Pembentukan Galur Galur Dihaploid Padi Sawah Tadah Hujan Toleran Kekeringan Melalui Kultur Antera

PEMBENTUKAN GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI
SAWAH TADAH HUJAN TOLERAN KEKERINGAN
MELALUI KULTUR ANTERA

CUCU GUNARSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembentukan Galurgalur Dihaploid Padi Sawah Tadah Hujan Toleran Kekeringan Melalui
Kultur Antera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Cucu Gunarsih
NIM A253120171

RINGKASAN
CUCU GUNARSIH. Pembentukan Galur-galur Dihaploid Padi Sawah Tadah
Hujan Toleran Kekeringan Melalui Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG
SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI dan MUHAMAD
SYUKUR.
Kekeringan merupakan kendala utama yang menyebabkan rendahnya
produksi dan stabilitas produksi padi di ekosistem tadah hujan. Pembentukan padi
sawah tadah hujan yang toleran kekeringan dan memiliki hasil tinggi merupakan
salah satu solusi untuk mengatasi kendala dalam peningkatan produktivitas padi,
dengan cara menyilangkan tetua donor toleran kekeringan dengan tetua padi
sawah yang memiliki potensi hasil tinggi. Pembentukan varietas padi sawah tadah
hujan toleran kekeringan secara konvensional membutuhkan waktu yang relatif
lama. Kultur antera dapat mempercepat diperolehnya galur-galur murni pada
generasi pertama. Dengan demikian pemanfaatan kultur antera dapat
meningkatkan efisiensi proses seleksi, menghemat biaya, waktu dan tenaga kerja.

Penelitian pertama terdiri atas 2 percobaan, yaitu penapisan calon tetua
padi sawah yang toleran terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit, dan
pembentukan galur dihaploid (doubled haploid) padi sawah melalui kultur antera.
Percobaan pertama bertujuan untuk mendapatkan calon tetua persilangan yang
memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit. Percobaan kedua
bertujuan untuk mendapatkan individu galur-galur dihaploid yang dapat diseleksi
lebih lanjut. Percobaan pertama dilakukan di rumah kaca KP. Muara, Balai Besar
Penelitian Padi, Bogor pada bulan Maret-Mei 2013. Percobaan dilakukan dengan
menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Percobaan kedua
terdiri atas dua kegiatan, yaitu persilangan dan kultur antera F1. Persilangan
dilakukan di rumah kaca KP Muara BB Padi pada bulan Maret sampai September
2013. Bahan yang digunakan pada kegiatan ini yaitu 6 kombinasi persilangan.
Hasil persilangan berupa benih-benih F1 tersebut digunakan sebagai bahan
kegiatan kultur antera. Kultur antera dilakukan di rumah kaca BB Biogen dan
Laboratorium Kultur Jaringan BB Biogen pada bulan Oktober sampai Juni 2014.
Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 14
ulangan. Perlakuan terdiri atas enam asal persilangan (F1) yaitu: INPARI 18 x
IR83140-B-11-B, INPARI 18 x B12825E-TB-1-25, INPARI 18 x IR87705-14-11B-SKI-12, INPARI 22 x IR83140-B-11-B, Bio-R81 x O18b-1, dan Bio-R82-2 x
O18b-1. Media induksi kalus adalah media N6 + 2.0 NAA mg L-1 + 0.5 kinetin
mg L-1 + 10-3 M Putresin, sedangkan media regenerasi kalus adalah media MS +

0.5 NAA mg L-1 + 2.0 kinetin mg L-1 + 10-3 M putresin. Berdasarkan indeks
terboboti diperoleh lima genotipe yang memiliki nilai indeks tertinggi yaitu
IR83140-B-11-B, IR87705-14-11-B-SKI-12, INPAGO 8, B12825E-TB-1-25 dan
IR87706-215-B-B-B. Terpilih tiga genotipe (IR83140-B-11-B, B12825E-TB-125, dan IR87705-14-11-B-SKI-12) untuk dijadikan calon tetua padi sawah tadah
hujan yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit dan
memiliki daya tumbuh kembali yang baik. Hasil percobaan kultur antera
menunjukkan bahwa keenam asal persilangan (F1) yang diuji pada penelitian ini
memberikan respon yang bervariasi terhadap kultur antera padi. Asal persilangan
(F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R8 x O18-b1 menghasilkan respon induksi

kalus dan regenerasi tanaman paling baik. Kedua asal persilangan tersebut juga
memberikan jumlah tanaman tertinggi yang berhasil diaklimatisasi sebanyak 108
tanaman dan 102 tanaman. Sebanyak 53 tanaman dihaploid (33.97% dari total
tanaman hijau) telah berhasil diidentifikasi.
Penelitian kedua bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
parameter genetik terhadap karakter agronomi dan hasil galur-galur dihaploid.
Percobaan dilakukan, di rumah kaca BB Biogen pada bulan September 2014
sampai Januari 2015. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan
dua ulangan. Percobaan menguji 60 galur dihaploid hasil kultur antera. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat keragaman karakter antar galur dihaploid hasil

kultur antera. Karakter-karakter yang diamati memiliki variabilitas genetik luas,
kecuali karakter hasil gabah kering per rumpun. Karakter yang memiliki nilai
heritabilitas tinggi yaitu, tinggi tanaman, panjang daun bendera, panjang malai,
umur 50% berbunga, umur panen, jumlah gabah hampa per malai, dan bobot 1000
butir. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu, jumlah anakan
produktif, jumlah gabah isi per malai, persentase gabah isi per malai, dan hasil
gabah kering per rumpun. Berdasarkan nilai heritabilitas, nilai koefisien korelasi,
koefisien sidik lintas maka karakter yang dapat digunakan untuk menyusun indeks
seleksi bagi hasil gabah kering per rumpun pada galur-galur dihaploid hasil kultur
antera adalah karakter persentase gabah isi per malai, jumlah anakan produktif,
jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir, dan tinggi tanaman. Berdasarkan
seleksi indeks, setiap peubah yang terpilih diberikan nilai pembobotan. Diperoleh
19 galur dihaploid yang memiliki nilai indeks tertinggi.
Penelitian ketiga bertujuan untuk mendapatkan galur dihaploid yang
toleran terhadap cekaman kekeringan. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca
Muara, BB Padi pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Bahan yang
digunakan yaitu 60 galur dihaploid (DH) hasil kultur antera, Salumpikit (cek
toleran kekeringan), dan IR 20 (cek peka kekeringan). Penelitian menggunakan
rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Berdasarkan seleksi indeks terhadap
uji penapisan kekeringan pada fase bibit, terpilih 16 galur dihaploid yang

memiliki nilai indeks seleksi tertinggi. Keenambelas galur dihaploid tersebut
memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan dan memiliki daya tumbuh
kembali yang baik.
Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan, terpilih 7 galur dihaploid yang
memiliki nilai indeks tertinggi pada masing-masing seleksi indeks. Ketujuh galur
dihaploid toleran kekeringan dan memiliki karakter agronomi baik serta potensi
hasil yang tinggi. Dengan demikian, ketujuh galur dihaploid hasil kultur antera
berpotensi untuk diuji daya hasilnya di sawah tadah hujan.
Kata kunci: Kultur antera, padi, seleksi indeks, toleran kekeringan.

