Keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan studi kasus kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

(1)

KETERKAITAN PAJAK LAHAN

DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

NI MADE ESTI NURMANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

NI MADE ESTI NURMANI A 253050271


(3)

ABSTRAK

NI MADE ESTI NURMANI. Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh BABA BARUS dan ERNAN RUSTIADI.

Daerah dan permasalahannya tidak dapat lepas dari keberadaan pajak, terutama pajak properti. Pajak lahan atau yang dikenal luas sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak properti di Indonesia, diharapkan mampu mendukung dan mengarahkan pembangunan serta mengatasi permasalahan perkotaan dengan menjalankan kedua fungsi pokoknya, yaitu fungsi penerimaan (budgeter) maupun fungsi mengatur (reguleren) secara simultan dan berkesinambungan. Penelitian ini berusaha untuk menjawab sebagian dari permasalahan pajak lahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi yaitu: (1) mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK, (2) mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan, (3) Mengetahui perbedaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/ Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan (4) mengetahui rasio NJOP terhadap land rent. Metode penelitian menggunakan analisis spasial berbasis SIG, analisis deskriptif, analisis regresi berganda, analisis finansial serta analisis korelasi.

Sekitar 78.20% pemanfaataan ruang di Kecamatan Cibinong konsisten terhadap RDTRK, sedangkan di Kecamatan Cileungsi sekitar 83,25% pemanfaataan ruang konsisten terhadap RUTRK. Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. Pajak lahan memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap pembentukan guna lahan di Kecamatan Cibinong maupun Cileungsi, terutama terhadap pola distribusi penggunaan lahan dan kontribusi yang kecil terhadap pola intensitas penggunaan lahan. Land rent tertinggi terdapat pada penggunaan lahan untuk industri dan terendah untuk kebun campuran. Land rent tinggi belum diikuti dengan pajak lahan yang tinggi.

Kata kunci: Pajak, Penggunaan Lahan, Spasial, Regresi Berganda, NPV, Land Rent,.


(4)

ABSTRACT

NI MADE ESTI NURMANI. Relationship between Land Taxes and Land Uses (Case Study in Subdistricts of Cibinong and Cileungsi, Regency of Bogor). Under Academic Supervision of BABA BARUS and ERNAN RUSTIADI.

Local and regional development are inevitably related to the existence of taxes, particularly those of property taxes. Land tax, which is widely known as Land and Building Tax, and is a property tax in Indonesia, is expected to be able to support and direct development and overcome urban problem by executing its two main functions, namely income earning function (budgeter) and regulating function (reguleren) simultaneously and continuously. This research attempted to answer some of the problems of land taxes in Subdistricts of Cibinong and Cileungsi, namely: (1) Learning the consistence of Detailed Plan of Urban Spatial Arrangement (DPUSA) / General Plan of Urban Spatial Arrangement (GPUSA), (2) Learning the effect of land uses on land taxes, (3) Learning the difference between Sale Value of Taxation Object (SVTO) of land which is used in consistence with, and that of land which is used not in consistence with DPUSA / GPUSA, and (4) Learning the ratio between SVTO and land rent. Research method used SIG based spatial analysis, descriptive analysis, multiple regression analysis, financial analysis, and correlation analysis.

Approximately 78.20% of spatial uses in Cibinong subdistrict were consistent with DPUSA, while in Cileungsi subdistrict, approximately 83,25% of spatial uses were consistent with GPUSA. There was no difference in SVTO, between land which was used in consistence with, and land which was used not in consistence with directives of DPUSA and GPUSA. Land taxes provided considerable influence toward pattern of land uses in Cibinong and Cileungsi subdistrict, particularly the pattern of land use distribution, but land taxes provided little influence toward pattern of land use intensity. The highest land rent occurred in land use for industry, whereas lowest land rent occurred in that for mixed garden. The high land rent had not been followed with the high land tax.


(5)

© Hak Cipta milik Ni Made Esti Nurmani, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

NI MADE ESTI NURMANI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(7)

Judul Tesis : KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

Nama : NI MADE ESTI NURMANI

NRP : A. 253050271

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota

Diketahui

Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

Pembelajaran, akan membebaskan orang dari belenggu

Yang kucinta:

Jabal Nur Chaidar

Fariandy Muhammad Zaki

 


(9)

PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmatNya hingga tesis yang berjudul Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan ( Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor) dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebagai penghargaan tertinggi kepada Bapak. Dr. Baba Barus, MSc selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan kesediaannya meluangkan waktu diantara jadwal kerjanya yang sangat padat, Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Gunawan, Dani Rahmat, Efo Hadi Cs, I Wayan Winarta, Bu Khursatul Munibah dan Muhamad Al Hady atas perolehan Citra Ikonos, Citra ALOS-AVNIR dan data–data lainnya serta diskusi-diskusinya yang menambah semangat dalam penulisan tesis ini. Tidak lupa pada teman-teman seperjuangan di PWL 2005 terutama kepada Anis, Aan, Elfida, Cici, Uci, Lilis, Maman, Arman, Rusmin dan Samy.

Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Semoga hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2007


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Biak, Papua pada tanggal 27 Agustus 1968. Terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara pada keluarga I Wayan Sumindha dan Ni Wayan Wansri.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Biak dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan di Bogor dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL).

Dari tahun 1991 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf tenaga ahli pada beberapa perusahaan konsultan di Jakarta, antara lain: PT Dacrea Engineering, PT Delta Tama Waja Corp. dan terakhir di Pacific Consultant International dan ditempatkan di Sekertariat Kerja Nasional (Satkernas) Pengembangan Prasarana Desa di Bappenas. Selain itu dari tahun 1998 sampai dengan sekarang penulis juga mengajar di Fakultas Teknik Universitas Pakuan sebagai dosen tidak tetap.


(11)

KETERKAITAN PAJAK LAHAN

DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

NI MADE ESTI NURMANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

NI MADE ESTI NURMANI A 253050271


(13)

ABSTRAK

NI MADE ESTI NURMANI. Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh BABA BARUS dan ERNAN RUSTIADI.

Daerah dan permasalahannya tidak dapat lepas dari keberadaan pajak, terutama pajak properti. Pajak lahan atau yang dikenal luas sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak properti di Indonesia, diharapkan mampu mendukung dan mengarahkan pembangunan serta mengatasi permasalahan perkotaan dengan menjalankan kedua fungsi pokoknya, yaitu fungsi penerimaan (budgeter) maupun fungsi mengatur (reguleren) secara simultan dan berkesinambungan. Penelitian ini berusaha untuk menjawab sebagian dari permasalahan pajak lahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi yaitu: (1) mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK, (2) mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan, (3) Mengetahui perbedaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/ Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan (4) mengetahui rasio NJOP terhadap land rent. Metode penelitian menggunakan analisis spasial berbasis SIG, analisis deskriptif, analisis regresi berganda, analisis finansial serta analisis korelasi.

Sekitar 78.20% pemanfaataan ruang di Kecamatan Cibinong konsisten terhadap RDTRK, sedangkan di Kecamatan Cileungsi sekitar 83,25% pemanfaataan ruang konsisten terhadap RUTRK. Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. Pajak lahan memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap pembentukan guna lahan di Kecamatan Cibinong maupun Cileungsi, terutama terhadap pola distribusi penggunaan lahan dan kontribusi yang kecil terhadap pola intensitas penggunaan lahan. Land rent tertinggi terdapat pada penggunaan lahan untuk industri dan terendah untuk kebun campuran. Land rent tinggi belum diikuti dengan pajak lahan yang tinggi.

Kata kunci: Pajak, Penggunaan Lahan, Spasial, Regresi Berganda, NPV, Land Rent,.


(14)

ABSTRACT

NI MADE ESTI NURMANI. Relationship between Land Taxes and Land Uses (Case Study in Subdistricts of Cibinong and Cileungsi, Regency of Bogor). Under Academic Supervision of BABA BARUS and ERNAN RUSTIADI.

Local and regional development are inevitably related to the existence of taxes, particularly those of property taxes. Land tax, which is widely known as Land and Building Tax, and is a property tax in Indonesia, is expected to be able to support and direct development and overcome urban problem by executing its two main functions, namely income earning function (budgeter) and regulating function (reguleren) simultaneously and continuously. This research attempted to answer some of the problems of land taxes in Subdistricts of Cibinong and Cileungsi, namely: (1) Learning the consistence of Detailed Plan of Urban Spatial Arrangement (DPUSA) / General Plan of Urban Spatial Arrangement (GPUSA), (2) Learning the effect of land uses on land taxes, (3) Learning the difference between Sale Value of Taxation Object (SVTO) of land which is used in consistence with, and that of land which is used not in consistence with DPUSA / GPUSA, and (4) Learning the ratio between SVTO and land rent. Research method used SIG based spatial analysis, descriptive analysis, multiple regression analysis, financial analysis, and correlation analysis.

Approximately 78.20% of spatial uses in Cibinong subdistrict were consistent with DPUSA, while in Cileungsi subdistrict, approximately 83,25% of spatial uses were consistent with GPUSA. There was no difference in SVTO, between land which was used in consistence with, and land which was used not in consistence with directives of DPUSA and GPUSA. Land taxes provided considerable influence toward pattern of land uses in Cibinong and Cileungsi subdistrict, particularly the pattern of land use distribution, but land taxes provided little influence toward pattern of land use intensity. The highest land rent occurred in land use for industry, whereas lowest land rent occurred in that for mixed garden. The high land rent had not been followed with the high land tax.


