Kajian Sistiserkosis Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN
DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK
DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG

HERI YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian
Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di
Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Heri Yulianto
NIM B261100051

RINGKASAN
HERI YULIANTO. Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi
peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.
Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan
MIRNAWATI SUDARWANTO.
Sistiserkosis/taeniasis merupakan penyakit parasit zoonotik yang
menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian, dan
perekonomian akan tetapi kurang mendapat perhatian (neglected disease) di
berbagai negara berkembang. Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis
dari tiga spesies taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica.
Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan
kesehatan, sedangkan infeksi Cystisercus cellulosae pada manusia akan
menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain
menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, Cysticercus cellulosae juga dapat

berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati.
Lampung merupakan salah satu provinsi yang pernah dilaporkan terjadi
kasus sistiserkosis dan taeniasis. Masyarakat non-muslim di Propinsi Lampung
terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari
peternakan babi maupun hasil perburuan babi hutan yang banyak mereka lakukan.
Tingginya konsumsi daging babi memungkinkan penyakit ini terus terjadi.
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian
sistiserkosis pada babi hutan dan babi peliharaan, serta taeniasis pada peternak di
Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh informasi dan pola
kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan dan babi hutan di
Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung serta sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan dan pengawasan terhadap lalulintas babi dan produknya
terutama di Badan Karantina Pertanian.
Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional).
Penelitian ini dilakukan melalui 5 tahapan. Tahap pertama, permohonan ethical
approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan sebelum
penelitian dimulai. Tahap kedua, pengambilan serum darah babi peliharaan dan
babi hutan, pengambilan sampel feses manusia, pengambilan titik koordinat dan
wawancara menggunakan kuesioner. Tahap ketiga pengujian laboratorium

terhadap serum darah dengan menggunakan metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antigen dan pemeriksaan feses
dengan metode Kato-katz. Tahap keempat pemeriksaan postmortem terhadap
babi yang seropositif dan tahap kelima merupakan analisis data.
Hasil penelitian menunjukkan seroprevalensi sistiserkosis pada babi
peliharaan adalah sebesar 1.78% dan babi hutan sebesar 1% serta taeniasis pada
peternak sebesar 1.67%.
Identifikasi sistiserkus yang ditemukan pada
pemeriksaan postmortem babi peliharaan menunjukkan Cysticercus cellulosae.
Umur babi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis
pada babi peliharaan.
Transmisi sistiserkosis/taeniasis berasal dari lingkungan yang
terkontaminasi dan karena adanya perpindahan penduduk dari Pulau Bali. Cara

beternak dan pola hidup masyarakat Kabupaten Way Kanan sudah cukup baik
untuk mengurangi kejadian penyakit parasit ini.
Kata kunci: babi, Kabupaten Way Kanan, sistiserkosis, taeniasis

SUMMARY
HERI YULIANTO. The Study of Cysticercosis/Taeniasis in Wild Boar, Porcine,

and Farmer in Way Kanan District, Lampung Province. Under the supervision of
FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan MIRNAWATI
SUDARWANTO.
Cysticercosis/taeniasis is a parasitic zoonotic disease that causes public
health, agriculture and economic loss problems even though it is a neglected
disease in developing countries. Indonesia is an endemic area of cysticercosis of
three taenia species such as Taenia solium, Taenia saginata and Taenia asiatica.
Porcine is an intermediate host of taenia solium and cysticercus cellulosae
infection source to human cysticercosis. Porcine cysticercosis usually does not
show clinical signs and health disorder. Meanwhile cysticercus cellulosae in
human infiltrates the muscles, tissues, viscera organs (heart and liver), brain and
eyes.
Cysticercosis cases in Lampung province occur sporadically. People who
are not moslem in Lampung Province especially at Way Kanan District consume
pork came from pig farms and haunted wild boar. Balinese society and catholic
society in Way Kanan District have pig farm. Most of the pig farms are
traditional scales which consist of local and ras porcines. The study was
conducted to determine cysticercosis in porcine and boar in Way Kanan District
and the risk factors of cysticercosis cases. This study would give information
about cysticercosis and taeniasis patterns in Way Kanan District, Lampung

Province. It would also give consideration to develop policy and control on
products.
The study used cross sectional design. Survey of this study was conducted
through 5 stages. The first stage was ethical approval from Medical faculty of
University of Indonesia. The second stage was porcine blood serum collection
and interview using questionnaires. The third stage was porcine blood sera
laboratory test using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked
immunosorbent assay (MoAb-ELISA) and fecal examination using Kato-katz.
The fourth stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The
last stage was statistical analysis.
Seroprevalence of this study were 1.78% in porcine, 1% in wild boar and
1.67% taeniasis in human. Cysticercosis identification which found in post
mortem examination of wild boars was Cysticercus cellulosae. The age of
porcine was identified as risk factor of cysticercosis cases. Transmission of
cysticercosis/ taeniasis was supposed from the contamination from the
environment and transmigration of people from Bali Island. Farmers’ lifestyle and
good farm maintenance management in Way Kanan district could decrease
cysticercosis cases.
Key words: cysticercosis, porcine, taeniasis, Way Kanan District


