Status Resistensi Tribolium Castaneum Herbst Dan Araecerus Fasciculatus De Geer Asal Gudang Biji Kakao Di Makassar Sulawesi Selatan Terhadap Fosfin

STATUS RESISTENSI Tribolium castaneum HERBST DAN
Araecerus fasciculatus DE GEER ASAL GUDANG BIJI KAKAO
DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN TERHADAP FOSFIN

SRI WIDAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Resistensi
Tribolium castaneum Herbst dan Araecerus fasciculatus De Geer Asal Gudang
Biji Kakao di Makassar Sulawesi Selatan terhadap Fosfin adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Sri Widayanti
A351124011

RINGKASAN
SRI WIDAYANTI. Status Resistensi Tribolium castaneum Herbst dan Araecerus
fasciculatus De Geer Asal Gudang Biji Kakao di Makassar Sulawesi Selatan
terhadap Fosfin. Dibimbing oleh DADANG dan IDHAM SAKTI HARAHAP.
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai
peranan penting bagi perekonomian Indonesia dan menjadi sumber pendapatan
serta devisa negara. Kerusakan biji kakao oleh serangan hama pascapanen selama
di penyimpanan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi. Adanya infestasi
hama pada biji kakao tersebut menjadi salah satu alasan Amerika Serikat
memberlakukan kebijakan automatic detention terhadap produk kakao Indonesia.
Pengendalian hama pascapanen pada biji kakao pada umumnya dilakukan melalui
penyemprotan dan pengabutan insektisida sintetik serta fumigasi fosfin. Fumigasi

fosfin umum dilakukan baik untuk perawatan biji kakao maupun untuk keperluan
perlakuan karantina dan pra-pengapalan. Fumigasi yang dilakukan dengan teknik
yang tidak baik dan benar, penggunaan dosis yang tidak tepat, serta penggunaan
bahan aktif yang sama terus menerus dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan berkembangnya generasi hama yang resisten terhadap fosfin.
Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi status resistensi serangga Tribolium
castaneum Herbst dan Araecerus fasciculatus De Geer asal gudang biji kakao di
Makassar Sulawesi Selatan terhadap fosfin dan mengonfirmasi hasil pengujian
resistensi melalui pengujian efikasi lapangan untuk mendapatkan dosis fosfin
efektif terhadap serangga resisten. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
rujukan bagi pengelola penyimpanan biji kakao dalam melakukan fumigasi
terutama untuk serangga yang telah resisten terhadap fosfin sebagai bagian dari
manajemen pascapanen. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan
sebagai rujukan dalam dunia perdagangan dan perkarantinaan sebagai tindakan
pencegahan agar komoditas yang terinfestasi serangga resisten tidak menjadi
media penyebar meluasnya perkembangan serangga resisten baik secara nasional
maupun internasional.
Penelitian ini dilakukan meliputi pengambilan sampel serangga
T. castaneum dan A. fasciculatus dan data penggunaan fosfin di 5 gudang biji
kakao di Makassar yaitu Gudang 1, 2, 3, 4 dan 5 (G1, G2, G3, G4, dan G5),

mengidentifikasi dan memperbanyak serangga di Laboratorium Entomologi,
SEAMEO BIOTROP, menguji resistensi fase larva, pupa dan imago serangga T.
castaneum dan A. fasciculatus terhadap fosfin dengan menggunakan metode
standar rekomendasi FAO dan menguji efikasi lapangan serangga yang terdeteksi
resisten terhadap fosfin.
Hasil penelitian resistensi menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi
serangga T. castaneum dan A. fasciculatus terhadap fosfin. Larva T. castaneum
dari G1, G2 dan G3 telah resisten dengan faktor resistensi berturut-turut sebesar
3.25, 1.72 dan 1.53 kali. Pupa T. castaneum dari G1, G2, G3, G4 dan G5 telah
resisten dengan faktor resistensi berturut-turut sebesar 13.63, 10.13, 9.34, 1.58
dan 1.61 kali, sedangkan pupa A. fasciculatus berturut-turut sebesar 14.84, 10.37,
4.88, 4.65 dan 3.33 kali. Imago T. castaneum dari G1, G2 dan G3 telah resisten
dengan faktor resistensi berturut-turut sebesar 8.08, 1.15 dan 1.90 kali, sedangkan

ii
imago A. fasciculatus hanya dari G1 sebesar 5.89 kali. Meskipun telah terjadi
resistensi berdasarkan metode uji standar FAO, tetapi berdasarkan pengujian
efikasi lapangan, hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis fosfin 2 tablet/m3
masih dapat digunakan untuk mengendalikan serangga T. castaneum dan
A. fasciculatus yang telah resisten.

Kata kunci: automatic detention, fumigasi, kakao, serangga hama gudang

iii

SUMMARY
SRI WIDAYANTI. Resistance Status of Tribolium castaneum Herbts and
Araecerus fasciculatus De Geer from Cocoa Beans Storage in Makassar South
Sulawesi to Phosphine. Supervised by DADANG and IDHAM SAKTI
HARAHAP.
Cocoa is among crop commodities providing income for Indonesia and
therefore, having important role in economy of Indonesia. Storage pests have
been known to cause cocoa bean damage in the warehouse that resulted in
economical loss for the farmers. Pest infestation on cocoa beans is among reasons
for the United States of America to implement automatic detention to cocoa beans
from Indonesia. The post harvest pest control on cocoa beans is conducted by
spraying and fogging using synthetic insecticide and fumigation using phosphine.
The phosphine fumigation is usually applied for cocoa beans maintenance in the
storage, quarantine and pre-shipment purposes. Improper fumigation technique,
inappropriate dosages and the use of the same active ingredient continuously over
long periods can lead to the development of the generation of pests that are

resistant to phosphine.
This research was aimed to detect resistance occurance of Tribolium
castaneum Herbst and Araecerus fasciculatus De Geer from cocoa beans storage
in Makassar, South Sulawesi to phosphine and to obtain information on effective
dosage of phosphine to control resistance strains of insect through efficacy test in
the field. Research result are intended to be a guideline for cocoa beans
warehouse controller in conducting fumigation, especially for storage pests that
have been resistant to phosphine. The research result is also to be used as a
guideline for prevention action in trading and quarantine field, so that the infected
commodities will not be the disseminating agents for the already resistant storage
pests both nationally and internationally.
Four activities were conducted in this research i.e. 1. sampling of storage
pests T. castaneum and A. fasciculatus and phosphine usage data in 5 cocoa beans
warehouse in Makassar, South Sulawesi Province i.e. Warehouse 1, 2, 3, 4 and 5
(G1, G2, G3, G4 and G5); 2. identification and mass rearing of the sampled
storage pests in Entomology Laboratory of SEAMEO BIOTROP; 3. testing
resistance on larvae, pupae, and adult of T. castaneum and A. fasciculatus to
phosphine using standardized method recommended by FAO; 4. testing in-field
efficacy on the sampled storage pests which are detected to be resistant to
phosphine.

