Peran Jaringan Kerjasama Terhadap Inovasi Dan Kinerja Usaha Mikro Kedelai Olahan Kedelai.

PERAN JARINGAN KERJASAMA TERHADAP INOVASI DAN
KINERJA USAHA MIKRO KECIL OLAHAN KEDELAI

ELYA NURWULLAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Jaringan Kerjasama
Terhadap Inovasi dan Kinerja Usaha Mikro Kecil Olahan Kedelai adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, September 2015
Elya Nurwullan
H351120291

1

RINGKASAN
ELYA NURWULLAN. Peran Jaringan Kerjasama Terhadap Inovasi dan Kinerja
Usaha Mikro Kedelai Olahan Kedelai. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI
TINAPRILLA.
Sektor UMKM merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan
ekonomi Indonesia karena mampu meningkatkan kesejahteraan, mengurangi
kesenjangan, menurunkan tingkat kemiskinan, membangun ekonomi perdesaan.
UMKM diyakini mampu menciptakan efek pengganda yang besar pada sektor
pertanian karena mayoritas UMKM berbasis sektor pertanian. Usaha Mikro dan
Kecil (UMK) berbahan baku kedelai akan menjadi fokus penelitian ini ditengah
perannya sebagai komoditas pangan strategis di Indonesia dan ketergantungan
yang tinggi pada kedelai impor. Masalah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
seperti anggaran, kualitas SDM, teknologi dan informasi menyebabkan UMK

makin tergantung kepada pihak-pihak eksternal dan didorong untuk bekerjasama
dalam suatu bentuk ikatan dalam jaringan kerjasama Industri olahan kedelai.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan aktivitas
jaringan kerjasama dan inovasi pada UMK pengolahan kedelai; untuk
menganalisis peran jaringan kerjasama dalam meningkatkan inovasi pada UMK
pengolahan kedelai; untuk menganalisis peran mediasi inovasi atas pengaruh
jaringan kerjasama terhadap kinerja UMK di industri pengolahan kedelai.
Survei ini merupakan studi empiris yang dilakukan di beberapa kluster
sentra industri pengolahan tahu dan tempe di 4 wilayah yaitu Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Tegal, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi
penelitian menggunakan purposive sampling merupakan sentra perajin tahu dan
tempe yang intensif melakukan kerjasama dengan berbagai pihak. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa subyek berupa sikap, opini, pengalaman
responden yang diperoleh melalui wawancara terstruktur menggunakan kuisioner.
Daftar Pertanyaan dibuat menggunakan teknik pensekalaan 1-5 dengan data
ordinal. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan structural equation
model (SEM) PLS untuk memprediksi hubungan korelasi. Perangkat lunak yang
digunakan SPSS versi 17, SMART PLS versi 2.0. Dalam penelitian ini hipotesis
yang diajukan adalah: jaringan kerjasama 4 pihak eksternal berperan positif
terhadap inovasi dan inovasi memediasi peran tidak langsung jaringan kerjasama

terhadap kinerja UMK industri olahan kedelai.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang berbeda dari setiap pihak
eksternal yang terlibat dalam peningkatan inovasi dan kinerja UMK pada
beberapa kluster tahu dan tempe. Adanya perbedaan pengaruh tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah, Lemlit/PT, LSM dan jaringan antar perusahaan
memiliki peran yang berbeda dalam membangun kerjasama dengan UMK. Pada
penelitian ini diperoleh model pengaruh tidak langsung yang positif signifikan
dari kerjasama yang dilakukan oleh lembaga penelitian/perguruan tinggi dan LSM
terhadap kinerja UMK tahu dan tempe melalui penyediaan teknologi tepat guna
dalam upaya-upaya membangun inovasi UMK. Sedangkan kerjasama antar
individu tidak berpengaruh signifikan terhadap inovasi UMK. Bukti tentang
hubungan yang lemah menunjukkan bahwa jaringan bisa ada tetapi tidak bekerja

secara efektif karena hubungan lemah antara mitra atau karena UMK tidak dapat
mengekstrak nilai dari jaringan mereka. Tidak searahnya upaya peningkatan
ikatan jaringan kerjasama dengan pemerintah terhadap tingkat inovasi para perajin
lebih dimaknai sebagai belum berhasilnya upaya pemerintah dalam membangun
daya inovasi para perajin. Program-program yang telah dijalankan sudah intensif,
akan tetapi baru menyentuh aspek kognitif dan pengetahuan baru bagi para perajin
sehingga belum mampu meningkatkan daya inovasi para perajin. Pada 4 kluster

para perajin sangat minim berinovasi dalam bahan baku.
Penelitian ini merupakan rintisan pada industri berbasis kedelai dan adanya
penambahan variabel baru dari model serupa pada penelitian-penelitian terdahulu
yaitu keterlibatan pihak LSM sebagai variabel pihak eksternal yang banyak
terlibat dalam UMK tahu tempe.
Kata kunci : inovasi, jaringan kerjasama, kinerja, partial least square, usaha
mikro dan kecil (UMK)

SUMMARY
ELYA NURWULLAN. The Role of Collaboration Networks on Innovation and
Performance, Empirical Evidence from MSEs’ Soybean Processing. Supervised
by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA.
Micro, small and medium enterprises (MSMEs) empowering becomes an
important issue on economic development in Indonesia, because of it’s potential
on improving sosial welfare, moderating income gap, reducing poverty rate, and
boosting rural development. These broaden roles of MSMEs on development is
happening because it has a strong backward linkage with agriculture sector.
Micro and Small Enterprises (MSEs) in soybean processing will be the focus of
this study because of its role as a strategic food commodities in Indonesia and the
high dependence on imported soybean. Limited resource issues such as budget,

quality of human resources, and information technology causes SMEs
increasingly dependent on external parties and are encouraged to work together in
a form of bonding in the soybean processing industry cooperation network. The
purpose of this study was to analyze the activities of a network of cooperation and
innovation in MSEs soybean processing; to evaluate the role of the network of
cooperation in promoting innovation in MSEs soybean processing; to investigate
the effect on innovation cooperation network and the performance of MSEs in the
soybean processing.
In this study, the source of data were mainly taken from series of survey,
which is an empirical study conducted in clusters tofu and tempe in 4 regions:
Sumedang, South Jakarta, West Jakarta and Tegal. Selection of research using
purposive sampling location is the center of tofu and tempe intensive cooperation
with various parties. Data used in this study a subject in the form of attitudes,
opinions, experiences respondents through interviews using a structured
questionnaire. Questionnaire made using scale techniques 1-5 with ordinal data.
Data were analyzed using descriptive analysis as well as quantitative analysis
utilizing structural equation modeling (SEM) Partial Least Square (PLS). The
software used SPSS version 17, SMART PLS version 2.0. The hypothesis in this
study is: networking 4 external parties contribute positively to innovation and
innovation mediate indirect role of cooperation networks on the performance of

