Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb ) Dan Perbanyakan Secara In Vitro

i

KARAKTERISASI BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG
(Curcuma aeruginosa Roxb.) DAN PERBANYAKAN SECARA IN VITRO

ADI SETIADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakterisasi
Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Perbanyakan
Secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Adi Setiadi
NIM A253120271

iii

RINGKASAN
ADI SETIADI. Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa
Roxb.) dan Perbanyakan Secara In Vitro. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA
dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu ireng termasuk ke dalam famili
Zingiberaceae merupakan salah satu tanaman obat yang tersebar luas di Asia

Tenggara termasuk di Indonesia. Tanaman ini telah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat khususnya sebagai bahan baku obat dan industri kosmetik, namun
pengembangan temu ireng di Indonesia masih terkendala oleh terbatasnya koleksi
plasma nutfah dan ketersediaan varietas unggul.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakter morfologi,
hasil, dan komponen hasil beberapa aksesi temu ireng, informasi kekerabatan
beberapa aksesi temu ireng, dan komposisi media multiplikasi temu ireng secara
in vitro. Percobaan karakterisasi rimpang temu ireng hasil eksplorasi dilakukan di
Laboratorium Kultur Jaringan 3 pada bulan Juni hingga September 2013.
Percobaan analisis keragaman beberapa aksesi temu ireng dilaksanakan di Kebun
Percobaan Sukamantri dari bulan April hingga Desember 2014. Percobaan induksi
multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal dilaksanakan di laboratorium Kultur
Jaringan 3 AGH-IPB pada bulan September 2013 hingga Desember 2014.
Percobaan karakterisasi koleksi rimpang temu ireng hasil eksplorasi
dilakukan secara deskriptif terhadap rimpang meliputi pengamatan terhadap
karakter kualitatif dan kuantitatif rimpang, yang meliputi ukuran rimpang induk
dan rimpang primer, pengamatan warna daging rimpang pada rimpang primer
serta pengamatan terhadap mata tunas rimpang. Berdasarkan karakter panjang dan
diameter rimpang induk, aksesi Cianjur memiliki ukuran diameter dan panjang
rimpang induk serta panjang rimpang primer yang lebih panjang bila

dibandingkan dengan aksesi lainnya. Berdasarkan pengamatan terhadap warna
daging rimpang terdapat dua warna rimpang yaitu kuning keabuan dan putih
keabuan pada koleksi rimpang temu ireng hasil eksplorasi.
Percobaan analisis keragaman beberapa aksesi temu ireng disusun
berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan faktor tunggal yaitu asal
aksesi temu ireng dan tanaman pembanding. Pengamatan karakter morfologi, hasil,
dan komponen hasil dilakukan terhadap terhadap 10 aksesi temu ireng beserta
tanaman pembanding kunyit (Curcuma longa), temulawak (Curcuma
xanthorrhiza), dan temu putih (Curcuma zedoaria) yang ditanam di Kebun
Percobaan Sukamantri IPB (540 m dpl) dengan mengacu pada deskriptor Zingiber
(UPOV), dan Curcuma (BPPP dan PPV & FRA). Analisis dendogram pada
karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman temu ireng menghasilkan tiga
kelompok besar aksesi temu ireng yaitu kelompok 1 terdiri atas aksesi Cianjur,
Malang, Rimbo, dan Kendal; kelompok 2 terdiri atas aksesi Bogor, temulawak,
kunyit, Natar, Liwa, dan temu putih; dan kelompok 3 terdiri atas aksesi Cirebon,
Kuningan 1, dan Kuningan 2. Analisis komponen utama menghasilkan tiga
komponen utama dengan proporsi keragaman 73.94%. Berdasarkan analisis
senyawa fitokimia diperoleh hasil bahwa aksesi temu ireng dan tanaman
pembanding mengandung senyawa saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan
quinon.


iv

Percobaan induksi multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal secara in vitro
disusun berdasarkan rancangan percobaan kelompok lengkap teracak dengan dua
faktor dan 5 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP dengan 5 taraf (0, 2
4, 6, 8) mg L-1 dan faktor kedua adalah konsentrasi IAA dengan 3 taraf (0, 0.5, 1)
mg L-1. Terdapat pengaruh interaksi antara zat pengatur tumbuh IAA dengan BAP
terhadap jumlah daun, dan tinggi planlet. Media kultur dengan penambahan 0 mg
L-1 IAA dikombinasikan dengan 6 mg L-1 BAP menghasilkan jumlah tunas dan
tinggi planlet tertinggi yaitu masing-masing 3.4 tunas eksplan-1 dan 2.5 cm,
sedangkan jumlah daun terbanyak terdapat pada media dengan penambahan 0.5
mg L-1 IAA + 6 mg L-1 BAP sebesar 6.3 daun tanaman-1. Planlet temu ireng telah
berhasil diaklimatisasi dan menghasilkan rimpang yang bisa tumbuh menjadi
tanaman yang lengkap.
Kata kunci : Curcuma, karakter kualitatif, fitokimia, multiplikasi, rimpang

v

SUMMARY

ADI SETIADI. Characterization of Several Temu Ireng (Curcuma aeruginosa
Roxb.) Accessions and Its In Vitro Propagation. Supervised by NURUL
KHUMAIDA and SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Curcuma aeruginosa Roxb. (Zingiberaceae) or temu ireng is a medicinal
plant that is widely distributed in Southeast Asia, including in Indonesia. This
plant has been used as a raw material for medicine and cosmetics industries.
However, the development of temu ireng in Indonesia is still constrained by two
main problems: 1. the limited availability of germplasm collections and superior
varieties, and 2. the discontinuity of true-to-type seedling supply. Collection and
characterization of germplasm of temu ireng accessions are therefore of great
importance to support the superior variety development. Furthermore, the in vitro
propagation is expected to support the continuity of true-to-type seedling supply
of temu ireng. The objectives of this study were to obtain information on
morphological characters, yield, and yield components of several temu ireng
accessions collected from several locations in Indonesia, to develop phylogenetic
information of temu ireng accession, and to obtain the best media composition of
temu ireng in in vitro multiplication.
Temu ireng accessions collected from several locations in Sumatera and
Java were characterized in June to September 2013. Rhizomes of temu ireng
accessions collected from different locations showed that the size and the flesh

color of the mother rhizome, primary rhizome, and secondary rhizome varied
between accessions. Based on the length and diameter of mother rhizome, Cianjur
accession has the biggest mother rhizome size compared to other accessions.
The rhizomes of ten temu ireng accessions were planted at Sukamantri
Experimental Field (540 m asl) in September 2013 to January 2014.
Morphological characterization based on descriptor of ginger (UPOV, BPPP) and
Curcuma (PPV&FRA) and observation on yield and yield components were
conducted on those temu ireng accessions. Three other species e.g. Curcuma
longa, Curcuma xanthorrhiza, and Curcuma zedoaria were included as
comparison. Cluster analysis based on the morphological characters and
quantitative characters resulted in three major groups. Group 1 consisted of
Cianjur, Malang, Rimbo, and Kendal accessions; Group 2 consisted of Bogor,
Natar, and Liwa accessions and the three other species; Group 3 consisted of
Cirebon, Kuningan 1, and Kuningan 2 accessions. Principal component analysis
resulted in three main components with the proportion of 73.94% diversity.
Phytochemical analysis of temu ireng rhizome accession and comparative plant
contains chemical compounds saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, and
quinone.
The experiment of in vitro shoot multiplication of Kendal accession was
conducted at Tissue Culture Laboratory 3 AGH IPB in September 2013 to January