SUMMARY
CUCU GUNARSIH. Development of Doubled Haploid Rainfed Rice Lines
Tolerant to Drought Through Anther Culture. Supervisor by BAMBANG SAPTA
PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI and MUHAMAD SYUKUR.
Drought is a major constraint for productivity and stability of rice in
rainfed ecosystems. The rice breeding for drought tolerant and high yielding
ability is one solution to solve barriers in increasing rice productivity. This can be
done by crossing the donor parent of drought tolerant rice with rice parents that
have high yielding ability. Conventional breeding for drought tolerant require a
long time relatively. Anther culture can accelerate pure line obtainment as pure

line doubled haploid (DH) can be immediately obtained in the first generation.
Thereby the use of anther culture can improve the efficiency of the selection
process, save costs, time and labor.
The first research consisted of two experiments i.e. screening of candidate
rice parents tolerant to drought at seedling stage, and the development of doubled
haploid rice lines through anther culture. The first experiment was aimed at
obtaining prospective parents of rice that can tolerate drought stress at seedling
stage. It was conducted in Muara greenhouse, Indonesian Center for Rice
Research (ICRR) from March to May 2013. The experiment was arranged in
randomized complete block design with three replications. Based on weighted
index, there were five genotypes have the highest index value namely IR83140-B11-B, IR87705-14-11-B-SKI-12, INPAGO 8, B12825E-TB-1-25 dan IR87706215-B-B-B.Three genotypes (IR83140-B-11-B, B12825E-TB-1-25, and IR8770514-11-B-SKI-12) were selected as candidates for rice parent which had tolerant to
drought in seedling stage. The second experiment was aimed at obtaining doubled
haploid lines which could be selected further. Crosses were done in Muara green
house, ICRR from March to September 2013. The materials used were consisted
of six cross combinations. F1 seeds were used as material for anther culture
research activities. The experiment was carried out at BB Biogen green house,
Bogor from October 2013 until Juny 2014. The experiment was arranged in
completely randomized design with 14 replications. The treatments consisted of
six F1 genotypes i.e.: INPARI 18 x IR83140-B-11-B, INPARI 18 x B12825ETB-1-25, INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12, INPARI 22 x IR83140-B-11B, Bio-R81 x O18b-1, Bio-R82-2 x O18b-1. Callus induction medium was based
on N6 medium + 2.0 NAA mg L-1 + 0.5 kinetin mg L-1 + 10-3 M Putrescine, while

regeneration medium was based on MS + 0.5 NAA mg L-1 + 2.0 kinetin mg L-1 +
10-3 M putrescine. The result of this study indicated that six F1s derived crosses
gave varied responses in anther culture abilities. Bio-R82-2 x O18-b1 and BioR81 x O18-b1 F1s derived cross had good response of callus induction and plant
regeneration. Both F1s derived crosses also gave the highest number of
regenerated plants that were successfully acclimatized (108 plants and 102 plants
respectively). A total of 53 doubled haploid plants (33.97% total of green plants)
were successfully identified.
The objectives of the second research were to obtain information on the
genetic parameters of agronomic and yield characters of doubled haploid lines.

An experiments were carried out in BB Biogen green house, Bogor from
September 2014 to January 2015. The experiment was arranged in completely
randomized design with two replications. The experiment evaluated 60 doubled
haploid lines obtained from anther culture. The results showed that variation of
agronomic characters and yield existed among the doubled haploid lines.
Characters observed have broad genetic variability, except for grain yield per hill.
Characters that have high heritability values were plant height, leaf blade length,
panicle length, days to flowering, days to harvesting, number of unfilled grains
per panicle, and 1000 grain weight. Characters that have moderate heritability
values were number of productive tillers, number of filled grains per panicle,

percentage of filled grains per panicle, grain yield per hill. Characters plant height,
number of productive tillers, number of unfilled grains per panicle, percentage of
filled grains per panicle, and 1000 grain weight had significant correlation and
direct effect on grain yield per hill. Based on heritability, the correlation
coefficient, coefficient of path analysis, the characters that can be used to
construct index selection for grain yield per hill of the doubled haploid lines were
plant height, number of productive tillers, number of filled grains per panicle,
percentage of filled grains per panicle, and 1000 grain weight. Based on the
weighted index, 19 doubled haploid lines were selected to have the highest index
value and potential for further evaluation in rainfed areas.
The objectives of the third research were to obtain the doubled haploid
lines which have tolerance to drought. The research was conducted in the Muara
greenhouse, ICRR from October to December 2014. The materials used in the
research were 60 doubled haploid lines (DH), Salumpikit (drought tolerant check),
and IR 20 (drought sensitive check).The experiment was arranged in randomized
complete block design with three replications. The experiment evaluated the 60
doubled haploid lines. Based on selection index of variable of screening drought
tolerance and recovery, that were select 16 doubled haploid lines which have the
highest selection index value above tolerant check Salumpikit. Sixteen of
dihaploid lines that were tolerant to drought and had good recovery, which

potential to evaluated in rainfed areas.
Of the three research that have been done obtained 7 doubled haploid
lines that had the highest index value for each index selection. The seven doubled
haploid lines have tolerance to drought and good agronomic characters and high
yield. Thus, the seven doubled haploid lines have the potential to be tested in
rainfed lowland.
Keywords: Anther culture, rice, selection index, tolerance to drought

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMBENTUKAN GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI
SAWAH TADAH HUJAN TOLERAN KEKERINGAN