MSEs soybean processing.
The study results showed different effects and roles of every single external
party involvement in the innovation and performance level improvement of MSEs
in clusters of tofu and tempe industry. However, there is a finding that there is a
significant indirect and positive influence of cooperation applied by research
institution, university and NGO on the performance of tofu and tempe MSEs,
through their efforts to build innovation. While cooperation between individuals
no significant effect on SME innovation. Evidence of a weak relationship
indicates that the network could exist but does not work effectively because of the
weak relationship between partners or because MSEs are not able to extract value
from their networks. And form model obtained a significantly negative effect
from cooperation with the network of government bonds on the level of
innovation of MSEs, that is interpreted as the government's efforts have not been

successful in building the innovation power of the MSEs. The programs that have
been implemented already intensively, but it just a new touch of cognitive aspects
and new knowledge to the MSEs and have not been able to increase the power of
innovation of the MSEs. In consideration of projection of costs and risks, the
enterpreneur are still rigidly doing business as usual, that is the same with the
usual prior to the introduction of innovations. At 4 clusters was very little

innovation in the raw materials. This study is the pioneer in soybean based
industries and the addition of new variables of similar models in previous studies
that the involvement of NGOs as external parties are a lot of variables involved in
MSEs of tempe and tofu.
Keywords: collaboration networks, innovation, mikro and small scale enterprises
(MSEs), partial least square, performance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

PERAN JARINGAN KERJASAMA TERHADAP INOVASI DAN

KINERJA USAHA MIKRO KECIL OLAHAN KEDELAI

ELYA NURWULLAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada ujian tesis: 1. Dr. Ir. Burhanuddin, MM
2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS

Judul Tesis
Nama

NIM

: Peran Jaringan Kerjasama Terhadap Inovasi dan Kinerja Usaha
Mikro Kecil Olahan Kedelai
: Elya Nurwullan
: H351120291

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suharno, M.A.Dev
Ketua

Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis


Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 19 Agustus 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Assalamu’alaykum wr.wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan
Januari 2015 ini adalah jaringan kerjasama dan inovasi, dengan judul “Peran
Jaringan Kerjasama Terhadap Inovasi dan Kinerja Usaha Mikro Kecil Olahan
Kedelai”. Tema penelitian merupakan idealisme penulis untuk urun berfikir dalam
meneropong permasalahan dan solusi perkedelaian di Indonesia melalui
pendekatan sistem di sektor hilir, atas peran jaringan kerjasama dan inovasi pada

usaha mikro dan kecil olahan tahu dan tempe. Pendekatan di sektor hilir ini
diharapkan dapat menambah informasi bagi efektifitas implementasi programprogram pengembangan UMK oleh lembaga-lembaga publik dan membantu peta
pengembangan kedelai lokal di masa depan. Karena pada dasarnya perhatian
sektor publik pertanian terhadap sektor tersebut tidak berhenti pada tahapan on
farm, akan tetapi titik krusial juga berlanjut pada off farm yang menyangkut
pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Suharno dan Ibu Dr.Ir.
Netti Tinaprilla selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Burhanuddin yang telah
memberi saran bagi terlaksananya penelitian ini. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak H. Sukhaeri, SE dari Kopti Kabupaten Bogor
sekaligus pendiri Rumah Tempe Indonesia (RTI), Bapak H.Taryo dari Kopti
Jakarta Selatan dan (alm) Bapak Suharto dari Kopti Jakarta Barat atas
informasinya yang sangat berharga. Terima kasih penulis juga diucapkan kepada
Bapak Drs. Sahadi beserta staf dari Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Sumedang, Bapak Tumono dari Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Tegal, Bapak Handoko dari klaster tahu tempe Semanan,
Bapak Sungkono dari klaster tahu tempe Gang 100, Nurul Hidayati serta pihakpihak lain yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada Bapak Dr.
Haryono, atas kepercayaan dan kesempatan beasiswanya, suamiku tercinta, putraputriku terkasih, Bapak, Mamah atas kasih sayang yang tak terhingga, juga pada
seluruh keluarga dan para sahabat atas segala doa dan lecutan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Salam Inovasi.

Bogor, September 2015
Elya Nurwullan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Jaringan Kerjasama dalam UMK
Karakteristik Ikatan dalam Jaringan Kerjasama
Pihak-Pihak Eksternal
Peran Jaringan Kerjasama terhadap Kinerja UMK
Inovasi Pada UMK
Peran Inovasi terhadap Kinerja UMK
Hubungan Simultan Jaringan Kerjasama, Inovasi dan Kinerja UMK
Pemodelan Jaringan Kerjasama, Inovasi dan Kinerja UMK
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Jaringan Kerjasama
Inovasi : Definisi, Tingkat Kebaruan dan Output
Kinerja UMK
Pengertian UMKM
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Pengembangan Model Persamaan Struktural Metode PLS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Struktur dan Perilaku Industri Tahu Tempe
Analisis Deskriptif
Karakteristik Ikatan Kerjasama
Pihak-Pihak Eksternal sebagai Sumber Inovasi

vi
vii
vii
1
1
3
5
5
6
6
6
8
9
11
13
14
15
16
17
17
17
19
23
24
24
25
27
27
27
28
30
30
31
37
37
39
40
40
42

Tingkat Inovasi di Empat Klaster
Kinerja UMK Tahu Tempe di Empat Klaster
Model Pengaruh Jaringan Kerjasama Terhadap Inovasi dan Kinerja
Evaluasi Penilaian Model Pengukuran
Evaluasi Penilaian Model Struktural
Mediasi Inovasi Pada Pengaruh Jaringan Kerjasama Terhadap Kinerja

44
49
50
50
53
58

KESIMPULAN DAN SARAN
Implikasi kebijakan
Keterbatasan Penelitian
Saran Penelitian Lanjutan

61
62
62
63

DAFTAR PUSTAKA

64

DAFTAR TABEL

1 Hipotesis Penelitian
2 Definisi Variabel yang Dikembangkan Dalam Penelitian
3 Model Pengukuran
4 Skor Kekuatan Ikatan Kerjasama
5 Skor Peran Pihak-Pihak Eksternal
6 Skor Tingkat Inovasi
7 Skor Orientasi Jangka Panjang, Resiko dan Riset Pasar
8 Karakteristik Para Perajin Tahun dan Tempe
9 Skor Capaian Kinerja UMK Olahan Kedelai
10 Nilai Kriteria Hasil Penelitian Model Pengukuran (Outer Akhir)
11 Nilai Kriteria Hasil Penelitian Model Struktural (Inner)
12. Estimasi Koefisien Path Pada Model Struktural
13. Nilai Koefisien Pengaruh Tidak Langsung Jaringan Kerjasama Terhadap
Kinerja UMK Pengolahan Tahu dan tempe

25
32
33
41
43
45
47
48
50
52
54
55
59

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4.
5.
6.
7.

