Inventarisasi Hama Pascapanen Pada Biji Kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi Selatan dan Pengendalian Araecerus fasciculatus (De Gerr) Menggunakan Kantung Hermetik

INVENTARISASI HAMA PASCAPANEN PADA BIJI KAKAO
(Theobroma cacao L.) DI SULAWESI SELATAN DAN
PENGENDALIAN Araecerus fasciculatus (De Geer)
MENGGUNAKAN KANTUNG HERMETIK

SAFRIAL GUSPRATAMA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Inventarisasi
Hama Pascapanen pada Biji Kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi
Selatan serta Pengendalian Araecerus fasciculatus (De Geer) Menggunakan
Kantung Hermetik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret
2014

Safrial
Guspratama
NIM
A34090061

ABSTRAK
SAFRIAL GUSPRATAMA. Inventarisasi Hama Pascapanen Pada Biji Kakao
(Theobroma cacao L.) di Sulawesi Selatan dan Pengendalian Araecerus
fasciculatus (De Geer) Menggunakan Kantung Hermetik. Dibimbing oleh IDHAM
SAKTI HARAHAP.
Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia dalam produksi biji kakao
(849,875 metrik ton tahun 2011) setelah pantai gading (1.6 juta metrik ton). Biji
kakao yang diekspor ke Amerika sering mengalami “automatic detention” akibat

infestasi hama pascapanen. Penelitian ini bertujuan (a) Inventarisasi keragaman
pada hama pascapanen biji kakao, (b) merekomendasikan penggunaan kantung
hermetik untuk penyimpanan biji kakao kering. Penelitian ini dilakukan dalam dua
langkah: ( 1 ) survei lapangan dan ( 2 ) pengujian penggunaan kantung hermetik/
kedap udara untuk menyimpan biji kakao kering. Survei lapangan dilakukan di
Kabupaten Luwu Utara, Bantaeng, Bulukumba dan Kota Makassar. Kantung
hermetik menggunakan “kantung semar” dan dikombinasikan menggunakan
kantung polipropilena sebagai kontrol. Spesies serangga yang ditemukan pada
kakao dari gudang eksportir didominasi oleh Ephestia sp., Araecerus fasciculatus,
dan Liposcelis sp. Dalam uji coba penyimpanan kedap udara/ hermetik, angka
kematian mencapai 100 % terdapat pada semua waktu penyimpanan 1,2 dan 3
bulan. Sistem penyimpanan menyebabkan penurunan kadar oksigen ( hingga 2%
dalam 1 bulan, 0.9% dalam 2 bulan, dan 0.5% dalam 3 bulan ) dan peningkatan
karbon dioksida ( sampai 20% dalam 1 bulan dan 22-23% dalam 2 dan
penyimpanan 3 bulan ).
Kata kunci: Inventarisasi, kakao, hama pascapanen, penyimpanan hermetik

ABSTRACT
SAFRIAL GUSPRATAMA. Inventory of Postharvest Pests in Cocoa Beans
(Theobroma cacao L.) in South Sulawesi and Araecerus fasciculatus (De Geer)

Control Using Hermetic Storage. Supervised by IDHAM SAKTI HARAHAP.
Globally, Indonesia is the second largest cocoa producer (849.875 metric ton
in 2011) after Ivory Coast (1.6 million metric ton). Cocoa beans exported to the
United States often get “automatic detention” due to insect infestation.The
objectives of these research were (a) to inventory the diversity of postharvest pest
of cocoa beans, (b) to develop recommendation for good storage practices using
hermetic plastic bags for keeping dried cocoa beans in storage. Research was
conducted in two steps: (1) field survey and (2) bioassay on the use of hermetic
plastic bags to store dried cocoa beans. Field survey was conducted in the center of
cocoa bean production in South Sulawesi, specifically in Kabupaten Luwu Utara,
Bantaeng, Bulukumba and the City of Makassar. Hermetic plastic bags used were
“Kantung Semar” and compared with polypropylene bags as control. Insect species
found on cocoa bean samples from exporters warehouses were dominated Ephestia
cautella, Araecerus fasciculatus, Liposcelis sp., In hermetic storage trials, 100%
mortality was found on all storage time, 1, 2, and 3 months. This kind of storage
system causes a decrease in oxygen content (up to 2% in 1 month, 0.9% in 2 months,
and 0.5% in 3 months) and an increase in carbon dioxide (to 20% in 1 month and
22-23% in 2 and 3 months storage).
Key words: Inventory, cocoa, postharvest pests, hermetic storage


INVENTARISASI HAMA PASCAPANEN PADA BIJI KAKAO
(Theobroma cacao L.) DI SULAWESI SELATAN DAN
PENGENDALIAN Araecerus fasciculatus (De Geer)
MENGGUNAKAN KANTUNG HERMETIK

SAFRIAL GUSPRATAMA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Judul Usulan

Nama Mahasiswa
NIM

: Inventarisasi Hama Pascapanen Pada Biji Kakao
(Theobroma cacao L.) di Sulawesi Selatan dan
Pengendalian Araecerus fasciculatus (De Gerr)
Menggunakan Kantung Hermetik
: Safrial Guspratama
: A34090061


Disetujui oleh

Dr.Ir Idham Sakti Harahap, M.Si
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang atas kuasa dan kehendak-Nya Penulis dapat
menyelesaikan penelitian tugas akhir yang berjudul Inventarisasi Hama Pascapanen
Pada Biji Kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi Selatan dan Pengendalian
Araecerus fasciculatus (De Gerr) Menggunakan Kantung Hermetik.
Ucapan
terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan juga
bimbingan selama proses penelitian berlangsung dimulai dari bulan Maret hingga

Oktober 2013. Terimakasih juga teruntuk keluarga, rekan-rekan, yang telah
memberikan dukungan nyata bagi penelitian ini. Ucapan terimakasih sebanyakbanyaknya kepada:
1. Kedua orang tua Ali Hamidi dan Nina Rostiana yang selalu memberikan support.
Kedua adik Ahmad Hambali, Ahmad Shiddiq dan seluruh keluarga besar di
rumah.
2. Pembimbing Skripsi Dr.Ir Idham Sakti Harahap M.Si yang tak kenal lelah
memberikan bimbingan dari awal hingga kelulusan. Bapak telah memberikan
saya kesempatan dan wawasan dari luar daerah.
3. Supervisi Lab SEAMEO Biothrop Ibu Ir. Sri Widayanti dan teknisi Lab Bapak
Eeng atas semua bantuan dan bimbingan selama di Lab.
4. Rekan-rekan di kampus Nadzirum Mubin SP, dkk yang membantu dan
memberikan motivasi. Semoga kesuksesan menyertai kalian.
5. Rekan-rekan di Universitas Hassanudin Makassar , Ibu Vien, Mias, Lhastry, Sry,
dan Pak Anto yang mendukung kelancaran penelitian disana.
6. Rekan-rekan satu organisasi di KAMMI, dan WASILAS yang selalu
memberikan inspirasi, doa, dan dukungan.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala amal ibadah dan kebaikan
kepadanya. Penulis memohon maaf bila dalam penulisan tugas akhir ini masih
terdapat kekurangan.
Bogor, Juni 2014

