ILLEGAL LOGGING PEMANFAATAN ALAM YANG BE

TUGAS KELOMPOK
(SOSIOLOGI KELAS A)

SOSIOLOGI LINGKUNGAN
“ILLEGAL LOGGING, PEMANFAATAN HUTAN YANG BERDAMPAK PEMANASAN
GLOBAL”

ANGGOTA KELOMPOK :
1. YULIANTI LESTARI

NIM : GAA 112 062

2. AGUSTINE CAROLINA

NIM : GAA 110 063

3. DWI INGGAR WATI

NIM : GAA 112 065

4. YOSSY ASDIANTY PUTRI


NIM : GAA 112 066

5. SITI ALMISBAH

NIM : GAA 112 068

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
TA. 2014/2015
1|P age

BAB I
PENDAHULUAN
Suhu udara yang kian hari semakin panas akhir-akhir ini sepertinya memiliki kaitan erat
dengan adanya pemanasan global pada saat ini yang di sebabkan oleh menipisnya areal hutan
akibat adanya pemanfaatan hutan secara tidak lestari sekaligus pengalih-fungsian hutan demi
memenuhi tuntutan pembangunan secara besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara di

dunia tanpa memperhatikan konsep sustainable. Pembangunan merupakan salah satu aktivitas
manusia untuk mencapai kesejahteraan. Pembangunan selalu berkaitan dengan tiga faktor utama
yang saling terikat satu sama lain. Ketiga faktor itu yakni sumber daya alam (SDA), sumber daya
manusia (SDM), dan sumber daya kapital atau modal (SDK). Lingkungan (SDA) bergerak
karena faktor kebutuhan manusia (SDM), yang kemudian diproses menjadi modal (SDK)
sehingga terjadi sinergi pembangunan.
Ketika pembangunan sudah mencapai tahap sinergis, maka kebutuhan masyarakat akan
faktor-faktor seperti SDA, SDM, dan SDK akan semakin meningkat sesuai laju pembangunan.
Namun, ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut ketersediannya mulai mengalami penurunan
maka pembangunan akan mengalami tahap kemunduran. Semakin tersedianya sumber-sumber
alam dalam pembangunan, semakin meningkat pula tingkat keberhasilan pembangunan itu,
demikian pula sebaliknya. Pada saat suatu negara sudah mencapai kesinergitasan dalam
pembangunannya, masalah lingkungan hidup pun menjadi sesuatu yang tak dapat dipungkiri lagi
keberadaannya. Untuk memenuhi semua tuntutan pembangunan tersebut, lingkungan hidup
harus bisa menjadi pensuplai akan hal tersebut. Dalam World Development Report tahun 1992
disebutkan bahwa “The development impacts through the world have destroyed the planet every
times by existing technology and development there, and it rarely considered by the most nations
in the world. (Dampak pembangunan pada dunia telah mulai „menghancurkan‟ planet ini secara

perlahan setiap kali munculnya teknologi disertai dengan pembangunan disana, dan biasanya hal

tersebut jarang untuk dipertimbangkan oleh kebanyakan negara-negara di dunia)”. Pemanasan
global terjadi karena seiring dengan perkembangan teknologi di dunia saat ini serta peningkatan
kebutuhan hidup manusia pada umumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa tekanan terhadap
lingkungan juga meningkat secara global. Aktivitas pembangunan dengan memanfaatkan
berbagai potensi sumber daya alam juga tidak dapat dihindari maupun dihentikan. Dengan
2|P age

demikian, adanya peningkatan penggunaan sumber daya alam yang tidak seimbang, ternyata
membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia saat ini.
Selama ini pembangunan lebih condong untuk mengabaikan kondisi lingkungan hidup dan
lebih menfokuskan diri kepada ekonomi dan masyarakat saja sehingga lingkungan hidup
dibiarkan menjadi rusak. Artinya, para pakar ekonomi selama ini telah mengabaikan dimensi
penunjang pembangunan seperti lingkungan hidup, sumber daya alam (SDA), serta makhluk
hidup dan lebih memusatkan perhatian pada nilai keuntungan ( profit value ) dari pembangunan
tersebut. Pandangan seperti inilah yang membuat banyak negara mengasumsikan bahwa: “hutan,
benda-benda tambang, ikan di laut, dan sumber-sumber alam lainnya merupakan barang yang
harus dieksploitasi demi mengejar kesejahteraan manusia. Industri dipandang sebagai agent of
change dari tingkat kualitas, gaya hidup, dan modernisasi menjadi pokok penting ekonomi yang

selalu diutamakan.”