Invensi dan Inovasi
Tiga kunci desain pemikiran dalam melahirkan inovasi
Derajat Inovasi
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Diagram Jalur Penelitian
Model Pengukuran
Model Struktural Hasil Bootstrapping

20
21
22
26
32
51
53

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Evaluasi Model Pengukuran dan Model Struktural
Penelitian Terdahulu yang Relevan
Organisasi Variabel Laten

70
73
74

0

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu
sektor penting tidak hanya bagi pembangunan ekonomi nasional akan tetapi
perannya telah diakui secara global sebagai kunci sukses pertumbuhan dan
dinamisasi ekonomi dunia. Sedemikian krusialnya peran UMKM, sehingga pada
konferensi kementerian perdagangan tingkat APEC yang diselenggarakan pada
bulan Mei 2015 mengagendakan pengembangan UMKM dalam perdagangan
global. Menurut ESCAP 2012 peran UMKM terutama dalam hal (a) menciptakan
lapangan kerja; (b) memelihara kewirausahaan dan (c) peningkatan output dan
nilai tambah.
Krisis yang melanda beberapa negara akhir-akhir ini telah mendorong
sejumlah pakar ekonomi global meninjau kembali serta mengkaji ulang arti
penting UMKM. Ketika terjadi krisis ekonomi 1998, hanya sektor UMKM yang
bertahan dari kolapsnya ekonomi bahkan menjadi penyelamat perekonomian di
masa krisis. Selama krisis ekonomi tahun 1997/1998 mayoritas UMKM tetap
beroperasi dengan jumlah yang terus bertambah di pasca krisis ekonomi melalui
pemanfaatan modal sendiri dan penggunaan bahan baku lokal (Kuncoro 2007).
Secara empiris, jumlah UMKM di Indonesia selama kurun 2000-2012 mencapai
persentase yang signifikan yaitu 99 persen dari keseluruhan unit usaha, dan usaha
mikro merupakan bagian terbesar dari jumlah tersebut. Dari total jumlah 56,5 juta
unit usaha, persentase usaha mikro mencapai 98.79 persen di tahun 2012,
sedangkan usaha kecil, menengah dan besar masing-masing berkontribusi 1.11
persen, 0.09 persen, dan 0.01 persen (Kemenkop & UMKM 2013).
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, data empiris tahun 2012 menunjukkan
97.16 persen dari 110,8 juta total tenaga kerja telah terserap di sektor UMKM.
Dari komposisi tersebut, usaha mikro adalah skala usaha yang paling banyak
menyerap tenaga kerja dengan persentase 90.12 persen, disusul oleh usaha kecil,
usaha menengah dan usaha besar dengan persentase masing-masing sebesar 4.09,
2.94 dan 2.84 persen. Penyerapan tenaga kerja yang sangat besar pada UMKM
diyakini menjadi solusi bagi bonus demografi di Indonesia dimana Indonesia
akan mengalami ledakan jumlah penduduk usia produktif pada tahun 2020.
Bertolak belakang dengan uraian di atas dimana kontribusi UMKM terhadap
pertumbuhan output nasional kurang sejalan dengan peran strategisnya.
Pertumbuhan jumlah dan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar pada UMKM
di Indonesia tidak diikuti oleh peningkatan nilai tambah yang signifikan.
Berdasarkan data Kemeneg Koperasi dan UMKM pada tahun 2012, dari total
PDB-harga berlaku (Rp. 8,241.9 triliun), sebanyak 59.08 persen output nasional
berasal dari UMKM. Dimana 35.81 persen merupakan porsi usaha mikro,
sedangkan usaha kecil dan usaha menengah masing-masing berkontribusi sebesar
9.68 persen dan 13.59 persen. Sedangkan sektor usaha besar, yang jumlahnya
tidak sampai 1 persen dan daya serap tenaga kerja kurang dari 3 persen, telah
mampu menyumbang pertumbuhan produk nasional sebesar 40.92 persen. Dari
perbandingan output berdasarkan produk domestik bruto (PDB) per unit usaha
maupun per tenaga kerja menyiratkan adanya kesenjangan produktivitas yang

2

tinggi antara UMKM dengan usaha besar, dimana 80 persen mayoritas didominasi
oleh industri dengan intensitas teknologi rendah (low tech industry) (Asmara et al.
2013).
Disamping itu UMKM memiliki backward linkage atau keterkaitan yang
kuat dengan sektor pertanian karena mayoritas UMKM berbasis sektor pertanian.
Sehingga keberhasilan pengembangan pertanian tidak dapat dilepaskan dari maju
mundurnya UMKM di tanah air. UMKM diyakini dapat menciptakan efek
pengganda pada sektor pertanian sekaligus membangun ekonomi perdesaan.
Walaupun kontribusi pertanian terhadap PDB menurun di tahun 2012
dibandingkan saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008, akan tetapi mayoritas
UMKM masih berbasis sektor pertanian (Kemenegkop & UMKM 2013). Faktafakta di atas mengindikasikan bahwa pengembagan dan pemberdayaan UMKM
tetap menjadi isu strategis terutama pada era pembangunan ekonomi saat ini,
karena potensinya yang besar dalam dalam menurunkan angka pengangguran,
mengurangi kesenjangan ekonomi, menurunkan tingkat kemiskinan serta
membangun ekonomi perdesaan (Kuncoro 2007).
Menyadari kondisi makro di atas, mengandalkan keunggulan komparatif
berupa sumberdaya alam saja tidak cukup terutama pada era globalisasi seperti
saat ini. UMKM menghadapi lingkungan eksternal yang semakin tidak dapat
diprediksi seperti persaingan usaha yang makin tinggi, perubahan teknologi yang
cepat, serta lingkungan permintaan dan selera konsumen yang sangat variatif.
UMKM dituntut mampu beradaptasi dengan dinamika tersebut. UMKM perlu
memiliki keunggulan kompetitif melalui tindakan yang inovatif dari pengusaha.
Inovasi semakin diakui memiliki kontribusi penting untuk kelangsungan hidup
dan pertumbuhan usaha, sehingga strategi inovasi (never ending innovation) perlu
terus dilakukan (Ellitan dan Anatan 2009). Inovasi merupakan penciptaan,
modifikasi atau perubahan dalam bentuk kualitas baru, metode produksi baru,
membuka pasar yang baru, memperoleh sumber pasokan bahan baku baru, atau
menjalankan organisasi baru (Schumpeter 1934 dalam Fagerberg 2003). Tujuan
inovasi adalah meningkatkan nilai kepada pelanggan dan berkontribusi terhadap
kinerja suatu unit usaha (Johnson et al. 2009).
Perubahan faktor lingkungan eksternal selain menuntut tindakan inovatif
UMKM juga menuntut adanya kerjasama bisnis yang lebih erat dengan pihakpihak eksternal dalam suatu jaringan kerjasama yang diakui sebagai sumber
inovasi (Ahuja 2000). UMKM tidak bisa hanya bergantung pada sumberdaya
sendiri. Untuk dapat berkembang, UMKM menjadi tergantung kepada pihakpihak eksternal dan didorong untuk bekerjasama dalam suatu bentuk ikatan dalam
jaringan kerjasama (Tsai 2009; S.X.Zeng et al. 2010; Najib dan Kiminami 2011).
Dengan bekerjasama UMKM dapat memperoleh manfaat dari jaringan dalam
rangka meningkatkan inovasi dan kinerja. Inovasi lahir sebagai keluaran dari
sinergi yang kompleks dan dinamis antara pihak-pihak eksternal yang terdiri atas
individu dan jaringan institusi di dalam sistem inovasi, dimana melalui proses
tersebut pengetahuan, ketrampilan tersebut disebar, diperbarui, dan dimanfaatkan
secara ekonomi oleh para pelaku inovasi guna menghasilkan inovasi (KIN 2012).
Dengan membentuk jaringan kerjasama, UMKM memperoleh benefit yang lebih
besar. Jaringan kerjasama menyediakan UMKM lebih banyak akses ke
sumberdaya, komplementer keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang
tidak tersedia secara internal. Sumber daya tersebut sangat penting untuk

