Identifikasi Komponen Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) dengan Pola Sidik Jari Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa dan Kemometrik

IDENTIFIKASI KOMPONEN TEMU IRENG (Curcuma
aeruginosa) DENGAN POLA SIDIK JARI KROMATOGRAFI
CAIR-SPEKTROSKOPI MASSA DAN KEMOMETRIK

DEWI ANGGRAINI SEPTANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Komponen
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) dengan Pola Sidik Jari Kromatografi CairSpektroskopi Massa dan Kemometrik adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015
Dewi Anggraini Septaningsih
NIM G451120061

RINGKASAN
DEWI ANGGRAINI SEPTANINGSIH. Identifikasi Komponen Temu Ireng
(Curcuma aeruginosa) dengan Pola Sidik Jari Kromatografi Cair-Spektroskopi
Massa dan Kemometrik. Dibimbing oleh LATIFAH K DARUSMAN dan FARIT
MOCHAMAD AFENDI.
Temu ireng (Curcuma aeruginosa) dikenal sebagai komponen jamu dengan
berbagai aktivitas biologis. Beberapa studi, temu ireng memiliki potensi sebagai
antirematik, penyakit dalam, pembersih darah, antiinflamasi, penghambatan HIV,
dan aktivitas antikanker. Karakteristik aktivitas biologis dalam tumbuhan sangat
ditentukan oleh kandungan senyawa aktif kimia atau metabolit yang bekerja
secara sinergis. Kromatografi cair-spektroskopi massa (KC-SM) salah satu teknik
yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi metabolit. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi kandungan metabolit temu ireng terkait aktivitas biologisnya
sebagai antioksidan dan toksisitas dengan menggunakan sidik jari KC-SM yang
dikombinasi dengan kemometrik.
Sampel temu ireng berasal dari tiga daerah penghasil jamu di pulau Jawa,

Indonesia. Temu ireng dimaserasi dengan etanol dan ditentukan aktivitas
antioksidannya menggunakan metode Cupric Reduction Antioxidant Capacity
(CUPRAC) serta toksisitasnya melalui Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Selanjutnya, sampel dianalisis dengan KC-SM dan dihasilkan data yang besar.
Hasil analisis KC-SM bersama dengan hasil analisis aktivitas biologis diolah
dengan metode kemometrik Principle Component Analysis (PCA) dan Partial
Least Square (PLS).
Analisis profil metabolit dari seluruh sampel memberikan 175 senyawa
dugaan dengan senyawa dominan berupa senyawaan seskuiterpena dari genus
Curcuma. Dengan teknik PCA, profil metabolit ini dapat memilah sampel
berdasarkan daerah asalnya. Interpretasi dengan teknik PLS menunjukan bahwa
hubungan antara komposisi metabolit terhadap bioaktivitasnya bergantung pada
keberadaan senyawa dengan massa ion 312.275 dan 248.149 yang keduanya
memberikan potensi antioksidan dan toksisitas paling tinggi. Senyawa dengan
massa ion 248.149 diduga sebagai senyawa 9-okso-neoprokurkumenol, 7α,11α,epoksi-5 -hidroksi-9-guaiaen-8-on, kurkumalakton A, atau kurkumalakton B,
sedangkan senyawa dengan massa ion 312.275 diduga sebagai tetrahidrobisdemetoksikurkumin.
Kata kunci: temu ireng; KC-SM; PCA; PLS; bioaktivitas

SUMMARY
DEWI ANGGRAINI SEPTANINGSIH. Identification of Metabolites of Curcuma

aeruginosawith Liquid Chromatography Mass Spectrometry (LC-MS) Fingerprint
and Chemometrics. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and FARIT
MOCHAMAD AFENDI.
Curcuma aeruginosa (temu ireng) is known as a component of herbal
medicine with various biological activities. Many studies demonstrate that C.
aeruginosa has the potential as an ingredient in herbal for internal diseases, blood
cleanser, anti-inflammatory, HIV inhibitor, and anti-cancer. Biological activity
characteristics of a plant are highly specified by the chemical active compounds or
metabolites working in synergy. Liquid chromatography–mass spectroscopy (LCMS) as one technique can used identifying metabolite compounds. This research
identified the metabolites content of C.aeruginosa related to their biological
activities through fingerprinting by using LC-MS continued with chemometric
data processing.
Samples rhizomes of C. aeruginosa were collected from three regions
producing herbs on the island of Java, Indonesia. C.aeruginosa was macerated
with ethanol then the antioxidant activity and the toxicity was determined by
using Cupric Reduction Antioxidant Capacity (CUPRAC) and Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) respectively. Afterward, the samples were analyzed by LCMS. The result of antioxidant activity and toxicity determination join with LC-MS
analysis was processed by Principle Component Analysis (PCA) and Partial Least
Square (PLS) methode.
The metabolites profiling of all samples gave 175 supossed compounds,

with the mayor compounds are sesquiterpene of Curcuma genus. The metabolites
profiles could sorted the samples based on their origin by using PCA.
Interpretation with PLS showed that the correlation between metabolites profiles
and their bioactivities depend on the presence of compounds with ion mass of
312.275 and 248.149, which gave the highest antioxidant and toxicity potentials.
Compounds with ion mass 248.149 was supposed to be 9-oxo-neoprocurcumenol,
7α,11α,-epoxy-5 -hydroxy-9-guaiaen-8-one,
curcumenolactone
A,
or
curcumenolactone B, while compound with ion mass 312.275 was supposed to be
tetrahydro-bisdemethoxycurcumin.
Keywords:C.aeruginosa; LC-MS; PCA; PLS; bioactivity

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI KOMPONEN TEMU IRENG (Curcuma
aeruginosa) DENGAN POLA SIDIK JARI KROMATOGRAFI
CAIR-SPEKTROSKOPI MASSA DAN KEMOMETRIK

DEWI ANGGRAINI SEPTANINGSIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Mohamad Rafi, S.Si, M.Si

Judul Tesis : Identifikasi Komponen Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) dengan
Pola Sidik Jari Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa dan
Kemometrik
Nama
: Dewi Anggraini Septaningsih
NIM
: G451120061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Latifah K. Darusman, MS
Ketua

Dr Farit Mochamad Afendi, SSi. MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Dyah Iswantini, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
20 April 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Identifikasi Komponen Temu Ireng (Curcuma aeruginosa)

dengan Pola Sidik Jari Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa dan Kemometrik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K Darusman,
MS dan Bapak Dr. Farit Mochamad Afendi, S.Si M.Si selaku pembimbing, serta
Bapak Rudi Heryanto S.Si. M.Si yang telah banyak memberikan saran dan
masukan. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Pusat Studi
Biofarmaka, dan Staf Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia, Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu selama proses penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak, Suami serta seluruh keluarga dan
teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Dewi Anggraini Septaningsih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
3