(15)

© Hak Cipta milik Ni Made Esti Nurmani, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

NI MADE ESTI NURMANI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(17)

Judul Tesis : KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN

Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

Nama : NI MADE ESTI NURMANI

NRP : A. 253050271

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota

Diketahui

Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(18)

Pembelajaran, akan membebaskan orang dari belenggu

Yang kucinta:

Jabal Nur Chaidar

Fariandy Muhammad Zaki

 


(19)

PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmatNya hingga tesis yang berjudul Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan ( Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor) dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebagai penghargaan tertinggi kepada Bapak. Dr. Baba Barus, MSc selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan kesediaannya meluangkan waktu diantara jadwal kerjanya yang sangat padat, Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Gunawan, Dani Rahmat, Efo Hadi Cs, I Wayan Winarta, Bu Khursatul Munibah dan Muhamad Al Hady atas perolehan Citra Ikonos, Citra ALOS-AVNIR dan data–data lainnya serta diskusi-diskusinya yang menambah semangat dalam penulisan tesis ini. Tidak lupa pada teman-teman seperjuangan di PWL 2005 terutama kepada Anis, Aan, Elfida, Cici, Uci, Lilis, Maman, Arman, Rusmin dan Samy.

Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Semoga hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2007


(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Biak, Papua pada tanggal 27 Agustus 1968. Terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara pada keluarga I Wayan Sumindha dan Ni Wayan Wansri.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Biak dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan di Bogor dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL).

Dari tahun 1991 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf tenaga ahli pada beberapa perusahaan konsultan di Jakarta, antara lain: PT Dacrea Engineering, PT Delta Tama Waja Corp. dan terakhir di Pacific Consultant International dan ditempatkan di Sekertariat Kerja Nasional (Satkernas) Pengembangan Prasarana Desa di Bappenas. Selain itu dari tahun 1998 sampai dengan sekarang penulis juga mengajar di Fakultas Teknik Universitas Pakuan sebagai dosen tidak tetap.


(21)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. x viii PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ………... 1

Rumusan Permasalahan ……….... 4

Tujuan Studi ………. 5

Manfaat Studi ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ………... 7

Pajak ………. 7

Pajak Bumi dan Bangunan ………... 8

Penggunaan Lahan ………... 12

Perencanaan Tata Guna Lahan ... 14

Pengendalian Penggunaan Lahan ... 15

Hubungan Land Rent Dengan Harga Tanah Dengan Penggunaan Lahan 18 Sistem Informasi Geografis ... 21

Citra Satelit Resolusi Tinggi ... 23

METODE PENELITIAN ……… 26

Karangka Pemikiran ………. 26

Lokasi dan Waktu Studi ………... 27

Data dan Sumber Data ………. 28

Metode Pengolahan dan Analisis Data ………... 30

KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI ………... 44

Kecamatan Cibinong ……… 47

Kecamatan Cileungsi ………... 55

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 65

Permasalahan Pajak Lahan ………... 65

Penggunaan Lahan Tahun 2006 ... 67


(22)

Perbedaan NJOP antara Pemanfaatan Lahan yang Konsisten dengan

RDTRK/RUTRK ... 85 Pengaruh Penggunaan Lahan terhadap Pajak Lahan ………... 86 Perbandingan Land Rent dengan Pajak Lahan ... 92

Pengendalian Pemanfaatan Lahan Melalui Pajak Lahan di Kecamatan

Cibinong dan Cileungsi ... 99 KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

Kesimpulan ……….. 102

Saran ……… 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN ... 107


(23)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1 Penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia ... 3 2 Spesifikasi Citra Ikonos ... 23 3 Spesifikasi Citra ALOS ... 23 4 Aspek, variabel dan sumber data yang digunakan ... 26 5 Matrik tujuan, analisis, variabel, data dan keluaran penelitian …………... 28 6 Matriks konsistensi antara arahan pemanfaatan ruang dengan

penggunaan lLahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi ... 32 7 Matrik pola penggunaan lahan ... 33 8 Kebijakan perwilayahan di Kabupaten Bogor ... 43 9 Jumlah penduduk di Kecamatan Cibinong tahun 2005 ... 46 10 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama tahun 2005 di

Kecamatan Cibinong ... 48 11 Perkembangan penerimaan pPajak bumi dan bangunan di Kecamatan

Cibinong tahun 2000 – 2005 ... 49 12 Alokasi pemanfaatan lahan di Kecamatan Cibinong 2005 – 2015 ... 51 13 Jumlah penduduk di Kecamatan Cileungsi tahun 2005 ... 55 14 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama di Kecamatan

Cileungsi tahun 2000 – 2005 ... 57

15 Perkembangan Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Di Kecamatan

Ciluengsi Tahun 2000 – 2005 ... 58

16 Alikasi pemanfaatan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2002 – 2012... 61 17 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Tahun 2006... 66 18 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Tahun 2006... 69 19 Proporsi RDTRK Cibinong terhadap penggunaan lahan tahun 2006 ... 79 20 Proporsi RDTRK Cileungsi terhadap penggunaan lahan tahun 2006 ... 80


(24)

21 Pertumbuhan NJOP dan NJOP Rata-rata di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Tahun 2006 ...

85

22 Hasil koefisien korelasi ... 89 23 Perbandingan nilai land rent dengan NJOP di Kec. Cibinong dan

Cileungsi Tahun 2007 ... 96

24 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di

Kecamatan Cinong ... 97

24 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di

Kecamatan Cinong ... 97


(25)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal 1 Pola perkembangan aktivitas berdasarkan nilai land rent dan jarak ……. 7 2 Bagan alir kerangka pemikiran ... 27 3 Peta orientasi studi ... 28 4 Bagan alir pendekatan analisis ... 31 5 Proses mengetahui bentuk kemungkinan hubungan spasial ... 36 6 Kebijakan perwilayahan di Kabupaten Bogor ... 44 7 Gapura selamat datang dan Sungai Ciliwung si Kota Cibinong ... 45

8 Peta kepadatan penduduk per desa/kelurahan di Kecamatan Cibinong

tahun 2006... 47 9 Komposisi jenis pekerjaan utama di Kecamatan Cibinong Tahun 2005 .. 48 10 Perkembangan jumlah wajib pajak di Kecamatan Cibinong tahun

2000-2005 ... 49 11 Peta arahan pemenfaatan lahan di Kecamatan Cibinong tahun 1998 –

2008 ... 56 12 Kondisi lalu lintas di jalan layang Cileungsi ... 55 13 Peta kepadatan penduduk di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 58 14 Komposisi jenis pekerjaan utama di Kecamatan Cileungsi tahun 2005 ... 59 15 Perkembangan jumlah wajib pajak di Kecamatan Cilileungsi tahun

2000-2005 ... 60 16 Peta arahan pemanfaatan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2002

-2012 ... 64

17 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Tahun 2006 ... 68 18 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 69


(26)

19 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Tahun 2006 ... 71 20 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 72 21 Peta sebaran pemukiman di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 74 22 Peta sebaran industri di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 75 23 Peta sebaran RTH di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 75 24 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 76 25 Peta sebaran pemukiman di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 78 26 Peta sebaran industri pemukiman di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 .... 78 27 Peta sebaran RTH di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 79 28 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 79 29 Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang RDTRK Cibinong ... 83 30 Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang RUTRK Cileungsi ... 84 31 Peta NJOP rata-rata di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 88 32 Peta NJOP rata-rata di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 89 33 Penggunaan lahan untuk sawah di Desa Tengah Kec. Cibinong dan

Desa Pasir Angin Kecamatan Cileungsi ... 93

34 Penggunaan lahan untuk kebun campuran di Desa Pakansari

KecamatanCibinong dan Desa Setu sari Kecamatan Cileungsi ... 93

35 Penggunaan lahan kosong berupa tempat penampungan barang bekas di Desa Keradenan dan tempat penjualan pasir sungai ...

94

36 Pengunaan lahan kosong berupa tempat berjualan tanaman hias dan tambulampot Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Mekarsari

Kecamatan Cileungsi ... 94 37 Penggunaan lahan untuk perumahan, komplek perumahan Pondok

Sukahati Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Cipenjo Kecamatan

Cileungsi ... 95 38 Penggunaan lahan untuk industri di Desa Limus Nunggal Kecamatan

Cileungsi ... 95


(27)

39 Penggunaan lahan untuk ruko di Desa Cileungsi dan losmen di Desa Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi ...

96

40 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ...

97

41 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ...


(28)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1 Kuesioner ………. 106

2a Penggunaan lahan Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 109 2b Penggunaan lahan Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 109 3a Luas inkonsistensi RDTRK Cibinong tahun 2006 ... 110 3b Luas inkonsistensi RUTRK Cileungsi tahun 2006 ... 110 4a Hasil inventarisasi pemanfaatan lahan yang konsisten dan tidak

konsisten serta NJOP di Kec. Cibinong tahun 2006 ... 111

4b Hasil inventarisasi pemanfaatan lahan yang konsisten dan tidak

konsisten serta NJOP di Kec. Cileungsi tahun 2006 ... 111

5a Luas penggunaan lahan dan intensitas penggunaan lahan serta NJOP rata-rata per poligon di kecamatan Cibinong tahun 2006 ...

113

5b Luas penggunaan lahan dan intensitas penggunaan lahan serta NJOP rata-rata per poligon di kecamatan Cileungsi tahun 2006 ...

113

6 Hasil analis regresi berganda ... 117 7 Hasil analisis korelasi ... 124 8a Pola penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong tahun 2006 ... 126 8b Pola penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 ... 128 9 Hasil uji Mann- Whitney ... 130 10 Format isian pendugaan nilai land rent ... 117

11 Sebaran jumlah penduduk menurut desa/kelurahan dan jumlah responden untuk pendugaan nilai land rent di Kec. Cibinong dan

Cileungsi tahun 2007 ... 118 12 Hasil pendugaan nilai land rent ... 119


(29)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota beserta berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan fisiknya. Peningkatan kebutuhan lahan ini ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang cukup atau memadai. Hal ini disebabkan karena lahan yang tersedia di wilayah perkotaan terbatas, padahal kebutuhannya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Terbatasnya lahan yang tersedia di perkotaan menimbulkan permasalahan lahan kota.