MELALUI KULTUR ANTERA

CUCU GUNARSIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc

PRAKATA
Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengembangan galur
padi dalam menghadapi fenomena perubahan iklim yaitu cekaman kekeringan.
Penelitian dengan judul Pembentukan Galur-Galur Dihaploid Padi Sawah Tadah
Hujan Toleran Kekeringan Melalui Kultur Antera.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada :
1. Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, Dr Ir Iswari S Dewi dan Bapak Prof Dr
Muhamad Syukur SP MSi selaku pembimbing yang senantiasa memberikan
masukan, arahan, bimbingan, dorongan dan motivasi dalam penulisan tesis
ini.
2. Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku
penguji pada ujian thesis atas arahan, kritik, saran, dan masukan untuk
perbaikan thesis.
3. Badan Litbang Pertanian atas dukungan dana beasiswa dan bantuan dana
penelitiannya, serta kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas
pendanaan penelitian skema Hibah Penelitian Kompetensi (Prof Dr Ir
Bambang S Purwoko sebagai ketua peneliti).
4. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian, terutama kepada Dr Iswari S Dewi yang telah
memfasilitasi penelitian dan bahan penelitian, serta kepada Pak Iman
Ridwan, Teh Yeni, dan Deni yang telah membantu penulis selama bekerja di
laboratorium dan rumah kaca.
5. Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan Ketua Kelompok Peneliti
Pemuliaan atas pemberian izin menggunakan materi penelitian, fasilitas
rumah kaca, bantuan, dukungan, dan masukannya.
6. Rekan-rekan peneliti BB Padi : Heni S, Indrastuti R, Trias S, Yudistira N,
Yuni W, Estria FP, Indria, Pak Sunaryo dan tim padi gogo untuk doa,
bantuan, dan dukungannya.
7. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana AGH PBT 2012, Forsca dan Forum
Petugas Belajar Badan Litbang Pertanian juga disampaikan apresiasi atas
kebersamaan dan motivasinya selama studi.
8. Almarhum Wedy Utoro (Suami) dan Avicenna (Ananda) yang senantiasa
menjadi inspirasi, dan motivasi penulis untuk menyelesaikan studi.
9. Almarhum M. Somantri (ayahanda) , Ibu Hj Mariam (Ibu), Ibu Hj Waliyah
(Ibu Mertua), juga kakak-kakak tersayang (Teh Neni, Teh Arum, Teh Eros
dan A Oman) yang senantiasa mendoakan, menguatkan dan mendorong
penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
10. Teman terbaikku: Zahratul Millah, Arina Saniati, Pak Usman, dan M. Ridha
Alfarabi yang selalu siap membantu penulis.
Besar harapan penulis, semoga karya ini bermanfaat dalam pengembangan
padi sawah tadah hujan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2015
Cucu Gunarsih

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi dan Ekosistemnya
Kekeringan
Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi

5
5
8
11

3 PEMBENTUKAN GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH TOLERAN
TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Pendahuluan
Bahan Dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

14
15
17
22
31

4 EVALUASI DAN SELEKSI AGRONOMI GALUR DIHAPLOID
GENERASI PERTAMA (DH0)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil Dan Pembahasan
Simpulan

32
33
34
37
55

5 UJI TOLERANSI GALUR-GALUR DIHAPLOID (DH) HASIL KULTUR
ANTERA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

56
56
57
57
63

6 PEMBAHASAN UMUM

64

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

68
68
68

DAFTAR PUSTAKA

69

LAMPIRAN

80

RIWAYAT HIDUP

84

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi respon tanaman padi terhadap kekeringan
2 Klasifikasi respon daya tumbuh kembali (recovery) tanaman padi
setelah perlakuan kekeringan
3 Respon genotipe padi terhadap cekaman kekeringan selama 42 HST
4 Kadar air tanah saat uji toleransi kekeringan selama 42 HST
5 Respon daya tumbuh kembali genotipe padi setelah pengeringan 42
HST
6 Indeks seleksi genotipe padi sawah di rumah kaca Muara
7 Hasil induksi kalus dari enam asal persilangan (F1) padi sawah hasil
kultur antera
8 Regenerasi tanaman dari enam asal persilangan (F1) padi sawah hasil
kultur antera
9 Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi
10 Hasil aklimatisasi dan tanaman dihaploid yang dihasilkan pada kultur
antera padi
11 Analisis ragam rancangan acak lengkap
12 Skor, indeks penyakit (DI), dan kriteria serangan virus kerdil hampa
13 Analisis ragam dari galur-galur dihaploid padi di rumah kaca BB
Biogen
14 Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur 50% berbunga, umur
panen, panjang daun bendera dan panjang malai galur-galur dihaploid
padi generasi pertama (DH0)
15 Jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, persentase
gabah isi per malai, bobot 1000 butir dan hasil gabah kering per rumpun
dari galur-galur dihaploid padi generasi pertama (DH0)
16 Warna gabah, warna beras dan eksersi malai dari galur-galur dihaploid
padi generasi pertama (DH0) di rumah kaca BB Biogen
17 Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi
dari galur-galur dihaploid tanaman padi
18 Nilai koefisien korelasi masing-masing peubah terhadap karakter hasil
gabah kering per rumpun galur-galur dihaploid padi sawah
19 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung beberapa karakter
terhadap bobot per rumpun pada galur-galur dihaploid padi sawah
20 Indeks terboboti pada 19 galur dihaploid padi sawah yang terpilih
21 Respon galur-galur dihaploid padi terhadap kekeringan setelah 50 HST
di rumah kaca Muara, BB Padi
22 Kadar air tanah saat skoring kekeringan (50 HST)
23 Respon daya tumbuh kembali (recovery) galur-galur dihaploid padi
terhadap kekeringan di rumah kaca Muara, BB Padi
24 Indeks seleksi galur-galur dihaploid padi berdasarkan respon
kekeringan dan daya tumbuh kembali di rumah kaca Muara, BB Padi

17
18
23
23
24
25
27
28
29
31
35
39
40
42
45
48
49
52
53
54
59
60
61
63

25 Indeks seleksi untuk ketiga calon tetua padi yang terpilih
26 Tujuh galur dihaploid padi yang terpilih berdasarkan seleksi indeks

64
67

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Keragaan genotipe padi sawah saat penapisan di rumah kaca Muara
3 Keragaan kemampuan tumbuh kembali genotipe padi sawah setelah
diuji toleransi kekeringannya
4 Kultur antera padi
5 Proses aklimatisasi dan pertumbuhan tanaman hijau hasil kultur antera
padi di rumah kaca
6 Keragaan pertanaman galur dihaploid tanaman padi
7 Kondisi pertanaman galur dihaploid padi yang normal dan tidak normal
pada saat fase reproduktif
8 Keragaan galur dihaploid padi (CG12-30-1-1)
9 Karakter bentuk dan warna gabah padi dan beras
10 Eksersi malai dari galur-galur dihaploid hasil kultur antera padi
11 Diagram lintasan beberapa karakter dengan hasil gabah kering padi per
rumpun
12 Keragaan galur-galur dihaploid padi pada saat skrining kekeringan di
rumah kaca Muara BB Padi
13 Penampilan tanaman padi setelah skrining kekeringan 50 HST