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN
DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK
DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG

HERI YULIANTO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS
Drh Risa Tiuria, MSi, PhD

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr med vet Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS
Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM

Judul Disertasi

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok

: Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan
Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way

Kanan, Provinsi Lampung
: Heri Yulianto
: B261100051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD
Ketua

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto
Anggota
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi


Tanggal Ujian: 4 September 2014

Dekan Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini dengan judul Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan
Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.
Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan
kepada Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr med
vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi serta Prof Dr med vet Drh. Mirnawati B.
Sudarwanto sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran
dan masukan mulai dari perencanaan sampai selesainya penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Drh Agus Setiyono, MSc,

PhD, APVet., Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS dan Drh Risa Tiuria, MS,
PhD sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup serta Prof Dr med vet
Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM sebagai
Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana
atas saran, masukan, kritik, serta koreksinya dalam menyempurnakan disertasi.
Ucapan terimakasih juga kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Dekan
Dekan Pascasarjana, serta Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor yang kita cintai ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pertanian, melalui
Badan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan kesempatan serta beasiswa
studi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina
Pertanian, Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan,
Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta seluruh staf yang
telah membantu dan mendukung studi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Pertanian,
Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Way Kanan serta Dinas Kesehatan
Kabupaten Way Kanan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
melakukan penelitian di Kabupaten Way Kanan. Ucapan terimakasih yang sangat
besar kami ucapkan kepada Drh Deddy Kristianto selaku Kepala UPT Pos
Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan Kabupaten Waykanan beserta staf yang

sangat membantu dalam pengambilan sampel. Ucapan terimaksih juga penulis
sampaikan kepada Wayan Suardana dan Budi (alm) yang telah membantu dalam
pengumpulan sampel babi hutan.
Ucapan terimakasih kepada Prof Pierre Dorny (Institute of Tropical
Medicine) yang telah membantu menyediakan antibodi monoklonal untuk
pengujian ELISA serta kepada Dr Drh Sri Murtini, MSi yang membantu dalam
pengujian laboratorium di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu
(UMT) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada staf administrasi Pak Agus Haryanto dan laboran Pak Sulaeman di
Laboratorium Helmintologi yang telah banyak membantu selama penelitian.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
Mazdani U Daulay, Rahmat Setya Adji, Annytha Ina Rohi Detha, Rismayani
Saridewi dan Ferry D. Maitindom atas kebersamaan dan kekompakan dan
kebersamaan dalam studi serta teman-teman semua yang tidak bisa penulis sebut
satu persatu. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada istri dan dan anak-

anak tercinta, keluarga besar Jogja dan Lampung atas doa dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan studi.
Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk menyempurnakan disertasi ini. Harapan penulis
semoga tulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan kita semua.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

Bogor, September 2014
Heri Yulianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3

2KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI KABUPATEN
WAY KANAN
5
Abstract
5
Abstrak
5
Pendahuluan
6
Bahan dan Metode
6
Hasil dan Pembahasan
9
Simpulan
14
3 SEROPREVALENSI POSITIF SISTISERKOSIS PADA BABI HUTAN
DI KABUPATEN WAY KANAN
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

15
15
15
16
17
19
23

4 KAJIAN TAENIASIS PADA PETERNAK DI KABUPATEN WAY
KANAN
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

24
24
24
24
25
27
33

5 PEMBAHASAN UMUM

34

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

39
39
39

DAFTAR PUSTAKA

40

LAMPIRAN

46

RIWAYAT HIDUP

55

DAFTAR TABEL
1. Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way
Kanan
2. Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan
3. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
4. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
berdasarkan jenis kelamin
5. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Way Kanan
6. Daerah asal dan jumlah sampel babi hutan di Kabupaten Way Kanan
7. Seroprevalensi sistiserkosis babi hutan di Kabupaten Way Kanan
8. Karakteristik responden yang diambil sampel feses di Kabupaten Way
Kanan
9. Hasil pemeriksaan feses manusia di Kabupaten Way Kanan

7
10
11
12
13
17
19
27
30

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan
Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan
Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
Sebaran sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan
Prosentase tempat buang air besar peternak
Kebiasaan makan daging dan jenis daging babi yang sering dimakan
Riwayat pemberian obat cacing untuk peternak dan keluarganya
Pemeriksaan mikroskopis telur Taenia yang berasal dari Kecamatan
Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan (perbesaran 400x)
9. Sebaran taeniasis di Kabupaten Way Kanan

