"Illegal Logging" dalam Tinjauan "Economic of Crime"

Hariadi Kartodihardjo dan Sudarsono Soedomo

+

PENXJRIAN kayu di Pulau Jawa terjadi sejak tip
abad yang lalu, yaitu sejak dilarangnya masyarakat
menebang pohon jati oleh kongsi dagang Belanda pada
tahun 1670. Pelarangan itu tidak pernah menghentikan
masyarakat lokal memanfaatkan hutan, dan terus mep ~ b u l k a nkonflik antara penguasa hutan dan masyarakat, sedernikian klise dan rutinnya hingga akhunya
menjadi suatu tradisi sarnpai kini.
ALAM tataran sosial telah pula teljadi
pen$mgku--balikkan nilai-nilai, melacgengkan
apa
yang oleh Heri Santoso disebut
-sebagai "perban&tan sosial".
Ilukan hanya itu, melainkan te-1ah pule membiarkan perlawanan rakyat terhadap para pe-

nyelenggara kehutanan-terutaina yar~gdilakukan dian-diam, anonim, sabotase penanaman hutan kecil-kecilan, mencuri
kayu, maupun gosip dan gunjingar, ternadap petugas peme:
rintah (Santoso, 2004).
Serupa dengan apa yang terjadi di Entikong dan Badau,

daerah perbatasan K-antan

dan Serawak. Perjudian "kolok-kolok" biasa di lakukan di
markas penebang kayu, lokasi
prostitusi di mana-mana, sehari-hari ditemukan warga sipil
membawa senjata (lantak) dan
pistol rakitan, tirnbul wilayahwilayah eksklusif yang hanya
dapat dimasuki orang-orang
tertentu, pencurian kayu menjadi ha1 biasa, yang semua itu
seperti menggambarkan suatu
negeri tanpa pemerintahan. Dalam suatu lokakarya di Putussibau yangpernah penulis ikuti,
tiba-tiba makan siang dilaksanakan di Lubuk Hantu, Malaysia, dan kabarnya cukong yang
membayarnya. Sementara itu,
makan siang yang dihidangkan
panitia maiah tidak dirnakan.
Munglun sesuatu yang bodoh
jika menanyakan apakah tindakan penebangan liar (illegal
logging) merupakan tind&an
kriminal. Tetapi, ketidabelasannya dapat menurnpullran kebijakan yang akan dijalankan.


Ansel M Sharp dan kawan-kawan dalam bukunya, Economics of Social lssues,menyebutkan
bahwa pijakan kriminal sering
kali tidak cukup jelas. Karenanya, upaya penyelesaian yang
hanya bertumpu pada legalitas
sering kali gaga1 karena biaya
transaksinya dapat melebihi
manfaat yang diperoleh.
Dengan tolok ukur norma
masyarakat urnurn, mungkin
yang dimaksud kriminal salah
satunya adalah mencuri atau
mengambil barang yang bukan
haknya. Tetapi, kegiatan "mencuri" secara aktual sering kali
tidak serta-merta dapat dikategorikan dalam konteks moralanoral dan legal-ilegal. %gantung pandangan kelampck
masyarakat tertentu yang lebih
mempunyai ikatan keseharian
dan pengaruh langsung dalam
menentukan baik dan buruk
dalam transaksi-transaksi ekonomi politik. Dua contoh di atas
mernve~ifikasikonsep itu.


-

Para pekerja penebangan kayu ilegal di hutan pedalaman Sebangau, Kalimantan Tengah, sedang
iapkan re1 kayu untuk rnengeluarkan kayu-kayu dari dalam hutan menuju ke karial (pant buatan). Zaman
saat hutan ini dikelola oleh perusahaan pemegang hak penpahaan hutan, re1 yang mereka buat benar-benar
si untuk kereta api.