Asumsi inilah yang akhirnya membuat kerusakan lingkungan hidup menjadi hal yang tak
dapat dipisahkan dari pembangunan suatu negara. Hutan-hutan sebagai lingkungan biologi
manusia dieksploitasi secara besar-besaran untuk memenuhi tuntutan pembangunan tersebut
tanpa memikirkan keberlanjutannya ke masa depan (perpetuating forests afterward ). Hutan
dengan fungsi ekonominya yang begitu besar, ternyata tidak dengan sendirinya dikelola
sedemikian dalam skala yang berimbang dengan berbagai fungsi penting lainnya dengan prinsip
sustainable . Faktanya tingkat penurunan cadangan hutan kian hari semakin pesat, dengan

sendirinya mengurangi kemampuan regenerasi hutan. Laju kerusakan hutan berjalan deras,
dimana kenyataan ini berjalan sejajar dengan laju permintaan atas produk-produk kayu di
pasaran dunia.
Pemanfaatan hutan secara tidak lestari, sebagaimana digambarkan oleh pakar ekonomi
lingkungan Jose I. Dos dan R. Furtado merupakan ancaman yang dapat melenyapkan persediaan
modal alam. Pada gilirannya kemudian merembet dengan merusak berbagai fungsi ekologis dan
jasa penting yang disediakan oleh hutan. Di Indonesia sendiri, areal hutan semakin menipis
karena pemanfaatan hutan secara berlebihan demi kelancaran pembangunan negara ini yang
sebenarnya menimbulkan dampak kerusakan yang serius bagi lingkungan termasuk efek
pemanasan global yang kian terasa „memanaskan‟ negeri ini akibat menipisnya hutan-hutan yang
seharusnya dapat melindungi negeri ini dari hal tersebut.
3|P age


BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kehidupan manusia, hutan memiliki peranan penting dalam keberlangsungan hidup
karena hutan menjadi tempat untuk persediaan segala kebutuhan hidup manusia. Hutan Indonesia
merupakan salah satu paru-paru dunia. Yang mana luas hutan di Indonesia menurut data
Departemen Kehutanan adalah 130 juta Ha atau sebanding dengan 70% luas Indonesia. Yang
memprihatinkan adalah kondisi saat ini 42 juta Ha hutan Indonesia sudah tidak berpohon lagi
alias gundul akibat pemanfaatan hutan secara berlebihan untuk pembangunan. Padahal hutan
memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup semua makhluk hidup di
negara ini, fungsi-fungsi tersebut yakni:
1. Sebagai penampung karbondioksida; dalam proses fotosintesis tumbuhan mengambil
karbondioksida (CO2) dari atmosfer dikombinasi dengan air dan dibantu dengan energi
cahaya untuk memproduksi materi organik bagi kelangsungan hidupnya.
2. Habitat Hewan; hewan-hewan penghuni hutan seperti orang utan, harimau, singa, ular, babi
hutan, gajah, dan lainnya merupakan penghuni asli hutan. Sehingga ketika habitat mereka
yaitu hutan menjadi gundul hewan-hewan tersebut akan keluar dari hutan dan mendatangi
pemukiman penduduk desa, serta memangsa hewan dan penduduk. Hal ini disebabkan
karena rantai makan mereka terputus dan menyebabkan hewan-hewan buas tersebut mencari
makan di luar hutan.

3. Modulator arus hidrologika; hutan sebagai penyeimbang arus hidrologika, sebagai tempat
penyerapan air, penahan air sehingga menghindari erosi tanah.
4. Pelestari tanah; tanah-tanah yang dibiarkan gundul maka akan kehilangan fungsinya sebagai
penyimpan unsur hara yang bermanfaat bagi kesuburan tanaman. Tanah akan kurang
berfungsi, sehingga tanah akan menjadi tanah yang tandus.
Illegal logging atau pembalakan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan

penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Pembalakan liar
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon
ditebang dengan seenaknya untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan
menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian selanjutnya.
4|P age