2014. The experiment was arranged in randomized completely block design with
two factors and 5 replications. The first factor was BAP concentration i.e. 0, 2 4, 6,
and 8 mg L-1 BAP. The second factor was IAA concentration i.e. 0, 0.5, and 1 mg
L-1. The results showed that the interaction between BAP and IAA concentration

significantly affect the number leaves and plantlets height. Medium containing 0
mg L-1 IAA+ 6 mg L-1 BAP resulted in the highest number of buds (3.4 bud
plantlet-1) and the tallest plantlet (2.5 cm), while medium containing 0.5 mg L-1
IAA + 6 mg L-1 BAP resulted in the highest number of leaf (6.3 leaves eksplan-1).
Seedlings produced from the in vitro culture could be successfully acclimatized.
Keywords : Curcuma, qualitative character, phytochemical, multiplication,
rhizome

.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

KARAKTERISASI BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG
(Curcuma aeruginosa Roxb.) DAN PERBANYAKAN SECARA IN VITRO

ADI SETIADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ani Kurniawati, SP, MSi

iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Karakterisasi Beberapa Aksesi
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Perbanyakan Secara In Vitro telah
diselesaikan. Shalawat dan salam atas Muhammad Rasulullah salallahu’alaihi
wassalam atas sunnahnya. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan
kepada :
1. Ibu Dr Ir Nurul Khumaida, MSi selaku ketua komisi pembimbing, yang telah
memberikan arahan, bimbingan, nasihat serta motivasinya selama penulis
menyusun rencana dan melaksanakan penelitian, pembimbingan dalam
menyusun tesis dan naskah publikasi, serta atas kesempatan yang diberikan

hingga penulis dapat berpartisipasi di berbagai kegiatan diantaranya The
Third International Symposium on Temulawak and Potential Plants for Jamu
(IST3) 2015, Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2014,
Seminar Sehari Dies Natalis PSB ke-16 tahun 2014, dan Workshop on Herbal
Quality Control tahun 2014.
2. Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasihat baik saat perencanaan
penelitian maupun proses pengerjaan tesis serta naskah publikasi.
3. Ibu Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, yang telah banyak memberi saran.
4. Ibu Dr Ani Kurniawati, SP, MSi selaku dosen penguji luar komisi pada
sidang tesis yang telah memberikan saran.
5. Staf pengajar/dosen Departemen Agronomi Hortikultura, Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB atas ilmu yang telah diberikan.
6. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi Republik
Indonesia atas Beasiswa Pendidikan Unggulan Tahun Ajaran 2012/2013
hingga 2014/2015.
7. Pusat Studi Biofarmaka atas bantuan dana penelitian dan pelayanan pengujian
senyawa fitokimia.
8. Seluruh staf dan peneliti di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Laboratorium

Pasca Panen, dan Mikroteknik AGH IPB atas kebersamaan dan pelayanan
yang diberikan.
9. Rekan-rekan Pascasarjana Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2012/2013 atas kebersamaan
dan persahabatannya.
10. Ayahanda Didi Sukardi dan S.Triatmadji, ibunda Iis Aisyah dan Budiwati,
Istri tercinta Fitri Syaputri dan ananda tersayang Faiz Fathyan Syadi serta
seluruh keluarga atas semangat, cinta, doa, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2016
Adi Setiadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.)
Manfaat Temu Ireng
Karakterisasi Morfologi
Pembiakan Tanaman Secara Vegetatif
Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif
Fitokimia Curcuma sp.
Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro

5
5
7
7
7
8
8
9

3 KARAKTERISASI RIMPANG TEMU IRENG (Curcuma aeruginosa
Roxb.) HASIL EKSPLORASI
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

13
13
13
14
14
16
16
21

4 ANALISIS KERAGAMAN BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG
(Curcuma aeruginosa Roxb.)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

22
22
22
23
30
48

5 INDUKSI MULTIPLIKASI TUNAS TEMU IRENG (Curcuma
aeruginosa Roxb.) AKSESI KENDAL SECARA IN VITRO
Abstrak
Abstract

49
49
49

vi

Pendahuluan
Bahan dan Metode
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

50
50
52
53
60

6 PEMBAHASAN UMUM

61

7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

63
63
63

DAFTAR PUSTAKA

64

RIWAYAT HIDUP

85

vii

DAFTAR TABEL
1. Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP)
2. Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil adenin (BA)
3. Aksesi temu ireng hasil eksplorasi
4. Karakter kualitatif rimpang temu ireng hasil eksplorasi
5. Karakter rimpang induk, rimpang primer dan jumlah mata tunas aksesi
temu ireng hasil eksplorasi
6. Aksesi temu ireng dan tanaman pembanding koleksi Bagian
Bioteknologi Tanaman AGH IPB
7. Karakter kualitatif daun dan batang semu temu ireng, kunyit,
temulawak, dan temu putih.
8. Karakter kualitatif rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu
putih.
9. Pertumbuhan beberapa aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu
putih pada 6 BST
10. Karakter rimpang aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih
11. Produksi dan potensi hasil temu ireng
12. Peubah pengamatan tiga komponen utama aksesi temu ireng, kunyit,
temulawak, dan temu putih
13. Korelasi antar peubah pengamatan karakter morfologi aksesi temu
ireng
14. Uji fitokimia rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih
15. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh kotnsentrasi IAA dan BAP
terhadap jumlah tunas, jumlah daun, dan tinggi planlet.
16. Pengaruh konsentrasi IAA dan BAP terhadap jumlah daun tinggi
planlet temu ireng.
17. Rataan jumlah daun dan tinggi tanaman hasil aklimatisasi planlet temu
ireng pada 2 MSA

10
11
17
19
19
24
33
34
39
40
41
43
45
47
54
57
58

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram alir penelitian karakterisasi beberapa aksesi temu ireng
(Curcuma aeruginosa Roxb.) dan perbanyakan secara in vitro
2. Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma
3. Morfologi bunga genus Curcuma, malai bunga (a), bunga dengan
braktea dan brakteolus (b), ovary (c), bunga (d), bractea (e), bractea (f),
braktea (g), bunga (h), pistil (i), stamen (j), dan anther (k)
4. Rimpang temu ireng, diameter rimpang induk (a), panjang rimpang
induk (b), panjang rimpang primer (c), diameter rimpang primer (d).
Rimpang induk (1), rimpang primer (2), dan rimpang sekunder (3)
5. Rimpang temu ireng aksesi Cianjur, rimpang induk (a), rimpang primer
(b), dan rimpang sekunder (c)