3

implementasi inovasi, selanjutnya menguatkan ikatan kerjasama dalam jaringan
dapat meningkatkan pelaksanaan berbagai inovasi dan selanjutnya
dimanifestasikan dalam kinerja UMKM (Najib dan Kiminami 2011). Pihak-pihak
eksternal tersebut antara lain konsumen, pemasok, pesaing, instansi pemerintah,
lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat/LSM (Gronum et al.
2012; Najib dan Kiminami 2011; Indarti dan Posma 2013). Di Indonesia jaringan
kerjasama inovasi lazim dikenal dengan istilah ABGC, yaitu dunia akademisi,
dunia bisnis, pemerintah dan community (LSM). Kinerja merupakan hasil kerja
berupa output maupun dampak yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku
industri (Kuncoro 2007) yang dapat diamati melalui pengukuran indikator
finansial dan non-finansial.

Permasalahan Penelitian
Usaha Mikro Kecil (UMK) akan menjadi fokus pada penelitian ini ditengahtengah perannya sebagai penyerap kerja terbanyak dan skala unit usaha dengan
jumlah terbesar. Bahan baku kedelai dipilih sebagai komoditas penelitian atas
perannya sebagai komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut
pertama, terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai macam
bahan pangan utama. Bahan pangan hasil olahan kedelai berfungsi sebagai
sumber protein nabati paling populer dalam menu pangan masyarakat Indonesia.
Kedelai diolah menjadi tempe, tahu, kecap, tauco dan susu kedelai. Total
konsumsi kedelai Indonesia mencapai 1,893 juta ton (Pusdatin, 2012) dan ratarata 65 persen nya dipenuhi dari kedelai impor. Dari total konsumsi tersebut,
sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia digunakan untuk
memproduksi tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk
lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per
tahun di Indonesia sekitar 7,300 kg dan tahu 7,404 kg dengan laju pertumbuhan
konsumsi tahu dan tempe masing-masing sekitar 2.40 persen dan 2.10 persen per
tahun. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi
konsumen kedelai 4 terbesar di Asia atau ke-7 di dunia.
Peran strategis Kedua, tekanan permintaan domestik begitu tinggi akan
kedelai seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk, sehingga kebutuhan
kedelai akan semakin besar pula. Menjadi permasalahan adalah ketika Indonesia
masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada impor kedelai, sehingga UMK
olahan kedelai menjadi rentan terkena dampak ekonomi dan sosial jika terjadi
volatilitas harga kedelai impor. Penanganan industri ini perlu mendapat perhatian
serius Pemerintah, karena permasalahan kedelai telah menyentuh isu kemiskinan
(Dartanto dan Usman 2011), ancaman ketahanan pangan dan kemandirian pangan
nasional.
Menjadi permasalahan besar lainnya adalah ketika kebijakan perkedelaian
di Indonesia belum memasukkan komoditas ini sebagai high sensitive maupun
sensitive list jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN disaat kedelai sudah dianggap
sebagai salah satu bahan pangan penting yang membangun keamanan pangan
kawasan tersebut (Hadian dan Tobing 2015). Terlebih jika hasil Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) 9 WTO 2013 di Bali terkait pengahapusan subsidi ekspor
mulai diberlakukan pada 2017 (Azahari 2013), maka akan menimbulkan

