Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera

PRODUKSI TANAMAN DIHAPLOID DARI
PERSILANGAN PADI SAWAH DAN PADI GOGO MELALUI
KULTUR ANTERA

NUHA HERA PUTRI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Produksi Tanaman
Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Nuha Hera Putri
NIM A24090132

ABSTRAK
NUHA HERA PUTRI. Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah
dan Padi Gogo melalui Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA
PURWOKO dan ISWARI SARASWATI DEWI.
Metode kultur antera merupakan salah satu metode pemuliaan padi yang
efisien waktu, biaya dan tenaga kerja. Pemuliaan konvensional biasanya
membutuhkan 10 generasi, waktu untuk mendapatkan galur murni homozigos
dengan metode kultur antera dapat dipersingkat hanya menjadi 1-2 generasi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan tanaman dihaploid (DH0) hasil regenerasi
kultur antera persilangan padi sawah dan padi gogo. Eksplan yang digunakan yaitu
antera F1 hasil persilangan beberapa jenis padi sawah dan padi gogo, yang terdiri
atas 1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 2) Bio-R81 x I5-10-1-1, 3) Bio-R81 x O18b1 dan 4) Bio-R82-2 x O18b-1. Dari penelitian ini diperoleh 265 tanaman hijau atau

34% dari jumlah tanaman total, yang terdiri atas 34 tanaman hijau hasil persilangan
(IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 2), 59 tanaman hijau hasil persilangan (Bio-R81 x
I5-10-1-1), 77 tanaman hijau hasil persilangan (Bio-R81 x O18b-1) dan 95 tanaman
hijau untuk persilangan (Bio-R82-2 x O18b-1). Tanaman dihaploid generasi
pertama (DH0) diperoleh dari tanaman hijau yang dihasilkan setelah diaklimatisasi,
ditanam di rumah kaca dan diseleksi. Diperoleh individu DH0 berturut-turut
diperoleh sebanyak 15, 11, 21 dan 26 tanaman pada persilangan IR85640-114-2-1-3
x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1.
Kata kunci : galur baru, padi sawah, padi gogo

ABSTRACT
NUHA HERA PUTRI. Dihaploid Plant Production from Lowland Rice and Upland
Rice Crosses through Anther Culture. Supervised by BAMBANG SAPTA
PURWOKO and ISWARI SARASWATI DEWI.
Anther culture is one of rice breeding method which is efficient in time, cost
and labor. Conventional rice breeding usually needs 10 generations to achieve
homozigous pure lines. Anther culture can reduce the time to only 1-2 generations.
The objective of this research was to obtain doubled haploid or dihaploid plants
(DH0) produced from rice anther culture of F1. The materials used in this research
were anthers of F1 from some lowland rice and upland rice crosses i.e 1) IR85640114-2-1-3 x I5-10-1-1, 2) Bio-R81 x I5-10-1-1, 3) Bio-R81 x O18b-1 and 4) Bio-R822 x O18b-1. The result from this research were 265 green plants (34% from the

total plants) consisted of 34 green plants from (IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1) , 59
green plants from (Bio-R81 x I5-10-1-1), 77 green plants from (Bio-R81 x O18b-1) ,
and 95 green plants from (Bio-R82-2 x O18b-1). The green plants were
acclimatized, grown in the greenhouse and selected to obtain first generation of
dihaploid plants. This research yielded 15, 11, 21, and 26 doubled-haploid (DH0)
lines from IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1,
and Bio-R82-2 x O18b-1 respectively.
Key words : new lines, lowland rice, upland rice

PRODUKSI TANAMAN DIHAPLOID DARI PERSILANGAN
PADI SAWAH DAN PADI GOGO MELALUI
KULTUR ANTERA

NUHA HERA PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan
Padi Gogo melalui Kultur Antera
Nama
: Nuha Hera Putri
NIM
: A24090132

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, MSc
Pembimbing I

Dr.Ir. Iswari Saraswati Dewi

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr.Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat
selesai dengan baik. Penelitian yang bertema pemuliaan tanaman dan
bioteknologi dengan judul “Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan
Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera” ini dilakukan untuk
mendapatkan genotipe padi berdaya hasil tinggi.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc dan
Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Iman Ridwan dan Teh Yeni, selaku staf BB Biogen.

Terima kasih kepada kedua orang tua, serta kepada pimpinan PT BLST yaitu
Bapak Sambas Waemata, Bapak Meika Syahbana Rusli dan Bapak Arif Imam
Suroso serta Bapak Dwi Guntoro, Dosen Agronomi dan Hortikultura yang
selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi. Terima kasih juga
kepada Meyrinda, Estu, Herdafi, Yusak dan Tim Gulma AGH yang telah
membantu secara langsung maupun tidak langsung selama persiapan,
pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mendukung
ketahanan pangan Indonesia.

Bogor, Mei 2014

Nuha Hera Putri

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Botani dan Morfologi Padi

2


Jenis-Jenis Padi

3

Pemuliaan Padi Konvensional

4

Kultur Antera

6

METODE

9

Tempat dan Waktu

9


Bahan

9

Alat

9

Rancangan Percobaan, Prosedur dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

10
11

Simpulan

17

Saran


17

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL

1 Produksi kalus dan kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi
hasil persilangan padi sawah dan padi gogo.............................................
2 Respon galur persilangan padi sawah dan padi gogo terhadap regenerasi
tanaman pada kultur antera padi................................................................
3 Efisiensi produksi tanaman hasil persilangan padi sawah dan padi gogo
melalui kultur antera padi.........................................................................
4 Tanaman dihaploid pada kultur antera hasil persilangan padi sawah dan
padi gogo..................................................................................................


12
14
15
16

DAFTAR GAMBAR
1. Antera yang di tanam pada media induksi kalus......................................
2. Kalus yang di tanam pada media regenarsi..............................................