4
6

6

15
16

viii

6. Fleshy root pada rimpang temu ireng aksesi Natar (a), Liwa (b).
Lingkaran merah menunjukkan bagian fleshy root
7. Warna keabuan pada rimpang induk temu ireng aksesi Kendal (a),
rimpang primer aksesi Kendal (b), tidak ditemukan warna keabuan pada
fleshy root aksesi Natar (c), skala : 5 cm
8. Keragaan rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih hasil
eksplorasi
9. Habitus batang semu temu ireng; rapat (a), terbuka (b)
10. Kategori panjang daun temu ireng pendek (a), sedang (b), dan panjang
(c)
11. Kategori lebar daun temu ireng, sempit (a), sedang (b), dan luas (c)
12. Kategori bentuk tepi daun temu ireng, rata (a) dan bergelombang (b)
13. Kategori posisi daun tegak temu ireng (a), semi tegak (b), dan
horizontal (c)
14. Kategori tipe rimpang temu ireng tipe I (a), tipe II (b), tipe III (c)
15. Arsitektur rimpang temu ireng, panjang rimpang (a), lebar rimpang (b)
16. Kategori jumlah rimpang induk temu ireng, satu (a) dua-tiga (b) lebih
dari tiga (c)
17. Kategori jarak antar buku rimpang temu ireng, 1 (b)
18. Serangan hama pada tanaman temu ireng di KP Sukamantri, ulat (a),
dan belalang (b)
19. Keragaan aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih di
Kebun Percobaan Sukamantri IPB
20. Morfologi daun beberapa aksesi temu ireng dan tanaman pembanding
21. Morfologi rimpang aksesi temu ireng dan tanaman pembanding
22. Penampang melintang tanaman temu ireng, kunyit, temulawak, dan
temu putih
23. Bunga tanaman temu ireng aksesi Kuningan 1 setelah mekar (11 BST)
24. Bunga majemuk tanaman temu ireng aksesi Kuningan 1 yang sedang
mekar (a), bunga yang belum mekar (b), bunga yang telah mekar (c),
korola (d), dan braktea (e)
25. Temu ireng aksesi Kuningan 1 dalam braktea mekar secara bergantian
(a), bunga yang sedang mekar (b)bunga yang belum mekar (c), bunga
yang telah layu (d), bunga mekar dilihat dari depan (e)
26. Morfologi bunga temu ireng aksesi Kuningan 1, bunga (a), bunga
dengan brakteolus terbuka (b), bunga dengan brakteolus terbuka dilihat
dari depan (c), dan stamen (d), tanda panah menunjukkan stamen
27. Rimpang temu ireng dengan fleshy root aksesi Cirebon (a) dan Kendal
(b), tanpa fleshy root aksesi Cirebon (c) dan Kendal (d). Skala = 5 cm,
lingkaran merah menunjukkan fleshy root
28. Dendogram beberapa aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu
putih berdasarkan karakter morfologi
29. Diagram pencar KU 1 dan KU 2 aksesi temu ireng, kunyit, temulawak,
dan temu putih
30. Dendogram aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih
31. Sterilisasi eksplan tunas temu ireng, tunas pada rimpang temu ireng (a)
tunas temu ireng (b), pembilasan dengan aquades steril (c),

17

18
20
25
26
26
26
27
27
28
28
28
31
31
33
35
35
36

37

37

38

40
42
44
47

ix

perendaman dengan larutan NaOCl (d), perendaman dengan povidone
iodine (e), penanaman eksplan pada media prakondisi (f)
32. Planlet hasil perbanyakan in vitro dibersihkan dari media agar unuk
dipindahkan ke net house (a), penggunaan sungkup untuk mengurangi
transpirasi planlet
33. Kontaminasi planlet temu ireng yang disebabkan oleh bakteri (a) dan
cendawan (b)
34. Waktu muncul tunas pertama eksplan temu ireng
35. Jumlah tunas temu ireng pada beberapa konsentrasi BAP dan IAA pada
12 MSK
36. Keragaan planlet temu ireng pada berbagai kombinasi penambahan
konsentrasi IAA dan BAP pada 8 BST
37. Keragaan tanaman temu ireng aksesi Kendal hasil aklimatisasi, media
1.0 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP (a), 0.5 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP
(b), 0.5 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP (c), 0 mg L-1 IAA + 6 mg L-1 BAP
(d) pada umur 3 BST
38. Rimpang temu ireng hasil perbanyakan in vitro setelah diaklimatisasi
selama 6 BST. Penampang melintang rimpang induk (a), fleshy root (b)
keragaan rimpang temu ireng hasil perbanyakan secara in vitro (c),
skala = 2 cm
39. Keragaan tanaman temu ireng yang ditanam dari rimpang in vitro

51

52
53
55
56
57

59

59
60

DAFTAR LAMPIRAN
1. Petunjuk pelaksanakaan karakerisasi tanaman Curcuma
2. Hasil uji fitokimia rimpang temu ireng dan tanaman pembanding
3. Metode uji senyawa alkaloid rimpang temu ireng dan tanaman
pembanding
4. Metode uji flavonoid, tannin, dan saponin tanaman temu ireng dan
tanaman pembanding
5. Metode uji steroid dan triterpenoid rimpang temu ireng dan tanaman
pembanding
6. Data curah hujan BMKG tahun 2013

