Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP DURASI
PERILAKU HARIAN BEKANTAN DI PT INDEXIM UTAMA,
KALIMANTAN TENGAH

BIAS BERLIO PRADYATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh faktor
lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama,
Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015
Bias Berlio Pradyatma
NIM E34090098

ABSTRAK
BIAS BERLIO PRADYATMA. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Durasi
Perilaku Harian Bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Dibimbing
oleh DONES RINALDI dan AGUS PRIYONO KARTONO.
Keberadaan bekantan (Nasalis larvatus) sebagai jenis dilindungi di
kawasan hutan produksi perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya
konservasi jenis dan eksploitasi dalam pengelolaan kawasan hutan. Pengaruh
faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan meliputi perilaku
makan, istirahat, dan berpindah merupakan informasi yang dibutuhkan untuk
mengindentifikasi komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan bekantan.
Durasi perilaku makan bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis Shorea sp,
Heritiera sp, Falcataria moluccana, dan Dryobalanops spp. Durasi perilaku
istirahat bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis pohon Shorea sp dan Ficus

gibbosa. Durasi perilaku berpindah bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis
pohon Elateriospermum tapos dan Pterospermum javanicum. Semakin besar
diameter jenis pohon tersebut akan semakin lama alokasi waktu bekantan untuk
melakukan perilaku makan, istirahat, atau berpindah.
Kata kunci : bekantan, perilaku harian, PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah

ABSTRACT
BIAS BERLIO PRADYATMA. Environmental Factors Influence to Daily
Behavior of Proboscis Monkey in PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah.
Supervised by DONES RINALDI and AGUS PRIYONO KARTONO.
Existence of Proboscis monkey (Nasalis larvatus) as an endangered
species in a forest production area becomes an important issue due to the balance
of species conservation effort and the exploitation aspect of the area management.
The knowledge of environmental factors influence on the daily behavior duration
of proboscis monkey which are ingestive, rest, and locomotive behavior is needed
to identify the significant factors to the life of proboscis monkey. The duration of
ingestive behavior is significantly influenced by the diameter of Shorea sp,
Heritiera sp, Falcataria moluccana, and Dryobalanops spp. The duration of rest
behavior is significantly influenced by the diameter of Shorea sp and Ficus
gibbosa. The duration of locomotive behavior significantly influenced by

Elateriospermum tapos and Pterospermum javanica. Time allocation for ingestive,
rest, and locomotive behavior are directly proportional to the diameter of the
influencing tree species.
Keywords : Proboscis monkey, Daily behavior, PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP DURASI
PERILAKU HARIAN BEKANTAN DI PT INDEXIM UTAMA,
KALIMANTAN TENGAH

BIAS BERLIO PRADYATMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur atas berkah dan rahmat Allah SWT sehingga laporan hasil
penelitian berjudul “Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian
bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah” ini berhasil disusun. Terima
kasih kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF dan Bapak Dr Ir Agus Priyono
Kartono, MSi atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam proses
perencanaan hingga penyusunan laporan penelitian ini dapat diselesaikan dengan
baik. Terima kasih kepada Bapak Agus Sadmoko atas pendampingan dan bantuan
serta rekan-rekan PT Indexim Utama yang telah memberikan kesempatan dengan
segala kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan program studi.
Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada keluarga penulis, Tika, Bapak
Basuki, Kontri, Netral, saudara M. Nugraha, keluarga Tangkaran, keluarga besar
Himakova dan DKSHE, FORCI Development, serta seluruh rekan-rekan yang telah
mendukung penulis dalam masa pendidikan. Penulis berharap hasil penelitian ini
bermanfaat dalam pengelolaan perusahaan terutama dalam aspek konservasi jenis
bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787) dan pengelolaan habitatnya serta
pengembangan dalam ilmu pengetahuan.