4

permasalahan baru bagi Indonesia. Selama ini tekanan pangan murah memberikan
berbagai proteksi yang dilakukan berbagai pihak terhadap harga kedelai impor.
Atas kebijakan tersebut, kemungkinan harga kedelai menjadi tidak berproteksi
dan menjadi lebih mahal hingga dapat memicu gejolak sosial di masyarakat, baik
di tingkat produsen maupun konsumen.
Selain itu, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari industri tahu
tempe juga tidak sedikit. Berdasarkan data dari Induk Koperasi Tahu Tempe
Indonesia tahun 2013, terdapat 115,789 unit UMKM tahu dan tempe yang terdiri
dari 74,473 unit pengolahan tempe (64.3 persen) dan 41,316 unit pengolahan tahu
(35.7 persen), dan entitas tebesar adalah perajin yang bergerak pada skala mikro
dan kecil. Untuk lebih kompetitif UMK tahu tempe harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan eksternal yang terus berubah. Perubahan selera konsumen
yang dinamis semakin menuntut spesifikasi produk pangan dengan atribut yang
semakin beragam seperti kualitas produk, standar keamanan dan kesehatan
produk, fitur produk pelayanan cepat dan prima serta kemitraan bisnis yang lebih
erat. Selain itu munculnya tuntutan cerdas dan kritis konsumen saat ini yang
menginginkan kesadaran tinggi dari pelaku usaha untuk turut menjaga kelestarian
lingkungan salah satunya melalui upaya pengelolaan limbah. Ini berarti bahwa
UMK harus lebih inovatif untuk memenuhi keinginan konsumen dan terus
mengasah kemampuannya untuk bersaing dengan usaha sejenis lainnya sehingga
akan diperoleh kinerja yang diharapkan.
Faktor eksternal lain yang turut mendorong UMK tahu dan tempe agar
lebih inovatif adalah faktor kelangkaan pangan dan energi akibat iklim serta
volatilitas harga pangan. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi rantai
pasok bahan baku pada industri. Fenomena ini menjadi sinyal bagi para pelaku
usaha untuk inovatif dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan baku
impor yang selama ini digunakan dan mencari alternatif sumber bahan baku lokal.
Pendekatan kearifan lokal perlu dipertimbangkan dalam keputusan inovasi
(Voeten 2012). Bagi Indonesia dimungkinkan untuk melakukan terobosan dalam
mengembangkan kedelai lokal maupun pencarian sumber bahan baku lokal
mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa keanekaragaman
hayati.
Saat masa krisis 1998, UMK umumnya memiliki karakter tahan banting
karena telah mampu memanfaatkan bahan baku lokal, tetapi berbeda dengan
UMK pengolahan kedelai yang lebih banyak mengalami guncangan dalam
usahanya. Tidak sedikit UMK berbahan baku kedelai impor gulung tikar,
walaupun masih banyak yang mampu bertahan diantara banyaknya pesaing dalam
industri olahan kedelai. Berbagai strategi dilakukan diantaranya dengan
melakukan adaptasi dan modifikasi pada produk, mengembangkan produk baru
atas munculnya kreasi makanan berbahan baku tahu dan tempe, teknologi
produksi, pemasaran, bahan baku dan lain-lain.
Selain tantangan eksternal yang dihadapi UMK, beberapa masalah internal
yang dihadapi pada umumnya adalah sikap individualistik dalam pengelolaan
UMK (Najib dan Kiminami 2011), yang membuat masing-masing UMK sendirian
dalam melakukan pemasaran, pembelian bahan baku, ataupun inovasi teknologi.
Masalah UMK lainnya adalah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki UMK
seperti anggaran, kualitas SDM, teknologi dan informasi yang menjadikan UMK
menghadapi kendala untuk menjadi lebih kompetitif. Dengan masalah mendasar

5

tersebut, saat usaha kecil berniat
mengembangkan produk baru dan
memperbaharui teknologi mereka, UMK mengalami hal yang dilematis karena
mereka juga harus meminimalkan pengeluaran Najib dan Kiminami (2011).
Akibatnya, UMK, dengan tingkat produk mereka sendiri dan sumber daya yang
langka, akan sulit memperbarui bisnisnya. Oleh karena itu untuk pengembangan
usaha, UMK menjadi semakin tergantung kepada pihak-pihak eksternal dan perlu
didorong untuk bekerjasama dengan unit usaha lain yang mengarah pada
penyatuan potensi sumber daya dan informasi (Gronum et al. 2012).
Sebuah solusi untuk masalah tersebut akan dijawab dengan meningkatkan
peran pihak-pihak eksternal tersebut, mengungkap manfaat yang diperoleh dari
jaringan kerjasama serta mengungkap peran inovasi. Inovasi diyakini akan lahir
sebagai keluaran dari sinergi yang dinamis antara para aktor di dalam jaringan
kerjasama yang menciptakan pembelajaran diantara para aktor. Berangkat dari
latar belakang di atas dan untuk memastikan peran UMK, khususnya kelompok
industri pengolahan kedelai dalam memanfaatkan jaringan kerjasama dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan kinerjanya, maka secara khusus
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana aktivitas jaringan kerjasama. inovasi dan kinerja pada UMK
pengolahan kedelai ?
2. Apakah jaringan kerjasama telah berperan dalam meningkatkan inovasi pada
UMK pengolahan kedelai ?
3. Apakah inovasi telah berperan dalam meningkatkan kinerja UMK di industri
pengolahan kedelai ?
4. Apakah inovasi memediasi pengaruh tidak langsung jaringan kerjasama
terhadap kinerja UMK di industri pengolahan kedelai ?

Tujuan Penelitian

1.
2.
3.
4.

Secara rinci penelitian ini bertujuan:
Untuk mendeskripsikan aktivitas jaringan kerjasama, inovasi serta kinerja
pada UMK pengolahan kedelai.
Untuk menganalisis peran jaringan kerjasama dalam meningkatkan inovasi
pada UMK pengolahan kedelai.
Untuk menganalisis peran inovasi dalam meningkatkan kinerja UMK di
industri pengolahan kedelai.
Untuk menganalisis pengaruh tidak langsung jaringan kerjasama terhadap
kinerja UMK melalui inovasi di industri pengolahan kedelai.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini:
Menyediakan informasi bagi pemangku kepentingan, mulai dari hulu sampai
hilir pada industri olahan tempe dan tahu, mengenai kekhasan model jaringan
kerjasama yang perlu dibangun pada industri tersebut dan bagaimana
pengaruhnya terhadap tingkat inovasi UMK yang ada di dalamnya agar
secara positif mampu meningkatkan kinerja UMK;

6

2.

3.

Menyediakan opsi kebijakan pemerintah yang perlu ditempuh mengenai
langkah-langkah prioritas yang perlu dilakukan oleh industri pengolahan
kedelai untuk mendorong efektifitas jaringan kerjasama diantara UMK dan
peran pihak-pihak eksternal dalam rangka meningkatkan inovasi dan kinerja
UMK di masa yang akan datang.
Sebagai informasi pembanding bagi penelitian serupa pada komoditas,
struktur dan jenis industri yang berbeda di masa yang akan datang.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada kerjasama Usaha Mikro dan Kecil (UMK) tahu
tempe dengan pihak-pihak eskternal seperti jaringan antar individu yang
mencakup pemasok, pelanggan dan pesaing, jaringan dengan pemerintah pusat
dan daerah, jaringan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta jaringan LSM
di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Sumedang dan Tegal. Pengertian
inovasi dibatasi pada definisi kebaruan (newness) bukan hanya originalitas.
Selain itu Inovasi lebih mengacu pada hasil atas tarikan kebutuhan masyarakat
bukan sekedar dorongan kemajuan teknologi. Pada penelitian ini inovasi
didefinisikan sebagai kombinasi baru, modifikasi atau perubahan dari beberapa
jenis inovasi yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu inovasi produk,
inovasi proses, inovasi pemasaran, inovasi olahan limbah dan inovasi bahan baku
bagi meningkatkan nilai kepada pelanggan dan berkontribusi terhadap kinerja
suatu unit usaha. Kinerja UMK pada penelitian ini dibatasi untuk menilai hasil
kerja berupa output penjualan, laba, pengurangan biaya produksi serta dampak
lain pada penghematan waktu.