72
75
81
82
83
84

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Famili Zingiberaceae merupakan kelompok tanaman yang banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional (Kress et al. 2002; Harit et al.
2013), bumbu dan rempah (Gowda et al.2012), pewarna makanan dan kain
(Behura et al. 2002; Velayudhan et al. 2012), industri makanan (Jan et al. 2012)
dan sebagai insektisida (Damalas 2011; Tavares et al. 2013). Genus Curcuma
tersebar secara alami di daerah tropis maupun sub tropis, mulai dari India sampai
Thailand, Indocina, Malaysia, Indonesia, hingga Australia bagian Utara
(Apavatjrut et al. 1999; Maknoi et al. 2005; Ding et al. 2011). Lebih dari 80
spesies dari genus Curcuma berasal dari wilayah Indomalayan (Syamkumar dan
Sasikumar 2007; Cousin et al. 2007).
Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu ireng tersebar luas di Asia bagian
Tenggara (Srivilai et al. 2011) memiliki nama lokal temu erang (Sumatra), temu
ireng (Jawa Tengah dan Jawa Timur), temu ereng (Madura), koneng hideung
(Jawa Barat), temu lotong (Sulawesi dan Nusa Tenggara) merupakan salah satu
dari sekian banyak tanaman obat yang tumbuh di Indonesia (Djauharia dan
Sufiani 2007). Tanaman ini sudah dikenal dan dibudidayakan secara besarbesaran di negara Asia lainnya seperti Malaysia, Kamboja, dan Myanmar (Pribadi
2009). Rimpang temu ireng telah digunakan sebagai bahan baku jamu gendong
dengan nama ramuan cabe puyang di Indonesia. Rimpang temu ireng digunakan
sebagai obat tradisional karena mengandung senyawa-senyawa aktif saponin,
flavonoid, polifenol, guaiane (Takano et al. 1995), dan glukan (Ranjini dan
Vijayan 2005). Srivastava et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat kandungan
minyak yang diidentifikasi sebagai α-pinene, sabinene, α-terpine, camphor dan
tumerone. Selain itu menurut Nugrahaningtyas et al. (2005) minyak atsiri di
dalam temu ireng juga mengandung 1.8 sineol. Penelitian fitokimia pada rimpang
temu ireng menghasilkan tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai
zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007), curcumin
(Srivastava et al 2006), aeruginon dan curcuminon telah diidentifikasi sebagai
senyawa penciri temu ireng (Atun et al. 2012). Rimpang temu ireng digunakan
untuk ramuan galian dan anti rematik/inflamasi (Reanmongkol et al. 2006),
penyakit kulit (Djauharia dan Sufiani 2007), batuk dan asma (Nasrullah et al.
2010), anti mikroba (Angel et al. 2012a), anti cendawan (Srivastava et al. 2006),
anti oksidan (Choudhury et al. 2013; Nurcholis et al. 2015) dan anti androgenik
(Srivilai et al. 2011).
Produksi dan produktivitas temu ireng di Indonesia masih relatif rendah
bila dibandingkan dengan komoditas biofarmaka unggulan lainnya seperti jahe.
Produksi temu ireng pada tahun 2013 hanya mencapai 8 ribu ton, dengan
produktivitas mencapai 20 ton ha -1, lebih kecil jumlahnya bila dibandingkan
dengan produksi jahe pada tahun yang sama yang mencapai 232 ribu ton dengan
produktivitas 21 ton ha-1 (BPS 2014). Rendahnya produksi dan produktivitas temu
ireng diduga karena belum tersedianya varietas temu ireng dengan produktivitas
dan kandungan bahan aktif yang tinggi. Kementan (2015) menyebutkan bahwa
Indonesia telah memiliki 7 varietas dari famili Zingiberaceae yang telah dilepas

2

dan 13 varietas yang didaftarkan. Akan tetapi, hingga saat ini belum terdapat
varietas baru temu ireng.
Usaha pengembangan tanaman temu ireng sebagai bahan baku produk
biofarmaka memerlukan kegiatan pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas
unggul. Ketersediaan bahan tanaman yang cukup dengan sumber keragaman yang
luas adalah syarat utama perbaikan varietas tanaman. Keragaman yang luas dari
suatu sifat atau kombinasi sifat merupakan modal awal bagi kegiatan pemuliaan.
Keragaman genetik yang dimiliki oleh tanaman akan memberikan kontribusi
positif terhadap proses seleksi sehingga tanggap terhadap perubahan lingkungan,
penyakit, dan kebutuhan pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan
eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah temu ireng untuk memperoleh sumber
keragaman genetik dalam kegiatan pemuliaan tanaman.
Tanaman temu ireng ditanam dengan menggunakan rimpang, akan tetapi
penggunaan rimpang dihadapkan pada masalah waktu yang diperlukan cukup
lama khususnya untuk produksi tanaman dalam jumlah yang cukup besar/massal.
Kultur jaringan adalah suatu teknik mengisolasi bagian dari tanaman baik berupa
sel, jaringan maupun organ yang ditumbuhkan secara aseptik dengan lingkungan
dan unsur hara yang terkendali hingga terbentuk individu baru (Hussain et al.
2012). Teknologi kultur jaringan telah diaplikasikan dalam skala penggunaan
yang cukup luas meliputi perbanyakan tanaman, konservasi serta preservasi
tanaman.Teknologi kultur jaringan yang memiliki keunggulan diantaranya lebih
efisien, produksi propagula dengan jumlah yang besar dan bermutu (Sama et al.
2015), serta sifat tanaman sama (true to type) (Gunawan 1992; Mohanty et al.
2011; Hussain et al. 2012). Respon pertumbuhan dan laju multiplikasi in vitro
berbeda antar spesies tanaman, bahkan antar genotipe dalam spesies
(Parthasarathy dan Sasikumar 2006). Beberapa protokol multiplikasi in vitro telah
dilaporkan pada beberapa spesies anggota famili Zingiberaceae akan tetapi
perkembangan protokol multiplikasi in vitro pada temu ireng masih sangat
terbatas. Oleh karena itu dibutuhkan media multiplikasi temu ireng terbaik dalam
memproduksi tanaman temu ireng secara in vitro sebagai salah satu aternatif
untuk menghasilkan propagula bermutu dengan kejelasan varietas.
.
Perumusan Masalah
Temu ireng merupakan salah satu jenis tanaman obat yang mulai diminati
oleh masyarakat, ditandai dengan meningkatnya permintaan tanaman tersebut dari
tahun ke tahun. Peningkatan produksi tanaman salah satunya dapat dilakukan
dengan penyediaan varietas unggul. Plasma nutfah adalah bahan genetik yang
digunakan oleh pemulia tanaman untuk membentuk idiotipe tanaman.
Pemanfaatan plasma nutfah tidak akan optimal apabila tidak didukung oleh ragam
genetik yang luas. Eksplorasi merupakan salah satu upaya dalam pengkayaan
ragam genetik.
Penelitian ini diawali dengan karakterisasi rimpang temu ireng hasil
eksplorasi yang dilanjutkan dengan penanaman rimpang di kebun percobaan
dengan teknik budidaya standar. Tanaman temu ireng dikarakterisasi tajuk dan
rimpangnya. Karakter yang damati adalah karakter morfologi, hasil dan
komponen hasil yang mengacu kepada deskriptor Zingiberaceae dan Curcuma.
Untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif setiap aksesi dilakukan analisis