Safrial Guspratama

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

xii
1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

BAHAN DAN METODE
Inventarisasi Serangga Hama Gudang Penyimpanan Biji Kakao

3
3

Tempat dan Waktu

3


Bahan dan Alat

3

Pelaksanaan Survei

3

Pengujian Kemasan Kantung Hermetik

3

Tempat dan Waktu

3

Bahan dan Alat

4


Perbanyakan Serangga

4

Persiapan Biji Kakao
Persiapan Kantung Hermetik dan Polyprophylene

4
4

Pengukuran kadar air, CO2, O2, Lemak, dan Asam Lemak Bebas

5

Masa Perlakuan Pengujian Kantung Hermetik

6

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Inventarisasi Serangga Hama Gudang Penyimpanan Biji Kakao
Karakteristik Petani

8
8
8

Karakteristik Pedagang Pengumpul

19

Karakteristik Eksportir

21

Pengujian Kantung Hermetik

26

Mortalitas Serangga Uji

24

Kadar CO2

24

Kadar O2

24

Kadar Air

27

Kadar Lemak

27

Kadar Asam Lemak bebas

28

Kehilangan Hasil

28

KESIMPULAN SARAN

32

Kesimpulan

32

Saran

32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

35

DAFTAR TABEL
No
1
2

3
4

Hal
Standar mutu biji kakao menurut SNI No 01-2323-2002
Rata-rata kelimpahan populasi Liposcelis spp. pada luasan 900 cm
Persentase hasil pengujian kantung hermetik menampilkan
korelasi mortalitas, kadar O2, dan kadar CO2
Persentase hasil pengujian kantung hermetik menampilkan hasil
pengujian yang berdampak terhadap kualitas biji kakao

18
23
26
29

DAFTAR GAMBAR
No
1
2

3
4

5

6

7

8

9
10
11

Hal
Toples-toples tempat perbanyakan Araecerus fasciculatus sebagai
Serangga uji
Proses menuju pengemasan biji kakao di Cikalong Wetan
Kabupaten Bandung yang akan dikirim ke SEAMEO BIOTROP
Kota Bogor
Klep untuk mengukur kadar oksigen dan karbon dioksida
Proses pengukuran kadar air, kadar oksigen dan karbon dioksida
pada biji kakao (a) grain moisture meter untuk mengukur kadar air
(b) oksigen dan karbon dioksida meter (c) proses pengukuran
kadar oksigen / karbon dioksida menggunakan oksigen/karbon
dioksida meter
Perlakuan penyimpanan dalam pengujian kantung hermetik (a)
Bahan uji yang telah masuk kedalam masa perlakuan selama 3 bulan
(b)Termohygrometer untuk mengukur suhu didalam dan luar ruang
penelitian serta kelembapan ruangan
Persentase sub kriteria responden kelompok petani dari
Sejumlah 50 petani dari dua wilayah
(a) berdasarkan jenis
kelamin, (b) berdasarkan umur, (c) berdasarkan luas lahan
Persentase kategori budidaya tanaman (a) berdasarkan umur
Tanaman (b) berdasarkan varietas tanaman (c) berdasarkan jenis
pupuk
Persentase jenis hama dan penyakit yang ditemukan petani di
lapang (a) Jenis hama yang ditemukan (b) Jenis Penyakit yang
ditemukan
Hama PBK (Conopomorpha cramerella)
Hama dan gejala serangan Helopeltis sp. (a) Helopeltis sp.
(b) gejala buah kakao yang terserang Helopeltis sp.
(a) Hama kutu putih Pseudococcus sp.(b) Gejala Busuk Buah
akibat Phytophthora palmivora

4

5
5

6

6

8

9

11
11
12
13

12

13

14
15

16

17

18
19
20
21

Gejala yang tampak akibat terserang VSD (a) daun yang tampak
klorotik (b) garis-garis cokelat pada jaringan xylem pada ranting
yang dibelah
Persentase jenis perlakuan dan lama perlakuan pasca panen setelah
dikeluarkan dari buah (a)perlakuan biji cokelat setelah dikeluarkan
dari buah (b) lama pemeraman (fermentasi)
Kotak kayu yang menjadi alat petani untuk melakukan fermentasi
pada kakao
Persentase perlakuan pengeringan biji kakao (a) tempat
pengeringan biji kakao (b) perlakuan biji kakao setelah proses
pengeringan
Persentase responden Pengumpul biji kakao dengan subkriteria
(a) jenis kelamin dan (b) umur (c) lokasi
kecamatan
mengumpulkan biji kakao dari tiga kabupaten
Perlakuan setelah pembelian oleh pengumpul biji kakao (a)
perlakuan pembelian kakao fermentasi dan tidak fermentasi (b)
perlakuan sortasi (c) perlakuan tempat/kemasan biji kakao
Jumlah populasi serangga hama gudang yang ditemukan di tiga
gudang berbeda menggunakan perangkap yellow pan trap
Jumlah populasi serangga hama gudang yang ditemukan di tiga
gudang berbeda menggunakan perangkap sticky trap
Rata-rata populasi serangga dalam satu stapel melalui hasil
tangkapan card trap
Musuh alami yang didapat pada perangkap yang dipasang (a)
musuh alami pada sticky trap (b) musuh alami pada yellow pan
trap

13

14
15

16

17

19
20
20
20

23

DAFTAR LAMPIRAN
No
1

Hal
Rekap kuesioner petani dan pengumpul di Sulawesi Selatan
(Luwu Utara, Bantaeng dan Bulukumba)

