Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria)

PENGOPTIMUMAN FASE GERAK KROMATOGRAFI CAIR
KINERJA TINGGI UNTUK ANALISIS SIDIK JARI EKSTRAK
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria)

BADRUNANTO

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK
BADRUNANTO. Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria). Dibimbing
oleh ETI ROHAETI dan IRMANIDA BATUBARA.
Curcuma zedoaria atau temu putih merupakan tanaman obat yang telah
digunakan untuk mengobati beberapa penyakit serta dilaporkan memiliki aktivitas
antimikrob dan antioksidan. Untuk menjamin kualitas temu putih, perlu
dikembangkan metode analisis sidik jari. Penelitian ini bertujuan menentukan fase
gerak kromatografi cair kinerja tinggi yang optimum untuk analisis sidik jari temu

putih yang berasal dari 3 lokasi berbeda, yaitu Cipaku, Cimanggu, dan Dramaga
serta menentukan aktivitas antioksidannya. Komposisi eluen terbaik yang
diperoleh ialah asam trifluoroasetat (TFA) 0.10% dalam air (A) dan asetonitril (B)
dengan metode elusi gradien. Program gradien dimulai dengan komposisi 90%
A:10% B, kemudian diubah menjadi 80% A:20% B dalam 12 menit, lalu menjadi
40% A:60% B dalam 38 menit, sebelum kembali ke kondisi awal dalam 10 menit
dan ditahan selama 5 menit. Laju alir fase gerak yang digunakan adalah 1
mL·menit-1. Aktivitas penghambatan radikal stabil 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil
tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak temu putih dari Dramaga dengan nilai
konsentrasi penghambatan 50% 182.01 µg·mL-1.
Kata kunci: antioksidan, IC50, sidik jari, temu putih

ABSTRACT
BADRUNANTO. Optimization of High Performance Liquid Chromatography
Mobile Phase for Fingerprint Analysis of Curcuma zedoaria Extract. Supervised
by ETI ROHAETI and IRMANIDA BATUBARA.
Curcuma zedoaria, known as temu putih in Indonesia is widely used as
medicinal plant to treat some diseases and has been reported to have antimicrobial
and antioxidant activities. For quality control of C. zedoaria, an attempt on
fingerprint study was developed in this work. This study was aimed to determine

the optimum condition of high performance liquid chromatography mobile phase
for the fingerprint analysis of C. zedoaria collected from 3 different places,
namely Cipaku, Cimanggu, and Dramaga and determine the antioxidant activities.
The best eluent composition obtained was trifluoroacetic acid (TFA) 0.10% (A)
and acetonitrile (B) by gradient elution method. The gradient program was started
at 90% A:10% B, changed to 80% A:20% B in 12 minutes, and then to 40%
A:60% B in 38 minutes, before finally brought back to the initial conditions in 10
minutes and held constant for 5 minutes. The mobile phase flow rate used was 1
mL·min-1. The highest inhibitory activity of 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl stable
radical was shown by the C. zedoaria extract collected from Dramaga with 50%
inhibition concentration value of 182.01 µg·mL-1.
Key words: antioxidant, Curcuma zedoaria, fingerprint, IC50

PENGOPTIMUMAN FASE GERAK KROMATOGRAFI CAIR
KINERJA TINGGI UNTUK ANALISIS SIDIK JARI EKSTRAK
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria)

BADRUNANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
Nama
: Badrunanto
NIM
: G44104004

Disetujui oleh
Pembimbing I


Pembimbing II

Dr. Eti Rohaeti, MS
NIP 19600807 198703 2 001

Dr. Irmanida Batubara, S.Si, M.Si
NIP 19750807 200501 2 001

Diketahui oleh
Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah

ini disusun berdasarkan kegiatan penelitian dengan judul “Pengoptimuman Fase
Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu
Putih (Curcuma zedoaria)” yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember
2012 di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB, Bogor
dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eti Rohaeti, MS dan Dr.
Irmanida Batubara, S.Si, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan waktu selama penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Karya
ilmiah ini merupakan bentuk penghargaan kepada kedua orang tua, kakak, dan
adik penulis yang selalu memberikan motivasi, doa, dukungan, dan kasih sayang
selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor sampai menyelesaikan karya
ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eman, Bapak
Endi, Sri Iswani, Marina, serta seluruh staf dan rekan-rekan peneliti di
Laboratorium Kimia Analitik dan Pusat Studi Biofarmaka yang telah banyak
membantu selama penelitian dan penyusunan karya tulis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013
Badrunanto


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tegalgirang, Kabupaten Indramayu pada tanggal
3 Januari 1989 dari seorang ayah bernama Nadi dan ibu Saminih. Penulis
merupakan putra kedua dari 3 bersaudara. Tahun 2007, penulis lulus dari SMA
Negeri 1 Indramayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi pada Direktorat
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Keahlian Analisis
Kimia melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah
menyelesaikan studi di Program Diploma pada tahun 2010, penulis melanjutkan
ke Program Alih Jenis Kimia IPB pada tahun yang sama.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan praktik kerja
lapangam pada tahun 2010 di Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor, dengan judul
laporan “Penentuan Tiamin dalam Produk Sari Ubi Jalar Merah Hasil Fermentasi
Bifidobacterium bifidum”. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas
Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) dengan judul “Uji Aktivitas Antidiabetes
dalam Ekstrak Daun Wungu (Graptophylum pictum (L) Griff) secara in vitro”
sampai ke tingkat nasional. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Kromatografi (2010/2011), Kimia Anorganik (2011/2012), Kimia Analitik Dasar
(2011/2012), Kimia Bahan Alam (2012/2013), Kimia Dasar (2012/2013), serta
Keselamatan Kerja Laboratorium dan Pengenalan Bahan (2012/2013).