3

fitokimia pada rimpang temu ireng. Pengadaan propagula temu ireng dengan
kejelasan varietas sangat diperlukan untuk memenuhi persediaan bibit untuk
budidaya. Penelitian dilanjutkan dengan dilakukannya sterilisasi dan induksi
multiplikasi tunas secara in vitro. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar
1.
Tujuan Penelitian
Penelitianini bertujuan untuk :
1. Memperoleh informasi karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil
rimpang temu ireng hasil eksplorasi,
2. Memperoleh informasi kekerabatan aksesi temu ireng melalui karakterisasi
morfologi bagian vegetatif dan rimpang beberapa aksesi hasil eksplorasi,
3. Memperoleh komposisi media multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal
secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang karakter
morfologi, hasil, dan komponen hasil beberapa aksesi temu ireng hasil eksplorasi
di berbagai wilayah di Indonesia, sebagai tahapan koleksi plasma nutfah temu
ireng untuk kegiatan pemuliaan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu
memberikan informasi kekerabatan aksesi temu ireng melalui karakterisasi
morfologi bagian vegetatif dan rimpang beberapa aksesi hasil eksplorasi dan
senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang temu ireng secara kualitatif.
Informasi tersebut sangat penting sebagai tahap awal dalam kegiatan pemuliaan
tanaman khususnya perakitan varietas unggul. Perbanyakan temu ireng secara in
vitro dengan penambahan zat pengatur tumbuh dilakukan untuk memperoleh bibit
tanaman temu ireng yang bermutu.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu karakterisasi rimpang temu
ireng hasil ekplorasi yang dilanjutkan dengan analisis keragaman beberapa aksesi
temu ireng, serta multiplikasi secara in vitro untuk mendapatkan kultur asenik dan
media multiplikasi optimum perbanyakan tanaman temu ireng secara in vitro.
Percobaan pertama dan kedua dilakukan untuk mendapatkan informasi karakter
morfologi, hasil dan komponen hasil rimpang temu ireng dan informasi
kekerabatan beberapa aksesi temu ireng di Indonesia, sedangkan percobaan ketiga
dilakukan untuk memperoleh komposisi media multiplikasi temu ireng secara in
vitro. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

4

Koleksi rimpang temu ireng
hasil eksplorasi

Koleksi in vivo

1. Karakterisasi rimpang
hasil eksplorasi





2. Analisis keragamanan
beberapa aksesi temu ireng

Karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil
beberapa aksesi temu ireng
Informasi kekerabatan beberapa aksesi temu ireng
Karakter fitokimia (kualitatif)

Koleksi in vitro

3. Induksi
multiplikasi tunas
temu ireng aksesi
Kendal secara in
vitro

Komposisi media
multiplikasi tunas
temu ireng in vitro

Gambar 1 Diagram alir penelitian karakterisasi beberapa aksesi temu ireng
(Curcuma aeruginosa Roxb.) dan perbanyakan secara in vitro

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.)
Genus Curcuma merupakan anggota famili Zingiberaceae terdiri atas 80
sampai 100 spesies yang telah digunakan sebagai obat tradisional sejak lama
(Paisooksantivatana et al. 2001; Syamkumar dan Sasikumar 2007; Angel et al.
2012b; Khan et al. 2013). Beberapa diantaranya belum dikenal dengan baik.
Nama Curcuma untuk pertama kali diberikan oleh Linnaeus pada bukunya yang
berjudul “Species Plantarum” tahun 1753. Kata curcuma diadaptasi dari bahasa
Arab “kurkum”, yang artinya berwarna kuning. Secara taksonomi curcuma adalah
genus yang memiliki susunan yang rumit dan spesies tanaman baru dan belum
semuanya dipublikasikan (Paisooksantivatana et al. 2001). Banyak spesies yang
termasuk ke dalam genus Curcuma dikenal sebagai tanaman komersial atau
memiliki nilai obat (Velayudhan et al.2012). Tanaman curcuma baik rimpang
maupun daunnya memiliki aroma yang khas dan mengandung senyawa fungsional
seperti volatil oil (Angel et al. 2012b; Wan et al. 2000), terpen, fenol, dan
flavanoid, yang merupakan antioksidan yang sangat kuat (Kayser dan Quax 2007;
Tsai et al. 2011).
Curcuma aeruginosa atau dikenal sebagai temu ireng di Indonesia termasuk
ke dalam tanaman monokotil. Temu ireng dikenal pula di negara lain khususnya
negara-negara di Asia Tenggara seperti temu erang (Malaysia), wan ma-haamek
(Thailand), dan ngh[eej]ten d[oof]ng (Vietnam) (de Padua et al. 1999).
Berdasarkan sistem taksonomi (IPNI 2013) temu ireng termasuk dalam :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Spesies
: Curcuma aeruginosa Roxb.
Temu ireng merupakan tanaman semak, memiliki rimpang, berbatang semu,
dan tingginya kurang lebih 50 cm. Rimpangnya terletak dalam tanah dengan
ukuran yang cukup besar dan bercabang merata. Daun alternate, entire, tunggal,
tegak, warna hijau dengan semburat ungu pada masing-masing sisi ibu tulang
daun. Temu ireng akan mengalami dorman, seluruh daun akan mengering dan
luruh pada musim kemarau sehingga akan memudahkan untuk panen karena
sudah cukup tua untuk dipanen (Syukur dan Hemani 2001).
Temu ireng memiliki bunga majemuk, bentuk bulir panjang antara 14-18 cm
di ujung batang semu atau terpisah dari batang. Tangkai bunga memiliki panjang
antara 20-50 cm, tertutup oleh 2-3 pelepah yang besar dan tidak berdaun, warna
hijau muda pada mahkota berbunga krem sampai merah jambu, staminodia dan
bibir berwarna kuning pucat, bagian tengah bibir kuning tua. Rimpang induk
besar berdaging, mengerucut panjang sekitar 16 cm tebal 3 cm tidak begitu rapat,
permukaan luar abu-abu dan berkilau, ujung tunas merah jambu bagian dalam
kebiruan atau biru hijau dengan korteks putih. Mudah dikenal jika rimpangnya
yang tua dipotong atau diiris berwarna agak kebiruan seperti warna timah. Kulit

6

luar rimpang kuning dan berkilat ujungnya berwarna merah muda. Bagian dalam
rimpang muda berwarna biru pucat dengan batang berwarna hijau. Tanaman ini
dibudidayakan sebagai apotek hidup dan tumbuh liar di hutan-hutan jati dan
padang rumput pada ketinggian 400-750 m dari permukaan laut (Darwis et al.
1991). Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma ditampilkan pada Gambar
2, sedangkan morfologi bunga ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 2 Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma
Sumber: PPV & FRA (2007)

Gambar 3 Morfologi bunga genus Curcuma, malai bunga (a), bunga dengan
braktea dan brakteolus (b), ovary (c), bunga (d), bractea (e), bractea (f),
braktea (g), bunga (h), pistil (i), stamen (j), dan anther (k)
Sumber: Ravindran et al. (2007)