12
12

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mengakibatkan kebutuhan pangan
meningkat, khususnya beras. Susanto et al. (2003) mengatakan bahwa kebutuhan
akan beras yang terus meningkat menuntut peningkatan produktivitas padi yang
kontinyu. Namun di sisi lain Safitri et al. (2010) mengatakan bahwa laju
peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya
teknologi budidaya yang dilakukan sulit untuk meningkatkan produksi karena
potensi genetik produksinya sudah jenuh. Terjadinya perubahan fungsi lahan
untuk pertanian (sawah) menjadi non pertanian menyebabkan semakin
menurunnya produksi bahan pangan.
Upaya peningkatan produksi perlu
dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang tersedia, khususnya lahan kering.
Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi padi di
lahan kering.
Padi gogo merupakan salah satu tanaman pangan yang berpotensi untuk
dikembangkan.
Pada tahun-tahun mendatang peranan padi gogo dalam
penyediaan gabah nasional menjadi semakin penting (Rahayu et al. 2006).
Pengembangan budidaya padi gogo merupakan alternatif untuk meningkatkan
produksi padi nasional, karena perluasan padi sawah semakin sulit dilakukan.
Strategi ini dilakukan di antaranya melalui optimalisasi pemanfaatan lahan tidur
atau tumpang sari dengan tanaman perkebunan belum menghasilkan (Herawati et
al. 2009).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah penggunaan varietas unggul.
Penggunaan varietas yang tepat, teknik budidaya dan pola tanam yang tepat, dapat
meningkatkan produktivitas padi di lahan kering menjadi 4 ton/ha (Puslitbangtan
1993). Jumlah varietas unggul padi gogo tidak sebanyak padi sawah. Perakitan
padi gogo tipe baru belum banyak dilakukan mengingat berbagai kendala adaptasi
lingkungan dan cekaman biotik. Varietas padi gogo diharapkan memiliki sifat
produksi tinggi dan tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik.
Varietas dapat dihasilkan melalui pemuliaan konvensional dan non
konvensional. Proses pemuliaan konvensional membutuhkan waktu lima sampai
tujuh tahun untuk menghasilkan padi dengan sifat yang diinginkan, sedangkan
kultur antera dapat memperpendek proses tersebut. Kultur antera merupakan
salah satu metode kultur in-vitro yang dapat menghasilkan galur murni dihaploid.
Teknik ini dapat mempercepat perolehan galur murni dalam satu generasi (Dewi
dan Purwoko 2011; Abdullah et al. 2008). Teknik kultur antera telah
menghasilkan galur-galur padi harapan. Galur yang dirakit melalui kombinasi
marka molekuler dan kultur antera telah dilepas sebagai varietas di Indonesia
ialah Inpari HDB (Hawar Daun Bakteri) yang tahan terhadap hawar daun bakteri
yang merupakan penyakit utama padi sawah [Dewi 2014, komunikasi singkat].

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dihaploid hasil kultur
antera persilangan padi sawah dan padi gogo.

2
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Padi
Padi adalah rerumputan (Gramineae atau Poaceae) yang termasuk ke dalam
genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies yang biasa dibudidayakan yaitu Oryza
sativa Linn.dan O. glaberrima Steud namun O. glaberrima Steud tidak banyak
dibudidayakan (Grist 1975).
Siklus hidup tanaman padi berdasarkan
pertumbuhannya dimulai dari perkecambahan, diikuti dengan perkembangan tajuk
yaitu munculnya daun dan anakan berturut-turut, kemudian pemanjangan ruas,
keluarnya malai, pembungaan, pengisian biji dan pematangan biji yang disertai
dengan penuaan batang dan daun sampai akhirnya tumbuhan mati.
Proses pertumbuhan padi terbagi ke dalam fase pertumbuhan vegetatif, fase
pertumbuhan generatif dan fase pematangan (Vergara 1991), yaitu :
1. Fase vegetatif
Fase vegetatif terdiri atas perkecambahan benih, anakan yang aktif,
pengakaran, pertambahan tinggi, dan munculnya daun dengan interval
tertentu. Fase vegetatif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi
malai. Di daerah tropis, anakan maksimal akan keluar pada 40 sampai
60 hari setelah pindah tanam, tergantung pada varietas, jarak tanam dan
tingkat kesuburan tanah. Fase jumlah anakan maksimal biasanya diikuti
dengan berkurangnya anakan per satuan luas.
Daun dihasilkan dari batang utama dengan rata-rata satu daun per
minggu namun dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Rentang
waktu munculnya daun pada fase awal pertumbuhan lebih singkat (4-5
hari) dan lebih panjang pada fase pertumbuhan berikutnya (8-9 hari).
Varietas berdaya hasil tinggi di daerah tropis memiliki 14-18 daun,
hampir sama dengan varietas di daerah beriklim sedang. Rendahnya
suhu dan lama penyinaran meningkatkan produksi daun sebelum inisiasi
malai.
2. Fase reproduktif
Fase reproduktif berawal dari diferensiasi primordia malai. Fase
ini dicirikan dengan perkembangan malai dan pemanjangan malai
(Murayama 1995).
Makarim dan Suhartatik (2006) menyatakan bahwa fase
reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas batang
tanaman, berkurangnya penambahan jumlah anakan, munculnya daun
bendera, bunting dan pembungaan.
3. Fase pematangan
Fase pematangan dimulai dari keluarnya malai sampai bulir
menguning. Fase ini membutuhkan waktu 25 sampai 30 hari di daerah
tropis atau 30 sampai 60 hari di daerah beriklim sedang. Padi dapat
dipanen ketika lebih dari 90% bulir pada malai telah matang sempurna.
Dibutuhkan waktu tujuh hari agar semua spikelet pada malai membuka.
Tambahan waktu beberapa hari juga dibutuhkan untuk pematangan
semua bulir karena keluarnya malai terjadi selama beberapa hari
(Vergara 1991).

3
Jenis-Jenis Padi
Padi dibedakan menjadi tiga subspesies, yaitu indica, japonica dan javanica
(Chang dan Bardenas 1965). Padi subspesies indica mempunyai karakteristik daun
yang berukuran sempit berwarna hijau tua, gabah pendek dan agak bulat panjang,
bulu sekam lebat dan panjang, gabah agak mudah rontok, jumlah anakan sedang,
batang sedang-pendek, jaringan keras, tidak peka terhadap panjang hari atau agak
peka, dan kandungan amilosa pada biji 10-24%. Padi subspesies japonica
mempunyai karakteristik daun yang berukuran sempit-lebar dan berwarna hijau
muda, gabah panjang-pendek, bulu sekam jarang dan pendek, gabah mudah
rontok, jumlah anakan banyak, batang sedang-tinggi, jaringan lunak, kepekaan
terhadap panjang hari bervariasi, dan kandungan amilosa pada biji 23-31%.
Subspesies javanica mempunyai karakteristik: daun berukuran lebar, kaku dan
berwarna hijau muda, gabah panjang, lebar dan tebal, gabah mempunyai ekor
(awn) panjang, bulu sekam panjang, gabah sulit rontok, jumlah anakan sedikit,
batang tinggi, jaringan keras, agak peka terhadap panjang hari, dan kandungan
amilosa pada biji 20-25% (Gupta dan O‟Toole 1986).
Padi di Indonesia ditanam pada berbagai kondisi lingkungan beragam yang
dikelompokkan menjadi padi sawah irigasi, padi sawah tadah hujan (padi sawah)
dan padi lahan kering atau biasa disebut padi gogo (Dalrymple 1986), sedangkan
De Datta (1981) mengatakan bahwa budidaya padi dikelompokkan berdasarkan
sumber persediaan air yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Taslim dan
Fagi (1989) menyatakan bahwa berdasarkan kedalaman genangan air, maka padi
dapat digolongkan beberapa jenis, yaitu:
1. Padi gogo, yaitu padi yang dalam budidayanya tidak pernah digenangi.
2. Padi sawah, yaitu padi yang seluruh waktu pertumbuhannya digenangi 5-25
cm.
3. Padi gogo rancah, yaitu padi yang tidak digenangi di awal pertumbuhan dan
kemudian digenangi 5-25 cm pada periode pertengahan sampai akhir
pertumbuhan.
4. Padi pasang surut, yaitu padi dengan genangan di atas 50 cm, dengan variasi
tinggi genangan air tergantung pada pasang surutnya air di pantai atau muara
sungai.
5. Padi rawa (padi lebak), yaitu padi sawah dengan genangan lebih dari 50 cm
sampai 200 cm.
Padi Sawah
Padi umumnya dibudidayakan di lahan sawah. Tanah pada sistem sawah
biasanya dalam kondisi basah atau kering namun air selalu tersedia di pematang
sawah. Sekitar 30% padi ditanam di sawah tadah hujan dan 45% sawah irigasi
(De Datta 1981).
Padi sawah terdiri atas padi sawah irigasi dan padi sawah tadah hujan. Padi
sawah memiliki keunggulan, yaitu produktivitasnya lebih besar dibandingkan
dengan produktivitas padi gogo namun padi gogo lebih tahan terhadap kondisi
kekeringan. Hal ini terlihat dari jumlah anakan dan percabangan sekunder malai
padi sawah lebih banyak. Selain itu, bobot 1000 butir gabah dan bobot gabah per