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................vii
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAHAN DAN METODE ........................................................................................ 2
Bahan dan Alat ..............................................................................................................2
Lingkup Penelitian ........................................................................................................2
Preparasi Sampel ...........................................................................................................2
Penentuan Kadar Air .....................................................................................................2
Ekstraksi Sampel ...........................................................................................................2
Penentuan Fase Gerak Optimum .................................................................................2
Uji Aktivitas Antioksidan ............................................................................................3
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................ 3
Hasil Determinasi dan Ekstraksi .................................................................................3
Temu Putih .....................................................................................................................3
Fase Gerak Optimum ....................................................................................................4
Aktivitas Antioksidan ...................................................................................................7
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 8

Simpulan.........................................................................................................................8
Saran ...............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8

vi

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rendemen ekstrak temu putih basah hasil maserasi dalam metanol ............... 4
2 Jumlah puncak sidik jari pada setiap kromatogram KCKT ............................. 6
3 Hubungan % area puncak terhadap nilai IC50 .................................................. 7

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temu putih. ....................................................................................... 1
2 Rimpang temu putih. ........................................................................................ 3
3 Simplisia rimpang temu putih sebelum (a) dan setelah dihaluskan (b). .......... 3
4 Kromatogram hasil elusi isokratik.. ................................................................. 4
5 Kromatogram hasil elusi dengan program gradien.. ........................................ 5
6 Sidik jari KCKT temu putih Cipaku (a), Cimanggu (b), dan Dramaga (c)

menggunakan kondisi fase gerak optimum ...................................................... 6

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .................................................................................... 101
2 Kromatogram hasil elusi isokratik ................................................................. 12
3 Kromatogram hasil elusi gradien ................................................................... 13
4 % area puncak kromatogram yang memiliki intensitas tinggi dari 3 sampel
temu putih ....................................................................................................... 14
5 Hasil uji aktivitas antioksidan metode DPPH ................................................. 15

vii

PENDAHULUAN
Saat ini, obat herbal semakin menjadi
pilihan masyarakat seiring dengan tren
kembali ke alam. Sebagian masyarakat
beranggapan bahwa bahan alami lebih baik
karena tidak menimbulkan efek samping
(WHO 2000). Sekitar 80% tanaman herbal

dunia tumbuh di Indonesia (Trubus 2010),
angka tersebut merupakan kekayaan alam
yang sangat besar dan harus dikembangkan.
Menurut WHO (2008), 80% penduduk
beberapa negara di Asia dan Afrika
memanfaatkan obat tradisional untuk menjaga
kesehatan mereka. Tahun 2008, persentase
penduduk Indonesia yang menggunakan obat
tradisional, termasuk obat herbal, mencapai
22.26% (BPS 2009). Tahun 2010, menurut
data Riskesdas, sekitar 59.12% penduduk
pernah mengonsumsi jamu dan 95.60% di
antaranya merasakan khasiat jamu untuk
meningkatkan kesehatan (Kemenkes RI
2011).
Saat ini ada 3 jenis obat herbal, yaitu 6
fitofarmaka, 31 obat herbal terstandar, dan
sekitar 1400 jamu (Kemenkes RI 2011).
Telah banyak tanaman yang dikembangkan
sebagai obat herbal yang aman dikonsumsi

dan diduga dapat menyembuhkan berbagai
penyakit seperti kanker dan diabetes. Salah
satu bahan alam yang termasuk kelompok
jamu dan berpotensi untuk dikembangkan
ialah temu putih (Gambar 1).

Gambar 1 Tanaman temu putih.
Temu putih merupakan tanaman dari
famili Zingiberaceae dan memiliki nama latin
Curcuma zedoaria. Tanaman ini diketahui
memiliki berbagai khasiat, antara lain sebagai
antimikrob (Rita 2010; Wilson et al. 2005).
Kandungan senyawa 5-isopropilidena-3,8dimetil-1(5H)-azulenon (Mau et al. 2003) dan
kurkuminoid (Paramapojn & Gritsanapan
2009) dalam tanaman ini diduga memberikan
aktivitas antioksidan. Kandungan senyawa
kurkumin dan turunan fenol dalam temu putih
memiliki daya reduksi yang luar biasa sebagai

antioksidan alami. Aktivitasnya lebih besar
dibandingkan dengan C. angusifola, C.
aromatic, dan C. amanda. Efek herbal yang
telah dilaporkan di antaranya sebagai
antitumor, analgesik, hepatoprotektor, dan
antimikrob. Selain itu, rimpang temu putih
bersifat pedas, menghangatkan tubuh, dan
mengatasi gangguan pencernaan seperti mual
(Trubus 2010).
Peningkatan jumlah pengguna obat herbal
harus didukung dengan upaya menjamin
konsistensi kualitas dan khasiatnya. Khasiat
dari suatu tanaman herbal ditentukan oleh
kandungan senyawa tertentu. Sampai saat ini,
kualitas rimpang temu putih sebagai bahan
herbal ditentukan oleh kandungan senyawa
aktif kurkumenol (Navarro et al. 2002),
kurkuminoid dan triterpenoid (Rita 2010).
Penentuan kualitas bahan herbal yang saat ini
digunakan ialah dengan cara menganalisis
satu per satu komponen tertentu yang
terkandung di dalamnya. Komponen berbeda
dianalisis dengan metode yang berbeda pula.
Hal ini kurang efisien dan menghabiskan
biaya yang tidak sedikit.
Bahan alam mengandung berbagai
komponen yang kompleks sehingga analisis
kualitasnya cukup lama jika dilakukan secara
konvensional. Metode konvensional tidak
dapat mengidentifikasi kandungan komponenkomponen penyusun dalam sekali pengukuran
dengan 1 metode. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan metode analisis yang dapat
mengidentifikasi komponen penyusun bahan
alam dalam sekali analisis dengan 1 metode
sehingga lebih efisien. Saat ini, metode sidik
jari kromatografi mulai dikembangkan
sebagai metode kontrol kualitas dan telah
direkomendasikan oleh
World Health
Organization (WHO 2000) serta oleh Food
and Drugs Administration (FDA) untuk
menganalisis kualitas tanaman herbal (FDA
2004). Metode ini juga direkomendasikan
oleh European Medicines Agency (EMA).
Sementara itu, Chinese State Food and Drug
Administration (CSFDA) telah menyetujui
penerapan metode ini sebagai metode standar
dalam menentukan kualitas tanaman obat
tradisional Cina (Jiang et al. 2009). Metode
ini telah digunakan untuk kontrol kualitas
tanaman obat meniran (Phyllanthus niruri L.)
dengan hasil yang cukup memuaskan
(Wahyuni 2010).
Metode sidik jari kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) lebih efisien dibandingkan
dengan metode konvensional karena dapat
mengidentifikasi komponen-komponen dalam
suatu bahan alam dalam sekali pengukuran.