11
13
14
20
28
28
29
31
32

DAFTAR LAMPIRAN
1. Publikasi jurnal internasional
2. Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional

46
54

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistiserkosis/taeniasis merupakan parasit zoonotik yang menimbulkan
dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian namun
kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat sehingga digolongkan
sebagai penyakit terabaikan (neglected disease) (Purba et al. 2003; Basem et al.
2010; Flisser 2011). Parasit zoonosis ini memiliki distribusi global di seluruh
dunia dimana wilayah Amerika Latin, Cina, Asia Tenggara dan Sub-Sahara
Afrika merupakan daerah endemik utama (Torgerson dan Macpherson 2011).
WHO memperkirakan sekitar 50 juta orang terutama dari negara-negara
berkembang terinfeksi taeniasis dan 50 000 orang diantaranya meninggal setiap
tahun (Joshi et al. 2007). Selain menyebabkan dampak kesehatan masyarakat,
penyakit ini juga menyebabkan dampak ekonomi yang cukup besar (Carabin et al.
2006). Dampak ekonomi akibat sistiserkosis di Meksiko diperkirakan sekitar US
$ 43 juta, di Taiwan US $ 18 juta, dan di Kepulauan Cheju Korea US $ 13 juta
(Rajshekhar et al. 2003; Sreedevi 2013).
Sistiserkosis dan taeniasis melibatkan dua proses penularan berbeda yang
membutuhkan manusia dan hewan untuk melangsungkan siklus hidupnya.
Taeniasis pada manusia disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dari tiga spesies
Taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica yang
menginfeksi babi (babi peliharaan dan babi hutan) dan sapi sebagai induk semang
antara. Dari ketiga spesies tersebut, T. asiatica merupakan spesies yang terakhir
diketahui (Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Eom et al. 2009). Tahap infektif dari T.
solium (Cysticercus cellulosae) berkembang di babi, sementara T. saginata
(Cysticercus bovis) berkembang di kerbau dan sapi (Joshi et al. 2007). Taeniasis
solium merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa
pada manusia sebagai induk semang definitifnya (definitive host) setelah menelan
larva (sistiserkus) dalam daging babi yang terkontaminasi (Conlan et al. 2011).
Babi dan manusia yang menelan telur T. solium akan menderita sistiserkosis yang
disebabkan oleh infiltrasi C. cellulosae pada jaringan tubuh induk semang antara
(intermediate host).
Siklus hidup parasit ini diawali dengan adanya telur infektif oleh induk
semang antara. Di dalam usus induk semang antara, telur menetas menjadi motile
oncosphere. Onkosfer yang motil tersebut mampu menembus pembuluh darah
dan ikut aliran darah menuju ke organ tubuh. Onkosfer dapat terdistribusi pada
otot, jaringan ikat subkutan, sistem saraf pusat (SSP), hati, dan organ lainnya
(Sciutto et al. 2007). Pada organ-organ tersebut onkosfer akan berkembang
menjadi sistiserkus. Distribusi keberadaan sistiserkus T. solium antara otot dan
organ-organ pada karkas babi berbeda-beda (Boa et al. 2002). Sistiserkus yang
termakan oleh manusia akan mengalami evaginasi dalam lumen usus kecil.
Kepala (scolex) menempel pada mukosa dan mulai membentuk segmen
(proglotid). T solium memiliki skolek dengan empat pengisap dan kait mahkota
ganda, leher yang sempit, dan strobila besar berukuran 2 – 4 m dan terdiri dari
beberapa ratus proglotid. Sekitar 2 bulan setelah infeksi, proglotid gravid mulai
melepaskan diri dari ujung distal dan diekskresikan melalui feses. Setiap segmen