4
rumpun padi sawah lebih besar sedangkan untuk umur panen, padi sawah juga
lebih unggul karena lebih genjah.
Padi Gogo
Padi gogo banyak dibudidayakan di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara,
meliputi 10% dari area padi yang ditanam. Area padi gogo terbesar di Asia
terdapat di India, Bangladesh, Indonesia, Filipina dan Thailand (De Datta 1981).
Padi gogo yang toleran kekeringan biasanya memiliki sistem perakaran
yang dalam yang dapat menembus lapisan tanah sampai kedalaman lebih dari 20
cm di bawah permukaan tanah, sehingga pada saat kekeringan, akar yang dalam
masih dapat memanfaatkan air yang masih tersedia pada kedalaman lebih dari 20
cm di bawah permukaan tanah (Suprihatno et al. 2008). Ketahanan akar padi
gogo mencapai 17 kali lebih besar dibanding padi sawah (Suardi 2002).
Pakar manajemen air IRRI menyatakan bahwa mereka telah memiliki jenis
padi gogo yang toleran kekeringan, namun produktivitasnya rendah dan tidak
peka terhadap pemberian pupuk (Hill 2001) .
Padi Rawa
Padi rawa merupakan padi yang hidup pada ketinggian air lebih dari 50 cm
selama masa pertumbuhannya. Padi rawa banyak terdapat di Asia Selatan dan
Asia Tenggara karena menggenangnya air tidak dapat dikontrol. Padi yang
tumbuh pada kondisi ini membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Potensi hasil
padi rawa sangat rendah yaitu 1.5 ton per hektar dan sangat bervariasi karena
miskinnya hara serta kondisi air di lahan yang tidak menentu (Dobermann and
Fairhurst 2000).

Pemuliaan Padi Konvensional
Pemuliaan tanaman adalah usaha peningkatan kemampuan tanaman untuk
memperbaiki karakter tanaman agar diperoleh tanaman yang lebih unggul.
Pemuliaan tanaman adalah perpaduan antara ilmu (science) dan seni (art) dalam
merakit keragaman genetik suatu populasi tanaman tertentu menjadi lebih baik
atau unggul dari sebelumnya. Tujuan pemuliaan tanaman adalah memperoleh
atau mengembangkan varietas agar lebih efisien dalam penggunaan unsur hara
dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik sehingga memberi hasil tertinggi
per satuan luas dan menguntungkan bagi penanam serta pemakai (Syukur et al.
2012).
Metode seleksi pada pemuliaan tanaman telah digunakan sejak dulu untuk
mendapatkan varietas baru dari varietas lama yang diturunkan oleh para petani
dari generasi ke generasi. Metode lain telah berkembang sebagai ilmu yang telah
maju dan telah menjadi teknologi baru (De Datta 1981). Terdapat beberapa
metode seleksi untuk pemuliaan tanaman, diantaranya seleksi massa, bulk,
pedigree, silang balik (backcross) dan seleksi galur murni. Metode seleksi
pemuliaan ini sering disebut juga pemuliaan padi konvensional.

5

-

Seleksi bulk
Variasi genetik pada seleksi bulk dihasilkan dari persilangan
buatan antara beberapa tetua terpilih. Hasil persilangan F1-F5 ditanam
sebagai populasi bulk. Terdapat seleksi alam dan genotipe yang paling
sesuai dengan lingkungan tersebut akan memiliki keturunan yang lebih
banyak sehingga akan menjadi dominan pada generasi berikutnya.
Biasanya populasi bulk tumbuh di bawah cekaman dan tekanan penyakit
yang biasa terdapat pada tanaman yang dibudidayakan, sehingga terdapat
asumsi bahwa frekuensi populasi genotipe yang beradaptasi meningkat.
Tanaman yang menunjukkan karakter yang diinginkan akan dipilih pada
F6 ( Brown and Caligari 2006 ).

-

Seleksi pedigree
Seleksi pedigree merupakan salah satu seleksi pada populasi
bersegregasi. Pencatatan setiap anggota populasi bersegregasi hasil
persilangan merupakan ciri dari seleksi silsilah yang berguna untuk
mengetahui silsilah atau hubungan tetua dengan turunannya. Tanaman
yang diseleksi pada generasi awal dapat dievaluasi dengan pengujian
khusus untuk beberapa karakter, seperti ketahanan hama dan penyakit dan
kualitas gabah. Metode pedigree sangat cocok untuk mengembangkan
padi resisten hama dan penyakit, jika sifat ketahanan tersebut diatur oleh
gen-gen utama. Tujuan metode ini yaitu untuk mendapatkan varietas baru
dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan yang ditemukan pada
dua genotipe atau lebih (Syukur et al. 2012).

-

Silang balik (back cross)
Metode silang balik merupakan metode persilangan antara F1
dengan salah satu tetuanya. Metode pemuliaan ini khusus digunakan
ketika suatu varietas yang terkenal baik dan berdaya hasil tinggi perlu
diperbaiki hanya untuk karakter yang spesifik. Metode silang balik sering
juga digunakan untuk menstabilkan proses pemuliaan ketika suatu varietas
yang memiliki potensi hasil tinggi, dan masih memiliki beberapa
kekurangan, khususnya terkait kerentanan terhadap hama atau penyakit
yang berpengaruh terhadap hasil panen (Stopskopf 1993).