2

Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mempermudah kontrol kualitas dari bahan
baku tanaman obat herbal termasuk temu
putih. Metode sidik jari KCKT juga telah
terbukti
dapat
digunakan
untuk
menghubungkan komposisi kimia dengan
distribusi geografis (Zhang et al. 2006).
Penelitian bertujuan menentukan kondisi
optimum
fase
gerak
KCKT
untuk
mendapatkan sidik jari kromatografi ekstrak
temu putih yang informatif dan dapat
digunakan untuk menentukan kualitas temu
putih dari berbagai daerah. Kondisi parameter
KCKT yang lain dibuat tetap.

BAHAN DAN METODE

Preparasi Sampel
Simplisia
temu
putih
dihaluskan,
kemudian dikeringkan dalam oven dengan
suhu 40 °C sampai kadar airnya kurang dari
10%. Rimpang yang telah dikeringkan dapat
disimpan dan diekstraksi.
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Sebanyak 3 g sampel ditimbang dan
dimasukkan ke dalam wadah yang bersih dan
telah dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C
selama 30 menit. Kemudian wadah berisi
sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105
°C sampai diperoleh bobot relatif konstan.
Kadar air sampel ditentukan 3 kali ulangan,
masing-masing dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan ialah
metanol, asam trifluoroasetat (TFA) 0.10%
(v/v) dalam air, asetonitril (HPLC grade),
etanol, 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH),
dan asam askorbat. Sampel temu putih (C.
zedoaria (Christm.) Roscoe) diambil dari 3
lokasi di daerah Bogor, yaitu dari kebun
Biofarmaka IPB (Dramaga-Bogor Barat),
kebun Balittro (Cimanggu-Bogor Tengah),
dan kebun Sringganis
(Cipaku-Bogor
Selatan).
Peralatan yang digunakan ialah alat-alat
kaca, penguap putar, instrumen KCKT
Shimadzu LC-20AD, kolom C18 150 mm ×
4.6 mm, membran filter 0.45 µm, oven, well
plate, BioTek Epoch microplate reader, dan
penghomogen ultrasonik.

Sebanyak 30 g sampel temu putih yang
telah
dikeringkan
dan
dihaluskan
dicampurkan dengan 100 mL metanol.
Campuran diaduk, lalu dibiarkan selama 6
jam dengan sesekali diaduk. Selanjutnya
campuran dibiarkan selama 24 jam dan
disaring. Filtrat yang dihasilkan disimpan
dalam wadah yang bersih dan tertutup,
sedangkan ampasnya diekstraksi kembali
seperti prosedur sebelumnya sampai filtrat
tidak berwarna. Filtrat hasil ekstraksi 3
ulangan digabungkan dan dipekatkan dengan
penguap putar.

Lingkup Penelitian

Penentuan Fase Gerak Optimum

Penentuan kondisi optimum fase gerak
(Lampiran 1) diawali dengan ekstraksi
simplisia temu putih dari 1 lokasi. Sampel
rimpang temu putih yang telah dikurangi
kadar airnya sampai di bawah 10% diekstraksi
secara maserasi hingga diperoleh ekstrak
pekatnya. Ekstrak tersebut digunakan untuk
menentukan kondisi optimum fase gerak
KCKT, yang selanjutnya digunakan untuk
penentuan sidik jari KCKT ekstrak temu putih
dari 3 lokasi berbeda. Setiap ekstrak juga diuji
aktivitas antioksidannya dan dibuat hubungan
antara pola sidik jari KCKT dan aktivitas
antioksidan untuk melihat apakah ada
pengaruh intensitas salah satu puncak
kromatogram terhadap aktivitas antioksidan.

Sebanyak 50 mg ekstrak pekat temu putih
dilarutkan dalam 10 mL pelarut ekstraksi
(metanol)
kemudian
disaring
dengan
membran penyaring 0.45 µm. Selanjutnya
sidik jari temu putih dibuat dengan
menggunakan KCKT. Kondisi alat yang
digunakan ialah kolom C18; suhu kolom 30
°C; jumlah larutan ekstrak 100 µL; laju alir 1
mL·menit-1; dan detektor ultraviolet (UV)
dengan panjang gelombang 254 nm. Fase
gerak yang digunakan untuk pengoptimuman
ialah TFA 0.10% dalam air, asetonitril, dan
metanol. Elusi dilakukan dengan 2 metode,
yaitu isokratik dan gradien. Elusi isokratik
dilakukan sekitar 60 menit atau sampai tidak
muncul lagi puncak pada kromatogram
dengan menggunakan kombinasi eluen A dan
B. Komposisi eluen A dan B diubah secara

Ekstraksi Sampel (BPOM 2004)