Permasalahan lahan perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya kebutuhan pemerintah daerah akan lahan untuk melaksanakan pembangunan daerah dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kebutuhan manusia akan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan kurang atau tidak tersedianya lahan kota untuk melaksanakan pembangunan kota tersebut akan menghambat pelaksanaan pembangunan kota.

Dilihat dari situasi sekarang ini, perkembangan lahan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk, yang disebabkan pertumbuhan penduduk jauh melampaui daya dukung lahan. Hal ini menyebabkan sering terjadi perubahan tata guna lahan yang tidak pada tempatnya, dan menyebabkan kerugian bagi penduduk maupun lingkungan sekitar. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan prasarana kota cenderung mengakibatkan kenaikan harga yang mendorong kepada pola penggunaan lahan yang kurang efisien. Menurut laporan World Bank (1991) dalam Sudjarwadi (1994), beberapa permasalahan yang dialami Indonesia dalam pembangunan daerah perkotaan diantaranya adalah penggunaan lahan perkotaan yang masih tidak produktif (underutilized) dan belum sesuai dengan potensi terbaik yang dimiliki (its highest and best use).


(30)

2

Penjelasan dari pengaruh pajak lahan terhadap penggunaan lahan perkotaan dapat disederhanakan dengan teori Alonso (Alonso, 1965) mengenai interaksi antara sewa lahan dengan penggunaan lahan. Menurut Alonso, sewa lahan memiliki korelasi positif dengan penggunaan lahan yang ditunjukan dengan penggunaan komersial berada di pusat kota dan penggunaan non komersial menempati wilayah pinggir kota. Dalam penelitian ini sewa lahan diasumsikan sebagai pajak lahan.

Pemerintah melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 telah memberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai penyederhanaan sistem perpajakan atas tanah dan bangunan yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perpajakan, seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Kekayaan, IPEDA, Pajak Jalan serta jenis pungutan lainnya yang dikenakan atas tanah dan bangunan.

Salah satu dasar pertimbangan diberlakukannya undang-undang ini adalah bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak. Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yang ditetapkan serendah-rendahnya 20 % dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pemungutan PBB di Indonesia masih difokuskan pada tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai pembangunan. Bagi pemerintah kabupaten dan kota, PBB merupakan sumber pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan, karena disamping besarnya penerimaan PBB yang tiap tahunnya meningkat juga karena kebijakan pembagian hasil penerimaan PBB yang membagikan sebagian besar penerimaan kepada daerah. Sebagai gambaran, pada Tabel 1 disajikan besarnya kontribusi penerimaan PBB terhadap penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.


(31)

3

Tabel 1 Penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia

1998/1999 1999/2000 2000

No. Uraian Jumlah

(miliar Rp) %

Jumlah (miliar Rp) %

Jumlah (miliar Rp) %

1. 2.

3. 4. 5.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Bagian Daerah

a.Bagi Hasil Pajak (PBB+BPHTB)

b.Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi

Pinjaman Daerah

Sisa lebih tahun sebelumnya

2.246,6 2.538,8 449,8 14.861,1 267,0 539,8 10,8 12,1 2,1 71,1 1,3 2,6 2.765,4 2.892,8 432,1 20.743,7 102,7 1.062,4 9,9 10,3 1,5 74,1 0,4 3,8 2.491,9 2.679,2 437,8 21.950,3 119,2 1.109,8 8,7 9,3 1,5 76,2 0,4 3,8 Jumlah Penerimaan APBD

Kabupaten/Kota

20.905,2 27.999,0 28.788,2

Sumber: Rahardjo et al. (2001), diolah.

Berdasarkan PP No. 16 tahun 2000 tentang pembagian hasil penerimaan PBB antara pusat dan daerah dijelaskan bahwa 10% merupakan bagian pusat dan 90% merupakan bagian daerah yang terbagi lagi menjadi 16,2% untuk provinsi, 64,8% untuk kabupaten/kota dan 9% untuk biaya pemungutan.

Rencana kota dapat berfungsi atau berjalan dengan baik jika ditunjang oleh tersedianya lahan yang memadai untuk menampung berbagai aktivitas atau kegiatan yang direncanakan tersebut. Dengan kata lain, ketersedian lahan di daerah perkotaan harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor pendukung dan sekaligus sebagai faktor kendala bagi implementasi rencana kota. Dalam hal ini, rencana kota saja tidak cukup untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ideal seperti yang dicita-citakan, melainkan dalam mekanisme pelaksanaan rencana kota perlu didukung oleh berbagai faktor penunjang lainnya yang dapat menjamin keefisienan dan keefektifan pelaksanaan rencana kota tersebut, misalnya saja peraturan-peraturan penunjang sebagai mekanisme pengendalian pelaksanaan rencana kota dan lain sebagainya. Salah satu peraturan penunjang tersebut yang akan dibahas disini adalah peraturan mengenai kebijaksanaan lahan perkotaan.

Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota Bogor) memiliki arti penting bagi Kota Metropolitan Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah


(32)

4

menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata. Pada dasa warsa terakhir, Bogor mengalami perkembangan fisik yang cukup tinggi. Sebagai contoh meningkatnya kegiatan industri di sepanjang Jalan Raya Jakarta – Bogor, Kawasan Industri Cibinong serta Cimanggis.

Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Jumlah penduduk wilayah Bogor selama sepuluh tahun terakhir (1995 – 2004) rata-rata peningkatan penduduk sebesar 2,3 % per tahun ( BPS, 2005). Potensi sumber daya lahan tersedia dalam jumlah tetap (fixed), sementara kebutuhan akan ruang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang (terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.

Rumusan Permasalahan

Masalah yang dikemukakan disini adalah pola penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten Bogor yang kurang teratur. Fenomena ini terlihat dari banyaknya penetrasi kegiatan perdagangan terhadap kawasan perumahan sehingga bercampurnya berbagai pengggunaan lahan dalam suatu kawasan (mix used), bahkan sebagian bangunan perkantoran baru Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor didirikan persis di pinggiran Situ Cikaret Kecamatan Cibinong yang tercatat sebagai kawasan lindung. Perubahan jenis penggunaan lahan dengan sendirinya. menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kegiatan. Jika hal ini tidak didukung oleh kesiapan sarana dan prasarana untuk kegiatan tersebut sehingga akan muncul masalah seperti kemacetan lalu lintas dan degradasi lingkungan.

Hal ini menyebabkan perlu adanya pengendalian penggunaan lahan yang bersifat membatasi arah pergerakan penetrasi guna lahan tersebut. Dalam prosesnya


(33)

5

pengendalian dapat bersifat insentif maupun disintensif sesuai dengan tujuan pengendalian untuk setiap daerah. Pengendalian disini bukan berarti melakukan pembongkaran untuk setiap pelanggaran penggunaan lahan tetapi hanya membatasi perubahan yang terjadi.

Dari berbagai di atas maka beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimanakah pelaksanaan pajak lahan selama ini, terutama jika dikaitkan dengan upaya pengaturan dan penataan ruang?

2. Bagaimanakah keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan dan upaya pengendalian pemanfaatan lahannya?

3. Bagaimanakah pengaruh dari pola distribusi dan intensitas penggunaan lahan terhadap pajak lahan?

4. Seberapa besar land rent dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan besarnya pajak lahan?.

Tujuan Studi

Tujuan umum dari studi ini adalah mengetahui permasalahan dari pajak lahan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan.

Sedangkan tujuan khusus dari studi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK.

2. Mengetahui perbedaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/ Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).

3. Mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan . 4. Mengetahui rasio NJOP terhadap land rent.

Manfaat Studi

Studi ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan dalam kerangka kerja


(34)

6

perencanaan tata ruang atau tata guna lahan, terutama bagaimana informasi mengenai PBB dapat mempunyai andil dalam pengendalian pemanfaatan lahan. Juga informasi tentang besarnya land rent dapat menjadi bagian penting dalam suatu kerangka kerja perencanaan tata guna lahan.

Hasil penelitian ini berguna bagi penyusun kebijakan Pemerintah Daerah Bogor, khususnya Bappeda juga instansi lain seperti Dinas Tata Ruang, BPN dan Kantor Pajak berhubungan dengan pengembangan dari sistem informasi lahan.


(35)

7

TINJAUAN PUSTAKA Pajak

Pengertian pajak yang umum dipahami sebagai peralihan kekayaan dari pribadi kepada pemerintah (Soemitro, 1990). Dalam hal ini dilihat dari sudut pandang mikroekonomi yang mengurangi pendapatan seseorang dan mengurangi daya beli individu. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang makroekonomi, pajak yang diterima pemerintah akan dikeluarkan lagi ke masyarakat untuk membiayai kepentingan umum masyarakat, yang akan memberi dampak yang besar pada perekonomian masyarakat. Pajak dapat mempengaruhi harga, pasar, sistem pengupahan, pengangguran, kesejahteraan masyarakat dan sebagainya

Pajak lahan merupakan jenis pajak yang tertua (Renne, 1958). Pajak lahan yang dimaksudkan disini tidak selalu hanya terbatas pada sebidang lahan saja, tetapi juga menyangkut bangunan dan aktivitas yang berada diatasnya serta bagian dalam bumi sampai batas-batas tertentu. Pajak lahan dapat didefinisikan sebagai suatu kontribusi yang wajib dibayarkan oleh penduduk atas lahan dan benda-benda yang berada di atasnya kepada pemerintah untuk menutupi ongkos-ongkos/pengeluaran atas lahan (Haim-Drabkin, 1981).

Pajak adalah kontribusi yang dipungut oleh pemerintah untuk kepentingan umum tanpa timbal balik dalam bentuk tertentu. Sistem perpajakan merupakan kekuatan penting dalam menentukan penggunaan dan kepemilikan lahan. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong konservasi dan penggunaan yang layak dari sumber daya alam. Pajak yang dikenakan pada properti merupakan biaya yang harus dihadapi apabila pemilik lahan ingin mempertahankan kepemilikannya. Apabila terjadi penunggakan pembayaran pajak, maka pemerintah dapat mengambil alih properti yang bersangkutan.