Pembalak-pembalak liar tidak peduli dengan penanaman kembali pohon. Sebanyak 42 juta Ha
hutan di Indonesia telah berkurang dari 130 juta Ha luas hutan Indonesia. Tentu saja penanaman
pohon-pohon itu memakan waktu yang tidak sedikit.
Secara praktek, illegal logging dilakukan terhadap areal hutan yang secara prinsip dilarang.
Di samping itu, praktek illegal logging dapat pula terjadi selama pengangkutan, termasuk proses
ekpor dengan memberikan informasi salah ke bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar
legal. Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama, tingginya permintaan

kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat
terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya
permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar
internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal.
Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan
kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan
permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan
konservasi.
Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang

mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman
Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundangundangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun
dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan
produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati
ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum
mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi
tidak terjaga akibat illegal logging.
Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal
logging. Selama ini, praktek illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di


mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi
kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah

5|P age

tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan
beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU
Kehutanan) dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging,
melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat
pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal
logging.
Keempat, tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak

Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan- pemerintah daerah harus mengupayakan
pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah
melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang
tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah terjadi tumpang
tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai
kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk

mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya, -termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan
daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam
kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar
hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk
kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.
Praktek illegal logging sudah barang tentu memiliki ekses negatif yang sangat besar. Secara
kasat mata ekses negatif illegal logging dapat diketahui dari rusaknya ekosistem hutan.
Rusaknya ekosistem hutan ini berdampak pada menurunnya atau bahkan hilangnya fungsi hutan
sebagai penyimpan air, pengendali air yang dapat mencegah banjir juga tanah longsor. Sehingga
rentan terhadap bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Lahan-lahan hutan yang tidak
ditanami kembali menyebabkan bencana melanda. Hutan yang menggundul juga mengakibatkan
habitat hewan-hewan buas di hutan pun menjadi semakin punah, hal ini menyebabkan hewanhewan buas tersebut keluar dari hutan dan mencari makanan di kampung-kampung sekitar hutan.
Seperti kita ketahui banyak kejadian sawah-sawah penduduk yang rusak diterjang hewan-hewan
hutan dan bahkan penduduk kampung sendiri yang diterkam oleh hewan buas yang mencari
mangsa. Di samping itu, illegal logging juga menghilangkan keanekaragaman hayati,
6|P age

berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem dan biodiversity, dan bahkan illegal logging dapat
berperan dalam kepunahan satwa alam hutan Indonesia. Dari sisi ekonomis, illegal logging telah
menyebabkan hilangnya devisa negara. Menurut Walhi, hasil illegal logging di Indonesia

pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp 4 triliun bagi
negara. Di samping itu, data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu
1998 hingga 2004, kerugian Indonesia akibat illegal logging mencapai 180 triliun. Efeknya luas
bagi kehidupan masyarakat. Selain itu fungsi hutan sebagai paru-paru dunia menjadi rusak,
mengakibatkan iklim dunia (khususnya Indonesia) menjadi lebih panas berakibat pada efek
rumah kaca.
Menurut data Kementrian Negara Lingkungan Hidup menyebutkan selama kurun waktu lima
tahun (2003-2008) total emisi karbondioksida (CO2) setara dengan 638,975 gigaton CO2.
Sumber emisi tersebut terdiri atas konversi hutan dan lahan sebesar 36%, emisi penggunaan
energi sebesar 36%, emisi limbah 16%, emisi pertanian 8%, emisi dari proses dari industri 4%.
Kemudian data dari The Goergetown International Environtmental Law Review, 1999
menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997-1998 tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan
terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Ini mengakibatkan karbon Indonesia yang berasal dari
deforestasi setara dengan 333,483 gigaton. Oleh karenanya menjadikan Indonesia sebagai
peringkat 19 dari 210 negara (menurut data Carbon Dioxcide Information Analysis Center
(CDIAC) tahun 2006. Sehubungan dengan itu juga, menurut data Intergovermental Panel on
Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi pada periode 1990-2005 antara

0,15-0,31 derajat celcius. Jika kondisi ini dibiarkan maka diperkirakan pada periode 2050-2070
suhu bumi akan naik sebanyak 4,2 derajat celcius. Jika kondisi ini terjadi, maka sebagian

kehidupan bumi akan musnah. Begitupun dampak bagi Indonesia, jika tidak ada upaya
pencegahan, maka akan kehilangan 2200 pulau karena permukaan air laut naik sampai 90 cm.
Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad ke 21 lahan pesisir
yang hilang mencapai 202.500 hektar. Ini berarti wilayah kedaulatan RI akan semakin
menyempit. Menurut catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas
PB) kejadian-kejadian bencana terkait iklim sejak tahun 1950-1960an telah meningkat sekitar
empat kali lipat. Tahun 2003-2005 telah terjadi 1429 bencana di tanah air. 53,3% diantaranya
berkaitan dengan iklim dan hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan.
7|P age