2
proglotid mengandung 50-60 × 103 telur yang fertil. Telur inilah yang bisa
menjadi sumber pencemar lingkungan sehingga akan berisiko terjadinya
penularan. Babi dapat tertular sewaktu memakan makanan yang terkontaminasi
telur fertil tersebut (Garcia et al. 2003; Subahar et al. 2005).
Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sering ditemukan pada jaringan
subkutan, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Rasa
nyeri pada perut, distensi, mual, dan diare kadang muncul pada penderita
sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000; Garcia et al. 2003). Di otak, sistiserkus
dapat menyebabkan terjadinya neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai
terjadinya kematian (Conlan et al. 2011). Kasus okular sistiserkosis pernah
dilaporkan terjadi di Bali pada gadis berumur sembilan tahun. Gejala yang
muncul yakni kemerahan, nyeri pada mata kiri dan ditemukan sistiserkus pada
ruang anterior mata (Swastika et al. 2011). Sistiserkosis di luar sistem saraf pusat
tidak menyebabkan gejala. Sistiserkosis subkutan dapat menimbulkan rasa sakit,
berbentuk nodul kecil yang dapat bergerak, dan sering terlihat di lengan atau dada.
Setelah beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun, nodul akan membengkak dan
meradang kemudian secara bertahap akan menghilang (Gandahusada et al. 2000;
Garcia et al. 2003).
Parasit zoonotik ini dapat menyebabkan epilepsi dan kematian pada manusia,
mengurangi nilai jual babi dan membuat daging babi tidak aman untuk
dikonsumsi. Kondisi babi yang berkeliaran bebas, sanitasi buruk, standar higienis
yang rendah, pengawasan daging yang minim, dan faktor kebiasaan mengonsumsi
daging mentah atau kurang matang memicu terjadinya penyakit ini. Meskipun
secara teoritis mudah untuk mengontrol dan menghilangkan sistiserkosis akan
tetapi karena kurangnya informasi dan kesadaran, penyakit ini masih diabaikan di
negara-negara endemis (Rajshekhar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006).
Menurut Rajshekhar et al. (2003) sistiserkosis merupakan masalah utama di
wilayah Asia yang menyerang beberapa juta orang, tidak hanya menyebabkan
morbiditas neurologis tetapi juga kesulitan ekonomi pada populasi masyarakat
miskin sehingga perlu ditangani secara serius.
Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia
(Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009). Taenia solium
dilaporkan terjadi di Bali dan Papua, T. saginata di Bali, dan T. asiatica di
Sumatera Utara (Margono et al. 2001; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2006;
Wandra et al. 2007; Wandra et al. 2013). Daerah endemis dilaporkan terjadi di
Provinsi Papua, Bali, dan Sumatera Utara. Penyakit ini dilaporkan terjadi di Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara dan Jakarta yang
terjadi secara sporadis (Suroso et al. 2006).
Kejadian sistiserkosis di Indonesia pertama kali terjadi pada seorang wanita
cina (Tionghoa) dari Kalimantan Timur dan Jakarta dengan kasus sistiserkosis
serebral (Bonne 1940; Hausman et al. 1950; Lie et al. 1955, diacu dalam Margono
2001). Kejadian taeniasis T. saginata dilaporkan terjadi di Jawa Timur pada
tahun 1867 (Oemijati 1977, diacu dalam Wandra et al. 2007), sedangkan menurut
Simanjuntak dan Widarso (2004) kasus sistiserkosis cellulosae pada manusia
pernah dilaporkan terjadi di Bali pada tahun 1963 serta sistiserkosis pada babi
terjadi tahun 1952 di rumah potong hewan di Bali dan Sumatera Utara.
Masyarakat non-muslim di Provinsi Lampung terutama di Kabupaten Way
Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi (jenis babi

3
lokal dan ras) serta berasal dari perburuan babi hutan yang banyak dilakukan oleh
masyarakat. Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh
warga Bali yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik.
Sebagian besar peternakan tersebut merupakan peternakan skala kecil.
Babi hutan banyak ditemukan di wilayah Lampung termasuk di Kabupaten
Way Kanan. Babi hutan sering dijumpai di hutan, ladang, perkebunan kopi,
perkebunan karet, dan perkebunan sawit serta tidak jarang masuk ke
perkampungan penduduk. Hal ini memungkinkan terjadinya kontak dengan
manusia sehingga memiliki risiko terpapar telur dari parasit zoonotik ini.
Perburuan babi hutan banyak dilakukan oleh masyarakat karena hewan ini
dianggap sebagai hama yang merusak tanaman pertanian. Babi hutan hasil buruan
biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual. Daging babi banyak dikonsumsi oleh
masyarakat non-muslim di Kabupaten Way Kanan. Konsumsi babi peliharaan
maupun babi hutan memungkinkan risiko terpaparnya sistiserkosis. Penelitian
sistiserkosis pada babi hutan sangat sedikit dilaporkan dan di Indonesia penelitian
ini belum pernah dilakukan.
Lampung merupakan provinsi yang pernah dilaporkan terjadi kasus
sistiserkosis pada babi dan taeniasis pada manusia. Penelitian yang komprehensif
terhadap kejadian sistiserkosis yang meliputi inang antara babi peliharaan dan
babi hutan, serta inang definitif manusia sampai saat ini belum pernah dilakukan
di Indonesia khususnya di Kabupaten Way Kanan. Berdasarkan uraian di atas,
penelitian tentang kejadian sistiserkosis/taeniasis yang dilakukan di Kabupaten
Way Kanan belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang
lebih komprehensif kejadian sistiserkosis pada peternak, babi peliharaan, dan babi
hutan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian
sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan, serta taeniasis pada peternak di
Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi.
Tujuan khusus adalah a) untuk mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang
dipelihara masyarakat; b) mengkaji penularan sistiserkosis pada babi hutan yang
diburu; c) mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat
kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan; d) mengidentifikasi
faktor risiko kejadian taeniasis pada peternak dan masyarakat yang mengonsumsi
daging babi; e) memetakan daerah yang memiliki risiko penularan
sistiserkosis/taeniasis di Kabupaten Way Kanan; f) untuk menganalisis hubungan
kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan, dan babi hutan
dengan pola pemeliharaan babi, perburuan babi hutan, dan pola hidup peternak.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh informasi dan
pola kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan, dan babi hutan di
Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung. Manfaat lainnya adalah dapat digunakan

4
sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan pengawasan terhadap
lalulintas babi dan produknya.