-

Seleksi massa
Metode seleksi ini merupakan metode tertua yang digunakan dalam
pemuliaan tanaman yang berlandaskan seleksi fenotipe. Selain itu, seleksi
genotipe juga tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat hertabilitas yang
merupakan ukuran derajat kesesuaian antara sifat genotipe dan fenotipe.
Seleksi massa dilakukan dengan mengidentifikasi dan menandai
tanaman yang memiliki sifat yang diinginkan selama pertumbuhannya dan
hanya memanen tanaman yang secara fenotipik diinginkan. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan cara membuang tanaman yang tidak memiliki
sifat yang diinginkan di lapangan, pada waktu yang berbeda selama
pertumbuhan tanaman. Tanaman yang tersisa kemudian dipanen dan
dikumpulkan.

6
Seleksi massa membutuhkan jumlah tanaman yang cukup banyak
untuk mempertahankan identitas keragaman asli dari varietas lokal
tersebut (Chahal and Gosal 2003).
-

Seleksi galur murni
Seleksi galur murni merupakan seleksi tanaman tunggal dari
populasi homozigos heterogen. Seleksi ini berdasarkan pada teori bahwa
keragaman dalam suatu populasi heterozigos disebabkan oleh keragaman
genetik dan lingkungan sedangkan keragaman dalam galur murni hanya
disebabkan oleh keragaman lingkungan. Populasi dasar dari varietas asal
harus memiliki keragaman genetik karena seleksi hanya dapat dilakukan
jika terdapat perbedaan yang akan diwariskan. Seleksi galur murni
membutuhkan banyak tanaman untuk diseleksi yang dibuat dari populasi
asal dengan sifat genetik yang berbeda, kemudian menanam tanaman
keturunan dari hasil seleksi individu untuk evaluasi awal (Syukur et al.
2012 ). Keragaman dalam famili seharusnya lebih kecil dibandingkan
antar famili. Keragaman dalam famili disebabkan oleh lingkungan (De
Datta 1981).

Kultur Antera
Kultur antera adalah salah satu metode pemuliaan tanaman dengan cara
mengkulturkan antera yang mengandung mikrospora atau butir polen yang belum
masak dalam media yang bernutrisi dengan tujuan mendapatkan tanaman haploid
(Sleper and Poehlman 2006).
Kultur antera atau polen bertujuan untuk menghasilkan sel haploid dan
tanaman dihaploid dari spora-spora yang monoploid, mikrospora atau tepungsari
yang belum masak sehingga cara ini penting bagi pemuliaan (Wardiyati 1998).
Kultur antera memberikan cara alternatif dalam memperbanyak dan meningkatkan
efisiensi proses pemuliaan tanaman (Dalrymple 1986). Metode kultur antera akan
meningkatkan efisiensi pembentukan tanaman ideal dan varietas padi lahan kering
yang diinginkan (Herawati et al. 2008). Tanaman haploid atau dihaploid yang
diperoleh dari kultur antera bermanfaat dalam analisis genetika dan pemuliaan
tanaman (Purwoko et al. 2001).
Kultur antera dapat diaplikasikan dengan mengekstrak tanaman hasil
persilangan padi yang berdaya hasil tinggi, pemurnian mandul jantan, gen
pemulih kesuburan dan gen pemelihara (Nanda 2000). Antera diperoleh dari
tunas bunga dan dapat dikulturkan pada medium padat atau cair sehingga terjadi
embriogenesis. Proses perbanyakan tanaman haploid dengan menggunakan
gametofit jantan ini disebut androgenesis (Yuwono 2006).
Secara umum, tahapan kultur antera adalah mengumpulkan dan
mensterilkan permukaan malai yang belum masak. Antera muda dipotong dan
ditempatkan pada medium padat (agar) di dalam cawan petri atau terapung di
medium cair. Antera yang dikulturkan akan mengeluarkan polen yang
dikandungnya ke media. Planlet dapat diregenerasikan secara langsung melalui
embrio atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus. Bila melalui kalus,
maka kalus dipindahkan ke dalam media regenerasi untuk menstimulasi

7
pembentukan planlet yang akan tumbuh dari kalus dalam 4-8 minggu (Dewi dan
Purwoko 2011). Planlet akan dipindahkan ke dalam media yang baru untuk
pengakaran dan perkembangan tajuk. Kemudian tanaman dipindahkan ke tanah
yang steril (Sleper and Poehlman 2006).
Hal penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil maksimum
pada kultur antera, ialah sebagai berikut (Collin and Edwards 1998) :
1. Tanaman induk mendapatkan air dan hara yang cukup untuk
mempertahankan pertumbuhan vegetatifnya. Malai dipilih pada fase
perkembangan yang tepat untuk mendapatkan mikrospora.
2. Fase perkembangan mikrospora pada bunga yang tertutup dapat
diketahui pertama kali melalui pewarnaan sel. Antera dihaluskan
dan diwarnai dengan larutan acetocarmine, fase perkembangan
mikrospora berkorelasi dengan morfologi dari bunga tersebut.
Kultur antera dapat membantu proses pemuliaan tanaman padi melalui dua
keuntungan utama (Masyhudi dan Rianawati 1994) yaitu :
a.
Teknik ini merupakan cara tercepat mendapatkan galur homozigos yang
berasal dari dari galur tanaman heterozigos melalui penggandaan
kromosom spontan.
b.
Teknik ini juga dapat menghasilkan dan memilih mutan unggul dengan
cepat.
Kultur antera mempunyai beberapa kelemahan, yaitu rendahnya tingkat
regenerasi tanaman hijau, banyaknya tanaman albino, tidak semua genotipe
responsif dan tanaman dapat mempunyai berbagai tingkat ploidi yang dapat
dihasilkan (Masyhudi et al. 1997; Somantri et al. 2002 ). Tanaman yang tumbuh
dari kultur antera dapat berupa tanaman hijau, tanaman albino atau mutan
kloroplas. Tanaman albino mengalami defisiensi klorofil karena plastid tidak
berkembang menjadi kloroplas dan tidak ada sintesis klorofil.
Banyaknya tanaman yang albino dapat diatasi dengan menambahkan
poliamin untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau. Poliamin adalah
kelompok senyawa polikation yang mempunyai bobot molekul rendah, banyak
ditemukan pada organisme hidup dan terlibat di dalam proses biologi. Perlakuan
poliamin berpengaruh terhadap peningkatan jumlah tanaman hijau pada kultur
antera padi. Jumlah tanaman albino juga dipengaruhi oleh perlakuan poliamin.
Tanaman albino selalu dihasilkan bersamaan dengan peningkatan tanaman hijau.
Poliamin dikategorikan sebagai zat pengatur tumbuh yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, mulai dari perkecambahan benih
sampai senesen. Poliamin yang banyak ditemukan pada tanaman ialah putresina,
spermidina, dan spermina ( Dewi 2003; Purwoko et al. 2001).
Faktor Penentu Keberhasilan Kultur Antera
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera (induksi kalus
dan regenerasi tanaman), seperti genotipe atau populasi, media dan sifat fisiologis
tanaman. Tanaman yang kurang sehat pertumbuhannya sulit menghasilkan kalus
karena pertumbuhan sel-sel tanaman tidak normal (Abdullah et al. 2008).