7

Manfaat Temu Ireng
Rimpang temu ireng berkhasiat untuk menambah nafsu makan,
menyembuhkan cacingan. Secara empiris digunakan sebagai obat tradisional
untuk rematik, batuk, asma dan antelmentik. Selain itu temu ireng juga bisa
digunakan sebagai obat perut kembung, obat luka, memperlancar keluarnya darah
nifas (Sangat 2007), obat batuk, asma (Nasrullah et al. 2010), encok, dan
menurunkan berat badan (Darwis et al. 1991).
Minyak esensial dari rimpang berpotensi sebagai sumber anti mikroba yang
mengandung campuran monoterpen, sesquiterpen, dan berbagai jenis senyawa
hidrokarbon alifatik (Burt 2004). Temu ireng digunakan sebagai obat tradisional
untuk mengobati inflamasi, postpartum uterine, dan perimanopousal bleeding
dengan kandungan kimia antara lain � -pinene (7.71%), 1.8 cineol (9.64%),
curzerenone (41.63%) (Jarikasem et al. 2005). Penelitian fitokimia pada rimpang
temu ireng menghasilkan tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai
zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007).
Karakterisasi Morfologi
Pengetahuan mengenai karakter morfologi tanaman dapat dilakukan dengan
melakukan karakterisasi morfologi berbagai sifat tanamanan, baik kualitatif
maupun kuantitatif. Perbedaan karakteryang dimiliki oleh setiap aksesi merupakan
bekal awal dalam melakukan kegiatan seleksi tanaman dalam kegiatan pemuliaan.
Dibandingkan dengan penandaan molekuler, penandaan dengan menggunakan
karakter morfologi lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan, namun lebih
banyak memberikan manfaat dalam kegiatan pembentukan varietas unggul
(Susantidiana et al. 2009).
Pengamatan karakter morfologi juga merupakan determinasi yang paling
akurat untuk menilai sifat agronomi dan pengelompokan secara taksonomi
berbagai tanaman. Pengamatan karakter morfologi dapat digunakan untuk
mengkaji keragaman genetik dan korelasi antara sifat morfologi dengan sifat
penting agronomi lainnya. Karakterisasi pada tingkat morfologi diperlukan
terutama untuk mengenali fenotipe dan perubahan terkait dengan ekotipenya.
Keragaman genetik antar individu dapat diduga dengan menggunakan penanda
morfologi. Identifikasi keragaman dengan cara karakterisasi akan menghasilkan
data berisi informasi tentang sifat-sifat morfologi seperti bentuk daun, panen,
tinggi tanaman, dan daya hasil (Surahman et al. 2009).
Karakterisasi secara morfologi mudah dilakukan dan nampak dengan jelas
parameternya pada tanaman. Karakter morfologi yang diamati merupakan
penanda yang didasarkan pada pewarisan Mendel yang sederhana seperti bentuk,
warna ukuran, dan bobot. Karakter morfologi dapat digunakan sebagai petunjuk
nyata karena sifatnya dapat diturunkan. Penanda morfologi telah banyak
digunakan pada tanaman seperti jagung, tomat, dan ubi jalar (Hallauer 2011).
Pembiakan Tanaman Secara Vegetatif
Tanaman membiak vegetatif adalah tanaman yang perbanyakannya
menggunakan bagian vegetatif tanpa melalui proses fertilisasi. Terdapat dua
kelompok tanaman mengembang biak vegetatif yaitu vegetatif obligat yang hanya

8

memperbanyak secara aseksual karena organ seksualnya tidak berfungsi atau tidak
lengkap dan vegetatif fakultatif yang masih mampu melakukan perbanyakan
secara seksual namun perbanyakan aseksual menjadi lebih baik dan sering
dilakukan (Syukur et al. 2012) .
Pembiakan vegetatif dilakukan apabila genotipe tersebut memiliki
permasalahan dalam proses pembentukan biji seperti tingginya sterilitas,
homozigositas, tingkat ploidi, dan rendahnya viabilitas benih. Lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai suatu siklus pertumbuhan juga menjadi sebuah
permasalahan pada tanaman membiak vegetatif (Ghosh et al. 2011). Keturunan
dari satu tanaman tunggal atau sekelompok tanaman hasil perbanyakan vegetatif
dikenal sebagai klon. Klon sebagai hasil pembelahan mitosis memiliki sifat yaitu
susunan genetik yang identik, susunan genetik heterozigot, dan karakternya stabil
(Brown dan Caligari 2008).
Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif
Plasma nutfah adalah bahan genetik dari suatu organisme. Pemulia tanaman
menggunakan plasma nutfah untuk membentuk tanaman pertanian (Barnum 2007).
Plasma nutfah merupakan sumber genetik yang dapat dimanfaatkan tidak hanya
sebagai modal dasar dalam program perbaikan bahan tanam tetapi juga untuk
kebutuhan industri. Pemanfaatan plasma nutfah tidak akan optimal apabila tidak
didukung oleh ragam genetik yang luas, bahkan keberhasilan program perakitan
varietas unggul sangat ditentukan oleh tersedianya keragaman genetik plasma
nutfah yang luas (Pribadi 2009).
Teknik seleksi klonal digunakan pada tanaman mengembang biak secara
vegetatif, yaitu menyeleksi klon-klon terbaik yang diterapkan untuk meningkatkan
kemampuan genetik tanaman membiak vegetatif. Seleksi klonal tidak
memfasilitasi munculnya keragaman genetik. Melalui perbanyakan vegetatif,
klon-klonnya akan menghilangkan pengaruh dari segregasi gen dan keturunannya.
Pada tanaman membiak vegetatif obligat keragaman tidak bisa dilakukan melalui
hibridisasi, pembentukan keragaman bisa dilakukan dengan induksi mutasi atau
rekayasa genetika. Pada tanaman mengembang biak vegetatif fakultatif
pembentukan keragaman bisa dilakukan melalui pemuliaan konvensional melalui
hibridisasi sehingga karakter terbaik pada F1 langsung bisa dipertahankan melalui
pembentukan populasi vegetatif secara langsung (Syukur et al. 2012).
Fitokimia Curcuma sp.
Analisis fitokimia adalah analisis yang dilakukan terhadap bahan alam yang
bertujuan untuk menentukan senyawa kimia penyebab efek racun atau efek yang
bermanfaat (Phillipson 2001). Analisis fitokimia merupakan analisis kualitatif
pendugaan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman.
Penelitian senyawa fitokimia genus Curcuma telah banyak dilakukan diantaranya
pada kunyit, temulawak (Anjusha dan Gangaprasad 2014), dan temu mangga
(Malek et al. 2011). Analisis fitokimia merupakan analisis yang digunakan untuk
menduga secara kualitatif senyawa bioaktif hasil metabolisme sekunder pada
tanaman. Penelitian fitokimia pada rimpang temu ireng menghasilkan tiga

