Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dan Analisis Multivariat
KENDALI MUTU JAHE MENGGUNAKAN SIDIK JARI
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
DAN ANALISIS MULTIVARIAT
RESTU WIDYASTUTI
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRAK
RESTU WIDYASTUTI. Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dan Analisis Multivariat. Dibimbing oleh ETI
ROHAETI dan RUDI HERYANTO.
Jahe dikenal memiliki khasiat obat misalnya sebagai antioksidan, antiradang,
dan antikanker. Rimpang jahe banyak digunakan sebagai komponen dalam
berbagai sediaan obat herbal sehingga diperlukan ketersediaan metode untuk
menjamin mutu dan khasiatnya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi mutu
rimpang jahe gajah melalui pengujian aktivitas antioksidan, pemeriksaan pola
sidik jari kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), penetapan kandungan senyawa
utama, serta pembuatan model mutu ekstrak etanol rimpang jahe yang berasal dari
3 daerah, yaitu Ponorogo, Tangerang, dan Bogor. Semua sampel didapati
berpotensi sebagai antioksidan sangat kuat. Hasil analisis KCKT menunjukkan 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol sebagai senyawa dominan. Pengelompokan
berdasarkan kandungan senyawa dominan dan sidik jari KCKT menggunakan
analisis komponen utama menghasilkan kelompok I (Tangerang), kelompok II
(Ponorogo), dan kelompok III (Bogor). Model mutu yang dibentuk menggunakan
analisis diskriminan kuadrat terkecil parsial menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan jahe lebih ditentukan oleh komposisi keseluruhan senyawa
dibandingkan dengan senyawa dominan.
Kata kunci: analisis multivariat, antioksidan, jahe, KCKT, sidik jari
ABSTRACT
RESTU WIDYASTUTI. Quality Control of Ginger Using High Performance
Liquid Chromatography Fingerprint and Multivariate Analysis. Supervised by ETI
ROHAETI and RUDI HERYANTO
Ginger is known to have pharmacology effect such as antioxidant,
antiinflamation, and anticancer. The rhizome of ginger is widely used as
component in various herbal medicine preparations so that needed some methods
to guarantee its quality and pharmacology effect. The aim of this research was to
evaluate the quality of gajah ginger rhizome by antioxidant activity assay, high
performance liquid chromatography (HPLC) fingerprint pattern examination,
major compound content determination, and also quality model establishment of
ginger ethanol extracts from 3 areas, that is Ponorogo, Tangerang, and Bogor. All
samples were indeed potential as very strong antioxidant. The result of HPLC
analysis showed 6-, 8-, and 10-gingerol, also 6-shogaol as dominant compounds.
Grouping based on content of dominant compounds and HPLC fingerprint that
used principal component analysis resulted group I (Tangerang), group II
(Ponorogo), and group III (Bogor). The quality model that was formed using
partial least square discriminant analysis showed that antioxidant activity of
ginger was more defined by composition of all compounds than by its dominant
compounds.
Keywords: antioxidant, fingerprint, ginger, HPLC, multivariate analysis
KENDALI MUTU JAHE MENGGUNAKAN SIDIK JARI
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
DAN ANALISIS MULTIVARIAT
RESTU WIDYASTUTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi dan Analisis Multivariat
Nama
: Restu Widyastuti
NIM
: G44080048
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Eti Rohaeti, M.S.
NIP 19600807 198703 2 001
Rudi Heryanto, S.Si., M.Si.
NIP 19760428 200501 1 002
Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S.
NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyeleseikan penelitian serta skripsi dari kegiatan tersebut dengan judul
“Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
dan Analisis Multivariat”. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang tetap berada di
jalan-Nya hingga akhir zaman.
Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, ungkapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Ibu Dr. Eti Rohaeti, M.S. dan Bapak Rudi Heryanto, S.Si., M.Si. selaku
pembimbing yang telah membimbing, memberikan arahan, saran, dan dorongan
selama melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, Adik, dan Sahabat tercinta yang
telah memberikan dukungan moral dan material sehingga menjadi motivasi
penulis untuk berbuat yang terbaik. Terima kasih juga kepada Pak Eman, Pak
Kosasih, Pak Dede, Bu Nunung, dan seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik,
serta staf Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB atas fasilitas dan bantuan
yang diberikan selama penelitian.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Restu Widyastuti
RIWAYAT HIDUP
Restu Widyastuti, lahir di Ponorogo pada tanggal 4 Desember 1989. Penulis
merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Djaka Santoso
dan Ibu Misratun. Penulis memiliki satu adik perempuan bernama Rista Afina
Widyarkanti.
Penulis memulai pendidikannya di TK PGRI Prayungan (Ponorogo) pada
tahun 1994–1996. Kemudian melanjutkan ke SD Negeri 1 Prayungan (Ponorogo)
pada tahun 1996–2002, SMP Negeri 1 Jetis (Ponorogo) pada tahun 2002–2005,
dan SMA Negeri 2 Ponorogo pada tahun 2005–2008. Setelah lulus dari jenjang
pendidikan SMA, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima
di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi
anggota Ikatan Mahasiswa Kimia, anggota UKM Gentra Kaheman (2008/2009)
dan anggota UKM Catur (2008/2009). Bulan Juli-Agustus 2011, penulis
melaksanakan praktik lapangan di PT. Ajinomoto Indonesia Mojokerto.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 2
Bahan dan Alat ............................................................................................... 2
Metode............................................................................................................ 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Deskripsi Karakteristik Kimia Rimpang Jahe ................................................ 4
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Rimpang Jahe ..................................... 5
Analisis Kuantitatif Gingerol dan Shogaol Menggunakan KCKT ................ 6
Klasifikasi Rimpang Jahe Menggunakan PCA .............................................. 8
Analisis PLSDA untuk Model Mutu Ekstrak Jahe......................................... 9
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 11
Simpulan ....................................................................................................... 11
Saran .............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11
LAMPIRAN .......................................................................................................... 14
6
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi air-asetonitril pada elusi gradien KCKT .......................................... 3
2
Nilai IC50 ekstrak kasar rimpang jahe ................................................................ 5
3
Rerata kadar gingerol dan shogaol hasil KCKT dalam simplisia jahe .............. 7
4
Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan ............... 10
5
Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan .................. 10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Rerata kadar air, kadar abu, dan rendemen sampel rimpang jahe asal
Ponorogo ( ), Tangerang ( ), dan Bogor ( )................................................... 4
2
Plot skor PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan aktivitas antioksidan .... 6
3
Kromatogram KCKT standar 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol ............. 6
4
Kromatogram KCKT ekstrak kasar jahe Ponorogo 1 ........................................ 6
5
Struktur kimia 6-gingerol (a) dan 6-shogaol (b) ................................................ 7
6 Alur proporsi varians 4 komponen utama .......................................................... 8
7
Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan kadar
senyawa 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol .............................................. 8
8 Alur proporsi varians 7 komponen utama .......................................................... 9
9
Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan sidik jari
KCKT... .............................................................................................................. 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Bagan alir penelitian ........................................................................................ 15
2
Kadar air sampel rimpang jahe ........................................................................ 16
3
Kadar abu sampel rimpang jahe ....................................................................... 16
4
Rendemen ekstrak kasar rimpang jahe............................................................. 17
5
Kondisi geografis daerah asal jahe................................................................... 17
6
Standar mutu simplisia jahe kering berdasarkan SNI 01-7084-2005 .............. 18
7
Contoh foto rendemen ekstrak kasar rimpang jahe .......................................... 18
8
Contoh foto uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ................... 18
9
Data uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ............................... 19
10 Uji Duncan aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ......................... 26
11 Kromatogram ekstrak kasar rimpang jahe hasil KCKT ................................... 27
12 Data hasil KCKT ekstrak kasar rimpang jahe .................................................. 30
13 Penentuan kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol dalam simplisia
kering rimpang jahe ......................................................................................... 33
14 Uji Duncan kadar senyawa dominan rimpang jahe ......................................... 35
15 Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan ................ 38
16 Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan ................... 38
1
PENDAHULUAN
Obat-obatan
herbal
telah
banyak
dimanfaatkan selama ribuan tahun di negaranegara oriental seperti Cina dan Jepang,
bahkan saat ini telah menarik perhatian dunia.
Obat herbal lebih sering dimanfaatkan sebagai
produk jamu dan kosmetik, dikarenakan obat
herbal cenderung lebih aman dan memiliki
efek samping yang relatif lebih sedikit
daripada obat sintetis. Semakin banyaknya
penggunaan obat herbal tersebut kurang
diimbangi dengan pengawasan yang baik
terhadap kualitasnya sehingga menjadi
kendala untuk pengembangan dan modernisasi
produk jamu.
Belakangan ini, semakin banyak jamu
berkualitas rendah dan adanya pemalsuan
dengan tanaman lain yang lebih murah dari
genus yang sama meskipun tidak diketahui
efeknya. Hal tersebut dapat memengaruhi
keamanan dan kemanjuran obat-obatan herbal
(Jing et al. 2011). Kandungan kimia dalam
tanaman herbal juga dapat beragam karena
perbedaan musim panen, asal-usul tanaman,
proses pengolahan, dan faktor lainnya (Liang
et al. 2004). Pembentukan sistem kontrol
kualitas tanaman obat yang canggih dan
efektif diperlukan untuk menjamin mutu
produk jamu yang di antaranya meliputi
keaslian, keamanan, dan kemanjuran tanaman
obat (Chen 2006).
Jahe termasuk famili Zingiberaceae yang
dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis.
Jahe memiliki 3 varietas, yaitu jahe gajah, jahe
emprit, dan jahe merah. Rimpang jahe gajah
lebih besar dan gemuk, berwarna kuning,
berserat halus dan sedikit, serta beraroma
maupun berasa kurang tajam. Jahe emprit
ruasnya lebih kecil, agak rata, berserat halus,
serta beraroma dan berasa lebih tajam. Jahe
merah rimpangnya berwarna merah dan lebih
kecil daripada jahe emprit, berserat kasar, dan
beraroma sangat tajam. Jahe memiliki efek
farmakologis sebagai obat dan mampu
memperkuat khasiat obat lain. Jahe sering
digunakan sebagai obat batuk, masuk angin,
diare, rematik, anti-mual, radang tenggorokan,
menghilangkan rasa sakit, asma, dan lainnya
(Harmono dan Andoko 2005).
Komponen senyawa kimia dalam jahe
terdiri dari minyak menguap, minyak tidak
menguap (oleoresin), dan pati. Minyak
menguap
merupakan komponen
yang
memberi bau khas, sedangkan komponen
oleoresin dalam minyak tidak menguap
memberi rasa pahit dan pedas. Komponen
utama dari oleoresin adalah gingerol
(C17H26O4), shogaol (C17H24O3), dan resin
(Chrubasik dan Pitler 2005). Berbagai
penelitian
membuktikan
bahwa
jahe
mempunyai sifat antioksidan dan antikanker.
Oleoresin jahe yang mengandung gingerol,
shogaol, dan zingeron memiliki sifat
antioksidan melebihi α-tokoferol (Kikuzaki
dan Nakatani 1993).
Jahe yang digunakan sebagai bahan baku
industri terkadang merupakan jahe berkualitas
rendah dan bukan jahe murni, melainkan
campuran dari beberapa varietas jahe atau
bahkan dengan tanaman lain yang memiliki
ciri hampir sama dengan jahe. Untuk
menghilangkan masalah tersebut, diperlukan
kontrol kualitas jahe yang ditekankan pada
kandungan kimianya. Identifikasi morfologi
dan mikroskopis dapat digunakan untuk
menentukan keaslian tanaman jahe. Selain itu,
ciri fisik dan kimia yang ditemukan juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas
tanaman jahe dari standar kualitas yang ada
(Jiang et al. 2006). Penentuan unsur kimia dan
senyawa aktif yang penting juga diperlukan
untuk mencerminkan kualitas intrinsik
tanaman jahe, konsistensi, dan kemanjurannya
(Ernst 2002).
Penentuan mutu tanaman obat berdasarkan
sidik jari (fingerprint) telah dilakukan dengan
berbagai metode seperti kromatografi lapis
tipis (TLC), kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT),
elektroforesis
kapiler
(CE),
spektroskopi
inframerah
(FTIR),
dan
spektrometri resonans magnetik inti (NMR).
Darusman et al. (2007) pernah menerapkan
analisis FTIR untuk mendapatkan sidik jari
sediaan ekstrak kunyit, temu lawak, jahe, temu
kunci, dan cabe jawa. Metode analisis HPLC
digunakan oleh Tao et al. (2011) untuk
mendapatkan pola sidik jari dari obat herbal
Cina (Gastrodia). Metode analisis yang sama
(HPLC) dilakukan oleh Wahyuni (2010) untuk
validasi sidik jari ekstrak Phyllanthus niruri L.
Umam (2011) juga menerapkan metode FTIR
dan HPLC untuk diferensiasi tanaman jahe
melalui sidik jari yang diperoleh.
Metode yang digunakan untuk klasifikasi
dan penentuan kualitas ekstrak jahe dalam
penelitian ini adalah sidik jari kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Keunggulan dari
metode
sidik
jari
KCKT
adalah
kemampuannya untuk mendeteksi komponen
kimia dalam tanaman obat, menentukan
komposisi dari semua komponen dalam
sampel yang sesuai untuk setiap area puncak
sidik jari, mengidentifikasi jenis obat yang
sama dari koleksi yang berbeda, dan
mengklasifikasikannya berdasarkan tingkat
2
kesamaan sidik jari (Tao et al. 2011). Metode
sidik jari KCKT untuk evaluasi kualitas
tanaman obat telah digunakan secara luas
karena sangat selektif, sensitif, dan memiliki
presisi yang bagus sehingga secara kimia
dapat mewakili karakteristik dari obat-obatan
herbal yang diselidiki (Liang et al. 2004).