37

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Kakao diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazon,
Amerika Selatan yang dibawa ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh bangsa
Spanyol sekitar tahun 1560 (Ditjenbun 2012). Produksi kakao di Indonesia sebelum
perang dunia kedua pernah menduduki tempat yang penting di pasaran dunia.
Ekspor kakao dari Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 1993,
volume ekspor kakao di Indonesia mencapai 25 228 ton dengan nilai US $ 41 802
000 dan pada tahun 1994 mencapai 28 799 ton dengan nilai US$ 210 934 000.
Pemerintah menargetkan pada tahun 2015 Indonesia adalah negara paling banyak
melakukan produksi kakao nomor satu di dunia. Sehingga perlu adanya upayaupaya pengamanan produksi kakao, salah satunya disebabkan oleh masalah hama
pengganggu dan perusak (Misrun 2010).
Indonesia adalah negara produsen biji kakao terbesar kedua di dunia (849 875
ton pada tahun 2011) setelah Ghana, menjadi pemasok utama biji kakao ke kawasan
Asia Timur. Sebelumnya Indonesia adalah yang ketiga setelah Pantai Gading dan
Ghana. Ekspor kakao dari Indonesia dilakukan dalam bentuk biji kering, kakao
powder, pasta/liquor, cake, dan butter. Nilai total ekspor biji kakao Indonesia
adalah 600-700 miliar dollar per tahun dan menjadi sumber pendapatan utama dari
400 000 usaha tani kakao dengan luasan 0.5 – 1.5 hektar. Sentra produksi kakao di
Indonesia adalah Pulau Sulawesi. Sebanyak 85% pertanaman kakao di Indonesia
ada di pulau Sulawesi dengan provinsi yang terluas pertanaman kakaonya adalah
Sulawesi Selatan (USAID 2006).
Ekspor biji kakao dari Indonesia ke Amerika Serikat (sebanyak 136 000
metrik ton per tahun) sering mengalami “automatic detention” karena adanya
cemaran berupa serangga hama dan mutu biji yang rendah akibat pengerjaan
pascapanen yang kurang baik. Kerusakan akibat serangan hama dapat terjadi akibat
serangan hama lapangan, yaitu penggerek buah kakao atau serangan hama gudang
setelah biji kakao masuk ke tempat penyimpanan (USAID 2006). Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) pada kakao dapat menyerang sejak masa pra tanam
hingga pascapanen (Sjam dan Thamrin 2010). Secara khusus, serangga hama yang
menginfestasi biji kakao pada masa pasca panen di tempat penyimpanan,
merupakan salah satu komponen OPT yang dapat merugikan baik secara kuantitas
dan kualitas (Kalshoven 1981).
Salah satu serangga hama gudang yang menjadi hama pada penyimpanan biji
kakao adalah Araecerus fasciculatus. Serangga ini termasuk hama penting pada biji
kakao. Selain menyerang biji kakao A. fasciculatus juga dapat menyerang rempahrempah, gaplek, jagung, kacang tanah, dan beberapa produk makanan. Serangga ini
dapat berkembang pada kondisi optimum yaitu suhu 28º C dan kelembapan 70%,
lama perkembangan A. fasciculatus dari telur hingga dewasa adalah 46-66 hari.
Serangga dewasa aktif terbang dan mampu bertelur rata-rata 50 butir (Sunjaya dan
Widayanti 2012). Inventarisasi serangga hama gudang dilakukan untuk
mendapatkan keragaman hama gudang di lokasi pengambilan sampel di Propinsi
Sulawesi Selatan.

2
Serangan hama gudang ini dapat diatasi dengan perlakuan kantung hermetik.
Sistem kantung hermetik terdiri dari sistem penyimpanan tertutup yang
dimodifikasi. Sistem ini sebagai akibat dari efek respirasi yang membuat Oksigen
(O2) menjadi sangat rendah, dan kadar Karbondioksida (CO2) menjadi tinggi
(Villers dan Bruin 2006). Kombinasi dari suhu tropis, karbon dioksida, dan
kurangnya oksigen dalam penyimpanan kedap udara dapat mematikan seluruh
siklus kehidupan serangga (telur, kepompong, larva, dan dewasa), meskipun
tingkat kematian serangga, respirasi dan reproduksi lebih lambat pada suhu rendah
(Yakubu 2009).
Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi dan menentukan keanekaragaman jenis hama gudang pada
kakao di Sulawesi Selatan, serta menentukan keefektifan pengendalian hama
gudang dengan menggunakan kantung hermetik.
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi tentang keanekaragaman jenis hama gudang di
Sulawesi Selatan, serta informasi keefektifan kantung hermetik untuk pengendalian
hama gudang pada kakao.

BAHAN DAN METODE
Inventarisasi Serangga Hama Gudang Penyimpanan Biji Kakao
Tempat dan Waktu
Survei lapangan dilaksanakan di sentra produksi kakao Indonesia, yaitu
Provinsi Sulawesi Selatan. Survei dilaksanakan di Kota Makassar, Kabupaten
Luwu Utara, Bantaeng, dan Bulukumba dan berlangsung tiga kali antara bulan Mei
2013 dan Oktober 2013. Identifikasi serangga hasil survei dilakukan di
Laboratorium Entomologi Universitas Hassanudin dan Laboratorium Entomologi
SEAMEO BIOTROP.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang diperlukan untuk survei adalah kuesioner dan
perlengkapan koleksi serangga, yaitu perangkap serangga (yellow pan trap, sticky
trap, dan card trap), botol vial, kantung plastik dengan berbagai ukuran, kertas
label, spidol permanen, alkohol 70%, dan kuas halus. Untuk pemeliharaan serangga
yang diperoleh dari lapangan digunakan stoples gelas dan biji kakao kering untuk
pakan serangga.
Pelaksanaan Survei
Pelaksanaan survei dilakukan melalui kegiatan wawancara dan pengambilan
sampel serangga yang ditemukan di penyimpanan biji kakao. Survei ke sentra
produksi kakao di Provinsi Sulawesi Selatan ini dilakukan melalui kunjungan ke
petani dan pedagang pengumpul kakao di Kabupaten Luwu Utara, Bantaeng, dan
Bulukumba, dan kunjungan ke eksportir kakao di Kota Makassar.
Pada setiap wawancara ditanyakan mengenai permasalahan pascapanen
kakao yang dihadapi, jenis-jenis hama yang ditemukan di tempat penyimpanan,
cara pengendalian yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan hama tersebut,
dan dilakukan juga pengambilan contoh biji kakao beserta semua jenis hama yang
terdapat di penyimpanan biji kakao tersebut. Di gudang eksportir biji kakao juga
dilakukan pemerangkapan serangga hama menggunakan yellow pan trap dan sticky
trap. Serangga terperangkap kemudian dikoleksi dan dibawa ke Bogor untuk
dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci
identifikasi yang disusun oleh Bousquet (1990) dan Dobie et al. (1991). Sebagian
contoh serangga, terutama A. fasciculatus dikembangbiakkan di laboratorium untuk
penelitian penggunaan kemasan plastik kedap udara (hermetic storage).
Pengujian Kemasan Kantung Hermetik
Tempat dan Waktu
Pengujian penyimpanan kedap udara (hermetic storage) dilakukan di gudang
penelitian dan Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP Bogor antara bulan
Juli sampai Oktober 2013. Pengukuran konsentrasi karbondioksida (CO2), dan
oksigen (O2) dilakukan di laboratorium Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Institut Pertanian Bogor di kampus Dramaga, Kabupaten Bogor.

4
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam pengujian ini adalah biji kakao kering,
serangga uji hasil koleksi dari lokasi survei lapangan, yaitu A. fasciculatus, kantung
plastik kedap udara (“kantung semar”), karung plastik polipropilena, tali pengikat,
label, palet kayu, alat ukur konsentrasi CO2 dan O2, alat ukur kadar air biji, oven,
dan termohygrometer
Perbanyakan Serangga
Serangga yang digunakan pada penelitian ini adalah A. fasciculatus. Serangga
yang menjadi salah satu hama utama/ primer pada penyimpanan biji kakao. A.
fasciculatus diperoleh dari Balai Karantina di Provinsi Lampung. Serangga
diperbanyak di laboratorium entomologi dan disimpan di ruang perbanyakan
serangga SEAMEO BIOTROP. Serangga diperbanyak dalam 30 toples dengan
masing-masing diinfestasikan 30 ekor serangga. Serangga biakan awal akan
dikeluarkan setelah 2 minggu. Hal ini agar populasi imago yang muncul seragam
atau satu generasi. Perbanyakan serangga ini dilakukan dari bulan Maret hingga
bulan Mei.

