Penyempurnaan Metode Quare dan Stimulansia Organik pada Penyadapan Getah Pinus

PENYEMPURNAAN METODE QUARE DAN STIMULANSIA
ORGANIK PADA PENYADAPAN GETAH PINUS

IKA NUGRAHA DARMASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Penyempurnaan
Metode Quare dan Stimulansia Organik pada Penyadapan Getah Pinus adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Oktober 2014

Ika Nugraha Darmastuti
NIM E151120041

RINGKASAN
IKA NUGRAHA DARMASTUTI. Penyempurnaan Metode Quare dan
Stimulansia Organik pada Penyadapan Getah Pinus. Dibimbing oleh JUANG
RATA MATANGARAN dan GUNAWAN SANTOSA.
Penyadapan getah pinus yang berlebihan berupa ukuran quare yang terlalu
lebar dan dalam serta menggunakan stimulansia anorganik menyebabkan pohon
menjadi rusak dan mudah tumbang. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan
pohon dan meningkatkan produksi getah pinus adalah dengan memodifikasi
teknik penyadapan dan jenis stimulansia yang digunakan. Modifikasi teknik
penyadapan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi,
sosial, dan teknis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan ukuran lebar
dan jumlah quare per pohon yang paling optimal, jenis stimulansia organik yang
tepat, serta menganalisis biaya dari modifikasi teknik penyadapan.
Penelitian ini memodifikasi teknik penyadapan dari metode quare dan

menggunakan stimulansia organik untuk meningkatkan produksi getah pinus.
Terdapat dua faktor yang diuji dalam penelitian ini. Faktor pertama adalah ukuran
lebar dan jumlah quare, sedangkan faktor kedua adalah jenis stimulansia organik.
Penelitian dilakukan pada 40 pohon Pinus merkusii dengan menggunakan
rancangan acak lengkap faktorial. Data penelitian dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) dan selanjutnya dilakukan uji Tukey untuk menentukan perlakuan
yang saling berbeda nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik penyadapan berupa perbedaan
jumlah quare per pohon dan ukuran lebar sadapan memberikan pengaruh yang
nyata terhadap produksi getah. Akan tetapi, perbedaan jenis stimulansia organik
dan interaksinya dengan jumlah serta ukuran lebar quare tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap produksi getah yang dihasilkan. Selain itu,
modifikasi teknik penyadapan dan stimulansia berpengaruh terhadap biaya dan
pendapatan dari pihak pengelola. Berdasarkan hasil penelitian, maka perlakuan
dengan jumlah 4 quare/pohon, lebar quare 2 cm dan stimulansia organik
menggunakan etephon dan asam asetat merupakan alternatif yang paling tepat
dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis.
Kata kunci: jumlah dan ukuran lebar quare, kerusakan pohon, metode quare,
penyadapan getah pinus, stimulansia organik


SUMMARY
IKA NUGRAHA DARMASTUTI. Improvement of Quare Method and Organic
Stimulant on Pine Resin Tapping. Supervised by JUANG RATA
MATANGARAN and GUNAWAN SANTOSA.
Pine resin tapping which is beyond the normal standard can bring about the
damage to the tree. Too wide and deep quare size and the use of inorganic
stimulant are the two common practices that cause damage to the tree, making it
easy to fall down. One way to reduce the damage to pine trees and at the same
increase the production of pine resin is by modifying the tapping technique and
the stimulant type used. The modification of the tapping technique is performed by
considering economical, ecological, social, and technical aspects. The objectives
of the research were to determine the number of quares and their width per tree,
to find the appropriate type of organic stimulant, and to analyze the cost of the
modified tapping technique.
This research was intended to modify the tapping technique of quare method
and to use the right organic stimulant to increase pine resin yield. There were two
factors investigated in this research. The first was the number of quares and their
width, and the second was the type of organic stimulant. Experiments were
carried out with 40 trees of Pinus merkusii using a factorial complete random
design. The data were analyzed by Analysis of variance (ANOVA), followed by

Tukey test to determine significantly different treatments.
The result showed that different tapping techniques related to the number of
quares and their width per tree had a significantly different yield in resin
production. However, that the different types of organic stimulant and their
interaction with the number and width of quares did not significantly affect resin
production. In addition, the modification of the tapping technique and type of
organic stimulant influenced the cost and the profit made by the decision makers.
The quare width treatment was 2 cm, the number of quares was 4 per tree, and the
organic stimulant using etephon and acetic acid was the best alternative in terms
of economical, ecological, social, and technical aspects.
Keywords: organic stimulant, pine resin tapping, quare method, the number of
quares and their width, tree damage

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENYEMPURNAAN METODE QUARE DAN STIMULANSIA
ORGANIK PADA PENYADAPAN GETAH PINUS

IKA NUGRAHA DARMASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS


Judul Tesis : Penyempurnaan Metode Quare dan Stimulansia Organik pada
Penyadapan Getah Pinus
Nama
: Ika Nugraha Darmastuti
NIM
: EI51120041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Juang Rata Matangaran, MS
Ketua

Dr Ir Gunawan Santosa, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Tatang Tiryana, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kelancaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Penyempurnaan
Metode Quare dan Stimulansia Organik pada Penyadapan Getah Pinus. Penelitian
ini berupa modifikasi ukuran lebar dan jumlah quare serta jenis stimulansia
organik untuk meningkatkan produksi penyadapan getah pinus. Penelitian
dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan April hingga Juni
2014.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Juang Rata
Matangaran, MS dan Dr Ir Gunawan Santosa, MS selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan nasihat, arahan, dan saran. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Ibu, Bapak, Suami, dan Adik serta teman-teman atas doa dan
bantuannya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis
ini, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Ika Nugraha Darmastuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian

1
1
2
3
3

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan

Alat
Prosedur
Rancangan Percobaan
Analisis Data

4
4
4
4
4
7
8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Getah dari Penelitian Pendahuluan
Pengaruh Lebar dan Jumlah Quare terhadap Produksi Getah
Pengaruh Jenis Stimulansia terhadap Produksi Getah
Kecenderungan Produksi Getah Pinus per Panen pada MasingMasing Perlakuan
Kelebihan dan Kekurangan Modifikasi Teknik Penyadapan
berdasarkan Aspek Ekonomi, Ekologi, Sosial, dan

Teknis
Pemilihan Ukuran dan Jumlah Quare serta Jenis Stimulansia yang
paling Tepat

10
10
11
13
14

15
18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7

Rancangan Percobaan
Rancangan perhitungan biaya pada masing-masing perlakuan
Lebar, jumlah quare dan stimulansia pada masing-masing perlakuan
Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi getah
Produksi getah pada masing-masing perlakuan
Perhitungan biaya penyadapan pada masing-masing perlakuan
Perbandingan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis, dari masingmasing perlakuan