Sidik jari KCKT sangat rumit sehingga
perbedaan antara kromatogram tidak tampak
dengan jelas. Oleh karena itu, diperlukan
suatu metode kemometrik untuk mendapatkan
informasi tersembunyi yang bersifat kualitatif
dan kuantitatif dari daerah sidik jari tersebut.
Metode kemometrik yang digunakan ialah
analisis multivariat menggunakan principal
component analysis (PCA) dan partial least
square discriminant analysis (PLSDA).
Metode ini memainkan peran penting dalam
diskriminasi dan klasifikasi tanaman obat
(Jing et al. 2011). Selain itu, metode berbasis
sidik jari KCKT ini digunakan parameter lain
sebagai indikator baik tidaknya mutu suatu
ekstrak, yaitu nilai bioaktivitasnya (aktivitas
antioksidan). Penggunaan metode kemometrik
tersebut diharapkan mampu mengelompokkan
tanaman obat berdasarkan kemiripan pola
sidik jarinya dan mengekstrak informasi
tersembunyi dari ekstrak yang diuji.
Penelitian
ini
bertujuan
membuat
kromatogram sidik jari KCKT, menentukan
kandungan senyawa dominan, dan menguji
aktivitas antioksidan ekstrak kasar jahe dari 3
daerah, yaitu Ponorogo, Tangerang, dan
Bogor. Analisis PCA terhadap sidik jari
KCKT
dilakukan
untuk
melihat
pengelompokan antardaerah asal jahe.
Analisis PLSDA juga dilakukan untuk
menduga
keterkaitan
antara
aktivitas
antioksidan jahe dengan kandungan senyawa
dominan maupun pola sidik jarinya. Jahe yang
digunakan dari varietas jahe gajah yang
diekstrak menggunakan pelarut etanol dengan
cara ekstraksi ultrasonik.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain rimpang jahe gajah
yang berasal dari 3 daerah (Bogor, Tangerang,
dan Ponorogo) masing-masing 3 sampel
dengan rimpang yang berbeda, standar
campuran (6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6shogaol), etanol 96%, etanol pa, 1.1-difenil-2pikrilhidrazil (DPPH), metanol pa, dan fase
gerak KCKT (air dan asetonitril).
Alat yang digunakan antara lain
spektrofotometer Microplate Reader BioRad
model 3550; perangkat HPLC Hitachi L-2420
yang dilengkapi dengan detektor ultraviolet
(UV), sistem pompa gradien, dan sistem
injeksi loop; kolom Shimadzu C18, 4.6 x 250
mm, 5μm, 120 Å; membran filter 0.45 μm;
neraca analitik; oven; tanur; perangkat
ekstraksi ultrasonik; penguap putar; perangkat
keras komputer; serta perangkat lunak The
Unscrambler X dan SAS versi 9.0.
Metode
Tahapan Penelitian
Secara umum, penelitian ini terdiri dari
tiga tahap. Tahap pertama, yaitu preparasi
simplisia dan ekstrak kasar jahe. Pertamatama, jahe segar dikeringkan, dihaluskan, dan
ditentukan kadar air serta abunya. Selanjutnya,
simplisia jahe diekstrak menggunakan teknik
ekstraksi ultrasonik dengan pelarut etanol.
Tahap kedua, yaitu uji aktivitas antioksidan
ekstrak jahe menggunakan metode DPPH dan
analisis ekstrak jahe menggunakan KCKT.
Tahap terakhir, yaitu pengolahan data uji
aktivitas antioksidan dan analisis KCKT
dengan
metode
PCA
dan
PLSDA
menggunakan
perangkat
lunak
The
Unscrambler X hingga diperoleh kelas jahe
dan model mutu ekstrak jahe. Bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Preparasi Sampel (Daryono 2010)
Jahe segar dibersihkan dari kotoran,
kemudian diiris tipis-tipis dan dikeringkan
dengan cara dijemur dan diangin-angikan.
Setelah kering, jahe kemudian digiling hingga
diperoleh simplisia jahe. Simplisia jahe
dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C
hingga kadar airnya kurang dari 10%.
Penentuan Kadar Air (WHO 1998)
Kadar air simplisia jahe ditentukan dengan
gravimetri evolusi tidak langsung. Cawan
porselin dikeringkan pada suhu 105 °C selama
30 menit dan didinginkan dalam eksikator.
Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin yang
sudah diketahui bobotnya. Sampel kemudian
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C
hingga diperoleh bobot konstan (perbedaan <
5 mg). Kadar air diperoleh dari nisbah selisih
bobot
awal
dengan
bobot
sampel
setelahdikeringkan terhadap bobot sampel
sebelum dikeringkan.
Kadar air
100
3
Ket:
A = bobot sampel sebelum dikeringkan
B = bobot sampel setelah dikeringkan
Penentuan Kadar Abu (WHO 1998)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin yang
sudah dikeringkan pada suhu 105 °C selama
30 menit dan diketahui bobotnya. Cawan
dipanaskan sampai sampel tidak berasap
kemudian dipindahkan ke dalam tanur dan
dipanaskan pada suhu 690 °C sampai semua
karbon berwarna keabuan hilang. Cawan
kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar
abu diperoleh dari nisbah bobot abu dengan
bobot sampel.
bobot abu
Kadar abu
100
bobot sam el
Ekstraksi Jahe (BPOM 2005, Anwar 2011)
Simplisia jahe dari 3 daerah (Bogor,
Tangerang, dan Ponorogo) diekstraksi dengan
rasio bahan:pelarut adalah 1:5. Sebanyak 20 g
simplisia jahe dicampur dengan 100 mL
etanol 96% ke dalam labu erlenmeyer 250
mL. Campuran kemudian diekstraksi pada
suhu 40 °C dengan gelombang ultrasonik 42
kHz selama 15 menit. Maserat disaring ke
dalam erlenmeyer lain, sedangkan ampas
diperlakukan sama sebanyak 2 kali ekstraksi.
Hasil ekstraksi kemudian dipekatkan dengan
penguap putar pada suhu 40 °C hingga
diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang
diperoleh ditentukan % rendemennya.
Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH
(Juarez et al. 2011).
Sebanyak 100 µL ekstrak dengan
konsentrasi 1.5625, 3.125, 6.25, 12.5, 25, 50,
dan 100 µg/mL ditambah dengan 100 µL
larutan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)
125 µM dalam etanol pa. Setelah itu larutan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 °C.
Absorbansi sampel dibaca pada panjang
gelombang
517
nm
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Larutan yang hanya
mengandung DPPH digunakan sebagai
kontrol negatif. Aktivitas penangkapan DPPH
dihitung berdasarkan persamaan:
ktivitas
sam el
100
Nilai konsentrasi penghambatan 50% (IC50)
dihitung
berdasarkan
kurva
kalibrasi
menggunakan
hasil
persen
aktivitas
penangkapan DPPH dan log konsentrasi
larutan ekstrak. IC50 menunjukkan nilai
konsentrasi sampel yang diperlukan untuk
menghambat 50% radikal bebas DPPH.
Analisis Menggunakan KCKT (Lee et al.
2007)
Larutan standar campuran disiapkan
dengan melarutkan masing-masing 10.0 mg
senyawa dalam 25 mL metanol pa. Kemudian
larutan diencerkan dalam labu takar 5 ml
hingga diperoleh konsentrasi 50.0 µg/mL (6gingerol), 25.0 µg/mL (8-gingerol), 50.0
µg/mL (10-gingerol), dan 50.0 µg/mL (6shogaol). Selanjutnya larutan standar diambil
masing-masing 1 mL untuk dicampur,
kemudian disaring melalui membran filter
0.45 µm dan ditempatkan dalam botol kecil.
Untuk pembuatan larutan sampel, ekstrak jahe
dari 3 daerah (Bogor, Tangerang, dan
Ponorogo) ditimbang sebanyak 25 mg lalu
dilarutkan dalam 5 mL metanol pa hingga
diperoleh
konsentrasi
5000
µg/mL.
Selanjutnya larutan disaring melalui membran
filter 0.45 µm dan ditempatkan dalam botol
kecil. Larutan standar dan sampel yang telah
disiapkan kemudian dianalisis menggunakan
KCKT. Kolom yang digunakan adalah
Simadzu C18, 4.6 x 250 mm, 5μm, 120 Å.
Suhu kolom dijaga konstan sebesar 40 °C.
Detektor yang digunakan adalah UV pada
panjang gelombang 280 nm. Laju alir fase
gerak 1 mL/menit. Volume larutan yang
diinjeksikan adalah 20 µL. Fase gerak yang
digunakan adalah air-asetonitril dalam modus
gradien seperti disajikan pada Tabel 1.
Pertama-tama dilakukan injeksi tunggal dari
pelarut ekstrak (metanol), kemudian larutan
standar dan sampel. Jumlah puncak yang
muncul pada kromatogram setiap ekstrak
dihitung. Data sidik jari KCKT masingmasing ekstrak dianalisis dan dibedakan
berdasarkan jumlah puncak komponen dan
waktu retensinya.
Tabel 1 Komposisi air-asetonitril pada elusi
gradien KCKT
Waktu (menit)
% air
% asetonitril
0
60
40
10
60
40
40
10
90
40.5
0
100
45
0
100
45.5
60
40
50
60
40
Analisis Multivariat (Darusman et al. 2007)
Data yang meliputi kadar senyawa
dominan, waktu retensi, dan area sidik jari
KCKT diolah dengan PCA dan PLSDA
menggunakan
perangkat
lunak
The
4
kadar air kecil akan memiliki masa simpan
yang lebih lama. Jika kadar air tinggi, maka
akan cepat rusak karena ditumbuhi kapang
dan organisme lainnya. Tinggi rendahnya
kadar air juga berpengaruh pada proses
ekstraksi. Jika kadar air tinggi, maka zat-zat
yang larut air seperti karbohidrat, protein,
resin, dan gom akan ikut terekstraksi sehingga
dapat memengaruhi jumlah dan komposisi
komponen kimia dari rendemen yang
diperoleh (Daryono 2010). Oleh karena itu,
simplisia yang akan diproses lebih lanjut
sebaiknya memiliki kadar air lebih kecil
daripada standar mutu yang ditetapkan, yaitu
SNI 01-7084-2005 (Lampiran 6). Kadar air
simplisia jahe asal Ponorogo dan Tangerang
telah memenuhi standar mutu tersebut,
sehingga memiliki mutu lebih baik daripada
simplisia jahe asal Bogor.
15
Jumlah (%)
Unscrambler X. Analisis menggunakan PCA
berfungsi
untuk
membuat
pola
pengelompokan ekstrak berdasarkan kadar
senyawa dominan dan sidik jari KCKT yang
diperlihatkan pada plot skor dua dimensi. Plot
skor untuk dua komponen utama (PC) pertama
biasanya paling berguna dalam analisis karena
kedua PC ini mengandung paling banyak
keragaman dalam data. PLSDA berfungsi
untuk membuat model mutu ekstrak. Model
ini digunakan untuk menduga keterkaitan
antara aktivitas antioksidan dengan senyawa
dominan dan sidik jari KCKT dari ekstrak.
Dalam PLSDA, data kadar senyawa dominan
dan area sidik jari digunakan sebagai peubah
bebas, sedangkan untuk data responnya
digunakan peubah tak bebas yang berunsurkan
0 dan 1. Peubah tak bebas ini diturunkan dari
nilai aktivitas antioksidan ekstrak. Jika nilai
IC50 sampel < IC50 standar, maka diberikan
nilai 1, dan sebaliknya diberikan nilai 0.
Pemberian nilai 0 dan 1 ini juga bisa
dilakukan dari hasil pengelompokan aktivitas
antioksidan, yaitu ekstrak dengan kelompok
IC50 lebih kecil diberikan nilai 1 dan
sebaliknya diberikan nilai 0. Pemodelan
dilakukan dengan memanfaatkan sarana
regresi multivariat PLS.
10
5
0
Kadar air
Kadar abu
Rendemen
Karakteristik kimia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Karakteristik Kimia Rimpang
Jahe
Analisis karakteristik kimia rimpang jahe
gajah meliputi kadar air, kadar abu, dan
rendemen ekstrak kasar yang reratanya
disajikan pada Gambar 1 dan data lengkapnya
berturut-turut pada Lampiran 2–4. Kadar air
paling tinggi ditunjukkan oleh jahe asal Bogor,
disusul jahe asal Ponorogo, kemudian
Tangerang.
Perbedaan
ini
umumnya
dipengaruhi
oleh
proses
pascapanen
(pencucian, pengeringan, penggilingan, dan
penyimpanan) (Rafi et al. 2012). Selain itu,
iklim dan curah hujan juga berpengaruh
terutama pada jahe segar. Kondisi geografis
daerah asal jahe dapat dilihat pada Lampiran
5. Iklim basah dengan curah hujan sangat
tinggi seperti daerah Bogor mengakibatkan
tanaman jahe memiliki kadar air lebih besar.
Sementara iklim dengan 2 musim (penghujan
dan kemarau) seperti daerah Ponorogo dan
Tangerang mengakibatkan jahe memiliki
kadar air lebih kecil.
Kadar air penting untuk proses pengolahan
jahe lebih lanjut. Simplisia jahe kering dengan
Gambar 1 Rerata kadar air, kadar abu, dan
rendemen sampel rimpang jahe
asal Ponorogo ( ), Tangerang
( ), dan Bogor ( )
Kadar abu menunjukkan kandungan
mineral dalam jahe. Kadar abu jahe asal
Ponorogo paling tinggi, disusul jahe asal
Bogor, kemudian Tangerang. Sampel jahe asal
Tangerang memiliki kadar abu lebih kecil
daripada standar mutu, sedangkan kadar abu
jahe asal Ponorogo dan Bogor lebih besar dari
standar mutu yang ada. Perbedaan kadar abu
umumnya dipengaruhi oleh jenis tanah dan
ketersediaan hara di daerah asal jahe (Rafi et
al. 2012). Ponorogo merupakan daerah dengan
banyak
pegunungan
kapur
sehingga
mengandung banyak mineral terutama
kalsium. Oleh karena itu, jahe asal Ponorogo
memiliki kadar abu paling tinggi. Kondisi
geografis
daerah
Bogor
merupakan
pegunungan yang subur dengan jenis tanah
latosol,
sedangkan
daerah
Tangerang
merupakan dataran rendah juga dengan jenis
tanah latosol. Jenis tanah ini tidak banyak
mengandung mineral, sehingga kadar abunya
lebih rendah.