5

2 KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI
KABUPATEN WAY KANAN
Abstract
The study was aimed to determine seroprevalence and risk factors of
cysticercosis effect in porcine. It was conducted in seven subdistricts of Way
Kanan District from april 2012 to March 2013. The study used cross sectional
design. Survey of this study was conducted through 4 stages. The first stage was
porcine blood serum collection and interview of respondent using questionnaires.
The second stage was porcine blood sera laboratory test using monoclonal
antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA).
The third stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The
last stage was statistical analysis. A hundred sixty nine (169) samples of porcines
were tested serologically. The results of seropositives cysticercosis were found in
3 samples (1.78%) such as 2 samples (4.55%) from Negeri Agung Subdistrict and
1 sample (9.1%) from Pakuan Ratu Subdistrict. The seropositive result came
from female porcines. The age of porcine was significantly identified as risk
factor of cysticercosis (OR = 1.083; 95% CI = 1.023 – 1.142). The older
porcines has higher risk of cysticercosis than the younger ones. There are some
ways to reduce diseases transmision risk such as implementation of public
awareness on animal health, improvement of animal health service, monitoring
pork distribution and imlementation of field surveillance.
Keywords: porcine cysticercosis, seroprevelence, Way Kanan District

Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko yang
mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Penelitian ini menggunakan desain studi
lintas seksional (cross sectional). Penelitian dilakukan di 7 kecamatan di
Kabupaten Way Kanan pada bulan April 2012 sampai Maret 2013. Penelitian ini
dilakukan dengan 4 tahap. Tahap pertama, pengambilan serum darah babi
peliharaan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner.
Tahap kedua adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan
menggunakan
monoclonal
antibody-based
sandwich
enzyme-linked
immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Tahap ketiga pemeriksaan postmortem
terhadap babi yang seropositif dan tahap terakhir analisis statistik. Jumlah sampel
serum babi yang diuji serologis sebanyak 169 sampel. Hasil seropositif terhadap
sistiserkosis ditemukan pada 3 sampel (1.78%) yaitu 2 sampel (4.55%) dari
Kecamatan Negeri Agung dan 1 sampel (9.1%) dari Kecamatan Pakuan Ratu.
Babi yang menunjukkan serologis semua berjenis kelamin betina. Umur babi
merupakan faktor risiko yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian
sistiserkosis (OR = 1.083; 95% CI = 1.023 – 1.142). Semakin tua umur babi
risiko terpapar sistiserkus sebesar 1.083 dibandingkan dengan umur yang lebih
muda. Untuk mencegah transmisi penyakit ini perlu dilakukan penyuluhan

6
tentang kesehatan hewan, peningkatan pelayanan kesehatan hewan, pengawasan
distribusi daging babi, dan survei yang berkelanjutan.
Kata kunci: Kabupaten Way Kanan, seroprevalensi, sistiserkosis pada babi

Pendahuluan
Sistiserkosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang dengan populasi babi dan tingkat konsumsi daging yang tinggi serta
rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan, serta kesehatan
(Dorny et al. 2003). Taenia solium sistiserkosis dilaporkan terjadi di Vietnam,
Kamboja, Laos, Thailand, Republik Rakyat Cina (RRC), Philipina, dan Indonesia
(Margono et al. 2001; Erhart et al. 2002; Ito et al. 2003; Rajshekar et al. 2003;
Willingham dan Engels 2006; Dorny et al. 2004). Indonesia merupakan salah satu
negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia yakni T. solium, T. saginata,
dan T. asiatica (Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009).
Penyakit ini telah dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Bali, Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta,
Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Papua merupakan daerah yang memiliki
tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis paling tinggi (Suroso et al. 2006).
Lampung merupakan provinsi yang pada tahun 1981 pernah dilaporkan
terjadi sistiserkosis (12.3%) (Simanjuntak dan Widarso 2004). Kejadian
sistiserkosis di Lampung terjadi secara sporadik. Masyarakat non-muslim di
Provinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi
yang berasal dari peternakan babi serta berasal dari perburuan babi hutan.
Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh warga Bali
yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik. Sebagian
besar peternakan tersebut merupakan peternakan yang bersifat semi-intensif,
terdiri dari jenis babi lokal dan babi ras. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian sistiserkosis.