Research results on resistance showed that resistance to phosphine occured
on T. castaneum and A. fasciculatus. T. castaneum larvae of G1, G2 and G3 have
been resistant with the resistance factor respectively were 3.25, 1.53 and 1.72
times. Pupa of T. castaneum of G1, G2, G3, G4 and G5 have been resistant with
the resistance factor respectively were 13.63, 10.13, 9.34, 1.58 and 1.61 times,
while the pupa of A. fasciculatus respectively were 14.84, 10.37, 4.88, 4.65 and
3.33 times. The resistance factor of T. castaneum adult from G1, G2 and G3
respectively were 8.08, 1.15 and 1.90 times, while the adult of A. fasciculatus
only from G1 was 5.89 times. Although there has been a resistance based on the

iv
research using standardized method recommended by FAO, but based on in-field
efficacy test, the results also showed that phosphine dosage of 2 tablets/m3 can
still be used to control resistance strains of T. castaneum and A. fasciculatus.
Keywords: automatic detention, cocoa, fumigation, storage insect pests

v

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi

vii

STATUS RESISTENSI Tribolium castaneum HERBST DAN
Araecerus fasciculatus DE GEER ASAL GUDANG BIJI KAKAO
DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN TERHADAP FOSFIN

SRI WIDAYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Purnama Hidayat, MSc

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu
wa ta’ala atas ridho dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian ini mengambil tema resistensi fosfin dengan judul Status

Resistensi Tribolium castaneum Herbst dan Araecerus fasciculatus De Geer Asal
Gudang Biji Kakao di Makassar Sulawesi Selatan terhadap Fosfin, yang
dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai Juli 2015 di gudang biji kakao di
Makassar Sulawesi Selatan dan Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP
Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof Dr Ir Dadang, MSc dan Dr
Ir Idham Sakti Harahap, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberi masukan, arahan, saran, bimbingan dan motivasi serta
membagikan ilmunya. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan dana untuk pelaksanaan
penelitian ini melalui pendanaan DIPA SEAMEO SEAMOLEC, Sekretariat
Jenderal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Nasruddin, SP, Ibu Ambar Sayekti,
Bapak Jufri, SP. beserta para staf di Jajaran Balai Besar Karantina Pertanian
Makassar, perusahaan fumigator anggota ASPPHAMI Makassar seperti PT
Sucofindo Cabang Makassar, PT Terminix Cabang Makassar, PT Pan Asia
Superintendence Corp Cabang Makassar, PT Cahaya Timur atas kontribusinya
dalam pengumpulan data dan bahan penelitian, serta perusahaan eksportir kakao
di Makassar, Sulawesi Selatan atas izin yang diberikan kepada penulis untuk
melakukan pengambilan sampel.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda Mukiyah, suami
Saptono, ananda Muhammad Nizar Fauza Hanif dan Maula Afiif Najmi Samawa
serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan
studi hingga berhasil menyelesaikan tesis. Penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Jajaran Pimpinan SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan izin
penulis untuk melanjutkan studi dan melaksanakan penelitian di SEAMEO
BIOTROP, serta rekan-rekan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP,
Mba Wiwi, Mba Herni, Heriyanto dan teman-teman di Laboratorium Riset atas
dukungan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan
tesis.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang
memerlukannya dan dapat berkontribusi dalam pengkayaan pengetahuan bagi
pemangku kepentingan.

Bogor, September 2016
Sri Widayanti

xii

xiii


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xiii

DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Penting Kakao di Indonesia
Permasalahan Hama pada Biji Kakao selama Penyimpanan
Permasalahan Ekspor Kakao Indonesia
T. castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae)
A. fasciculatus De Geer (Coleoptera: Anthribidae)
Jenis-Jenis Fumigan
Penggunaan Fosfin sebagai Fumigan
Cara Kerja dan Sifat Fosfin
Resistensi Serangga terhadap Fosfin

4
4
5
6
6
8
8
9
10
11

METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Pengambilan Sampel Serangga dan Data Penggunaan Fosfin
Identifikasi dan Perbanyakan T. castaneum dan A. fasciculatus
Status Resistensi T. castaneum dan A. fasciculatus terhadap Fosfin
Pengujian Efikasi Lapangan Serangga Resisten terhadap Fosfin

14
14
14
15
15
16
21

HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Serangga T. castaneum dan A. fasciculatus
23
Karakteristik Pengelolaan Hama di Lima Gudang Biji Kakao di Makassar 24
Status Resistensi T. castaneum dan A. fasciculatus terhadap Fosfin
27
Efikasi Lapangan Serangga T. castaneum dan A. fasciculatus Resisten
terhadap Fosfin
34
Pembahasan Umum
36
Status Resistensi T. castaneum dan A. fasciculatus terhadap Fosfin
36
Efikasi Lapangan Serangga Resisten terhadap Fosfin
SIMPULAN DAN SARAN

37
39

xiv
Simpulan
Saran

39
39

DAFTAR PUSTAKA

40

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

54

xv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Enam negara dengan produksi biji kakao terbesar di dunia
Penduga parameter mortalitas imago Tribolium castaneum 14 hari
setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Penduga parameter mortalitas imago Araecerus fasciculatus dan 14
hari setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF imago Tribolium castaneum 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF imago Araecerus fasciculatus 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Penduga parameter mortalitas pupa Tribolium castaneum 14 hari
setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Penduga parameter mortalitas pupa Araecerus fasciculatus 14 hari
setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF pupa Tribolium castaneum 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF pupa Araecerus fasciculatus 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Penduga parameter mortalitas larva Tribolium castaneum 14 hari
setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Penduga parameter mortalitas larva Araecerus fasciculatus 14 hari
setelah fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF larva Tribolium castaneum 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Nilai LC50, LC99.9, dan RF larva Araecerus fasciculatus 14 hari setelah
fumigasi fosfin selama 20 dan 48 jam
Persentase mortalitas imago, pupa, larva Tribolium castaneum dan
Araecerus fasciculatus setelah pemaparan fumigan fosfin selama 7 hari