8
9
11
12
12
16
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

8

Penyadapan getah pinus dengan metode quare
Diagram alir penyadapan getah pinus pada penelitian utama
Ilustrasi dari faktor lebar dan jumlah quare
Kondisi lokasi penelitian
Perbandingan ukuran quare
Hubungan luas luka sadapan per pohon terhadap produksi getah (♦)
Grafik kecenderungan produksi getah Af2 (──), Bf2 (──), Cf2
(──), Df2 (──), Af3 (──), Bf3 (──), Cf3 (──), Df3 (──)
pada setiap panen
Perbandingan penutupan luka sadapan pada metode quare (A) dan bor
(B)

5
6
7
10
11
13

14
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Gambar orthogonal dan detail kadukul lama (lebar 6 cm)
Gambar orthogonal dan detail kadukul baru (lebar 2 cm)
Analisis statistika

22
23
24

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Getah pinus merupakan oleoresin yang dihasilkan oleh pohon Pinus sp.
Getah pinus memiliki banyak kegunaan, yaitu digunakan sebagai bahan baku pada
industri kimia, makanan, dan farmasi (Rodrigues et al. 2012). Jenis pinus yang
mendominasi di Indonesia adalah Pinus merkusii, daerah penyebarannya yaitu
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seluruh Jawa (Martawijaya et al.
2005). Berdasarkan data Perhutani (2011), getah pinus merupakan salah satu
komoditas yang memiliki jumlah permintaan tinggi di pasar lokal dan
internasional. Delapan puluh persen produksi gondorukem dan terpentin
dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan
Amerika. Selanjutnya, dikemukakan juga bahwa Indonesia merupakan produsen
gondorukem ke dua setelah Cina dalam perdagangan internasional (Perhutani
2012). Fakta tersebut merupakan peluang untuk terus meningkatkan devisa
negara. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan produksi penyadapan getah
pinus. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi teknik
penyadapan. Penyadapan getah pinus yang optimal adalah suatu pemanfaatan
yang mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis (Dulsalam et
al. 1998). Aspek ekonomi yaitu mampu meningkatkan pendapatan. Aspek ekologi
adalah kelestarian pohon dan tegakan. Aspek sosial, yaitu dapat menambah
lapangan pekerjaan dan dapat diterima masyarakat, serta secara teknis mudah
diaplikasikan.
Tegakan pinus di pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani.
Akan tetapi, kondisi tegakan pinus di Perum Perhutani sangat memprihatinkan.
Hal ini dikarenakan penyadapan getah dilakukan secara berlebihan, yaitu ukuran
quare yang terlalu lebar dan dalam serta menggunakan stimulansia anorganik.
Penggunaan stimulansia anorganik dapat merusak pohon karena komponen
utamanya adalah asam sulfat dan asam nitrat. Menurut penelitian Darmastuti
(2011), bidang sadapan pinus dengan pemberian stimulansia anorganik menjadi
coklat kehitaman dan kayu gubal keras saat pembaharuan luka. Stimulansia
anorganik juga berbahaya untuk lingkungan dan penyadap. Menurut LIPI (2004),
uap asam sulfat dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta
mengganggu paru-paru. Selain itu, cairan asam sulfat juga dapat merusak kulit
dan menimbulkan kebutaan.
Berdasarkan informasi petugas teknis lapangan Perum Perhutani, penutupan
luka sadapan dengan metode quare yang berlebihan dan penggunaan stimulansia
anorganik sangat lama, yaitu 7 sampai dengan 8 tahun atau bahkan tidak menutup.
Penyadapan yang berlebihan juga menyebabkan banyak tegakan pinus menjadi
jenuh sadap lebih cepat dari seharusnya. Pohon jenuh sadap merupakan pohonpohon yang sudah tidak memiliki bidang sadapan dan sangat sedikit
mengeluarkan getah. Tegakan jenuh sadap banyak yang berkisar pada masa
produktif (di bawah KU X), sedangkan Perhutani menargetkan umur produktif
untuk menghasilkan getah pada KU III hingga KU X. Selain menurunkan
produksi getah pinus, akibat dari penyadapan yang berlebihan adalah menjadikan
pohon rentan terserang hama dan penyakit serta mudah tumbang. Menurut

2
Matangaran (2006), petel atau kadukul yang digunakan untuk menyadap getah
pinus harus diperbaiki dari segi lebar dan kedalaman quare yang dihasilkan karena
dapat menyebabkan pohon mudah tumbang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengurangi kerusakan pohon akibat
penyadapan dan tetap meningkatkan produksi getah pinus, yaitu dengan
memperbaiki metode serta jenis stimulansia yang digunakan. Perbaikan metode
penyadapan berupa modifikasi ukuran lebar dan jumlah quare. Selain itu,
digunakan stimulansia organik yang aman dan ramah terhadap pohon, lingkungan,
dan penyadap.

Perumusan Masalah
Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan pohon adalah dengan
memodifikasi teknik penyadapan. Selain quare, terdapat metode lain, yaitu
metode bor, baik secara manual ataupun mekanis. Penelitian metode bor yang
telah dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) menggunakan mata
bor berukuran 5/8 inci (13 mm). Luka sadapan yang dihasilkan dengan metode
bor lebih kecil dibandingkan quare. Berdasarkan pengamatan di Plot Penelitian
Permanen HPGW, lubang bor pada pohon pinus mulai menutup setelah satu tahun
dari pelukaan awal, sehingga sangat baik diterapkan dari segi ekologis.
Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian di HPGW, peningkatan produksi getah
berdasarkan waktu, yang dihasilkan dengan metode quare lebih tinggi
dibandingkan bor. Produksi getah yang dihasilkan dengan metode bor cenderung
menurun (Purnawati 2014), sedangkan dengan metode quare terus meningkat
kemudian stabil (Darmastuti 2011). Selain itu, penyadap di Indonesia telah
terbiasa dengan metode quare, karena kadukul (alat untuk metode quare) lebih
ringan dibawa dan mudah digunakan serta biayanya lebih murah, dibandingkan
dengan metode bor.
Penelitian ini memodifikasi teknik penyadapan pada metode quare. Selain
teknik penyadapan, juga memodifikasi stimulansia yang digunakan. Menurut
Sumarmadji (2002), dalam usaha perkebunan karet, digunakan stimulan lateks
berupa etephon, atau dalam merk dagang Ethrel atau Cepha. Senyawa ini bersifat
asam yang dikenal sebagai generator ethylene. Menurut Wattimena (1988),
ethylene merupakan hormon yang berperan untuk merangsang keluarnya getah.
Pada aplikasinya di bidang pertanian, etephon dimanfaatkan sebagai stimulan
untuk meningkatkan produksi penyadapan getah karet (lateks) (Silpi et al. 2006).
Penelitian penggunaan etephon sebagai stimulansia untuk penyadapan getah pinus
telah dilakukan di India dan Brasil, tetapi masih dikombinasikan dengan asam
sulfat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lekha dan Sharma (2013) pada
penyadapan getah P. roxburghii di India, penggunaan etephon 10% dan H2SO4
20% merupakan kombinasi yang dapat meningkatkan produksi getah pinus. Selain
itu, pada penelitian penyadapan getah pinus di Brasil oleh Rodrigues et al (2008),
penggunaan etephon 4.5 % dan asam sulfat 20% menghasilkan rata-rata produksi
getah P. elliottii paling tinggi dibandingkan perbandingan konsentrasi lainnya.
Sejak tahun 2011, HPGW telah menggunakan stimulansia ETRAT dalam
kegiatan penyadapan getah pinus. Stimulansia ETRAT berisi bahan aktif ethylene
dan asam sitrat yang mampu meningkatkan produksi getah dua kali lipat