Bahan dan Metode
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional).
Permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dilakukan sebelum penelitian dimulai. Survei dalam penelitian ini dilakukan
dengan 4 tahap. Tahap pertama, pengambilan serum darah babi peliharaan,
pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap
kedua adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan
metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tahap ketiga meliputi
pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif, dan tahap keempat
merupakan analisis data.
Besaran sampel tiap kecamatan diambil secara acak sistematik dan
proporsional berdasarkan sebaran populasi babi dan peternak. Jumlah total

7
populasi babi dan peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan dijumlah
kemudian dihitung menggunakan rumus n = 4PQ/L2 dengan asumsi tingkat
kepercayaan 95 %, galat (L) 5%, prevalensi (P) sebesar 12%, dan Q = 1-P besaran
sampel babi peliharaan yang diambil sebesar 169 sampel.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan
Februari 2013 di tujuh kecamatan di Kabupaten Way Kanan yang terdapat ternak
babi yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Bumi Agung, Buay Bahuga, Blambangan
Umpu, Negeri Agung dan Kecamatan Pakuan Ratu. Pengujian serum dilakukan
di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2012 sampai
dengan bulan Maret 2013.
Pengambilan Serum Babi
Serum babi peliharaan sebanyak 169 yang berasal dari peternakan rakyat di
tujuh kecamatan di Way Kanan dijadikan sampel dalam penelitian ini (Tabel 1).
Untuk serum kontrol positif diperoleh dari serum babi yang dalam pemeriksaan
postmortem ditemukan sistiserkus pada dagingnya. Serum kontrol positif berasal
dari Kabupaten Jayawijaya, sedangkan serum kontrol negatif berasal peternakan
babi dari Jawa Tengah yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan Assa et al.
(2012).
Tabel 1 Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
No.

Kecamatan asal

Jumlah

1
2
3
4
5
6
7

Banjit
Negeri Agung
Pakuan Ratu
Baradatu
Bumi Agung
Buay Bahuga
Blambangan Umpu
Total

82
44
11
10
10
6
6
169

Jenis kelamin
Jantan Betina
34
48
22
22
2
9
9
1
6
4
3
3
2
4
78
91

Landrace
28
14
0
10
0
0
0
52

Jenis
Campuran
16
0
0
0
0
0
2
18

Lokal
38
30
11
0
10
6
4
99

Darah diambil dari vena jugularis babi peliharaan dan didiamkan sampai
terbentuk serum. Serum yang terbentuk kemudian diambil dan dimasukkan ke
dalam microtube dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dilakukan analisis
serologis. Serum kemudian dibawa ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor untuk selanjutnya dilakukan pengujian laboratorium
menggunakan ELISA.
Pengujian Serologis
Pengujian serologis terhadap 169 sampel serum babi dilakukan dengan
ELISA menurut metode Dorny et al. (2004a). Pre-treatment serum dilakukan
dengan menggunakan larutan tricloroacetic acid (TCA) 5%. Setelah tahap pretreatment dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan pola peletakan sampel.
Setiap sumuran (well) cawan ELISA dilapisi 100 μl penangkap antibodi

8
monoklonal anti T. saginata (B158C11A10) (5 μl/ml buffer karbonat/bikarbonat
pH 9.8) kecuali dua sumuran untuk substrate control (SC), dan kemudian
dimasukkan ke dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan
(plate) lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 μl blocking buffer.
Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumuran diberi serum sebanyak
100 μl, (kecuali sumuran SC dan conjugate control) dengan 100 μl blocking
buffer lalu dimasukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.
Sebanyak 100 μl serum sampel yang telah dilakukan pre-treatment
dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran sesuai dengan pola. Cawan
tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit.
Tiap-tiap sumuran dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima kali.
Sebanyak 100 μl antibodi pendeteksi B60H8A4 (23 μg/ml larutan blocking
buffer) dimasukkan ke dalam setiap sumuran (kecuali SC dan CC) dan diberi 100
μl blocking buffer. Setelah pendeteksian, diberi konjugat 100 μl peroksidase
streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer), kecuali 2 sumuran SC yang diberi
blocking buffer sebanyak 100 μl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker
incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004a). Langkah selanjutnya,
setiap sumuran diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) sebanyak 100 μl.
Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 μl H2SO4 (4N) dalam setiap sumuran,
lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 492 dan
655 nm.
Penghitungan rataan nilai absorbansi dari masing-masing serum contoh
dilakukan setelah diperoleh data nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan
nilai cut off didapatkan dari hasil perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif.
Status serum contoh ditentukan berdasarkan rasio dari rata-rata nilai absorbansi
optical density (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif bila nilai
rasio tersebut lebih dari 1 dan dikatakan negatif bila nilai rasio kurang dari 1.
Serum positif menandakan serum tersebut mengandung antigen C. cellulosae.
Serum negatif menandakan bahwa serum tersebut tidak mengandung antigen C.
cellulosae (ITM 2009).
Pemeriksaan Postmortem pada Babi Peliharaan
Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap babi yang menunjukkan
seropositif. Nekropsi dilakukan untuk melihat organ yang diduga terinfeksi
sistiserkus. Pembuatan preparat dilakukan dengan mengeluarkan skolek dari
metasestoda dengan cara menekan metasestoda menggunakan skalpel. Skolek
dipotong, kemudian ditipiskan dengan mengiris secara berhati-hati di bawah
mikroskop untuk memperoleh sediaan setipis mungkin, selanjutnya dilakukan
pewarnaan dengan menggunakan carmine.
Potongan tersebut kemudian
dijernihkan menggunakan minyak cengkeh sampai terlihat transparan. Preparat
direndam didalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol 50%, 70%, 80%, dan
terakhir alkohol absolut. Potongan skolek ditekan dengan menggunakan kaca
penjepit dan diletakan di atas gelas objek lalu direkatkan dan ditutup dengan gelas
penutup. Identifikasi spesies dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop.
Pengambilan Data Kuesioner
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian sistiserkosis dilakukan wawancara
dan pengisian kuesioner terhadap 42 peternak dari tujuh kecamatan. Data