" ~ e m b u aRe1
t

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Kriminal d
rintahan
Penjunglo
yang berlak
daklah men
kat. Ia memt
an melalui

sosial, e k o ~
panjan
pemerintah
m e a n juga
dalarnnya. D
a1seperti itu,
tahu tentang
d&etahui se
dari mulut k
Sharp dank:
bagian b u k
Crime and i
sebutnya me
busi transact
Terjadi dar
saksi-trmal
sebabnya. PI
legal loggin!
lakukan se
yang sama. Pl

yang cligaml
toso, rnisalrg
rnati mando:
wana, dan I
hanya dipen
pula peneba
kong dan B
kuatan tram
topang oleh
mempunyai li
pe kegiatan
menggumka
saksi maqrar
sebagai pos t
Seperti dil
sasi perus
minyak menj
da tahun 1 9
likan perus
di bidang 1.

bunan, perta
an, dan lail
TNI dan para
nya (Samego,
kajiannya br
Berbisnis, In
jelaskan tei
komprador,
dan kepiawa
mata-mata c
juangan di p
hubungan b
melainkan e
dur normal I
nyak di-by-p
kuasaan s e n
kan, dan m a
seolah-olah r

;ftLi ySepanjang

;C;

Presiden so,
legal logging

[KOMPAS]

S A B T U , 5 M A R E T -2005

HA L A MA

N

r

conomiks of Crime"
pem-

nah mengemuka. Tetapi, para
pemegang hak pengusahaan

hutan WIT)sendiri diperkirakan tidak melaporkan kayu
yang diproduksi rata-rata se.besar 12,8 juta m3 per tahun
antara tahun 1977-1998 (Kartodihardjo, 2003). Selarna era
ini transaksi dan pelembagaan
yang menjungkr-balikkan norma- nonna pengelolaan hutan
bukan hanya terjadi dalarn kehidupan masyarakat yang sangat jauh dari jangkauan kebijakanpemerintah, tetapi turnbuh dan berkembang di tengah
pemerintahan itu sendiri.
Jika situasi itu dicermati, pelembagaan transaksi-transaksi,
mssyarakat sebcgai outpost
yang cialain pnndargan unmn
menyinipang tidaklah sesederhana menyebutnya sebagai melanggar 11ukum atau sebagai
kriminal. Pengeloiaan hutan di
Indonesia telah terjebak dalarn
persoalan struktural dan politik
ymg jusm berakar dan turnbuh dari dalam pemerintahan
sehingga kriminalitas menjadi
kegiatan yang feasible.

bagai periode yang berbeda-beda antara tahun 1994-2001.
Kqakteristik persoalan illegal Zdgging di berbagai negara

di atas dapat dikatakan serupa
dengan di Indonesia, hanya dengan derajat yang berbeda. Masalah pokoknya ada pada struktur dan kinerja pemerintahan.
Sehubungan dengan itu komunitas internasional telah merumuskan kebijakan bersama dan
dideklarasikan di Bali tahun
2001, yang berlabel Forest Law
Enfomement and Governance
(FLEG).Sebelumnya telah pula
herkernbang wacana pelaksanaan penundaan (moratorium)
penebangan hukn, yang ole11
mantan Presiden Megasvati
Soekamoputri &artikan sebagai "hutai perlu bernapas".

an norma
iyarakat. tiiaktu sing?elembaga;i-traksaksi
,an politii
na pegawai
oarat keai bagian di
-uktur wsiiyang tidak
I. Informasi
au beredar

:, yang oleh
,wan dalam
ronomic of
ention, diiang distri. of c l i n ~ .
at~yawan1stentu ada
Kebijakan teknis
bahwa il'dan kebijakan politik
dapat &Bagaimana masa depan peok orang
ngelolaan hutan di Indonesia?
tan & Jawa
Sampai kini belunl ada di anoleh Santara negara-negam rli atas yang
menghorbenar-benar mampu melinklni, jagadungi hutannya. Moratorium
meskipun
yang telah dicanangkan di ChiDernikian
p9111egal
Logging"
di
dunla
na, Thailand, dan Papua Niu- ,
di EntiDalam laporan CIFOR (2003) gini ternyata tidak dapat di{edua, ke:rsebut di- untuk Menteri Luar Negeri Je- jalankan. Menghentikan suatu