2 TINJAUAN PUSTAKA
Temu Ireng
kromatografi Cair-Spektrometer Massa
Antioksidan
aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC
Aktivitas toksisitas
Kemometrik
Analisis Komponen Utama (PCA)
Partial Least Square (PLS)

3
3
4
5
6
7
8
8
9


3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

10
10
10
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Fitokimia, Kadar Air, dan Kadar Abu
Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC
Aktivitas Toksisitas dengan BSLT
Pengelompokan Ekstrak Temu Ireng
Identifikasi Komponen Bioaktif Rimpang Temu Ireng
Pola Pengelompokan Metabolit dengan Kemometrik
Hubungan Komposisi Senyawa Metabolit Terhadap Uji Bioaktivitas

13
13
15
16
17
17
20
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Hasil kadar air, kadar abu, dan rendemen rimpang temu ireng
Hasil Uji fitokimia ekstrak temu ireng
Keragaman total analisis PCA pada ekstrak rimpang temu ireng
Parameter statistik untuk data analisis rimpang temu ireng dengan
model PLS
5 Identifikasi senyawa metabolit yang terhadap LC50 dan antioksidan

14
15
21
23
23

DAFTAR GAMBAR
1 Rimpang temu ireng
2 Reaksi reduksi bisneokuproin-tembaga(II) uji antioksidan dengan
Metode CUPRAC
3 Komponen utama dari peubah X1,X2, dan X3
4 Bagan prinsip PLS
5 Pemrosesan Data Kromatogram KC-SM
6 Aktivitas antioksidan ekstrak temu ireng
7 Aktivitas toksisitas ekstrak etanol rimpang temu ireng
8 Kromatogram KC-SM ekstrak etanol rimpang temu ireng
9 Kandungan komposisi metabolit dominan dalam ekstrak etanol rimpang
temu ireng
10 Struktur senyawa kimia dalam temu ireng
11 Plot skor analisis PCA ekstrak etanol rimpang temu ireng
12 Plot loading analisis PCA ekstrak etanol rimpang temu ireng

3
7
9
10
13
15
16
18
19
20
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Diagram alir penelitian
Kadar air simplisia rimpang temu ireng
Kadar abu simplisia rimpang temu ireng
Rendemen ekstrak etanol rimpang temu ireng
Aktivitas antioksidan ekstrak etanol rimpang temu ireng
Hasil uji toksisitas ekstrak etanol rimpang temu ireng
Hasil Uji Bioaktivitas antioksidan dan toksisitas temu ireng dan
pengelompokan sampel
Kromatogram ekstrak temu ireng daerah Cikabayan, Nagrak, dan
Tawangmangu
Identifikasi senyawa metabolit ekstrak etanol rimpang temu ireng
Hasil analisis metode PLS pada aktivitas antioksidan dan toksisitas
dengan 308 variabel massa ion
Hasil analisis metode PLS pada aktivitas antioksidan dan toksisitas
dengan 781 variabel massa ion
Hasil RMSE pada analisis PLS untuk aktivitas toksisitas dengan 308
variabel

29
30
31
32
33
35
36
37
38
41
42
43

13 Hasil RMSE pada analisis PLS untuk aktivitas toksisitas dengan 308
variabel
14 Hasil RMSE pada analisis PLS untuk aktivitas antioksidan dengan 781
variabel
15 Hasil RMSE pada analisis PLS untuk aktivitas toksisitas dengan 781
variabel
16 Plot Standardisasi koefisien Analisis PLS hubungan respon LC50
dengan m/z
17 Plot Standardisasi koefisien Analisis PLS hubungan respon antioksidan
dengan m/z

44
45
46
47
47

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temu ireng merupakan tumbuhan yang rimpangnya dimanfaatkan sebagai
campuran obat/ jamu. Dalam pengobatan tradisional, rimpang temu ireng
digunakan sebagai ramuan jamu galian, antirematik, penyakit dalam, dan
pembersih darah (Djauhariya dan Sufiani 2001). Pada penelitian Nurbara (2009),
ekstrak etanol temu ireng dengan konsentrasi 20% secara in vitro cukup kuat
untuk dikembangkan menjadi alternatif sebagai obat flu burung. Beberapa studi
lain, temu ireng memiliki potensi sebagai antiinflamasi, penghambatan HIV, dan
aktivitas anti kanker. Temu ireng mengandung minyak atsiri sebesar 0.52% yang
terdiri dari β komponen utama α-guanien, kariofilen, dan 28 komponen minor
(Sutaryo et al. 1996), saponin, flavonoid, dan polifenol (Syamsuhidayat S dan
Hutapea J 1991), dan kurkumin (Nurbara 2009). Komponen zat aktif lain pada
temu ireng yakni kurkumenol diduga berfungsi sebagai antiviral, antikonvulsan,
dan anti karsinogenik.
Karakteristik aktivitas biologis dalam tanaman sangat ditentukan oleh
kandungan senyawa aktif kimia atau metabolit yang bekerja secara sinergis (Liang
et al. 2009). Sebagai contoh, sifat antikanker dalam temu ireng yang
menyebabkan terjadinya nekrosis hepatosit mencit diduga dipengaruhi senyawa 9metiltetrasiklotetradekana;
epikurzerenon;
dan cis-1,3-dimetil-2-metilena
sikloheksana (Hestiana et al. 2014). Oleh karena itu, konsistensi maupun
inkonsistensi dalam tumbuhan obat dipengaruhi keragaman dan kadar
metabolitnya. Keragaman metabolit yang terdapat dalam tanaman ini dapat
dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan, jenis tanah, lingkungan budidaya, serta
waktu panen dan ketinggian (Yi et al. 2007). Dengan meningkatnya permintaan
konsistensi bioaktivitas dari suatu obat herbal, maka proses standarisasi/kontrol
kualitas profil ekstrak tanaman diperlukan dengan menunjukan kadar 1 atau
beberapa senyawa target atau bahkan senyawa untarget (Rohaeti et al. 2015;
Wang et al. 2004). Identifikasi dan kuantifikasi molekul kecil metabolit yang
ditargetkan dan untarget dapat dilakukan dengan pendekatan metabolomik
(Wishart DS 2007; Patti G et al. 2012).
Identifikasi dalam studi metabolomik memberikan wawasan yang lebih luas
akan komposisi kimia suatu tumbuhan pada kondisi tertentu. Umumnya teknik ini
mengandalkan pemisahan metabolit dengan kromatografi gas (KG) atau
kromatografi cair (KC) yang dikombinasi dengan spektrometer massa (SM) untuk
menganalisis senyawa kompleks metabolit. Kromatografi cair adalah metode
yang paling popular untuk analisis obat-obatan herbal karena mudah dipelajari
dan penggunaannya tidak dibatasi oleh volatilitas atau stabilitas senyawa sampel.
Teknik KC-SM tidak mengharuskan derivatisasi sampel untuk mengelompokan
metabolit dan telah terbukti mendeteksi berbagai kelas metabolit (De vos et al.
2007). Profil metabolit KC-SM memisahkan komponen kimia individu menjadi
puncak terpisah dan digunakan dalam mengungkap metabolit minor (Farag et al.
2012). KC-SM sangat umum digunakan dalam studi farmakokinetika terutama
dalam hal pengembangan obat (Khairan et al. 2009). KC-SM telah digunakan
untuk identifikasi senyawa atractyloside pada Callilepis laureola (Lee et al.