9
kuesioner ditujukan kepada para peternak babi yang diambil sampel serumnya.
Kuesioner yang ditanyakan meliputi karakteristik peternak, manajemen
peternakan babi, dan pola hidup peternak.
Penentuan Titik Koordinat
Penentuan titik koordinat dilakukan pada kandang babi peliharaan yang
diambil sampel serum. Penentuan titik koordinat ini menggunakan global
positioning system (GPS).
Analisis Data
Data hasil pengujian ELISA, wawancara dengan kuesioner dan pengamatan
di lapangan dianalisa secara deskriptif. Faktor risiko kejadian sistiserkosis
dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi logistik (Le 2003).

Hasil dan Pembahasan
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Way Kanan dengan Ibukota Blambangan Umpu merupakan
pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Terletak di sebelah selatan Provinsi
Sumatra Selatan, dengan letak geografis 104.17°-105.04° Bujur Timur dan 4.12°4.58° Lintang Selatan. Kabupaten Way Kanan memiliki luas 3 921.63 km2 terbagi
ke dalam 14 kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Lampung Barat (BPS 2013).
Karakteristik Peternak Babi
Kuesioner yang diberikan kepada para peternak menunjukkan data bahwa
peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan lebih banyak dikelola oleh laki-laki
(95.2%) dibandingkan dengan perempuan (4.8%). Pengelolaan peternakan
sebagian besar dikelola sendiri 88.1% dan hanya sebanyak 11.9% yang dikelola
oleh orang lain atau pegawai. Para peternak sebagian besar berumur di atas 50
tahun (38.1%). Tingkat pendidikan para peternak paling banyak berpendidikan
SLTA (42.9%). Beternak babi di Kabuaten Way Kanan merupakan pekerjaan
sampingan dimana pekerjaan utama bertani (78.6%). Data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Manajemen Peternakan
Pengamatan dilapangan dan hasil kuesioner yang diberikan kepada peternak
menunjukan data bahwa babi yang dipelihara di Kabupaten Way Kanan ada tiga
jenis babi yakni babi landrace, babi lokal, dan babi campuran antara landrace dan
lokal.
Cara pemeliharaan babi pada umumnya dilakukan dengan cara
dikandangkan (Gambar 1). Pengamatan di lapangan diperoleh data bahwa babi
yang dipelihara dalam kandang, sebagian besar sejak lahir sampai umur sapih
dibiarkan lepas.
Struktur kandang sebagian besar permanen terbuat dari semen (75.8%)
sedangkan kandang bambu/kayu sebanyak 11.2%, dan tidak memiliki kandang

10
13.0%. Lingkungan sekitar kandang secara umum bersih (57%). Peternak rutin
mencuci kandang dua kali sehari pada pagi dan sore hari (66.9%). Ketersediaan
air bersih untuk peternakan menunjukkan data sebesar 88.2% tersedia air bersih
dan sebesar 11.9% kebutuhan air di peternakan berasal dari sungai dan parit.
Penelusuran terhadap peran serta pemerintah dalam penyuluhan peternakan dan
kesehatan babi responden menjawab bahwa pemerintah tidak pernah melakukan
penyuluhan. Data kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar babi peliharaan
dijual pada umur antara 3 – 6 bulan. Babi biasanya dijual dan dikonsumsi untuk
keperluan sendiri pada waktu ada acara keagamaan maupun acara keluarga. Babi
dijual di sekitar kampung sampai keluar daerah seperti Jakarta, Sumatera Selatan,
bahkan sampai ke wilayah Sumatera Utara.
Tabel 2 Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan
No
Keterangan
Jumlah
1
Jenis Kelamin
Laki-laki
40
Perempuan
2
2
Umur
< 20
1
20 – 29
1
30 – 39
9
40 – 49
15
> 50
16
3
Pendidikan
SD
8
SLTP
7
SLTA
18
S1
5
Tidak sekolah
4
4
Pekerjaan
Petani
33
Peternak
4
Wiraswasta
3
Pamong desa
2
5
Pengelolaan peternakan
Sendiri
37
Orang lain
5