Pajak lahan merupakan pajak lahan khusus dikenakan kepada individu yang mendapatkan manfaat dari lahan yang dimiliki atau ditempati di daerah perkotaan. Pajak lahan kota dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Renne, 1958), yaitu :


(36)

8

1. Pajak kekayaan (property taxes), merupakan pajak lahan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini.

2. Pajak pertambahan nilai atau pajak keuntungan lahan (landprofits taxes atau betterment taxes).

3. Pajak lahan untuk memenuhi tujuan-tujuan perencanaan (taxes to fulfil planning goals).

Dalam penentuan pajak lahan, pajak kekayaan belum optimal digunakan dalam penentuan besarnya pajak lahan untuk individu, kesulitannya adalah karena belum adanya standar yang bisa diterima (Berry, 2004).

Untuk memudahkan pelayanan pada kantor-kantor pajak telah dikembangkan Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP) yaitu: suatu sistem yang terintegrasi untuk mengolah informasi data obyek dan subyek PBB dengan bantuan komputer (Ditjen Pajak, 2006). Kegiatan yang terintegrasi dalam SISMIOP ini meliputi beberapa kegiatan, antara lain:

1. Pengumpulan data melalui pendaftaran, pendataan dan penilaian) 2. Pemberian identitas obyek pajak yang disebut Nomer Obyek Pajak 3. Perekaman data

4. Pencetakan hasil keluaran (SPPT, STTS dan sebainya) 5. Pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan pajak 6. Pelayanan kepada wajib pajak melalui pelayanan satu tempat

Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdiri dari lima sektor, yaitu sektor perkotaan, perdesaan, perkebunan, kehutanan dan sektor pertambangan dan penggalian (Mardiasmo, 2001). PBB termasuk ke dalam jenis pajak obyektif, yaitu beban pajak bertumpu pada obyek pajak yang berupa tanah dan bangunan, sehingga pengenaannya tanpa memperhatikan subyek pajaknya. Akan tetapi, pada pelaksanaannya PBB bersifat toleran dengan menggunakan prinsip keadilan yang mempertimbangkan pada kondisi dan budaya masyarakat.


(37)

9

PBB atau pajak properti di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 yang mewajibkan kepada individu tertentu untuk menyerahkan sebagian penguasaan sumber daya kepada pemerintah.

PBB merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang potensial, namun jenis pajak ini merupakan jenis pajak yang kurang populer karena sulit dalam pengadministrasiannya dan pembebanan pajaknya dapat mengakibatkan penggunaan lahan yang kurang menguntungkan (Sidik, 1993).

PBB merupakan jenis pajak obyektif yang dikenakan atas lahan (bumi) dan bangunan, sehingga secara langsung kebijakan PBB dapat digunakan sebagai instrumen dalam mengatasi permasalahan penggunaan lahan perkotaan khususnya dan pembangunan lahan perkotaan pada umumnya dengan menjalankan kedua fungsi pokoknya yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulasi (Mardiasmo, 2001). Fungsi budgeter merupakan penerimaan PBB dapat dijadikan sumber penerimaan daerah dalam rangka pembangunan sarana dan fasilitas perkotaan, sedangkan fungsi regulasi dimana pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi regulasi ini dapat memberikan beberapa keuntungan diantaranya mengatasi spekulasi tanah, optimalisasi alokasi dan penggunaan lahan serta perencanaan kota (Lerche, 1974).

Kedua fungsi tersebut bekerja secara simultan dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kesederhanaan dapat diharapkan sebagai alat pengendali terhadap guna lahan. Aspek budgeter lebih menjadi tujuan pemungutan, maka PBB tidak dapat lagi dilihat sebagai alat yang signifikan untuk mengatasi masalah penggunaan lahan di perkotaan.

Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) pada bidang lahan dilakukan tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan (Menkeu), kecuali untuk daerah tertentu yang perkembangannya pesat, sehingga mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar ditetapkan setiap satu tahun sekali. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) atau assesment value, yaitu nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar


(38)

10

perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya (Mardiasmo, 2001).

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek PBB adalah tarif tunggal sebesar 0,5% dari NJKP atau efektifnya 0,1% dari NJOP. Tarif yang 0,5% tersebut dihitung berdasarkan ketentuan pasal 6 dari PP No. 46 Tahun 1985. Dengan tarif sebesar ini pemerintah menjamin tidak akan terjadi seorang wajib pajak terpaksa harus menjual tanahnya dikarenakan tidak mampu membayar pajak atas tanahnya, walaupun PBB merupakan pajak yang obyektif yang tidak menghiraukan keadaan wajib pajak. Tarif PBB tersebut adalah flate rate yaitu tarif proposional yang presentasenya tetap atau tidak berubah, namun besar pajaknya akan berbeda-beda, tergantung pada besar kecilnya NJKP.

Kebijakan fiskal yang berkaitan dengan lahan di Indonesia adalah pajak lahan yang menyatu dengan pajak bangunan (Prasetyo, 2005). Kedua perpajakan ini dalam kebijakan fiskal di Indonesia disebut sebagai Pajak Bumi dan Bangunan seperti diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Sebagai pajak lahan khususnya lahan kota, PBB belum diterapkan untuk mengendalikan penggunaan lahan karena dasar penetapan dan metoda penilaiannya belum mengacu pada penggunaan lahan dan rencana penggunaan lahan yang ada.

PBB biasa disebut juga pajak properti mempunyai azas pemungutan khusus yang membedakannya dengan pajak lainnya (Davey dalam Suharno, 2003). Menurutnya, pajak properti mempunyai azas pemungutan yang meliputi kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif, dan kesepakatan politis. Kecukupan berarti bahwa sumber-sumber pajak properti dapat menghasilkan penerimaan yang memadai, sementara prinsip elastisitas mengharuskan pajak properti sejalan dengan perubahan tingkat inflasi dan pendapatan nasional kotor (GNP). Konsep keadilan mensyaratkan kewajiban untuk memikul secara bersama-sama beban pengeluaran pemerintah. Kesepakatan politis diperlukan dalam pengenaan pajak, penetapan struktur tarif dan wajib pajak, serta pengenaan dan penerapan sanksi. Pengenaan pajak properti menyangkut aspek sosial ekonomi pada dimensi


(39)

11

yang luas. Kesalahan dalam menentukan kebijakan dalam pengenaan pajak ini akan mengakibatkan timbulnya gejolak sosial dan politik yang mahal harganya.

Prinsip keadilan dalam pajak properti dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu keadilan horisontal dan vertikal. Menurut Plimmer dan Conellan dalam Prasetio (2005), keadilan horisontal mengandung arti bahwa properti yang bernilai sama dikenakan pajak yang sama (equals treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa nilai properti tinggi harus dikenakan pajak yang lebih tinggi. Ketidakadilan secara vertikal menyebabkan pajak bersifat regresif. Keduanya sama pentingnya dan mengabaikan salah satunya akan mengaburkan esensi keadilan itu sendiri. Keadilan sosial dalam penetapan pajak seharusnya disesesuaikan dengan besarnya penghasilan/kekayaan seseorang, tetapi perhitungan kekayaan seseorang belum optimal diatur dalam penentuan pajak bumi dan bangunan (Douglas, 1997).

Suharno (2003) berpendapat bahwa pengenaan pajak berdasarkan nilai lahan akan mendorong pemilik lahan untuk melakukan improvement di atas lahannya. Pajak ini erat hubungannya dengan aspek tata guna lahan dan perencanaan wilayah serta sebagai alat kontrol spekulasi lahan. Pengenaan pajak yang lebih tinggi terhadap lahan dibandingkan dengan bangunan akan mengurangi pinalti terhadap improvement dan mendorong penggunaan lahan lebih intensif. Kelebihan penggunaan nilai lahan sebagai dasar pengenaan pajak adalah pertama, menyederhanakan sistem karena tidak adanya kaharusan untuk terus menerus memperbaharui nilai suatu bangunan. Kedua, penilaian massal atas lahan dapat lebih sering dilakukan, terutama untuk menyesuaikan dengan dampak inflasi. Ketiga, mendorong penggunaan lahan yang lebih baik, sehingga menghambat upaya penguasaan tanah untuk tujuan spekulasi. Disisi lain kelemahan pajak ini adalah sulitnya proses penilaian terutama dalam memisahkan antara nilai lahan dan nilai total properti, dapat merugikan pemilik lahan karena tidak mampu memanfaatkan lahannya dalam kondisi terbaik (highest and best use), dan kurang mempertimbangkan kemampuan ekonomis wajib pajak.


(40)

12

Menurut Renne (1958), sepanjang lahan tidak diproduksi dan dapat habis dipakai, maka pajak atas lahan tidak akan menghambat suatu produksi dan menimbulkan distorsi ekonomi. Hal ini yang membedakan dengan pajak lain yang menjadikan barang dagangan, kekayaan, penghasilan sebagai obyek pajak. Pajak atas lahan akan menghambat penguasaan lahan tidur dan mendorongnya untuk pembangunan dan penggunaan yang lebih baik. Sebaliknya pajak atas bangunan cenderung akan menghambat penggunaan dan pembangunan suatu bangunan.

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda (Rustiadi et al. (2005). Penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Rustiadi (1996) juga mengacu pendapat Vink (1975) mendefinisikan penggunaan lahan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka meenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan tangan manusia terhadap sumber daya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka memenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink dalam Rustiadi, 1996). Sedangkan menurut PP No. 16 tentang Penatagunaan Tanah, penggunaan lahanh adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Arsyad (1989) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam bentuk yaitu : 1. Penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air

dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat diatas lahan tersebut.

2. Penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan permukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya.