8
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera menurut
(Dewi dan Purwoko 2011) antara lain:
1. Genotipe tanaman donor
Genotipe tanaman donor memegang peranan penting dalam
keberhasilan menghasilkan tanaman hijau. Terdapat genotipe yang
mampu beradaptasi pada semua komposisi media dan memiliki frekuensi
induksi yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain yang rekalsitran.
2. Status fisiologi tanaman donor
Dalam memulai kultur antera dapat timbul masalah rekalsitran
(ketidaktanggapan sel, jaringan atau organ tanaman terhadap kultur in
vitro) dan faktor terpenting lain ialah tahap perkembangan reproduktif dari
tanaman donor. Tanaman padi donor antera harus ditanam dalam
lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan. Selain itu, respon antera
yang berbeda terjadi jika tanaman ditanam pada musim yang berbeda.
Tanaman padi yang ditanam pada musim hujan menyebabkan antera yang
dikulturkan lebih sulit karena banyak yang menempel dan berair,
sedangkan tanaman padi yang ditanam saat intensitas hujan rendah lebih
mudah untuk dikulturkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi dan
Purwoko (2011) yang menemukan bahwa tanaman padi donor antera yang
ditanam pada musim kemarau memberikan tanggap yang lebih baik
dibandingkan yang ditanam saat musim hujan.
Keberhasilan kultur antera juga dipengaruhi waktu koleksi eksplan
yaitu dengan memperhatikan tahap pembungaan. Pengambilan eksplan
sebaiknya dari tanaman donor yang diberi hara optimum serta selalu
terpelihara dari serangan hama dan penyakit.
3. Tahap perkembangan mikrospora
Pemeriksaan tahap perkembangan mikrospora pada saat pengambilan
antera dan saat dikulturkan merupakan saat paling kritis. Tahap ini
dipengaruhi oleh suhu lingkungan karena suhu mempengaruhi
perkembangan mikrospora ke tahap uninukleat dan tahap binukleat dapat
berlangsung cepat atau lambat.
4. Kondisi kultur dan lingkungan fisik
Kepadatan eksplan di dalam wadah mempengaruhi sifat fisik dan
biokimia dalam mendukung pembentukan embrio. Hal lain yang perlu
diperhatikan ialah kondisi suhu di ruang kultur, intensitas cahaya dan
kondisi ruang gelap untuk induksi kalus serta ruang terang untuk
regenerasi tanaman.
5. Umur dan ukuran kalus
Lamanya periode inkubasi kultur sampai terbentuknya kalus
pertama sangat bervariasi. Pada kultur antera padi subspesies japonica,
kalus terbentuk setelah tiga minggu (Dewi et al. 2004). Umur kalus, yaitu
lamanya waktu (hari) sejak kalus diinduksi sampai kalus dipindahkan ke
medium regenerasi menentukan frekuensi regenerasi.

9
Ukuran kalus terbaik untuk regenerasi tanaman hijau ialah 1-2 mm.
Ukuran kalus yang lebih besar, akan banyak menginduksi atau
meregenerasi tanaman albino (Dewi dan Purwoko 2011).
6. Media
Media yang digunakan yaitu media dasar dan modifikasinya.
Komponen lain yang sangat penting yaitu zat pengatur tumbuh. Zat
pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur antera padi antara lain
NAA, IBA dan kinetin. Vitamin dan Poliamin juga ditambahkan dalam
komposisi media kultur antera. Kultur antera padi membutuhkan kisaran
pH 5.5 - 5.8 untuk menginduksi dan meregenerasikan tanaman (Dewi et al.
2004).
7. Perlakuan terhadap eksplan
Pada kultur antera padi, praperlakuan terhadap eksplan dilakukan
dengan menggunakan perlakuan suhu rendah. Perlakuan suhu rendah
bertujuan untuk menyeragamkan stadia polen, yaitu pada tahap uninukleat.
Malai yang terpilih disimpan pada suhu 5°C selama delapan hari (Dewi et
al. 2006).

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Bogor.
Penanaman eksplan dilakukan di rumah kaca dan pelaksanaan kultur antera
dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan BB BIOGEN. Penelitian dimulai sejak bulan November 2012 - Juni
2013.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah benih dari empat genotipe padi F1 dari
persilangan (1) IR85640-114-2-1-3/ I5-10-1-1, (2) Bio-R81/ I5-10-1-1, (3) BioR81/ O18b-1, (4) Bio-R82-2/ O18b-1. Galur I5-10-1-1, Bio-R81, Bio-R82-2 dan
O18b-1 adalah tanaman dihaploid hasil kultur antera. Media tanam yang
digunakan mengikuti metode Dewi (2003) yaitu media untuk induksi kalus adalah
N6, sedangkan media regenerasi kalus dan media perakaran adalah media MS.
Pemadat yang digunakan adalah 0.3% agar phytagelTM dengan pH media 5.8.
Alat
Alat yang diperlukan yaitu Laminar Air Flow EHC-4, cawan petri, botol
steril, botol kultur, test tube, gelas ukur, pembakar bunsen, sprayer, rak kultur
yang dilengkapi dengan lampu dengan cahaya 1600-1800 lux, pinset, gunting, dan
bak plastik.