5
Ekstraksi simplisia jahe untuk memperoleh
ekstrak kasar berupa oleoresin dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu penyiapan bahan,
jenis pelarut, metode dan kondisi proses
ekstraksi, serta proses pemisahan/penguapan
pelarut ekstrak (Purseglove et al. 1981).
Dalam penelitian ini digunakan ekstraksi
ultrasonik yang memanfaatkan gelombang
ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz.
Keuntungan metode ini antara lain waktu
proses lebih singkat, produk lebih banyak, dan
kualitas produk lebih baik (Widjanarko et al.
2011).
Pelarut etanol digunakan untuk ekstraksi
karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu
titik didihnya rendah, aman, tidak beracun,
dan tidak mudah terbakar. Meskipun
demikian, etanol juga memiliki kelemahan,
yaitu larut di dalam air sehingga dapat
melarutkan komponen larut air seperti
karbohidrat, protein, dan gom sehingga
kemurnian oleoresin berkurang. Untuk
memenuhi standar, ekstrak oleoresin harus
diuapkan pelarutnya sampai batas yang tetap
untuk setiap jenis pelarut. Pemisahan pelarut
dilakukan dengan penguapan vakum pada
suhu sekitar 40 °C untuk menghindari
kerusakan senyawa dan penguapan minyak
atsirinya (Purseglove et al. 1981).
Oleoresin jahe yang diperoleh berbentuk
cairan sangat kental dan berwarna cokelat tua
atau gelap dengan aroma khas jahe (Lampiran
7). Rendemen yang diperoleh berbeda-beda
untuk setiap sampel, tetapi jumlahnya relatif
sama untuk setiap daerah. Rendemen yang
diperoleh berkisar antara 6.74 sampai 7.81%
dan masih memenuhi standar mutu yang ada
untuk penggunaan pelarut etanol. Rendemen
ini cukup besar, meskipun pada penelitian
Daryono (2010), penggunaan pelarut etanol
70% dan waktu ekstraksi 3 jam menghasilkan
rendemen yang lebih besar (9.98%). Meskipun
demikian, penggunaan ekstraksi ultrasonik
dengan pelarut etanol 96% menghasilkan
rendemen yang lebih besar dibandingkan
dengan pelarut n-heksana yang hanya
menghasilkan rendemen 1.58% pada jahe
kering dan 1.13% pada jahe basah (Daryono
2010). Rendemen tidak terlalu dipengaruhi
oleh kondisi geografis daerah asal jahe karena
besarnya relatif sama. Namun, kemiripan
jumlah rendemen tidak selalu menunjukkan
kemiripan kandungan kimianya, sehingga
perlu dilakukan analisis lebih lanjut.
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar
Rimpang Jahe
Analisis aktivitas antioksidan ekstrak kasar
jahe dilakukan menggunakan metode DPPH
karena mudah, cepat, dan sensitif. Larutan
DPPH berwarna ungu dan mengabsorpsi kuat
pada panjang gelombang 517 nm. Antioksidan
bereaksi dengan DPPH dengan cara
menyumbangkan atom hidrogen atau elektron
sehingga mengubah DPPH ke bentuk DPPHH (hidrazina). Tingkat penghilangan warna
menunjukkan potensi peredaman radikal
bebas dari senyawa antioksidan. Pada waktu
bereaksi, larutan mengalami perubahan warna
dari ungu ke kuning (Lampiran 8), dan
intensitas warna bergantung pada kemampuan
antioksidan (Semuel 2008).
Uji
aktivitas
antioksidan
melalui
penentuan nilai IC50 menunjukkan rerata nilai
IC50 jahe asal Bogor lebih besar daripada jahe
asal Ponorogo dan Tangerang (Tabel 2). Data
lengkap uji aktivitas antioksidan ini dapat
dilihat pada Lampiran 9. Nilai IC50 semua
sampel berkisar antara 9.34 sampai 21.13
µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
etanol rimpang jahe berpotensi sebagai
antioksidan sangat kuat karena memiliki nilai
IC50 di bawah 50 µg/mL (Jun et al. 2003). IC50
merupakan
konsentrasi
yang
dapat
menghambat 50% radikal bebas. Semakin
kecil nilai IC50, aktivitas penghambatan
radikal bebas dari ekstrak semakin bagus.
Tabel 2 Nilai IC50 ekstrak kasar rimpang jahe
Sampel
Nilai IC50
Rerata IC50*
d
Ponorogo 1
11.23
Ponorogo 2
11.29d
10.66b
e
Ponorogo 3
9.46
Tangerang 1
10.94d
Tangerang 2
9.34e
10.39b
d
Tangerang 3
10.87
Bogor 1
21.13a
Bogor 2
19.48b
19.46a
c
Bogor 3
17.76
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan).
Aktivitas antioksidan pada tanaman jahe
disebabkan
oleh
berbagai
molekul
penghambat radikal bebas seperti fenol,
flavonoid, vitamin, dan terpenoid (Cai et al.
2003). Berbagai penyusun polifenolik dalam
tanaman jahe merupakan antioksidan yang
efektif secara in vitro dibandingkan dengan
vitamin C dan E. Senyawa dalam jahe yang
6
diduga paling aktif sebagai antioksidan adalah
6-gingerol dan 6-shogaol (Suhaj 2004).
Antioksidan alami cenderung aman dan juga
memiliki potensi sebagai antivirus, antiradang,
antikanker, antitumor, dan memiliki sifat
hepatoprotektif (Lim dan Murtijaya 2007).
Uji Duncan nilai IC50 digunakan untuk
melihat pengelompokan aktivitas antioksidan
di antara ketiga daerah. Hasil uji menunjukkan
rerata nilai IC50 berbeda nyata untuk daerah
Bogor dan tidak berbeda nyata untuk daerah
Ponorogo dan Tangerang (Lampiran 10). Hasil
dikatakan berbeda nyata jika nilai Pr < selisih
rata-rata tiap perlakuan. F hitung > F tabel
artinya menolak hipotesis bahwa rata-rata
antarperlakuan yang dicobakan sama. Nilai
0.05 merupakan taraf signifikansi dan diberi
simbol
atau α yang dinyatakan dalam
proporsi atau persentase, sedangkan nilai (1α)100
disebut taraf ke ercayaan. Jika α
sebesar 0.05 atau 5% berarti sama dengan
menentukan taraf kepercayaan sebesar (10.05)=0.95 atau 95% (Winer 1971). Uji
Duncan menghasilkan 2 kelompok jahe, yaitu
kelompok I (Bogor) dan kelompok II
(Tangerang dan Ponorogo).
Pengelompokan aktivitas antioksidan
menggunakan PCA menghasilkan plot skor 2
dimensi (Gambar 2), yang menunjukkan 2
kelompok aktivitas antioksidan. Kelompok I
memiliki nilai IC50 lebih besar, yaitu jahe asal
Bogor dan kelompok II memiliki nilai IC50
lebih kecil, yaitu jahe asal Tangerang dan
Ponorogo. Berdasarkan aktivitas antioksidan,
jahe kelompok II memiliki mutu lebih baik.
Pengelompokan
aktivitas
antioksidan
berdasarkan PCA telah sesuai dengan uji
Duncan.
I
II
Gambar 2 Plot skor PCA pada
pengelompokan jahe
berdasarkan aktivitas
antioksidan
Analisis Kuantitatif Gingerol dan Shogaol
Menggunakan KCKT
Analisis KCKT dilakukan terhadap seluruh
sampel ekstrak kasar jahe menggunakan
standar campuran yang berisi 6-, 8-, dan 10gingerol, serta 6-shogaol dengan konsentrasi
berturut-turut 50, 25, 50, dan 50 µg/mL. Fase
diam hidrofobik (C18) digunakan dengan fase
gerak air dan asetonitril dalam modus gradien
yang mengelusi selama 35 menit. Setiap
sampel diukur 1 kali sehingga diperoleh 9
kromatogram
(Lampiran
11).
Contoh
kromatogram standar dan sampel disajikan
pada Gambar 3 dan 4. Berdasarkan
kromatogram standar, waktu retensi 6-, 8-, dan
10-gingerol, serta 6-shogaol berturut-turut
12.697, 22.847, 29.683, dan 24.307 menit.
Gambar 3 Kromatogram KCKT standar 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta
6-shogaol
Gambar 4 Kromatogram KCKT ekstrak kasar
jahe Ponorogo 1
Kromatogram
seluruh
sampel
memperlihatkan
puncak-puncak
yang
bentuknya mirip satu sama lain dan hanya
berbeda pada besarnya area dan waktu retensi
(Lampiran 11). Perbedaan pola sidik jari dari
tanaman yang sejenis pada umumnya tidak
kasatmata. Dengan alat KCKT, waktu retensi
dan area dari puncak-puncak kromatogram
dapat direkam sehingga menghasilkan banyak
data. Data sidik jari KCKT dapat dilihat pada
Lampiran 12. Data yang diperoleh memiliki
kisaran waktu retensi dari 2.740 sampai
34.023 menit. Waktu retensi untuk senyawa 6, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol pada
seluruh sampel berturut-turut berkisar pada
12.6, 22.8, 29.6, dan 24.3 menit. Area sidik
jari berjumlah sekitar 87–96% dari total area
keseluruhan puncak kromatogram. Senyawa
yang mendominasi kromatogram adalah 6gingerol dengan jumlah sekitar 30–57% dari
total area, sedangkan 6-shogaol memiliki
jumlah sekitar 9–17% dari total area. Struktur
kimia 6-gingerol dan 6-shogaol ditunjukkan
oleh Gambar 5 (Chrubasik dan Pitler 2005).
7
Tabel 3 Rerata kadar gingerol dan shogaol
hasil KCKT dalam simplisia jahe
(a)
(b)
Sampel
Gambar 5 Struktur kimia 6-gingerol (a) dan
6-shogaol (b)
Perbedaan waktu retensi dipengaruhi oleh
kepolaran senyawa, struktur kimia senyawa,
dan fase gerak KCKT. Pelarut ekstrak untuk
analisis KCKT ialah metanol murni, sehingga
larutan bersifat polar (Ramadhan dan Phaza
2007). Pada kondisi awal injeksi, komposisi
air lebih besar dari asetonitril, sehingga
senyawa-senyawa yang bersifat polar seperti
6-gingerol terdeteksi lebih awal. Pada tahap
akhir, komposisi asetonitril menjadi lebih
besar dari air. Hal ini menyebabkan senyawasenyawa yang bersifat kurang polar seperti 10gingerol terdeteksi lebih akhir. Senyawa 8gingerol dan 6-shogaol memiliki kepolaran
yang hampir sama sehingga memiliki waktu
retensi yang berdekatan.
Kepolaran keempat senyawa tersebut
dipengaruhi oleh jumlah atom oksigen dan
panjang rantainya. Semakin banyak atom
oksigen pada senyawa, maka kepolaran akan
meningkat. Sama dengan senyawa yang
berantai pendek dan tidak bercabang, maka
akan bersifat lebih polar. Oleh karena itu,
senyawa lebih polar akan terdeteksi lebih awal
mengikuti komposisi fase gerak, sedangkan
senyawa kurang polar akan terdeteksi lebih
akhir.
Jahe memiliki kandungan senyawa dalam
jumlah tertentu yang dapat menjadi acuan
kualitas jahe. Senyawa tersebut dapat
merupakan senyawa penanda, senyawa
dengan efek farmakologi paling bagus, atau
senyawa yang paling berpengaruh terhadap
senyawa lain yang dicampurkannya. Sejauh
ini, senyawa yang diketahui sebagai
komponen utama pada jahe adalah gingerol
dan shogaol. Gingerol merupakan senyawa
utama pembentuk rasa pedas pada jahe,
sedangkan shogaol merupakan senyawa
pembentuk rasa pahit pada jahe (Bhattarai et
al. 2001). Hasil penentuan kadar 6-, 8-, dan
10-gingerol, serta 6-shogaol menggunakan
KCKT disajikan pada Tabel 3 untuk reratanya
dan Lampiran 13 untuk data lengkap serta
perhitungannya.
Ponorogo
Tangerang
Rerata jumlah analit dalam simplisia jahe
(mg/g)*
68610gingerol gingerol shogaol gingerol
14.92b
2.30a
2.99a
3.95a
22.03a
1.86b
3.02a
c
ab
a
0.75b
Bogor
10.23
1.90
3.29
3.63a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan).
*
Data memperlihatkan 6-gingerol sebagai
senyawa paling dominan, sedangkan 8gingerol merupakan senyawa dengan jumlah
paling kecil dari ekstrak jahe yang dianalisis.
Konsentrasi senyawa 6-gingerol dan 6shogaol sesuai dengan rentang konsentrasi
yang dilaporkan oleh Suhaj (2004), yaitu 130–
7138 µg/mL untuk 6-gingerol dan 40–330
µg/mL untuk 6-shogaol. Uji Duncan
menunjukkan senyawa 6-gingerol berbeda
nyata untuk semua daerah, 8-gingerol dan 6shogaol tidak berbeda nyata untuk semua
daerah, dan 10-gingerol berbeda nyata untuk
Tangerang dan tidak berbeda nyata untuk
Ponorogo dan Bogor (Lampiran 14). Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa 6- dan 10gingerol memiliki jumlah yang lebih
bervariasi dibandingkan dengan 8-gingerol
dan 6-shogaol.