(41)

13

Penggunaan lahan kota yang tercermin dari pola dan intensitas pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh banyak faktor, yang pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa sistem (Chapin dan Edward, 1979), yaitu:

♦ Sistem aktivitas kota (activity system)

Sistem aktivitas kota adalah cara manusia dan lembaganya seperti lembaga rumah tangga, perusahaan, pemerintahan dan lainnya mengorganisasikan berbagai aktivitasnya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan berinteraksi satu dengan lainnya dalam waktu dan ruang. Cerminan aktivitas ini terlihat pada aspek tingkah laku manusia dan lembaganya dalam memanfaatkan lahan yang dilihat dari kebutuhan mereka akan lahan yang dijabarkan dalam skala waktu dan ruang. Selanjutnya Chapin dan Edward membedakan sistem aktivitas ke dalam komponen-komponen aktivitas dalam ruang dan tempat tertentu yang terwujud dalam pola tata guna lahan perkotaan dan komponen aktivitas antara ruang yang melibatkan pergerakan orang, barang dan lain-lain yang terwujud dalam sistem transportasi kota.

♦ Sistem pengembangan lahan (land development system)

Merupakan suatu proses konversi lahan dan proses penyesuaiannya untuk berbagai penggunaan lahan dalam skala waktu dan ruang sesuai dengan sistem aktivitas kotanya. Sistem ini sangat berhubungan dengan penyediaan lahan kota dimana pengembangannya dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi kota dan kemampuan ilmu dan teknologi. Contohnya, lahan yang tadinya tidak dapat digunakan karena keterbatasan fisik, akan dapat dimanfaatkan dengan bantuan ilmu dan teknologi.

♦ Sistem lingkungan (environment system)

Merupakan sistem kehidupan biotik dan abiotik yang menyediakan tempat bagi kelangsungan hidup manusia dan habitat beserta sumber daya lain untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Sistem ini berperan sebagai penyedia lahan dan pendukung kedua sistem lainnya.

Keseluruhan sistem ini saling berinteraksi satu sama lain, tetapi di daerah perkotaan sistem aktivitas kota dan pengembangan lahan lebih mendominasi


(42)

14

dibandingkan dengan sistem lingkungan yang berfungsi sebagai pembatas perkembangan penggunaan lahan saja.

Katagori penggunaan lahan perkotaan dibedakan menjadi katagori perumahan dan komersial (non perumahan) seperti industri dan perdagangan. Disamping harga pasar, besarnya pokok PBB dipengaruhi oleh pola distribusi penggunaan lahan kota menurut berbagai kategori penggunaan (Nasucha, 1995). Secara tidak langsung, besarnya nilai lahan untuk daerah-daerah seperti di pusat kota telah mencerminkan penggunaan lahannya, kecuali pada lahan di kawasan campuran (contoh: kawasan perumahan dengan perdagangan). Hal ini disebabkan karena kawasan campuran terdiri dari berbagai macam kegiatan sehingga tidak adanya keseragaman nilai lahan. Daerah di pusat kota dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas sehingga nilainyapun melonjak, tetapi belum tentu demikian halnya pada kawasan campuran.

Untuk mengetahui intensitas pemanfaatan lahan pada suatu kawasan, dapat dilihat dari indek ketinggian (high index) dan indek intensitas (intensity index) (Murphy dalam Brotosunaryo, 1992). Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pola penggunaan lahan, intensitas pemanfataan lahan dengan harga lahan (Knos dalam Brotosunaryo, 1992).

Perencanaan Tata Guna Lahan

Perencanaan tata guna lahan dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dan kemampuan lahan untuk menunjang kehidupan dan memperhatikan pengendalian pengembangan lahannya (Jayadinata, 2003). Sedangkan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai suatu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat yang adil (PP No. 16 tahun 2004).

Kunci informasi untuk perencanaan tata guna lahan (Chapin dan Edward, 1979) adalah: ekonomi, penduduk, aktivitas dan kualitas ruang, penggunaan lahan, lingkungan dan transportasi – utilitas – komunikasi.


(43)

15

Disamping itu, hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan lahan, antara lain: pasar (market), peraturan (land use control) dan kemilikan. Dalam melakukan pengembangan lahan seperti konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan, maka ketiga aspek tersebut harus terpenuhi karena saling terkait secara keseluruhan.

Dalam ilmu perencanaan, terdapat model-model tertentu untuk pengembangannya seperti penjaluran (zoning) dan penggunaan tanah yang sekarang (existing land use). Pada model penjaluiran, tanah di daerah tertentu dibagi menurut zona penggunaan seperti zona perkantoran, perdagangan, permukiman dan sebagainya. Sedangkan pada model existing land use, lebih memperhatikan peta kemampuan tanah dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

Rencana peruntukan dan penggunaan ruang merupakan alat untuk mengarahkan, membimbing dan membina penggunaan tanah. Maka dari itu, pengembangan wilayah sudah seharusnya mengikuti rencana wilayah tersebut agar tidak terjadi adanya penyimpangan dalam melaksanakan tata guna tanah. Sedangkan manfaat rencana tersebut bagi masyarakat adalah untuk menjadi pedoman dalam memenuhi kebutuhan akan penggunaan tanah yang dikuasainya. Apabila pedoman ini diimplementasikan dengan benar, maka hal-hal berikut ini dapat dihindari:

1. Penggunaan lahan yang kurang bermanfaat

2. Penelantaran tanah pada daerah yang potensial dan strategis

3. Timbulnya keresahan sosial oleh karena masyarakat golongan ekonomi lemah terdesak ke wilayah pinggiran.

Pengendalian Penggunaan Lahan

Pengendalian adalah proses penetapan apa yang telah dicapai yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan akan dilakukan perbaikan dengan mendasarkan pada rencana yang telah ditetapkan (Siregar dan Samadhi, 1988). Kegiatan ini sangat erat kaitannya dengan kaitan perencanaan sebab pada kegiatan pengendalian inilah dapat dilihat apakah yang direncanakan tersebut dapat dicapai atau tidak.


(44)

16

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengendalian, pada prinsipnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sebagai langkah pertama dilakukan pengukuran terhadap kinerja yang telah ditampilkan dalam selang waktu pengendalian tertentu.

2. Kemudian hasil yang dicapai tersebut dibandingkan dengan standar-standar yang telah ditetapkan dalam rencana untuk menentukan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

3. Apabila penyimpangan-penyimpangan yang terjadi masih berada dalam batas-batas yang diijinkan dalam rencana, maka proses manajemen terus dilakukan dan jika tidak maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap rencana yang telah dibuat sehingga proses manajemen berulang kembali.

Dalam kaitannya dengan lahan kota, beberapa aspek yang diharapkan ada dalam pengendalian penggunaan lahan kota, adalah (Gihring. 1999):

1. Menentukan standar rencana yang digunakan sebagai tujuan yang ingin dicapai, yaitu mewujudkan atau mengimplementasikan rencana tata guna lahan seperti yang tertuang dalam produk tata ruang kota yang disahkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

2. Inventarisasi pelaksanaan rencana, dimana dari hasil inventarisasi ini akan diperoleh adanya penyimpangan, yakni dengan mencocokkan antara rencana tata guna lahan dengan eksisting penggunaan lahan.

3. Evaluasi dilakukan terhadap adanya penyimpangan yang terjadi, apa penyebabnya dan mengapa terjadi demikian.

4. Akhirnya mengambil langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki adanya penyimpangan dan kekurangan.

Untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak baraturan , dibanyak negara diterapkan pendekatan manajemen penggunaan lahan dimana beberapa diantaranya yang sangat penting adalah (Haim dan Drabkin, 1981):

1. Menyusun rencana penggunaan lahan tingkat regional dan nasional yang berjangka panjang, termasuk rencana konservasi (perlindungan) lingkungan hidup. Bentuk rencana tersebut adalah rencana komprehensif, dengan tujuan


(45)

17

utama untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan lahan pada area pengembangan kota. Jangka waktu rencana adalah sekitar 20 – 30 tahun. Implementasi rencana membutuhkan adanya koordinasi diantara berbagai tingkat pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal.

2. Menyusun rencana-rencana pengaturan kembali (readjusment) pada area-area tertentu. Tujuan pengaturan kembali adalah menyediakan area-area tertentu yang dibutuhkan negara, yakni area yang sudah dilengkapi fasilitas umum seperti jaringan jalan, tempat parkir, air bersih dan lain-lain. Rencana pengaturan kembali atau readjusment ini dapat dilakukan dengan cara pengamplingan tanah dengan mendapatkan kompensasi (ganti rugi), baik berupa uang atau lahan pengganti di area yang sama atau lahan pengganti di lokasi berbeda.

3. Kontrol penggunaan lahan secara khusus pada area yang sudah ditunjuk. Sistem ini dilakukan dengan cara menetapkan area-area tertentu sebagai prioritas, yang disertai dengan aturan-aturan seperti ijin lokasi dan ijin bangunan di atas lahan area tersebut.

4. Menetapkan penggunaan lahan yang sesuai menurut rencana pembangunan. Sistem ini merupakan pengendalian penggunaan lahan dengan cara penetapan dan dengan sedikit memaksa pembangunan di atas lahan-lahan yang sudah teralokasi. Di atas lahan-lahan kososng tersebut (sudah teralokasi tetapi belum terbangun) dikenai pajak yang tinggi, terutama didaerah perkotaan. Tujuannnya adalah agar segera dibangun, sehingga sistem ini disebut juga kontrol atau cara pengendalian yang positif.

5. Aturan-aturan untuk mereka yang memiliki lahan lebih dahulu (pre emption rights). Dimana maksud dari aturan ini adalah kalau si pemilik/penguasa lahan bermaksud akan menjual lahannya, maka sebagai pembeli yang mendapat prioritas adalah Negara, baru kalau Negara atau pemerintah tidak berminat maka bias dijual ke pihak swasta atau perorangan. Untuk hal yang demikian terdapat aturan-aturan perundangannya. Tujuan dari system ini adalah


(46)

18

membatasi atau mengendalikan harga pasar tanah, tanpa pemerintah harus membeli tanah yang luas terlebih dahulu dalam jangka pendek.