Gambar 1 Toples-toples tempat perbanyakan A. fasciculatus sebagai serangga uji

Persiapan Biji Kakao
Penelitian ini menggunakan 720 kg biji kakao. Biji kakao diperoleh dari
perusahaan distributor hasil pertanian di daerah Cikalong Wetan Kabupaten
Bandung. Asal daerah biji kakao tersebar di Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Biji
kakao dibawa ke gudang penyimpanan di SEAMEO BIOTROP. Biji kakao
kemudian dikeringkan kembali agar tercapai kadar air yang ideal. Biji kakao
difumigasi agar hama yang terinfestasi sebelumnya mati dan tidak terbawa ke
perlakuan. Setelah itu biji kakao disortasi agar biji kakao yang memiliki kualitas
yang baik yang menjadi objek perlakuan.
Persiapan Kantung Hermetik dan Polyprophylene
Media kantung yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kantung Semar
sebagai perlakuan kantung hermetik, dan kantung Polyprophylene sebagai kontrol
non hermetik. Persiapan tersendiri dilakukan terhadap Kantung Semar karena
membutuhkan media injeksi khusus untuk pengukuran kadar oksigen dan karbon
dioksida. Media khusus tersebut berupa pemasangan Klep khusus yang menjadi
penghubung kantung hermetik dengan CO2 dan O2 meter. Pemasangan klep

5
disesuaikan dengan letak yang tepat agar pengukuran dapat berlangsung dengan
baik.

Gambar 2 Proses menuju pengemasan biji kakao di Cikalong wetan Kabupaten
Bandung yang akan dikirim ke SEAMEO BIOTROP di Kota Bogor

Gambar 3 Klep untuk mengukur kadar oksigen dan karbondioksida
Pengukuran kadar air, kadar karbon dioksida, kadar oksigen, kadar lemak
dan asam lemak bebas
Sebelum perlakuan seluruh biji kakao pada perlakuannya masing-masing
dihitung kadar airnya menggunakan Grain Moisture Tester. Perhitungan kadar air
dilakukan dengan tiga kali ulangan dan diambil rata-ratanya. Sesaat setelah
perlakuan, diukur kadar karbondioksida dan oksigen awal. Kadar karbondioksida
dan oksigen diukur menggunakan CO2 meter dan O2 meter yang dimiliki
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Seluruh bahan perlakuan dibawa ke
Laboratorium Teknik Mesin dan Biosistem di Leuwikopo Darmaga Bogor.
Pengukuran kadar air di lab service SEAMEO Biotrop menggunakan
metode Gravimetri. Gravimetri merupakan penetapan kuantitas atau jumlah sampel
melalui penghitungan berat zat. Sehingga dalam gravimetri produk harus selalu
dalam bentuk padatan (solid). Pengukuran kadar lemak menggunakan metode
Sokhletasi. Sokhletasi merupakan proses pemisahan ( ekstrak padatan ) suatu bahan
alam dengan palarut organik yang menggunakan alat sokhlet. Pada umumnya
metode ini digunakan untuk memisahkan lemak dan minyak. Pada tahapan
prosesnya, teknik sokhletasi ini hampir sama dengan partisi cair, namun yang

6
membedakannya adalah cara pemisahannya. Prinsip dari metode ini adalah
mengekstrak lemak dengan menggunakan pelarut organik. Setelah pelarutnya
diuapkan, lemaknya dapat ditimbang dengan dihitung presentase kadar sampelnya.
Pengukuran kadar asam lemak bebas menggunakan metode Titrimetri. Titrimetri
adalah suatu cara analisis yang berdasarkan pengukuran volume larutan yang
diketahui konsentrasinya secara teliti (titran/penitar/larutan baku) yang direaksikan
dengan larutan sampel yang akan ditetapkan kadarnya.

(a)
(b)
Gambar 4 Proses pengukuran kadar air, kadar oksigen dan karbon dioksida pada
biji kakao (a), grain moisture meter untuk mengukur kadar air dan (b),
Oksigen & Karbondioksida meter

Masa Perlakuan Pengujian Kantung Hermetik
Perlakuan ini menggunakan 18 kantung hermetik (kantung semar) dan 18
kantung non hermetik (Polyprophylene). Masing-masing kantung terdapat
perlakuan terinfestasi (Infested) oleh A. fasciculatus dan tidak terinfestasi (non
Infested). Serangga yang diinfestasikan sejumlah 200 ekor di tiap kantungnya.
Perlakuan berjalan selama 3 bulan. Masing-masing terdapat perlakuan yang diamati
setelah 1 bulan, setelah 2 bulan dan setelah 3 bulan. Suhu dan kelembapan harian
diukur tiga kali sehari menggunakan termohygrometer. Indikator yang akan diamati
adalah populasi serangga, kerusakan (loss weight), kadar air, kadar oksigen, kadar
karbondiokisida, dan asam lemak bebas biji kakao.

(a)
(b)
Gambar 5 Perlakuan penyimpanan dalam pengujian kantung hermetik (a) Bahan
uji yang telah masuk kedalam masa perlakuan selama 3 bulan
(b)Termohygrometer untuk mengukur suhu di dalam dan luar ruang
penelitian serta kelembapan ruangan

7
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Pengujian ini dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap faktorial dengan
dua faktor, yaitu jenis kemasan (kantung semar, kantung PVC, dan karung
poliproplena) dan waktu penyimpanan (satu, dua, dan tiga bulan) Semua perlakuan
pada masing-masing seri pengujian diulang tiga kali. Populasi serangga dihitung
menggunakan persen mortalitas dengan rumus :
populasi serangga mati
x 100%
Persen Mortalitas =
populasi serangga hidup + populasi serangga mati
Nilai kehilangan hasil biji kakao selama penyimpanan, dihitung
menggunakan formula Adams (Adams 1976), yaitu dengan rumus :

U
Nu
D
Nd
N

U.Nd – D.Nu
Nilai Kehilangan Hasil =
U.N
= Bobot biji utuh
= Jumlah biji utuh
= Bobot biji berlubang
= Jumlah biji berlubang
= Jumlah biji utuh + jumlah biji berlubang

X 100%

Data hasil pengujian dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA)
menggunakan program SPSS. Pembandingan nilai tengah dilakukan dengan uji
selang berganda Duncan (DMRT) dengan tingkat kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Inventarisasi Serangga Hama Gudang Penyimpanan Biji Kakao
Karakteristik Petani
Petani responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah 92%, dan petani
yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8%. Petani yang memiliki umur kurang
dari 30 tahun sebanyak 14%, yang berumur dibawah 40 tahun sebanyak 32%, dan
yang berumur diatas 50 tahun sebanyak 54%. Pada penelitian ini didapat rata-rata
umur petani kakao sejumlah 40.76 tahun dengan kisaran 25-76 tahun (Gambar 6).
Rata-rata usia petani pada umumnya berada pada usia produktif. Menurut Herman
(2006) didapat bahwa petani kakao di Sulawesi Selatan pada umumnya berada pada
usia produktif dengan umur rata-rata 41.59 tahun dengan kisaran 24-65 tahun.
Pada penelitian ini juga didapat rata-rata luasan lahan pertanaman kakao yang
dimiliki petani adalah 1.74 hektar. Luas lahan tersebut mengalami sedikit
peningkatan dari penelitian sebelumya. Menurut Effendi (2012) luas lahan
pengelolaan kakao di kluster Sulawesi Selatan adalah 1.53 hektar dengan
produktifitas per hektar adalah 518.81 kilogram.
8%