4
27
28
29
29
30
31
31
32
32
33
33
34
35

xvi

DAFTAR GAMBAR
1 Kisaran konsentrasi yang disarankan untuk pengujian T. castaneum
menurut metode rekomendasi FAO (Busvine 1980)
2 Serangga uji dalam cincin paralon dan stoples kaca sebagai ruang
fumigasi beserta magnet pengaduk gas (a), Karet penutup lubang tutup
stoples tempat menginjeksikan gas fosfin (b)
3 Alat penghasil gas fosfin murni dari formulasi pelet aluminium fosfida,
apparatus for generating phosphine (Busvine 1980)
4 Pengambilan gas fosfin dari alat penghasil gas fosfin dan aplikasinya
pada stoples gelas dengan menggunakan syringe kedap gas
5 Pengaduk magnetik untuk menghomogenkan distribusi gas fosfin di
dalam ruang fumigasi (a), serangga uji dipindahkan ke beaker glass
berisi biji kakao, setelah mendapat perlakuan fumigasi fosfin dalam
stoples gelas selama 20 jam atau 48 jam dan
6 Serangga T. castaneum: telur, larva, pupa (jantan dan betina), imago
7 Karakteristik imago T. castaneum dan T. confusum dapat dilihat dari
perbedaan antena dan jarak kedua mata faset secara ventral
8 Serangga A. fasciculatus: larva, pupa, imago
9 Frekuensi kegiatan fumigasi di lima perusahaan penyimpan biji kakao
di Makassar, pada kurun waktu tahun 2012-2015

16

17
18
19

20
23
23
24
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Persentase mortalitas imago Tribolium castaneum dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Bogor setelah pemaparan gas
fosfin 20 dan 48 jam di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
2 Persentase mortalitas pupa Tribolium castaneum dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Bogor setelah pemaparan 20
dan 48 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
3 Persentase mortalitas larva Tribolium castaneum dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Bogor setelah pemaparan gas
fosfin 20 dan 48 jam di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
4 Persentase mortalitas imago Araecerus fasciculatus dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Wonogiri setelah pemaparan
20 dan 48 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
5 Persentase mortalitas pupa Araecerus fasciculatus dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Wonogiri setelah pemaparan
20 dan 48 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
6 Persentase mortalitas larva Araecerus fasciculatus dari lima gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar dan Wonogiri setelah pemaparan
20 dan 48 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi

48

49

50

51

52

53

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai
peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini karena kakao menjadi
sumber devisa negara dan sebagai penyerap tenaga kerja baik dari hulu
(perkebunan) sampai ke hilir (industri olahan kakao). Saat ini pemerintah
menargetkan Indonesia menjadi produsen kakao terbesar dunia agar dapat
menggeser posisi Pantai Gading sebagai produsen terbesar pertama. Produksi
kakao Indonesia pada tahun 2014 sebesar 709 330 ton, menurun dibandingkan
tahun 2013 sebesar 720 860 ton BPS (2016). Pulau Sulawesi merupakan sentra
produksi kakao di Indonesia dengan propinsi yang terluas pertanaman kakaonya
adalah Sulawesi Selatan.
Salah satu kendala ekspor kakao Indonesia adalah adanya automatic
detention (penahanan langsung) yang diberlakukan Amerika Serikat karena
ditemukannya serangga hidup pada biji kakao. Automatic detention ini
menyebabkan biji kakao Indonesia harus diberikan perlakuan karantina dengan
refumigasi. Konsekuensi dari adanya automatic detention ini menyebabkan kakao
Indonesia terkena potongan harga US$ 150-300 per ton terutama untuk biji kakao
yang bermutu rendah dan tidak fermentasi, tidak termasuk biaya automatic
detention/biaya fumigasi sebesar US$ 4 per ton dari harga terminal New York
(Departemen Perindustrian 2010). Data peringatan impor (import alert 34-01) dari
Amerika Serikat menunjukkan bahwa telah dilakukan automatic detention
terhadap kakao Indonesia karena ditemukan serangga hidup pada 144 pengiriman
dari 149 pengiriman atau sebesar 96%, yang berasal dari 17 pengirim (USFDA
2014).
Automatic detention diberlakukan selain karena adanya infestasi serangga
hidup, juga karena rendahnya mutu biji kakao akibat serangan hama maupun
proses pascapanen yang kurang baik. Infestasi hama pada biji kakao diduga dapat
terjadi karena kurang sempurnanya fumigasi yang dilakukan sehingga tidak dapat
mematikan telur-telur serangga hama.
Kerusakan biji kakao akibat serangan hama dapat terjadi sejak dari lapangan
sebelum panen yaitu oleh penggerek buah kakao dan juga pada saat di
penyimpanan oleh serangga hama gudang. Jenis serangga yang ditemukan pada
sampel biji kakao di gudang penyimpanan eksportir kakao di Sulawesi Selatan
adalah Ephestia sp., Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae),
Araecerus fasciculatus De Geer (Coleoptera: Anthribidae), Tribolium castaneum
Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae), Oryzaephilus surinamensis (L.) (Coleoptera:
Silvanidae), Cryptolestes sp., Carpophilus dimidiatus Fabricius (Coleoptera:
Nitidulidae), Ahasverus advena Waltl (Coleoptera: Silvanidae), Necrobia rufipes
De Geer (Coleoptera: Cleridae), Alphitobius diaperinus Panzer (Coleoptera:
Tenebrionidae) dan Liposcelis sp. (Harahap et al. 2013). Serangga yang utama
sebagai hama di penyimpanan biji kakao adalah Ephestia sp., C. cephalonica, A.
fasciculatus dan T. castaneum.
Pada umumnya upaya yang dilakukan untuk mengatasi serangan hama
gudang adalah dengan melakukan fumigasi. Di Sulawesi Selatan, saat ini fumigan