Bogor, Maret 2015
Bias Berlio Pradyatma

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Alat dan Bahan

2


Metode Pengumpulan Data

2

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

5

Ukuran Kelompok Bekantan

6


Komponen Habitat

6

Pola Perilaku Harian

9

Pengaruh Lingkungan terhadap Durasi Perilaku
SIMPULAN DAN SARAN

11
14

Simpulan

14

Saran


14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

19

DAFTAR GAMBAR
1 Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di dalam
kawasan PT Indexim Utama
2 Sub DAS Luang di dalam kawasan PT Indexim Utama
3 Perilaku makan bekantan di tumbuhan kelapa
4 Diagram proporsi penggunaan waktu berdasarkan jarak dari tepi
sungai
5 (a) Bekantan betina dewasa dengan anakan dalam asuhannya, (b)
anakan bekantan

6 Perilaku bekantan (a) makan, (b) istirahat, (c) berpindah secara
quadrupedal, (d) mengamati perahu yang melintas

3
5
7
8
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9


Tabel ringkasan model durasi perilaku makan
Tabel anova model durasi perilaku makan
Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan
Tabel ringkasan model durasi perilaku istirahat
Tabel anova model durasi perilaku istirahat
Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan
Tabel ringkasan model durasi perilaku berpindah
Tabel anova model durasi perilaku berpindah
Tabel koefisien persamaan durasi perilaku berpindah

19
19
19
20
20
20
21
21
21

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan Kalimantan merupakan bagian dari ekosistem hutan tropis Indonesia
dengan kondisi yang relatif baik jika dibandingkan dengan kondisi hutan di pulaupulau besar lainnya saat ini. Potensi hasil hutan kayu yang tinggi di Kalimantan
membuat jenis komoditi ini menjadi sumber penghasilan utama dalam
pengelolaan hutan alam hingga saat ini. Hak Pengusahaan Hutan oleh PT Indexim
Utama merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan alam sebagai penghasil
kayu yang terletak di kelompok hutan Sungai Mea dan Sungai Luang, Kalimantan
Tengah (Purnamasari 2012).
Letak areal pengusahaan hutan oleh PT Indexim Utama meliputi daerah
aliran sungai yang merupakan habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787).
Hal ini perlu menjadi perhatian karena pengusahaan hutan yang dilakukan dengan
memanen kayu memiliki pengaruh negatif terhadap aspek ekologis. Bismark
(2009) menyatakan bahwa laju pemanfaatan hutan saat ini menimbulkan
kekhawatiran pada penurunan populasi satwa karena pemanfaatan hasil hutan
kayu berdampak pada penurunan jumlah dan luasan habitat serta juga keragaman
jenis satwa.
Bekantan merupakan primata endemik Kalimantan yang tergolong dalam
Famili Cercophiticidae, Sub Famili Colobinae, Genus Nasalis, dan Species
Nasalis larvatus (Napier dan Napier 1967). Perlindungan bekantan di Indonesia
diawali pada tahun 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 26 jis 1932 No. 28 dan
1935 No. 513) dan telah ditetapkan sebagai primata yang dilindungi berdasarkan
PP No. 7 Tahun 1999. Status konservasi bekantan secara internasional
digolongkan sebagai Endangered species dalam IUCN serta termasuk dalam
Appendix I CITES. Status Endangered didefinisikan sebagai status konservasi
jenis yang terancam kepunahan berdasarkan kondisi populasinya di alam (Vie et
al. 2008), sedangkan Apendix I merupakan status bagi satwa yang terancam
kepunahan sehingga kegiatan pertukaran dan perdagangan satwa di luar usaha
pengembangbiakkan untuk kebutuhan komersial membutuhkan pertimbangan
secara ilmiah dan perizinan dari Negara yang bersangkutan (CITES 1979).
Keberadaan bekantan dan pengelolaan hutan di areal kerja PT Indexim
Utama merupakan dua hal yang harus dapat berjalan seimbang untuk menjamin
kelestarian keduanya. Bekantan sebagai salah satu komponen penting ekosistem
dalam kawasan hutan berpotensi menjadi indikator kunci konservasi kawasan,
khususnya pada ekosistem riparian yang menjadi habitatnya. Hal ini didasari oleh
kebutuhan bekantan akan ekosistem riparian. Informasi mengenai pengaruh faktor
lingkungan terhadap durasi perilaku dan pola perilaku harian bekantan penting
untuk diketahui karena dapat mencerminkan kesesuaian komponen habitat
terhadap perilakunya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi durasi perilaku harian dan pola perilaku harian bekantan.