14%
32%
54%
92%

Laki-Laki

≤30 tahun

Perempuan

(a)

≤40 tahun

(b)

36%
64%

(c)

≤ 2 Ha

≥ 2 Ha

Gambar 6 Persentase sub kriteria responden kelompok petani dari sejumlah 50
petani dari dua wilayah (a) jenis kelamin petani, (b) umur petani, (c)
luas lahan yang dimiliki petani
Petani responden yang memiliki tanaman kakao berumur dibawah 15 tahun
sebanyak 74%, dan yang memiliki tanaman berumur diatas 15 tahun sebanyak 26%
(Gambar 7). Petani responden banyak melakukan proses peremajaan sehingga ratarata umur tanaman kakao cenderung mengalami penurunan. Rata-rata umur
tanaman kakao di tiga kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan cukup banyak yang
memiliki kategori tanaman tua. Hal ini berdampak pada penurunan produksi biji

9
kakao. Menurut KPPU (2009) produksi kakao di Sulawesi Selatan mengalami tren
penurunan selama beberapa tahun terakhir. Hal ini kontradiktif dengan luas areal
perkebunan kakao di Sulawesi Selatan yang mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Salah satu faktor penyebabnya adalah usia tanaman kakao yang terlalu tua
dan serangan hama penyakit.
Petani responden menanam 5 jenis varietas kakao. Petani responden yang
menanam varietas S1 (Sulawesi 1) dan S2 (Sulawesi 2) sebanyak 64%. Varietas
kedua yang paling banyak ditanam adalah varietas lokal yang belum memiliki nama
sebanyak 26%. Varietas ketiga yang paling banyak ditanam adalah varietas
M1(Muhtar 1), dan M4 (Muhtar 4) sebanyak 10% (Gambar 7). Muhtar adalah salah
satu petani lokal kabupaten Luwu Utara yang berhasil menemukan varietas
tersebut.

26%

26%

10%

64%

74%
≤15 tahun

≥15 tahun

(a)

S1, S2

M1, M2

Lokal

(b)

26%
6%

(c)
Gambar 7

68%

Urea & NPK
Poska
Pupuk lainnya (Kompos)

Persentase kategori budidaya tanaman (a) umur tanaman (b) varietas
tanaman (c) jenis pupuk yang digunakan

Varietas S1 (Sulawesi 1) memiliki ciri berproduksi optimal pada tahun kelima
setelah tanam dengan potensi produksi sekitar 1.8-2.5 ton/ha pertahunnya. Varietas
ini memiliki kadar lemak 49-53% /100 gram. Morfologi varietas Sulawesi 1 ini
adalah bentuk buah oval panjang berwarna merah, permukaan buah halus dan
pantat buah tumpul. Panjang buah mencapai 20.17 cm dengan diameter 10.23 cm,
kerutan pada buah dangkal dengan warna merah. Biji berbentuk oval, daun
berbentuk panjang sempit, dan percabangan yang terbentuk mengarah ke atas.
Varietas ini cukup toleran terhadap serangan hama dan penyakit PBK 2.25%, Busuk
buah 1.27%, VSD 1.50%. Pembungaannya cepat dan melakukan penyerbukan
sendiri (MCDC 2012).

10
Varietas S2 (Sulawesi 2) memiliki potensi produktivitas dalam 800 pohon
mencapai 1.8-2.7 ton pertahunnya dengan usia produktif 3 tahun setelah tanam.
Morfologi varietas Sulawesi 2 ini adalah sebagai berikut: Bentuk buah bulat pendek
berwarna merah tidak mempunyai leher botol, pantatnya tumpul dan permukaan
kulit kasar. Panjang buah 17.00 cm dan diameternya 9.43 cm. Alur buah jelas dan
berwarna merah, biji berbentuk ovale bulat dan dalam 100 gram terdapat 76 biji,
dan kadar lemaknya 45-48.78%. Daun berbentuk panjang sempit, dan pucuknya
berwarna merah. Intensitas serangan hama dan penyakitnya adalah PBK 1.83%,
busuk buah 1.26%, VSD 2.05%. Pembungaan cepat dan melakukan penyerbukan
sendiri (MCDC 2012).
Varietas M1 (Muhtar 1) memiliki ciri bentuk buah bulat pendek berwarna
hijau, tidak memiliki leher buah, pantat buah runcing, permukaannya halus, kulit
halus, panjang buah 19.17cm, dengan diameter mencapai 10.67cm. Kerutan buah
berupa alur dangkal yang berwarna hijau. Biji dari klon M1 adalah berbentuk ovale,
dalam 100 gram terdapat sekitar 63 biji dengan kadar lemak 48.90%. Daun
berbentuk lebar panjang dengan pucuk berwarna hijau muda. Potensi produktivitas
mencapai 3.6 ton/tahun dengan umur 6 tahun. Rentan terhadap hama PBK dan
penyakit VSD tetapi resisten terhadap penyakit black pod. Pembungaannya cepat
dan melakukan penyerbukan sendiri (MCDC 2012).
Varietas M2 (Muhtar 2) memiliki ciri buah berbentuk ovale panjang berwarna
hijau, mempunyai leher buah, pantat buah runcing, permukaan buah kasar dengan
panjang 23.00 cm dan diameter 9.73cm. Alur buah dangkal dan berwarna hijau, biji
berbentuk ovale bulat, dalam 100 gram terdapat 63 biji dengan kadar lemak
51.30%. Daun berbentuk panjang sempit, dengan pucuk merah. Produktivitas
pertahunnya 1.06 ton. Nama penyakit yang biasa menyerang adalah PBK 2.09%,
busuk buah 1.62%, VSD 2.91%. Pembungaannya cepat dan melakukan
penyerbukan sendiri (MCDC 2012).
Varietas lokal memiliki ciri yang belum teridentifikasi secara spesifik
dikarenakan jenis yang masih banyak dan pola budidaya dan perbanyakan klon
yang masih menggunakan cara tradisional. Beberapa varietas lokal dianggap
memiliki beberapa keunggulan. Kabupaten Bantaeng menjadi kabupaten yang
paling banyak melakukan budidaya varietas lokal. Selain itu, kabupaten Bantaeng
menjadi salah satu percontohan perkebunan kakao secara organik dan sudah dikenal
hingga mancanegara.
Pemupukan adalah salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam proses
budidaya tanaman kakao. Pada gambar 7 dapat dilihat dari keseluruhan responden
petani sebanyak 68% petani menggunakan sekaligus pupuk NPK dan Urea dalam
pemupukan. Pupuk Poska digunakan oleh petani sebanyak 6%. Petani
menggunakan pupuk kompos buatan sendiri sebanyak 26%.
Kondisi di lapang memperlihatkan pola pemupukan yang berbeda dilakukan
oleh masing-masing responden. Di kabupaten Bantaeng responden didominasi
pengguna pupuk kompos. Hal ini dikarenakan pola pertanian organik yang
dilakukan. Sedangkan di Kabupaten Luwu Utara dan Bulukumba, petani lebih
banyak menggunakan pupuk anorganik dan mulai rutin dilakukan semenjak
Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) yang dicanangkan pemerintah untuk
meningkatkan produksi kakao dan dimulai pada tahun 2009.