3
dibandingkan stimulansia anorganik (Darmastuti 2011). Ethylene dikombinasikan
dengan asam sitrat sebagai stimulansia organik karena asam sitrat mampu
menggantikan asam sulfat yang bersifat menghidrolisis sel-sel parenkim
(Matangaran et al. 2012). Pada penelitian ini memodifikasi stimulansia organik
yang digunakan, yaitu mengganti asam sitrat dengan asam asetat. Asam asetat
(cuka) dipilih karena sifatnya yang mirip dengan asam sitrat, yaitu merupakan
asam lemah dan diduga dapat meningkatkan produksi getah pinus. Penggunaan
asam sitrat dan asam asetat sebagai bahan aktif yang dikombinasikan dengan
etephon, juga lebih aman bagi pohon dan penyadap dibandingkan asam sulfat.
Belum tersedianya teknik penyadapan getah pinus yang memenuhi empat
kriteria, meliputi ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis, merupakan landasan dalam
memodifikasi lebar quare, jumlah quare serta stimulansia organik yang digunakan.
Berdasarkan masalah tersebut, maka beberapa pertanyaan yang perlu dijawab
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana hasil produksi getah dengan adanya perubahan lebar dan
jumlah quare?
2. Bagaimana hasil produksi getah dengan adanya perbedaan jenis
stimulansia?
3. Adakah interaksi antara perubahan lebar dan jumlah quare dengan
perbedaan jenis stimulansia?
4. Bagaimana pengaruh modifikasi teknik penyadapan dan jenis stimulansia
terhadap biaya penyadapan?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Menentukan lebar dan jumlah quare per pohon yang paling optimal untuk
penyadapan getah pinus
Menentukan jenis stimulansia yang tepat
Menganalisis biaya dari modifikasi teknik penyadapan

Hipotesis Penelitian
1. Perubahan lebar sadapan dengan jumlah quare tertentu dapat meningkatkan
produksi penyadapan getah pinus
2. Perbedaan jenis stimulansia memengaruhi produksi penyadapan getah pinus
3. Modifikasi teknik penyadapan dapat meningkatkan nilai tambah dari segi
ekonomi

4

METODE

Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2014, di Hutan
Pendidikan Gunung Walat.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah cat kayu, spidol permanen, dan stimulansia
organik berupa F2 (Stimulansia ETRAT, bahan aktif: ethylene dan asam sitrat)
dan F3 (bahan aktif: etephon dan asam asetat).

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, kadukul ukuran 6
cm dan 2 cm (gambar ortogonal ditampilkan pada Lampiran 1 dan 2), mal sadap
lebar 6 cm dan 2 cm, talang sadap, paku, palu, golok, kuas, sprayer, kantong
plastik ukuran 12 x 25 cm, kalkulator, timbangan digital, software Minitab 15,
kamera digital dan alat tulis.

Prosedur
1.
2.

Pengambilan data kondisi umum lokasi penelitian
Pengambilan data berupa sejarah, topografi, jenis tanah, dan vegetasi.
Pengambilan data penelitian
a. Survey petak lokasi penelitian
b. Pemilihan pohon contoh
Pohon contoh yang dipilih berjumlah 50 pohon dengan kondisi
sehat dan berdiameter ≥ 30 cm.
c. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mengetahui potensi
awal pohon pinus dalam menghasilkan getah. Selain itu berguna untuk
melakukan penapisan data, yaitu menghilangkan pohon pencilan. Pohon
pencilan merupakan pohon yang menghasilkan rata-rata produksi getah
paling tinggi dan paling rendah. Penelitian pendahuluan dilakukan pada
50 pohon, dengan metode quare, dan pada setiap pohon dibuat satu quare
tanpa pemberian stimulansia. Pemanenan getah pinus pada penelitian
pendahuluan dilakukan 3 kali, dengan periode panen dan pembaharuan
luka setiap 3 hari sekali. Berdasarkan data pendahuluan, dari 50 pohon
pohon contoh, diambil 40 pohon contoh untuk penelitian utama dengan
menghilangkan pohon pencilan.

5
d. Penelitian utama
Penelitian utama dilakukan pada 40 pohon contoh yang dihasilkan
dari penelitian pendahuluan. Penyadapan pinus dilakukan dengan metode
quare yang dimodifikasi dari Pedoman Penyadapan Getah Pinus Tahun
2005 (SK Direksi Perum Perhutani No. 792/KPTS/DIR/2005).
Berdasarkan SK Direksi Perum Perhutani No. 792/ KPTS/DIR/2005,
pembukaan luka sadapan awal berukuran 10 cm x 6 cm dengan kedalaman
1.5 cm (tidak termasuk tebal kulit). Pembaruan luka dilakukan di atas luka
sadapan awal, yaitu 5 mm dengan periode setiap 3 hari sekali sehingga
luka sadapan dalam satu bulan adalah 5 cm. Ilustrasi penyadapan
ditampilkan pada Gambar 1.
Bln ke-

6 cm

XII

II
I

5 cm
10 cm
20 cm

Gambar 1 Penyadapan getah pinus dengan metode quare
Penyadapan getah pada penelitian ini menggunakan metode quare
berukuran lebar 6 cm (saat ini diterapkan di HPGW) dan lebar 2 cm.
Stimulansia yang digunakan merupakan stimulansia organik F2 dan F3.
Pengambilan data dilakukan sebanyak 10 kali dengan periode
pembaharuan luka sadapan, pemanenan, dan pemberian stimulansia setiap
3 hari sekali. Stimulansia diberikan dengan cara menyemprot bidang
sadapan sebanyak satu kali, yaitu 0.5 mL/quare untuk lebar quare 6 cm dan
0.3 mL/quare untuk lebar quare 2 cm. Alur penelitian utama ditampilkan
pada Gambar 2.

6
Pembersihan semak di sekitar pohon dan
kulit pohon pada bagian yang akan disadap
dengan golok (jarak untuk sadapan awal
20 cm dari permukaan tanah).

