pengeringan dan penggunaan maltodekstrin
juga bertujuan sebagai bahan pengisi dan membantu mengurangi proses pencoklatan.
Penulis berharap, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan nilai tambah khususnya
bagi Penulis dan para pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN

i

ABSTRACT

ii

RIWAYAT HIDUP

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Telur Ayam
Putih Telur
Sifat Fisiko Kimia Putih Telur
Dispersi Protein
Daya Busa
Koagulasi
Fermentasi Putih Telur
Pengeringan
Spray Drying
Pengeringan Telur Ayam
Maltodekstrin
METODE
Lokasi dan Waktu
Materi
Rancangan
Perlakuan
Model
Peubah
Analisis Data
Prosedur
Persiapan Bahan Baku
Penelitian Pendahuluan
Penelitian Utama

viii
1
1
2
3
3
5
6
7
7
9
10
11
12
13
14
16
16
16
16
16
17
17
19
19
19
20
22

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Penentuan Suhu Pengering Semprot
Penelitian Utama
Proses Pembutan Tepung Putih Telur
Rendemen
pH
Kadar Air
Kelarutan Tepung
Nilai Kecerahan
Daya Busa
Stabilitas Busa
Penentuan Perlakuan Terbaik
KESIMPULAN DAN SARAN

24
24
24
24
24
25
26
27
28
29
29
30
31
32

Kesimpulan
Saran

32
32

UCAPAN TERIMA KASIH

33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

38

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)

3

2.

Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur

6

3.

Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung
Kuning Telur (nilai dalam %)

14

4. Karakteristik Maltodekstrin

15

5.

Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida

15

6.

Macam Suhu Inlet dan Outlet pada Pengering Semprot

21

7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g
berat putih telur)
8.

Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung
Putih Telur

9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga
Suhu Inlet dan Outlet

21
23
24

10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet

24

11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur

25

12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur

29

13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring

32

DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.

Halaman
Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang

4

2. Poses Pembentukan Busa

8

3. Alat Pengering Semprot

21

4.

22

Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur

5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur dengan pH sebelum Pengeringan

27

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
2.

Halaman
Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Total

39

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Halus

39

3. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Kasar

39

4. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap pH sebelum Pengeringan
5. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap pH setelah Pengeringan

40
40

6. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Kadar Air
7.

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Kelarutan Bubuk

8. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Nilai Kecerahan (L)
9.

41
41

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Daya Busa

10.

40

41

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Stabilitas Busa

41

11.

Pengering Semprot (Spray Dryer) Tipe Buchi 190

41

12.

Tepung Putih Telur Perlakuan A

42

13.

Tepung Putih Telur Perlakuan B

42

14.

Tepung Putih Telur Perlakuan C

42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Telur
dibagi menjadi tiga bagian yaitu : putih telur, kuning telur dan kerabang telur. Putih
telur merupakan bagian yang bersifat cair kental dan tidak berwarna pada telur segar,
yang juga merupakan sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin didalam
sejumlah larutan protein globular. kuning telur merupakan bagian telur yang
berfungsi untuk perkembangan embrio karena mengandung zat gizi tinggi.
Telur dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat sebagai bahan pangan
karena kandungan gizinya yang tinggi, selain itu juga telur dikonsumsi sebagai bahan
non pangan. Sebagai bahan non pangan penggunaan telur dalam berbagai bidang
kehidupan, diantaranya bidang biologi (kultur media dan inseminasi buatan); bidang
industri (industri penyamakan kulit dan kosmetik); bidang pertanian (fertilizer) dan
bidang peternakan (pakan). Pada industri makanan, telur merupakan ingredient alami
yang penting pada proses pengolahan suatu produk karena telur mempunyai
beberapa sifat fungsional seperti daya busa, daya koagulasi, daya emulsi, kontrol
kristalisasi serta memberikan efek terhadap warna. Pada proses pengolahan pangan,
putih telur umumnya digunakan untuk membuat produk-produk yang mementingkan
sifat koagulasi protein dan sifat pembentukan buih.
Mengingat kebutuhan akan putih telur dan kuning telur yang jumlahnya
sangat banyak, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut terhadap telur tersebut
misalnya dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung
putih telur, tepung kuning telur maupun tepung campuran antara putih telur dengan
kuning telur. Pembuatan tepung putih telur termasuk cara pengawetan telur. Tepung
putih telur tidak memungkinkan mikroba untuk tumbuh karena kadar airnya sangat
rendah.
Tepung putih telur dibuat berdasarkan proses pengeringan yang bertujuan
mengubah bentuk fisik putih telur dari bentuk cair menjadi bentuk padat. Tepung
putih telur sebagai salah satu bentuk olahan telur kering dapat memberikan beberapa
keuntungan, yaitu dapat memenuhi kebutuhan bahan pengganti putih telur segar