3

teratur, awalnya 100% A, kemudian diubah
menjadi 75% A:25% B, 50% A:50% B, 25%
A:75% B, dan 0% A:100% B.
Pada elusi gradien, komposisi eluen A dan
B diubah dari jumlah minimum 10% sampai
maksimum 90%. Komposisi eluen diubah
berdasarkan kromatogram yang dihasilkan.
Apabila puncak kromatogram menumpuk di
awal, maka komposisi eluen yang berinteraksi
kuat dengan komponen ekstrak dikurangi.
Sebaliknya, jika puncak menumpuk di akhir,
maka komposisi eluen A dan B diubah secara
perlahan. Apabila resolusi kurang baik, maka
digunakan eluen yang mengandung TFA
0.10%. Kromatogram terbaik adalah yang
menunjukkan jumlah puncak terbanyak dan
resolusi yang cukup baik.
Uji Aktivitas Antioksidan
(Batubara et al. 2009)
Aktivitas
antioksidan
temu
putih
ditentukan dengan metode penangkapan
radikal bebas stabil DPPH. Ekstrak temu putih
dilarutkan dalam etanol sehingga diperoleh
konsentrasi 1.67, 3.34, 5.00, 6.67, 16.67,
33.33, 66.67, 100.00, dan 133.33 µg/mL.
Kemudian masing-masing 100 µL larutan
ekstrak sampel dimasukkan ke dalam well
plate dan ditambahkan 100 µL DPPH (2.0 mg
DPPH dalam 25 mL etanol), diinkubasi
selama 30 menit. Setiap campuran diukur
serapannya dengan plate reader pada panjang
gelombang 514 nm. Aktivitas inhibisi
dihitung dengan persamaan berikut:

Abs. sampel adalah serapan sampel temu
putih dan DPPH, Abs. kontrol adalah serapan
kontrol positif (asam askorbat) dan DPPH,
dan Abs. blangko adalah serapan blangko
(DPPH dalam etanol).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Determinasi dan Ekstraksi
Temu Putih
Tanaman temu putih dari 3 lokasi berbeda
di daerah Kota dan Kabupaten Bogor
dideterminasi di Pusat Penelitian Biologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Cibinong, Bogor untuk menentukan jenis
spesiesnya. Hasil determinasi memastikan
identitas tanaman sebagai temu putih (C.

zedoaria (Christm.) Roscoe) dan termasuk
suku Zingiberaceae.
Bagian tanaman yang digunakan untuk
penelitian adalah rimpangnya (Gambar 2).
Rimpang temu putih dipanen pada usia 8
sampai 11 bulan, kemudian dipotong-potong
kecil dengan alat pemotong baja nirkarat dan
dikeringkan dengan bantuan sinar matahari
pagi dan sore sampai kadar air kurang dari
10.00%. Pengurangan kadar air bertujuan
mengurangi risiko kerusakan sampel temu
putih oleh jamur dan bakteri yang menyukai
kelembapan. Setelah kadar air kurang dari
10.00%, simplisia dihaluskan menjadi serbuk
(Gambar 3) untuk meningkatkan luas
permukaan yang diekstraksi sehingga proses
ekstraksi berlangsung lebih optimum.

Gambar 2 Rimpang temu putih.

(a)
Gambar 3

(b)
Simplisia rimpang temu putih
sebelum (a) dan setelah
dihaluskan (b).

Metode ekstraksi maserasi pada suhu
ruang
digunakan
untuk
menghindari
kerusakan komponen kimia dalam sampel
temu putih akibat suhu tinggi. Pelarut metanol
dipilih karena dapat melarutkan hampir semua
komponen di dalam sampel sehingga sangat
baik untuk analisis sidik jari KCKT yang
mengharuskan seluruh komponen sampel
terekstraksi. Selain itu, pelarut ini juga telah
digunakan oleh Sumarny (2006) untuk
mengekstraksi komponen polar pada rimpang
temu putih. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan
oleh temu putih yang berasal dari Dramaga,

4

8.80

9.51

8.54

8.95

Cimanggu

9.90

9.95

10.33

10.06

Dramaga

17.18

18.05

19.03

18.09

Ket. U1: ulangan 1, U2: ulangan 2, U3: ulangan 3

Fase Gerak Optimum
Pengoptimuman
fase
gerak
serta
pemilihan cara deteksi mengacu pada
beberapa penelitian analisis sidik jari KCKT
sebelumnya. Panjang gelombang deteksi 254
nm dipilih berdasarkan hasil penelitian
Alaerts et al. (2007), Hoai et al. (2009), dan
Garza-Juárez et al. (2011). Pertimbangan lain
adalah perkiraan komponen kimia yang
terkandung di dalam sampel, yaitu senyawa
aromatik turunan benzena. Transisi elektronik
π  π* pada cincin benzena akan
memunculkan serapan di sekitar panjang
gelombang 254 nm. Panjang gelombang ini
juga cukup peka terhadap adanya substituen
(Harvey 2000). Pengoptimuman hanya
dilakukan terhadap kondisi fase gerak KCKT,
kondisi lain seperti laju alir dan suhu kolom
dibuat tetap. Fase gerak yang dipilih
didasarkan pada hasil penelitian Garza-Juárez
et al. (2011) yang menggunakan fase gerak
TFA 0.10% dan metanol, Tao et al. (2011)
yang menggunakan asetonitril dan air
deionisasi, dan Jang et al. (2007) yang
menggunakan asetonitril, metanol, dan air
deionisasi dengan ditambahkan asam. Ketiga
penelitian tersebut menghasilkan sidik jari
yang baik dan informatif. Fase gerak yang
digunakan pada penelitian ini ialah campuran
metanol, TFA 0.10% dalam air, dan
asetonitril.
Selain
merujuk
penelitian
terdahulu, pemilihan fase gerak tersebut
didasarkan pada sifat polar ketiganya
sehingga lazim digunakan pada KCKT fase
terbalik. Fase diam yang digunakan bersifat
nonpolar, yaitu C18. Ketiga pelarut memiliki
selektivitas berlainan dalam fungsinya sebagai
fase gerak.
Metode elusi isokratik dan gradien
digunakan untuk pengoptimuman fase gerak.
Metode isokratik dilakukan terlebih dahulu
untuk melihat pola awal sidik jari yang
dihasilkan dari setiap eluen dengan komposisi
tertentu sebagai dasar penentuan program