2
Manfaat Penelitian
Informasi pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian
bekantan bermanfaat dalam menduga areal yang berpotensi sebagai habitat bagi
bekantan. Komponen lingkungan yang mempengaruhi perilaku harian bekantan
penting untuk diperhatikan guna menjamin kelestarian populasi dan habitat
bekantan, ekosistem riparian, dan kawasan lindung sempadan sungai.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 di
Sub DAS Luang di dalam Kawasan PT. Indexim Utama yang terletak di
Kecamatan Purai, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan
lapangan meliputi studi pendahuluan dan habituasi kelompok bekantan terhadap
keberadaan peneliti, pengamatan di lapangan, dan pengolahan data sementara
serta koreksi kelengkapan data.
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
Binokuler
Kamera SLR dengan lensa 70-300mm
Pita Ukur
Hagameter dan tongkat ukur (walking stick)
Perahu
Termometer kering-basah (Thermometer dry-wet)
Alat pengukur waktu (Stopwatch dan Jam)
Peta kerja
GPS
Komputer
Plastik bening
Metode Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi parameter perilaku dan parameter
lingkungan, yaitu :
1. Perilaku bekantan.
2. Waktu dan durasi terjadinya perilaku.
3. Jenis pohon tempat terjadinya perilaku.
4. Diameter pohon tempat terjadinya perilaku.
5. Tinggi posisi bekantan pada pohon tempat terjadinya perilaku.
6. Jarak dari tepi sungai dan nama sungai yang diacu.

3
7.
8.
9.

Suhu udara lingkungan.
Kondisi cuaca.
Keberadaan kompetitor dan predator dengan mencantumkan nama jenis dan
jumlah individu.

Penentuan individu sampel
Pengamatan dilakukan dengan metode focal animal sampling untuk
menghindari potensi bias dalam pengamatan. Individu yang diamati merupakan
anggota dari kelompok satu yang berada di bagian hulu. Kelompok tersebut
menempati bagian sungai yang dipisahkan oleh jembatan dan berjarak sekitar satu
jam dengan menggunakan perahu (klotok) terhadap kelompok lainnya yang
berada di bagian hilir. Pertimbangan pemilihan kelompok ini didasari oleh
keberadaannya yang relatif berjauhan dengan kelompok lainnya. Peta sebaran
kelompok bekantan di Sub DAS Luang di dalam kawasan PT Indexim Utama
disajikan pada Gambar 1.

Kelompok 3

Kelompok 2

Kelompok 1

Gambar 1 Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di
dalam kawasan PT Indexim Utama
Kriteria individu yang dijadikan sampel pengamatan adalah bekantan
betina dewasa karena karakter pergerakan harian kelompok dipimpin oleh
individu betina dewasa (Bismark 2009). Menurut Bennet dan Sebastian (1988),
parameter penciri tingkat pertumbuhan dan jenis kelamin bekantan adalah sebagai
berikut :
a. Jantan Dewasa
:
Tubuh mencapai ukuran maksimal dan
terdapat rambut lebih panjang (Mane) di
sepanjang punggung.
b. Jantan Setengah Dewasa :
Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa, hidung
belum berkembang sempurna, tidak
terdapat mane di punggung.

4
c.
d.
e.

Betina Dewasa
Betina Setengah Dewasa
Remaja

:
:
:

d.