untuk keperluan industri pangan, militer maupun keperluan rumah tangga.
Disamping itu putih telur mempunyai daya awet yang lebih lama, mengurangi ruang
dan biaya penyimpanan, mengurangi biaya transportasi, mempermudah komposisi
bahan

dan

persediaan

bahan

baku

bagi

industri pangan.

Upaya

untuk

mempertahankan sifat fisik dan sifat fungsional putih telur pada saat dikeringkan,
maka perlu ditambahkan fermipan untuk fermentasi yang dapat mencegah reaksi
pencoklatan pada produk akhir dan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi
dan melindungi produk akhir dari kerusakan.
Pemanfaatan tepung putih telur salah satunya dalam pembuatan produk
makanan yang membutuhkan daya buih tinggi contohnya adalah angel food cake.
Angel food cake merupakan cake yang dibuat tanpa menggunakan lemak dan hanya
menggunakan putih telur serta memiliki tekstur yang lebih kental dibandingkan
dengan roti. Pemanfaatan tepung putih telur dalam pembuatan angel food cake
merupakan salah satu alternatif mengganti penggunaan putih telur segar. Tepung
putih telur diharapkan mempunyai sifat daya dan stabilitas buih yang tidak jauh
berbeda dengan putih telur segar.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1) Menentukan perlakuan terbaik pada proses pembuatan tepung putih telur;
2) Mengetahui perubahan sifat fisik dan sifat fungsional tepung putih telur akibat
adanya penambahan ragi roti untuk fermentasi dan maltodekstrin sebagai bahan
pengisi.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Telur Ayam
Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi.
Komposisi kimia telur ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963), terdiri dari air
(73,6%), protein (12,8%), lemak (11,8%), karbohidrat (1,0%) dan komponen lain
(0,8%). Komposisi kimia telur ayam ras dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)
Komposisi Kimia

Telur Ayam Segar
Telur Utuh

Kalori (Kal)

Putih Telur

Kuning Telur

159,0

52,0

332,0

Air (g)

72,9

86,7

52,0

Protein (g)

13,2

10,9

14,8

Lemak (g)

11,1

0,4

29,5

1,5

1,3

1,9

56,0

10,0

133,0

Fosfor (mg)

200,0

14,0

482,0

Vitamin A (SI)

327,0

0,0

630,0

Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)

Sumber : ASEANFOOD (2000)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia telur terbesar
adalah air diikuti protein, lemak, abu dan karbohidrat. Komposisi antara putih telur
dan kuning telur terlihat jauh berbeda, terutama pada kandungan lemaknya. Selain
lemak, kuning telur mengandung banyak vitamin- vitamin yang larut lemak dan
phospolipid, termasuk lesitin yaitu zat pengemulsi. Pada putih telur air membentuk
dispersi koloidal bersama protein telur, sedangkan pada kuning telur air membentuk
emulsi bersama lemak (Panda 1996).
Telur ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerabang telur ± 11%, putih
telur (albumen) ± 57% dan kuning telur ± 32% (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Bagian-bagian tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa lapisan telur (Gambar 1 ).