4
22
24
26
30
38
38
46
47
47
54
58
58

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Luas panen, Produktivitas, dan Produksi dari tahun 2011-2014
81
Galur-galur dihaploid hasil kultur antera yang dievaluasi di rumah kaca
BB Biogen
82

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Indonesia
sehingga beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis. Seiring
dengan laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1.49% per tahun dengan
konsumsi beras per kapita sebesar 139.15 kg-1 tahun, maka diperkirakan
kebutuhan beras nasional pada tahun 2014 sekitar 33 juta ton (BPS 2010). Ada
tiga tantangan utama dalam penyediaan beras di Indonesia, diantaranya adalah (i)
meningkatnya permintaan beras sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk, (ii)
terbatasnya ketersediaan beras dunia dan (iii) kecenderungan meningkatnya harga
pangan (Deptan 2010). Menurut data angka sementara (ASEM) (BPS 2015)
produksi padi tahun 2014 sebanyak 70.83 juta ton gabah kering giling atau
mengalami penurunan sebesar 0.45 juta ton (0.63%) dibandingkan tahun 2013.
Penurunan produksi padi terjadi di Pulau Jawa sebesar 0.83 juta ton, sedangkan
produksi padi di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan sebanyak 0.39 juta ton.
Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas
41.61 ribu ha (0.30%) dan penurunan produktivitas sebesar 0.017 ton ha-1 (0.33%)
(Lampiran 1). Untuk itu peningkatan produksi padi perlu diupayakan melalui
peningkatan produktivitas tanaman, dan peningkatan luas areal panen sehingga
dapat mendukung ketahanan pangan nasional.
Luas lahan sawah tadah hujan sekitar 2.02 juta ha atau 24 % dari total luas
lahan di Indonesia dengan kisaran hasil 1.8–3.1 ton ha-1 (Pane et al. 2009). Dilihat
dari potensi lahan, lahan sawah tadah hujan merupakan lumbung padi kedua
nasional setelah lahan sawah irigasi. Potensi lahan sawah tadah hujan yang cukup
luas tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Badan Litbang 2008). Peningkatan produksi
padi melalui penggunaan varietas unggul yang toleran kekeringan mempunyai
peluang yang besar untuk menunjang peningkatan padi secara nasional. Dengan
peningkatan hasil mencapai 1 ton ha-1, maka 50% dari total luasan 2.02 juta ha
mampu memberikan kontribusi padi nasional 1.0 juta ton.
Beberapa negara di Asia Tenggara seperti di wilayah Mekong, termasuk
Thailand, Laos dan Kamboja, padi umumnya tumbuh di daerah tadah hujan
dengan rata-rata produktivitas nasional lebih rendah dibandingkan rata-rata
produktivitas padi sawah irigasi. Kekeringan menjadi faktor utama yang
menyebabkan rendahnya produktivitas padi di wilayah tersebut (Fukai et al.
2009). Di Brazil, produktivitas padi sawah tadah hujan menyumbang 30% dari
total produksi padi, namun rata-rata produktivitas yang masih rendah yaitu 1.9
t/ha (Breseghello et al. 2009). Selain itu, rendahnya produktivitas padi sawah
tadah hujan disebabkan belum adanya varietas unggul baru yang memiliki potensi
hasil lebih tinggi dibandingkan varietas yang popular ditanam oleh petani. Untuk
itu diperlukan varietas unggul yang memiliki daya hasil tinggi yang lebih baik dari
varietas yang sudah umum ditanam petani. Perakitan padi sawah tadah hujan yang
toleran kekeringan serta memiliki hasil tinggi merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi kendala dalam peningkatan produktivitas padi. Salah satu caranya
dengan memanfaatkan tetua donor yang toleran kekeringan yang disilangkan

2
dengan tetua yang memiliki potensi hasil tinggi (Atlin et al. 2006; Bernier et al.
2008; Babu 2010).
Kekeringan adalah fenomena yang sering terjadi dan merupakan kendala
utama yang penting untuk produksi padi tadah hujan di Asia. Hal ini menjadi
ancaman terbesar bagi ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan kehidupan
jutaan orang miskin. Paling sedikit 23 juta ha lahan sawah (20% dari luas total
lahan sawah) di Asia mengalami kekeringan dengan intensitas yang berbeda-beda.
Cekaman kekeringan menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi atas
rendahnya dan tidak stabilnya produksi padi di wilayah Asia (Pandey dan
Bhandari 2008).
Pembentukan varietas unggul padi sawah tadah hujan yang toleran
kekeringan secara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama. Pada
tanaman padi, penggaluran membutuhkan waktu 6 sampai 8 generasi dari mulai
proses menyilangkan dilanjutkan dengan seleksi, sehingga jangka waktu sampai
mendapatkan galur murni dengan sifat-sifat yang unggul membutuhkan waktu
lebih dari 5 tahun (Dewi et al. 1996). Teknik kultur antera dapat mempercepat
perolehan galur-galur murni karena galur murni dihaploid (doubled haploid/DH)
dapat segera diperoleh pada generasi pertama. Dengan demikian pemanfaatan
kultur antera dapat meningkatkan efisiensi proses seleksi, serta menghemat biaya,
waktu dan tenaga kerja (Dewi dan Purwoko 2012). Teknik ini telah banyak
dimanfaatkan oleh para peneliti padi dengan berbagai macam tujuan, antara lain
untuk mendapatkan galur-galur toleran naungan (Sasmita et al. 2002), toleran
aluminium (Dewi et al. 2009a), perakitan tetua padi hibrida (Dewi et al. 2005;
Lestari dan Nugraha 2006), dan padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru (Herawati et
al. 2008; Safitri et al. 2010).
Perumusan Masalah
Perubahan iklim global menyebabkan kelangkaan air yang sering dihadapi
di lahan padi sawah tadah hujan. Kekeringan merupakan kendala utama yang
menyebabkan rendahnya produksi dan stabilitas produksi padi di ekosistem tadah
hujan. Perakitan padi sawah tadah hujan yang toleran kekeringan serta memiliki
hasil tinggi merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kendala dalam
peningkatan produktivitas padi. Salah satu caranya dengan memanfaatkan tetua
donor yang toleran kekeringan yang disilangkan dengan tetua yang memiliki
potensi hasil tinggi. Pembentukan varietas unggul padi sawah tadah hujan yang
toleran kekeringan secara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama.
Teknik kultur antera dapat mempercepat perolehan galur-galur murni karena
galur murni dihaploid dapat segera diperoleh pada generasi pertama. Dengan
demikian pemanfaatan kultur antera dapat meningkatkan efisiensi proses seleksi,
serta menghemat biaya, waktu dan tenaga kerja.
Pembentukan galur-galur dihaploid padi sawah tadah hujan toleran
kekeringan melalui kultur antera dilakukan melalui serangkaian kegiatan
penelitian yang diawali dengan skrining calon tetua padi sawah yang toleran
terhadap kekeringan pada fase bibit, dilanjutkan dengan pembentukan F1 melalui
persilangan dan galur dihaploid melalui kultur antera F1, dilakukan evaluasi dan
seleksi agronomi dari galur-galur dihaploid hasil kultur antera, selanjutnya