Variasi kadar senyawa pada jahe umumnya
dipengaruhi
oleh
variasi
lingkungan
pertumbuhan, kondisi geografis (iklim, jenis
tanah, dan ketersediaaan hara), waktu panen,
dan
proses
pengolahan
pascapanen
(pencucian,
pengeringan,
penggilingan,
penyimpanan, dan ekstraksi) (Rafi et al.
2012). Kondisi lingkungan tumbuh yang
menimbulkan stres terhadap suatu tanaman,
seperti keterbatasan air dan suhu tinggi akan
meningkatkan kandungan senyawa pada jahe.
Pengaruh dari proses pengolahan terutama
disebabkan oleh pelarut ekstraksi, karena
setiap pelarut memiliki kepolaran yang
berbeda-beda sehingga senyawa
yang
terekstrak akan berbeda. Menurut Djubaedah
(1986), pelarut yang paling baik untuk
ekstraksi oleoresin jahe adalah etanol karena
mempunyai
polaritas
yang
tinggi
dibandingkan dengan pelarut organik lain
seperti aseton dan heksana. Selain itu, suhu
juga dapat memengaruhi kadar senyawa pada
jahe. Gingerol dapat berubah menjadi shogaol,
zingeron, atau aldehida pada suhu yang lebih
tinggi sehingga rasa pedas pada jahe
berkurang (Purseglove et al. 1981).
8
Berdasarkan hasil analisis, jahe asal
Tangerang memiliki kadar gingerol tertinggi,
disusul oleh jahe asal Ponorogo, kemudian
Bogor. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
kondisi iklim dan tanah di daerah Tangerang
sangat mendukung untuk pertumbuhan jahe.
Jahe asal Ponorogo memiliki kandungan
gingerol dengan jumlah terbesar kedua. Hal
ini sesuai dengan kondisi iklim yang mirip
dengan jahe asal Tangerang. Berbeda dengan
daerah Bogor yang memiliki curah hujan
sepanjang tahun, sehingga kadar gingerol
dalam jahe jumlahnya rendah. Besarnya
kandungan senyawa aktif belum tentu
memperlihatkan kualitas jahe, sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut terhadap
keseluruhan senyawa pada jahe.
Klasifikasi Rimpang Jahe Menggunakan
PCA
Analisis komponen utama dilakukan
terhadap senyawa dominan (6-, 8-, dan 10gingerol, serta 6-shogaol) dan sidik jari KCKT
untuk mengetahui pemisahan antardaerah.
Pada analisis senyawa dominan, jenis sampel
digunakan sebagai respon dan jenis senyawa
sebagai variabel bebasnya. Analisis ini
menghasilkan 4 buah PC dengan varians yang
berbeda, yaitu PC1 96%, PC2 3%, PC3 1%,
dan PC4 0% (Gambar 6). Total nilai varians
seluruh PC sebesar 100%. PC1 memiliki nilai
varians paling besar karena digunakan untuk
memaksimumkan varians data, sedangkan PC
selanjutnya
digunakan
untuk
memaksimumkan data sisaan.
Gambar 6 Alur proporsi varians 4 komponen
utama
Klasifikasi sampel berdasarkan senyawa
dominan menggunakan 2 PC pertama dapat
menjelaskan 99% dari total keragaman (PC1:
96%, PC2: 3%). Plot loading menggambarkan
besarnya korelasi antara variabel asal dengan
komponen utama. Plot loading yang
dihasilkan menunjukkan letak 6-, 8-,dan 10gingerol, serta 6-shogaol yang saling
berjauhan (Gambar 7). Hal ini berpengaruh
pada letak plot skor yang dihasilkan. Plot skor
pada Gambar 7 menghasilkan 3 kelompok
jahe, yaitu kelompok I (Tangerang), kelompok
II (Ponorogo), dan kelompok III (Bogor).
Sampel Ponorogo 2 tidak termasuk ke dalam
kelompok karena kadar senyawa yang
diperoleh berada di antara Bogor dan
Ponorogo.
Berkelompoknya
plot
menunjukkan bahwa komposisi senyawa
dominan dalam ekstrak kasar jahe memiliki
jumlah yang mirip satu sama lain. Selain itu,
plot skor berdasarkan kadar senyawa dominan
sudah
dapat
mengelompokkan
jahe
berdasarkan daerah asalnya.
II
III
I
Gambar 7 Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan kadar senyawa 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol.
Analisis komponen utama terhadap sidik
jari KCKT menggunakan jenis sampel sebagai
respon dan waktu retensi sebagai variabel
bebasnya. Analisis ini menghasilkan 7 buah
PC dengan varians yang berbeda, yaitu PC1
89%, PC2 8%, PC3 2%, PC4 0%, PC5 0%,
PC6 0%, dan PC7 0% (Gambar 8). Total nilai
varians seluruh PC sebesar 99%.
9
Gambar 8 Alur proporsi varians 7 komponen
utama
Klasifikasi sampel berdasarkan sidik jari
KCKT menggunakan 2 nilai PC pertama dapat
menjelaskan 97% dari total keragaman (PC1:
89%, PC2: 8%). Plot loading yang
menunjukkan waktu retensi nomor 7, 9, 10,
dan 14 dengan senyawa secara berturut-turut
6-gingerol, 8-gingerol, 6-shogaol,
dan
III
10-gingerol memiliki letak yang berjauhan
(Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa tersebut paling berpengaruh terhadap
letak plot skor. Plot skor pada Gambar 9
menghasilkan 3 kelompok jahe, yaitu
kelompok I (Tangerang), kelompok II
(Ponorogo), dan kelompok III (Bogor). Jahe
asal Tangerang dan Ponorogo memiliki pola
pengelompokan
yang
mirip
dengan
pengelompokan
berdasarkan
senyawa
dominan. Sementara jahe asal Bogor memiliki
pola yang lebih acak dibandingkan dengan
pengelompokan
berdasarkan
senyawa
dominan. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan senyawa pada jahe asal Tangerang
dan Ponorogo memiliki konsistensi yang lebih
besar daripada jahe asal Bogor.
II
I
Gambar 9 Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan sidik jari KCKT.
Pengelompokan
sampel
berdasarkan
senyawa dominan maupun sidik jari KCKT
memperlihatkan pola yang berbeda dengan
pengelompokan
berdasarkan
aktivitas
antioksidan. Pengelompokan berdasarkan
aktivitas
antioksidan
menghasilkan
2
kelompok, sedangkan berdasarkan senyawa
dominan maupun sidik jari menghasilkan 3
kelompok berdasarkan asal daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelompokan sampel
menggunakan PCA belum bisa dikaitkan
dengan aktivitas antioksidannya. Oleh karena
tidak ada kesesuaian pola, maka diperlukan
analisis lebih lanjut untuk mengetahui korelasi
antara aktivitas antioksidan jahe dengan
senyawa dominan maupun sidik jarinya.
Analisis PLSDA untuk Model Mutu
Ekstrak Jahe
Pendugaan keterkaitan antara senyawa
dominan (6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6shogaol) dan sidik jari KCKT dengan aktivitas
antioksidan memerlukan metode pemodelan
lain, yaitu PLSDA. Metode ini sering
digunakan untuk pengenalan pola dan
pembentukan suatu model. Pembuatan model
dilakukan
dengan
cara
meregresikan
komponen utama dari dua variabel yang
digunakan. Dalam kasus dua kelompok,
biasanya nilai dari peubah tak bebas diberikan
1 untuk satu kelompok dan 0 atau -1 untuk
kelompok lainnya (Hakim 2010). Berbeda
dengan metode PCA, kebaikan model
klasifikasi pada metode PLSDA cukup dilihat
dari nilai determinant coefficient (R2), root
mean square error of calibration (RMSEC),
dan root mean square error of prediction
(RMSEP). Nilai RMSE merupakan galat yang
dihasilkan dari model PLSDA (Jing et al.
2011).
PLSDA menggunakan data kadar senyawa
dominan dan area sidik jari sebagai peubah
bebas, sedangkan untuk data responnya
digunakan peubah tak bebas yang bernilai 0
dan 1. Peubah tak bebas ini diturunkan dari
nilai aktivitas antioksidan ekstrak. Pemberian
nilai 0 dan 1 ini dilakukan dari hasil
pengelompokan aktivitas antioksidan, yaitu
ekstrak dengan kelompok IC50 lebih kecil
(Tangerang dan Ponorogo) diberikan nilai 1
dan kelompok IC50 lebih besar (Bogor)
10
diberikan nilai 0. Masing-masing sampel
dianalisis hingga diperoleh slope, RMSE, R2,
dan korelasi. Model PLSDA dapat dilihat pada
Lampiran 15 dan 16. Y1 merupakan model
untuk sampel yang lebih aktif, sedangkan Y2
merupakan model untuk sampel yang kurang
aktif.
Hasil PLSDA antara senyawa dominan dan
aktivitas antioksidan disajikan pada Tabel 4.
Model kalibrasi dan prediksi untuk Y1 dan Y2
memiliki nilai slope, RMSE, R2, dan korelasi
yang sama dan hanya berbeda pada nilai B0.
B0 merupakan koefisien regresi, yaitu
perkiraan besarnya rata-rata Y ketika kenaikan
nilai X=0. Slope merupakan perkiraan
besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai
variabel X berubah satu unit pengukuran.
Model Y1 menghasilkan nilai B0 negatif,
sedangkan Y2 menghasilkan nilai B0 positif.
Nilai R2 mengindikasikan mutu data antara
konsentrasi nyata dan dugaan. Nilai R2 yang
mendekati 1 menunjukkan bahwa antara
konsentrasi nyata dan dugaan memiliki nilai
yang sangat dekat. Nilai R2 yang diperoleh
kurang mendekati 1, sehingga konsentrasi
nyata dan dugaan memiliki nilai yang kurang
dekat.
Tabel 4 Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan
Model
Set
Β0
Slope
RMSE
R2
Y1
Y2
-3.139550
0.802999
0.209232
0.802999
0.896102
prediksi
-3.139550
0.733709
0.275425
0.730280
0.816717
kalibrasi
4.139549
0.802999
0.209232
0.802999
0.896102
prediksi
4.139549
0.733709
0.275425
0.730280
0.816717
Nilai RMSEC dan RMSEP secara
berurutan menunjukkan kesesuaian jumlah
puncak dugaan dengan puncak yang dideteksi
pada data yang digunakan untuk membangun
model. Semakin kecil nilai RMSEC dan
RMSEP, semakin baik model regresi yang
dibangun (Naes et al. 2002). Nilai RMSEC
yang diperoleh cukup kecil dan lebih kecil
dari nilai RMSEP, sehingga model yang
dihasilkan sudah cukup baik. Nilai korelasi
dari set kalibrasi dan prediksi belum
mendekati 1 atau masih lebih kecil dari 95%.
Oleh karena itu, penggunaan senyawa
dominan belum mampu menduga aktivitas
antioksidan pada jahe.
Hasil PLSDA antara sidik jari KCKT dan
aktivitas antioksidan disajikan pada Tabel 5.
Model kalibrasi dan prediksi untuk Y1 dan Y2
memiliki nilai slope, RMSE, R2, dan korelasi
yang sama dan hanya berbeda pada nilai B0.
Model Y1 menghasilkan nilai B0 negatif,
sedangkan Y2 menghasilkan nilai B0 positif.
Nilai R2 kalibrasi yang diperoleh sudah
mendekati 1 dan lebih besar dari R2 prediksi,
sehingga antara konsentrasi nyata dan dugaan
memiliki nilai yang sangat dekat. Nilai
RMSEC yang diperoleh sangat kecil dan lebih
kecil dari nilai RMSEP, sehingga model yang
dihasilkan sudah baik. Nilai korelasi untuk set
kalibrasi dan prediksi yang dihasilkan sangat
baik karena memiliki rerata lebih besar dari
95%. Oleh karena itu, sidik jari KCKT sudah
mengandung
informasi
penting
untuk
menduga aktivitas antioksidan pada jahe.
Tabel 5 Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan
Model
Set
Β0
Slope
RMSE
R2
Y1
Y2
Korelasi
kalibrasi
Korelasi
kalibrasi
-1.764345
0.993769
0.037212
0.993769
0.996879
prediksi
-1.764345
0.828877
0.190428
0.871065
0.919127
kalibrasi
2.764345
0.993769
0.037212
0.993769
0.996879
prediksi
2.764345
0.828877
0.190428
0.871065
0.919127
Hasil dari kedua model PLSDA
menunjukkan korelasi yang lebih besar untuk
analisis sidik jari daripada senyawa dominan.
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan jahe lebih ditentukan oleh
keseluruhan senyawa dibandingkan dengan
senyawa dominan. Menurut Suhaj (2004),
senyawa selain gingerol dan shogaol yang
aktif sebagai antioksidan antara lain alanin,
asam askorbat, asam kafeat, kamfena, mircen,
asam laurat, asam palmitat, metionin, beta
karoten, dan lain-lain. Keberadaan senyawa
tersebut dalam rimpang jahe memungkinkan
adanya aktivitas antioksidan yang lebih besar
dalam ekstrak kasar yang diperoleh. Oleh
karena itu, model PLSDA antara sidik jari
11
KCKT dengan aktivitas antioksidan dapat
digunakan untuk menentukan aktivitas
antioksidan pada sampel jahe yang belum
diketahui. Dengan demikian, teknik sidik jari
KCKT yang dipadukan dengan PLSDA dapat
dimanfaatkan untuk metode cepat dalam
menentukan kualitas jahe menggunakan
ekstrak kasarnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Teknik sidik jari kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) yang dipadukan dengan
analisis multivariat berpotensi digunakan
untuk kontrol kualitas jahe gajah a
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
DAN ANALISIS MULTIVARIAT
RESTU WIDYASTUTI
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRAK
RESTU WIDYASTUTI. Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dan Analisis Multivariat. Dibimbing oleh ETI
ROHAETI dan RUDI HERYANTO.