Blastoderm
Membrana vitelina

Lapisan luar albumen
Lapisan kental albumen
Lapisan dalam albumen
Lapisan khalaziferous

Inti “pander”
Penghubung latebra
latebra
Selaput membrana

Ligamentum albumen

Membrana kulit telur

Rongga udara
Ligamentum albumen
Khalaza
khalaza

Lapisan kuning dari
Kuning telur
Lapisan putih dari
Kuning telur

Kulit telur
Kutikula

Gambar 1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang
(Romanoff dan Romanoff, 1963)
4

Menurut Stadelman dan Cotterill (1977), kerabang telur terdiri dari empat
lapisan yaitu kutikula, spongiosa (bunga karang), mamilaris dan membran kerabang
telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks organik dan
garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik adalah serabutserabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-bahan anorganik
yang berbentuk kristal diikat didalam jala-jala tersebut. Lapisan membran juga terdiri
dari serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Menurut Powrie (1973), putih telur merupakan bagian yang bersifat cair
kental dan tidak berwarna pada telur segar, putih telur terdiri empat lapisan yaitu
lapisan encer bagian luar (23,3%), lapisan kental (57,3%), lapisan encer dalam
(16,8%) dan kalaza (2,7%). Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh
kalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin.
Kuning telur merupakan bagian telur yang mengandung zat gizi tinggi
karena berfungsi sebagai makanan untuk perkembangan embrio (Stevenson dan
Miler, 1986). Kuning telur terletak dibagian tengah telur dan dibungkus oleh suatu
lapisan tipis yaitu membran vitelin yang terdiri dari keratin (Romanoff dan
Romanoff, 1963).
Putih Telur
Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat
ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. Komposisi protein pada setiap
lapisan putih telur berbeda pada kandunga n ovomucinnya (Forsythe dan Foster,
1949). Di dalam putih telur, protein merupakan salah satu komponen yang terdapat
dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah
ovalbumin, conalbumin, globulin (G1 , G2 dan G3 ), ovomucoid, falvoprotein,
ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Jenis-jenis protein
putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Powrie dan
Nakai (1985), karbohidrat terdapat dalam bentuk kompleks dengan protein maupun
dalam keadaan bebas, sekitar 98% karbohidrat bebas pada putih telur adalah glukosa,
sedangkan pada kuning telur terkandung karbohidrat sebanyak 1,0%. Romanoff dan
Romanoff (1963) juga menyatakan bahwa karbohidrat yang terdapat dalam putih

5

telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk
glikoprotein.
Tabel 2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur*
Jumlah (%)

Titik
Isoelektrik

Berat Molekul

Karakteristik

Ovalbumin

54,0

4,6

45.000

Phospoglikoprotein

Conalbumin

13,0

6,6

80.000

mengikat Fe
(logam lain)

Ovomucoid

11,0

3,9-4,3

28.000

menghambat
Tripsin

Lysozym
(G1 -globulin)

3,5

10,7

14.600

G2 -globulin

4,0

5,5

30.000-45.000

G3 -globulin

4,0

5,8

-

-

Ovomucin

1,5

-

-

Sialoprotein

Flavoprotein

0,8

4,1

35.000

Jenis

menguraikan
bakteri
-

mengikat
Riboflavin

Ovoglikoprotein

0,5

3,9

24.000

Ovomakroglobulin

0,5

4,5-4,7

760.000900.000

Avidin

0,05

9,5

53.000

Sialoprotein
menghambat
beberapa protease
mengikat Biotin

Sumber :*Powrie (1973)

Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari
total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang
mengandung unit-unit galaktosa dan manosa. Sedangkan kuning telur mengandung
karbohidrat bebas sebanyak 70% dan yang berkombinasi dengan protein sebanyak
0,3%. Jenis karbohidrat yang berikatan dengan protein pada kuning telur adalah
manosa glukosamin polysakarida (Powrie dan Nakai, 1985).
Sifat Fisikokimia Putih Telur
Putih telur mempunyai sifat fisikokimia ya ng berguna dalam pengolahan
pangan. Sifat-sifat tersebut meliputi dispersi protein, daya busa dan koagulasi.