Dampak dari pemanasan global mengakibatkan perubahan cuaca yang ekstrim seperti badai,
hujan lebat, kekeringan maupun mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat
menimbulkan naiknya permukaan air laut.
Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut
mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan
mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Salah satu dampak ekstrim terjadi bila suhu bumi
semakin meningkat adalah pencairan es di kutub yang terjadi baru-baru ini yakni sebuah
bongkahan es seluas 260 km persegi telah terlepas dari gletser Petermann dan mengapung di
barat laut Greenland. Bongkahan es ini adalah yang terbesar tercatat dalam sejarah memisahkan
diri dari Artik dan menjadi fenomena terbesar dalam 28 tahun terakhir. Menurut kepala Pusat
Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Dr. Edwin Aldrian, mencairnya pulau es di Kutub Utara
diakibatkan sirkulasi panas bumi. Es yang mencair ini menyebabkan kenaikan permukaan laut di
seluruh dunia, sebagai akibat dari ekspansi cuaca panas ke kawasan kutub.
Supaya lingkungan tetap berada di dalam sifat kelestarian dan keserasiannya, diperlukan aksi
nyata untuk mewujudkan hal tersebut yaitu dengan menerapkan pola aktivitas masyarakat yang
beriringan dengan alam; karena faktor hutan dan masyarakat adalah satu kesatuan maka
sebenarnya masyarakat patut dipandang sebagai komponen partisipan dalam mencegah
kerusakkan lingkungan pada hutan, dan pembangunan dalam masyarakat yang berbasiskan
kemampuan keberlanjutan lingkungan (sustainability environment ); karena hutan dalam
fungsinya yang begitu bernilai, telah berkembang menjadi the common heritage of mankind
(warisan bagi umat manusia), dalam perspektif ekologi dan sistem biosferik (lingkungan).
Sehingga dengan demikian, negara harus membatasi setiap konversi hutan primer atau hutan
alami lain pada kegunaan yang berkelanjutan, dan langsung memenuhi kebutuhan nyata manusia
yang tak dapat dipenuhi dengan cara lain.

8|P age

BAB III
PENUTUP
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Hutan, khususnya yang berada di Indonesia, merupakan
sumber daya alam yang harus dijaga dan selalu dilestarikan. Semua kekayaan yang ada di bumi
ini, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia
merupakan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan
dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas. Keseimbangan bumi terletak pada
hutan yang sebagian besar berada di Indonesia yang mampu menjadi penyangga bumi.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya membuat sadar masyarakat Indonesia pada
khususnya dan seluruh makhluk di muka bumi pada umumnya bahwa mereka telah
mengeksplorasi sumber daya alam hutan secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain
seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta
perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah
terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Segala
kegiatan pembangunan yang berlangsung diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tetapi juga harus mampu menjaga kelestarian sumber daya alam.
Sehingga alam tidak akan kehilangan fungsinya sebagai pengendali keseimbangan kehidupan.
Oleh karena itu setiap pembangunan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan menganalisis
mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi. Karena setiap pilihan pembangunan, pasti
menentukan masa depan negara ini. “Life’s about making choices; some will be good choices,
and some will be bad. But, every choices we make, shapes our future.”

9|P age

DAFTAR PUSTAKA
Naess, A. 1993. Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge, Inggris: Cambridge
University Press.
Rangkuti, Siti Sundari. 2000. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional .
Surabaya, Indonesia; Airlangga University Press.
Siahaan, N. H. T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta, Indonesia:
Pancuran Alam.
Siahaan, N. H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta, Indonesia:
Erlangga.
Soemarwoto, Otto. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jogjakarta, Indonesia:
Gadjah Mada University Press.
http://blawgerpoet.blogdetik.com/2011/02/14/pembalakan-liar-hutan-indonesia-PembalakanLiar-Hutan-Indonesia
http://irineriskyana.blog.fisip.uns.ac.id/2011/01/01/dampak-pembangunan-terhadaplingkungan/
http://www.kapanlagi.com/h/0000063985.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
http://mohkaris.blogspot.com/2009/01/dampak-eksploitasi-sumber-daya-alam.html
http://savegreenearth.wordpress.com/2010/11/07/global-warming-dampak-pemanasan-globalbagi-manusia/

10 | P a g e