3
dilakukan uji toleransi galur dihaploid hasil kultur antera terhadap cekaman
kekeringan pada fase bibit.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan galur-galur padi
sawah tadah hujan dengan sifat agronomi baik dan toleran kekeringan. Tujuan
khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan calon tetua persilangan yang memiliki toleransi terhadap
cekaman kekeringan pada fase bibit.
2. Mendapatkan individu galur-galur dihaploid yang dapat diseleksi lebih
lanjut.
3. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik terhadap karakter
agronomi yang menunjang pembentukan padi sawah tadah hujan yang
toleran kekeringan.
4. Mendapatkan galur dihaploid dengan sifat agronomi baik yang toleran
terhadap cekaman kekeringan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan ini diharapkan:
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia tanaman dalam perakitan
genotipe padi sawah tadah hujan yang memiliki toleransi terhadap
cekaman kekeringan.
2. Sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dalam pengembangan pertanian.
3. Bermanfaat bagi masyarakat dalam mengembangkan varietas padi
sawah tadah hujan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap
cekaman kekeringan
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian terdiri atas 1) pembentukan galur-galur dihaploid
padi sawah toleran cekaman kekeringan, diawali skrining calon tetua padi sawah
toleran terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit, persilangan dan kultur
antera F1, 2) evaluasi dan seleksi agronomi galur dihaploid generasi pertama
(DH0), 3) uji toleransi galur dihaploid hasil kultur antera terhadap cekaman
kekeringan pada fase bibit. Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan untuk
memperoleh galur dihaploid padi sawah tadah hujan yang toleran kekeringan
melalui kultur antera. Alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

4

Gambar 1 Diagram alir penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi dan Ekosistemnya
Tanaman padi (Oryza sativa L.) dalam sistematika tumbuhan
diklasifikasikan ke dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae,
kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, famili Graminae, dan genus Oryza Linn
(Watanabe 1997, Watanabe 1993). Hal ini berdasarkan metode klasifikasi
tanaman padi yang digunakan Kato (1928, 1930) dalam Watanabe (1993)
berdasarkan pada berbagai macam kriteria, yaitu karakteristik/bentuk tanaman
padi, pembentukan biji di bawah kondisi penyerbukan sendiri, fertilitas tanaman
F1, pemasakan butir polen pada tanaman F1, fertilitas tanaman F2, serta adanya
perbedaan serologis.
Tanaman padi terbagi menjadi dua sub spesies, yaitu tipe japonica dan tipe
indica. Namun demikian, beberapa ilmuwan mengungkapkan adanya tipe
javanica yang mengindikasikan tipe gabungan antara tipe japonica dan tipe
indica (Katayama 1993). Subspesies japonica mempunyai karakteristik: daun
berukuran sempit-lebar dan berwarna hijau muda, ukuran gabah pendek sampai
panjang, umumnya gabah tidak mempunyai ekor (awn), bulu sekam jarang dan
pendek, gabah mudah rontok, jumlah anakan banyak, postur anakan tegak, jumlah
malai banyak, bobot malainya berat, batang sedang sampai tinggi, jaringan lunak,
kepekaan yang bervariasi terhadap panjang hari, dan kandungan amilosa pada biji
23-31%. Subspesies indica memiliki karakteristik: daun berukuran sempit
berwarna hijau tua, bentuk gabah pendek dan agak bulat panjang, pada umumnya
gabah tidak mempunyai ekor (awn), bulu sekam lebat dan panjang, gabah agak
mudah rontok, jumlah anakan sedang, postur anakan menyebar, jumlah malai
banyak, bobot malainya ringan, batang pendek sampai sedang, jaringan keras,
tidak peka atau agak peka terhadap panjang hari, dan kandungan amilosa pada biji
10-24%. Subspesies javanica mempunyai karakteristik: daun berukuran lebar,
kaku dan berwarna hijau muda, gabah panjang lebar dan tebal, gabah mempunyai
ekor (awn) panjang atau tidak ada, bulu sekam panjang, gabah sulit rontok, jumlah
anakan sedikit, postur anakan tegak, jumlah malai sedikit, bobot malainya berat,
batang tinggi, jaringan keras, agak peka terhadap panjang hari, dan kandungan
amilosa pada biji 20-25% (Matsuo 1952 dalam Katayama 1993; Gupta dan
O’toole 1986). Distribusi wilayah penyebaran padi subspecies japonica yaitu
Jepang, Korea, China Utara, Afrika dan Cina bagian tengah; subspecies javanica
di Jawa, Sumatra, Philipina, Eropa dan Amerika; subspecies indica di India,
Indochina, Cina bagian Selatan dan bagian barat, Taiwan (Katayama 1993).
Di Indonesia, separuh varietas padi yang ditanam di pulau Jawa, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tengah terdiri atas bulu dan gundil, dan separuh lainnya
adalah cere. Sementara itu, di Lombok dan Sumbawa Barat hanya ditanam padi
bulu, sedangkan di wilayah Indonesia lainnya hanya ditanam padi cere saja
(Katayama 1993). Perbandingan karakter antara padi bulu dan padi cere,
diantaranya adalah padi cere mempunyai karakter ketebalan batang yang tipis,
jumlah batang yang banyak, daun bendera yang ramping dan lembut, memiliki
rambut pada daun bendera yang lebat dan lembut, gabah tidak berekor, bobot
gabah yang berat, bentuk gabah yang panjang dan ramping, kerontokan gabah