11
4%

2%

18%
2%

78%
PBK & Helopeltis

Helopeltis

96%
Busuk buah

VSD

PBK
Kutu Putih
(a)
(b)
Gambar 8 Persentase jenis hama dan penyakit yang ditemukan petani di lapang (a)
Jenis hama yang dilaporkan (b) Jenis penyakit yang ditemukan
Jenis hama yang paling banyak ditemukan di lapang berdasarkan survei
petani adalah PBK (Penggerek Buah Kakao) dan Helopeltis Sp., 78% Petani
menemukan keduanya sekaligus di lahan. Sedangkan 18% menjawab hanya
menemukan PBK (Penggerek Buah Kakao) dan 2% responden lahannya terserang
Helopeltis.sp dan kutu putih Pseudococcus sp.(Gambar 8).
PBK (Penggerek Buah Kakao) Conopomorpha cramerella adalah salah satu
ancaman pertanaman kakao di Indonesia, kehilangan hasil akibat hama ini
mencapai 80% (Wardojo,1994). PBK termasuk dalam Ordo Lepidoptera, Famili
Gracillariidae. PBK menyerang buah sebesar 3 cm, tetapi umumnya lebih menyukai
yang berukuran sekitar 8 cm. Metamorfosis atau siklus hidup PBK merupakan
siklus hidup yang sempurna yaitu telur, larva, pupa, imago. Telur berwarna
kekuningan, terletak pada alur buah dan masa stadium 3-7 hari. Larva berwarna
putih kehijauan dengan masa stadium 14-18 hari, masa stadium pupa 5-7 hari.
Imago PBK ini berwarna hitam bintik- bintik kuning, dan ciri yang dikenali oleh
PBK adalah berpola zig-zag sepanjang sayap depannya dan terdapat spot
kekuningan pada ujung sayapnya. PBK aktif pada malam hari pada siang hari
beristirahat di bawah ranting horisontal yang aman dari sinar matahari dan angin.
PBK selain menyerang tanaman kakao juga menyerang tanaman lain seperti
rambutan, langsat, nangka, dan serikaya. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan
hama PBK adalah kulit buah terlihat belang kuning kehijauan atau tampak masak,
ketika buah diguncang tidak terdengar suara, hal ini disebabkan oleh biji-biji saling
melekat di dalam, ketika buah dibelah nampak biji-biji berwarna hitam. (MCDC
2012)

Foto : MCDC 2012

Gambar 9 Hama PBK (Conopomorpha cramerella)

12
Helopeltis sp. tergolong ke dalam Ordo Hemiptera, Famili Miridae.
Helopeltis sp. menyerang buah yang sudah tua sehingga berat biji akan menurun,
dan pada buah yang masih muda mengakibatkan layu pentil dan buah tidak akan
tumbuh normal. Serangga ini juga menyerang pucuk tanaman kakao dengan cara
menghisap cairan pucuk tanaman. Siklus hidup Helopeltis sp. yaitu telur, nimfa
(serangga pradewasa), dan imago. Telur berwarna keputihan dan terletak pada
sudut pertulangan daun muda, tangkai ranting serta memiliki masa stadium selama
5-7 hari. Setelah 7 hari telur berubah menjadi nimfa dan di masa ini nimfa akan
menghisap buah. Nimfa atau serangga muda tidak bersayap, tubuh berwarna coklat,
dan berjalan secara miring. Usia stadia nimfa selama 10-11 hari dan mengalami 4
kali ganti kulit. Imago berwarna coklat atau coklat kehitaman dan memiliki panjang
tubuhnya 4,5-6 mm. Pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul.
Imago Helopeltis sp. terletak di permukaan buah dan tangkai buah dengan stadium
hidup selama ± 16 hari. Perkembangan serangga dari telur hingga menjadi dewasa
adalah 21-24 hari.
Gejala serangan Helopeltis sp. pada bagian tanaman tampak pada bagian
buah. Gejala serangan berupa bekas tusukan yang membentuk bintik-bintik
berwarna coklat kehitaman. Pada ujung daun muda tampak seperti terbakar, dan
pada tangkai daun terdapat bintik-bintik hitam. Akibat dari serangan hama ini dapat
menurunkan produksi sebesar 45-50% (MCDC 2012)

Foto :NBAAI 2012

(a)
(b)
Gambar 10 Hama dan gejala serangan Helopeltis sp. (a) Helopeltis sp. (b)
gejala buah kakao yang terserang Helopeltis sp.
Pseudococcus sp. termasuk ke dalam Ordo Hemiptera, Famili
Pseudococcoidae. Kutu ini berbentuk oval dengan panjang 3-4 mm dan tubuh
ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih. Telur Pseudococcus sp. terbungkus oleh
lapisan putih tebal yang terdapat pada bagian bawah tubuh imago betina. Nimfa
memiliki karakteristik berkumpul pada bagian ketiak daun, pada bagian pucuk, dan
pada bagian sambungan. Pseudococcus sp. memiliki lama siklus hidup 37-50 hari.
Gejala serangan yang terjadi pada daun adalah mengalami corak atau perubahan
bentuk.

13

(a)
(b)
Gambar 11 (a) Hama kutu putih Pseudococcus sp.(b) Gejala Busuk Buah akibat
Phytophthora palmivora
Jenis penyakit yang paling banyak ditemukan di lapang berdasarkan survei di
petani adalah busuk buah yaitu sebanyak 96%. Sedangkan sekitar 4% responden
lainnya menjawab lahannya terserang VSD (Gambar 8). Busuk buah kakao
disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora. Cendawan ini adalah salah
satu patogen paling penting di daerah tropis, menyerang berbagai jenis tanaman
seperti kakao, kelapa, karet, pepaya, pinang, lada, nanas dan kelapa sawit. Gejala
serangan busuk buah diawali dengan munculnya bercak-bercak hitam basah pada
buah kemudian meluas menyelubungi buah dalam waktu satu minggu. Bagian buah
yang terserang akan terjadi pembusukan sehingga biji pun ikut membusuk dan
tampak serbuk putih pada permukaan buah yang merupakan hifa cendawan. Jika
penyakit ini menyerang pada buah yang masih muda buah akan rusak dan tidak bisa
dipanen, tetapi bila menyerang pada buah yang sudah masak buah masih dipanen
tetapi kualitas biji kurang bagus karena biji menjadi mengecil (MCDC 2012).