Pembuatan luka sadapan awal pada pohon
contoh dengan ukuran:
a. Lebar dan tinggi 6 cm, kedalaman 1.5 cm,
jumlah 2 quare/pohon
b. Lebar 2 cm dan tinggi 6 cm, kedalaman
1.5 cm, jumlah 6 quare/pohon
c. Lebar 2 cm dan tinggi 6 cm, kedalaman
1.5 cm, jumlah 4 quare/pohon
d. Lebar 2 cm dan tinggi 6 cm, kedalaman
1.5 cm, jumlah 2 quare/pohon

Penyemprotan
cairan
stimulansia
organik
sebanyak
satu
kali
semprot:
1. F2 (bahan aktif:
ethylene dan asam
sitrat)
2. F3 (bahan aktif:
etephon dan asam
asetat)

Pemasangan talang sadap pada bagian bawah
quare dan memasang paku agar talang
tertancap kuat.

Pemasangan kantong plastik penampung getah
(dikaitkan pada paku).

Pemanenan getah, pembaruan luka dan
penyemprotan stimulansia dilakukan pada hari
yang sama, yaitu setiap 3 hari sekali.
Pembaruan luka sadapan setinggi 5 mm dan
penyemprotan cairan stimulansia sebanyak satu
kali semprot.
Penimbangan hasil panen getah dengan timbangan
digital
Gambar 2 Diagram alir penyadapan getah pinus pada penelitian utama

7

Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian utama menggunakan rancangan acak lengkap faktorial
4 x 2. Faktor pertama ialah lebar dan jumlah quare. Faktor kedua ialah jenis
stimulansia organik. Ulangan pohon sebanyak 5 pohon pada masing-masing
kombinasi perlakuan, sehingga total pohon contoh adalah 40 pohon. Pengambilan
data dilakukan selama 10 kali panen.

Faktor Ukuran dan Jumlah Sadapan
Terdapat 4 taraf perlakuan berupa lebar dan jumlah quare yang berbeda (ilustrasi
ditampilkan pada Gambar 3), yaitu:
1. Lebar quare 6 cm dan jumlah sadapan 2 quare/ pohon
2. Lebar quare 2 cm dan jumlah sadapan 6 quare/ pohon
3. Lebar quare 2 cm dan jumlah sadapan 4 quare/ pohon
4. Lebar quare 2 cm dan jumlah sadapan 2 quare/ pohon
6 cm
1).

2 cm

2).
2 cm

2 cm

2 cm

6 cm
3).

2 cm

2 cm

2 cm

2 cm

4).

2 cm

2 cm

2 cm

2 cm

Gambar 3 Ilustrasi dari faktor lebar dan jumlah quare

Faktor Jenis Stimulansia:
Jenis stimulansia yang digunakan adalah stimulansia organik pada dua taraf
perlakuan:
1. Stimulansia F2 (Stimulansia ETRAT, bahan aktif: ethylene dan asam sitrat)

8
2. Stimulansia F3 (bahan aktif: etephon dan asam asetat)

Rancangan percobaan penelitian ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rancangan percobaan

FAKTOR

Stimulansia

F2
F3

Lebar dan jumlah quare
Lebar 6 cm, Lebar 2 cm, Lebar 2 cm, Lebar 2 cm,
jumlah 2
jumlah 6
jumlah 4
jumlah 2
quare/pohon quare/pohon quare/pohon quare/pohon
(A)
(B)
(C)
(D)
Af2
Bf2
Cf2
Df2
Af3
Bf3
Cf3
Df3

Model linier RAL Faktorial:
Yijk= µ+αi + βj + (αβ)ij+εijk, i= 1, 2, 3,4; j= 1,2 ; dan k= 1,2,3,4,5
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan produksi penyadapan getah pinus akibat faktor lebar dan
jumlah quare ke-i dan faktor jenis stimulansia ke-j serta ulangan ke-k
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh utama faktor lebar dan jumlah sadapan
βj
= pengaruh utama faktor jenis stimulansia
(αβ)ij = pengaruh interaksi faktor pertama dan kedua
εijk = pengaruh acak yang menyebar normal

Analisis Data
Data produksi getah diolah menggunakan software Minitab 15. Selanjutnya
untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan lebar dan jumlah quare serta faktor
jenis stimulansia terhadap peningkatan produksi getah pinus maka dilakukan
analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA).
Hipotesis untuk rancangan percobaan penelitian ini adalah:
1. H0’: α1 = α2 = α3 = α4
H1’: sekurang-kurangnya ada satu αi tidak sama dengan nol
2. H0’’: β1 = β2
H1’’: sekurang-kurangnya ada satu βj tidak sama dengan nol
3. H0’’’: (αβ)11 = (αβ)21 = (αβ)31......= (αβ)42
H1’’’: sekurang-kurangnya ada satu (αβ)ij tidak sama dengan nol
Hasil uji F-hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F-tabel pada
selang kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan kaidah:
1. Jika F-hitung < F-tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga perlakuan
memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produksi getah pinus pada selang
kepercayaan 95% (α = 0.05).

9
2. Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima sehingga perlakuan
memberikan pengaruh nyata terhadap produksi getah pinus pada selang
kepercayaan 95% (α = 0.05).
Selanjutnya, dilakukan uji Tukey atau Honestly Significant Difference
(HSD) untuk menentukan perlakuan yang saling berbeda nyata.

Perhitungan Biaya Penyadapan
Perhitungan biaya dirancang dari pihak pengelola HPGW, yaitu meliputi
pendapatan dan pengeluaran pada masing-masing alternatif kombinasi perlakuan.
Pendapatan dihitung berdasarkan produksi getah pinus yang dihasilkan dari
penyadapan, sedangkan biaya yang dikeluarkan adalah penyediaan talang,
tempurung kelapa, stimulansia, dan upah penyadap. Perhitungan biaya
penyadapan pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perhitungan biaya penyadapan pada masing-masing perlakuan
Produksi
getah
Upah
Biaya
Biaya
Biaya
Penjualan
Keuntungan
pinus
penyadap
stimulansia
talang
tempurung
getah
Perlakuan
(gram)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
0
1
2
3
4
5
6
Af2
Bf2
Cf2
Df2
Af3
Bf3
Cf3
Df3
Keterangan:
0 = produksi getah
1 = upah penyadap/kg x (0)/1000
2 = penggunaan stimulansia/1000 x harga stimulansia/liter
3 = jumlah seng talang x harga seng talang
4 = jumlah tempurung kelapa x harga tempurung
5 = (0) gram/1000 x harga jual getah (Rp/kg)
6 = (5) - (1 + 2 + 3 + 4)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Getah dari Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk melakukan penapisan pohon
contoh yang akan diberikan perlakuan agar meminimalisir standar deviasi dari
produksi getah yang dihasilkan pohon contoh terpilih. Kondisi fisik pohon, salah
satunya adalah diameter pohon, sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 30 cm
hingga 65 cm. Pohon yang dipilih memiliki diameter lebih dari 30 cm agar luas
permukaan batang dapat memenuhi syarat untuk diberikan perlakuan teknik
penyadapan, yaitu jumlah quare yang bervariasi (2, 4, dan 6 quare). Selain itu,
pohon dipilih dengan syarat belum pernah disadap sebelumnya, agar tidak
memengaruhi perlakuan yang diberikan pada saat penelitian. Kondisi lokasi
penelitian ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi lokasi penelitian
Faktor diameter tidak dapat menggambarkan kondisi pohon dalam
menghasilkan getah. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang erat antara diameter pohon dan rata-rata produksi getah (r =
0.006). Oleh karena itu, sulit untuk menentukan pohon bocor getah dan bukan.
Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Susilowati (2013) yang menyatakan
bahwa produksi getah P. merkusii di KBS Cijambu berhubungan positif dan nyata
dengan diameter batang, yaitu sebesar r = 0.364. Hal ini dikarenakan, produksi
getah pinus dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, sehingga interaksi
keduanya mampu mendukung ekspresi suatu karakter (Rodigues et al. 2009).
Berdasarkan pengambilan data getah di lapangan (ketinggian 691–715 mdpl)
selama tiga kali panen, rata-rata hasil getah dari 50 pohon P. merkusii adalah 16.4
± 9.7 g/pohon/panen dengan periode panen setiap tiga hari sekali. Sebaran hasil
produksi rata-rata getah dari tiga kali panen, yaitu berkisar 3.0–44.7
g/pohon/panen.