TINJAUAN PUSTAKA
Jaringan Kerjasama dalam Usaha Mikro dan Kecil :
Karakteristik dan Stakeholders
Untuk menjadikan UMK lebih kompetitif, masalah yang dihadapi UMK
pada umumnya adalah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki seperti anggaran,
kualitas SDM, teknologi dan rendahnya akses terhadap informasi, sehingga dalam
pengelolaannya UMK akan semakin tergantung pada pihak-pihak eksternal.
Selain itu satu sifat individualistik UMK, dimana masing-masing UMK sendirian
dalam melakukan pemasaran, pembelian bahan baku, ataupun inovasi teknologi,
menyebabkan UMK didorong untuk bekerjasama dengan usaha lain dan
mengarah penyatuan potensi sumber daya dan informasi (Gronum et al. 2012).
UMK dapat mencapai efisiensi kolektif melalui kedekatan spesialisasi, sosial
kohesi, dan kerjasama dengan pihak-pihak eksternal (Najib dan Kiminami 2011)
yang dalam penelitian diistilahkan dengan jaringan kerjasama (Tsai 2009;
S.X.Zeng et al. 2010) atau network (Clifton et. al. 2010; Gronum et al. 2012;
Pittaway 2004; Indarti dan Posma 2013), kerjasama (Najib dan Kiminami 2011).

7

Jaringan kerjasama merupakan ikatan sinergi yang kompleks dan dinamis
yang dilakukan antar individu maupun dengan institusi dalam menyebarkan,
memperbarui dan memanfaatkan pengetahuan untuk tujuan ekonomi oleh para
pelaku usaha untuk menghasilkan outcome berupa inovasi (KIN 2012). Pihakpihak eksternal dianggap menyediakan lebih banyak akses ke sumberdaya,
komplementer keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang tidak tersedia
secara internal (Child et al. 2005). Setiap jaringan terdiri dari orang-orang, cara di
mana ini orang mendapatkan akses dan penggunaan sumberdaya satu sama lain
baik dalam bentuk keanggotaan maupun mediasi. Jaringan kerjasama telah
diidentifikasi sebagai faktor penting dalam penelitian proses inovasi.
Dalam mengungkap pihak-pihak eksternal atau pihak yang berkepentingan
di dalam jaringan kerjasama, terdapat dua kategori kelompok yang terlibat yaitu
individu dan pihak institusional. Kerjasama individu atau kerjasama antar
individu dapat didefinisikan sebagai interaksi dengan kolaborator yang berbeda,
termasuk pemasok, pelanggan, dan pesaing, sementara pihak-pihak dalam
kelembagaan terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah, lembaga penelitian/
perguruan tinggi dan LSM (Gronum et al. 2012; Najib dan Kiminami 2011; S.X.
Zeng et al. 2010; Nieto dan Santamaria 2007; Suparwito 2010).
Menurut Pittaway 2004, suatu unit usaha yang tidak bekerja sama dan yang
tidak secara formal maupun informal bertukar pengetahuan membatasi basis
pengetahuan mereka secara jangka panjang dan pada akhirnya mengurangi
kemampuan mereka untuk masuk ke dalam hubungan pertukaran. Jaringan
diidentifikasi sebagai variabel yang signifikan meningkatkan output inovasi dan
daya saing unit usaha dalam berbagai industri. Berdasarkan data empiris
menunjukkan bahwa jaringan dapat memiliki dampak positif pada inovasi dalam
semua konteks organisasi (yaitu dalam organisasi skala besar, usaha kecil dan
kewirausahaan baru atau start-up). Jaringan tidak hanya penting untuk mengakses
pengetahuan dalam proses difusi inovasi dan menghasilkan inovasi pada usaha
kecil tetapi mereka sama-sama penting untuk belajar tentang praktek kerja
inovatif yang dilakukan organisasi lain dan telah lebih dulu mengembangkan atau
mengadopsi inovasi tersebut. Mereka mempengaruhi mitra lain dalam beberapa
cara, pertama, meningkatkan akses ke pengetahuan, dengan cara mempromosikan
kesadaran dan adopsi awal inovasi; kedua, dengan mempromosikan interaksi
sosial, menghasilkan kepercayaan dan timbal balik yang kondusif untuk transfer
pengetahuan.
Dalam proses pengembangan usaha, UMK secara tidak langsung
menerapkan konsep modal sosial sebagai salah satu sumber daya untuk
mengakses dan mengeksploitasi sumber daya lain yang berasal dari pihak-pihak
eksternal yang tidak dimiliki secara internal. Modal sosial diyakini sebagai salah
satu komponen dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide dan informasi,
saling kepercayaan, saling menguntungkan demi mencapai kemajuan bersama.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kaasa (2007) untuk melihat hubungan
antara modal sosial dengan tingkat inovasi masyarakat di Eropa menunjukkan
adanya pengaruh positif modal sosial terhadap tingkat inovasi masyarakat. Ikatan
khusus dalam kerjasama seperti kepercayaan, kepatuhan terhadap norma dan
perjanjian yang berlaku positif sangat berpengaruh terhadap inovasi. Pada
penelitian ini ikatan kerjasama digunakan untuk menggambarkan variabel
karakteristik UMK. Merujuk Ahuja (2000) bahwa ikatan yang kuat untuk