Bayi

:

Tubuh telah mencapai ukuran maksimal.
Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa.
Warna rambut dan muka menyerupai
dewasa, ukuran tubuh belum mencapai ¾
ukuran tubuh dewasa.
Ukuran tubuh kecil dengan warna rambut
cokelat gelap atau kehitaman.

Data dikumpulkan melalui pengamatan individu sampel pengamatan dan
diulang pada hari berikutnya untuk menghindari fenomena pseudo-replication dan
confounding. Pseudo-replication adalah potensi bias yang terjadi dalam persepsi
pengamat saat perilaku individu yang diamati sebenarnya dilatarbelakangi oleh
perilaku yang dilakukan oleh mayoritas individu dalam kelompok, sedangkan
confounding adalah potensi bias yang terjadi saat perilaku individu sebenarnya
dilatarbelakangi oleh motivasi internal (Dawkins 2007).
Pengamatan perilaku
Perilaku bekantan diamati dengan metode continuous scan sampling.
Waktu dimulai dan berakhirnya setiap perilaku dicatat untuk memperoleh durasi
dan waktu terjadinya perilaku, serta mengetahui seluruh perilaku yang dilakukan
oleh satu individu tanpa dibatasi interval waktu pengamatan. Informasi mengenai
durasi berperan sebagai indikator kontribusi setiap parameter lingkungan dalam
mendukung terjadinya suatu perilaku.
Pengamatan parameter lingkungan
Parameter lingkungan yang dicatat meliputi jenis, diameter, dan tinggi
posisi bekantan pada pohon tempat terjadinya perilaku, jarak posisi terjadinya
perilaku dari tepi sungai, suhu udara, kondisi cuaca, serta keberadaan predator dan
kompetitor. Pencatatan parameter lingkungan disesuaikan dengan kondisi di
lapangan. Pencatatan dapat dilakukan di luar waktu pengamatan perilaku dengan
terlebih dahulu melakukan penandaan dan dokumentasi pohon melalui foto.
Analisis Data
Pengaruh lingkungan terhadap durasi perilaku dilakukan dengan analisis
regresi linear menggunakan program SPSS versi 18. Peubah lingkungan dianalisis
sebagai peubah bebas yang akan digunakan untuk meramalkan durasi perilaku
bekantan sebagai peubah terikat. Proses analisis dilakukan dengan metode
stepwise.
Analisis regresi linear merupakan analisis interdependensi yang melibatkan
peubah terikat dan peubah bebas dalam persamaan matematik (Simamora 2005,
Soemartini 2008). Analisis ini berfungsi untuk mengukur kekuatan hubungan,
mengetahui pengaruh, dan memprediksi pengaruh peubah bebas terhadap peubah
terikat (Nurjannah 2008).
Metode stepwise pada analisis regresi berganda merupakan metode yang
bersifat selektif terhadap peubah-peubah bebas yang akan dianalisis dalam model,
sehingga mampu menyederhanakan banyaknya peubah bebas dan menghasilkan
model terbaik dengan sejumlah kecil peubah bebas (Tayeb 2012). Analisis regresi

5
dengan metode stepwise diawali dengan memasukkan satu peubah dalam model
dan diikuti dengan penyusupan peubah-peubah lain ke dalam model tersebut
(Hanum 2011). Pemilihan peubah yang diikutsertakan dalam model didasari pada
korelasi parsial peubah bebas terhadap peubah terikat (Hanum 2011).
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3
Keterangan :
Y
β0, β1, β2, β3
X1, X2, X3