6
yang mudah sampai sedang, peka terhadap kerebahan, memiliki adaptasi yang
tinggi terhadap lahan suboptimal, hasil gabah tinggi, sensitif terhadap panjang
hari, persilangan alaminya jarang; padi bulu memiliki karakter ketebalan batang
yang tebal, jumlah batang yang sedikit, daun bendera yang lebar dan kaku,
memiliki rambut pada daun bendera yang jarang dan kasar, gabah berekor, bobot
gabah yang ringan, bentuk gabah yang lebar dan tebal, kerontokan gabah yang
sedang sampai sukar, tahan rebah, memiliki adaptasi yang rendah terhadap lahan
suboptimal, hasil gabah rendah, tidak sensitif terhadap panjang hari, persilangan
alaminya moderat sampai luas (Katayama 1993).
Bunga padi merupakan bunga terminal yang berbentuk malai yang terdiri
atas bunga-bunga tunggal (spikelet). Tiap spikelet terdiri atas 2 lemma steril,
sekam besar (lemma), palea (sekam kecil), 6 buah benang sari yang masingmasing memiliki 2 kotak sari dan sebuah putik. Kepala putik berjumlah dua buah
dengan bulu-bulu halus. Lodikula terdapat di dasar bunga yang memiliki peran
yang sangat penting pada saat bunga mekar. Pada saat tanaman padi akan
berbunga, lodikula mengembang dan mendorong lemma dan palea sehingga
keduanya terpisah dan akhirnya membuka. Mekarnya bunga diikuti dengan
pecahnya kotak sari, selanjutnya lemma dan palea menutup kembali sehingga
memungkinkan tepung sari menempel pada kepala putik di bunga yang sama
(Fehr dan Hadley 1980).
Pertumbuhan tanaman padi dikelompokkan ke dalam tiga fase, yaitu fase
vegetatif, fase reproduktif, dan fase pematangan. Fase vegetatif dimulai dari awal
pertumbuhan sampai pembentukan malai, fase reproduktif dari pembentukan
malai sampai pembungaan dan fase pematangan dari pembungaan sampai gabah
matang. Di daerah tropis, fase generatif berlangsung 35 hari dan fase pematangan
30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif
(Taslim dan Fagi 1989). IRRI (2004) mengelompokkan pertumbuhan tanaman
padi dalam sembilan fase, yaitu: (0) perkecambahan (germination), (1) fase bibit
(seedling), (2) fase pembentukan anakan (tillering), (3) fase pemanjangan batang
(stem elongation), (4) fase inisiasi bunga sampai bunting (panicle initiation to
booting), (5) fase heading, (6) fase berbunga (flowering), (7) fase masak susu
(milk grain), (8) fase masak tepung (dough grain), (9) fase biji masak (mature
grain). Fase 0-3 termasuk fase vegetatif, fase 4-6 termasuk fase generatif, dan fase
7-9 termasuk fase pematangan (ripening).
Harahap (1982) mengelompokkan padi menjadi tiga berdasar habitatnya
yaitu padi gogo, padi sawah dan padi rawa, sedangkan Sleper dan Poehlman
(2006) mengelompokan menjadi 4 tipe agroekosistem, yaitu padi sawah irigasi,
padi tadah hujan, padi rawa, dan padi gogo. Menurut Taslim dan Fagi (1989) dan
berdasarkan atas dalamnya air genangan, maka padi dapat digolongkan menjadi
lima, yaitu: padi sawah, yaitu padi yang seluruh waktu pertumbuhannya digenangi
5-25 cm; padi gogo, yaitu padi yang dalam budidayanya tidak pernah digenangi;
padi gogo rancah, yaitu padi yang tidak digenangi di awal pertumbuhan dan
kemudian digenangi 5-25 cm pada periode pertengahan sampai akhir
pertumbuhan; padi pasang surut, yaitu padi dengan genangan di atas 50 cm,
dengan variasi tinggi genangan air tergantung pada pasang surutnya air di pantai
atau muara sungai; padi rawa (padi lebak), yaitu padi sawah dengan genangan
lebih dari 50 cm sampai 200 cm.

7
Badan Litbang Pertanian (2008) menegaskan bahwa revolusi hijau lestari
akan lebih mengarah kepada pengembangan lahan sub optimal yang meliputi
lahan kering, sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan lahan rawa lebak.
Beratnya tantangan yang dihadapi untuk pemenuhan kebutuhan pangan di masa
depan disebabkan laju tingkat produktivitas lahan sawah irigasi yang cenderung
menurun dan populasi penduduk semakin bertambah. Faktor-faktor penyebab
rendahnya produktivitas padi sawah tadah hujan di tingkat petani yaitu, belum
diterapkannya teknik budidaya yang baik, varietas yang ditanam sebagian besar
masih varietas lokal atau varietas unggul lama, kurang intensifnya pengendalian
gulma, gangguan hama dan penyakit, dan tingkat kesuburan lahan yang relatif
rendah. Selain itu, cekaman kekeringan yang hampir terjadi setiap tahun
disebabkan jumlah curah hujan yang rendah dan musim hujan yang pendek (Serraj
et al. 2009).
Luas lahan padi sawah tadah hujan di Indonesia sekitar 2.08 juta ha,
dengan sistem produksi yang diterapkan sebagian besar petani Jawa Tengah
(Rembang dan Pati) berupa teknologi budidaya padi gogo rancah (Fagi 1995).
Masalah yang menjadi kendala dalam produksi tanaman padi di lahan tadah hujan
lebih komplek dibandingkan di sawah irigasi. Selain itu, wilayah ekosistem lahan
tadah hujan umumnya dihuni oleh petani miskin dengan infrastruktur terbatas.
Teknologi yang diterapkan masih didominasi oleh teknologi tradisional.
Begitupun dengan adanya fenomena El-nino yang menjadi ancaman dalam sistem
produksi padi dan ketahanan pangan nasional (Balitpa 2002).
Beberapa kendala lainnya terkait budidaya tanaman padi di sawah tadah
hujan yaitu, lahan sawah tadah hujan dengan iklim kering memiliki periode hujan
yang singkat, jumlah dan intensitas curah hujan yang rendah, distribusi curah
hujan yang tidak merata sepanjang musim, dan kondisi biofisik–kimia tanah yang
beragam (Quisenberry 1982; Serraj et al. 2009).
Salah satu upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah
mengembangkan genotipe padi sawah tadah hujan yang selain memiliki potensi
hasil tinggi juga memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan. Skrining
dengan karakter fertilitas tinggi, pada kondisi optimum dan kondisi cekaman
moderat pada fase reproduktif dibutuhkan untuk membentuk kultivar yang
mengkombinasikan potensi hasil tinggi dengan toleran kekeringan (Atlin et al.
2006). Hasil penelitian Atlin et al. (2006) mengungkapkan bahwa kultivar indica
yang terseleksi memiliki fertilitas tinggi telah diuji di sawah tadah hujan dataran
tinggi. Beberapa kultivar seperti IR55423-01 menunjukkan hasil tertinggi (23-69
% lebih tinggi dibandingkan kultivar japonica tropis dan varietas-varietas untuk
padi sawah irigasi) walaupun ditanam di bawah beberapa kondisi cekaman
(cekaman moderat di lahan dataran tinggi, cekaman air yang parah dan lokasi
dataran tinggi yang kurang subur). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil tinggi
dan toleran cekaman air yang moderat mampu dikombinasikan. Ini merupakan
suatu pendekatan baru untuk meningkatkan produksi dan mengurangi kerugian
pada sistem padi sawah tadah hujan di Asia.
Padi sawah tadah hujan selain harus mempunyai karakter toleran
kekeringan juga diharapkan mempunyai karakteristik potensi hasil tinggi, tinggi
tanaman yang sedang (90-125 cm), batang yang kokoh, posisi daun yang tegak
sampai agak tegak, jumlah anakan produktif yang sedang sampai banyak (10-25
anakan produktif), malai lebat dengan bulir yang banyak (150-250 butir per