6

Dispersi Protein
Putih telur mengandung protein ovalbumin, ovoconalbumin, ovoglobulin,
ovomucin dan ovomucoid (Romanoff dan Romanoff, 1963). Molekul- molekul
protein tersebut ada yang termasuk protein globular yang larut dalam air atau media
cair, beberapa dalam air murni dan sebagian lagi dalam larutan elektrolit. Dispersi
yang terbentuk adalah dispersi koloid. Protein globular mempunyai konfigurasi
berupa alfha heliks. Cara untuk mengurangi kontak antara gugus protein dengan air,
maka heliks dari rantai-rantai polipeptida tersebut berlipat dan berkelok-kelok lebih
lanjut dalam bebagai cara sehingga rantai samping hidrokarbonnya terlipat ke dalam
menjauhi molekul air. Rantai samping yang bersifat lebih polar mengarah keluar
(Nur et. al.,1983)
Daya Busa
Pembentukan busa putih telur dilakukan dengan pengocokan. Pengocokan
tersebut akan menyebabkan ikatan- ikatan dalam molekul protein putih telur terbuka
sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Selanjutnya udara masuk diantara
molekul- molekul protein yang terbuka rantainya dan ditahan serta membentuk
gelembung busa sehingga volume bertambah dan sifat elastisitasnya berkurang.
Warna gelembung mula- mula hijau kemudian berubah menjadi kekuning-kuningan,
jernih dan akhirnya putih kabur (Cherry, 1981). Proses pembentukan busa, disajikan
pada Gambar 2.
Busa putih telur berbentuk polihidron dengan diameter 0,02 cm dan berat
jenis 0,137. Bila pengocokan diperpanjang maka berat jenis dan diameternya akan
berkurang, setelah 6 menit pengocokan berat jenis akan menjadi 0,088 dan diameter
0,01 cm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Setiap protein putih telur memiliki
kemampuan membentuk busa yang berbeda-beda. Protein-protein putih telur yang
berperan dalam pembentukan busa adalah ovalbumin, ovomucin dan ovoglobulin.
Ovalbumin dapat membentuk buih yang kuat, ovomucin berfungsi menstabilkan
busa sedangkan ovoglobulin dapat meningkatkan viskositas, memperkuat pengikatan
gelembung udara dan melembutkan tekstur busa yang dihasilkan (Baldwin, 1973).
Volume dan stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
lamanya telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan
pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator.

7

Protein

Protein
Terdenaturasi

Pembentukan
Lapisan Tipis

udara

udara

udara

Pembentukan
Busa

Perbaikan
Pembentukan Busa

udara

KOAGULASI
udara
udara

DISTRUPSI

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Busa
Sumber : Cherry dan McWaters ,1981

8

Daya busa tepung putih telur juga dipengaruhi oleh keadaan pengeringannya
(Romanoff dan Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Pasteurisasi cairan putih telur pada
suhu 51,1-570 C selama 5 menit dan penyimpanan tepung telur pada suhu 43,3-600 C
selama 1-7 hari tidak mempengaruhi waktu pengocokan dan volume pada pembuatan
angel food cake (Brown dan Zabik, 1967). Pengocokan putih telur pada suhu 10-250
C tidak mempengaruhi pembentukan busa. Volume dan stabilitas busa yang terbaik
dihasilkan dari pengocokan pada suhu 46,110 C (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Lowe (1963), pengocokan putih telur segar yang encer
menghasilkan busa dengan volume yang lebih besar daripada putih telur kental.
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa putih telur yang baru keluar dari
tubuh induknya mempunyai volume busa 350% dari volume awal putih telur,
sedangkan yang sudah disimpan dua minggu pada suhu kamar mempunyai volume
busa 425% dari volume awal putih telur. Perubahan volume busa ini terjadi
bersamaan dengan kenaikan pH putih telur. Bila telur disimpan telah lama maka
kestabilan busa berkurang.
Putih telur yang telah disimpan pada suhu beku (-30 C) dan kemudian
dicairkan kembali tidak mempengaruhi sifat busa. Pemanasan putih telur pada suhu
500 C selama 30 menit juga tidak mempengaruhi volume dan stabilitas busa yang
dihasilkan (Baldwin, 1973; Romanoff dan Ro manoff, 1963).
Ovalbumin dapat membentuk buih paling baik pada pH sekitar 3,7-4,0,
sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,59,5. Kenaikan pH putih telur dari 5,5 menjadi 11 akan meningkatkan volume busa
dari 688% menjadi 982% (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Bertambahnya waktu pengocokan menjadikan gelembung-gelembung busa
semakin kecil. Busa yang stabil dicapai setelah 2 menit pengocokan, berarti bahwa
kestabilan diperoleh sebelum busa mencapai volume maksimum (Romanoff dan
Romanoff, 1963).
Koagulasi
Koagulasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein telur yang
mengakibatkan pengentalan dan hilangnya kelarutan atau berubah bentuk dari cair
(sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Perubahan ini dapat disebabkan
oleh panas, pengocokan, penambahan asam, basa atau pereaksi lain (Baldwin, 1973).