8

memungkinkan kepercayaan sedangkan ikatan yang lemah menghambat
kepercayaan. Ikatan kerjasama yang kuat diyakini paling penting untuk
membangun kepercayaan yang diperlukan untuk investasi dan kolaborasi. Ikatan
kerjasama yang kuat merupakan kondisi yang paling sesuai untuk implementasi
inovasi.
Karakteristik Ikatan Kerjasama
Mengacu pada Yustika 2013, Kaasa 2007, Indarti & Posma 2013, serta
mengadaptasi penelitian Cahyono 2006, ikatan dalam kerjasama ditunjukkan oleh
beberapa karakteristik antara lain (1) komunikasi dan berbagi informasi, (2)
terdapatnya penerapan komitmen institusional antara kedua belah pihak melalui
kesepakatan tertulis maupun tidak tertulis; (3) kepercayaan; (4) reputasi atas
kemanfaatan yang diberikan atas kerjasama yang telah dilakukan; serta (5) saling
ketergantungan. Hasil penelitian Cahyono 2006 menunjukkan bahwa reputasi,
kepercayaan, ketergantungan, kepuasan, komitmen dan komunikasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kerjasama jangka panjang.
Komunikasi merupakan syarat mutlak terjalinnya hubungan kerjasama.
Komunikasi diibaratkan lem atau perekat yang dapat mempererat hubungan antar
anggota di dalam saluran. Komunikasi memiliki kemampuan untuk
menyampaikan atau mengalirkan informasi yang bermanfaat dan tepat waktu.
Suatu informasi yang bermanfaat dan tepat waktu akan mendatangkan keuntungan
bagi kedua belah pihak. Bila tingkat intensitas komunikasi yang terjalin antara
pihak-pihak yang bekerjasama itu tinggi, maka informasi yang diterima akan
bersifat tepat waktu. Kedua belah pihak memiliki peluang untuk mengantisipasi
keadaan buruk yang timbul.
Morgan dan Hunt (1994) menyatakan komitmen institusional didefinisikan
sebagai kepercayaan dalam hubungan kerjasama yang terjadi pada hubungan yang
terus menerus yang sangat penting sebagai jaminan usahanya untuk memelihara
kerjasama yang mereka lakukan. Komitmen bisa berarti suatu kesepakatan antar
mitra. Adanya komitmen akan memberikan hasil yang meningkatkan efisiensi,
produktivitas dan keefektifan. Komitmen merupakan keinginan yang
berkelanjutan untuk membangun suatu hubungan yang bernilai. Hubungan
kerjasama tingkat tinggi mempunyai karakteristik: komitmen yang tinggi, join
aktivitas yang tinggi, operasi yang saling melengkapi dan hubungan yang
menyebabkan perubahan pada masing-masing organisasi yang melakukan
kerjasama. Pengalaman kerjasama akan memiliki efek pada pengelolaan
perjanjian kerjasama (Nieto dan Santamaria 2007).
UMK membutuhkan keyakinan dan kepercayaan di satu sama lain untuk
memulai kerjasama. Kepercayaan adalah seberapa jauh salah satu pihak memiliki
keyakinan pada kolaborator atau mitra kerjasamanya bahwa mereka akan
memenuhi kewajiban sehingga dapat menjamin biaya yang lebih rendah untuk
semua transaksi terkait. Semakin tinggi keyakinan mitra akan kemampuan
kolaboratornya untuk mewujudkan ucapan dan pernyataannya maka akan
meningkatkan kepercayaan satu sama lain. Dalam Kaasa 2007, kepercayaan
dapat mempengaruhi inovasi melalui banyak mekanisme. Pertama, semakin tinggi
kepercayaan, semakin rendah biaya monitoring dan kemungkinan penyimpangan
atau ketidakpatuhan mitra, sehingga kebutuhan untuk kontrak tertulis lebih kecil.
Oleh karena itu, kepercayaan yang lebih tinggi memungkinkan suatu usaha untuk

9

menghabiskan lebih banyak waktu pada tujuan utama yaitu kegiatan inovatif.
Kedua, semakin tinggi kepercayaan dalam jaringan kerjasama, akan mengurangi
resiko yang ditanggung anggota mitra. Ketiga, kepercayaan antara unit usaha
yang dikembangkan oleh kerjasama berulang dapat menghasilkan proyek
kerjasama inovatif yang lebih radikal.
Doney dan Joseph (1997) mendefinisikan reputasi atas kemanfaatan yang
diberikan atas kerjasama yang telah dilakukan sebagai seberapa jauh pihak mitra
tersebut dipercaya oleh orang-orang dan unit usaha lain dalam lingkungan
bisnisnya. Perlu diketahui bahwa keinginan untuk menjalin hubungan dengan
pihak lain dalam jangka panjang dapat timbul berdasarkan atas pengalaman unit
usaha lain. Pihak mitra yang memandang bahwa produk dan pelayanan yang
dilakukan oleh kolaboratornya selama ini apabila telah memenuhi harapan atau
memberikan manfaat dan kepuasan, maka akan menimbulkan keinginan untuk
melanjutkan hubungan. Suatu unit usaha yang memiliki reputasi baik dapat
dikatakan bahwa unit usaha tersebut memiliki nilai lebih dibandingkan unit usaha
lain. Banyak unit usaha yang memperhatikan faktor reputasi karena reputasi yang
baik merupakan aset dalam menjalin suatu hubungan kerjasama.
Mengacu Pittaway 2004 interdependensi (ketergantungan) didefinisikan
antara dua organisasi akan terjadi bilamana tujuan salah satu pihak tidak akan
tercapai tanpa adanya sumberdaya dari pihak yang lain. Ketergantungan
mengarah pada kebutuhan untuk memelihara hubungan kerjasama yang telah
terjalin. Pihak-pihak yang bekerjasama akan berusaha menjaga dan saling
membangun faktor-faktor yang berharga pada hubungan kerjasama karena adanya
nilai ketergantungan tersebut. Bila supplier berhasil memenuhi harapan pembeli
maka besar kemungkinan tingkat ketergntungan agen terhadap distributor juga
semakin besar yang pada akhirnya akan memperkuat kerjasama yang telah
terjalin. Tingkat ketergantungan satu pihak terhadap pihak lain dapat disebabkan
karena sedikitnya jumlah alternatif kolaborator yang dikenal. Semakin sulit
mencari kolaborator lain yang memiliki kapabilitas setara, maka akan semakin
tinggi ketergantungan tersebut. Saling ketergantungan antara unit usaha dengan
usaha lainnya yang menjadi mitranya akan meningkatkan kepercayaan dan
komitmen diantara mereka (Ganesan 1994).
Pihak-Pihak Eksternal dalam Jaringan Kerjasama
Pihak-pihak eksternal dianggap menyediakan lebih banyak akses ke
sumberdaya, komplementer keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang
tidak tersedia secara internal (Child et al. 2005). Setiap jaringan terdiri dari
orang-orang, cara di mana ini orang mendapatkan akses dan penggunaan
sumberdaya satu sama lain baik dalam bentuk keanggotaan maupun mediasi.
Jaringan kerjasama telah diidentifikasi sebagai faktor penting dalam penelitian
proses inovasi.
Dalam mengungkap pihak-pihak eksternal atau pihak yang berkepentingan
di dalam jaringan kerjasama, terdapat dua kategori kelompok yang terlibat yaitu
individu dan pihak institusional. Kerjasama individu atau kerjasama antar unit
usaha dapat didefinisikan sebagai interaksi dengan kolaborator yang berbeda,
termasuk pemasok, pelanggan, dan pesaing, sementara pihak-pihak dalam
kelembagaan terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah, dan lembaga penelitian/
perguruan tinggi (Gronum et al. 2012; Najib dan Kiminami 2011; S.X. Zeng et