Jahe dikenal memiliki khasiat obat misalnya sebagai antioksidan, antiradang,
dan antikanker. Rimpang jahe banyak digunakan sebagai komponen dalam
berbagai sediaan obat herbal sehingga diperlukan ketersediaan metode untuk
menjamin mutu dan khasiatnya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi mutu
rimpang jahe gajah melalui pengujian aktivitas antioksidan, pemeriksaan pola
sidik jari kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), penetapan kandungan senyawa
utama, serta pembuatan model mutu ekstrak etanol rimpang jahe yang berasal dari
3 daerah, yaitu Ponorogo, Tangerang, dan Bogor. Semua sampel didapati
berpotensi sebagai antioksidan sangat kuat. Hasil analisis KCKT menunjukkan 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol sebagai senyawa dominan. Pengelompokan
berdasarkan kandungan senyawa dominan dan sidik jari KCKT menggunakan
analisis komponen utama menghasilkan kelompok I (Tangerang), kelompok II
(Ponorogo), dan kelompok III (Bogor). Model mutu yang dibentuk menggunakan
analisis diskriminan kuadrat terkecil parsial menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan jahe lebih ditentukan oleh komposisi keseluruhan senyawa
dibandingkan dengan senyawa dominan.
Kata kunci: analisis multivariat, antioksidan, jahe, KCKT, sidik jari
ABSTRACT
RESTU WIDYASTUTI. Quality Control of Ginger Using High Performance
Liquid Chromatography Fingerprint and Multivariate Analysis. Supervised by ETI
ROHAETI and RUDI HERYANTO
Ginger is known to have pharmacology effect such as antioxidant,
antiinflamation, and anticancer. The rhizome of ginger is widely used as
component in various herbal medicine preparations so that needed some methods
to guarantee its quality and pharmacology effect. The aim of this research was to
evaluate the quality of gajah ginger rhizome by antioxidant activity assay, high
performance liquid chromatography (HPLC) fingerprint pattern examination,
major compound content determination, and also quality model establishment of
ginger ethanol extracts from 3 areas, that is Ponorogo, Tangerang, and Bogor. All
samples were indeed potential as very strong antioxidant. The result of HPLC
analysis showed 6-, 8-, and 10-gingerol, also 6-shogaol as dominant compounds.
Grouping based on content of dominant compounds and HPLC fingerprint that
used principal component analysis resulted group I (Tangerang), group II
(Ponorogo), and group III (Bogor). The quality model that was formed using
partial least square discriminant analysis showed that antioxidant activity of
ginger was more defined by composition of all compounds than by its dominant
compounds.
Keywords: antioxidant, fingerprint, ginger, HPLC, multivariate analysis
KENDALI MUTU JAHE MENGGUNAKAN SIDIK JARI
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
DAN ANALISIS MULTIVARIAT
RESTU WIDYASTUTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi dan Analisis Multivariat
Nama
: Restu Widyastuti
NIM
: G44080048
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Eti Rohaeti, M.S.
NIP 19600807 198703 2 001
Rudi Heryanto, S.Si., M.Si.
NIP 19760428 200501 1 002
Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S.
NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyeleseikan penelitian serta skripsi dari kegiatan tersebut dengan judul
“Kendali Mutu Jahe Menggunakan Sidik Jari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
dan Analisis Multivariat”. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang tetap berada di
jalan-Nya hingga akhir zaman.
Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, ungkapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Ibu Dr. Eti Rohaeti, M.S. dan Bapak Rudi Heryanto, S.Si., M.Si. selaku
pembimbing yang telah membimbing, memberikan arahan, saran, dan dorongan
selama melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, Adik, dan Sahabat tercinta yang
telah memberikan dukungan moral dan material sehingga menjadi motivasi
penulis untuk berbuat yang terbaik. Terima kasih juga kepada Pak Eman, Pak
Kosasih, Pak Dede, Bu Nunung, dan seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik,
serta staf Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB atas fasilitas dan bantuan
yang diberikan selama penelitian.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Restu Widyastuti
RIWAYAT HIDUP
Restu Widyastuti, lahir di Ponorogo pada tanggal 4 Desember 1989. Penulis
merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Djaka Santoso
dan Ibu Misratun. Penulis memiliki satu adik perempuan bernama Rista Afina
Widyarkanti.
Penulis memulai pendidikannya di TK PGRI Prayungan (Ponorogo) pada
tahun 1994–1996. Kemudian melanjutkan ke SD Negeri 1 Prayungan (Ponorogo)
pada tahun 1996–2002, SMP Negeri 1 Jetis (Ponorogo) pada tahun 2002–2005,
dan SMA Negeri 2 Ponorogo pada tahun 2005–2008. Setelah lulus dari jenjang
pendidikan SMA, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima
di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi
anggota Ikatan Mahasiswa Kimia, anggota UKM Gentra Kaheman (2008/2009)
dan anggota UKM Catur (2008/2009). Bulan Juli-Agustus 2011, penulis
melaksanakan praktik lapangan di PT. Ajinomoto Indonesia Mojokerto.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 2
Bahan dan Alat ............................................................................................... 2
Metode............................................................................................................ 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Deskripsi Karakteristik Kimia Rimpang Jahe ................................................ 4
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Rimpang Jahe ..................................... 5
Analisis Kuantitatif Gingerol dan Shogaol Menggunakan KCKT ................ 6
Klasifikasi Rimpang Jahe Menggunakan PCA .............................................. 8
Analisis PLSDA untuk Model Mutu Ekstrak Jahe......................................... 9
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 11
Simpulan ....................................................................................................... 11
Saran .............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11
LAMPIRAN .......................................................................................................... 14
6
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi air-asetonitril pada elusi gradien KCKT .......................................... 3
2
Nilai IC50 ekstrak kasar rimpang jahe ................................................................ 5
3
Rerata kadar gingerol dan shogaol hasil KCKT dalam simplisia jahe .............. 7
4
Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan ............... 10
5
Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan .................. 10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Rerata kadar air, kadar abu, dan rendemen sampel rimpang jahe asal
Ponorogo ( ), Tangerang ( ), dan Bogor ( )................................................... 4
2
Plot skor PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan aktivitas antioksidan .... 6
3
Kromatogram KCKT standar 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol ............. 6
4
Kromatogram KCKT ekstrak kasar jahe Ponorogo 1 ........................................ 6
5
Struktur kimia 6-gingerol (a) dan 6-shogaol (b) ................................................ 7
6 Alur proporsi varians 4 komponen utama .......................................................... 8
7
Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan kadar
senyawa 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol .............................................. 8
8 Alur proporsi varians 7 komponen utama .......................................................... 9
9
Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan sidik jari
KCKT... .............................................................................................................. 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Bagan alir penelitian ........................................................................................ 15
2
Kadar air sampel rimpang jahe ........................................................................ 16
3
Kadar abu sampel rimpang jahe ....................................................................... 16
4
Rendemen ekstrak kasar rimpang jahe............................................................. 17
5
Kondisi geografis daerah asal jahe................................................................... 17
6
Standar mutu simplisia jahe kering berdasarkan SNI 01-7084-2005 .............. 18
7
Contoh foto rendemen ekstrak kasar rimpang jahe .......................................... 18
8
Contoh foto uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ................... 18
9
Data uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ............................... 19
10 Uji Duncan aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang jahe ......................... 26
11 Kromatogram ekstrak kasar rimpang jahe hasil KCKT ................................... 27
12 Data hasil KCKT ekstrak kasar rimpang jahe .................................................. 30
13 Penentuan kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol dalam simplisia
kering rimpang jahe ......................................................................................... 33
14 Uji Duncan kadar senyawa dominan rimpang jahe ......................................... 35
15 Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan ................ 38
16 Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan ................... 38
1
PENDAHULUAN
Obat-obatan
herbal
telah
banyak
dimanfaatkan selama ribuan tahun di negaranegara oriental seperti Cina dan Jepang,
bahkan saat ini telah menarik perhatian dunia.
Obat herbal lebih sering dimanfaatkan sebagai
produk jamu dan kosmetik, dikarenakan obat
herbal cenderung lebih aman dan memiliki
efek samping yang relatif lebih sedikit
daripada obat sintetis. Semakin banyaknya
penggunaan obat herbal tersebut kurang
diimbangi dengan pengawasan yang baik
terhadap kualitasnya sehingga menjadi
kendala untuk pengembangan dan modernisasi
produk jamu.
Belakangan ini, semakin banyak jamu
berkualitas rendah dan adanya pemalsuan
dengan tanaman lain yang lebih murah dari
genus yang sama meskipun tidak diketahui
efeknya. Hal tersebut dapat memengaruhi
keamanan dan kemanjuran obat-obatan herbal
(Jing et al. 2011). Kandungan kimia dalam
tanaman herbal juga dapat beragam karena
perbedaan musim panen, asal-usul tanaman,
proses pengolahan, dan faktor lainnya (Liang
et al. 2004). Pembentukan sistem kontrol
kualitas tanaman obat yang canggih dan
efektif diperlukan untuk menjamin mutu
produk jamu yang di antaranya meliputi
keaslian, keamanan, dan kemanjuran tanaman
obat (Chen 2006).
Jahe termasuk famili Zingiberaceae yang
dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis.
Jahe memiliki 3 varietas, yaitu jahe gajah, jahe
emprit, dan jahe merah. Rimpang jahe gajah
lebih besar dan gemuk, berwarna kuning,
berserat halus dan sedikit, serta beraroma
maupun berasa kurang tajam. Jahe emprit
ruasnya lebih kecil, agak rata, berserat halus,
serta beraroma dan berasa lebih tajam. Jahe
merah rimpangnya berwarna merah dan lebih
kecil daripada jahe emprit, berserat kasar, dan
beraroma sangat tajam. Jahe memiliki efek
farmakologis sebagai obat dan mampu
memperkuat khasiat obat lain. Jahe sering
digunakan sebagai obat batuk, masuk angin,
diare, rematik, anti-mual, radang tenggorokan,
menghilangkan rasa sakit, asma, dan lainnya
(Harmono dan Andoko 2005).
Komponen senyawa kimia dalam jahe
terdiri dari minyak menguap, minyak tidak
menguap (oleoresin), dan pati. Minyak
menguap
merupakan komponen
yang
memberi bau khas, sedangkan komponen
oleoresin dalam minyak tidak menguap
memberi rasa pahit dan pedas. Komponen
utama dari oleoresin adalah gingerol
(C17H26O4), shogaol (C17H24O3), dan resin
(Chrubasik dan Pitler 2005). Berbagai
penelitian
membuktikan
bahwa
jahe
mempunyai sifat antioksidan dan antikanker.
Oleoresin jahe yang mengandung gingerol,
shogaol, dan zingeron memiliki sifat
antioksidan melebihi α-tokoferol (Kikuzaki
dan Nakatani 1993).
Jahe yang digunakan sebagai bahan baku
industri terkadang merupakan jahe berkualitas
rendah dan bukan jahe murni, melainkan
campuran dari beberapa varietas jahe atau
bahkan dengan tanaman lain yang memiliki
ciri hampir sama dengan jahe. Untuk
menghilangkan masalah tersebut, diperlukan
kontrol kualitas jahe yang ditekankan pada
kandungan kimianya. Identifikasi morfologi
dan mikroskopis dapat digunakan untuk
menentukan keaslian tanaman jahe. Selain itu,
ciri fisik dan kimia yang ditemukan juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas
tanaman jahe dari standar kualitas yang ada
(Jiang et al. 2006). Penentuan unsur kimia dan
senyawa aktif yang penting juga diperlukan
untuk mencerminkan kualitas intrinsik
tanaman jahe, konsistensi, dan kemanjurannya
(Ernst 2002).
Penentuan mutu tanaman obat berdasarkan
sidik jari (fingerprint) telah dilakukan dengan
berbagai metode seperti kromatografi lapis
tipis (TLC), kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT),
elektroforesis
kapiler
(CE),
spektroskopi
inframerah
(FTIR),
dan
spektrometri resonans magnetik inti (NMR).
Darusman et al. (2007) pernah menerapkan
analisis FTIR untuk mendapatkan sidik jari
sediaan ekstrak kunyit, temu lawak, jahe, temu
kunci, dan cabe jawa. Metode analisis HPLC
digunakan oleh Tao et al. (2011) untuk
mendapatkan pola sidik jari dari obat herbal
Cina (Gastrodia). Metode analisis yang sama
(HPLC) dilakukan oleh Wahyuni (2010) untuk
validasi sidik jari ekstrak Phyllanthus niruri L.
Umam (2011) juga menerapkan metode FTIR
dan HPLC untuk diferensiasi tanaman jahe
melalui sidik jari yang diperoleh.
Metode yang digunakan untuk klasifikasi
dan penentuan kualitas ekstrak jahe dalam
penelitian ini adalah sidik jari kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Keunggulan dari
metode
sidik
jari
KCKT
adalah
kemampuannya untuk mendeteksi komponen
kimia dalam tanaman obat, menentukan
komposisi dari semua komponen dalam
sampel yang sesuai untuk setiap area puncak
sidik jari, mengidentifikasi jenis obat yang
sama dari koleksi yang berbeda, dan
mengklasifikasikannya berdasarkan tingkat
2
kesamaan sidik jari (Tao et al. 2011). Metode
sidik jari KCKT untuk evaluasi kualitas
tanaman obat telah digunakan secara luas
karena sangat selektif, sensitif, dan memiliki
presisi yang bagus sehingga secara kimia
dapat mewakili karakteristik dari obat-obatan
herbal yang diselidiki (Liang et al. 2004).
Sidik jari KCKT sangat rumit sehingga
perbedaan antara kromatogram tidak tampak
dengan jelas. Oleh karena itu, diperlukan
suatu metode kemometrik untuk mendapatkan
informasi tersembunyi yang bersifat kualitatif
dan kuantitatif dari daerah sidik jari tersebut.