9

Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti
penggumpalan protein. Putih telur akan terkoagulasi pada suhu 60-62 0 C, sedangkan
kuning telur terkoagulasi pada suhu 65-70 0 C (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Lehningher (1982), mekanisme terjadinya koagulasi diawali dengan
terjadinya proses denaturasi yaitu perubahan struktur molekul protein tanpa
memutuskan ikatan kovalen. Menurut Belitz dan Grosch (1999), denaturasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu panas, pH, tekanan, pelarut orgaik, garam dan
urea. Tahapan selanjutnya adalah agregasi yaitu terjadinya interaksi antara protein
dengan protein dengan berat molekul yang tinggi. Tahapan selanjutnya adalah
koagulasi yaitu agregasi yang tidak beraturan yang terjadi karena adanya interaksi
antara protein beserta interaksi antara protein dengan pelarutnya. Menurut Gosset et
al,. (1984), tahapan terbentuknya gel dapat dijelaskan sebagai berikut :
Native protein
(associated network)

Denatured protein
(long chain)

aggregated

Menurut Bergquist (1964), secara umum pengeringan telur tidak akan
menyebabkan sifat koagulasi produk terhadap panas. Pegeringan telur dengan suhu
tinggi atau penyimpanan pada kondisi yang tidak cocok menyebabkan produk
kehilangan daya larutnya.
Fermentasi Putih Telur
Putih telur yang akan dikeringkan perlu difermentasi terlebih dahulu agar
tidak terjadi reaksi pencoklatan non enzimatik yang dikenal dengan reaksi Maillard.
Putih telur kering tanpa fermentasi memberikan warna coklat kemerah- merahan dan
sukar dilakukan rekonstitusi. Fermentasi juga sangat membantu mempertahankan
daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga mempermudah
penanganan (Hill dan Sebring, 1973).
Reaksi Maillard tersebut terjadi antara gugus karbonil (aldosa dan ketosa)
dari gula pereduksi dengan gugus alpha-amino dari asam amino atau protein yang
dikenal dengan reaksi karbonilamino dan menghasilkan basa Schriff yang berada
dalam keseimbangan dengan senyawa glikosail amin substitusi-N. Selanjutnya
terjadi Amadori rearrangement membentuk 1-amino-1-deoksi-2-ketosa menjadi
aldimin dan ketimin yang kemudian berpolimerisasi membentuk melanoidin yang
berwarna coklat (Meyer, 1976).