Intensitas (mV)

Cipaku

Waktu (menit)
(a)
Intensitas (mV)

Tabel 1 Rendemen ekstrak temu putih basah
hasil maserasi dalam metanol
Rendemen (%)
Sampel
Rerata
temu putih U1
(%)
U2
U3

gradien yang akan digunakan untuk
mendapatkan sidik jari KCKT yang baik.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa saat
metanol 100% digunakan sebagai eluen
isokratik, kromatogram yang dihasilkan
kurang baik karena hanya menghasilkan
sedikit puncak. Semua komponen menumpuk
di 1 puncak pada waktu retensi yang rendah
(Gambar 4a). Hal ini disebabkan oleh sifat
metanol yang cenderung semipolar sehingga
dapat berinteraksi dengan hampir semua
komponen ekstrak. Akibatnya, komponen
ekstrak terbawa dengan cepat bersama fase
gerak metanol pada waktu retensi kurang dari
5 menit. Asetonitril memiliki kepolaran yang
mirip dengan metanol sehingga pada
penelitian ini tidak digunakan sampai
komposisi
100%,
tetapi
hanya
dikombinasikan dengan pelarut lainnya.
Perubahan komposisi metanol-asetonitril

Waktu (menit)
(b)
Intensitas (mV)

kemudian Cimanggu, dan yang paling rendah
ialah dari Cipaku (Tabel 1).

Gambar 4

Waktu (menit)
(c)
Kromatogram
hasil
elusi
isokratik. Fase gerak metanol (a),
metanol-asetonitril (50:50) (b),
metanol-air (50:50) (c).

5

Intensitas (mV)

trifluoroasetat dan asam format merupakan
agen pasangan ion (ion pairing agent).

Intensitas (mV)

Waktu (menit)
(a)

Waktu (menit)
(b)

Intensitas (mV)

menjadi 50:50 (Gambar 4b) dan 25:75
(Lampiran 2a) juga hanya menghasilkan 1
puncak dengan intensitas yang tinggi.
Interaksi yang cukup rendah metanol dan
asetonitril dengan fase diam disebabkan oleh
sifat semipolar kedua fase gerak tersebut
berdasarkan nilai indeks kepolaran, yaitu
metanol 5.1 dan asetonitril 5.8 (Harvey 2000),
sedangkan fase diam C18 bersifat nonpolar.
Sebaliknya, interaksi relatif lebih kuat kedua
pelarut tersebut dengan komponen ekstrak
menyebabkan seluruh komponen keluar
bersamaan dengan pelarut dalam waktu yang
relatif cepat. Oleh karena itu, asetonitril
kemudian digantikan dengan air karena
interaksi air cukup rendah dengan komponen
organik (Dong 2006). Selain itu, pada
umumnya KCKT fase terbalik menggunakan
campuran air dan pelarut organik sebagai fase
geraknya.
Kromatogram yang dihasilkan oleh fase
gerak metanol-air (50:50) menunjukkan 3
puncak yang kurang tajam (Gambar 4c).
Demikian pula saat komposisi metanol-air
diubah menjadi 25:75, pemisahan masih
kurang baik (Lampiran 2b). Penggunaan air
sebagai fase gerak memunculkan lebih banyak
puncak kromatogram dibandingkan dengan
menggunakan metanol dan asetonitril. Hal ini
disebabkan karena perbedaan nilai indeks
kepolaran antara air dan metanol. Air
memiliki indeks kepolaran 10.2 (Harvey
2000) sehingga lebih cepat keluar dari kolom
dibandingkan
dengan
metanol
dan
berinteraksi lemah dengan komponen ekstrak
yang bersifat nonpolar. Namun, resolusi
puncak masih rendah sehingga sebagian
bertumpuk. Oleh karena itu, metode gradien
digunakan untuk meningkatkan jumlah
puncak dan juga resolusinya.
Elusi gradien memiliki keunggulan
dibandingkan dengan elusi isokratik. Sifat
kepolaran fase gerak yang terus diubah secara
sistematis seiring waktu menyebabkan
beberapa komponen dengan sifat kepolaran
yang relatif berbeda akan dapat terpisahkan
satu sama lain. Elusi gradien dengan fase
gerak metanol-air menunjukkan kromatogram
yang lebih baik dibandingkan dengan metode
isokratik, namun resolusinya masih kurang
baik (Gambar 5a). Untuk lebih meningkatkan
resolusi dan jumlah puncak, fase gerak air
ditambahkan bahan lain. Pada KCKT fase
terbalik, asam asetat, asam format, asam
fosfat, atau TFA 0.10% ditambahkan.
Berdasarkan Dong (2006), TFA dapat
meningkatkan waktu retensi komponen lebih
baik
daripada
asam
format.
Asam

Waktu (menit)
(c)
Gambar 5

Kromatogram
hasil
elusi
dengan
program
gradien.
Dimulai dengan metanol-air
(75:25), diubah menjadi 55:45
dalam 5 menit, lalu 45:55 dalam
15 menit, lalu 25:75 dalam 15
menit dan ditahan 25 menit (a).
Dimulai dengan TFA 0.10%asetonitril (70:30) selama 5
menit, diubah menjadi 30:70
dalam 35 menit, ditahan 5
menit, lalu kembali ke kondisi
awal dalam 20 menit, ditahan 5
menit (b). Dimulai dengan TFA
0.10%-asetonitril
(90:10),
diubah dalam 12 menit menjadi
80:20 lalu dalam 38 menit
menjadi
40:60,
sebelum
kembali ke kondisi awal dalam
10 menit, ditahan 5 menit (c).