10
Rancangan Percobaan, Prosedur dan Analisis Data
Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 10 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah empat genotipe F1 padi.
Terdapat 40 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan adalah satu cawan petri
yang berisi ± 150 antera yang berasal dari 25-30 bunga atau spikelet (bulir) muda.
Pengkulturan antera mengikuti metode Dewi et al. (2004). Terdapat
beberapa tahapan dalam kultur antera, yaitu :
1. Penanaman tanaman penghasil antera
Penanaman tanaman penghasil antera dimulai dengan
mengecambahkan benih kemudian benih yang telah berkecambah
dipindahkan ke bak dalam bak semai. Setelah berumur 21 hari, bibit
dipindahkan ke dalam pot. Bibit ditanam dua titik tanam per pot (dua
rumpun per pot). Setiap genotipe ditanam sebanyak lima pot. Tiap
genotipe ditanam dua kali pada waktu yang berselang dua minggu
sehingga jumlah setiap kali tanam sebesar lima pot untuk menyediakan
antera 10 petri per jenis F1 sebagai ulangan. Tanaman dipupuk dengan
dosis 200 kg/ha urea, 100 kg/ha SP36 dan 100 kg/ha KCl.
2. Pembuatan media
Media yang digunakan ialah N6 dan media MS. Media N6
digunakan untuk induksi kalus sedangkan media MS untuk regenerasi
kalus dan perakaran. Media induksi kalus mengandung 2 mg/l NAA, 0.5
mg/l kinetin dan 60 g/l sukrosa. Media regenerasi mengandung 0.5 mg/l
NAA, 2 ml/l kinetin dan 40 g/l sukrosa. Pada media induksi kalus dan
regenerasi ditambahkan 10-3 M putresin yang merupakan salah satu jenis
poliamin. Media perakaran mengandung 30 g/l sukrosa dan 0.5 mg/l IBA.
Pemadat yang digunakan ialah 0.3% phytagel dengan pH media 5.8.
Media disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 120°C dan tekanan
18-20 psi selama 20 menit.
3. Panen dan inkubasi malai berisi antera yang akan digunakan sebagai
eksplan
Malai yang telah mencapai fase bunting dan masih terbungkus
daun dikoleksi sebagai sumber eksplan. Malai yang digunakan ialah malai
pada stadia uninukleat, yaitu ketika jarak aurikel daun bendera dengan
daun di bawahnya 8-10 cm (Purwoko et al. 2001). Malai yang masih
berada dalam selubung dicuci bersih kemudian dibungkus dengan tisu
basah yang dilapisi dengan plastik. Setelah itu, malai diberi perlakuan
sebelum antera dikulturkan, yaitu dengan perlakuan suhu dingin yang
disimpan pada suhu 5˚ C selama 7-10 hari (Dewi 2003). Malai yang
terpilih setelah disterilisasi dengan 20% Clorox (mengandung 5.24%
NaOCl) kemudian spikeletnya dipotong pada 1/3 bagian dari pangkalnya
dan dikumpulkan pada cawan petri.
4. Penanaman antera pada media induksi kalus (Gambar 1)
Pada tahap inokulasi antera, masing-masing spikelet dijepit dengan
pinset dan diketukkan pada tepi cawan petri yang sudah berisi 25 ml media
induksi kalus, sampai antera keluar dan jatuh pada media. Inokulasi atau
penanaman eksplan dilakukan di dalam lemari steril „laminar air flow‟.
Selanjutnya kultur diinkubasi dalam ruang gelap bersuhu 20˚C untuk

11

5.

6.

7.

8.

menginduksi keluarnya kalus. Dalam waktu 3-4 minggu setelah inokulasi
kalus akan mulai terbentuk (Somantri 2002).
Pemidahan kalus ke media regenerasi
Kalus yang berukuran 1-2 mm dipindahkan ke dalam botol yang
berisi 25 ml media regenerasi untuk merangsang keluarnya tunas.
Pembentukan kalus tidak serentak dan memerlukan waktu hingga lebih
dari delapan minggu sejak diinokulasikan. Inisiasi induksi kalus dalam
media induksi ditandai dengan membesarnya kalus sebagai akibat
terjadinya pembelahan sel-sel mikrospora yang berkembang menjadi
massa sel. Selanjutnya dinding pecah dan tampak keluar kalus berwarna
putih (Sasmita 2001).
Aklimatisasi (planlet) tanaman hijau
Tunas/tanaman hijau yang tumbuh dipindahkan ke tabung kultur
yang berisi 15 ml media perakaran. Aklimatisasi dilakukan dengan
menanam planlet hasil kultur antera pada tabung reaksi yang berisi air
selama satu minggu, kemudian dipindahkan ke bak semai berisi tanah
selama satu minggu. Tanaman mulai dipindah ke lapangan namun dengan
intensitas cahaya yang relatif
rendah kemudian berangsur-angsur
meningkat agar tanaman dapat beradaptasi.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah antera, jumlah kalus yang
terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau, jumlah kalus
yang menghasilkan tanaman albino, jumlah tanaman hijau dan jumlah
tanaman albino dan jumlah tanaman dihaploid yang diperoleh.
Analisis data
Data primer yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan
persentase antera yang membentuk kalus, persentase kalus yang
menghasilkan tanaman hijau, persentase kalus yang menghasilkan tanaman
albino, persentase tanaman hijau terhadap jumlah tanaman total dan rasio
tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi serta persentase
tanaman dihaploid. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan
sidik ragam, dan data yang memiliki perbedaan antar persilangan, diuji
lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Data
yang disajikan pada tabel merupakan angka rata-rata, yaitu per unit
percobaan atau per petri.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Antera
Data rata-rata jumlah antera yang dikulturkan per cawan petri dari masingmasing persilangan, menunjukkan jumlah antera yang relatif sama dan tidak
berbeda nyata (Tabel 1).
Antera padi terdapat pada spikelet yang terbungkus di dalam malai. Malai
diambil saat padi berada pada fase bunting. Pengambilan malai dilakukan tidak
bersamaan karena pertumbuhan tanaman antar persilangan tidak serempak.

12
Penanaman padi di rumah kaca dilakukan dua tahap dengan perbedaan rentang
waktu selama dua minggu. Pada saat pengambilan malai tahap pertama cuaca
pada saat itu mendung dan kemudian hujan, bertepatan dengan musim hujan. Hal
ini berpengaruh terhadap kondisi antera yang akan dikulturkan karena sebagaian
besar antera yang diambil pada tahap pertama banyak yang menempel dan terlihat
lembap sehingga saat proses inokulasi, antera sulit keluar dan jumlah antera yang
dihasilkan sedikit. Berbeda dengan pengambilan malai pada tahap kedua, kondisi
saat itu frekuensi hujan mulai berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
respon genotipe yang berbeda terhadap peubah lingkungan.
Tabel 1. Produksi kalus dan kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi
hasil persilangan padi sawah dan padi gogo
Jumlah
Jumlah
Jumlah
%Kalus
Antera
Kalus
KMT
1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1
152.3 a
41.2 a
26.5 a
5.7 a
2) Bio-R81 x I5-10-1-1
145.2 a
43.1 a
32.7 a
4.6 a
3) Bio-R81 x O18b-1
152.2 a
23.7 a
14.7 a
3.5 a
4) Bio-R82-2 x O18b-1
147.4 a
36.1 a
27.0 a
3.7 a
KMT = kalus menghasilkan tanaman. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.
Persilangan

Gambar 1.Antera yang di tanam
pada media induksi kalus

Gambar 2. Kalus yang di tanam
pada media regenerasi

Kalus
Data rata-rata jumlah kalus pada Tabel 1, menunjukkan bahwa jumlah
kalus yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar persilangan. Kemampuan antera
untuk menginduksi kalus hampir sama pada tiap persilangan. Banyak peneliti
telah mencoba berbagai macam media dasar seperti MS, LS yang sesuai dengan
induksi kalus (Zhu et al. 1998). Namun, media yang sesuai untuk induksi kalus
pada tanaman padi adalah media N6 (Dewi dan Purwoko 2011).