6. Pengambil alihan lahan untuk keperluan pemerintah; secara umum lahan bias diambil alih oleh pemerintah dengan tujuan untuk kepentingan umum atau demi alasan kesejahteraan masyarakat luas.

Sedangkan untuk di Indonesia, pajak lahan sebagai kebijakan insentif dan disinsentif atau sebagai salah satu instrumen pengendalian konversi lahan sudah dilakukan di Kabupaten Badung Provinsi Bali (Pemda Kab. Badung, 2007). Pemerintah Kabupaten Badung memberikan pembebasan untuk membayar pajak bagi pemilik lahan yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan jalur hijau. Selain itu memberikan keringanan pajak dan bantuan modal terhadap semua subak yeh yang ada di Kabupaten Badung. Dengan demikian selama dari tahun 2002 sampai dengan 2006 luas alih fungsi lahan pertanian ke pertanian semakin kecil persentasenya.

Hubungan Penggunaan Lahan dengan Land Rent

Nilai lahan adalah ukuran dari kemampuan lahan untuk memperoduksi sesuatu yang secara langsung dapat memberikan nilai ekonomis (Nasucha, 1995). Selanjutnya Rahman et al (1992) menyatakan bahwa nilai lahan adalah hasil pengukuran yang didasarkan kepada kemampuan lahan secara ekonomis yang berhubungan dengan produktivitas dan nilai strategis ekonomisnya. Sebagai ukuran produktivitas misalnya tingkat kesuburan, sedangkan ukuran strategis ekonomisnya adalah letaknya secara langsung.

Salah satu teori lokasi yang menjelaskan mengenai pola penggunaan tanah adalah model Alonso (1965) yang menggunakan komponen kunci yaitu aksesibilitas dan hubungannya dengan biaya transportasi. Model Alonso dikembangkan atas dasar model Von Thunnen tentang pola pemanfaatan lahan pertanian. Menurut Von Thunnen, intensitas penggunaan lahan akan berkurang secara berbanding lurus dengan jarak dari pusat kota, atau dengan kata lain penggunaan lahan akan semakin intensif apabila jaraknya semakin dekat dari pusat kota.


(47)

19

Dalam ekonomi sumberdaya lahan dikenal istilah rent. Suatu bidang lahan sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis rent yaitu: (1) Richardian Rent; yaitu yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan; (2) Locational Rent; yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan; (3) Ecological Rent; yaitu yang menyangkut fungsi ekologi lahan dan (4) Sociological Rent; yaitu yang menyangkut fungsi sosial lahan (Nasution dan Rustiadi, 1990).

Land rent sesungguhnya merupakan cermin dari harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar. Namun dalam kenyataan land rent yang mencerminkan mekanisme pasar selama ini hanya menyangkut Richardian Rent dan Locational Rent, sementara Ecological Rent dan Sociological Rent tidak sepenuhnya terjangkau oleh mekanisme pasar.

Rustiadi et al. (2005) menyatakan bahwa pola perkembangan dari suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor land rent dan jarak, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Pola perkembangan aktivitas berdasarkan nilai land rent dan jarak Sumber : Rustiadi et al. (2005)

Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa aksesibilitas menjadi prioritas utama sehingga lokasi di pusat kota dihargai tinggi, sedangkan untuk lokasi yang semakin jauh dari pusat kota dihargai rendah karena memiliki tingkat aksesibilitas yang lebih rendah. Dengan adanya kecenderungan ini, seolah-olah terbagi tiga pola pemanfaatan tanah terhitung dari pusat kota, yaitu perdagangan, permukiman dan pertanian.

LR

Pusat kota Jarak

A B

C D

E

A : Jasa/komersil B : Industri manufaktur yang berorientasi pasar

C : Perumahan D : Pertanian intensif E : Pertanian ekstensif


(48)

20

Mather dalam Pramono (2006) menyatakan bahwa secara sederhana konsep land rent (economic land rent) mengacu pada nilai bersih dari return yang diperoleh dari penggunaan lahan pada suatu periode waktu. Hal ini setara dengan pendapatan bersih yang merupakan sisa dari pendapatan kotor (gross income) dikurangi biaya produksi. Pendapatan kotor tergantung pada volume produksi dan harga per unit produk. Harga pada gilirannya tergantung pada hubungan antara permintaan dan penawaran.

Selain itu lahan merupakan multiactivities area dan multi manfaat yang akan menentukan tingkat persaingan dan harga atau land rent, terutama lokasi-lokasi yang mempunyai tanah subur, iklim yang baik dan dibawah pengaruh lokal eksternal ekonomi yang kondusif. Harga lahan menjadi ukuran tingginya permintaan dan persaingan lahan yang mencapai puncaknya di daerah perkotaan (Rustiadi et al. 2005).

Penggunaan lahan yang paling efisien secara ekonomi adalah tingkat penggunaan yang mencapai hasil manfaat maksimal yang dapat diperoleh. Tujuan penggunaan ini dicapai dengan cara mengalokasikan lahan untuk berbagai keperluan yang bersaing, diantara alternatif penggunaan lahan yang mempunyai nilai lebih atau surplus (rent) dari satuan lahan.

Hubungan antara land rent dengan penggunaan lahan menurut Saefulhakim dalam Wafda (2005) adalah setiap pengguna lahan akan berusaha memilih pola penggunaan lahan yang dapat memaksimumkan land rent yang akan dihasilkannya, namun dibatasi oleh beberapa kendala yang dihadapinya yang antara lain terkait dengan: harga pasar output, harga pasar input, produktifitas output, efisiensi input, luas lahan yang tersedia, ketersediaan modal dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Komponen sewa lahan dapat diasumsikan sebagai pajak lahan yang harus dibayarkan oleh setiap pengguna lahan. Maka dari itu, model ini menggambarkan keterkaitan antara penggunaan lahan dengan pajak lahan di daerah perkotaan yang dihubungkan oleh jarak dari pusat kota.


(49)

21

Jenis kegiatan yang berbeda akan memperlihatkan tanggapan yang berbeda karena tidak semua kegiatan memiliki kepekaan yang sama terhadap perbedaan tingkat aksesibilitas. Pada penggunaan komersial, prinsip yang digunakan adalah semakin dekat dengan pusat kota berarti semakin dekat dengan distributor dan pembeli sehingga biaya transportasi yang harus dikeluarkan semakin rendah. Hal ini berdampak pada terhadap peningkatan keuntungan yang dihasilkan. Secara umum, penggunaan komersial mendapatkan keuntungan lebih banyak dari tingkat aksesibilitas yang tinggi dibandingkan dengan perumahan. Ini berarti sektor perdagangan dapat memberikan penawaran yang lebih tinggi untuk lahan yang berada di dekat pusat kota.

Model ini tidak dapat menjelaskan motivasi pemilihan lokasi berdasarkan kriteria gengsi atau simbolisme tetapi hipotesis bahwa terjadinya penurunan nilai dan harga tanah serta intensitas pemanfaatan lahan dari pusat kota telah dibuktikan secara teoritis. Selain itu, model Alonso menggunakan asumsi bahwa hanya terdapat satu pusat kota atau monosentris. Hal ini merupakan kelemahan dari teori Alonso karena pada dasarnya kota memiliki lebih dari pusat kota.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui SIG, berbagai informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi (proyeksinya).

Pengertian SIG ini sendiri telah diusulkan oleh banyak ahli dan mempunyai arti yang relatif sama. Aronoff (1989) dalam Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistem informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi dan meganalisis data serta memberi uraian. Sedangkan menurut Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan


(50)

22

kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berefensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.

Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang berdasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persayaratan tertentu. Data sebagai masukan harus numerik, artinya data masukan apapapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, data lain adalah data atribut (Dulbahri, 2003).

Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke sistem lainnya tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yakni: fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (Prahasta, 2002).

1. Fungsi analisis spasial, antara lain: a. Klasifikasi dan Reklasifikasi

Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. b. Network

Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik atau garis-garis sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan dalam bidang transportasi dan utility.

c. Overlay (tumpang tindih)

Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya.

2. Fungsi analisis atribut, yaitu:

a. Operasi dasar basis data, yang mencakup: membuat basis data baru, menghapus basis data, menghapus tabel basis data, mengisi dan menyiapkan data ke dalam tabel, membaca dan mencari data, mengubah dan memperbaiki data yang terdapat dalam tabel dan lain-lain.


(51)

23

b. Perluasan operasi basis data, yang mencakup: membaca dan menulis baisis data dalam sistem basis data yang lain, dapat berkomunikasi dengan sistem basis data yang lain, dapat menggunkan bahasa basis data standar structured query language (SQL) dan operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan dalam sistem baisis data.

Citra Satelit Resolusi Tinggi

Suatu wilayah baik di pedesaan maupun di perkotaan menampilkan wujud yang rumit, tidak teratur dan dimensi yang heterogen. Kenampakan wilayah perkotaan jauh lebih rumit dari pada kenampakan daerah pedesaan. Hal ini disebabkan persil lahan kota pada umumnya sempit, bangunannya padat, dan fungsi bangunannya beraneka. Oleh karena itu sistem penginderaan jauh yang diperlukan untuk penyusunan tata ruang harus disesuaikan dengan resolusi spasial yang sepadan (Martono, 2006). Untuk keperluan perencanan tata ruang detail, maka resolusi spasial yang tinggi akan mampu menyajikan data spasial secara rinci.