Metode kemometrik yang digunakan ialah
analisis multivariat menggunakan principal
component analysis (PCA) dan partial least
square discriminant analysis (PLSDA).
Metode ini memainkan peran penting dalam
diskriminasi dan klasifikasi tanaman obat
(Jing et al. 2011). Selain itu, metode berbasis
sidik jari KCKT ini digunakan parameter lain
sebagai indikator baik tidaknya mutu suatu
ekstrak, yaitu nilai bioaktivitasnya (aktivitas
antioksidan). Penggunaan metode kemometrik
tersebut diharapkan mampu mengelompokkan
tanaman obat berdasarkan kemiripan pola
sidik jarinya dan mengekstrak informasi
tersembunyi dari ekstrak yang diuji.
Penelitian
ini
bertujuan
membuat
kromatogram sidik jari KCKT, menentukan
kandungan senyawa dominan, dan menguji
aktivitas antioksidan ekstrak kasar jahe dari 3
daerah, yaitu Ponorogo, Tangerang, dan
Bogor. Analisis PCA terhadap sidik jari
KCKT
dilakukan
untuk
melihat
pengelompokan antardaerah asal jahe.
Analisis PLSDA juga dilakukan untuk
menduga
keterkaitan
antara
aktivitas
antioksidan jahe dengan kandungan senyawa
dominan maupun pola sidik jarinya. Jahe yang
digunakan dari varietas jahe gajah yang
diekstrak menggunakan pelarut etanol dengan
cara ekstraksi ultrasonik.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain rimpang jahe gajah
yang berasal dari 3 daerah (Bogor, Tangerang,
dan Ponorogo) masing-masing 3 sampel
dengan rimpang yang berbeda, standar
campuran (6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6shogaol), etanol 96%, etanol pa, 1.1-difenil-2pikrilhidrazil (DPPH), metanol pa, dan fase
gerak KCKT (air dan asetonitril).
Alat yang digunakan antara lain
spektrofotometer Microplate Reader BioRad
model 3550; perangkat HPLC Hitachi L-2420
yang dilengkapi dengan detektor ultraviolet
(UV), sistem pompa gradien, dan sistem
injeksi loop; kolom Shimadzu C18, 4.6 x 250
mm, 5μm, 120 Å; membran filter 0.45 μm;
neraca analitik; oven; tanur; perangkat
ekstraksi ultrasonik; penguap putar; perangkat
keras komputer; serta perangkat lunak The
Unscrambler X dan SAS versi 9.0.
Metode
Tahapan Penelitian
Secara umum, penelitian ini terdiri dari
tiga tahap. Tahap pertama, yaitu preparasi
simplisia dan ekstrak kasar jahe. Pertamatama, jahe segar dikeringkan, dihaluskan, dan
ditentukan kadar air serta abunya. Selanjutnya,
simplisia jahe diekstrak menggunakan teknik
ekstraksi ultrasonik dengan pelarut etanol.
Tahap kedua, yaitu uji aktivitas antioksidan
ekstrak jahe menggunakan metode DPPH dan
analisis ekstrak jahe menggunakan KCKT.
Tahap terakhir, yaitu pengolahan data uji
aktivitas antioksidan dan analisis KCKT
dengan
metode
PCA
dan
PLSDA
menggunakan
perangkat
lunak
The
Unscrambler X hingga diperoleh kelas jahe
dan model mutu ekstrak jahe. Bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Preparasi Sampel (Daryono 2010)
Jahe segar dibersihkan dari kotoran,
kemudian diiris tipis-tipis dan dikeringkan
dengan cara dijemur dan diangin-angikan.
Setelah kering, jahe kemudian digiling hingga
diperoleh simplisia jahe. Simplisia jahe
dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C
hingga kadar airnya kurang dari 10%.
Penentuan Kadar Air (WHO 1998)
Kadar air simplisia jahe ditentukan dengan
gravimetri evolusi tidak langsung. Cawan
porselin dikeringkan pada suhu 105 °C selama
30 menit dan didinginkan dalam eksikator.
Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin yang
sudah diketahui bobotnya. Sampel kemudian
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C
hingga diperoleh bobot konstan (perbedaan <
5 mg). Kadar air diperoleh dari nisbah selisih
bobot
awal
dengan
bobot
sampel
setelahdikeringkan terhadap bobot sampel
sebelum dikeringkan.
Kadar air
100
3
Ket:
A = bobot sampel sebelum dikeringkan
B = bobot sampel setelah dikeringkan
Penentuan Kadar Abu (WHO 1998)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin yang
sudah dikeringkan pada suhu 105 °C selama
30 menit dan diketahui bobotnya. Cawan
dipanaskan sampai sampel tidak berasap
kemudian dipindahkan ke dalam tanur dan
dipanaskan pada suhu 690 °C sampai semua
karbon berwarna keabuan hilang. Cawan
kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar
abu diperoleh dari nisbah bobot abu dengan
bobot sampel.
bobot abu
Kadar abu
100
bobot sam el
Ekstraksi Jahe (BPOM 2005, Anwar 2011)
Simplisia jahe dari 3 daerah (Bogor,
Tangerang, dan Ponorogo) diekstraksi dengan
rasio bahan:pelarut adalah 1:5. Sebanyak 20 g
simplisia jahe dicampur dengan 100 mL
etanol 96% ke dalam labu erlenmeyer 250
mL. Campuran kemudian diekstraksi pada
suhu 40 °C dengan gelombang ultrasonik 42
kHz selama 15 menit. Maserat disaring ke
dalam erlenmeyer lain, sedangkan ampas
diperlakukan sama sebanyak 2 kali ekstraksi.
Hasil ekstraksi kemudian dipekatkan dengan
penguap putar pada suhu 40 °C hingga
diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang
diperoleh ditentukan % rendemennya.
Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH
(Juarez et al. 2011).
Sebanyak 100 µL ekstrak dengan
konsentrasi 1.5625, 3.125, 6.25, 12.5, 25, 50,
dan 100 µg/mL ditambah dengan 100 µL
larutan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)
125 µM dalam etanol pa. Setelah itu larutan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 °C.
Absorbansi sampel dibaca pada panjang
gelombang
517
nm
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Larutan yang hanya
mengandung DPPH digunakan sebagai
kontrol negatif. Aktivitas penangkapan DPPH
dihitung berdasarkan persamaan:
ktivitas
sam el
100
Nilai konsentrasi penghambatan 50% (IC50)
dihitung
berdasarkan
kurva
kalibrasi
menggunakan
hasil
persen
aktivitas
penangkapan DPPH dan log konsentrasi
larutan ekstrak. IC50 menunjukkan nilai
konsentrasi sampel yang diperlukan untuk
menghambat 50% radikal bebas DPPH.
Analisis Menggunakan KCKT (Lee et al.
2007)
Larutan standar campuran disiapkan
dengan melarutkan masing-masing 10.0 mg
senyawa dalam 25 mL metanol pa. Kemudian
larutan diencerkan dalam labu takar 5 ml
hingga diperoleh konsentrasi 50.0 µg/mL (6gingerol), 25.0 µg/mL (8-gingerol), 50.0
µg/mL (10-gingerol), dan 50.0 µg/mL (6shogaol). Selanjutnya larutan standar diambil
masing-masing 1 mL untuk dicampur,
kemudian disaring melalui membran filter
0.45 µm dan ditempatkan dalam botol kecil.
Untuk pembuatan larutan sampel, ekstrak jahe
dari 3 daerah (Bogor, Tangerang, dan
Ponorogo) ditimbang sebanyak 25 mg lalu
dilarutkan dalam 5 mL metanol pa hingga
diperoleh
konsentrasi
5000
µg/mL.
Selanjutnya larutan disaring melalui membran
filter 0.45 µm dan ditempatkan dalam botol
kecil. Larutan standar dan sampel yang telah
disiapkan kemudian dianalisis menggunakan
KCKT. Kolom yang digunakan adalah
Simadzu C18, 4.6 x 250 mm, 5μm, 120 Å.
Suhu kolom dijaga konstan sebesar 40 °C.
Detektor yang digunakan adalah UV pada
panjang gelombang 280 nm. Laju alir fase
gerak 1 mL/menit. Volume larutan yang
diinjeksikan adalah 20 µL. Fase gerak yang
digunakan adalah air-asetonitril dalam modus
gradien seperti disajikan pada Tabel 1.
Pertama-tama dilakukan injeksi tunggal dari
pelarut ekstrak (metanol), kemudian larutan
standar dan sampel. Jumlah puncak yang
muncul pada kromatogram setiap ekstrak
dihitung. Data sidik jari KCKT masingmasing ekstrak dianalisis dan dibedakan
berdasarkan jumlah puncak komponen dan
waktu retensinya.
Tabel 1 Komposisi air-asetonitril pada elusi
gradien KCKT
Waktu (menit)
% air
% asetonitril
0
60
40
10
60
40
40
10
90
40.5
0
100
45
0
100
45.5
60
40
50
60
40
Analisis Multivariat (Darusman et al. 2007)
Data yang meliputi kadar senyawa
dominan, waktu retensi, dan area sidik jari
KCKT diolah dengan PCA dan PLSDA
menggunakan
perangkat
lunak
The
4
kadar air kecil akan memiliki masa simpan
yang lebih lama. Jika kadar air tinggi, maka
akan cepat rusak karena ditumbuhi kapang
dan organisme lainnya. Tinggi rendahnya
kadar air juga berpengaruh pada proses
ekstraksi. Jika kadar air tinggi, maka zat-zat
yang larut air seperti karbohidrat, protein,
resin, dan gom akan ikut terekstraksi sehingga
dapat memengaruhi jumlah dan komposisi
komponen kimia dari rendemen yang
diperoleh (Daryono 2010). Oleh karena itu,
simplisia yang akan diproses lebih lanjut
sebaiknya memiliki kadar air lebih kecil
daripada standar mutu yang ditetapkan, yaitu
SNI 01-7084-2005 (Lampiran 6). Kadar air
simplisia jahe asal Ponorogo dan Tangerang
telah memenuhi standar mutu tersebut,
sehingga memiliki mutu lebih baik daripada
simplisia jahe asal Bogor.
15
Jumlah (%)
Unscrambler X. Analisis menggunakan PCA
berfungsi
untuk
membuat
pola
pengelompokan ekstrak berdasarkan kadar
senyawa dominan dan sidik jari KCKT yang
diperlihatkan pada plot skor dua dimensi. Plot
skor untuk dua komponen utama (PC) pertama
biasanya paling berguna dalam analisis karena
kedua PC ini mengandung paling banyak
keragaman dalam data. PLSDA berfungsi
untuk membuat model mutu ekstrak. Model
ini digunakan untuk menduga keterkaitan
antara aktivitas antioksidan dengan senyawa
dominan dan sidik jari KCKT dari ekstrak.
Dalam PLSDA, data kadar senyawa dominan
dan area sidik jari digunakan sebagai peubah
bebas, sedangkan untuk data responnya
digunakan peubah tak bebas yang berunsurkan
0 dan 1. Peubah tak bebas ini diturunkan dari
nilai aktivitas antioksidan ekstrak. Jika nilai
IC50 sampel < IC50 standar, maka diberikan
nilai 1, dan sebaliknya diberikan nilai 0.
Pemberian nilai 0 dan 1 ini juga bisa
dilakukan dari hasil pengelompokan aktivitas
antioksidan, yaitu ekstrak dengan kelompok
IC50 lebih kecil diberikan nilai 1 dan
sebaliknya diberikan nilai 0. Pemodelan
dilakukan dengan memanfaatkan sarana
regresi multivariat PLS.
10
5
0
Kadar air
Kadar abu
Rendemen
Karakteristik kimia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Karakteristik Kimia Rimpang
Jahe
Analisis karakteristik kimia rimpang jahe
gajah meliputi kadar air, kadar abu, dan
rendemen ekstrak kasar yang reratanya
disajikan pada Gambar 1 dan data lengkapnya
berturut-turut pada Lampiran 2–4. Kadar air
paling tinggi ditunjukkan oleh jahe asal Bogor,
disusul jahe asal Ponorogo, kemudian
Tangerang.
Perbedaan
ini
umumnya
dipengaruhi
oleh
proses
pascapanen
(pencucian, pengeringan, penggilingan, dan
penyimpanan) (Rafi et al. 2012). Selain itu,
iklim dan curah hujan juga berpengaruh
terutama pada jahe segar. Kondisi geografis
daerah asal jahe dapat dilihat pada Lampiran
5. Iklim basah dengan curah hujan sangat
tinggi seperti daerah Bogor mengakibatkan
tanaman jahe memiliki kadar air lebih besar.
Sementara iklim dengan 2 musim (penghujan
dan kemarau) seperti daerah Ponorogo dan
Tangerang mengakibatkan jahe memiliki
kadar air lebih kecil.
Kadar air penting untuk proses pengolahan
jahe lebih lanjut. Simplisia jahe kering dengan
Gambar 1 Rerata kadar air, kadar abu, dan
rendemen sampel rimpang jahe
asal Ponorogo ( ), Tangerang
( ), dan Bogor ( )
Kadar abu menunjukkan kandungan
mineral dalam jahe. Kadar abu jahe asal
Ponorogo paling tinggi, disusul jahe asal
Bogor, kemudian Tangerang. Sampel jahe asal
Tangerang memiliki kadar abu lebih kecil
daripada standar mutu, sedangkan kadar abu
jahe asal Ponorogo dan Bogor lebih besar dari
standar mutu yang ada. Perbedaan kadar abu
umumnya dipengaruhi oleh jenis tanah dan
ketersediaan hara di daerah asal jahe (Rafi et
al. 2012). Ponorogo merupakan daerah dengan
banyak
pegunungan
kapur
sehingga
mengandung banyak mineral terutama
kalsium. Oleh karena itu, jahe asal Ponorogo
memiliki kadar abu paling tinggi. Kondisi
geografis
daerah
Bogor
merupakan
pegunungan yang subur dengan jenis tanah
latosol,
sedangkan
daerah
Tangerang
merupakan dataran rendah juga dengan jenis
tanah latosol. Jenis tanah ini tidak banyak
mengandung mineral, sehingga kadar abunya
lebih rendah.