13
Persentase kalus IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 (26.5%), Bio-R81 x I510-1-1 (32.7%), Bio-R81 x O18b-1 (14.7%) dan Bio-R82-2 x O18b-1 (27%).
Sama halnya dengan jumlah kalus yang dihasilkan, persentase kalus antar
persilangan juga tidak berbeda nyata (Tabel 1).
Persentase kalus yang dihasilkan persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1 cukup
besar. Hasil penelitian Dewi et al. (2006) menunjukkan bahwa respon varietas
padi indica bervariasi, jumlah antera yang membentuk kalus berkisar antara 1.4 –
26.5%. Menurut Herawati et al. (2008) kalus yang dihasilkan terdiri atas dua
jenis, yaitu kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Hal ini dapat dilihat
secara visual dengan melihat warna kalus. Kalus embriogenik akan berwarna
agak kuning dan strukturnya kompak sedangkan kalus non embriogenik berwarna
putih karena mengandung pati.
Jumlah Kalus Menghasilkan Tanaman
Antera yang diinokulasi akan membentuk kalus, namun ada juga yang tidak
membentuk kalus dan kemudian berubah warna menjadi coklat. Kalus yang
terbentuk pada F1 umumnya lebih cepat dibandingkan tetuanya (Safitri 2010).
Kalus akan berdiferensiasi menjadi tanaman. Tanaman yang dihasilkan melalui
metode kultur antera pada penelitian ini diperoleh secara tidak langsung, yaitu
melalui tahap pembentukan kalus yang disebut peristiwa caulogenesis (Dewi et al.
2007).
Kalus yang berhasil diinduksi dan tumbuh menjadi tanaman pada keempat
persilangan yang digunakan tidak berbeda nyata (Tabel 1). Jumlah kalus yang
diinduksi, persentase kalus, dan jumlah kalus menghasilkan tanaman pada
persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x
O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 tidak berbeda nyata. Hal ini diduga disebabkan
karena tetua masing-masing persilangan di atas, salah satu induknya
menggunakan galur yang merupakan tanaman dihaploid hasil kultur antera.
Tahap regenerasi tanaman menghasilkan tanaman dihaploid adalah melalui
induksi embriogenesis dari pembelahan berulang spora monoploid tanaman F1.
Kromosom mengganda secara spontan selama kultur sehingga akan diperoleh
tanaman dihaploid yang homozigos.
Tetua dari beberapa persilangan yang digunakan ialah padi jenis indica.
Padi jenis indica daerah penyebarannya banyak terdapat di Asia tropis dan
subtropis. Padi jenis indica lebih sulit berespon dibandingkan padi jenis japonica
ketika dikultur anterakan (Dewi et al. 2007). Efisiensi kultur antera dapat
diketahui dari perbandingan jumlah tanaman yang dihasilkan dengan jumlah
antera yang diinokulasikan. Hasil penelitian Herath et al. (2007) menunjukkan
bahwa varietas padi lokal Sri Lanka dengan daya hasil tinggi yang berjenis padi
indica, memiliki respon yang rendah terhadap kultur antera.
Kalus Menghasilkan Tanaman Hijau
Jumlah kalus menghasilkan tanaman hijau antar persilangan tidak berbeda
nyata, namun persentasenya berbeda antar persilangan (Tabel 2). Persentase kalus
menghasilkan tanaman hijau merupakan perbandingan antara kalus menghasilkan
tanaman hijau dengan jumlah kalus yang berhasil terinduksi.

14
Persilangan Bio-R81 x O18b-1 merupakan hasil persilangan yang memiliki
respon paling baik dalam meregenerasikan tanaman hijau, dengan persentase
kalus menghasilkan tanaman hijau tertinggi sebesar 6.8% yang tidak berbeda
nyata dengan Bio-R82-2 x O18b-1 (4.7%), namun persentasenya nyata lebih
tinggi dari Bio-R81 x I5-10-1-1 (3.7%) dan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1(2.4%)
(Tabel 2).
Tabel 2. Respon galur persilangan padi sawah dan padi gogo terhadap regenerasi
tanaman pada kultur antera padi
Jumlah
Jumlah
%KMTH
%KMTA
KMTH
KMTA
1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1
1.0 a
2.4 b
4.7 a
11.4 a
2) Bio-R81 x I5-10-1-1
1.6 a
3.7 b
3.0 ab
6.9 a
3) Bio-R81 x O18b-1
1.6 a
6.8 a
1.9 b
8.0 a
4) Bio-R82-2 x O18b-1
1.7 a
4.7 ab
2.0 b
5.5 a
KMTH = kalus menghasilkan tanaman hijau, KMTA = kalus menghasilkan tanaman
albino. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan
uji DMRT.
Persilangan

Kalus Menghasilkan Tanaman Albino
Persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan kalus
menghasilkan tanaman albino terbanyak (4.7), tidak berbeda nyata dengan BioR81 x I5-10-1-1 (3.0), namun nyata lebih tinggi dibandingkan Bio-R81 x O18b-1
(1.9) dan Bio-R82-2 x O18b-1 (2.0). Persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x
O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 ketiganya tidak berbeda nyata dalam
menginduksi kalus yang menghasilkan tanaman albino. Walaupun jumlah kalus
menghasilkan tanaman albino pada semua persilangan yang dikulturkan berbeda,
namun persentase kalus menghasilkan tanaman albino antar persilangan tidak
berbeda nyata. Persentase kalus menghasilkan tanaman albino merupakan
persentase dari perbandingan jumlah tanaman albino yang dihasilkan dengan
jumlah kalus yang terinduksi (Tabel 2).
Roy dan Mandal (2004) mengatakan bahwa daya kultur antera yang rendah,
tingginya persentase tanaman albino pada tahap regenerasi dan banyaknya
tanaman haploid adalah masalah utama dalam teknik kultur antera. Namun,
Masyhudi dan Rianawati (1995) mengatakan bahwa pembentukan tanaman albino
tidak dipandang sebagai masalah besar yang menghambat tujuan dari kultur antera
padi karena peningkatan tanaman hijau akan bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah tanaman albino.
Tanaman Total
Jumlah tanaman total yang terbentuk tidak berbeda nyata antar persilangan,
kecuali untuk persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 yang nyata lebih tinggi,
sama halnya dengan jumlah tanaman albino yang dihasilkan. Jumlah tanaman
terbanyak dihasilkan oleh persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 yaitu 31.7.
Persentase tanaman hijau terbanyak dihasilkan Bio-R81 x O18b-1 (62.1%), tidak
berbeda nyata dengan Bio-R82-2 x O18b-1 (51.1%) dan Bio-R81 x I5-10-1-1