2
yang digunakan untuk perawatan dan perlakuan karantina biji kakao adalah fosfin.
Dosis fosfin yang digunakan untuk perawatan biji kakao di penyimpanan maupun
untuk perlakuan prapengapalan sebelum ekspor menggunakan dosis sesuai
permintaan negara tujuan yang seringkali jauh lebih tinggi dari dosis anjuran
(Harahap et al. 2013).
Penggunaan fosfin yang semakin sering dan melebihi dosis anjuran
dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan yaitu berkembangnya strain
hama yang resisten. Sejak digunakan pertama kali pada tahun 1935, saat ini fosfin
telah digunakan secara luas sebagai fumigan untuk mengatasi permasalahan hama
di penyimpanan di dunia (Reichmuth 1994, Chaudhry 2000, Nath et al. 2011).
Fosfin menjadi pilihan utama karena metil bromida bersifat sebagai bahan perusak
lapisan ozon sehingga penggunaannya telah dibatasi (Waterford & Winks 1994).
Penggunaan fosfin untuk fumigasi biji-bijian di Australia mencapai 80% (Cao &
Wang 2001) sedangkan di China mencapai 90% (Wang & Cao 1999, Ling et al.
2004). Di Indonesia, fosfin juga telah digunakan secara luas, tetapi belum terdapat
data penggunaanya secara kuantitatif.
Pemilihan fosfin sebagai alternatif untuk mengendalikan hama di
penyimpanan adalah karena fosfin mempunyai karakteristik yang ideal sebagai
fumigan seperti mudah dan aman dalam aplikasi, tidak meninggalkan residu pada
komoditas, relatif murah, tingkat penetrasinya tinggi, dapat menyebar cepat, dan
tidak mempengaruhi viabilitas biji-bijian (Taylor 1989, Liang 1989, 1994, AFHB
& ACIAR 1991, Chaudhry 2000, Cao & Wang 2000, Nath et al. 2011, Collins et
al. 2001, Prijono 2006, Nayak 2012). Karakteristik inilah yang menyebabkan
fosfin mempunyai peranan sangat penting dalam pengelolaan hama di
penyimpanan. Hal ini ditunjang dengan kesepakatan Protokol Montreal yang
memutuskan untuk menghapuskan penggunaan metil bromida pada tahun 2015,
sehingga menyebabkan dunia industri yang memerlukan pengendalian hama di
penyimpanan sangat bergantung pada penggunaan fosfin.
Penggunaan fosfin yang sudah lebih dari 60 tahun dan fakta ketergantungan
akan penggunaan fosfin yang mengakibatkan penggunaannya yang terus
meningkat memberikan dampak yaitu berkembangnya resistensi berbagai jenis
hama terhadap fosfin. Kejadian resistensi telah terdeteksi lebih dari 30 tahun yang
lalu dan saat ini telah banyak dilaporkan terjadinya resistensi terhadap berbagai
jenis hama di penyimpanan di berbagai negara di dunia seperti Brazil, China,
Australia, Amerika, Indonesia (Sartori et al. 1991, Chaudhry 2000, Lorini &
Collins 2006, Lorini et al. 2007, Harahap et al. 2011, Nayak et al. 2003, Nayak et
al 2012). Di Australia, tahun 1997 pertama kali dilaporkan telah terjadi resistensi
kuat pada serangga Rhyzopertha dominica dan Cryptolestes ferrugineus (Collins
et al. 2001). C. ferrugineus yang ditemukan di Pelabuhan Hamburg Jerman pada
biji kakao impor dari Afrika masih dapat bertahan hidup pada paparan fosfin
dengan dosis 6 g/m3 yang konsentrasinya di udara mencapai puncak pada 7500
ppm (Klementz & Reichmuth 2007).
Di Indonesia telah terdeteksi berkembangnya resistensi terhadap fosfin pada
beberapa jenis hama gudang di penyimpanan beras. Status perkembangan
resistensi serangga hama pada biji kakao belum tersedia (Harahap et al. 2013).
Oleh karena itu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perkembangan strain
resisten hama biji kakao di penyimpanan di Sulawesi Selatan maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap status resistensinya. Hal ini ditunjang oleh fakta

3
bahwa Indonesia juga mengimpor biji kakao dari Ghana untuk bahan campuran,
sehingga peluang masuknya serangga resisten dari negara tersebut sangat
dimungkinkan. Jika serangga resisten berkembang biak akan berimplikasi
terhadap biaya pengendalian yang semakin tinggi.
Perumusan Masalah
Status serangga yang resisten terhadap fosfin di dunia telah banyak
dilaporkan. Di Indonesia telah terdeteksi berkembangnya resistensi terhadap
fosfin pada beberapa jenis hama gudang di penyimpanan beras. Status
perkembangan resistensi serangga hama pada biji kakao belum tersedia. Terdapat
fakta bahwa Amerika Serikat memberlakukan automatic detention terhadap
ekspor kakao Indonesia salah satunya karena ditemukannya serangga hidup.
Faktor penyebab ditemukannya serangga hidup diduga adalah karena fumigasi
tidak berhasil membunuh semua fase hidup atau fase perkembangan serangga atau
serangga telah resisten terhadap fumigan fosfin. Makassar merupakan kota
tempat eksportir kakao di propinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia. Oleh
karena itu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perkembangan strain
resisten serangga A. fasciculatus dan T. castaneum hama pada biji kakao di
Makassar perlu dilakukan pemantauan terhadap status resistensinya. Faktor
pendorong berkembangnya serangga resisten perlu dipastikan. Dosis efektif untuk
mengendalikan serangga resisten perlu ditentukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan status resistensi terhadap fosfin pada
serangga T. castaneum dan A. fasciculatus yang dikoleksi dari penyimpanan biji
kakao di Makassar Sulawesi Selatan dan mengonfirmasi hasil pengujian resistensi
melalui pengujian efikasi lapangan untuk mendapatkan dosis fosfin efektif
terhadap serangga resisten.
Hipotesis Penelitian
Serangga hama utama pada biji kakao, T. castaneum dan A. fasciculatus di
gudang penyimpanan biji kakao di Makassar Sulawesi Selatan telah resisten
terhadap fosfin.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pengelola
penyimpanan biji kakao dalam melakukan fumigasi terutama untuk serangga yang
telah resisten terhadap fosfin sebagai bagian dari manajeman pascapanen. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan dalam dunia
perdagangan dan perkarantinaan sebagai tindakan pencegahan agar komoditas
yang terinfestasi serangga resisten tidak menjadi media penyebar meluasnya
perkembangan serangga resisten baik secara nasional dan internasional.

4
TINJAUAN PUSTAKA

Nilai Penting Kakao di Indonesia
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting
dalam perkembangan perekonomian nasional. Indonesia sejak tahun 2005 hingga
tahun 2011 merupakan produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai
Gading. Produksi kakao tahun 2011 Pantai Gading sebesar 1 559 441 ton,
Indonesia 712 200 ton, Ghana 700 020 ton, sedangkan produksi tahun 2004
Pantai Gading 1 407 213 ton, Ghana 737 000 ton dan Indonesia 691 704 ton
(FAOSTAT 2016). Sulawesi merupakan daerah penghasil kakao terbesar di
Indonesia, dengan produksi kakao di beberapa provinsi di Sulawesi pada tahun
2012 adalah sebesar 146.840 ton (Sulawesi Selatan), 144 360 ton (Sulawesi
Tengah), dan 122 960 ton (Sulawesi Tenggara) (BPS 2016). Indonesia juga
merupakan negara eksportir biji kakao terbesar di Asia Tenggara dan tahun 2006
hingga tahun 2010 berkontribusi sebagai penyumbang lebih dari 94% volume
ekspor biji kakao negara ASEAN (Pusdatin Kementan 2014). Enam negara di
dunia dengan produksi biji kakao terbesar dapat dilihat pada Tabel 1 (FAOSTAT
2016).
Tabel 1 Enam negara dengan produksi biji kakao terbesar di dunia
Negara
Pantai Gading
Indonesia
Ghana
Nigeria
Kamerun
Brazil
a

Produksi (Ton)a
2007
1 229 908
740 006
614 500
360 570
212 619
201 651

2008
1 382 441
803 593
680 781
367 020
229 203
202 030

2009
1 223 153
809 583
710 638
363 510
235 500
218 487

2010
1 30 347
844 626
632 037
399 200
264 077
235 389

2011
1 559 441
712 200
700 020
391 000
239 000
248 524

Sumber: FAOSTAT 2016.