11

Pengaruh Lebar dan Jumlah Quare terhadap Produksi Getah
Lebar, jumlah quare per pohon dan stimulansia yang digunakan serta luas
total sadapan per pohon pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Lebar, jumlah quare, dan stimulansia pada masing-masing perlakuan
Simbol
Perlakuan
Af2
Bf2
Cf2
Df2
Af3
Bf3
Cf3
Df3

Stimulansia

F2

F3

Jumlah quare/
pohon
2
6
4
2
2
6
4
2

Lebar quare
(cm)
6
2
2
2
6
2
2
2

Luas total sadapan/ pohon
(cm2)
132
132
88
44
132
132
88
44

Keterangan: tinggi quare = 11 cm, luas total = jumlah quare/pohon x lebar quare x tinggi quare

Perlakuan Af2 merupakan kontrol karena menggunakan ukuran lebar dan
jumlah quare serta jenis stimulansia yang saat ini diaplikasikan oleh penyadap di
HPGW. Tinggi quare adalah 11 cm, yaitu merupakan akumulasi dari pelukaan
awal setinggi 6 cm, dan pembaruan luka setinggi 0.5 cm setiap 3 hari sekali
sebanyak 10 kali panen. Luas total luka sadapan per pohon yang terkecil adalah
pada perlakuan Df2 dan Df3 yaitu 44 cm2, dan yang terbesar adalah Af2, Af3, Bf2,
dan Bf3 yaitu 132 cm2. Perbandingan lebar quare ditampilkan pada Gambar 5.

Ukuran lebar quare 6 cm

Ukuran lebar quare 2 cm

Gambar 5 Perbandingan ukuran quare
Olah data dengan menggunakan ANOVA (ditampilkan pada Tabel 4 dan
Lampiran 3) memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p < 0.05) dari
faktor lebar dan jumlah quare. Hal ini sejalan dengan penelitian Cahyono et al.
(2011) yaitu adanya perbedaan yang nyata pada hasil produksi getah yang
dihasilkan dari modifikasi teknik penyadapan (lebar quare: 4, 6, 8, 10, dan 12 cm;
jumlah 1 dan 2 quare/pohon). Akan tetapi, perbedaan jenis stimulansia tidak
memberikan pengaruh yang nyata.

12
Tabel 4 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh perlakuan terhadap produksi getah
Sumber
variasi
Lebar dan
jumlah quare

Derajat
bebas

Jumlah
kuadrat

Kuadrat
tengah

F
hitung

F tabel

P

3

11189

3729.68

7.79*

2.85

0.00

Stimulansia

1

6.2

6.16

0.01

4.09

0.91

Interaksi

3

1353.2

451.07

0.94

2.85

0.43

Error

32

15311.2

478.48

Total

39

27859.7

Keterangan: *= beda nyata (α= 5%)

Produksi getah pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 5.
Pengambilan data di lapangan sebanyak 10 kali menunjukkan bahwa perlakuan
Bf2 menghasilkan rata-rata getah paling tinggi, yaitu 102.1 ± 26.9 g/pohon/panen,
selanjutnya perlakuan Bf3 yaitu 84.7 ± 17.8 g/pohon/panen. Sedangkan produksi
getah terendah dihasilkan oleh perlakuan D f2 yaitu 41.8 ± 13.6 g/pohon/hari. Jika
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Af2), yaitu lebar quare 6 cm dan jumlah 2
quare/pohon, getah yang dihasilkan oleh perlakuan Bf2, Bf3 dan Cf3 lebih tinggi.
Tabel 5 Produksi getah pada masing-masing perlakuan

Faktor 1:
Lebar dan
/pohon
(cm;
)
6;2
2;6
2;4
2;2
6;2
2;6
2;4
2;2

Faktor 2:
Stimulansia

F2

F3

Simbol
kombinasi
perlakuan
(Faktor 1,
Faktor 2)
Af2
Bf2
Cf2
Df2
Af3
Bf3
Cf3
Df3

Luas total
sadapan/
pohon
(cm2)
132
132
88
44
132
132
88
44

Rata-rata
produksi getah
(g/pohon/panen)
68.2±38.2b
102.1±26.9a
58.2±9.6b
41.8±13.6c
67.1±19.1b
84.7±17.8a
70.5±19.1b
51.2±17.9c

Keterangan: huruf superscript yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata berdasarkan
uji Tukey (α=5%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan luas sadapan yang
sama belum tentu menghasilkan jumlah produksi getah yang sama. Produksi getah
dari perlakuan Bf2 lebih tinggi dibandingkan Bf3, Af2, dan Af3. Selain itu,
berdasarkan uji Tukey, perlakuan Bf2 dan Bf3 berbeda nyata dengan Af2, dan Af3,
walaupun keempatnya memiliki luas sadapan yang sama (132 cm2). Perbedaan
produksi getah disebabkan adanya respon pohon yang berbeda untuk lebar dan
jumlah sadapan yang berbeda. Pohon dengan jumlah luka sadapan yang lebih

13
banyak dan tersebar dengan ukuran quare lebih kecil akan memiliki peluang
menghasilkan getah yang lebih banyak dibandingkan dengan sadapan pada dua
sisi saja walaupun lebar quarenya lebih besar. Berdasarkan data penelitian,
terdapat variasi hasil getah yang dihasilkan masing-masing quare pada setiap
pohon. Hal ini dikarenakan saluran getah pada pohon pinus yang tersebar secara
tata baur (Pandit dan Ramdan 2002).
Akan tetapi, peningkatan luas sadapan berkorelasi positif dan erat terhadap
produksi getah (r = 0.792). Persamaan regresi dari hubungan luas luka sadapan
per pohon terhadap produksi getah adalah y = 0.3846x + 29.895, artinya, semakin
luas luka sadapan per pohon maka semakin banyak pula produksi getah yang
dihasilkan. Hubungan antara luas luka sadapan per pohon terhadap produksi getah
ditampilkan pada Gambar 6. Hasil tersebut sama dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, yaitu adanya korelasi positif antara peningkatan luas bidang sadapan
dengan produksi getah dengan metode quare ataupun bor (Cahyono et al. 2011;
Sukarno et al. 2013 serta Lekha dan Sharma (2013)). Jadi, semakin luas bidang
sadapan maka lebih banyak saluran getah yang terpotong sehingga getah yang
dihasilkan semakin banyak (Matangaran 2006; Sukadaryati 2014).