5
Ekstraksi simplisia jahe untuk memperoleh
ekstrak kasar berupa oleoresin dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu penyiapan bahan,
jenis pelarut, metode dan kondisi proses
ekstraksi, serta proses pemisahan/penguapan
pelarut ekstrak (Purseglove et al. 1981).
Dalam penelitian ini digunakan ekstraksi
ultrasonik yang memanfaatkan gelombang
ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz.
Keuntungan metode ini antara lain waktu
proses lebih singkat, produk lebih banyak, dan
kualitas produk lebih baik (Widjanarko et al.
2011).
Pelarut etanol digunakan untuk ekstraksi
karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu
titik didihnya rendah, aman, tidak beracun,
dan tidak mudah terbakar. Meskipun
demikian, etanol juga memiliki kelemahan,
yaitu larut di dalam air sehingga dapat
melarutkan komponen larut air seperti
karbohidrat, protein, dan gom sehingga
kemurnian oleoresin berkurang. Untuk
memenuhi standar, ekstrak oleoresin harus
diuapkan pelarutnya sampai batas yang tetap
untuk setiap jenis pelarut. Pemisahan pelarut
dilakukan dengan penguapan vakum pada
suhu sekitar 40 °C untuk menghindari
kerusakan senyawa dan penguapan minyak
atsirinya (Purseglove et al. 1981).
Oleoresin jahe yang diperoleh berbentuk
cairan sangat kental dan berwarna cokelat tua
atau gelap dengan aroma khas jahe (Lampiran
7). Rendemen yang diperoleh berbeda-beda
untuk setiap sampel, tetapi jumlahnya relatif
sama untuk setiap daerah. Rendemen yang
diperoleh berkisar antara 6.74 sampai 7.81%
dan masih memenuhi standar mutu yang ada
untuk penggunaan pelarut etanol. Rendemen
ini cukup besar, meskipun pada penelitian
Daryono (2010), penggunaan pelarut etanol
70% dan waktu ekstraksi 3 jam menghasilkan
rendemen yang lebih besar (9.98%). Meskipun
demikian, penggunaan ekstraksi ultrasonik
dengan pelarut etanol 96% menghasilkan
rendemen yang lebih besar dibandingkan
dengan pelarut n-heksana yang hanya
menghasilkan rendemen 1.58% pada jahe
kering dan 1.13% pada jahe basah (Daryono
2010). Rendemen tidak terlalu dipengaruhi
oleh kondisi geografis daerah asal jahe karena
besarnya relatif sama. Namun, kemiripan
jumlah rendemen tidak selalu menunjukkan
kemiripan kandungan kimianya, sehingga
perlu dilakukan analisis lebih lanjut.
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar
Rimpang Jahe
Analisis aktivitas antioksidan ekstrak kasar
jahe dilakukan menggunakan metode DPPH
karena mudah, cepat, dan sensitif. Larutan
DPPH berwarna ungu dan mengabsorpsi kuat
pada panjang gelombang 517 nm. Antioksidan
bereaksi dengan DPPH dengan cara
menyumbangkan atom hidrogen atau elektron
sehingga mengubah DPPH ke bentuk DPPHH (hidrazina). Tingkat penghilangan warna
menunjukkan potensi peredaman radikal
bebas dari senyawa antioksidan. Pada waktu
bereaksi, larutan mengalami perubahan warna
dari ungu ke kuning (Lampiran 8), dan
intensitas warna bergantung pada kemampuan
antioksidan (Semuel 2008).
Uji
aktivitas
antioksidan
melalui
penentuan nilai IC50 menunjukkan rerata nilai
IC50 jahe asal Bogor lebih besar daripada jahe
asal Ponorogo dan Tangerang (Tabel 2). Data
lengkap uji aktivitas antioksidan ini dapat
dilihat pada Lampiran 9. Nilai IC50 semua
sampel berkisar antara 9.34 sampai 21.13
µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
etanol rimpang jahe berpotensi sebagai
antioksidan sangat kuat karena memiliki nilai
IC50 di bawah 50 µg/mL (Jun et al. 2003). IC50
merupakan
konsentrasi
yang
dapat
menghambat 50% radikal bebas. Semakin
kecil nilai IC50, aktivitas penghambatan
radikal bebas dari ekstrak semakin bagus.
Tabel 2 Nilai IC50 ekstrak kasar rimpang jahe
Sampel
Nilai IC50
Rerata IC50*
d
Ponorogo 1
11.23
Ponorogo 2
11.29d
10.66b
e
Ponorogo 3
9.46
Tangerang 1
10.94d
Tangerang 2
9.34e
10.39b
d
Tangerang 3
10.87
Bogor 1
21.13a
Bogor 2
19.48b
19.46a
c
Bogor 3
17.76
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan).
Aktivitas antioksidan pada tanaman jahe
disebabkan
oleh
berbagai
molekul
penghambat radikal bebas seperti fenol,
flavonoid, vitamin, dan terpenoid (Cai et al.
2003). Berbagai penyusun polifenolik dalam
tanaman jahe merupakan antioksidan yang
efektif secara in vitro dibandingkan dengan
vitamin C dan E. Senyawa dalam jahe yang
6
diduga paling aktif sebagai antioksidan adalah
6-gingerol dan 6-shogaol (Suhaj 2004).
Antioksidan alami cenderung aman dan juga
memiliki potensi sebagai antivirus, antiradang,
antikanker, antitumor, dan memiliki sifat
hepatoprotektif (Lim dan Murtijaya 2007).
Uji Duncan nilai IC50 digunakan untuk
melihat pengelompokan aktivitas antioksidan
di antara ketiga daerah. Hasil uji menunjukkan
rerata nilai IC50 berbeda nyata untuk daerah
Bogor dan tidak berbeda nyata untuk daerah
Ponorogo dan Tangerang (Lampiran 10). Hasil
dikatakan berbeda nyata jika nilai Pr < selisih
rata-rata tiap perlakuan. F hitung > F tabel
artinya menolak hipotesis bahwa rata-rata
antarperlakuan yang dicobakan sama. Nilai
0.05 merupakan taraf signifikansi dan diberi
simbol
atau α yang dinyatakan dalam
proporsi atau persentase, sedangkan nilai (1α)100
disebut taraf ke ercayaan. Jika α
sebesar 0.05 atau 5% berarti sama dengan
menentukan taraf kepercayaan sebesar (10.05)=0.95 atau 95% (Winer 1971). Uji
Duncan menghasilkan 2 kelompok jahe, yaitu
kelompok I (Bogor) dan kelompok II
(Tangerang dan Ponorogo).
Pengelompokan aktivitas antioksidan
menggunakan PCA menghasilkan plot skor 2
dimensi (Gambar 2), yang menunjukkan 2
kelompok aktivitas antioksidan. Kelompok I
memiliki nilai IC50 lebih besar, yaitu jahe asal
Bogor dan kelompok II memiliki nilai IC50
lebih kecil, yaitu jahe asal Tangerang dan
Ponorogo. Berdasarkan aktivitas antioksidan,
jahe kelompok II memiliki mutu lebih baik.
Pengelompokan
aktivitas
antioksidan
berdasarkan PCA telah sesuai dengan uji
Duncan.
I
II
Gambar 2 Plot skor PCA pada
pengelompokan jahe
berdasarkan aktivitas
antioksidan
Analisis Kuantitatif Gingerol dan Shogaol
Menggunakan KCKT
Analisis KCKT dilakukan terhadap seluruh
sampel ekstrak kasar jahe menggunakan
standar campuran yang berisi 6-, 8-, dan 10gingerol, serta 6-shogaol dengan konsentrasi
berturut-turut 50, 25, 50, dan 50 µg/mL. Fase
diam hidrofobik (C18) digunakan dengan fase
gerak air dan asetonitril dalam modus gradien
yang mengelusi selama 35 menit. Setiap
sampel diukur 1 kali sehingga diperoleh 9
kromatogram
(Lampiran
11).
Contoh
kromatogram standar dan sampel disajikan
pada Gambar 3 dan 4. Berdasarkan
kromatogram standar, waktu retensi 6-, 8-, dan
10-gingerol, serta 6-shogaol berturut-turut
12.697, 22.847, 29.683, dan 24.307 menit.
Gambar 3 Kromatogram KCKT standar 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta
6-shogaol
Gambar 4 Kromatogram KCKT ekstrak kasar
jahe Ponorogo 1
Kromatogram
seluruh
sampel
memperlihatkan
puncak-puncak
yang
bentuknya mirip satu sama lain dan hanya
berbeda pada besarnya area dan waktu retensi
(Lampiran 11). Perbedaan pola sidik jari dari
tanaman yang sejenis pada umumnya tidak
kasatmata. Dengan alat KCKT, waktu retensi
dan area dari puncak-puncak kromatogram
dapat direkam sehingga menghasilkan banyak
data. Data sidik jari KCKT dapat dilihat pada
Lampiran 12. Data yang diperoleh memiliki
kisaran waktu retensi dari 2.740 sampai
34.023 menit. Waktu retensi untuk senyawa 6, 8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol pada
seluruh sampel berturut-turut berkisar pada
12.6, 22.8, 29.6, dan 24.3 menit. Area sidik
jari berjumlah sekitar 87–96% dari total area
keseluruhan puncak kromatogram. Senyawa
yang mendominasi kromatogram adalah 6gingerol dengan jumlah sekitar 30–57% dari
total area, sedangkan 6-shogaol memiliki
jumlah sekitar 9–17% dari total area. Struktur
kimia 6-gingerol dan 6-shogaol ditunjukkan
oleh Gambar 5 (Chrubasik dan Pitler 2005).
7
Tabel 3 Rerata kadar gingerol dan shogaol
hasil KCKT dalam simplisia jahe
(a)
(b)
Sampel
Gambar 5 Struktur kimia 6-gingerol (a) dan
6-shogaol (b)
Perbedaan waktu retensi dipengaruhi oleh
kepolaran senyawa, struktur kimia senyawa,
dan fase gerak KCKT. Pelarut ekstrak untuk
analisis KCKT ialah metanol murni, sehingga
larutan bersifat polar (Ramadhan dan Phaza
2007). Pada kondisi awal injeksi, komposisi
air lebih besar dari asetonitril, sehingga
senyawa-senyawa yang bersifat polar seperti
6-gingerol terdeteksi lebih awal. Pada tahap
akhir, komposisi asetonitril menjadi lebih
besar dari air. Hal ini menyebabkan senyawasenyawa yang bersifat kurang polar seperti 10gingerol terdeteksi lebih akhir. Senyawa 8gingerol dan 6-shogaol memiliki kepolaran
yang hampir sama sehingga memiliki waktu
retensi yang berdekatan.
Kepolaran keempat senyawa tersebut
dipengaruhi oleh jumlah atom oksigen dan
panjang rantainya. Semakin banyak atom
oksigen pada senyawa, maka kepolaran akan
meningkat. Sama dengan senyawa yang
berantai pendek dan tidak bercabang, maka
akan bersifat lebih polar. Oleh karena itu,
senyawa lebih polar akan terdeteksi lebih awal
mengikuti komposisi fase gerak, sedangkan
senyawa kurang polar akan terdeteksi lebih
akhir.
Jahe memiliki kandungan senyawa dalam
jumlah tertentu yang dapat menjadi acuan
kualitas jahe. Senyawa tersebut dapat
merupakan senyawa penanda, senyawa
dengan efek farmakologi paling bagus, atau
senyawa yang paling berpengaruh terhadap
senyawa lain yang dicampurkannya. Sejauh
ini, senyawa yang diketahui sebagai
komponen utama pada jahe adalah gingerol
dan shogaol. Gingerol merupakan senyawa
utama pembentuk rasa pedas pada jahe,
sedangkan shogaol merupakan senyawa
pembentuk rasa pahit pada jahe (Bhattarai et
al. 2001). Hasil penentuan kadar 6-, 8-, dan
10-gingerol, serta 6-shogaol menggunakan
KCKT disajikan pada Tabel 3 untuk reratanya
dan Lampiran 13 untuk data lengkap serta
perhitungannya.
Ponorogo
Tangerang
Rerata jumlah analit dalam simplisia jahe
(mg/g)*
68610gingerol gingerol shogaol gingerol
14.92b
2.30a
2.99a
3.95a
22.03a
1.86b
3.02a
c
ab
a
0.75b
Bogor
10.23
1.90
3.29
3.63a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan).
*
Data memperlihatkan 6-gingerol sebagai
senyawa paling dominan, sedangkan 8gingerol merupakan senyawa dengan jumlah
paling kecil dari ekstrak jahe yang dianalisis.
Konsentrasi senyawa 6-gingerol dan 6shogaol sesuai dengan rentang konsentrasi
yang dilaporkan oleh Suhaj (2004), yaitu 130–
7138 µg/mL untuk 6-gingerol dan 40–330
µg/mL untuk 6-shogaol. Uji Duncan
menunjukkan senyawa 6-gingerol berbeda
nyata untuk semua daerah, 8-gingerol dan 6shogaol tidak berbeda nyata untuk semua
daerah, dan 10-gingerol berbeda nyata untuk
Tangerang dan tidak berbeda nyata untuk
Ponorogo dan Bogor (Lampiran 14). Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa 6- dan 10gingerol memiliki jumlah yang lebih
bervariasi dibandingkan dengan 8-gingerol
dan 6-shogaol.