Perkebunan kakao di Indonesia dikelompokkan kedalam 3 kelompok
menurut usahanya, yaitu perkebunan rakyat (887 735 Ha), perkebunan negara (49
976 Ha), dan perkebunan swasta (54 737 Ha). Pertumbuhan luas areal perkebunan
kakao di berbagai daerah di Indonesia pada tahun 2009-2013 rata-rata sebesar 4%.
Areal perkebunan terbesar berada di Pulau Sulawesi, Sumatera Barat, dan Aceh,
dengan luas
areal
mencapai lebih dari 100 000 Ha. Kakao mampu
menyumbangkan devisa bagi negara Indonesia sebesar 668 juta US dollar per
tahun atau merupakan nomor tiga terbesar dari sektor pertanian setelah kelapa
sawit dan karet (Hatmi & Rustijarno 2012). Provinsi Sulawesi Selatan yang
merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia mampu menyumbang
sebesar 283 juta US dollar per tahun.
Kakao Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang dapat memiliki daya
saing timggi dengan produk negara lain. Keunggulan kakao Indonesia adalah
memiliki titik leleh tinggi, mengandung lemak coklat dan dapat menghasilkan
bubuk kakao dengan mutu baik. Mutu produk akhir kakao, seperti aspek fisik, cita

5
rasa, kebersihan, serta aspek keseragaman sangat ditentukan oleh perlakuan pada
setiap tahapan proses produksinya (Hatmi & Rustijarno 2012). Saat ini, produksi
biji kakao secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat
rendah dan beragam. Luasnya areal perkebunan rakyat sangat mempengaruhi
mutu kakao yang dihasilkan. Produksi kakao yang bermutu baik, umumnya
dihasilkan dari perkebunan negara maupun swasta yang jumlahnya hanya 30%
(Dumadi 2011).
Beberapa faktor yang menyebabkan keragaman mutu biji kakao Indonesia
adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh
tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat, serta pengolahan biji kakao yang
masih tradisional. Petani di Indonesia umumnya mengeringkan biji kakao dengan
cara dijemur, sehingga potensi terkontaminasi cendawan sangat besar ketika kadar
air biji kakao yang dijemur masih lebih besar dari 7% (Dumadi 2011).
Peningkatan produktivitas, penggunaan varietas unggul, penanganan gangguan
OPT disektor on farm perlu diperbaiki untuk mendapatkan kualitas kakao yang
lebih baik, sedangkan di sektor off farm, perlu adanya pengerjaan fermentasi
dengan benar, pengelolaan hama di penyimpanan yang tepat dan pengolahan
kakao yang baik.
Permasalahan Hama pada Biji Kakao selama Penyimpanan
Biji kakao yang banyak diminati oleh pasar, terutama pasar internasional
adalah kakao curah. Kakao curah merupakan biji kakao kering dengan kriteria
kadar air kurang dari 7.5%, kadar benda asing termasuk hama 0%, kadar biji
bercendawan kurang dari 2%, dan kadar biji berkecambah kurang dari 2%. Kakao
curah umumnya diekspor untuk memenuhi permintaan pasar Amerika, Belgia,
Jerman, dan Swiss (Susanto 1994). Salah satu penyebab rendahnya kualitas biji
kakao adalah adanya infestasi serangga hama, hal ini dapat menyebabkan
dilakukannya automatic detention oleh negara tujuan ekspor yaitu Amerika
Serikat (Sjam et al. 2010).
Serangan serangga hama gudang secara langsung dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan fisik dan kimia pada biji kakao yang disimpan. Kehilangan
atau penurunan bobot merupakan salah satu perubahan fisik yang dapat
menurunkan kuantitas produk, sedangkan penurunan kandungan gizi karena
degradasi komponen nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin
merupakan perubahan kimiawi yang dapat menurunkan kualitas produk (Winarno
2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi sebagian
besar spesies serangga hama gudang adalah suhu, kelembapan relatif dan kadar air
bahan yang disimpan. Kandungan nutrisi dan sifat fisik bahan simpan juga sangat
menentukan tingkat serangan oleh serangga. Kandungan air yang tinggi (di atas
16%) menyebabkan bahan simpan menjadi lembut dan mudah diserang serangga
hama (Syarif & Halid 1993).
Serangga hama yang dapat menyerang biji kakao selama penyimpanan di
antaranya adalah A. fasciculatus dan T. castaneum. Kedua jenis serangga tersebut
tergolong dalam ordo Coleoptera yang sangat umum dijumpai sebagai hama
gudang. Faktor utama penyebab kehilangan hasil pertanian pada tahap pascapanen
adalah serangan hama. Kerusakan bahan hasil pertanian di negara maju berkisar
antara 5% - 15%, sedangkan di negara berkembang termasuk di Indonesia

6
diperkirakan dapat mencapai 25% - 50% dari total produksi (Sitinjak 1986). Di
Indonesia, kerusakan bahan pangan di penyimpanan yang diakibatkan oleh
serangan serangga hama mencapai 5% – 10% (Morallo–Rejesus 1978). Hal ini
disebabkan karena serangga hama gudang memiliki kemampuan berkembang biak
yang cepat, mudah menyebar dan dapat mengakibatkan pertumbuhan cendawan
(Halid & Yudawinata 1983).
Permasalahan Ekspor Kakao Indonesia
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang menyumbang devisa
cukup besar bagi negara Indonesia. Kakao Indonesia kebanyakan diekspor dalam
bentuk bahan baku mentah yaitu berupa biji kakao, sebanyak 75% dari total
produksi, sedangkan sisanya diolah di dalam negeri untuk menghasilkan produk
turunan kakao seperti cocoa powder, cocoa butter, cocoa cake, dan cocoa liquor.
Namun demikian, Indonesia masih mengimpor biji kakao karena adanya
kebutuhan akan biji kakao yang berkualitas baik (Jauhari & Wirjodirjo 2013).
Rendahnya produktivitas kakao Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya adalah penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih klonal,
masih tingginya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), pengelolaan kebun
yang masih tradisional dan umur tanaman kakao yang sebagian besar sudah tua
yaitu diatas 25 tahun, sedangkan usia produktif tanaman kakao adalah 13-19 tahun
(Suryani & Zulfebriansyah 2007).
Permasalahan lain yang menghambat produksi kakao Indonesia adalah
beban pajak ekspor kakao olahan yang relatif tinggi, yaitu 30%, sedangkan tarif
impor produk olahan kakao hanya sebesar 5%. Lebih kurang 85% produk kakao
Indonesia tidak difermentasi, sehingga ekspor kakao Indonesia ke beberapa
negara potensial seperti Uni Eropa masih terbatas (Firdaus & Ariyoso 2010).
Permasalahan lain adalah rendahnya mutu biji kakao Indonesia terutama kakao
yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat sehingga dihargai paling rendah di
pasaran internasional. Biji kakao Indonesia umumnya tidak difermentasi dan
memiliki kadar kotoran tinggi, terinfestasi serangga, cendawan, mikotoksin dan
memiliki cita rasa yang lemah (Wahyudi & Misnawi 2007).
Akibat rendahnya mutu kakao Indonesia, maka harga kakao Indonesia
dikenakan diskon (automatic discount) yang besarnya antara US$ 150-300 per ton
dan diberlakukan automatic detention, khusus untuk pasar Amerika Serikat
(Departemen Perindustrian 2010). Oleh karena itu, daya saing kakao Indonesia
lebih rendah jika dibandingkan dengan kakao yang dihasilkan negara lain. Di lain
pihak, pemberlakuan automatic detention untuk biji kakao kepada seluruh negara
pengekspor bisa menjadi peluang untuk memperbaiki mutu biji kakao dalam
negeri dengan memperbaiki pengelolaan kakao mulai dari hulu hingga hilir.
T. castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae)
Kumbang T. castaneum biasa disebut sebagai “red flour beetle”, karena
serangga ini lebih banyak menyerang bahan simpan olahan seperti tepung dan
kacang-kacangan. T. castaneum memiliki daerah penyebaran yang sangat luas,
tetapi lebih menyukai daerah yang beriklim panas. Serangga ini mampu