6

Tabel 2 Jumlah puncak sidik jari pada setiap kromatogram KCKT

Isokratik
Isokratik
Isokratik
Isokratik
Isokratik
Gradien
Gradien
Gradien
Gradien
Gradien

Jumlah
puncak
1
1
3
1
1
6
15
24
24
27

Ket.
Gambar 4a
Gambar 4b
Gambar 4c
Lampiran 2a
Lampiran 2b
Gambar 5a
Gambar 5b
Lampiran 3A
Lampiran 3B
Gambar 5c

memiliki jumlah puncak kromatogram yang
paling banyak, yaitu 27 puncak.
Kondisi optimum fase gerak KCKT yang
telah ditentukan kemudian digunakan untuk
membuat sidik jari ekstrak temu putih dari 3
lokasi di Kota dan Kabupaten Bogor. Pola
sidik jari yang diperoleh (Gambar 6)
dibandingkan kemiripanya antar lokasi.

Intensitas (mV)

Peningkatan waktu retensi menyebabkan
komponen-komponen ekstrak keluar dari
kolom tidak secara bersamaan dan secara
langsung akan meningkatkan resolusi dari
puncak-puncak yang dihasilkan.
Upaya meningkatkan resolusi dan jumlah
puncak juga dilakukan dengan mengganti
metanol dengan asetonitril. Asetonitril lebih
polar dan lebih selektif daripada metanol
sehingga lebih meningkatkan jumlah puncak
dan resolusi. Selain itu, asetonitril melarutkan
dengan lebih baik senyawa organik. Daya
larut menunjukkan kemampuan suatu pelarut
untuk mengelusi zat terlarut dari kolom (Dong
2006).
Dengan
asetonitril,
resolusi
kromatogram menjadi lebih baik (Gambar
5b), namun masih belum baik untuk analisis
sidik jari. Modifikasi program elusi gradien
selanjutnya dilakukan dengan mengatur
perubahan komposisi TFA 0.10% dan
asetonitril. Dihasilkan kromatogram yang
ditunjukkan pada Lampiran 3.
Berdasarkan hasil program gradien
tersebut, dilakukan sedikit perubahan kembali
supaya waktu retensi meningkat, yaitu dengan
cara meningkatkan jumlah eluen TFA pada
awal program menjadi TFA-asetonitril 90:10
(Gambar 5c). Hasil yang diperoleh dengan
perubahan tersebut cukup baik untuk
digunakan sebagai sidik jari KCKT sehingga
dapat dikatakan bahwa sistem elusi gradien
yang diawali dengan komposisi TFA 0.10%
dan asetonitril 90:10 merupakan kondisi fase
gerak optimum pada penentuan sidik jari.
Jumlah puncak kromatogram dihitung
berdasarkan kriteria nisbah sinyal terhadap
derau (S/N). Suatu puncak diakui dan dihitung
jika memiliki nisbah S/N ≥ 3. Batas tersebut
lazim digunakan dalam menentukan limit
deteksi (Dong 2006). Jumlah puncak pada
setiap kromatogram diberikan pada Tabel 2.
Berdasarkan data tersebut, Gambar 5c

Metode

a

Intensitas (mV)

MeOH-ACN
MeOH-ACN
MeOH-Air
MeOH-ACN
MeOH-Air
MeOH-Air
TFA0.10%-ACN
TFA0.10%-ACN
TFA0.10%-ACN
TFA0.10%-ACN

Komposisi eluen
awal
100:0
50: 50
50:50
25:75
25:75
75:25
70:30
90:10
80:20
90:10

b

Intensitas (mV)

Komposisi eluen

c

Waktu (menit)
Gambar 6

Sidik jari KCKT temu putih
Cipaku (a), Cimanggu (b), dan
Dramaga (c) menggunakan
kondisi fase gerak optimum.
Kotak
bergaris
merah
merupakan puncak yang diduga
memiliki aktivitas antioksidan.

7

Pola sidik jari yang dihasilkan relatif
sama, perbedaan hanya terletak pada
intensitas puncak. Setiap puncak menandakan
senyawa yang berbeda, dan tinggi puncak
menunjukkan jumlah senyawa tersebut dalam
sampel. Senyawa yang memiliki waktu retensi
paling besar bersifat nonpolar atau
berinteraksi kuat dengan fase diam sehingga
lebih lama keluar dari kolom. Sebaliknya,
senyawa dengan waktu retensi lebih kecil
bersifat polar sehingga berinteraksi dengan
fase gerak yang polar dan terelusi lebih cepat.
Senyawa semipolar akan terelusi di antara
kedua waktu retensi tersebut.
Aktivitas Antioksidan
Ekstrak temu putih juga diuji aktivitas
antioksidannya dengan metode penghambatan
radikal DPPH, lalu hasilnya dihubungkan
dengan sidik jari KCKT yang diperoleh. Sidik
jari KCKT yang informatif dapat digunakan
untuk menentukan kualitas sampel yang diuji.
Salah satu ciri kualitas temu putih adalah
aktivitas antioksidannya. Berdasarkan Mau et
al. (2003), senyawa yang diduga berperan
dalam aktivitas antioksidan temu putih adalah
5-isopropilidena-3,8-dimetil-1(5H)-azulenon,
sedangkan menurut Nahak & Sahu (2011),
senyawa golongan fenol dan kurkuminoid
juga
berpengaruh
terhadap
aktivitas
antioksidan temu putih.
Metode penghambatan radikal DPPH telah
digunakan oleh Paramapojn et al. (2009) dan
Dhal et al. (2012) untuk menentukan aktivitas
antioksidan ekstrak temu putih. Selain itu,
Garza-Juárez et al. (2011) dan Hoai et al.
2009 juga melaporkan penggunaan metode
penghambatan radikal DPPH. Radikal DPPH
stabil dan berwarna ungu. Senyawa
antioksidan menghambat radikal DPPH
dengan cara mendonorkan atom hidrogennya
sehingga terbentuk senyawa bukan-radikal
dengan warna kuning, yaitu 2,2-difenil-1pikrilhidrazina (Nahak & Sahu 2011).
Penurunan intensitas serapan larutan DPPH
sebanding dengan aktivitas penghambatan
oleh komponen sampel, yang dinyatakan
sebagai nilai IC50, yakni konsentrasi temu