Gambar 6 Hubungan luas luka sadapan per pohon terhadap produksi getah (♦)

Pengaruh Jenis Stimulansia terhadap Produksi Getah
Perbedaan jenis stimulansia tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap produksi getah berdasarkan ANOVA (p > 0.05) (Tabel 4 dan Lampiran
3). Selain itu, juga tidak terdapat interaksi antara perlakuan lebar dan jumlah
quare dengan perbedaan stimulansia. Akan tetapi, dari hasil rata-rata, perlakuan
dengan menggunakan stimulansia F3 menghasilkan getah lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan stimulansia F2 yaitu berturut-turut (68.4 ±
13.7) g/pohon/panen dan (67.6 ± 25.4) g/pohon/panen.

14
Stimulansia F2 berisi bahan aktif berupa ethylene dan asam sitrat.
Sedangkan stimulansia F3 merupakan modifikasi dari F2, yaitu adanya asam cuka
yang menggantikan asam sitrat. Asam cuka dipilih karena merupakan asam
lemah, dan merupakan salah satu senyawa yang diperlukan dalam biosintesis
ethylene (Wattimena 1988). Penggunaan asam cuka mampu menggantikan asam
sitrat, karena berdasarkan hasil produksi getah dengan perlakuan F3 lebih tinggi
dibandingkan F2 walaupun tidak berbeda nyata.

Kecenderungan Produksi Getah Pinus Setiap Kali Panen pada
Masing-Masing Perlakuan
Pada pemanenan pertama, rata-rata produksi getah pada setiap perlakuan
tinggi karena keluarnya getah berasal dari sel-sel epitel yang mengelilingi saluran
getah. Pelukaan pada pohon pinus secara terus-menerus menyebabkan stres pada
batang yang memengaruhi metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah
sebagai bentuk reaksi mekanisme pertahanan akibat pelukaan (Nagy et al. 2000).
Selanjutnya pada panen ke dua, rata-rata produksi getah menurun karena pohon
masih dalam proses untuk menyesuaikan diri dengan adanya metabolisme
sekunder. Pada pelukaan ketiga, pohon pinus sudah dapat beradaptasi dengan
adanya metabolisme sekunder. Oleh karena itu, produksi rata-rata setiap perlakuan
di pemanenan ke tiga kembali meningkat. Kecenderungan hasil rata-rata produksi
getah pinus pada setiap periode panen ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik kecenderungan produksi getah Af2 (──), Bf2 (──), Cf2
(──), Df2 (──), Af3 (──), Bf3 (──), Cf3 (──), Df3 (──)
pada setiap panen
Berdasarkan data yang dihasilkan, terdapat karakteristik khusus pada
penggunaan stimulansia F2 dan F3. Penggunaan kedua jenis stimulansia tersebut
mulai stabil dalam meningkatkan hasil produksi getah pada panen ke empat. Hal

15
ini disebabkan adanya proses pelepasan ethylene di dalam pohon. Stimulan F2 dan
F3 mengandung etephon, yaitu senyawa 2-chloroethylphosphonic acid yang
bersifat mudah terurai di dalam air atau jaringan tanaman. Senyawa tersebut akan
bercampur dengan cairan sel tanaman dan melepaskan ethylene (Lukman 1995).
Pada tanaman, ethylene dapat terbentuk secara alami, akibat pelukaan,
kekeringan, polusi udara, gangguan mekanis, dan serangan mikroorganisme
(Kozlowski dan Pallardy 1997). Oleh karena itu, pelukaan yang terus menerus
pada pinus, selain dapat membentuk saluran getah traumatis (Pandit dan
Kurniawan 2008; Nagy et al. 2000), juga merangsang pembentukan ethylene
(endogenous). Peran dari ethylene exogenous mulai terlihat pada panen ke empat.
Ethylene exogenous dari stimulansia F2 dan F3 merangsang ethylene endogenous
di dalam pohon pinus untuk mulai beradaptasi dengan mekanisme metabolisme
sekunder. Penambahan ethylene secara exogeneous juga akan meningkatkan
kinerja ethylene endogenous dalam pembentukan saluran getah traumatis.
Akan tetapi, produksi getah pinus dari semua perlakuan pada panen ke
empat dan ke lima menurun. Hal ini disebabkan karena konsisi eksternal, yaitu
hujan. Pada saat kondisi hujan, suhu menjadi rendah dan cahaya matahari
berkurang, sehingga dapat mempengaruhi proses fotosintesis pada pohon pinus.
Jika fotosintesis tidak berjalan optimal, maka getah yang dihasilkan lebih sedikit.
Selain itu, rendahnya suhu menyebabkan getah mudah menggumpal, sehingga
menghambat kelancaran keluarnya getah.

Kelebihan dan Kekurangan Modifikasi Teknik Penyadapan
berdasarkan Aspek Ekonomi, Ekologi, Sosial, dan Teknis
Penyempurnaan teknik penyadapan memiliki kelebihan dan kekurangan,
yaitu dari segi ekonomi, sosial, ekologi, dan teknis. Perubahan lebar dan jumlah
quare dari segi ekonomi, berdampak pada pendapatan dan biaya pengelolaan.
Pendapatan didasarkan pada produksi getah yang dihasilkan pada masingmasing perlakuan, sedangkan komponen biaya terdiri atas pemberian upah
penyadap, biaya stimulansia, talang, dan tempurung. Perhitungan biaya dari
masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 6. Quare dengan jumlah 6,
lebar 2 cm (perlakuan B f2 dan Bf3) berdampak pada peningkatan seluruh
komponen biaya, yaitu upah penyadap, biaya stimulansia, talang, dan tempurung
(dibandingkan kontrol). Namun, dari segi pendapatan, perlakuan B f2 dan Bf3
menghasilkan keuntungan tertinggi, yaitu Rp64 078 dan Rp52 411. Hal ini
dikarenakan produksi getah yang dihasilkan dengan jumlah 6 quare dan lebar 2
cm lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan Cf2
meningkatkan biaya stimulansia dan tempurung dibandingkan kontrol,
sedangkan pada perlakuan Cf3, selain kedua komponen biaya tersebut, juga
meningkatkan upah penyadap. Akan tetapi, keuntungan dengan perlakuan C f3
lebih tinggi dibandingkan dengan C f2 dan kontrol, sedangkan C f2 menghasilkan
keuntungan lebih rendah dibandingkan kontrol. Perlakuan dengan jumlah 2
quare per pohon dengan lebar 2 cm (D f2 dan Df3) mengeluarkan biaya paling
sedikit dibandingkan perlakuan lainnya, namun juga menghasilkan keuntungan
paling rendah.