8
malai), dan eksersi malai yang baik (skor 7-9) (Nanda dan Chofman 1979). Galurgalur dihaploid yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memiliki
karakteristik yang mendukung karakteristik agronomi padi sawah tadah hujan
yang toleran kekeringan.
Perakitan varietas unggul di Indonesia yang sesuai untuk ditanam di sawah
tadah hujan telah dilakukan BB Padi dengan melepas varietas Dodokan tahun
1987 dan Silugonggo tahun 2001, yang memiliki umur panen sekitar 96-100 hari.
Namun kedua varietas tersebut masih memiliki kelemahan karena
produktivitasnya masih rendah, juga memiliki tekstur nasi yang pera. Untuk itu,
BB Padi telah mengevaluasi dan melepas kembali varietas unggul lainnya yang
memiliki umur sangat genjah dan potensial untuk dikembangkan di daerah yang
rawan kekeringan. BB Padi secara resmi telah melepas 3 VUB yang dianjurkan
untuk ditanam di lahan sawah tadah hujan yang memiliki potensi hasil tinggi,
memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta bermutu sesuai preferensi
petani pada tahun 2010, yaitu INPARI 11, INPARI 12 dan INPARI 13
(Suprihatno et al. 2010). Tahun berikutnya BB Padi juga telah melepas VUB
INPARI 18 dan INPARI 19 dengan umur sangat genjah, potensi hasil tinggi dan
tahan hama dan penyakit yang direkomendasikan cocok untuk ditanam di lahan
irigasi dan tadah hujan (BB Padi 2013).
Penelitian ini memanfaatkan tetua donor padi sawah tadah hujan yang
toleran kekeringan disilangkan dengan tetua padi sawah yang memiliki potensi
hasil tinggi. Tetua-tetua yang toleran kekeringan tersebut yaitu galur IR83140-B11-B, B12825E-TB-1-25, IR87705-14-11-B-SKI-12, dan IR87706-215-B-B-B
berasal dari BB Padi. Galur-galur tersebut termasuk galur generasi lanjut yang
sedang dievaluasi potensi hasil dan daya adaptasinya di beberapa sentra padi
sawah tadah hujan. Selain itu, dimanfaatkan juga galur O18b-1 yang memiliki
keunggulan diantaranya toleran terhadap kekeringan, agak toleran cekaman
aluminium dan toleran terhadap naungan, walaupun potensi hasilnya tergolong
rendah (Mara 2014).
Kekeringan
Definisi kekeringan berbeda-beda sesuai dengan lokasi geografi, jumlah
dan durasi curah hujan. Definisi kekeringan menurut perspektif pemulia tanaman
adalah suatu keadaan kurangnya air tersedia yang menyebabkan kehilangan hasil
atau suatu periode dimana tidak ada hujan atau irigasi yang mengakibatkan tidak
cukupnya kadar air tanah sehingga menurunkan pertumbuhan tanaman dan hasil
(Fukai dan Cooper 1995; Blum 2011). Kekeringan menurut perspektif
meteorologi adalah kurangnya curah hujan dari rata-rata curah hujan normal pada
suatu periode waktu tertentu. Kekeringan menurut perspektif hidrologi adalah
keadaan ketika jumlah air yang tersedia terbatas dibandingkan jumlah air yang
dibutuhkan. Perspektif pertanian, kekeringan didefinisikan merupakan jumlah air
yang tidak mencukupi tanaman untuk tumbuh optimal (Wilhite dan Glantz 1985;
Jodo 1995); atau merupakan kadar air tanah yang tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi) sehingga mengakibatkan
kehilangan produksi.
Kekeringan merupakan cekaman yang paling kompleks diantara seluruh
cekaman abiotik dan sangat dipengaruhi oleh pola curah hujan, tipe tanah,