tR (menit)
11.180-11.484
12.039-12.337
12.837-13.091
IC50 (µg·mL-1)

putih yang dapat menghambat 50% aktivitas
radikal DPPH. Semakin kecil nilai IC50,
semakin besar kemampuannya sebagai
antioksidan. Aktivitas antioksidan temu putih
yang berasal dari Dramaga lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dari Cimanggu
dan Cipaku. Nilai IC50-nya terendah, yaitu
182.01 µg·mL-1, sementara dari Cimanggu
219.99 µg·mL-1 dan dari Cipaku 244.12
µg·mL-1.
Hubungan antara pola sidik jari KCKT
dan aktivitas antioksidan dapat diperkirakan
dari intensitas puncak atau % area pada sidik
jari KCKT. Aktivitas penghambatan radikal
DPPH dipengaruhi oleh jumlah senyawa
antioksidan dalam sampel, maka intensitas (%
area) puncak kromatogram berbanding lurus
dengan aktivitas antioksidan atau berbanding
terbalik dengan nilai IC50. Untuk menentukan
puncak yang berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan, dilakukan analisis dengan
membuat kurva hubungan antara % area
puncak-puncak yang diduga berpengaruh pada
aktivitas antioksidan dan nilai IC50.
Berdasarkan data % area setiap puncak
sidik jari KCKT temu putih (Lampiran 4),
diperoleh 3 buah puncak yang memiliki
linearitas cukup baik dengan nilai R2 lebih
besar daripada hasil yang diperoleh Nahak &
Sahu (2011) (Tabel 3). Nahak & Sahu (2011)
memperoleh nilai R2 sebesar 0.8610 pada
penentuan hubungan aktivitas antioksidan
ekstrak tanaman spesies Curcuma dengan
kandungan fenol, dan 0.7350 dengan
kandungan kurkumin. Dengan demikian
diperkirakan ketiga puncak tersebutlah yang
berpengaruh
besar
terhadap
aktivitas
antioksidan temu putih. Puncak tersebut
memiliki waktu retensi yang kecil, maka
diperkirakan merupakan senyawa yang
cenderung polar dan bukan senyawa 5isopropilidena-3,8-dimetil-1(5H)-azulenon
yang bersifat nonpolar. Senyawa yang
cenderung polar dan telah dilaporkan
terkandung dalam temu putih serta diduga
berpengaruh pada aktivitas antioksidan ialah
senyawa golongan fenol dan kurkuminoid
(Nahak & Sahu 2011).
Menurut Paramapojn et al. (2009),

Tabel 3 Hubungan % area puncak terhadap nilai IC50
% Area
Cipaku
Cimanggu
Dramaga
2.114
2.208
7.913
1.349
1.485
4.517
1.273
2.238
4.890
244.12
219.99
182.01

R2
0.8614
0.8775
0.9819

8

komponen kurkuminoid yang berpengaruh
pada aktivitas antioksidan temu putih adalah
kurkumin,
demetoksikurkumin,
dan
bisdemetoksikurkumin. Kurkumin merupakan
komponen kurkuminoid yang memiliki
aktivitas antioksidan terbesar, sedangkan
bisdemetoksikurkumin
terkecil.
Ketiga
puncak pada rentang waktu retensi 11.180 –
13.091 menit, yang ditunjukkan oleh garis
merah pada Gambar 6, diduga merupakan
senyawa demetoksikurkumin, bisdemetoksi
kurkumin, dan kurkumin.
Kandungan lain temu putih selain
kurkuminoid di antaranya ialah senyawaan
fenolik. Komponen fenolik tersebut di
antaranya ialah antosianin. Komponen fenolik
tersebut diketahui ikut berpengaruh pada
aktivitas antioksidan dalam temu putih (Cho
et al. 2011).
Tabel 3 memperlihatkan nilai R2 terbesar
dihasilkan oleh puncak dengan waktu retensi
12.837 – 13.091 menit, yaitu 0.9819. Dengan
demikian
diperkirakan
senyawa
yang
memiliki aktivitas antioksidan terbesar dalam
temu putih adalah yang memiliki waktu
retensi 12.866 menit pada sidik jari temu putih
dari Dramaga, 13.091 menit pada sidik jari
temu putih Cimanggu, dan 12.837 menit pada
sidik jari temu putih Cipaku. Berdasarkan data
hubungan antara % area dan nilai IC50, dapat
dikatakan bahwa sidik jari KCKT yang
dihasilkan cukup baik dan kondisi fase gerak
yang digunakan untuk membuat sidik jari
tersebut merupakan kondisi optimum.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Fase gerak yang menghasilkan sidik jari
KCKT terbaik adalah elusi gradien dengan
campuran fase gerak TFA 0.10% dalam air
(A) dan asetonitril (B) dengan sistem gradien
dimulai dengan 90% A:10% B, kemudian
diubah menjadi 80% A:20% B dalam 12
menit, lalu menjadi 40% A:60% B dalam 38
menit, selanjutnya kembali ke kondisi awal
dalam 10 menit, ditahan selama 5 menit.
Temu putih dari Dramaga memiliki aktivitas
penghambatan terhadap DPPH tertinggi.
Berdasarkan sidik jari KCKT pada kondisi
optimum,
puncak
kromatogram
yang
berpengaruh pada aktivitas antioksidan adalah
yang memiliki waktu retensi 11.180 – 13.091
menit.

Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengidentifikasi puncak-puncak
kromatogram yang diduga memiliki aktivitas
antioksidan dan memastikan jenis senyawa
tersebut sehingga dapat dijadikan senyawa
penanda untuk aktivitas antioksidan temu
putih. Selain itu, sebaiknya dilakukan
modifikasi parameter kondisi KCKT lainnya
untuk mendapatkan pola sidik jari terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical
Chemist. 2006. Official Methods of
Analysis of the Association of Official
Analytical
Chemist.
Ed
ke-18.
Washington DC: AOAC Int.
Alaerts G, Matthijs N, Smeyers-Verbeke J,
Heyden YV.
2007. Chromatographic
fingerprint development for herbal
extracts: A screening and optimization
methodology on monolithic columns. J
Chromatogr A 1172:1-8.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia. Jakarta: BPOM.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Indikator
Kesehatan
1995-2008.
[terhubung
berkala]. http://www.bps.go.id. [28 Mar
2012].
Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2009.
Screening antiacne potency of Indonesian
medicinal plants: antibacterial, lipase
inhibition, and antioxidant activities. J
Wood Sci 55:230-235.
Cho WY, Kim SJ. 2011. Anti-oxidative
actions of Curcuma zedoaria extract with
inhibition of inducible nitric oxide
synthase (iNOS) induction and lipid
peroxidation. J Med Plants Res 6:38373844.
Dhal Y, Deo B, Sahu RK. 2012. Comparative
antioxidant activity of non-enzymatic and
enzymatic extract of Curcuma zedoaria,
Curcuma angustifola, and Curcuma
caesia. Int J Plant, Animal and Environ
Sci 2(4):232-238.
Dong MW. 2006. Modern HPLC for
Practicing Scientist. New Jersey: J Wiley.
[FDA] Food and Drug Administration. 2004.
Guidance for Industry-Botanical Drug
Products. Rockville: US Department of
Health and Human Services.
Garza-Juárez A, Salazar-Cavazos ML,
Salazar-Aranda R, Pérez-Meseguer J, de

9

Torres NW. 2011. Correlation between
chromatographic
fingerprint
and
antioxidant activity of Turnera diffusa
(Damiana). Planta Med 77:958-963.
Harvey D. 2000. Modern Analytical
Chemistry. New York: McGraw-Hill.
Hoai NN, Dejaegher B, Tistaert C, Hong
VNT, Rivière C, Chataigné G, Phan VK,
Chau VM, Quetin-Lerclercq J, Heyden
YV. 2009. Development of HPLC
fingerprint for Mallotus species extracts
and evaluation of the peaks responsible for
their antioxidant activity. J Pharmaceut &
Biomed Anal 50:753-763.
Jang HD, Chang KS, Huang YS, Hsu CL, Lee
SH, Su MS. 2007. Principal phenolic
phytochemical and antioxidant activities
of three Chinese medicinal plants. Food
Chem 103:749-756.
Jiang Y, David B, Tu P, Barbin Y. 2009.
Recent analytical approaches in quality
control of traditional Chinese medicines.
[ulas balik]. Anal Chim Acta 657:9-18.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2011. Indonesia Cinta
Sehat, Saatnya Jamu Berkontribusi.
[terhubung berkala]. http://www.depkes.
go.id [28 Mar 2012].
Mau JL et al. 2003. Composition and
antioxidant activity of the essential oil
from Curcuma zedoaria. Food Chem
82:583-591.
Nahak G, Sahu RK. 2011. Evaluation of
antioxidant activity in ethanolic extracts of
five Curcuma species. Int Res J Pharm
2:243-248.
Navarro DF et al. 2002. Phytochemical
analysis and analgesic properties of
Curcuma zedoaria grown in Brazil.
Phytomedicine 9:427-432.
Paramapojn S, Gritsanapan W. 2009. Free
radical scavenging activity determination
and quantitative analysis of Curcuminoids
in Curcuma zedoaria rhizome extracts by
HPLC method. Curr Sci 97:1069-1073.
Rita WS. 2010. Isolasi, identifikasi, dan uji
aktivitas antibakteri senyawa golongan
triterpenoid pada rimpang temu putih
(Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe). J Kim
4:20-26.
Sumarny R. 2006. Karakteristik kimiawi,
aktivitas antiproliferasi sel lestari tumor
dan aktivitas fagositosis secara in-vitro
dari fraksi bioaktif rimpang temu putih
(Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe)
[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Tao J, Qian C, Tang Z, Chen P, Wang Y, Han
Y. 2011. Chemical fingerprint technique
and its aplication in the classification and
quality assessment of the Gastrodia tuber.
African J Biotechnol 10:16746-16756.
Trubus Info Kit. 2010. Herbal Indonesia
Berkhasiat, Bukti Ilmiah & Cara Racik.
Vol 08. hlm 469-471.
[WHO] World Health Organization. 2008.
Traditional Medicine. [terhubung berkala].
http://www.who.int/mediacentre/factsheets
/fs134/en/ [28 Mar 2012].
[WHO] World Health Organization. 2000.
Development of national policy on
traditional medicine. Di dalam: Report of
Workshop on Development of National
Policy on Traditional Medicine; Beijing,
11-15 Okt 1999.
Wahyuni WT. 2010. Pengoptimuman dan
validasi sidik jari kromatografi cair kinerja
tinggi ekstrak Phyllanthus niruri L [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Wilson B et al. 2005. Antimicrobial activity
of Curcuma zedoaria and Curcuma
malabarica tubers. J Ethnopharmacol
99:147-151.
Zhang YB, Shaw PC, Sze CW, Wang ZT,
Tong Y. 2006. Molecular authentication of
Chinese herbal materials. J Food & Drug
Anal 15:1-9.

LAMPIRAN

11

Lampiran 1 Bagan alir penelitian
Rimpang temu putih
dari 3 lokasi
Pengeringan sampai
kadar air