Variasi kadar senyawa pada jahe umumnya
dipengaruhi
oleh
variasi
lingkungan
pertumbuhan, kondisi geografis (iklim, jenis
tanah, dan ketersediaaan hara), waktu panen,
dan
proses
pengolahan
pascapanen
(pencucian,
pengeringan,
penggilingan,
penyimpanan, dan ekstraksi) (Rafi et al.
2012). Kondisi lingkungan tumbuh yang
menimbulkan stres terhadap suatu tanaman,
seperti keterbatasan air dan suhu tinggi akan
meningkatkan kandungan senyawa pada jahe.
Pengaruh dari proses pengolahan terutama
disebabkan oleh pelarut ekstraksi, karena
setiap pelarut memiliki kepolaran yang
berbeda-beda sehingga senyawa
yang
terekstrak akan berbeda. Menurut Djubaedah
(1986), pelarut yang paling baik untuk
ekstraksi oleoresin jahe adalah etanol karena
mempunyai
polaritas
yang
tinggi
dibandingkan dengan pelarut organik lain
seperti aseton dan heksana. Selain itu, suhu
juga dapat memengaruhi kadar senyawa pada
jahe. Gingerol dapat berubah menjadi shogaol,
zingeron, atau aldehida pada suhu yang lebih
tinggi sehingga rasa pedas pada jahe
berkurang (Purseglove et al. 1981).
8
Berdasarkan hasil analisis, jahe asal
Tangerang memiliki kadar gingerol tertinggi,
disusul oleh jahe asal Ponorogo, kemudian
Bogor. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
kondisi iklim dan tanah di daerah Tangerang
sangat mendukung untuk pertumbuhan jahe.
Jahe asal Ponorogo memiliki kandungan
gingerol dengan jumlah terbesar kedua. Hal
ini sesuai dengan kondisi iklim yang mirip
dengan jahe asal Tangerang. Berbeda dengan
daerah Bogor yang memiliki curah hujan
sepanjang tahun, sehingga kadar gingerol
dalam jahe jumlahnya rendah. Besarnya
kandungan senyawa aktif belum tentu
memperlihatkan kualitas jahe, sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut terhadap
keseluruhan senyawa pada jahe.
Klasifikasi Rimpang Jahe Menggunakan
PCA
Analisis komponen utama dilakukan
terhadap senyawa dominan (6-, 8-, dan 10gingerol, serta 6-shogaol) dan sidik jari KCKT
untuk mengetahui pemisahan antardaerah.
Pada analisis senyawa dominan, jenis sampel
digunakan sebagai respon dan jenis senyawa
sebagai variabel bebasnya. Analisis ini
menghasilkan 4 buah PC dengan varians yang
berbeda, yaitu PC1 96%, PC2 3%, PC3 1%,
dan PC4 0% (Gambar 6). Total nilai varians
seluruh PC sebesar 100%. PC1 memiliki nilai
varians paling besar karena digunakan untuk
memaksimumkan varians data, sedangkan PC
selanjutnya
digunakan
untuk
memaksimumkan data sisaan.
Gambar 6 Alur proporsi varians 4 komponen
utama
Klasifikasi sampel berdasarkan senyawa
dominan menggunakan 2 PC pertama dapat
menjelaskan 99% dari total keragaman (PC1:
96%, PC2: 3%). Plot loading menggambarkan
besarnya korelasi antara variabel asal dengan
komponen utama. Plot loading yang
dihasilkan menunjukkan letak 6-, 8-,dan 10gingerol, serta 6-shogaol yang saling
berjauhan (Gambar 7). Hal ini berpengaruh
pada letak plot skor yang dihasilkan. Plot skor
pada Gambar 7 menghasilkan 3 kelompok
jahe, yaitu kelompok I (Tangerang), kelompok
II (Ponorogo), dan kelompok III (Bogor).
Sampel Ponorogo 2 tidak termasuk ke dalam
kelompok karena kadar senyawa yang
diperoleh berada di antara Bogor dan
Ponorogo.
Berkelompoknya
plot
menunjukkan bahwa komposisi senyawa
dominan dalam ekstrak kasar jahe memiliki
jumlah yang mirip satu sama lain. Selain itu,
plot skor berdasarkan kadar senyawa dominan
sudah
dapat
mengelompokkan
jahe
berdasarkan daerah asalnya.
II
III
I
Gambar 7 Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan kadar senyawa 6-,
8-, dan 10-gingerol, serta 6-shogaol.
Analisis komponen utama terhadap sidik
jari KCKT menggunakan jenis sampel sebagai
respon dan waktu retensi sebagai variabel
bebasnya. Analisis ini menghasilkan 7 buah
PC dengan varians yang berbeda, yaitu PC1
89%, PC2 8%, PC3 2%, PC4 0%, PC5 0%,
PC6 0%, dan PC7 0% (Gambar 8). Total nilai
varians seluruh PC sebesar 99%.
9
Gambar 8 Alur proporsi varians 7 komponen
utama
Klasifikasi sampel berdasarkan sidik jari
KCKT menggunakan 2 nilai PC pertama dapat
menjelaskan 97% dari total keragaman (PC1:
89%, PC2: 8%). Plot loading yang
menunjukkan waktu retensi nomor 7, 9, 10,
dan 14 dengan senyawa secara berturut-turut
6-gingerol, 8-gingerol, 6-shogaol,
dan
III
10-gingerol memiliki letak yang berjauhan
(Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa tersebut paling berpengaruh terhadap
letak plot skor. Plot skor pada Gambar 9
menghasilkan 3 kelompok jahe, yaitu
kelompok I (Tangerang), kelompok II
(Ponorogo), dan kelompok III (Bogor). Jahe
asal Tangerang dan Ponorogo memiliki pola
pengelompokan
yang
mirip
dengan
pengelompokan
berdasarkan
senyawa
dominan. Sementara jahe asal Bogor memiliki
pola yang lebih acak dibandingkan dengan
pengelompokan
berdasarkan
senyawa
dominan. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan senyawa pada jahe asal Tangerang
dan Ponorogo memiliki konsistensi yang lebih
besar daripada jahe asal Bogor.
II
I
Gambar 9 Plot skor dan loading PCA pada pengelompokan jahe berdasarkan sidik jari KCKT.
Pengelompokan
sampel
berdasarkan
senyawa dominan maupun sidik jari KCKT
memperlihatkan pola yang berbeda dengan
pengelompokan
berdasarkan
aktivitas
antioksidan. Pengelompokan berdasarkan
aktivitas
antioksidan
menghasilkan
2
kelompok, sedangkan berdasarkan senyawa
dominan maupun sidik jari menghasilkan 3
kelompok berdasarkan asal daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelompokan sampel
menggunakan PCA belum bisa dikaitkan
dengan aktivitas antioksidannya. Oleh karena
tidak ada kesesuaian pola, maka diperlukan
analisis lebih lanjut untuk mengetahui korelasi
antara aktivitas antioksidan jahe dengan
senyawa dominan maupun sidik jarinya.
Analisis PLSDA untuk Model Mutu
Ekstrak Jahe
Pendugaan keterkaitan antara senyawa
dominan (6-, 8-, dan 10-gingerol, serta 6shogaol) dan sidik jari KCKT dengan aktivitas
antioksidan memerlukan metode pemodelan
lain, yaitu PLSDA. Metode ini sering
digunakan untuk pengenalan pola dan
pembentukan suatu model. Pembuatan model
dilakukan
dengan
cara
meregresikan
komponen utama dari dua variabel yang
digunakan. Dalam kasus dua kelompok,
biasanya nilai dari peubah tak bebas diberikan
1 untuk satu kelompok dan 0 atau -1 untuk
kelompok lainnya (Hakim 2010). Berbeda
dengan metode PCA, kebaikan model
klasifikasi pada metode PLSDA cukup dilihat
dari nilai determinant coefficient (R2), root
mean square error of calibration (RMSEC),
dan root mean square error of prediction
(RMSEP). Nilai RMSE merupakan galat yang
dihasilkan dari model PLSDA (Jing et al.
2011).
PLSDA menggunakan data kadar senyawa
dominan dan area sidik jari sebagai peubah
bebas, sedangkan untuk data responnya
digunakan peubah tak bebas yang bernilai 0
dan 1. Peubah tak bebas ini diturunkan dari
nilai aktivitas antioksidan ekstrak. Pemberian
nilai 0 dan 1 ini dilakukan dari hasil
pengelompokan aktivitas antioksidan, yaitu
ekstrak dengan kelompok IC50 lebih kecil
(Tangerang dan Ponorogo) diberikan nilai 1
dan kelompok IC50 lebih besar (Bogor)
10
diberikan nilai 0. Masing-masing sampel
dianalisis hingga diperoleh slope, RMSE, R2,
dan korelasi. Model PLSDA dapat dilihat pada
Lampiran 15 dan 16. Y1 merupakan model
untuk sampel yang lebih aktif, sedangkan Y2
merupakan model untuk sampel yang kurang
aktif.
Hasil PLSDA antara senyawa dominan dan
aktivitas antioksidan disajikan pada Tabel 4.
Model kalibrasi dan prediksi untuk Y1 dan Y2
memiliki nilai slope, RMSE, R2, dan korelasi
yang sama dan hanya berbeda pada nilai B0.
B0 merupakan koefisien regresi, yaitu
perkiraan besarnya rata-rata Y ketika kenaikan
nilai X=0. Slope merupakan perkiraan
besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai
variabel X berubah satu unit pengukuran.
Model Y1 menghasilkan nilai B0 negatif,
sedangkan Y2 menghasilkan nilai B0 positif.
Nilai R2 mengindikasikan mutu data antara
konsentrasi nyata dan dugaan. Nilai R2 yang
mendekati 1 menunjukkan bahwa antara
konsentrasi nyata dan dugaan memiliki nilai
yang sangat dekat. Nilai R2 yang diperoleh
kurang mendekati 1, sehingga konsentrasi
nyata dan dugaan memiliki nilai yang kurang
dekat.
Tabel 4 Model PLSDA antara senyawa dominan dan aktivitas antioksidan
Model
Set
Β0
Slope
RMSE
R2
Y1
Y2
-3.139550
0.802999
0.209232
0.802999
0.896102
prediksi
-3.139550
0.733709
0.275425
0.730280
0.816717
kalibrasi
4.139549
0.802999
0.209232
0.802999
0.896102
prediksi
4.139549
0.733709
0.275425
0.730280
0.816717
Nilai RMSEC dan RMSEP secara
berurutan menunjukkan kesesuaian jumlah
puncak dugaan dengan puncak yang dideteksi
pada data yang digunakan untuk membangun
model. Semakin kecil nilai RMSEC dan
RMSEP, semakin baik model regresi yang
dibangun (Naes et al. 2002). Nilai RMSEC
yang diperoleh cukup kecil dan lebih kecil
dari nilai RMSEP, sehingga model yang
dihasilkan sudah cukup baik. Nilai korelasi
dari set kalibrasi dan prediksi belum
mendekati 1 atau masih lebih kecil dari 95%.
Oleh karena itu, penggunaan senyawa
dominan belum mampu menduga aktivitas
antioksidan pada jahe.
Hasil PLSDA antara sidik jari KCKT dan
aktivitas antioksidan disajikan pada Tabel 5.
Model kalibrasi dan prediksi untuk Y1 dan Y2
memiliki nilai slope, RMSE, R2, dan korelasi
yang sama dan hanya berbeda pada nilai B0.
Model Y1 menghasilkan nilai B0 negatif,
sedangkan Y2 menghasilkan nilai B0 positif.
Nilai R2 kalibrasi yang diperoleh sudah
mendekati 1 dan lebih besar dari R2 prediksi,
sehingga antara konsentrasi nyata dan dugaan
memiliki nilai yang sangat dekat. Nilai
RMSEC yang diperoleh sangat kecil dan lebih
kecil dari nilai RMSEP, sehingga model yang
dihasilkan sudah baik. Nilai korelasi untuk set
kalibrasi dan prediksi yang dihasilkan sangat
baik karena memiliki rerata lebih besar dari
95%. Oleh karena itu, sidik jari KCKT sudah
mengandung
informasi
penting
untuk
menduga aktivitas antioksidan pada jahe.
Tabel 5 Model PLSDA antara sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan
Model
Set
Β0
Slope
RMSE
R2
Y1
Y2
Korelasi
kalibrasi
Korelasi
kalibrasi
-1.764345
0.993769
0.037212
0.993769
0.996879
prediksi
-1.764345
0.828877
0.190428
0.871065
0.919127
kalibrasi
2.764345
0.993769
0.037212
0.993769
0.996879
prediksi
2.764345
0.828877
0.190428
0.871065
0.919127
Hasil dari kedua model PLSDA
menunjukkan korelasi yang lebih besar untuk
analisis sidik jari daripada senyawa dominan.
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan jahe lebih ditentukan oleh
keseluruhan senyawa dibandingkan dengan
senyawa dominan. Menurut Suhaj (2004),
senyawa selain gingerol dan shogaol yang
aktif sebagai antioksidan antara lain alanin,
asam askorbat, asam kafeat, kamfena, mircen,
asam laurat, asam palmitat, metionin, beta
karoten, dan lain-lain. Keberadaan senyawa
tersebut dalam rimpang jahe memungkinkan
adanya aktivitas antioksidan yang lebih besar
dalam ekstrak kasar yang diperoleh. Oleh
karena itu, model PLSDA antara sidik jari
11
KCKT dengan aktivitas antioksidan dapat
digunakan untuk menentukan aktivitas
antioksidan pada sampel jahe yang belum
diketahui. Dengan demikian, teknik sidik jari
KCKT yang dipadukan dengan PLSDA dapat
dimanfaatkan untuk metode cepat dalam
menentukan kualitas jahe menggunakan
ekstrak kasarnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Teknik sidik jari kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) yang dipadukan dengan
analisis multivariat berpotensi digunakan
untuk kontrol kualitas jahe gajah a