2
2013), senyawa ginsenoside pada akar Panax ginseng (Steenkamp et al. 2006),
dan senyawa aktif pentasiklik triterpenoid pada Centella asiatica (James et al.
2013).
Analisis KC-SM menghasilkan spektrum atau kromatogram yang terdiri
dari data yang besar. Untuk meringkas dan mengekstrak informasi dari data yang
besar dapat menggunakan teknik pengenalan pola dalam kemometrika. Lebih jauh
penggunaan kemometrik dapat digunakan dengan karateristik lain seperti kualitas
atau aktivitas biologisnya. Evaluasi analisis KC-SM terkait aktivitasnya dapat
menggunakan kemometrik dengan teknik Principle Component Analysis (PCA)
dan Partial Least Square (PLS). Teknik PCA telah digunakan untuk
pengelompokan dari Centella asiatica yang dipengaruhi senyawa Asiatic acid,
asiaticoside, madecassic acid, dan masecassiside (James et al. 2013). Teknik PLS
dapat digunakan untuk mengkorelasi aktivitas antioksidan dan perubahan
metabolit dari fermentasi kedelai dengan analisis KC-SM (Kim et al. 2011).
Adapun tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi metabolit bioaktif temu ireng
dari tiga lokasi di Pulau Jawa sebagai sentra produksi jamu dengan KC-SM yang
dikaitkan dengan aktivitas biologisnya. Aktivitas biologis yang ditentukan adalah
aktivitas antioksidan dengan metode Cupric Reduction Antioxidant Capacity
(CUPRAC) dan toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam tulisan ini adalah melihat potensi aktivitas
biologis (antioksidan dan toksisitas) dari rimpang temu ireng.Potensi bioaktivitas
dari temu ireng tersebut dapat diidentifikasi dari keberadaan senyawa aktif atau
metabolit yang terkandung dalam sampel. Senyawa metabolitakan bekerja secara
sinergis dapat menyebabkan meningkatkan atau menurunkan potensi bioaktivitas
temu ireng. Keberadaan senyawa metabolit dapat diidentifikasi dengan cara
penentuan sifat kimia dengan KC-SM.Selain itu, seberapa jauh penggunaan KCSM yang dikombinasi dengan kemomterik dalam mengolah data, sehingga dapat
memberikan profil dari sampel temu ireng yang berpengaruh terhadap potensi
bioaktivitas rimpang temu ireng.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ialah mengkaji dan menganalisis aktivitas antioksidan dan
toksisitas pada temu ireng, mengkaji dan menganalisis metabolit pada temu ireng
yang berpengaruh terhadap bioaktivitas, dan penggunaan KC-SM yang
dikombinasi dengan teknik kemometrik diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai metabolit yang terkandung pada temu ireng.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai metabolit yang terkandung dalam temu ireng, memberikan informasi
metabolit yang berpengaruh terhadap antioksidan dan toksisitas dari temu ireng,

3
memberikan teknik kombinasi KC-SM dan kemometrik dalam menjelaskan
informasi yang ada pada data. Interpretasi data KC-SM yang sulit untuk
mengidentifikasi dapat dipermudah dengan penggunaan kemometrik. Teknik ini
dapat menganalisis data yang besar dan mengolah data KC-SM sehingga dapat
memberikan informasi dari data tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian
Subyek penelitian ini adalah identifikasi senyawa aktif atau metabolit pada
temu ireng dengan analisis KC-SM dan kemometrik. Obyek penelitian adalah
sampel temu ireng dari pulau Jawa, Indonesia. Observasi dilakukan pada tiga
sampel temu ireng dari tiga daerah penghasil jamu di pulau Jawa, Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Temu Ireng
Tanaman temu ireng merupakan tanaman yang termasuk kedalam jenis
temu-temuan (Gambar 1).Tanaman temu hitam berasal dari Burma (Myanmar),
yang kemudian menyebar ke daerah tropik lainnya seperti Kamboja dan
Indonesia.Tanaman temu ireng juga mudah dikenali dari rimpangnya.Rimpang
yang terbentuk pada umumnya memiliki aroma khas dengan bau yang agak
menyengat.Baunya yang khas disebabkan oleh minyak atsiri yang terkandung
didalam rimpangnya.

Gambar 1 Rimpang Temu Ireng
Temu ireng memiliki penamaan yang berbeda dari setiap daerah.Temu
ireng merupakan istilah bagi penduduk di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di daerah Jawa Barat temu hitam dikenal dengan istilah ‘koneng hideung’. Nama
daerah lainnya mencakup ‘tamu hitam, temo ereng, tamu leteng’ dan ‘temu
lotong’. Berikut merupakan sistematika tanaman temu hitam (Curcuma
aeruginosa Roxb.).
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae

4
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Jenis
: Curcuma aeruginosa Roxb.
Temu ireng dimanfaatkan sebagai bahan baku ramuan pengobatan
tradisional. Tanaman ini memiliki khasiat untuk mengobati beberapa penyakit
seperti rematik, cacingan, luka menahun, dan pendarahan pada saat haid. Selain
itu, rimpang temu ireng digunakan untuk ramuan jamu galian, penyakit dalam,
dan pembersih darah (Djauhariya dan Sufiani 2001). Selain itu, ekstrak etanol
temu ireng dengan konsentrasi 20% secara invitro cukup kuat untuk
dikembangkan menjadi alternatif sebagai obat flu burung (Nurbara 2009).
Beberapa studi menunjukan bahwa temu ireng memiliki potensi sebagai
antiinflamasi, penghambatan HIV, dan aktivitas anti kanker. Selain bagian
rimpang, daun temu hitam juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pengobatan
karena kandungan minyak esensialnya yang cukup tinggi. Rimpang temu ireng
mengandung saponin, minyak atsiri, flavonoid, kurkuminoid, zat pahit, damar,
lemak, mineral, minyak dan saponin. Temu ireng mengandung minyak atsiri
sebesar 0.5β% yang terdiri dari β komponen utama α-guanien, kariofilen, dan 28
komponen minor (Sutaryo et al. 1996),saponin, flavonoid, dan polifenol
(Syamsuhidayat S dan Hutapea J 1991), dan kurkumin (Nurbara 2009).
Komponen zat aktif kurkumenol diduga memiliki fungsi sebagai antiviral,
antikonvulsan, dan anti karsinogenik. Sifat antikanker dalam temu ireng yang
menyebabkan terjadinya nekrosis hepatosit mencit diduga dipengaruhi senyawa 9methyltetracyclo tetradecane; epicurzerenone; dan cis-1,3-dimethyl-2-methylene
cyclohexane (Hestiana et al. 2014).
Kromatografi Cair-Spektrometer Massa (KC-SM)
Kromatografi Cair- Spektrometer Massa (KC-SM) merupakan teknik
kimia yang menggabungkan pemisahan fisik kromatografi cair dengan
kemampuan analisis bobot molekul senyawa yang terpisahkan.Penggunaan KCSM berorientasi terhadap pendeteksian dan identifikasi potensi bahan kimia dalam
keberadaan bahan kimia lainnya (senyawa yang kompleks). KC-SM dapat
digunakan untuk dereplikasi bahan alam, skrining bioafinitas, skrining in vivo,
stabilitas metabolit, identifikasi metabolit, identifikasi kemurnian suatu obat,
identifikasi degradant, kualitas kontrol dan kuantitatif bioanalisis suatu obat
(Khairan et al, 2009). Kelebihan kromatografi cair dibandingkan dengan jenis
kromatografi lainadalah sensitivitasnya tinggi, dapat memisahkan senyawa yang
tidak atsiri, analisisnya cepat, dapat memisahkan komponen dalam jumlah yang
sedikit, memiliki daya pisah yang tinggi, kolom dapat digunakan kembali, dan
dapat menganalisis molekul besar. KC-SM memiliki sensitivitas dan selektivitas
yang tinggi. Kelebihan KC-SM dapat memberikan informasi massa dari semua
senyawa hasil pemisahan dari sistem kromatografi.
Pada instrumen KC-SM, senyawa kimia akan tertahan pada fase diam dan
fase gerak di dalam kolom. Senyawa metabolit keluar dari kolom dan memasuki
detektor massa, kemudian pelarut diuapkan dan metabolit terionisasi. ESI adalah
salah satu metode ionisasi untuk mendapatkan berat molekul dari senyawa

5
metabolit dengan teknik spray. Molekul yang terdeteksi merupakan ion dalam
bentuk tetesan (droplet) agar tidak saling menempel. Ion yang terdeteksi dapat
berupa [M+H]+,[M-H]-, dan analit dengan tambahan seperti Na+, K+, H3O+, NH4+,
dan molekul dari fase gerak, seperti asetonitril atau metanol (Ardrey, 2003).
Sehingga tidak akan ditemukan fragmen –fragmen dari molekul tersebut.
Berbagai jenis penganalisa massa yang terdapat pada spektroskopi massa
diantaranya Single Quadrupole, Triple Quadrupole, Ion Trap dan Quadrupole –
Time Of Flight (QTOF). QTOF merupakan metode spektrometri massa di mana
rasio massa terhadap muatan ion ditentukan melalui pengukuran waktu partikel
mencapai detektor.QTOF-MS memungkinkan analisis MS/MS dan menyediakan
massa akurat untuk kedua prekursor dan produk ion, yang merupakan identifikasi
massa lebih teliti dibandingkan mass analyzer lain (Lacorte dan Alba
2006).Kemampuan mass analyzer QTOF dapat mendeteksi berat molekul sampai
dengan 4 desimal, sehingga meskipun spektrum massa suatu komponen belum
tersedia dalam database library, dapat dilakukan identifikasi dengan pendekatan
rumus empiris berdasarkan pembacaan berat molekul secara akurat.
Hasil pemisahan dengan KC-SM disajikan dalam sidik jari kromatografi
dan spektrum. Sidik jari yang dihasilkan pada obat herbal bersifat sangat khas.
Sidik jari tersebut merepresentasikan senyawa aktif yang terdapat dalam obat
herbal dan interaksi yang terjadi antar komponen aktif dengan fase gerak dan fase
diam sehingga dapat menjadi pendekatan yang efektif karena menjelaskan
karakteristik obat herbal secara komprehensif. Parameter yang diukur pada
analisis sidik jari meliputi waktu retensi, luas puncak dan m/z.
KC-SM sangat umum digunakan dalam studi farmakokinetika terutama
dalam hal pengembangan obat (Khairan et al. 2009). Penggunaan KC-SM sebagai
kontrol kualitas bahan baku obat herbal telah dilakukan dengan analisis sidik jari
KC-SM dengan senyawa ginsenosides (Xiaohui Fet al. 2006). Selain itu Bogusz
et al. (2006) menerapkan LC-ESI-MS-MS untuk mendeteksi adulterants sintetis
dalam obat herbal. KC-SM telah digunakan untuk identifikasi senyawa
atractyloside pada Callilepis laureola (Lee at al. 2013), ginsenoside pada akar
Panax ginseng (Steenkamp et al. 2006), dan senyawa aktif pentasiklik triterpenoid
pada Centella asiatica (James et al. 2013). Kromatografi cair adalah metode yang
paling popular untuk analisis obat-obatan herbal karena mudah dipelajari dan
penggunaannya tidak diatasi oleh volatilitas atau stabilitas senyawa sampel.
Teknik KC-SM tidak mengharuskan derivatisasi sampel untuk mengelompokan
metabolit dan telah terbukti mendeteksi berbagai kelas metabolit (De vos et al.
2007). Profil metabolitKC-SMmemisahkan komponen kimia individu menjadi
puncak terpisah, sehingga dapat digunakan dalam mengungkap metabolit minor
(Farag et al. 2012).
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) dan
reduktan. Antioksidan mampu menghambat reaksi oksidasi, dengan cara
mencegah terbentuknya radikal, mengikat radikal bebas, dan molekul yang sangat
reaktif sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). Antioksidan
merupakan zat yang dapat menetralkan radikal bebas atau berfungsi mencegah
sistem biologi tubuh dari efek reaksi oksidasi yang berlebihan. Antioksidan