9
tersedianya sumber irigasi dalam semusim dan antar musim, dan fase
pertumbuhan tanaman. Hal ini menyulitkan untuk membuat kondisi cekaman
kekeringan yang seragam di lapangan untuk mendapatkan metode skrining
kekeringan yang efektif (White dan Singh 1991). Lanceras et al. (2004)
melaporkan bahwa pengujian di rumah kaca dengan mengontrol kekeringan
menggunakan pot dapat membuat cekaman kekeringan yang seragam, namun
fasilitas tersebut mahal dan tidak sesuai untuk skrining dalam skala luas, serta
studi cekaman kekeringan pada pot jauh berbeda dengan cekaman kekeringan
alami di lapangan. Afa (2013) melaporkan bahwa percobaan di pot dengan
perlakuan cekaman kekeringan pada kadar air 60% kapasitas lapangan
mengakibatkan penurunan hasil yang drastis rata-rata mencapai 78.4 persen. Hal
ini disebabkan, umumnya media di pot menyebabkan hambatan untuk penetrasi
dan perkembangan akar karena terbatasnya ukuran pot.
Padi setiap saat (fase vegetatif atau fase reproduktif) dapat mengalami
cekaman kekeringan. Kekurangan air pada saat fase vegetatif mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan. Kekeringan yang terjadi pada saat fase berbunga dan
pengisian biji merupakan fase yang kritis bagi tanaman padi (Fukai dan Lilley
1994; Sikuku et al. 2010). Beberapa akibat kekeringan pada fase tersebut
diantaranya adalah tanaman tidak berkembang (Lubis et al. 1993), menurunnya
jumlah gabah isi (Sikuku et al. 2010), dan menurunnya hasil gabah (Cruz dan
O’Toole 1984).
Cekaman kekeringan pada fase reproduktif telah diidentifikasi sebagai fase
yang paling menyebabkan penurunan hasil gabah (O’Toole et al. 1982).
Pengurangan hasil gabah dapat mencapai 34-53% di bawah cekaman kekeringan
moderat dan mencapai 65-88% di bawah cekaman kekeringan berat jika
dibandingkan dengan kontrol padi sawah irigasi (Verulkar et al. 2010).
Terbatasnya ketersediaan air pada saat pembungaan, menyebabkan
pengurangan hasil gabah terutama dengan meningkatnya kehampaan gabah
(Jongdee et al. 2002; Yamin et al. 2012; Afa 2013). Tanaman padi dengan umur
panen yang lebih pendek memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan padi
yang berumur panjang dalam hal tingkat toleransi terhadap kekeringan dan
produksi hasil gabah (O’Toole dan De Datta 1986).
Kekeringan merupakan kendala paling penting yang mempengaruhi hasil
padi sawah tadah hujan. Kekeringan dapat mengurangi produktivitas baik melalui
dampak langsung terhadap produksi biomassa dan jumlah butiran gabah dan juga
melalui terlambatnya pengelolaan tanaman seperti jadwal tanam, pemupukan dan
penyiangan (Atlin et al. 2008).
Fukai et al. (2009) melaporkan bahwa QTL pada kromosom 1, 3, 4, 8, dan
9 teridentifikasi memiliki gen yang toleran terhadap kekeringan. Sifat toleran
kekeringan merupakan sifat kuantitatif yang melibatkan satu set gen kompleks dan
dikontrol oleh banyak gen. Gen-gen tersebut terbagi ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok gen-gen yang terkait dengan perlindungan sel selama kekeringan. Gengen tersebut berfungsi dalam hal menyandikan protein untuk menjaga tekanan
osmotik, perlindungan sel dari kerusakan, perbaikan sel dan adaptasi struktural.
Kelompok ke dua yaitu, gen-gen yang terkait dengan mekanisme regulasi untuk
respon terhadap kekeringan yang merupakan protein transduksi sinyal dan faktor
transkripsi (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki 2007).

10
Pemahaman genetik terhadap karakter toleran kekeringan merupakan
prasyarat keberhasilan program pemuliaan. Hal ini akan membantu
memprediksikan penampilan tanaman di lapangan dan juga membantu
memodifikasi level toleransi untuk meningkatkan stabilitas hasil di bawah kondisi
cekaman kekeringan. Toleransi kekeringan merupakan karakter yang kompleks
yang dikendalikan secara poligenik dengan heritabilitas rendah sampai medium
(Ekanayake et al. 1985). Analisis genetik dari karakter morfologi, hasil dan
komponen hasil, serta beberapa karakter akar di bawah kondisi cekaman
kekeringan menunjukkan pewarisan poligenik dengan aditif yang signifikan dan
efek genetik dominan, serta interaksinya, dan juga menunjukkan interaksi yang
signifikan dengan lingkungan (Asfaq et al. 2012; Panwar 2005).
Beberapa upaya khusus dilakukan untuk pengembangan varietas padi yang
toleran kekeringan untuk mengantisipasi kendala kekeringan. Diantaranya adalah
seleksi pada karakter sekunder pada kondisi cekaman kekeringan seperti arsitektur
akar, potensial air daun, potensial air malai, penyesuaian osmotik, dan kadar air
relatif (Fukai et al. 1999; Jongdee et al. 2002; Pantuwan et al. 2002) namun tidak
memberikan hasil yang diharapkan untuk meningkatkan produksi di bawah
cekaman kekeringan (Kumar 2009).
Selain itu, penelitian terbaru di IRRI telah menunjukkan bahwa
heritabilitas karakter hasil gabah di bawah cekaman kekeringan adalah moderat
sampai tinggi (Bernier et al. 2007; Venuprasad et al. 2007; Kumar 2009),
sehingga membuka peluang untuk seleksi langsung terhadap hasil gabah
dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada karakter sekunder.
Seleksi langsung untuk hasil gabah di bawah cekaman kekeringan telah
dilaporkan cukup efektif (Kumar et al. 2008; Venuprasad et al. 2008) dan telah
dibuktikan dengan menggabungkan potensi hasil tinggi dengan hasil yang baik di
bawah cekaman kekeringan (Kumar et al. 2008; Venuprasad et al. 2008). Hasil
penelitian IRRI menunjukkan bahwa seleksi secara langsung untuk karakter hasil
di bawah cekaman kekeringan, dikombinasikan dengan seleksi untuk potensi hasil
di bawah kondisi optimum, merupakan cara yang efektif dalam pembentukan
varietas (Atlin et al. 2008).
Pemanfaatan polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu metode yang
tepat untuk mendeteksi secara dini karakter toleransi kekeringan pada genotipe
tertentu. Polietilen glikol (PEG) telah banyak digunakan dalam pengujian toleransi
benih terhadap kekeringan dengan memperhitungkan indeks kekeringan
(Bouslama dan Schapaugh 1984; Nemoto et al. 1995). Suardi dan Abdullah 2003
menunjukkan bahwa aksesi padi liar Oryza glaberrima dan O. nivara yang
mampu berkecambah pada larutan PEG 8000. Untuk perakitan padi toleran
kekeringan dan umur genjah diharapkan aksesi Oryza glaberrima 101297 dapat
dijadikan tetua dalam program persilangan. Lestari dan Mariska (2006)
menunjukkan bahwa penapisan dini pada somaklon asal Gajahmungkur, IR 64
dan Towuti yang toleran kekeringan hasil keragaman somaklonal dan seleksi in
vitro dapat menggunakan PEG 6000 dengan konsentrasi 20%. Herawati (2010)
menyatakan bahwa modifikasi konsentrasi larutan PEG 6000 diperlukan untuk
mendapatkan konsistensi dengan hasil di lapangan. Tekanan seleksi dengan
menggunakan media tanah atau campuran media tanah dengan bahan lain di pot
akan mendekati kondisi kekeringan di lapangan (Samaullah dan Darajat 2001).
Afa et al. (2012) melaporkan bahwa cara yang cukup efektif untuk penapisan dini

11
toleransi padi hibrida terhadap cekaman kekeringan adalah dengan pemberian
larutan PEG 6000 konsentrasi 25%. Genotipe-genotipe yang terseleksi dari hasil
pengujian berdasarkan metode seleksi dini pada fase perkecambahan, fase bibit
dan metode pot menunjukkan konsistensinya sebagai genotipe-genotipe yang
toleran cekaman kekeringan di lapangan (Afa 2013).
Kombinasi penggunaan varietas unggul dan teknologi pengelolaan
tanaman untuk meningkatkan produktifitas dan produksi padi di sawah tadah