16
Asumsi perhitungan biaya adalah selama 10 kali panen dan dihitung
sebanyak 5 kali ulangan pada setiap perlakuan. Penggunaan stimulansia F3
mengeluarkan biaya stimulansia yang lebih banyak dibandingkan F2. Akan
tetapi, rata-rata keuntungan pada perlakuan dengan menggunakan stimulansia F3
lebih tinggi dibandingkan F2, yaitu berturut-turut Rp42 916 dan Rp42 386. Hal
ini dikarenakan rata-rata produksi getah yang dihasilkan dengan penggunaan
stimulansia F3 lebih tinggi dibandingkan dengan stimulansia F2.
Tabel 6 Perhitungan biaya penyadapan pada masing-masing perlakuan
Produksi Upah
Biaya
getah penyadap stimulansia
Perlakuan

Biaya
talang

Biaya
Penjualan
Keuntungan
tempurung
getah

(gram)

(Rp)

(Rp)

(Rp)

(Rp)

(Rp)

(Rp)

0

1

2

3

4

5

6

Af2
Bf2

3 410
5 105

5 456
8 168

196
354

2 200
2 475

500
1 500

51 150
76 575

42 798
64 078

Cf2
Df2
Af3

2 910
2 090
3 355

4 656
3 344
5 368

236
118
202

1 650
825
2 200

1000
500
500

43 650
31 350
50 325

36 108
26 563
42 055

Bf3
Cf3

4 235
3 525

6 776
5 640

363
242

2 475
1 650

1 500
1 000

63 525
52 875

52 411
44 343

Df3

2 560

4 096

121

825

500

38 400

32 858

.
Keterangan:
0 = produksi getah
1 = upah penyadap/kg x (0)/1000
2= penggunaan stimulansia/1000 x Harga
stimulansia/liter
3 = jumlah seng talang x harga seng talang
4 = jumlah tempurung kelapa x harga tempurung
5 = (0) gram/1000 x harga jual getah (Rp/kg)
6 = (5) - (1 + 2 + 3 + 4)

Asumsi:
Upah penyadap = Rp1 600/kg
Harga stimulansia F2= Rp3 929/ liter,
F3= Rp4 034/ liter
Harga talang quare 6 cm= Rp 220/ talang,
Harga talang quare 2 cm= Rp 82.5/ talang
Harga tempurung= Rp50/ tempurung
Harga jual getah= Rp15 000

Metode penyadapan pada penelitian ini sama dengan yang diterapkan di
HPGW, yaitu quare, sehingga dari aspek sosial, penyadap tidak terlalu sulit
beradaptasi. Pengurangan ukuran lebar quare dari 6 cm menjadi 2 cm, dari aspek
ekologi dapat mengurangi luka sadapan pada pohon, sehingga pohon tidak
mudah terkena hama dan penyakit serta tumbang. Selain itu, dengan
memperkecil lebar quare akan mempersingkat waktu pemulihan luka sadapan,
walaupun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati waktu pemulihan
luka sadapan tersebut. Jika ukuran sadapan pada pohon dapat dikurangi, maka
dapat menghemat bidang sadapan per pohon dan waktu pemulihan luka,
sehingga penyadapan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Foto pengamatan penutupan luka pada quare dan lubang bor ditampilkan
pada Gambar 8. Quare dibuat pada tahun 2011, sedangkan lubang bor dibuat
pada 2012 dan Gambar 8 merupakan dokumentasi pada tahun 2013. Berdasarkan

17
pengamatan di Plot Penelitian Permanen HPGW, lubang bor (diameter 13 mm)
pada pohon pinus telah menutup setelah satu tahun dari pelukaan awal, sedangkan
quare (lebar 6 cm) pada tahun kedua mulai menutup namun sangat lambat.

B

A

Gambar 8 Perbandingan penutupan luka sadapan pada metode quare (A) dan
bor (B)
Berdasarkan wawancara dengan petugas lapangan saat menggunakan alat
kadukul ukuran lebar 2 cm, dari segi teknis tidak terdapat kesulitan dalam
penggunaan di lapangan serta alat terasa lebih ringan. Akan tetapi, dengan
adanya perubahan lebar dan jumlah quare, maka waktu kerja akan bertambah,
karena penyadap akan mengeluarkan waktu lebih banyak untuk menyadap dan
memanen getah dari pohon satu ke pohon lainnya. Berdasarkan pengamatan
waktu penyadapan getah pinus di lapangan pada saat penelitian, B f2 dan Bf3
menghabiskan waktu paling banyak di antara perlakuan yang lainnya, yaitu 143
detik/pohon, sedangkan kontrol (Af2) hanya menghabiskan waktu selama 55
detik/pohon. Perhitungan waktu penyadapan meliputi waktu pemanenan getah,
pelukaan pohon, penyemprotan stimulansia, pemasangan plastik penampung
getah dan perpindahan antar quare dalam satu pohon.
Penyadap melakukan pekerjaan menyadap getah dari pagi (antara pukul
05.00-06.00) hingga siang hari (antara pukul 12.00-14.00). Setelah menyadap,
penyadap melanjutkan pekerjaan yang lain, seperti bertani dan menjadi tukang
bangunan. Oleh karena itu, kecepatan dalam menyadap menjadi penting untuk
memenuhi penghasilan mereka. Perbandingan aspek ekonomi, ekologi, sosial,
dan teknis dari masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 7.

18
Tabel 7 Perbandingan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis, dari masingmasing perlakuan

Perlakuan
Af2
Bf2
Cf2
Df2
Af3
Bf3
Cf3
Df3

Ekonomi
Keuntungan
(Rp)
42 798
64 078
36 108
26 563
42 055
52 411
44 343
32 858

Ekologi
Kerusakan
pohon (cm2)
132
132
88
44
132
132
88
44

Aspek
Sosial
Penerapan
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah

Teknis
Waktu penyadapan
(detik/pohon)
55
143
95
47
55
143
95
47

Aplikasi teknik penyadapan yang baru di lapangan membutuhkan
sosialisasi dari keempat aspek tersebut. Berdasarkan pendekatan ekonomi, yaitu
perbandingan pendapatan yang dihasilkan dengan teknik penyadapan
sebelumnya. Selain itu, perlu pemahaman terhadap faktor ekologi, bahwa
dengan adanya pengurangan lebar quare, dapat menjaga keberlangsungan mata
pencaharian penyadap (jangka waktu penyadapan lebih lama), karena akan
menghemat bidang sadapan pada pohon. Berdasarkan aspek sosial dan teknis,
dibutuhkan pelatihan mengenai cara pembuatan quare dengan alat kadukul lebar
2 cm dan pengawasan penerapannya di lapangan.