6
dengan aktivitas penangkapradikal bebas memiliki relevansi yang besar pada
pencegahan dan pengobatanpenyakit yang berhubungan dengan oksidasi atau
radikal bebas.
Berdasarkan sumbernya antioksidan digolongkan menjadi antioksidan
sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik yaitu butylated hdroxyanisol
(BHA), butylated hidroxytoluene (BHT), propil galat, tert-butil hidroxy quinon
(TBHQ) dan tokoferol (vitamin E). Sedangkan antioksidan alami yang paling
umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavonol, flavon, katekin dan flavonon),
derivat asam sinamat, kumarin, dan asam organik polifungsional (Pratt 1992).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer
(pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu
mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul antioksidan dapat
disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom
hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO˙) dan radikal turunan antioksidan
tersebut (A˙)lebih stabil dibanding radikal lipida, atau mengubahnya ke bentuk
yang lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan primer adalah
superoksida dismutase (SOD), butylated hdroxyanisol (BHA), butylated
hidroxytoluene (BHT), dan tokoferol.
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non
enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem
pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen relatif dihambat dengan cara
pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya (Winarsi 2007). Antioksidan
sekunder juga berfungsi memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai
mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan
radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan
sekunder adalah asam askorbat (vitamin C), vitamin E, beta karoten, asam urat,
bilirubin dan albumin, asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan garam
sodiumnya, dilauril tiopropionat (Winarno 2008).
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan
metionin sulfoksida reduktase.Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang
terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand,
baik gugus non basa maupun basa (Winarsi 2007).
Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC
Metode CUPRAC (cupric ion reducing antioxidant capacity) merupakan
salah satu metode pengujian aktivitas antioksidan suatu bahan atau ekstrak
tanaman. Prinsip dari metode CUPRAC adalah senyawa antioksidan akan
dioksidasi oleh kompleks bisneokuproin-tembaga(II). Sementara tembaga(II)
terreduksi membentuk kompleks bis-neokuproin-tembaga(I) (Gambar 2). Proses
reduksi ditandai dengan perubahan warna kompleks larutan biru toska menjadi
kuning. Perubahan warna ini dapat mengakibatkan peningkatan nilai absoransi
sinar tampak spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm untuk larutan
berwarna kuning (Apak et al. 2008).

7

Gambar 2 Reaksi reduksi bisneokuproin-tembaga(II) uji antioksidan dengan
Metode CUPRAC
Aktivitas peredaman radikal bebas biasanya dinyatakan sebagai
konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas radikal (IC50). Nilai IC50
dianggap sebagai ukuran yang baik dari efisiensi antioksidan senyawa-senyawa
murni ataupun ekstrak.Tetapi dapat juga dinyatakan dengan koefisien TEAC
(troloks equivalent antioxidant capacity). TEAC adalah konsentrasi troloks yang
memiliki kapasitas antioksidan yang ekuivalen dengan sampel yang dianalisis.
Penggunaan troloks sebagai standar, karena troloks merupakan antioksidan
sintetik yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan senyawa
α-tokoferol, BHA, serta BHT (Belitz 1999).
Aktivitas Toksisitas
Uji toksisitas umumnya bertujuan menilai resiko yang mungkin
ditimbulkan dari suatu zat kimia, menekan resiko bahaya yang terjadi, dan
mengetahui potensi suatu tumbuhan sebagai obat. Uji ini juga bertujuan untuk
menjamin keamanan bahan baku ekstrak yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk
menjamin obat herbal memiliki mutu yang terukur, terjaminnya keamanan serta
terbebas dari bahan dan mikroba berbahaya (Nurani et al. 2014). Umumnya uji
toksisitas dilakukan pada binatang, hewan bersel tunggal, atau sel kultur. Uji
toksisitas adalah suatu uji untuk menentukan potensial suatu senyawa sebagai
racun, mengenali kondisi biologis/lingkungan munculnya efek toksik dan
mengkarakterisasi aksi/efek. Bila dianggap praktis uji toksisitas dapat
menggunakan satu atau lebih spesies yang secara biologis memperlakukan suatu
bahan.Selain itu dapat menggunakan beberapa tingkatan dosis, karena aksi/efek
pada manusia dan hewan berkaitan dengan dosis, efek yang ditimbulkan pada
tingkat dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk melukiskan kerja mekanisme
aksi.
Nilai toksisitas merupakan sebuah parameter dalam mengindikasikan
bahwa ekstrak tumbuhan mampu memberikan sifat toksik sebagai bahan baku
biofarmaka. Uji toksisitas sangat penting dilakukan guna mengukur dan
mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Nilai ambang batas
toksisitas yang diperkenankan dilihat dari nilai 50% kematian (LC50) yaitu kurang

8
dari 1000 ppm, artinya jika suatu ekstrak tumbuhan memiliki nilai LC50 lebih dari
1000 ppm maka tidak efektif dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Meyer
(1982) mengemukakan bahwa suatu ekstrak bersifat toksik (bioaktif) dalam uji
toksisitas jika dapat menyebabkan kematian hewan uji (larva Leach) sebanyak
50% pada konsentrasi kurang dari 1000 ppm.Sebagai contoh, ekstrak etanol
Curcuma xantorhiza (Nurcholis 2012) dan ekstrak methanol Curcuma longa (Aly
et al.2011)memiliki potensi tokssitas dengan LC50 dibawah 100 ppm.
Kemometrik
Kemometrik adalah disiplin ilmu kimia yang menggunakan matematika,
statistik, dan logika formal yang digunakan untuk merancang atau memilih
prosedur eksperimental yang optimal, untuk memberikan informasikimia
maksimum yang relevan dengan menganalisis data kimia, dan untuk memperoleh
pengetahuan tentang suatu sistem kimia (Hopke 2003). Kemometrik menyediakan
teknik untuk mengurangi data berukuran besar yang diperoleh dari instrumen
seperti spektrofotometer (Varmuza 2002). Teknik kemometrik yang umum
digunakan dalam analisis kimia adalah pengolahan data, pengelompokan suatu
bahan, dan analisis kuantitaif. Kalibrasi multivariat merupakan salah satu bentuk
teknik analisis kemometrik yang dapat digunakan untuk menentukan campuran
dari beberapa senyawa. Teknik kalibrasi multivariat ini antara lain
berupaprinciple component analysis (PCA) dan partial least square (PLS)
(Brereton 2000).
Analisis Komponen Utama (PCA)
Principle Component Analysis (PCA) merupakan suatu teknik untuk
mengurangi jumlah peubah dalam suatu matrik data. Prinsip PCA adalah mencari
komponen utama/peubah baru yang merupakan kombinasi linear dari peubah
asli.Analisis Komponen Utama biasanya digunakan untuk mengidentifikasi
peubah baru yang mendasari data peubah ganda, mengurangi banyaknya dimensi
himpunan peubah dan menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai
sumbangan informasi yang relatif kecil. Peubah baru /komponen utama
mempunyai ciri kombinasi linier peubah-peubah asal, jumlah kuadrat koefisien
dalam kombinasi linier tersebut berrnilai satu, tidak berkorelasi, dan mempunyai
ragam berurut dari yang terbesar ke yang terkecil.Pemilihan komponen utama
dilakukan sehingga komponen utama pertama memiliki variasi terbesar dalam set
data, sedangkan komponen utama kedua tegak lurus terhadap komponen utama
pertama dan memiliki variasi terbesar berikutnya (Gambar 3) (Miller & Miller
1984). Kedua komponen utama pertama ini pada umumnya digunakan sebagai
bidang proyeksi untuk pemeriksaan visual data multivariat. Jika jumlah varians
dari komponen utama satu (PC1) dan dua (PC2) lebih besar dari 70%, maka score
plot memperlihatkan visualisasi dua dimensi yang baik (Varmuza 2002).
Teknik PCA berdasar pada dekomposisi matriks data X (N × K) menjadi 2,
yaitu matriks T (N × A) dan matriks P (K × A) yang saling tegak lurus:
X= T.PT+ E