7
menginfestasi hampir semua komoditas yang disimpan di dalam gudang dengan
kondisi temperatur optimum 33oC dan kelembapan 70% (Kalshoven 1981). T.
castaneum memiliki kisaran inang yang luas. Komoditas dan produk-produk yang
dapat diserang di antaranya adalah beras, jagung, gandum, tepung terigu, serealia,
kacang-kacangan, kakao, coklat, coklat susu, biskuit, buah kering, bumbu-bumbu,
biji bunga matahari, oat, koleksi herbarium dan museum (Mason 2010).
Imago T. castaneum memiliki tubuh pipih memanjang, dengan panjang
tubuh antara 2.66-4.4 mm dan berwarna coklat. Pada kepala dan pronotum
terdapat banyak sekali bintik-bintik halus. Antena terdiri dari 11 ruas dan 3 ruas
terakhir yang membentuk gada (capitate). Bagian mata seolah-olah terbagi oleh
sisi samping kepala yang menjorok ke belakang. Telur kumbang ini berwarna
putih dan berukuran kecil (panjang 0.5 mm). Telur diletakkan di antara partikel
makanan. Ketika diletakkan, telur-telur tersebut ditutupi oleh cairan perekat yang
dapat menyebabkan partikel makanan menempel sehingga telur sulit terlihat
(Haines 1991). Stadia telur berkisar antara 3-4 hari. Kumbang betina dapat
meletakkan telur sampai dengan 1000 telur selama masa hidupnya (Ress 2004)
atau sekitar 5-15 butir setiap hari dengan masa peletakan telur selama beberapa
bulan (Christensen 1980).
Larva kumbang ini bertipe elateriform, berwarna putih kekuningan, dan
aktif bergerak mencari makanan. Panjang larva T. castaneum lebih kurang 10 mm
(Ress 2004). Jumlah instar larva T. castaneum diketahui sangat bervariasi. Larva
T. castaneum terdiri dari 5-11 instar larva, tetapi umumnya terdiri dari 7-8 instar
tergantung pada kondisi lingkungan seperti makanan, suhu, kelembapan, serta
individu serangga (Mason 2010) atau 6-8 instar, dengan masa instar pertama
biasanya yang terpendek dan masa instar terakhir yang terpanjang (Abdelsamad et
al. 1987). Larva bersifat predator fakultatif, karena selain memakan komoditas
yang diserang, larva juga memakan serangga lain yang berukuran kecil (Ress
2004). Baik larva maupun imago T. castaneum diketahui memangsa larva ngengat
beras, C. cephalonica, yang merupakan kompetitor di lingkungan hidupnya (Alabi
et al. 2008). Larva T. castaneum akan naik ke permukaan komoditas yang
diserang ketika akan berpupa (Mangoendihardjo 1984), sehingga pada permukaan
komoditas akan banyak ditemukan eksuvia larva.
Pupa berwarna putih kekuningan dengan panjang 4 mm (Grist & Lever
1989) tanpa dilindungi oleh kokon. Pupa jantan dapat dibedakan dari pupa betina
dengan melihat struktur urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang
lebih besar, sedangkan pada pupa betina terdapat struktur papillae (sepasang
tonjolan yang letaknya di atas urogomphi) pada ujung abdomen (Beeman et al.
2006). Fase telur dan pupa kumbang T. castaneum relatif singkat, lebih dari 60%
dari siklus hidupnya dihabiskan sebagai larva (Ress 2004). Siklus hidup kumbang
sekitar 5-6 minggu (Mangoendihardjo 1984). Lama perkembangan T. castaneum
dipengaruhi oleh suhu, tipe makanan, dan kelembapan. Lama hidup imago T.
castaneum dapat mencapai lebih 3 tahun. Siklus hidup pada optimum suhu 35oC
dapat berlangsung hanya 19.1 hari (Abdelsamad et al. 1987) dan pada lingkungan
serta keadaan pakan yang kurang sesuai perkembangan serangga dapat menjadi
lebih panjang (Suyono & Sukarna 1991).