9

golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, dan
isocurcumenol (Sukari et al. 2007).
Alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloid biasanya tanpa warna, sering bersifat optis aktif kebanyakan berbentuk
kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar.
Secara kimiawi alkaloid merupakan suatu golongan heterogen (Harborne 1987).
Steroid/triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit kebanyakan
berupa alkohol, aldehida, atau asam karbosilat. Triterpenoid dapat dipilah menjadi
sekurang-kurangnya empat golongan senyawa, yaitu triterpenoid, steroid saponin
dan glikosida. Triterpenoid tertentu terkenal karena rasanya terutama
kepahitannya (Harborne 1987).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol,
sapogenin, glikosida, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai
transformasi kimia triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid
dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Semua plavonoid menurut
strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon berupa tepung putih pada
tumbuhan dan sebagian besar terlarut dalam air. Flavonoid merupakan senyawa
fenol yang akan berubah warnanya bila ditambah basa atau amonia (Harborne
1987).
Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang terdeteksi dalam lebih
dari 90 jenis tumbuhan. Glikosida adalah suatu senyawa kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Saponin merupakan senyawa aktif
permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa. Quinon adalah senyawa berwarna yang
memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzoquinon yang terdiri atas dua
buah gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon
(Harborne 1997).
Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro
Teknologi kultur jaringan mengacu kepada kemampuan tanaman
beregenerasi atau dikenal dengan teori totipotensi. Kultur jaringan dalam kondisi
aseptik sering juga disebut sebagai kultur in vitro yang berarti kultur yang
ditumbuhkan di dalam gelas (Gunawan 1992). Peneliti di bidang hortikultura telah
menggunakan pembiakan secara in vitro secara besar-besaran yang berasal dari
satu tanaman (Barnum 2007).
Pembiakan secara in vitro merupakan kegiatan antara laboratorium dengan
pembibitan. Melalui pembiakan in vitro kita dapat meningkatkan jumlah tanaman
dalam waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan cara konvensional.
Pembiakan in vitro terdiri atas 4 tahapan yaitu sterilisasi eksplan, inisiasi tunas,
inisiasi akar, dan aklimatisasi. Kultur jaringan tanaman harus didukung oleh
berbagai jenis dan konsentrasi nutrisi, mineral, vitamin, sukrosa, dan hormon
pertumbuhan tanaman, seperti auksin dan sitokinin. Jika dibandingkan dengan
metode konvensional metode kultur jaringan lebih menguntungkan, khususnya

10

untuk perbanyakan yang dilakukan pada tanaman heterozigot, sexual
incompatibility, dan untuk genotipe yang steril (Dahleen dan Bregitzer 2002).
Penelitian kultur jaringan pada genus Curcuma telah dilakukan untuk
memperoleh protokol standar untuk pembiakan tanaman secara in vitro dan
suspensi sel digunakan untuk mengoleksi sifat-sifat yang diinginkan dan untuk
konservasi. Diantara eksplan yang digunakan tunas rimpang merupakan bahan
tanaman yang paling banyak digunakan pada perbanyakan in vitro Curcuma.
Media Murashige and Skoog (MS) telah digunakan secara luas dengan
penambahan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin seperti benzil adenin
(BA) dan benzil amino purin (BAP) untuk meningkatkan proliferasi tunas.
Penggunaan kinetin dan BA digunakan untuk menginduksi tunas dan akar secara
bersamaan. Pengaruh positif BA yang dikombinasikan dengan zat pengatur
tumbuh golongan auksin diantaranya 1-naphthaleneacetic acid (NAA), kinetin,
2.4-diclorophenoxyaceticacid (2.4-D), dan indoleacetic acid (IAA) mampu
menginduksi kalus dan multiplikasi tunas pada beberapa jenis Curcuma baik
menggunakan zat pengatur tumbuh benzil amino purin (Tabel 1) maupun benzil
amino (Tabel 2).
Perbanyakan temu ireng dengan menggunakan rimpang sangat lambat,
sehingga metode kultur jaringan tanaman secara in vitro bisa digunakan sebagai
solusi alternatif dalam pembiakan tanaman. Dalam metode ini terpelihara bentuk
dan konsistensi produksi tanaman yang true to type dalam waktu yang relatif lebih
singkat (Selvakkumar et al. 2007).
Tabel 1 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP)
Spesies/Pustaka
Curcuma longa var
chattip/
Jala 2012

Persiapan eksplan
Tunas
rimpang,
sterilisasi : larutan
teepol 2 menit,
clorox 5% 10 menit

Curcuma mangga/
Raihana et al.
2011

Tunas
rimpang
ukuran 2 – 3 cm.
Sterilisasi dengan
deterjen, klorox +
tween 20

Komposisi media + ZPT
MS0, agar 0.25% gelrite
dan 4% sukrosa, Media
Pertunasan : 0.5, 1, 2 mg/L
2.4D, 0.5 mg/L 2.4D + 0.1,
0.5, 1 mg/L BAP.
Media regenerasi kalus :
0.1 mg/L NAA+15% Air
kelapa + 1,2,3,4,5 mg/L
BAP.
Media embriogenesis :
0.01, 0.1, 1, 5
paclobutrazol + 15% air
kelapa
MS0, BAP, IAA, NAA
dengan
konsentrasi
masing-masing 0,1, 3, 5, 7
dan 11 mg/L
Teknik subkultur : eksplan
berukuran 1 – 2 cm dengan
kombinasi 3 mg/L BAP +
0.5 mg/L NAA, 3 mg/L
BAP + 1 mg/L NAA, 5
mg/L BAP + 0.5 mg/L
NAA, 5 mg/L BAP + 1
mg/L NAA)

Hasil penelitian
Jumlah tunas terbaik
pada media dengan
penambahan 0.1 mg/L
NAA + 15% air kelapa
dan 3 mg/L BAP : 2.6
tunas/eksplan

Multiplikasi tunas
terbaik pada komposisi
media MS dengan 9
mg/L BAP : 3.3
tunas/eksplan.
Kombinasi media
subkultur terbaik pada
media MS dengan 3
mg/L BAP dan 1 mg/L
NAA : 2.2
tunas/eksplan.

11

Tabel 1 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP) (lanjutan)
Spesies/Pustaka
Curcuma longa L /
Sharma et al. 2013

Curcuma longa L/
Ugochokwuet al.
2013
Curcuma
angustifolia /
Shukla et al. 2007

Persiapan eksplan
Tunas
rimpang.
Sterilisasi : Tween
20
selama
20
menit, 0.1% HgCl2
+ 2% Bavistin
selama 3 menit
Planlet

Komposisi media + ZPT
MS0 + 0.5, 1.0, 1.5, 2.0,
2,5 mg/L BAP dan NAA
tanpa kombinasi

Hasil penelitian
Proliferasi tunas
maksimum : media
MS0 + 2.5 mg/L BAP
dan 0.5 mg/L NAA

MS0 + 3, 4, 5, 6, 7, 8 mg/L
BAP

Tunas rimpang 2-3
cm.