9

Gambar 3 Komponen utama dari peubah X1,X2, dan X3
Matriks T disebut matriks scores yang menggambarkan varians dalam objek,
sedangkan matriks P yang disebut matriks loading menjelaskan pengaruh peubah
terhadap komponen utama. Matriks P terdiri atas data asli dalam sistem koordinat
baru. Galat dari model yang terbentuk dinyatakan dalam E (Lohninger 2004),
sedangkan nilai A adalah jumlah PC yang digunakan untuk membuat model
(Brereton 2000).
Teknik
Kemometrik
dengan
model
PCA
telah
banyak
dikembangkan.Teknik PCA telah dimanfaatkan sebagai metode yang sangat
fleksibel dan dapat diandalkan untuk penilaian kualitas Curcuma longa dengan
metode sidik jari GC-MS. Pengelompokan Curcuma longa dari Guizhou dan
Fujian dipisahkan dari sampel lain dengan PC1, sementara, PC2 kontribusi untuk
pemisahan lebih lanjut (Li Ming et al. 2009).
Partial Least Square (PLS)
Partial least square (PLS) adalah salah satu metode klasifikasi yang sering
diterapkan dalam bidang kemometrik dengan berlandaskan pendekatan partial
least square (PLS). Peubah yang tidak bebas (Y) diprediksi dari serangkaian
peubah bebas (X) yang memiliki kolinieritas tinggi, jumlahnya yang banyak, dan
memiliki struktur sistematik menggunakan regresi kuadrat terkecil (Brereton
2000). Peubah X dan Y tersebut didekomposisi menjadi dua matriks, yaitu
matriks skor dan loading.
Gambar 4 menunjukkan bahwa matriks X diuraikan menjadi matriks skor T,
matriks loading P′, dan matriks galat E, sedangkan matriks Y diuraikan menjadi
matriks skor U, matriks loading Q′, dan galat F. Kedua persamaan ini disebut
“hubungan luar‟. Hasil dari T dan P′ mendekati data spektrum, sedangkan hasil U
dan Q′ mendekati respon. Tujuan dari algoritma PLS adalah meminimumkan F
dengan terus menjaga korelasi antara X dan Y dalam hubungan dalam hubungan
U=BT (Gambar 4)(Lohninger 2004). Kebaikan suatu model klasifikasi dalam
metode PLSDA dapat dilihat dari nilai determination coefficient (R2), root mean
square error of calibration (RMSEC), dan root mean square error of prediction
(RMSEP). PLS-DA telah dilakukan pada model diskriminasi tanaman obat bangle,

10
temulawak, dan kunyit dalam rangka proses standardisasi dan kontrol kualitas
obat herbal (Rohaeti, 2015).

Gambar 4 Bagan prinsip PLS

3 METODE
Metode penelitian yang dilaksanakan meliputi analisis kualitatif dan
kuantitaif.Tahapan analisis yang dilakukan dengan pengambilan sampel temu
ireng, proses ekstraksi, analisis dengan KC-SM, dan pengolahan data dengan
pendekatan kemometrik (Lampiran 1).
Bahan
Temu ireng yang digunakan berasal dari 3 daerah di Jawa (Nagrak,
Cikabayan, dan Tawangmangu). Etanol 70% digunakan sebagai pelarut dalam
ekstraksi temu ireng. Etanol, bufer amonium asetat CuCl2.2H2O, neokuproin,
bufer amonium asetat pH 7, troloks, dan Artemia salina digunakan dalam
pengukian aktivitas biologis. Asam format dan asetonitril digunakan sebagai eluen
dalam analisis dengan KC-SM.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, rotary evaporator,
spektrofotometer, KC-SM Waters Xevo G2-S TOF, perangkat lunak MZmine,
perangkat statistika Minitab 14.0.

Prosedur
Penyiapan Bahan Baku
Sampel rimpang temu ireng yang digunakan pada penelitian berasal dari 3
daerah di Pulau Jawa yaitu Cikabayan, Nagrak, dan Tawangmangu. Daerah
Cikabayan memiliki ketinggian 200 mdpl, sedangkan Nagrak dan Tawangmangu

11
memiliki ketinggian 550 dan 600 mdpl. Pengambilan sampel dilaksanakan pada
bulan Oktober tahun 2013.
Setiap lokasi diambil 7 sampel rimpang temu ireng dan dijadikan sebagai
pengulangan tiap daerah asal sampel.Sampel rimpang temu ireng yang digunakan
dalam penelitian dicuci hingga bersih, diiris dan dikeringkan pada suhu 40 oC.
Rimpang kering tersebut kemudian dihaluskan dan disimpan.
Penetapan Kadar Air (AOAC 2005)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit, lalu
ditempatkan di dalam deksikator dan ditimbang massa cawan porselen. Setelah
itu, simplisia temu ireng ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen. Contoh beserta cawannya dioven pada suhu 105 oC selama 8 jam.
Setelah dioven, dimasukkan ke dalam deksikator kemudian ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali sampai didapat bobot tetap dengan selisih kurang dari 1
mg. Pekerjaan dilakukan triplo.
Kadar air ditentukan dengan persamaan:
Kadar air (%) =
100%
Keterangan:

A = bobot contoh awal (g)

B = bobot contoh kering (g).

Ekstraksi (BPOM 2005)
Ekstraksi simplisia temu ireng menggunakan teknik maserasi dengan
pelarut etanol 70%. Sebanyak 10 g simplisia temu ireng dan 100 mL etanol 70%
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan direndam selama 6 jam sambil sesekali
diaduk. Sampel direndam selama 24 jam dalam ruang gelap. Selanjutnya maserat
dipisahkan dengan menyaring filtrat menggunakan kertas saring. Setiap maserat
dari masing-masing sampel diuapkan dengan rotavapor penguap vakum pada suhu
400C hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak simpilisia yang telah pekat siap
digunakan untuk uji selanjutnya.
UJi Fitokimia (Harbone 1987)
Uji Flavonoid. Sebanyak 1 gram ekstak temu ireng, ditambahkan air panas
kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh
kemudian diambil sebanyak 10 ml, ditambah serbuk Mg 0,5 gram, 1 ml HCl
pekat, dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok dan diamati warna yang
terbentuk. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning, atau
jingga pada lapisan amil alkohol.
Uji Terpenoid dan Steroid. Ekstrak temu ireng dimaserasi dengan etanol
panas kemudian disaring dan residu ditambahkan eter. Filtrat ditambahkan 3 tetes
asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Larutan dikocok secara
perlahan. Uji positif terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau
ungu serta steroid ditandai terbentuknya dengan warna hijau atau biru.
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 gram ekstrak temu ireng dilarutkan dengan 5 ml
kloroform dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring. Ekstrak kloroform
dalam tabung reaksi dikocok dengan penambahan 10 tetes H2SO4 2 M. Lapisan
asam yang terbentuk ditetesi pada plat dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner,
dan Dragendrof yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih,
cokelat, dan merah jingga.