luar yang pang, dapat ditunjukkan bahwa pengusahaan hutan untuk bergan dan ti- illegal logging besar-besaran operasi ternyata justru meningsama dan bukan hanya terjadi di Indosaksi-tran- nesia. Besaran volume penemikian itu bangan liar di Brasil (daerah
(outpost). Amazon) diperldrakan 80 pernasionali- sen dari volume resmi panen~rusahaan nya, Bolivia sebesar 80 peramina pa- sen-90 persen dari total kon?rta pemi- versi hutan, dan Kolombia menerusahaan capai 42 persen dari tebangan
m, perke- resrni pemerintah. Sementara
n, angkut- itu, untuk negara-negara Afnelibatkan rika, misalnya Kamerun, seberelite lain- sar 50 persen dari jurnlah pa98). Dalam nennya, Ghana sebesar 2,6 juta
Bila ABRI m3, lebih dari 2 kali panen resmi,
nego men- sedangkan Mozarnbik sekitar
rya lcelas 50 persen dari tebangan resmi.
euntl~ngan Di negara-negara Asia Tenga tidak se- gara, misalnya Kamboja, sebedari per- sar 4,3 juta m3, hampir 10 kali
ak melal~u tebangan resrni;Malaysia seperng wajar, tiga dari jurnlah tebangan talif. Prose- hunan, dan Myanmar 80 persen
lturan ba- dari tebangan resmi. Dernikian
,wenti ke- pula di Rusia, sebesar 20 persen
'kedepan- kegiatan logging-nya diduga
dan itulah melaneear ~eraturan.
Di daerah
lukum po- .Prim~&~Khabarovsk sebesar
st tenebut 50 persen dari iumlah resmi De1.
manenannya, i a n di ~iberiase~erintahan besar 20 persen dari tebangan
ebutan il- resrni. Kondisi yang dialami neg tak per- gara-negara itu teqadi di ber-

,

1

I

katkan open access dan hutan nya jika pemerintah secara konsemakin rusak. Indonesia juga - sisten menjalankan debirokramempunyai pengalaman serupa tisasi serta menyelesaikan madalarn ha1"vane
., terakhir itu. Ha- salah-masalah hak (tenurial)
nya, dalam perkembangannya, dan realokasi surnber daya hunegara-negara lain relatif lebih tan untuk menguatkan kelemdapat mengendalikan kerusak- bagaan masyarakat lokal dan
an hutan dibandingkankan de- mernisahkannya dari pelakupelaku kriminal dari lux. Berngan Indonesia. Mengapa?
Kebijakan kehutanan di In- bagai bentuk pendekatan kodonesia sampai kini masih terus manajernen dan proses multiterjebak menjawab symptom pihak telah tersedia untuk medaripada pokok masalahnya. laksanakan kebijakan ini.
Dari pengetahuan yang diperDi sisi lain, pemerintah perlu
oleh Sofia R Hirakuri (2003) secara sisternatis melemahkan
kriminal
dalam bukunya Can Law Save transaksi-transaksi
the Forest?, fokus kebijakan ke- - p r i g bukan hanya dengan mehutanan r;.estinya berorientasi lakukan penegakan hukurn,
pada penguatan pengeloiaan yang sasarar-nya mengna: inh u h daripada pengusahaan dividu-indi..i&~ melziinkan iuhutan yang mengu'aakm ad- ga melemahk& kelembagaan
mhktrasi izin-jzi?u d a .
mlinalnya. hi dapat dilakuDl Indonesia terbalik. Pera- kan hanys jika ada kemanan
turan pernerin*.
mengenai politik untuk tidak mmggunaizin-kin usaha lebih dhhulu ke- kan masyarakat loka! sebagai
luar dan setelahnya baru keluar outpost
kepentingan-kepenperaturan pemerintah menge- tingan bisnis para elite politik
nai perencanaan pengelolaan itu sendiri. Ini tantangan utama
hutan. Padahal, konsep tersebut lima tahun ke depan kabinet
menjadi landasan economics of Yudhoyono-Kala untuk mernic r i m p untuk mencapai hansaksi nimalkan kerusakan hutan.
sosial yang dapat mendekati keHARlADl KARTODlHARD
benaran umurn yang universal.
JO DAN SUDARSONO
SOEDOMO
Penguatan pengelolaan hutan
tersebut membawa prinsip peKeduanya dosen Fakultas
riguatan lembaga pengelola,
Kehutanan IPB dan Progmm
dan hal ini dapat dilakukan haPascasarjana IPB don U7