10

Untuk fermentasi putih telur dapat digunakan khamir maupun bakteri yaitu
Saccharomyces cereviceace, Enterobacter aerogenes, Escherichia frundii dan
Streptococcus lactis. Di samping itu juga dapat dilakukan fermentasi dengan enzim
glukosa oksidase (Hill dan Sebring, 1973; Romanoff dan Romanoff, 1963).
Fermentasi putih telur biasanya dilakukan pada suhu 200 C selama 36-60 jam
atau pada suhu 23,9-29,40 C selama 12 jam. Tergantung dari suhunya, lama
fermentasi dapat bervariasi tetapi tidak lebih dari 72 jam. Selama fermentasi akan
terjadi pemisahan dalam putih telur sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan yang
tipis di bagian bawah merupakan endapan, sedangkan lapisan tebal dibagian atas
mengandung senyawa ovomucin dan glikoprotein. Lapisan atas bersifat gelatinous
dan akan berubah menjadi berair bila fermentasi lebih dari 72 jam (Hill dan Sebring,
1973).
Menurut Hill dan Sebring (1973), untuk menghilangkan glukosa dari putih
telur dapat dilakukan melalui fermentasi dengan khamir dengan konsentrasi 0,050,50% dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370 C. penggunaan khamir dengan
konsentrasi lebih tinggi yaitu 1% dapat menyebabkan timbulnya yeast flavor pada
produk akhir. Penggunaan Saccharomyces cereviceae pada konsentrasi yang relatif
rendah (0,1%) tidak dapat mengkonversi gula menjadi asam glukonat secara
sempurna. Fermentasi putih telur menggunakan S. cereviceae pada konsentrasi 0,20,4% dari berat putih telur segar dan diinkubasi pada suhu 22-230 C selama 2-4 jam
dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta dihasilkan produk akhir
yang bebas dari yeast flavor. Fermentasi putih telur dengan khamir dan bakteri dapat
mencegah perubahan warna, flavor dan penampakan yang kurang disukai akibat
reaksi Maillard. Penyimpanan tepung putih telur pada suhu 220 C dan 400 C tidak
mempengaruhi volume kue yang yang dibuat dari putih telur yang mengalami
fermentasi, tetapi kue yang dibuat dari putih telur tanpa fermentasi mengalami
penurunan volume sebesar 7-26% (Hill dan Sebring, 1973).
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas.
Pengeringan selain untuk mengawetkan juga mempunyai beberapa keuntungan
antara lain akan mengurangi kesulitan dalam pengemasan, pengangkutan dan

11

penyimpanan. Pengeringan membuat bahan menjadi padat dan kering sehingga lebih
memudahkan

dalam

pengangkutan,

pengemasan

maupun

penyimpanan

(Wirakartakusuma et al., 1992). Disamping keuntungan tersebut, pengeringan juga
mempunyai beberapa kerugian yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat
berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain- lain (Winarno
et al., 1982).
Proses pengeringan suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu suhu, kelembapan udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Kontrol
yang teliti terhadap keempat faktor tersebut perlu dilakukan agar diperoleh suatu
hasil yang baik.
Menurut Buckle et al. (1985), kerugian yang ditimbulkan akibat proses
pengeringan adalah berubahnya sifat fisik seperti pemucatan pigmen, perubahan
struktur (pengerutan) dan hilangnya aroma. Kondisi pengeringan yang tidak
terkendali dapat menimbulkan bau gosong. Menurut Wirakartakusuma et al. (1992),
beberapa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan meliputi sifat bahan,
ukuran bahan, volume bahan, suhu udara dan kecepatan aliran udara.
Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai metode.
Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan
dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasinya
(Desrosier, 1988). Menurut Wirakartakusuma et al. (1992), terdapat dua metode
pengeringan berdasarkan bentuk atau jenis komoditi yang akan dikeringkan, yaitu
metode untuk bahan padat dan bahan cair. Metode yang sering digunakan untuk
pembuatan produk berbentuk bubuk atau tepung adalah metode pengering semprot
atau spray drying.
Spray Drying
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Spray drying
merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering
oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering yang panas
(Dziezak, 1980). Master (1979) menyatakan, bahwa spray drying merupakan suatu
proses berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari cairan, pure atau
pasta ke bentuk kering berupa tepung atau butiran. Menurut Heldman et al., (1981),