12
Uji Saponin. Sebanyak 1 gram ekstrak temu ireng ditambahkan air panas
kemudian dididihkan selama 5 menit lalu disaring. 10 ml filtrat dikocok dalam
tabung reaksi selama 10 detik untuk kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya
saponin ditunjukan dengan terbentuknya buih yang stabil.
Uji Tanin. Sebanyak 1 gram ekstrak temu ireng ditambahkan air panas
kemudian dididihkan dan disaring. Sebanyak 10 ml filtrat ditambah 10 ml FeCl3
1%. Uji positif ditandai munculnya warna hijau kehitaman.
Uji Kapasitas antioksidan dengan Metode Cuprac (Apak et.al, 2008)
Sebanyak 1 ml ekstrak temu ireng 200 ppm masing-masing daerah
dilarutkan dalam etanol 96% ditambahkan 1 ml CuCl2.2H2O 0,01 M; 1 ml
neokuproin etanolik 0,0075 M; 1 ml bufer amonium asetat pH 7 1M; dan 0.1 ml
akuades. Larutan didiamkan selama 30 menit dan diukur absorbans dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. Sebagai blanko digunakan
campuran larutan tanpa ekstrak. Kurva kalibrasi dibuat menggunakan larutan
troloks dengan berbagai konsentrasi. Kapasitas antioksidan dinyatakan dalam
μmol troloks/g serbuk kering.
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT (Krishnaraju et al. 2005)
Sebanyak 0.5 g telur Artemia salina yang sudah siap ditetaskan ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut yang sudah disaring
dan diaerasi. Telur dibiarkan selama 48 jam di bawah pencahayaan lampu agar
menetas sempurna. Telur yang telah menetas menjadi larva digunakan untuk uji
toksisitas. Sebanyak 25 mg ekstrak temu ireng dilarutkan dalam 25 ml air laut.
Kemudian larutan diencerkan dengan berbagai konsentrai. Apabila ekstrak tidak
larut ditambahkan DMSO. Ke dalam multiwell dimasukkan 10 ekor larva udang
dalam 1 ml air laut, dan 1 ml ekstrak. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali.
Multiwell ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi selama 24 jam. Nilai
konsentrasi letal 50% (LC50) ditentukan dengan menggunakan kurva hubungan
antara konsentrasi ekstrak (sumbu x) dengan rerata persen kematian larva udang
(sumbu y).
Analisis dengan KC-SM
Ekstrak rimpang temu ireng masing-masing dilarutkan dengan metanol.
Ekstrak terlarut kemudian disaring menggunakan milipore filter unit dengan
ukuran 0.45 mikron. Sebanyak 5 μL filtrat sampel diinjeksikan ke dalam sistem
instrumen LC-ESI-QTOF.
Analisis KC-SMdilakukan dengan menggunakan UPLC-SM dilengkapi
dengan pompa biner. KC ini dihubungkan dengan spektrometer massa QTOF
dilengkapi dengan sumber ionisasi ESI. SM yang digunakan system Xevo G2-S
TOF dengan mode ionisasi positif. Parameter ESI yang digunakan meliputi suhu
kapiler 120 ºC, dan gas pengabut 50 L/jam, sumber tegangan sebesar +2.9 kV.
Modus full scan dari m/z 100-500 dilakukan dengan suhu sumber 41°C. Kolom
UPLC yang digunakan Acquity UPLC HSS C18 1.8µm x 2.1x150 mm. Eluen yang
digunakan adalah 5mM ammonium format (A) dan 0.1% asam fromat dalam
asetonitril (B).Eluen diatur pada laju aliran total 0.4 mL/menit. Sistem elusi
dijalankan isokratik pada menit ke 0-0.5 perbandingan 95:5, menit ke 0.5-15 elusi
gradient linier pelarut A dari 95% hingga 5%, menit 15-17 elusi isokratik

13
perbandingan 5:95, menit ke 17-20 elusi gradient linier pelarut A dari 5% hingga
95%.

Pemrosesan Data Kromatogram KC-SM
Data kromatogram yang dihasilkan dikonversi menjadi format NetCDF
untuk mempermudah dalam mengolah data dengan MZmine. Data kromatogram
dari masing-masing ekstrak temu ireng dikumpulkan dan diolah melalui beberapa
tahap yaitu, filtering, baseline peak, peak detection, deisotope, aligment, gap
filling, dan normalisasi (Gambar 5). Hasil yang diperoleh setelah dilakukan
beberapa tahap merupakan data mass array dari kromatogram masing-masing
ekstrak yang meliputi 3 variabel yaitu m/z, waktu retensi, dan intensitas puncak.
Identifikasi senyawa metabolit yang terkandung dalam masing-masing
sampel ekstrak temu ireng dilakukan dengan mencocokkan m/z dari kromatogram
yang dihasilkan dengan massa akurat dari data base untuk senyawa metabolit yang
terkandung dalam Genus Curcuma. Klasifikasi kualitas sampel dilakukan dengan
penentuan senyawa metabolit penciri yang terdapat dalam sampel dengan metode
PCA dan PLS menggunakan program statistik untuk melihat pengaruh senyawa
penciri dugaan terhadap bioaktivitasnya.

Data KC-SM

Filtering

Baseline peak

Deteksi Puncak

Deisotope

Normalisasi

Gap Filling

Tabel Mass
Array

Aligment

Gambar 5 Pemrosesan Data Kromatogram KC-SM

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Fitokimia, Kadar Air, dan Kadar Abu
Rimpang temu ireng berasal dari 3 daerah yang memiliki kondisi geografis
yang berbeda-beda yakni Nagrak, Cikabayan, dan Tawangmangu. Rimpang
dikeringkan dan diperkecil ukurannya menjadi 100 mesh. Pengeringan rimpang
dilakukan agar rimpang dapat disimpan dan tidak mudah rusak akibat mikroba.
Dengan pengeringan maka kadar air akan kecil sehingga mikroba tidak dapat

14
tumbuh dan merusak rimpang. Kadar air, kadar abu, dan rendemen rimpang temu
ireng ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil kadar air, kadar abu, dan rendemen rimpang temu ireng dari tiga
daerah
Daerah
Cikabayan
Nagrak
Tawangmangu