8
A. fasciculatus De Geer (Coleoptera: Anthribidae)
Serangga ini bersifat kosmopolitan dan banyak ditemukan di kawasan tropis
dan subtropis. A. fasciculatus merupakan hama penting pada biji kopi dan biji
kakao. Kumbang A. fasciculatus juga dapat menyerang rempah-rempah, jagung,
kacang tanah, dan beberapa produk makanan (Haines 1991). A. fasciculatus juga
dapat menyerang biji pala, gaplek dan biskuit.
Imago A. fasciculatus berukuran 3-5 mm. Bagian protoraks dan elitra
memiliki bercak-bercak kecil berwarna coklat atau coklat keabu-abuan yang lebih
terang. Elitra lebih pendek daripada abdomen. Siklus hidup A. fasciculatus adalah
46-66 hari pada kondisi suhu 28oC dan kelembaban 70% (El Sayed 1940) dan 3452 hari pada suhu 29-31oC (Santos 1983). Imago dapat terbang aktif dan
menghasilkan telur rata-rata 50 butir (El Sayed 1940). Telur A. fasciculatus
diletakkan di dalam bahan makanan oleh serangga betina dan akan menetas dalam
waktu 5-8 hari. Perkembangan larva terjadi selama 30 hari dan kemudian akan
memasuki masa pupa selama 6-7 hari. Larva hidup di dalam biji dan hanya
terdapat satu larva dalam satu biji. Pada jagung, imago dapat hidup selama 27 hari
pada kelembaban 50% dan hidup selama 86-134 hari pada kelembapan 90%
(Robinson 2005).
Jenis-Jenis Fumigan
Pengendalian hama gudang yang umum dilakukan adalah fumigasi.
Fumigasi adalah tindakan pelepasan atau menyalurkan bahan kimia dalam
keadaan gas dengan tujuan membunuh organisme (Utomo 1984). Fumigasi
dilakukan di ruang kedap udara pada suhu dan tekanan tertentu dengan
menggunakan bahan kimia yang biasa disebut sebagai fumigan. Beberapa jenis
fumigan yang ada di dunia diantaranya adalah fosfin (PH3), metil bromida
(CH3Br), karbon dioksida (CO2), etil format, hidrogen sianida (HCN), dan sulfuril
fluorida (SO2F2).
Pemilihan fumigan fosfin untuk aplikasi jika komoditas tersebut akan
digunakan tidak kurang dari 7 hari dan umumnya digunakan untuk fumigasi bijibijian yang mengandung minyak, tepung, dan biji yang akan dikecambahkan.
Metil bromida digunakan untuk perlakuan yang harus selesai dalam waktu 4 hari
atau kurang dan banyak digunakan untuk perlakuan karantina dan pra-pengapalan.
Fumigan karbon dioksida digunakan untuk komoditas yang akan disimpan dalam
jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 15 hari), kemudian komoditas yang
akan difumigasi harus bebas dari residu fumigan. Fumigan hidrogen sianida
umumnya digunakan untuk mengendalikan hama vertebrata di dalam ruangan,
seperti di bangunan atau kapal dan bila fumigasi secara cepat diperlukan dan
perkecambahan biji-bijian harus dipertahankan (AFHB & ACIAR 1991).
Jenis fumigan yang biasa digunakan di Indonesia adalah metil bromida,
fosfin padat, fosfin cair, etil format dan sulfuril fluorida. Penggunaan metil
bromida sebagai fumigan untuk mengendalikan hama pertama kali dilaporkan
oleh Le Goupil pada tahun 1932. Kelebihan dari penggunaan metil bromida
sebagai fumigan adalah waktu aplikasi yang relatif singkat selama 24-48 jam.
Namun, metil bromida dapat meninggalkan residu pada komoditas yang
difumigasi terutama biji-bijian berlemak dan dapat mematikan embrio benih biji-

9
bijian sehingga tidak dapat digunakan untuk fumigasi benih. Selain itu, metil
bromida juga merupakan salah satu bahan perusak lapisan ozon. Oleh karena itu,
sejak Protokol Montreal diberlakukan, penggunaan metil bromida sebagai
fumigan terbatas hanya untuk keperluan karantina dan prapengapalan (Kementan
2011).
Sebagai alternatif dari fumigan metil bromida, saat ini fosfin menjadi salah
satu fumigan yang paling banyak digunakan. Meskipun bekerja lebih lambat
dibandingkan dengan metil bromida, namun penggunaan fosfin sebagai fumigan
relatif lebih aman. Hal ini karena fosfin tidak menyebabkan kerusakan lapisan
ozon, selain itu tidak meninggalkan residu pada komoditas yang difumigasi,
sehingga komoditas pangan masih aman untuk dikonsumsi (AFHB & ACIAR
1991).
Saat ini, di Indonesia tersedia 2 jenis formulasi fosfin, yaitu fosfin padat dan
fosfin cair. Fosfin padat biasanya berbentuk tablet, pelet, kantung dan plate.
Tablet fosfin terdiri dari campuran aluminium fosfida, amonium karbamat, dan
parafin. Setiap tablet formulasi aluminium fosfida mempunya berat 3 g yang
mengandung 1 g fosfin. Fosfin cair biasanya dipilih sebagai alternatif dalam
pelaksanaan fumigasi pada komoditas yang bermasalah apabila difumigasi dengan
fosfin formulasi padat. Fosfin formulasi cair diperdagangkan dalam silinder
tabung bertekanan yang dicampur dengan karbon dioksida (CO2). Kandungan gas
fosfin sebagai bahan aktif dalam suatu formulasi cair tidak lebih dari 5%. Pada
umumnya, senyawa fosfin formulasi cair yang diperdagangkan mengandung 2%
gas fosfin dan 98% gas CO2. Hal ini karena sifat fosfin yang mudah terbakar
(Barantan 2013).
Fumigan sulfuril flourida memiliki spektrum yang luas dan efektif untuk
setiap fase serangga hama dan tikus. Kelebihan dari sulfuril flourida adalah dapat
digunakan untuk fumigasi dalam waktu paparan yang lama maupun singkat.
Berbeda dengan fosfin yang mudah terbakar, sulfuril flourida tidak mudah
terbakar, tidak berwarna, tidak berbau dan gasnya sangat cepat terevaporasi dan
menyebar. Sulfuril flourida juga tidak menyebabkan korosif dan tidak
menyebabkan kerusakan pada lapisan ozon.
Penggunaan Fosfin sebagai Fumigan
Perlakuan fumigasi menggunakan fumigan fosfin merupakan salah satu
alternatif pengganti metil bromida. Fosfin sebagai fumigan pertama kali
digunakan pada tahun 1934 dan dilakukan pengembangan formulasi baru, yaitu
tablet alumunium fosfida di Jerman pada tahun 1953 (Mordkovich 2004). Fosfin
dipilih sebagai alternatif fumigan karena fosfin tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan, khususnya kerusakan pada lapisan ozon (Kementan
2011).
Fosfin memiliki berat yang hanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan
berat udara (34 g/mol) dan mampu menyebar lebih cepat dibandingkan dengan
fumigan lainnya. Titik didih fosfin adalah -87 oC dan titik leburnya 133.5 oC.
Batas flamibilitas fosfin > 1.7% di udara dan kelarutan di dalam air sebesar 0.2
v/v. Faktor konversi fosfin dari g/m3 ke ppm (30 oC, 1 atm) adalah sebesar 730.
Gas fosfin tidak banyak diserap komoditas yang difumigasi tetapi memiliki daya
penetrasi yang besar. Standar kedap udara yang diperlukan untuk fumigasi fosfin