15
(42.1%), namun berbeda nyata dengan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 yang
memiliki persentase paling rendah (10.7%) (Tabel 3).
Persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan tanaman albino
terbanyak dan tanaman hijau paling sedikit (Tabel 3). Selain itu, persilangan
IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 juga memiliki efisiensi kultur antera yang
ditunjukkan oleh rasio jumlah tanaman hijau terhadap jumlah antera yang
diinokulasi paling rendah (0.02), sedangkan ketiga persilangan lainnya memiliki
efisiensi kultur antera yang tidak berbeda nyata yaitu persilangan Bio-R82-2 x
O18b-1 (0.07), Bio-R81 x O18b-1 (0.05), dan Bio-R81 x I5-10-1-1 (0.04).
Tanaman hijau yang dihasilkan ditanam di rumah kaca sampai berbunga.
Tanaman padi dihaploid dan haploid dapat dibedakan secara visual dengan
melihat fenotipenya. Tanaman padi haploid biasanya akan tumbuh pendek dan
menghasilkan tanaman yang steril, sedangkan tanaman dihaploid dapat tumbuh
normal dan menghasilkan biji. Dewi et al. (2009) membuktikan bahwa antar
tanaman hijau hasil kultur antera memiliki keragaman yang besar pada karakter
agronomi antargalur dalam populasi tanaman dihaploid sehingga sesuai dengan
tujuan pemuliaan yaitu untuk memilih sifat yang diinginkan diantara keragaman
tersebut.
Tabel 3. Efisiensi produksi tanaman hasil padi sawah dan padi gogo melalui
kultur antera padi
Jumlah Tanaman
Galur

%TH
Total

Albino

Hijau

Rasio
TH:
Antera

1)IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 31.7 a
28.3 a 3.4 b
10.7 b 0.02 b
2) Bio-R81 x I5-10-1-1
14.0 b
8.1 b 5.9 ab 42.1 a 0.04 ab
3) Bio-R81 x O18b-1
12.4 b
4.7 b 7.7 ab 62.1 a 0.05 a
4) Bio-R82-2 x O18b-1
18.6 b
9.1 b 9.5 a
51.1 a 0.07 a
TH = tanaman hijau. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Tanaman Hijau
Tanaman hijau yang dihasilkan dipengaruhi oleh genotipe. Persilangan
Bio-R82-2 x O18b-1 (9.5) merupakan persilangan yang menghasilkan tanaman
hijau terbanyak tidak berbeda nyata dengan Bio-R81 x I5-10-1-1 (5.9) dan Bio
Bio R-81 x O18b-1 (7.7), namun berbeda nyata dengan IR85640-114-2-1-3 x I510-1-1 (3.4) yang menghasilkan tanaman hijau paling sedikit (Tabel 3). Menurut
Sasmita (2006) tanaman hijau yang terbentuk dari kalus atau polen yang
digunakan dapat mengekspresikan fenotipe yang seragam dan dapat
dikelompokkan dalam satu galur.
Diperoleh 265 tanaman hijau dari 767 total tanaman yang diperoleh
sehingga tanaman hijau yang dihasilkan yaitu sebesar 34%, yang terdiri atas 34
tanaman hijau hasil persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 59 tanaman hijau
hasil persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, 77 tanaman hijau hasil persilangan BioR81 x O18b-1 dan 95 tanaman hijau hasil persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 (Tabel
4).

16
Tanaman Albino
Regenerasi tanaman hijau diiringi oleh banyaknya tanaman albino.
Banyaknya jumlah tanaman albino merupakan salah satu kelemahan kultur antera,
namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena setiap tanaman hijau yang
terbentuk merupakan satu genotipe unik (Dewi dan Purwoko 2001). Persilangan
Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio R-81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan
tanaman albino yang jumlahnya tidak berbeda nyata, kecuali persilangan
IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan tanaman albino dengan jumlah
yang nyata lebih tinggi, yaitu sebanyak 28.3 (Tabel 3).
Tabel 4. Tanaman dihaploid pada kultur antera hasil persilangan padi sawah dan
padi gogo
Jumlah tanaman hijau
Galur
1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1
2) Bio-R81 x I5-10-1-1
3) Bio-R81 x O18b-1
4) Bio-R82-2 x O18b-1

Aklimatisasi

Hidup

Dihaploid

34
59
77
95

25
36
51
76

15
11
21
26

Dihaploid
(%)
60.0
30.6
41.2
34.2

Tabel 4 menunjukkan jumlah tanaman hijau yang berhasil diperoleh dari
metode kultur antera hasil persilangan padi gogo dan padi sawah. Tidak semua
tanaman yang diaklimatisasi berhasil hidup dan dipelihara sampai panen di rumah
kaca. Keberhasilan aklimatisasi ditunjukkan pada jumlah tanaman hijau yang
hidup. Persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan jumlah tanaman hijau
terbanyak saat diaklimatisasi yaitu 95 tanaman dan paling banyak bertahan hidup
sampai dengan proses penanaman di rumah kaca, yaitu sebanyak 76 tanaman,
sedangkan pada urutan kedua terbanyak yaitu persilangan Bio-R81 x O18b-1.
Persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1 menghasilkan 59 tanaman hijau yang dapat
diaklimatisasi dan tanaman hijau yang ditanam di rumah kaca (36 tanaman), lebih
banyak dibandingkan dengan persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, namun
hasil tanaman dihaploid yang diperoleh lebih sedikit yaitu 11 tanaman, sedangkan
persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan 15 tanaman dihaploid.
Persilangan Bio-R81 x O18b-1 menghasilkan 21 tanaman dihaploid dan
persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan 26 tanaman dihaploid.
Persentase tanaman dihaploid terbanyak dihasilkan oleh persilangan
IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 yaitu (60%). Tanaman haploid pada umumnya
lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta tidak mempunyai ligula dan
aurikel. Selain itu, panjang dan lebar daun serta malai dan glumenya lebih kecil.
Tanaman haploid berbunga namun tidak berbiji (steril), sedangkan tanaman
dihaploid mempunyai morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Untuk
mengetahui jumlah minimum populasi dihaploid yang diperlukan untuk evaluasi
tergantung dari jumlah gen untuk seleksi. Jika sejumlah n gen dan diasumsikan
tidak terpaut menjadi perhatian, maka minimum populasi sebanyak 2n tanaman
harus ditanam agar semua genotipe homozigot dapat terwakili, sementara dengan
pemuliaan konvensional diperlukan sebanyak 4n tanaman (Dewi dan Purwoko
2001).

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Total tanaman hijau yang diperoleh dari kultur antera padi F1 sebanyak 265
tanaman, terdiri atas 34 tanaman hijau hasil persilangan IR85640-114-2-1-3 x I510-1-1, 59 tanaman hijau hasil persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, 77 tanaman hijau
hasil persilangan Bio-R81 x O18b-1 dan 95 tanaman hijau hasil persilangan BioR82-2 x O18b-1. Melalui seleksi di rumah kaca diperoleh sebanyak 73 tanaman
dihaploid generasi pertama, yang terdiri atas 15 tanaman dihaploid hasil
persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 11 tanaman dihaploid hasil
persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, 21 tanaman dihaploid hasil persilangan Bio-R81
x O18b-1dan 26 tanaman dihaploid hasil persilangan Bio-R82-2 x O18b-1.
Persilangan Bio-R81 x O18b-1 merupakan persilangan yang memiliki
respon pa