(a)
(b)
Gambar 12 Gejala yang tampak akibat terserang VSD (a) daun yang tampak
klorotik (b) garis-garis coklat pada jaringan xylem pada ranting yang
dibelah
Penyakit VSD (Vascular Streak Dieback): Oncobasidium theobromae
pertama kali ditemukan pada tahun 2002 di daerah Polmas dan Pinrang (Rosmana
2005). O. theobromae menginfeksi pucuk dan cabang kakao. Gejala yang terlihat
pada daun tampak klorotik dan dapat berkembang pada gejala khas berupa belang

14
hijau dengan latar belakang kuning pada daun. Tanaman yang terserang penyakit
VSD menunjukkan gejala meranting. Gejala khusus terdapat pada daun kedua dan
ketiga dari pucuk, daun menguning dengan bercak-bercak hijau, dan di tapak serta
tangkai daun ada 3 titik nokta berwarna kehitaman. Bila ranting dibelah membujur
terlihat garis-garis coklat pada jaringan xylem yang bermuara pada bekas duduk
daun, permukaan tangkai daun, dan cabang terasa kasar. Kerusakan akibat serangan
VSD dapat mencapai 3-60%. Serangan yang paling kritis adalah ketika menyerang
tanaman di pembibitan atau tanaman muda (MCDC 2012).
Perlakuan Pascapanen oleh Petani
Petani responden yang melakukan proses fermentasi pada pascapanen
sebanyak 40%. Petani responden yang tidak melakukan proses fermentasi sebanyak
60% (Gambar 13). Tahapan fermentasi biji kakao yaitu buah hasil panen dibelah
dan biji berselimut pulp dikeluarkan, kemudian dikumpulkan pada suatu wadah.
Jenis wadah yang digunakan dapat bervariasi, diantaranya drying platforms
(Amerika), keranjang yang dilapisi oleh daun, dan kotak kayu untuk dilakukan
proses fermentasi. Kotak kayu disimpan di atas tanah atau di atas saluran untuk
menampung pulp juices yang dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp).
Pada umumnya, dasar kotak kayu memiliki lubang kecil untuk drainase dan aerasi.
Kotak kayu tidak diisi secara penuh, disisakan 10 cm dari atas dan permukaan atas
ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan panas dan mencegah
permukaan biji dari pengeringan.

42,10%
40%
60%
57,90%
≤4 hari

Diperam/fermentasi
Langsung dikeringkan
(a)

≥4hari

(b)

Gambar 13 Persentase jenis perlakuan dan lama perlakuan pasca panen setelah
dikeluarkan dari buah (a) perlakuan biji cokelat setelah dikeluarkan
dari buah (b) lama pemeraman (fermentasi)

Fermentasi bertujuan mempermudah menghilangkan pulp, menghilangkan
daya tumbuh biji, merubah warna biji dan mendapatkan aroma dan cita rasa yang
baik. Syarat mutu biji kakao adalah tidak terfermentasi maksimal 3 %, kadar air
maksimal 7%, serangan hama penyakit maksimal 3 % dan bebas kotoran (USAID
2006). Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan
kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan

15
tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending. Fermentasi merupakan suatu
proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme pemroses.
Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan
mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak
memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao yang
mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang
pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi. Fermentasi biji kakao
akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji,
mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma
kakao (cokelat) dan aroma kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji. Biji yang
tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita
rasa dan mutu biji sangat rendah. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap
yaitu fermentasi anaerob dan fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat membuat
lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi pertumbuhan ragi dan
terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi aerob diinisiasi oleh bakteri asam
laktat dan bakteri asam asetat. Produk fermentasi yang dihasilkan berupa etanol,
asam laktat, dan asam asetat yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji
tidak berkecambah. Untuk menghentikan proses fermentasi, biji kakao kemudian
dikeringkan (Anita 2009).

Gambar 14 Kotak kayu yang menjadi alat petani untuk melakukan fermentasi pada
kakao
Petani yang melakukan proses fermentasi memiliki lama waktu yang berbeda
dalam melakukan proses fermentasi. Petani responden yang melakukan proses
fermentasi dengan lama waktu kurang dari 4 hari sebanyak 57.90%. Petani
responden yang melakukan proses fermentasi dengan lama waktu lebih dari 4 hari
sebanyak 42.10% (Gambar 13). Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama 2
– 6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan memindahkannya ke kotak lain.
Pada proses berikutnya dalam produksi biji kakao terdapat proses
pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan berbagai cara yaitu penjemuran di
bawah sinar matahari, dan menggunakan mesin pemanas/oven. Seluruh responden
petani yang diwawancara semuanya menggunakan cara tradisional yaitu dengan
penjemuran di bawah sinar matahari. Petani responden yang melakukan
pengeringan biji kakao dijemur di permukaan tanah dengan alas sebanyak 88%.

16
Petani responden yang melakukan penjemuran di atas bambu sebanyak 12%
(Gambar 15). Petani responden melakukan perlakuan seleksi/ sortasi berdasarkan
kualitas biji kakao. Namun, tidak semua petani melakukan proses seleksi/sortasi.
Petani yang melakukan proses sortasi/seleksi hanya 18%. Petani yang tidak
melakukan proses seleksi/sortasi sebanyak 82% (Gambar 15).
Biji kakao dikeringkan untuk menghentikan proses fermentasi. Pengeringan
dilakukan sampai kadar air menjadi 7 – 8 %. Kadar air kurang dari 6%, biji akan
rapuh sehingga penanganan serta pengolahan lanjutnya menjadi lebih sulit. Kadar
air lebih dari 9% memungkinkan pelapukan biji oleh jamur. Pengeringan dengan
pemanas sinar surya dapat memakan waktu 14 hari, sedangkan dengan pengeringan
non surya memakan waktu 2 – 3 hari. Pengeringan biji kakao yang telah
difermentasi dikeringkan agar tidak terserang jamur dengan sinar matahari
langsung (7-9 hari) atau dengan kompor pemanas suhu 60-700ºC (60-100 jam)
(Anita 2009).

12%

88%
Dijemur diatas bambu

18%

82%
Disortasi

Tidak dilakukan sortasi

Dijemur di permukaan
(b)
(a)
tanah dengan alas
Gambar 15 Persentase perlakuan pengeringan biji kakao (a) tempat pengeringan
biji kakao (b) perlakuan biji kakao setelah proses pengeringan
Biji kakao di Indonesia dipandang masih rendah dalam proses sortasi. Kadar
air yang baik untuk produksi biji kakao kurang dari 6 %. Kadar air melebihi 6%
harus disortasi. sortasi/seleksi juga dilakukan untuk mendapatkan ukuran tertentu
dari biji kakao sesuai permintaan. Sortasi biji kakao kering dimaksudkan untuk
memisahkan antara biji baik dan cacat berupa biji pecah, kotoran dan benda asing
lainya seperti batu, kulit dan daun-daunan. Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari
dikeringkan agar kadar air seimbang. Sehingga biji tidak terlalu rapuh dan tidak
mudah rusak. Sortasi dilakukan dengan menggunakan ayakan untuk memisahkan
kotoran-kotoran dan biji yang rusak. (Disbun Jabar 2007)
Karakteristik Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul adalah profesi sebagian penduduk di sentra produksi
biji kakao yang menghubungkan petani dengan pembeli yang memiliki modal yang
lebih besar. Pemodal yang lebih besar contohnya adalah pabrik di kawasan industri
serta eksportir. Pedagang pengumpul biji kakao dari tiga kabupaten berjumlah
sebanyak 18 orang.
Sebaran gender pedagang pengumpul adalah 50% laki-laki dan 50%
perempuan (Gambar 16). Pedagang pengumpul di Kabupaten Bulukumba

17
didominasi responden perempuan sebanyak 7 orang. Petani di kabupaten Luwu
utara didominasi laki-laki sebanyak 6 orang. Usia responden pedagang pengumpul
sebanyak 5.60% berumur di bawah 30 tahun, 61.20% berumur dibawah 40 tahun
dan 33.40% berumur di atas 50 tahun (Gambar 16). Hal ini menandakan sebagian
besar pedagang pengumpul berada pada usia produktif.