MS0 + sukrosa 30 g/L
Media inisiasi tunas : 3
mg/L BAP
Media
perlakuan
:
kombinasi antara
3, 5
mg/L BAP + 0, 25, 50, 100
mg/L adenine sulfat

Secara statistik
penambahan ZPT tidak
berpengaruh signifikan.
Induksi tunas terbaik
media MS0 + 3 ng/L
BAP + 25 mg/L
sdenine sulfat : 1.67
tunas/eksplan

Tabel 2 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil adenin (BA)
Spesies/pustaka
Curcuma zedoaria
+ Zingiber
zerumbet
Stanly dan Keng
2007

Persiapan eksplan
Tunas
rimpang.
Sterilisasi : 100
mg/L HgCl2 5
menit, 20% dan
10% clorox

Curcuma longa L. /
Ahmadet al. 2011

Tunas rimpang 1-3
cm, sterilisasi:
Tween 5 menit,
direndam air suhu
50oC 10 menit,
0.5% Plant
Preservative
Mixture dan etanol
70%.
Tunas rimpang 1
cm.

Curcuma longa/
Nayak dan
Naik2006

Curcuma longa L/
Islam et al. 2004

Tunas rimpang 1
cm,
sterilisasi
dengan Tween 20 2
menit, etanol 70%
40 detik, 0.1%
HgCl2

Komposisi media dan ZPT
MS0 dengan 30 g/L
sukrosa, 7.5 g/L agar
Media proliferasi : 2 mg/L
BA+ 2 mg/L IBA
Media pertunasan :
0,2, 4, 6, 8, 10 mg/L
BA+IBA
0, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 3.5,
4, 4.5, 5 mg/L BAP+IBA
Media cair : 0.5 mg/L BA+
0.5 mg/L IBA
MS0 + 3% sukrosa + 0.8%
agar BA + Benlate
(fungisida komersial)

Hasil penelitian
Media optimum MS
solid dengan 0.5 mg/L
BA dan 0.5 mg/L IBA :
2.3 tunas/eksplan

Media pertunasan : MS0
Media mikrorhizome
media cair MS0 + 3.6 dan
9 g/L Sukrosa
Media pertunasan/media
cair : 4.4, 13.3, 22.2 µM
BA
MS0 + 3% sukrosa + 0.8
agar
6 µM BA dan 0.3 µM
NAA

Media induksi tunas
optimal pada media
cair MS0 + 13.3 µM
BA dan 6% sukrosa :
2.7 tunas/eksplan

Tingkat kontaminasi
mencapai 39%.

Induksi mikrorhizome
media MS0 +12 µM
BA dan 0.3 µM NAA

12

Tabel 2 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
pengatur tumbuh benzil adenin (BA) (lanjutan).
Spesies/Pustaka
Curcuma amada
Roxb./ Ferdous et
al. 2012

Eksplan
Tunas
rimpang
ukuran 1.5 – 2 cm
dengan sterilisasi
menggunakan
Savlon
(Chlorhexidine
gluconate 0.3% dan
citrimide
3%)
selama 10 menit
dan HgCl2 0.1%
selama 10 menit.
Tunas rimpang 11.5 cm, sterilisasi
menggunakan
deterjen,
HgCl2
0.2% + Tween 20
selama 8 menit

Komposisi media + ZPT
MS0
0, 2, 4, 8, 10 µM BA dan
Kinetin. Kombinasi BA +
NAA dan BA + IBA (8+1,
8+1.5, 8+2 µM ).

Curcuma caesia/
Shahihnozzaman et
al. 2013

Tunas rimpang 1-2
cm,

Zingiber
petiolatum H.
Prathanturarug
al. 2004

Buah,
sterilisasi
menggunakan 70%
etanol, 1% NaClO2,
10 µl Tween 80

MS0 + 30% sukrosa+ 8
g/L
1, 3, 5, 7 µM BA; 1, 3 µM
BA+ 0.5, 1.5 µM NAA
MS0 dengan 3% Sukrosa
dan 0.55% Agargel
2.2, 4.4, 8.9, 17.8 35.5 µM
BA dan kombinasi dengan
0.5 NAA

Curcuma
aeruginosa Roxb./
Theanphong et al.
2010

et

Kinetin + NAA
dan
Kinatin
+IBA
(10+1,
10+1.5, 10 +2 µM )

MS0+ sukrosa 30 g/L
+agar
1,3,5,7 mg/L BA dan
kinetin, kinetin + 0.5 mg/L
NAA, BA + 0.5 mg/L
NAA

Hasil penelitian
Proliferasi
optimum
MS0 dengan 8 µM BA
+ 1 1 µM NAA dengan
rata-rata 10.6 ±0.26
tunas/eksplan.
Aklimatisasi
menggunakan media
tanah : kompos 1:1
dengan
tingkat
keberhasilan 80%
Inisiasi tunas,
akar
dan panjang eksplan
terbaik menggunakan
media MS0 + 1 mg/L
BA + 0.5 NAA : 1.29
tunas/eksplan
Media MS0 tanpa ZPT
tidak membentuk tunas
baru.
Media pertunasan
dengan 3 µM BA+ 0.5
µM NAA : 1
tunas/eksplan
Media pertunasan
terbaik MS0 + 17.8
µM BA : 6.1
tunas/eksplan

13

3 KARAKTERISASI RIMPANG TEMU IRENG (Curcuma
aeruginosa Roxb.) HASIL EKSPLORASI
Abstrak
Temu ireng atau Curcuma aeruginosa Roxb. merupakan salah satu tumbuhan obat
penting di Asia bagian Selatan dan Tenggara, khususnya India, Indonesia,
Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Keragaman genetik tanaman merupakan hal
yang penting bagi program pemuliaan yang dapat diperoleh melalui eksplorasi
ataupun introduksi. Penelitian ini bertujuan unuk memperoleh karakter rimpang
dan tanaman temu ireng hasil eksplorasi sebagai sumber keragaman genetik untuk
kegiatan pemuliaan tanaman. Pengamatan karakter rimpang dilakukan dengan
mengacu kepada descriptor Curcuma. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa
rimpang temu ireng hasil eksplorasi memiliki ukuran yang berbeda pada setiap
aksesi. Rimpang temu ireng terdiri atas rimpang induk, primer, sekunder, dan
fleshy root. Rimpang induk temu ireng memiliki panjang antara 3.9 cm (aksesi
Natar) hingga 8.0 cm (aksesi Cianjur), diameter rimpang induk antara 3.4 cm
(aksesi Rimbo ) hingga 5.1 cm (aksesi Cianjur). Ukuran panjang rimpang primer
berkisar antara 3.1 cm (aksesi Natar) hingga 11.9 cm (aksesi Cianjur) dengan
ukuran diameter terbesar 2.4 (aksesi Kendal) dan diameter terkecil 0.9 (aksesi
Rimbo). Pengamatan terhadap warna daging rimpangdiperoleh dua warna
rimpang yaitu kuning keabuan dan putih keabuan.
Kata kunci: aksesi, rimpang, rimpang induk, fles