12

ciri khas dari spray drying adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi produk
dalam ruang pengering singkat dan produk akhir yang dihasilkan siap dikemas ketika
proses pengeringan selesai.
Menurut Sutejo (1998), keuntungan spray drying antara lain adalah kelarutan
bahan kering yang dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah
terdispersi dalam air, kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk
mengoperasikannya. Menurut Spicer (1974), spray drying mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan beberapa jenis alat pengering yang lain, diantaranya
: (1) produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas;
(2) suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup
tinggi; (3) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan (4) produk akhir
berbentuk bubuk yang memudahkan penanganan dan transportasi.
Spray drying terdiri atas empat proses yaitu (1) atomisasi bahan sehingga
dapat membentuk semprotan yang halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi
dengan udara pengering, (3) penguapan air dan bahan, (4) pemisahan bubuk kering
dengan aliran udara yang membawanya (Master, 1979). Master (1979) juga
menyebutkan bahwa tingkat atomisasi bahan tergantung pada beberapa faktor yaitu
bentuk atomizer, kecepatan putaran, kecepatan aliran bahan dan sifat bahan.
Penurunan ukuran droplet terjadi jika kecepatan putarannya ditingkatkan, sedangkan
peningkatan viskositas dan tegangan permukaan justru akan meningkatkan ukuran
droplet. Perubahan ukuran droplet sangat dipengarhi oleh jenis atomizernya. Fungsi
atomizer yaitu memecah bahan menjadi partikel yang lebih kecil sehingga
menghasilkan luas permukaan yang lebih besar dan proses penguapan yang lebih
cepat (Heldman dan Singh, 1981).
Pengeringan Telur Ayam
Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air dalam
bahan sampai pada batas agar mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur
mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) mempermudah dan mengurangi rua ng
penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang masa simpan
dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963).

13

Menurut Matz dan Matz (1978), metode pengeringan yang dapat digunakan
untuk membuat tepung telur ada empat macam yaitu : foaming drying, pengeringan
secara lapis (pan drying), pengeringan semprot dan pengeringan beku. Putih telur
dapat dibuat menjadi suatu produk yang berumur panjang dan cocok setelah
pengeringan. Tepung putih telur dapat digunakan untuk membuat berbagai produk
candy (nougat creams, french nougats, chewy nougats, almond nougats, summer
nougats dan sebagainya), angel food cake, sponge cake dan produk makanan lain
yang membutuhkan daya busa tinggi (Sukarno, 1984). Komposisi tepung telur,
tepung putih telur dan tepung kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung
Kuning Telur (nilai dalam %)
Komposisi

Tepung Telur

Tepung
Putih Telur

Tepung Kuning
Telur

-------------------- (%) -------------------Kadar Air

5,0

8,0

5,0

Lemak

40,0

-

57,0

Protein

45,0

80,0

30,0

Abu

3,7

5,7

3,4

Sumber : Food and Drugs Administration (1966), Gorman (1973)

Maltodekstrin
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati (polimer sakarida
tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa.
Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan menggunakan hidrolisis terkontrol
melalui enzim (a-amilase) atau asam (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin memiliki
DE (Dext rose Equivalent) kurang dari 20. DE menunjukkan persentase dari dextrose
murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Maltodekstrin memiliki
derajat polimerisasi 3-20. Derajat polimerasi (DP) dinyatakan dengan kesetaraan
dextrosa (DE). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai jumlah gula pereduksi total
yang dinyatakan sebagai dextrosa dan dihitung sebagai persentase dari berat kering
total (Biliaderis dan Eskin, 1992). Maltodekstrin memiliki komposisi sakarida paling
banyak pada DP 3-9, yang termasuk dalam golongan oligosakarida dengan rantai
linier pendek (Winarno, 1997).

14

Maltodekstrin merupakan bahan tambahan pangan yang aman dikonsumsi
karena termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe). Larutan
maltodekstrin memiliki karakteristik flavor lembut, rasa dimulut yang halus (smooth
mouthfeel), dapat mengurangi lemak sebagian atau keseluruhan dalam berbagai
formula dan dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan (Burdock,
1997). Karakteristik maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 4 dan jenis karbohidrat
dalam oligosakarida dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Karakteristik Maltodekstrin Komersial
Karakteristik

Nilai (%)

Komposisi Sakarida
DP 1-2

16,07

DP 3-9

78,66

DP > 9

5,27

Derajat Putih

92,51

Tingkat Kemanisan (dibandingkan dengan
Tingkat kemanisan sukrosa 100 %)

6,25-7,25

Sumber : Hidayat dan Ahza (2003)