%
95.2
4.8
2.4
2.4
21.4
35.7
38.1
19.0
16.7
42.9
11.9
9.5
78.6
9.5
7.1
4.8
88.1
11.9

Pola peternakan babi di Kabupaten Way Kanan secara umum sudah cukup
baik. Hal ini terlihat dari cara pemeliharaan babi yang sudah dikandangkan dalam
kandang permanen. Kebersihan kandang sangat diperhatikan oleh peternak
dengan pembersihan kandang yang dilakukan secara rutin. Pola hidup dan
kebiasaan peternak juga menunjukkan data yang cukup baik. Peternak sudah
memiliki kebiasaan buang air besar pada jamban keluarga serta mempunyai
kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar walaupun tidak menggunakan
sabun. Sumber air yang digunakan untuk keperluan keluarga berasal dari sumur.

11
12%
7%
dikandangkan
diikat
dilepas

81%
Gambar 1 Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan
Seroprevalensi Sistiserkosis
Hasil pengujian ELISA terhadap 169 serum babi yang berasal dari 7
kecamatan di Kabupaten Way Kanan diperoleh seropositif sebanyak 3 sampel
(1.78%). Sampel babi seropositif berasal dari Kecamatan Negeri Agung sebanyak
2 sampel dan 1 sampel berasal dari Kecamatan Pakuan Ratu (Tabel 3).
Seroprevalensi sebesar 1.78% mengindikasikan bahwa Kabupaten Way Kanan
bukan merupakan daerah endemis sistiserkosis . Menurut Noble dan Noble (1989),
daerah yang tidak endemis memiliki prevalensi kurang dari 2%. Seroprevalensi
sistiserkosis pada babi di Lampung pada tahun 1981 adalah 12.3% (Simanjuntak
dan Widarso 2004), bila dibandingkan dengan penelitian ini terlihat adanya
penurunan seroprevalensi. Kejadian sistiserkosis yang disebakan oleh T. solium
di Lampung terjadi secara sporadik (Wandra et al. 2013).
Tabel 3 Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
No.
1
2
3
4
5
6
7

Kecamatan asal
Banjit
Negeri Agung
Pakuan Ratu
Baradatu
Bumi Agung
Buay Bahuga
Blambangan Umpu
Total

Jumlah
sampel
82
44
11
10
10
6
6
169

Positif
0
2
1
0
0
0
0
3

Hasil
Negatif
82
42
10
10
10
6
6
166

Prevalensi
(%)
0
4.55
9.1
0
0
0
0
1.78

Pola peternakan dan sanitasi yang baik akan menurunkan risiko kejadian
sistiserkosis pada babi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suroso et al. (2006) yang menemukan bahwa peningkatan sanitasi dan sistem
perkandangan babi akan menyebabkan terjadinya penurunan sistiserkosis/taeniasis
secara signifikan. Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh
terhadap kebersihan kandang. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air
merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan
(Assa 2013). Masyarakat di Kabupaten Way Kanan secara umum sudah
menggunakan jamban untuk keperluan buang air besar. Sebuah studi di Kamerun
menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan kejadian sistiserkosis pada babi

12
dibesarkan di rumah tangga yang memiliki jamban atau tidak tersedia jamban
(Pouedet et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Secka et al. (2010) di Gambia
dan Senegal juga menunjukkan bahwa ketersediaan jamban bukan sebagai faktor
risiko kejadian sistiserkosis.
Seroprevalensi Sistiserkosis Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin babi yang diambil sampel serumnya dalam
penelitian terdiri dari 95 sampel babi jantan dan 104 sampel babi betina (Tabel 4).
Ketiga sampel yang menunjukkan seropositif dalam penelitian ini berjenis
kelamin betina.
Tabel 4
No.
1
2

Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin

Jantan
Betina
Total

Jumlah serum
78
91
169

Positif
0
3
3

Kejadian sistiserkosis
%
Negatif
0
78
3.3
88
1.78
166

%
100
96.7
98.22

Dalam penelitian ini babi yang seropositif semuanya berjenis kelamin betina
tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p