Untuk keperluan klasifikasi penutupan lahan dapat digunakan berbagai citra, dimana ada beberapa citra yang mempunyai resolusi tinggi sehingga mampu menunjukan perbedaan antara perumahan teratur dengan perumahan tidak teratur atau pemukiman padat dan pemukiman tidak padat. Berbagai data satelit resolusi tinggi dengan resolusi spasial 0.7-10 m dapat digunakan untuk memperoleh data penggunaan lahan dengan tingkat kerincian skala 1 : 5 000 atau 1 : 10 000. Citra satelit resolusi tinggi yang dapat digunakan antara lain SPOT 5, Ikonos, ALOS, QuickBird, Formosat 2, Orbview 3 dan lain-lain (Martono. 2006).

Contoh citra resolusi tinggi adalah Citra Ikonos dan Citra ALOS-AVNIR. Citra merupakan gambaran yang terekam oleh oleh sensor lainnya, (Hildamus 2002). Sedangkan kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani (Greek) ”Eye-Kohnos” yang artinya sama dengan citra (imag)e. Ikonos merupakan nama satelit sekaligus sensor yang digunakan untuk merekam gambar/obyek permukaan bumi. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit Sun-synchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 kali per hari, atau setiap 98 menit.


(52)

24

Saluran spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multispektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Saluran mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian inframerah dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi. Resolusi Ikonos yang tinggi tersebut memberikan peluang untuk dapat mendeteksi penggunaan lahan secara rinci. Rekaman citra satelit Ikonos menggunakan saluran atau panjang gelombang pankromatik (sinar tampak) dan saluran infra merah dengan pantulan (infra merah dekat) kombinasi saluran menghasilkan warna palsu yang dapat digunakan untuk identifikasi permukaan bumi secara rinci.

Citra Ikonos dapat dikoreksi geometri secara presisi, sehingga layak untuk pembuatan peta dasar maupun peta tematik. Resolusi spasial citra Ikonos pankromatik 1 meter, memungkinkan pembuatan peta skala dengan besar yaitu peta skala 1 : 2.000, sedangkan citra Ikonos multispektral 4 meter memungkinkan membuat peta skala 1 : 5.000 dengan ketelitian pemetaan lebih dari 95%. Hasil pengecekan lapang di berbagai tempat dapat meningkatkan ketelitian peta menjadi 100 % dengan kaidah kartografi standar (brender dalam Yamani, 2004). Lebih jelasnya spesifikasi Citra Ikonos dapat dilihat pada Tabel 2.

Advanced Land Observing Satellite (ALOS) adalah salah satu dari beberapa satelit bumi yang dimiliki oleh Jepang, merupakan pengembangan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advenced Earth Observing Satellite (ADEOS). Ada 3 jenis sensor yang digunakan oleh Citra ALOS, dimana salah satunya adalah sensor Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2), merupakan pengganti dari sensor AVNIR yang telah diluncurkan sekitar Bulan Agustus tahun 1996 (Utaminingsih, 2006). Sensor ini bisa menembus awan, kabut, dan asap sehingga tangguh untuk segala cuaca, khususnya sangat cocok untuk dioperasikan di wilayah tropis seperti Indonesia. Dengan resolusi yang mencapai 10 m, dan lebar sorot yang mencapai 70 km, sehingga AVNIR-2 ini baik digunakan untuk keperluan pengetahuan mengenai penutupan lahan juga pengamatan atas area bencana. Spesifikasi Citra ALOS dapat dilihat pada Tabel 3.


(53)

25

Tabel 2 Spesifikasi Citra Ikonos

Waktu Peluncuran 24 September 1999

Lokasi Peluncuran Venderberg Air Forces Base, California

Resolusi Resolusi setiap pita spektral:

• Pankromatik : 1 meter (nominal <26º off nadir)

• Multispektral : 4 meter (nominal < 26º off nadir)

Respon Spektral Citra • Pankromatik : 0,45 – 0,90 mikron

• Multispektral : 4 meter (nominal < 26º off nadir)

Lebar Swath dan Ukuran Scene

• Lebar Swath : 13 km pada nadir

• Areas of interest: Citra tunggal 13 km x 13 km

Ketinggian 423 mil /681 km

Inklinasi 98,1º

Kecepatan 4 mil per detik/ 7 km per detik

Waktu Orbit 98 menit

Tipe Orbit Sun-synchronous

Sumber: Hildanus, 2002

Tabel 3 Spesifikasi Citra ALOS

Waktu Peluncuran 24 januari 2006

Lokasi Peluncuran Tanegashima Space Center, Jepang

Tipe Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurrent

Ketelitian 2,0 x 10-4 degree (dengan GCP)

Ketinggian 691,65 km (di khatulistiwa)

Inklinasi 98,16 deg

Pengulangan 46 hari

Sub siklus 2 hari

Resolusi Spasial 10 m

Sensor • Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo

Mapping (PRISM)

Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

type 2 (AVNIR-2)

Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)


(54)

26

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Untuk beberapa kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di kabupaten Bogor, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah dijabarkan menjadi Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) atau Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), sehingga lebih operasional dan dapat dijadikan pegangan bagi pelaksanaan pembangunan di lapangan serta dapat digunakan oleh instansi vertikal di daerah, swasta maupun masyarakat sebagai arahan tata guna tanah.

Walaupun sudah ada produk rencana kota dan telah disyahkan dalam bentuk Peraturan Daerah, upaya untuk mengimplementasi produk rencana kota masih dijumpai hambatan dan bahkan rencana guna lahan dan intensitas pemanfaatannya sering tidak terkendali dan keluar dari konteks rencana yang telah digariskan. Kompleksnya permasalahan lahan di perkotaan menyebabkan diperlukannya suatu perangkat kebijaksanaan lahan perkotaan. Perangkat kebijaksanaan lahan perkotaan terdiri dari beberapa macam, mulai dari perencanaan tata guna tanah, sistem perpajakan lahan, sampai kepada pencabutan hak atas tanah dan sistem pembebasan tanah. Salah satu perangkat kebijaksanaan lahan perkotaan yang menjadi fokus utama disini adalah pajak lahan yang juga dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak atas obyek pajak bumi atas obyek pajak bangunan seperti yang tertera pada UU No. 12 Tahun 1994. Secara teoritis fungsi PBB tidak berbeda dengan fungsi pajak pada umumnya dan pajak tanah khususnya, yaitu sebagai sumber dana bagi pemerintah dan dimaksudkan untuk merangsang/ mengendalikan kegiatan ekonomi negara. Selain itu, khusus bagi PBB terdapat fungsi lain yaitu sebagai pengendali penggunaan lahan atau sebagai pengendali harga tanah terutama di daerah perkotaan. Melihat sistem dan tujuan dari PBB, tampaknya pajak ini belum berjalan sebagai alat pengelolaan tanah.

Prospek pajak lahan kota sebagai pengendali harga tanah dan pengendali tata ruang akan ditinjau dari aspek permasalahan penggunaan tanah dan nilai tanah.


(55)

27

Kedua aspek tersebut akan mempengaruhi penerapan pajak lahan kota sebagai alat pengendali harga tanah dan tata ruang perkotaan. Diagram kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran

Lokasi dan Waktu Studi

Lokasi studi yang dipilih yaitu Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor, dengan pertimbangan kedua kecamatan tersebut telah memiliki dokumen Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Umum tata Ruang Kota (RUTRK). Selain itu ke dua kecamatan tersebut cenderung mempunyai karakter penggunaan lahan perkotaan yang bercampur antara satu penggunaan dengan penggunaan lahan lainnya (mix used).

Analisis dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas


(56)

28

Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari Bulan Oktober 2006 sampai dengan Bulan April 2007.

Gambar 3 Peta orientasi studi

Data dan Sumber Data

Data sekunder diperoleh dari studi literatur terhadap hasil-hasil penelitian, laporan, peta dan data statistik yang diperoleh dari instansi pemerintahan, antara lain: Kantor Pajak, Bappeda, BPN, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Kecamatan, BPS, Bakosurtanal dan Biotrop. Khusus untuk penggunaan lahan digunakan hasil interpretasi Citra Ikonos hasil liputan Desember 2004 untuk Kecamatan Cibinong dan Citra ALOS-AVNIR bulan September 2006 untuk Kecamatan Cileungsi.

Untuk mengetahui permasalahan mengenai pajak lahan dilakukan wawancara mendalam (indept intervieuw) terhadap aparatur yang dapat dipercaya pada 5 instansi yang berhubungan dengan pajak lahan dan penggunaan lahan. Instansi

Kec. Cileungsi Kec. Cibinong


(1)

Jenis Penggunaan Lahan : Lahan Kosong

No Nama Lokasi

Jenis Penggunaan Lahan Kosong

NPV (Rp) 1 Indra Pokdok Rajeg Tambulampot 17 255 2 Jaya Pabuaran Penampungan 9 680

3 Nuradi Tengah parkir 533

4 Asep Pakansari Tanaman Hias 2 346 5 Jamil Ciriung Penampungan 9 877 6 Jajang Cirimekar Penampungan 9 886

7 Andi Sukahati Tanaman Hias 875

8 Saefulloh Keradenan Tanaman Hias 1 099 9 Miscbah Nanggewer Tambulampot 15 654 10 Anwar Nang. Mekar Penampungan 11 239

Rata-rata 7 844

Jenis Penggunaan Lahan : Sawah

No Nama Lokasi NPV

(Rp)

1 Kunang Keradenan 2 273

2 Ambriaso Nanggewer 2 271

3 Cece Nanggewer 2 988

4 Juang Pakansari 1 980

5 Junarko Pakansari 2 433

6 Purwadi Sukahati 2 765

7 Marimin Harapan Jaya 2 988 8 Burhan Cirimekar 3 415

9 Thaib Cirimekar 2 657

10 Nurjaya Ciriung 3 564

Rata-Rata 2 733

Jenis Penggunaan Lahan : Kebun Campuran

Nama Lokasi NPV

(Rp)