10
yang efektif hampir sama dengan fumigan lainnya. Fosfin tidak mudah larut di
dalam air, korosif yaitu dapat bereaksi dengan beberapa logam, seperti tembaga,
atau campuran tembaga dengan kuningan. Fosfin juga dilaporkan dapat menyala
dengan spontan pada suhu di atas 100oC dan pada tekanan rendah, khususnya
dalam udara yang bebas air (AFHB & ACIAR 1991).
Umumnya fosfin digunakan dalam bentuk formulasi padat seperti
aluminium fosfida dan magnesium fosfida, namun dalam perkembangannya fosfin
juga diformulasikan dalam bentuk gas cair. Di Indonesia fosfin dalam formulasi
gas cair (liquefied phosphine) telah tersedia dan efektif untuk mengendalikan
berbagai jenis hama seperti T. castaneum, Sitophilus zeamais, Oryzaephilus
surinamensis, Ephestia cautella (Lepidoptera: Pyralidae) dan A. fasciculatus
(Harahap et al. 2011). Penggunaan fosfin gas cair masih terbatas karena
aplikasinya membutuhkan peralatan tambahan seperti alat injeksi jet gun atau
menggunakan selang distribusi. Selain itu kemasan fosfin cair berupa tabung
bertekanan tinggi yang cukup berat menyebabkan teknik aplikasi fosfin cair
menjadi kurang praktis dibandingkan formulasi padat.
Batas residu fosfin untuk inorganic fosfin yang diperbolehkan sesuai dengan
Codex Alimentarius, yaitu 0.1 mg/kg pada biji-bijian yang belum diolah dan 0.01
mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah (AFHB & ACIAR 1991). Fosfin dapat
digunakan untuk fumigasi berbagai jenis komoditas dan produk seperti biji-bijian
(beras, jagung, gandum, barley, sorgum), biji-bijian penghasil minyak, kacangkacangan, kakao, kopi, tembakau, teh, sayuran kering, susu bubuk, kapas, kayu,
rotan, benih, tepung terigu, mie, produk dari kulit (Arifin et al. 2006). Fosfin
tidak dapat diaplikasikan pada komoditas dengan kadar air tinggi lebih dari 22%
(Kementan 2011).
Cara Kerja dan Sifat Fosfin
Bersama-sama dalam satu grup dengan rotenon dan sianida, cara kerja
fosfin adalah melalui penghambatan respirasi melalui aksi dari komponen
mitokondria dalam rantai respirasi (Chaudry & MacNicoll 1998). Fosfin bekerja
melalui penghambatan proses respirasi sel yaitu penghambatan transpor elektron
dalam mitokondria kompleks IV yang merupakan lokasi metabolisme energi
(Spark & Nauen 2015, IRAC 2016). Fungsi enzim sitokrom c oksidase pada rantai
transpor elektron dalam mitokondria terhambat sehingga fosforilase oksidatif
juga terhambat dan produksi ATP berkurang (Price 1985, Garry & Lyubimov
2001). Penghambatan produksi ATP mengakibatkan sel kekurangan energi
sehingga terjadi penghambatan berbagai proses dalam sel yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan jaringan, bahkan kematian (Garry & Lyubimov 2001).
Target peracunan fosfin adalah mitokondria dan perubahan langsung terhadap
fungsi mitokondria berpengaruh terhadap resistensi fosfin (Zuryn et al. 2008).
Perbedaan penghambatan respirasi menunjukkan bahwa resistensi terjadi karena
penurunan sensitivitas mitokondria (Nakakita & Winks 1981). Faktor-faktor yang
dapat berkontribusi terhadap sensitivitas dan resistensi fosfin di antaranya adalah
membran potensial mitokondia, laju aliran elektron melalui rantai respirasi
mitokondria dan level ATP (Zuryn et al. 2008).
Fosfin merupakan zat berupa gas dengan kerapatan gas 1.2, tidak berwarna
dan tidak berbau, tetapi diberi tambahan bau seperti bau ikan, bau bawang putih

11
atau bau karbit sebagai agen peringatan bahaya. Fosfin tidak larut dalam air dan
daya larutnya juga rendah untuk hampir semua zat pelarut. Gas fosfin diperoleh
dari penguraian tablet atau pelet yang terdiri atas campuran aluminium fosfida dan
amonium karbamat yang menghasilkan hidrogen fosfida dan bubuk sisa. Pada
konsentrasi maksimum, aluminium fosfida dapat meninggalkan limbah yang
sebagian besar terdiri dari aluminium hidroksida berupa tepung sangat halus.
Kecepatan terbentuknya fosfin di udara dari bentuk tablet tergantung pada
kelembapan relatif udara dan suhu di ruang fumigasi. Pada tingkat kelembapan
lebih dari 70%, penguraian maksimum dari fosfin akan tercapai setelah 72-96 jam.
Bila kelembaban kurang dari 50%, konsentrasi maksimum dari gas fosfin yang
terbentuk tidak akan tercapai meskipun fumigasi dilakukan selama satu minggu
(Majumder & Venugopal 1973).
Fosfin dalam formulasi pelet ataupun padatan akan bereaksi di udara.
Reaksi yang terjadi antara gas fosfin dengan alumunium fosfida atau magnesium
fosfida dengan uap air di udara adalah sebagai berikut (TDRI 1985):
AlP + 3 H2O
Mg3P2 + 6 H2O

Al(OH)3 + PH3
3 Mg(OH)2+ 2 PH3

Gas fosfin yang tertinggal di dalam ruang fumigasi setelah fumigasi selesai dapat
dihilangkan secara tuntas dengan cara aerasi dan akan bereaksi dengan udara
membentuk asam fosfit yang lazim terdapat di alam. Serbuk yang tersisa dari
formulasi padatan atau pelet setelah gas fosfin dilepas masih mengandung sekitar
2% aluminium fosfida yang tidak terurai. Hal ini terjadi karena belum ada bentuk
formulasi fosfin dengan 100% penguraian fosfin (Majumder & Venugopal 1973).
Resistensi Serangga terhadap Fosfin
Resistensi terhadap insektisida merupakan perubahan yang diwariskan
dalam hal sensitivitas suatu populasi hama yang tercermin dalam kegagalan
berulang-ulang dari suatu produk untuk mencapai tingkat pengendalian yang
diharapkan jika menggunakan dosis rekomendasi (IRAC 2016). Oleh karena
resistensi serangga terhadap insektisida dapat diturunkan pada generasi
selanjutnya, maka apabila tidak dikelola dengan baik, serangga yang memiliki gen
resisten akan meningkat populasinya. Resistensi terhadap insektisida pada
serangga dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya

Dokumen yang terkait

Inventarisasi Hama Pascapanen Pada Biji Kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi Selatan dan Pengendalian Araecerus fasciculatus (De Gerr) Menggunakan Kantung Hermetik

0 24 45

Aplikasi Energi Gelombang Mikro untuk Pengendalian Hama Gudang Araecerus fasciculatus De Geer pada Biji Kakao

0 4 36

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

4 18 62

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 0 12

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 0 2

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 0 4

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 2 11

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 0 2

Metil Bromida (CH3Br) Sebagai Fumigan Hama Gudang Areca Nut Weevil (Araecerus fasciculatus De Geer) (Coleoptera : Anthribidae) Pada Biji Pinang

0 0 10

Status resistensi terhadap fosfin pada Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) dari gudang penyimpanan biji kakao di Makassar Sulawesi Selatan

0 0 10