Pemilihan Ukuran dan Jumlah Quare serta Jenis Stimulansia
yang Paling Tepat
Pengurangan ukuran lebar quare dari 6 cm menjadi 2 cm dengan jumlah 6
quare per pohon (perlakuan Bf2 dan Bf3) menghasilkan produksi getah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan Af2 dan Af3 (lebar 6 cm, jumlah 2). Luas
permukaan luka total sadapan per pohon pada empat perlakuan tersebut adalah
sama, yaitu 132 cm2, namun menghasilkan produksi getah yang berbeda nyata
pada uji Tukey (Tabel 5). Selanjutnya, perlakuan A f2 dan Af3 menghasilkan
produksi getah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C f2 dan Cf3,
walaupun luas total sadapan per pohon berbeda. Oleh karena itu, walaupun dari
segi ekonomi, keuntungan tertinggi adalah perlakuan B f2 dan Bf3, namun secara
ekologi lebih baik jika luas luka sadapan per pohon semakin kecil. Produksi
getah yang dihasilkan dari perlakuan C f3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan
Cf2, walaupun keduanya memiliki luas sadapan per pohon sama. Selain itu,
perlakuan Cf3 juga menghasilkan produksi getah dan keuntungan yang lebih
tinggi dibandingkan Af2 dan Af3, walaupun luas sadapan per pohon dari
perlakuan Af2 dan Af3 lebih besar dibandingkan Cf3. Selanjutnya, perlakuan C f3
dipilih karena secara teknis menghabiskan waktu kerja lebih sedikit

19
dibandingkan perlakuan B f2 dan Bf3. Mayoritas penyadap memiliki pekerjaan
lain, yaitu bertani setelah menyadap. Oleh karena itu, jika waktu kerja
bertambah dan mengganggu pekerjaan bertani, penyadap akan enggan
mengaplikasikan alternatif perlakuan tersebut. Oleh karena itu, perlakuan C f3
merupakan alternatif lebar, jumlah quare, dan jenis stimulansia terbaik yang
dapat digunakan berdasarkan pertimbangan keempat aspek, yaitu ekonomi,
ekologi, sosial, dan teknis.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Teknik penyadapan berupa perbedaan lebar sadapan dan jumlah quare per
pohon memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi getah. Sedangkan
perbedaan jenis stimulansia tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi getah yang dihasilkan. Selain itu, tidak terdapat interaksi antara teknik
penyadapan yaitu perbedaan lebar sadapan dan jumlah quare per pohon dengan
jenis stimulansia terhadap produksi getah. Modifikasi teknik penyadapan dan
stimulansia berpengaruh terhadap analisis biaya. Perlakuan Cf3 (lebar quare 2 cm,
jumlah 4 quare/ pohon, dan stimulansia F3) merupakan alternatif terbaik dari
pertimbangan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis.

Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menganalisis waktu kerja penyadap dan
pengamatan penutupan luka sadapan dengan adanya modifikasi teknik
penyadapan.

DAFTAR PUSTAKA
Cahyono SA, Prakosa D, Yuliantoro D, Siswo. 2011. Produksi getah tusam pada
berbagai ukuran dan jumlah kowakan. Buletin Hasil Hutan. 17(2):136–
141.
Darmastuti IN. 2011. Pengaruh penggunaan stimulansia organik dan zat pengatur
tumbuh (ZPT) terhadap produktivitas penyadapan getah pinus di Hutan
Pendidikan Gunung Walat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dulsalam, Maman M, Idris, Tinambunan D. 1998. Produksi dan biaya
penyadapan getah tusam dengan sistem bor: studi kasus di PT INHUTANI
IV Sumatera Barat. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 16(1):1–16.
Kozlowzki TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Woody Plants. USA: Academic
Pr.

20
Lekha C, Sharma KR. 2013. Tapping of Pinus roxburghii (Chir Pine) for
oleoresin in Himachal Pradesh, India. Advances in Forestry Letter.
2(3):51–55.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Lembar Data Keselamatan
Bahan Kimia [internet]. [diunduh 2014 Maret 7]. Tersedia pada:
http//Kimianet.lipi.go.id/database.cgi?bacadatabase&&&1&1098595676&
1098638744.
Lukman. 1995. Pengaruh Penggunaan Bahan Penutup Stimulan yang
Dikombinasikan dengan Sistem Sadap HLE terhadap Produksi Karet.
Jurnal Penelitian Karet. 13(1):11–20.
Martawijaya A, Kartasujana, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Indonesia
Jilid II. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan.
Matangaran JR. 2006. Catatan untuk penyadap getah pinus. Duta Rimba. 1(8):22–
23.
Matangaran JR, Santosa G, Aziz F. 2012. Peningkatan produksi getah pinus
melalui penggunaan stimulansia cairan jeruk nipis dan lengkuas. J ITHH.
5(1):29–31.
Nagy NE, Franceschi VR, Solheim H, Krekling T, Christiansen E. 2000. Woundinduced traumatic resin duct development in stems of norwey spruce
(Pinaceae): Anatomy and cytochemical traits. American Journal of
Botany. 87(3):302–313.
Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB.
Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu sebagai Bahan Baku
dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan IPB.
Perhutani. 2005. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No:
792/KPTS/DIR/2005 tentang Pedoman Penyadapan Getah Pinus Tahun
2005. Jakarta (ID): Perhutani.
Perhutani. 2011. Gondorukem Jadi Bisnis yang Menjanjikan [internet]. [diunduh
2014 April 1]. Tersedia pada: http://perumperhutani.com/2011/10.
Perhutani. 2012. Perhutani Ekspor Gondorukem Tepat Saat Harga Naik [internet].
[diunduh 2014 April 1]. Tersedia pada http:// perumperhutani.
com/2012/02/ perhutani-ekspor-gondorukem-tepat-saat-harga-naik.
Purnawati RR. 2014. Produksi penyadapan getah pinus dengan metode bor tanpa
pipa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rodrigues KCS, Azevedo PCN, Subreiro LE, Fett NAG. 2008. Oleoresin yield of
Pinus elliottii plantations in a subtropical climate: effect of tree diameter,
wound shape and concentration of active adjuvants in resin stimulating
paste.
Industrial
Crops
and
Products.
27:322–
327.doi:10.1016/j.indcrop.2007.11.010.
Rodrigues KCS, Fett NAG. 2009. Oleoresin yield of Pinus elliottii in a
subtropical climate: seasonal variation and effect of auxin and salicylic
acid based stimulant paste. Industrial Crops and Products. 30:316–
320.doi:10.1016/j.indcrop.2009.06.004.
Rodrigues KCS, de Lima JC, Fett NAG. 2012. Pine oleoresin: tapping green
chemicals, biofuels, food protection, and carbon sequestration from

21
multipurpose
trees.
Food
and
Energy
Security.
1(2):81–
93.doi:10.1002/fes3.13.
Silpi U, Thaler P, Ka