1 Enday Pabuaran 897

2 Maman Pondok Rajek 1 236

3 Rohana Tengah 2 171

4 Hasan Tengah 675

5 Balik Cibinong 1 021

6 Mursyid Cibinong 2 588

7 Diaz Sukahati 578

8 Onah Pakansari 1 765

9 Arifin Nangg. Mekar 2 546

10 Rianto Ciriung 3 471


(2)

Jenis Penggunaan Lahan : Hotel/Losmen/Rumah Makan

No Nama Lokasi Jenia NPV

(Rp)

1 Badri Ciriung Hotel 217 437

2 Muclisin Pabuaran Hotel 156 711

3 Muharam Ciriung Losmen 56 239

4 Jatmika Nanggewer Losmen 25 746

5 Rudi Nang. Mekar Losmen 31 729

6 Anto Tengah Rumah Makan 416 745

7 Jamaluddin Tengah Rumah Makan 75 312 8 Masyara Pakansari Rumah Makan 25 311 9 Lusiani Keradenan Rumah Makan 16 785 10 Juni Cibinong Rumah Makan 19 647

Rata-rata 104 166

Kecamatan Cileungsi

Jenis Penggunaan Lahan : Perumahan

No Nama Lokasi Pekerjaan NPV

(Rp) 1 Fahri Limus Nunggal Swasta 132 215 2 Nina Limus Nunggal Swasta 145 657 3 Tika Mekar Sari Buruh Industri 21 365 4 Rudianto Cileungsi Kidul Ekspatriat 189 988 5 Sigit Cileungsi Kidul Swasta 146 466

6 Jajang Jati sari Swasta 75 527

7 Kurnia Jati sari Swasta 153 775

8 Amin Setu Sari PNS 49 395

9 Bowo Cileungsi Buruh Industri 35 685

10 Miftahul Gandoang Swasta 76 794

Rata-rata 92 686

Jenis Penggunaan Lahan : Industri

No Nama Lokasi Jenis Industri NPV

(Rp)

1 Marzuki Dayeuh Plastik 124 558

2 Iskandarsyah Dayeuh Kimia 670 572

3 Carlos Dayeuh Pakaian Jadi 356 744

4 Yun Yun Gandoang Kimia 613 791

5 Kaliki Gandoang Penerbitan 78 454

6 Petrus Cileungsi Kidul Kertas/Percetakan 189 342 7 Mardi Cileungsi Kidul Barang dari Logam 1.129 984 8 Indrajit Limus Nunggal Alat-alat dari kayu 79 441 9 Masful Limus Nunggal Minuman 112 562 10 Mei Ying Limus Nunggal Makanan 276 398


(3)

Jenis Penggunaan Lahan : Komersial

No Nama Lokasi Jenis

Komersial

NPV (Rp)

1 Kunardi Limus Nunggal Bengkel 561 249

2 Andra Limus Nunggal Warnet 25 378

3 Muhammad Cileungsi Toko 129 427

4 Marsiyah Cileungsi Toko 98 767

5 Yuniati Cileungsi Kidul BPR 247 355

6 Marliah Mampir Toko 124 623

7 Sasia Limus Nunggal Gudang 198 762

8 Nano Gandoang Toko 117 981

9 Ato Mekar Sari Bengkel 56 347

10 Jazuli Pasir Angin Toko 78 566

Rata-rata 163 845

Jenis Penggunaan Lahan : Lahan Kosong

No Nama Lokasi

Jenis Penggunaan Lahan Koson

NPV (Rp)

1 Jayeng Mampir Penampungan 857

2 Deni Mampir Tanaman Hias 2 184 3 Masrifah Setu Sari Tanaman Hias 2 369 4 Munaroh Cipeucang Bambu Potong 675 5 Asep Cipeucang Bambu Potong 1 029

6 Sukendar Gandoang Pasir 2 855

7 Aman Makar Sari Pasir 3 876

8 Dimyati Mekar Sari Tambulampot 1 764 9 Mindar Pasir Angin Pasir 2 498

10 Iwan Pasir Angin Pasir 4 378

Rata-rata 2 248

Jenis Penggunaan Lahan : Sawah

No Nama Lokasi NPV

(Rp) 1 Masrohi Mekar Sari 2 317 2 Didin Mekar Sari 2 438 3 Cepi Pasir Angin 3 175 4 Arito Pasir Angin 2 674

5 Karmas Mampir 1 981

6 Ajun Setu Sari 2 172

7 Maruni Setu Sari 2 974

8 Parodi Jati Sari 2 185

9 Lilih Cipenjo 2 655

10 Jamhuri Cipenjo 2 783


(4)

Jenis Penggunaan Lahan : Kebun Campuran

Nama Lokasi NPV

(Rp)

1 Junaedi Cipenjo 2 891

2 Amar Cipenjo 1 764

3 Jamari Dayeuh 2 156

4 Sundari Mampir 982

5 Cie Jhong Mekar Sari 2 712 6 Mintarsih Mekar Sari 3 467 7 Sumanto Setu Sari 2 716 8 Sumardi Setu Sari 2 153 9 Jarkasih Pasir Angin 2 578 10 Wahyudin Pasir Angin 1 798

Rata-rata 2 321

Jenis Penggunaan Lahan : Hotel/Losmen/Rumah makan

No Nama Lokasi Jenis NPV

(Rp) 1 Sumpeno Cileungsi Rumah Makan 165 346

2 Lai Fing Cileungsi Hotel 312 769

3 Sukarno Cilungsi Kidul Rumah Makan 237 691 4 Aep Cilungsi Kidul Rumah Makan 98 754

5 Nani Mekar sari Losmen 159 677

6 Indri Gandoang Rumah Makan 167 389

7 Lisnawati Mampir Hotel 315 567

8 Joko Setu Sari Losmen 227 644

9 Unang Setu Sari Rumah Makan 119 547

10 Liswoko Limus Nunggal Losmen 186 236 Rata-rata 199 062


(5)

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya terdapat

beberapa poin yang bisa diambil sebagai kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1.

Inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RDTRK di Kecamatan Cibinong

sebagian besar terjadi pada kawasan pertanian yang beralih fungsi menjadi

kawasan terbangun sebesar 303.4 ha, dan kawasan lindung berubah menjadi

kawasan terbangun sebesar 246.6 ha. Sedangkan di Kecamatan Cileungsi

inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagian besar terjadi kawasan permukiman

yang berubah menjadi industri sebesar 191.9 ha dan kawasan lindung menjadi

kawasan terbangun sebesar 109.8 ha.

2.

Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak

konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. PBB tidak memberlakukan NJOP

yang berbeda antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten

dengan arahan pemanfaatan lahan. Besarnya NJOP yang diberlakukan kepada

masing-masing penggunaan lahan tidak dibedakan menurut jenis penggunaan

tertentu, maka besar pokok PBB rata-rata per pengguna lahan kurang lebih sama

3.

Penggunaan lahan berupa industri dan perdagangan dan jasa memberikan

pengaruh terhadap pajak lahan, sedangkan intensitas bangunan berupa ketinggian

bangunan 4 – 24 m dan KDB 50 – 75 % juga ada pengaruhnya terhadap pajak

lahan.

4.

Land rent

tertinggi di kedua kecamatan adalah industri yaitu sebesar

Rp 414 246/m²/th di Kecamatan Cibinong dan Rp 363 185/m²/th di Kecamatan

Cileungsi, sedangkan land rent yang terendah untuk kebun campuran di

Kecamatan Cibinong sebesar Rp 1 477/m²/th dan lahan kosong di Kecamatan

Cileungsi sebesar Rp 2 248/m²/th. Terdapat perbedaan yang cukup besar antara

nilai

land rent

non pertanian dan pertanian. Nilai

land rent

tersebut dapat

dipertimbangkan sebagai dasar untuk menetapkan pajak lahan


(6)

Saran

1.

Tarif pajak yang dikenakan pada obyek pajak bumi dan obyek pajak bangunan

sebaiknya bersifat progresif dan tidak berlaku tunggal. Yang dikenakan tarif

pajak progresif adalah obyek bumi yang tanahnya dibiarkan kosong oleh

pemiliknya dan memanfaatkan lahan yang tidak sesuai dengan rencana

pemanfataan lahan. Sedangkan untuk obyek pajak bangunan, yang dikenai tarif

progresif adalah bangunan yang menyalahi rencana intensitas pemanfaatan lahan,

seperti menyalahi garis sempadan bangunan, menyalahi koefisien dasar bangunan,

koefisien lantai bangunan dan ketinggian bangunan.

2.

Pada kawasan pusat kota yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan dan

industri, dikenakan tarif pajak bumi dan bangunan yang lebih tinggi dibandingkan

wilayah sekitarnya agar pemanfaatan lahan di kawasan tersebut dapat lebih

efisien. Tarif bumi yang lebih tinggi akan menyeleksi jenis-jenis penggunaan

lahan yang akan berlokasi di kawasan pusat kota, sedangkan tarif bangunan yang

tinggi diharap dapat menyeleksi intensitas penggunaan lahan di kawasan tersebut.

3.

Perlu dilakukan perbaikan terhadap metode penetapan PBB dari metode pajak

kekayaan (

property taxes

), yang ditentukan berdasarkan nilai jual obyek pajak

pada saat ini (

existing

), menjadi metode gabungan antara metode pajak kekayaan

dengan perencanaan (

tax to fulfil planning goals

). Implikasinya adalah penetapan

PBB harus dilakukan dengan mempertimbangkan nilai jual obyek PBB di masa

yang akan datang sesuai dengan kedudukan dan fungsi obyek PBB dalam rencana

kota.

4.

Pelaksanaan PBB dapat diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, atau

setidak-tidaknya peran pemerintah kabupaten/kota dapat lebih ditingkatkan. Tidak

hanya bertugas mengumpulkan PBB tetapi juga dalam penentuan besar pokok

PBB yang disesuaikan dengan kebijaksanaan tata ruang kota yang ada.