10

al. 2010; Nieto dan Santamaria 2007), yang lazim diistilahkan dengan triple helix
antara akademik, bisnis dan Government atau disingkat ABG (Clifton et. al. 2010;
KIN 2012). Adapula penelitian yang melibatkan pihak lainnya seperti asosiasi
industri, afiliasi keagamaan, LSM (Indarti dan Posma 2013, Suparwito 2010)
dengan tambahan unsur LSM diistilahkan dengan ABGC.
Lembaga pemerintah memainkan peran penting dalam mendukung dan
stimulasi kegiatan UMK dalam bidang inovasi dengan menyediakan fasilitas,
dukungan keuangan dan menerapkan mendukung kebijakan dan konteks hukum
yang kuat. Tren jejaring membawa tantangan bagi pemerintahan di negara-negara
berkembang. Isu tentang kerja sama dengan instansi pemerintah mengacu pada
peningkatan pelayanan seperti kebijakan pemerintah, regulasi terkait, program
strategis atau dukungan publik yang dapat meningkatkan kerjasama antara UMK
dan unit usaha lain, lembaga intermediasi, dan organisasi penelitian sehingga
dapat mendorong kegiatan inovatif. Ada sejumlah langkah-langkah kebijakan
yang, langsung atau tidak langsung, bertujuan mendorong UMK untuk melakukan
inovasi produk dan proses.
Kerjasama dengan pemasok dapat memungkinkan UMK untuk
menggabungkan keahlian dan perspektif yang berbeda dari pemasok untuk
meningkatkan atau menciptakan metode baru untuk pengembangan produk (Najib
dan Kiminami 2011; Indarti dan Posma 2013). Inovasi dipengaruhi oleh banyak
aktor baik di dalam dan di luar UMK dan mitra yang paling penting adalah dari
sektor bisnis, yaitu pelanggan dan pemasok (Pittaway 2004). Wong (2002) dalam
Filiani 2009 mengemukakan bahwa berpartner dengan para supplier merupakan
salah satu prinsip kunci dari TQM (Total Quality Management). Karena UMK
memahami bahwa kinerja mereka bergantung sekali pada kinerja para suppliernya
sebagai satu rangkaian dalam manajemen rantai suplai.
Pemasok mempunyai kekuatan terhadap harga dan kualitas barang atau jasa
yang ditawarkan (Najib dan Kiminami 2011). Oleh karena itu, para pemasok atau
supplier dapat mempengaruhi kemampulabaan suatu UMK yang membeli
produknya. Hubungan kerjasama yang baik antara suatu unit usaha dengan
pemasok menurut Pearce dan Robinson (1997) dalam Filiani 2009 sangat penting
bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan jangka panjang UMK. Tujuan
kemitraan ini disebutkan Najib dan Kiminami (2011) adalah untuk menciptakan
dan memelihara hubungan yang loyal, saling percaya, dan dapat diandalkan
sehingga akan menguntungkan kedua belah pihak, dan sebagai cara untuk
meningkatkan penyempurnaan kualitas, produktivitas, dan keunggulan daya saing
secara terus menerus.
Pada penelitian Zeng (2010) bahwa efektifitas integrasi kerjasama dengan
pemasok dalam proses pengembangan produk baru : i) Memiliki dampak yang
signifikan terhadap biaya, kualitas, teknologi, kecepatan dan daya tanggap suatu
unit usaha; ii) Produsen membantu mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan
untuk mereka untuk tetap kompetitif; iii) Membantu mengurangi waktu siklus,
biaya dan mengurangi kualitas masalah; iv) Mengarah ke tingkat yang lebih tinggi
dari produktivitas dan kualitas; v) Membantu dengan perbaikan dalam upaya
desain keseluruhan; vi) Memimpin hubungan pemasok lebih dekat lebih terbuka;
vii) Akses yang lebih mudah untuk pengetahuan pemasok dan keahlian dalam
jangka panjang; viii) Mengarah ke peningkatan komunikasi antara mitra.

11

Kerjasama dengan pelanggan tidak hanya memberikan manfaat dalam
mengidentifikasi peluang pasar, tetapi juga mengurangi kemungkinan lemahnya
desain pada tahap awal pengembangan produk (Najib dan Kiminami 2011, Zeng
2010). Pelanggan yang secara aktif terlibat dalam tahap awal inovasi produk akan
membantu pengembangan ide-ide. Dengan demikian, keterlibatan pelanggan
dapat menyebabkan keuntungan dalam hal inovasi produk. Pittaway 2004 lebih
menghubungkan kegiatan inovasi dalam suatu unit usaha dengan hubungan
jaringan yang dilakukan dengan pelanggan karena risiko kegagalan dirasakan
lebih rendah. Sifat dari nilai jaringan dengan kunci pelanggan harus diperlakukan
dengan hati-hati (Zeng 2010). Hubungan jaringan tersebut muncul menjadi ideal
untuk mempromosikan inovasi inkremental.
Keberadaan pesaing memungkinkan UMK dapat memastikan tingkat
teknologi pesaing mereka. UMK yang lebih luas pengetahuannya terhadap strategi
teknologi pesaingnya adalah lebih mampu untuk membedakan diri (strategi
diferensiasi). Melalui kerjasama dengan pesaing dapat memperoleh insentif biaya
transaksi berupa pembelian bahan baku dengan harga lebih rendah dan membuka
akses untuk pemasaran (Najib dan Kiminami 2011). Kerjasama antar usaha kecil
tergantung pada biaya dan manfaat yang dirasakan oleh usaha kecil.
Sedangkan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian adalah cara yang
paling efektif untuk mencapai inovasi karena lembaga penelitian publik dan
perguruan tinggi memiliki sistem ilmiah yang berfungsi sebagai sumber
pengetahuan dan teknologi baru untuk menghasilkan berbagai jenis inovasi dan
memiliki arti penting mitra ilmiah pada beberapa sektor industri (Pittaway 2004).
Bukti empiris menunjukkan bahwa mitra ilmiah yang berasal dari perguruan
tinggi maupun lembaga penelitian cenderung relatif paling penting dalam
orientasi inovasi radikal (Zeng 2010). Mitra ilmiah dapat juga bertindak sebagai
perantara, penghubung atau agen netral dalam jaringan memungkinkan sistem
bisnis yang berbeda untuk berkomunikasi dengan menghasilkan kepercayaan
antara pihak yang berbeda.
Kerjasama dengan LSM memiliki peran sebagai pendamping dalam suatu
kegiatan UMK. Pendampingan LSM adalah proses memberikan motivasi kepada
pihak yang didampingi, melakukan fasilitasi dan mediasi sumberdaya yang ada di
UMK, menyampaikan informasi dari dan kepada pihak yang didampingi. Hasil
penelitian yang dilakukan Suparwito (2010) menunjukkan pendampingan LSM
sebagai konsultan usaha dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan usaha.

Peran Jaringan Kerjasama terhadap Inovasi Usaha Mikro dan Kecil
Nieto dan Santamaria (2007) menyimpulkan bahwa dampak positif terbesar
pada tingkat inova