5,60%
33,40%
50%

50%
61,20%

(a)

Laki-Laki
Perempuan

≤30 tahun

≤40 tahun

≥50 tahun

(b)
11,10%
5,50%
27,70%

27,70%
22,20%
5,50%
Kecamatan Bulukumpa
Kecamatan Rulau Ale
Kecamatan Gantarang Keke

Kecamatan Tompobulu

Kecamatan Sabbang
Kecamatan Masamba
(c)
Gambar 16 Persentase responden pedagang pengumpul biji kakao dengan
subkriteria (a) jenis kelamin dan (b) umur (c) lokasi kecamatan
mengumpulkan biji kakao dari tiga kabupaten

Pedagang pengumpul biji kakao memiliki sebaran tempat yang berbeda
dalam mengumpulkan biji kakao. Sebaran tempat yang berbeda dari tiga kabupaten
terdapat dari enam kecamatan yang menjadi lokasi pedagang pengumpul kakao
dalam mengumpulkan biji kakao. Pedagang pengumpul mengumpulkan biji kakao
di kecamatan Bulukumpa sebanyak 27.70%. Pedagang pengumpul mengumpulkan
biji kakao di kecamatan Rulau Ale sebanyak 22.20%. Pedagang pengumpul
mengumpulkan biji kakao di kecamatan Tompobulu sebanyak 27.70%. Pedagang
pengumpul mengumpulkan biji kakao di kecamatan Masamba sebanyak 11.10%.
Pedagang pengumpul mengumpulkan biji kakao di kecamatan Sabbang dan
Gantarang Keke sebanyak 5.50% (Gambar 16).
Pedagang pengumpul yang tersebar banyak ditemukan di Kabupaten
Bulukumba dan terletak di 4 kecamatan yang berbeda. Pedagang pengumpul

18
termasuk dalam kategori menengah ke atas apabila dipandang dari aspek ekonomi
dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari rumah, pakaian beserta aksesoris yang
dikenakan. Pedagang pengumpul kebanyakan sudah pernah menunaikan ibadah
haji.
Menurut Henry (2013) para petani biasanya menjual biji kakaonya ke
pedagang pengumpul yang datang ke rumah-rumah. Para pedagang pengumpul
yang datang ke rumah-rumah petani tersebut merupakan anggota dari pedagang
pengumpul kecamatan sehingga setelah mengambil biji kakao dari petani, mereka
menjualnya ke pedagang pengumpul kecamatan. Petani juga bisa menjual kakaonya
ke pedagang pengumpul kecamatan tanpa harus melalui pedagang pengumpul desa.
Dari ketiga jalur tersebut, petani tidak bisa langsung menjual biji kakao ke
pedagang pengumpul besar atau ke pabrik. Akses petani kepada pabrikan atau
industri belum ada. Petani yang menjual langsung ke pabrik, beda harga yang
didapatkan bisa mencapai Rp 4.000/kg. Hal ini jelas akan menguntungkan petani.
Pedagang pengumpul melakukan proses menjelang distribusi biji kakao yang
telah dibeli. Pedagang pengumpul yang membeli biji kakao yang sudah
difermentasi maupun yang bukan fermentasi sebanyak 83.30%. Pedagang
pengumpul yang hanya membeli biji kakao yang telah difermentasi sebanyak
16.70% (Gambar 17). Sebagian besar pedagang pengumpul tidak memperhatikan
biji kakao yang dibeli dalam bentuk fermentasi atau bukan fermentasi. Hal ini
dikarenakan harga kakao fermentasi dan bukan fermentasi masih sama di pasaran.
Petani lebih memilih langsung mengeringkan biji kakao yang telah didapat agar
dapat langsung dijual ke pengumpul daripada harus melakukan proses fermentasi
Pengumpul yang melakukan proses sortasi/seleksi sebanyak 55.60%.
Pedagang pengumpul tidak melakukan proses sortasi sebanyak 44.40% (Gambar
17). Menurut Anita (2009) tujuan dari sortasi biji kering adalah untuk
mengelompokkan biji kakao berdasarkan ukuran fisiknya sekaligus memisahkan
kotoran yang tercampur didalamnya agar mutu biji kakao terjaga. Pengumpul yang
melakukan sortasi sedikit lebih banyak dibandingkan pengumpul yang tidak
melakukan proses sortasi. Pedagang pengumpul beralasan karena kakao yang
didapat dari petani banyak terkandung kotoran. Banyak pedagang pengumpul yaitu
sekitar 44.40% yang tidak melakukan sortasi. Pedagang pengumpul tersebut
beralasan kakao yang didapat dari petani meskipun terkandung kotoran masih dapat
diterima oleh pedagang/eksportir yang lebih besar.
Tabel 1 Standar mutu biji kakao menurut SNI No 01-2323-2002
No Mutu
Standar Mutu
1
AA
jumlah biji maksimum 85 per 100 gram
2
A
jumlah biji 86 – 100 per 100 gram
3
B
jumlah biji 101 – 110 per 100 gram
4
C
jumlah biji 111 – 120 per 100 gram
5
S
lebih besar dari 120 biji per 100 gram
Pedagang pengumpul melakukan pengemasan dengan menggunakan karung
goni sebanyak 88.90%. Pedagang pengumpul yang menggunakan karung
plastik/polipropilena sebanyak 11.10% (Gambar 17). Menurut Wijaya (2012)
metode penyimpanan biji kakao yang baik akan menjamin kualitas biji kakao.
Kakao yang telah dijemur kemudian dimasukkan kedalam karung goni. Karung

19
goni tidak boleh diletakkan di atas lantai semen karena biji kakao yang telah kering
dapat menyerap air dari lantai. Selain itu penempatan biji kakao juga harus bebas
air hujan dan hama perusak. Biji kakao dijual kepada pengepul/ pedagang
pengumpul setelah pengarungan atau penyimpanan.

16,70%
44,40%
55,60%

83,30%

(a)

Fermentasi dan tidak
Fermentasi
Tidak Fermentasi

Disortasi

Tidak disortasi

(b)

11,10
%

88,90%
(c)

Karung goni
Karung Polipropilena

Gambar 17 Perlakuan setelah pembelian oleh pengumpul biji kakao (a) pembelian
kakao fermentasi dan tidak fermentasi (b) proses sortasi (c)
tempat/kemasan biji kakao

Karakteristik Eksportir
Hama gudang hanya dapat ditemukan di tingkatan eksportir. Sehingga
langkah berikutnya yang dilakukan dalam proses inventarisasi adalah pengamatan
secara langsung dan pemasangan perangkap yang dilakukan di tiga gudang di
kawasan eksportir di kota Makassar. Dua gudang terletak di kawasan industri
Makassar, dan satu gudang terletak di kawasan pergudangan 88. Berikut hasil
tangkapan perangkap di tiga gudang tersebut.
Inventarisasi serangga dengan menggunakan trap/perangkap diperoleh
beberapa serangga hama gudang. Pada pe