Kadar air (%)
10.06 ± 1.53
8.34 ± 1.56
9.89 ±1.68

Kadar abu (%)
4.57 ± 0.09
6.47 ± 0.04
6.65 ± 0.32

Rendemen (%)
14.95 ± 1.86
14.48 ± 2.12
17.74 ± 2.04

Data kadar air, kadar abu, dan rendemen pada Lampiran 2, 3 dan 4

Kadar air rimpang temu ireng dari daerah Cikabayan, Nagrak, dan
Tawangmangu diperoleh kurang dari 11%. Kadar air daerah Cikabayan 10.06%,
Nagrak 8,34%, dan Tawangmangu 9.89%. Kadar air ini akan menjadi faktor daya
simpan ekstrak akibat kerusakan sampel oleh mikroba dan koreksi bobot pada saat
penentuan rendemen. Kadar air dari 3 rimpang menunjukan sekitar 10% yang
menunjukan daya simpan ekstrak cukup baik. Sampel yang telah diekstraksi dapat
disimpan dalam jangka waktu cukup lama untuk dapat dianalisis dan diuji
bioaktivitasnya. Jumlah mineral yang terkandung dalam bahan dapat ditentukan
dengan melihat kadar abu dari rimpangnya. Berdasarkan Tabel 1, temu ireng dari
daerah Tawangmangu lebih tinggi dibandingkan 2 daerah lainnya (6.65%).
Perbedaan kondisi pertumbuhan, pemupukan, waktu panen, teknik panen, dan
perlakuan setelah pemanenan akan mempengaruhi kadar abu dari suatu sampel.
Ekstraksi simplisia temu ireng dilakukan dengan teknik maserasi dengan
pelarut etanol 70%. Penggunaan teknik maserasi bertujuan mengambil semua
komponen bioaktif dalam temu ireng karena merupakan teknik ekstraksi cara
dingin sehingga komponen yang tidak tahan terhadap panas tidak rusak dan ikut
terbawa dalam ekstrak. Pelarut etanol 70% digunakan agar seluruh komponen
bioaktif baik komponen yang polar dan kurang polar dalam simplisia dapat larut.
Dari hasil rendemen pada Tabel 1, ekstrak etanol rimpang temu ireng dari daerah
Tawangmangu memiliki rendemen yang paling tinggi sebesar 17.74%. Komponen
bioaktif yang larut dari Tawangmangu memiliki jumlah yang lebih banyak
dibandingkan daerah Cikabayan dan Nagrak. Hal ini dapat dipengaruhi dari
keadaan geografis yang berbeda.
Hasil kandungan senyawa metabolit sekunder ekstrak temu ireng dapat
dilihat pada Tabel 2. Uji fitokimia ini dilakukan secara kualitatif dan hasilnya
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% temu ireng baik daerah Cikabayan,
Nagrak, dan Tawangmangu mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder
yaitu flavonoid, terpenoid, steroid, dan alkaloid.
Keberadaan flavonoid dapat terdeteksi dengan terbentuknya warna kuning
pada lapisan amil alkohol.Terpenoid dapat terdeteksi dengan terbentuknya warna
ungu ketika direaksikan dengan asam sulfat pekat, sedangkan steroid ditandai
terbentuknya dengan warna hijau atau biru. Keberadaan alkaloid terdeteksi dari
terbentuknya endapan saat direaksikan dengan pereaksi Dragendorf. Saponin dan
tannin tidak terdeteksi pada ekstrak etanol 70% temu ireng. Menurut
Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) rimpang temu ireng mengandung saponin,
flavonoid, dan polifenol disamping minyak atsiri. Selain itu penelitian
Erickkatulistiawan (2012) menyatakan terdapat saponin pada ekstrak etanol rimpang

15
temu ireng. namun baik rimpang dari Cikabayan, Nagrak, dan Tawangmangu
saponin tidak ditemukan. Hal ini dapat disebabkan adanya senyawa yang lebih
dominan sehingga kestabilan busa yang menunjukan saponin tidak terbentuk.

Tabel 2. Hasil Uji fitokimia ekstrak temu ireng
Senyawa
Flavonoid

Cikabayan
+++

Nagrak
++

Tawangmangu
++

Keterangan
(+)
terbentuk
warna
kuning
Terpenoid
++
+++
++++
(+) terbentuk warna ungu
Steroid
+
++
++
(+) terbentuk warna hijau
Saponin
(+) Bila terbentuk busa
permanen ± 15 menit
Alkaloid
+
+++
++
(+) bila terbentuk putih,
cokelat, dan merah jingga
Tanin
(+) bila terbentuk warna
hijau kehitaman
(+) pada kolom menunjukan teridentifikasi senyawa pada ekstrak dan (-) menunjukan tidak
teridentifikasipada ekstrak

Aktivitas Antioksidan dengan metode CUPRAC
Pengujian aktivitas antioksidan ekstak etanol 70% rimpang temu ireng
menggunakan metode CUPRAC. Pengukuran kapasitas antioksidan ekstrak etanol
70% etanol rimpang temu ireng diawali dengan memuat regresi dari standar
troloks. Regresi standar troloks yang dihasilkan y = 0.002x + 0.048 dan koefisien
regresi 0.967 (Lampiran 5). Kapasitas antioksidan masing-masing ekstrak temu
ireng dari 3 daerah diperoleh berdasarkan regresi dari standar troloks sehingga
kapasitas antioksidan dinyatakan dalam jumlah mol troloks per gram ekstrak (µ
mol troloks/g ekstrak). Hasil uji antioksidan ekstrak etanol 70% rimpang temu
ireng ditampilkan pada Gambar 6.

Kapasitas Antioksidan

1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
1
TAWANGMANGU

2

3

4

5

6

NAGRAK
CIKABAYAN

Gambar 6 Kapasitas antioksidan ekstrak temu ireng

7

16
Aktivitas antioksidan berdasarkan nilai kapasitas antioksidan dari ekstrak
etanol 70% rimpang temu ireng daerah Nagrak memiliki kapasitas antioksidan
paling tinggi dibandingkan daerah Cikabayan dan Tawangmangu. Kapasitas
antioksidan rerata temu ireng daerah Nagrak yaitu 567.74 ± 163.95µmol
troloks/g ekstrak, Cikabayan 472.03 ± 107.78 µmol troloks/g ekstrak, dan
Tawangmangu 501.72 ± 127.61 µmol troloks/g ekstrak. Sehingga urutan kapasitas
antioksidan rimpang temu ireng dari 3 daerah adalah Nagrak > Tawangmangu >
Cikabayan. Kandungan kurkuminoid dalam temu ireng diduga mempunyai sifat
sebagai antioksidan.
Berdasarkan hasil uji statistika ANOVA, kapasitas antioksidan rimpang
temu ireng dari 3 daerah tersebut tidak berbeda nyata (nilai P > 0.05). artinya
tidak ada perbedaan kapasitas antioksidan antar rimpang temu ireng masingmasing daerah. Hal ini menunjukan perbedaan lokasi tumbuhnya rimpang ini
tidak mempengaruhi kandungan senyawa yang berperan sebagai senyawa
antioksidan.
Aktivitas Toksisitas dengan BSLT
Metode skrining awal dalam uji toksisitas dari suatu bahan dapat dilakukan
uji terhadap larva udang Artemis salina Leach. Metode ini banyak digunakan
karena korelasi yang posit