Menurut Pratiwi (2005), total nilai skoring sifat fisik dan kimia pada proses
pembuatan susu kambing bubuk dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak 4%
memiliki nilai tertinggi. Tujuan penggunaan maltodekstrin menurut Kennedy et al.
(1995) adalah :
1) untuk menurunkan biaya produksi dari material dengan harga tinggi;
2) untuk mengurangi kehilangan volume selama penyimpanan atau pemindahan;
3) untuk menyerap minyak atau lemak dan membantu penyebaran;
4) memberikan rasa lembut dan meningkatkan kelarutan.
Tabel 5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida
Derajat Polimerisasi

Jenis Karbohidrat

Rumus Kimia

2

maltosa

(C 6 H10O5 )2 H2 O

3

maltotriosa

(C 6 H10 O5 )3 H2 O

4

maltotetrosa

(C 6 H10O5 )4 H2 O

5

maltopentosa

(C 6 H10 O5 )5 H2 O

6-10

maltoheksosa

(C 6 H10O5 )6 H2 O

Sumber : Winarno (1997)

15

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas
Peternakan untuk pengujian sifat fungsional tepung putih telur dan Laboratorium
Pilot Plant SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan tepung putih
dan analisis fisik dari bulan Juli sampai Agustus 2006.
Materi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras berumur 12 hari yang diperoleh dari peternakan ayam di daerah Cibeureum Kecamatan
Darmaga Bogor. Bahan pembantu yang digunakan untuk fermentasi adalah fermipan
atau ragi roti.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer tipe
Buchii-190, homogenizer, waterbath, egg tray, pengaduk, hand mixer, timbangan
merk O-hous (ketelitian 0,1 gram), candler, gelas ukur, oven, corong bugner, labu
isap, vacum pump, kertas whatman no. 41, karton, desikator, magnetick stirrer,
penyaring dan baskom. Alat untuk analisis fisik adalah kadar air, pH meter, pengukur
nilai kecerahan (Cromameter Minolta CR-310) dan oven vakum.
Rancangan
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan putih telur ayam ras yang berumur 1-2 hari yang
diberi perlakuan sebagai berikut : (1) putih telur murni, (2) putih telur + 0,3% ragi
roti dari berat putih telur dan (3) putih telur + 0,3% ragi roti dari berat putih telur +
4% maltodekstrin dari berat putih telur.
Putih telur pada perlakuan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan
utama dalam pembuatan tepung putih telur. Perlakuan 2 dan 3 pada putih telur
tersebut sebelum dilakukan pengeringan terlebih dahulu dihomogenkan ± 30 detik
menggunakan alat homogenizer. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan
fermipan atau ragi roti dengan komposisi 0,3 % dari berat putih telur selama tiga jam
pada suhu kamar (30 0 C).

Model
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Model matematisnya (Steel and Torrie,
1995) adalah sebagai berikut :
Yij = p + a i + eij
Keterangan:
Yij = nilai dari pengamatan perlakuan ke-I dengan ulangan ke-j
p

= rataan umum

ai

= pengaruh perlakuan (putih telur murni, putih telur + fermipan 0,3 %
dari berat putih telur, putih telur + fermipan 0,3 % dari berat putih
telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur)

eij

= pengaruh galat percobaan

Jika hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata (a = 0.05) maka akan diuji
dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).
Peubah
Peubah yang diukur dalam penelitian ini meliputi uji sifat fisik dan sifat
fungsional dari tepung putih telur. Sifat fisik yang diamati meliputi; rendemen, pH,
warna, kadar air, kelarutan bubuk, sedangkan untuk sifat fungsional yang diamati
adalah daya busa dan stabilitas busa.
Rendemen (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Perhitungan
rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur
yang dihasilkan dari setiap perlakuan.
Berat tepung putih telur (gram)
Rendemen (%) =

X 100 %
Berat putih telur awal (gram)

Analisis pH (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Pengukuran pH
dilakukan sebelum dan sesudah pengeringan dan dilakukan dengan menggunakan pH
meter. Tepung putih telur yang akan diukur pH-nya, terlebih dahulu dilarutkan dalam
air destilat (rekonstitusi) dengan satu bagian tepung putih telur dan satu bagian air.

17

Kadar Air (Association of Official Analytical Chemist, 1995). Pengukuran kadar
a