: Durasi perilaku
: Koefisien regresi
: Peubah lingkungan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan Sub DAS Luang yang terletak di dalam
Kawasan IUPHHK-HA PT Indexim Utama. Perusahaan ini bekerja di daerah
kelompok hutan Sungai Mea – Sungai Luang, Kecamatan Purai, Kabupaten Barito
Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Areal IUPHHK-HA ini dibatasi oleh areal PT
Austral Byna dan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) di sebelah Utara, areal
PT Kusuma di sebelah Timur, areal PT Sindo Lumber di sebelah Barat, dan areal
Hutan Lindung Lampeong di sebelah Selatan.
Daerah riparian Sub DAS Luang didominasi oleh tutupan lahan berupa
hutan alam. Selain itu ditemukan pula areal kebun dan permukiman yang telah
ditinggalkan. Aliran Sungai Luang juga digunakan sebagai sarana transportasi
oleh masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat umumnya menggunakan perahu
dengan mesin (klotok) untuk memenuhi kebutuhan yang diperoleh dari hutan
seperti berburu, menangkap ikan, dan pengambilan hasil hutan lainnya.
Areal sempadan sungai di dalam kawasan IUPHHK diperuntukkan sebagai
kawasan lindung dengan lebar 100 m dari masing-masing tepi sungai. Potensi
gangguan bagi populasi bekantan di kawasan ini antara lain kehadiran masyarakat
di dalam hutan dan pengaruh aktifitas pembalakan kayu di kawasan produksi.
Kondisi umum Sub DAS Luang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sub DAS Luang di dalam kawasan
PT Indexim Utama

6
Ukuran Kelompok Bekantan
Kelompok bekantan yang diamati terdiri atas 12 individu, yaitu 1 jantan
dewasa, 3 betina dewasa dengan 3 anakan, dan 5 remaja. Yeager (1990)
menyatakan bahwa pada dasarnya bekantan hidup dalam tipe kelompok one-male
group yaitu kelompok yang dipimpin oleh satu individu jantan dewasa atau dapat
pula dalam tipe all-male group yaitu kelompok yang terdiri atas individu-individu
jantan yang telah berpisah dari kelompok natal setelah mencapai usia setengah
dewasa. Berdasarkan pengamatan, terdapat waktu tertentu saat kelompokkelompok bekantan di Sub DAS Luang bergabung menjadi kelompok besar multimale group yaitu kelompok yang terdiri atas individu-individu jantan dan betina
dengan jumlah anggota lebih dari 30 individu. Belum diketahui secara pasti
mengenai latar belakang dinamika kelompok bekantan di kawasan tersebut.
Kawabe dan Mano (1972) menyatakan hal serupa bahwa kelompok bekantan
merupakan kelompok multi-male group, sedangkan Kern (1964), MacDonald
(1982), dan Salter et al. (1985) menyatakan bahwa struktur kelompok bekantan
cenderung fleksibel, individu maupun kelompok kecil dapat berpisah dan kembali
bersatu dengan kelompok besarnya.
Komponen Habitat
Interaksi komponen biotik dan abiotik dalam habitat membentuk ekosistem
yang menyediakan kebutuhan satwa. Komponen lingkungan yang termasuk dalam
habitat bekantan mencakup komposisi dan struktur vegetasi sebagai sumber pakan
dan tempat perlindungan, sumber air (Alikodra et al. 1990), serta penggunaan
lahan termasuk faktor-faktor pengganggu di dalamnya (Alikodra 1997).
Spesifikasi dalam pemilihan lingkungan yang menyangkut komponen abiotik
khususnya terlihat pada perilaku istirahat bekantan.
Vegetasi
Kebutuhan pakan dan tempat perlindungan mencakup cover dan shelter bagi
bekantan sebagai satwa folivorous disediakan oleh vegetasi (Purba 2009). Peran
vegetasi terhadap kehidupan bekantan juga meliputi pengendalian kondisi suhu
lingkungan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman saat bekantan melakukan
perilaku makan (Warsono 2002) dan istirahat (Prayogo 2006).
Sebagian besar jenis tutupan lahan pada lokasi penelitian berupa hutan alam
dan sebagian lainnya berupa ladang serta kebun. Berdasarkan pengamatan,
bekantan menggunakan areal hutan alam untuk beraktivitas, namun berdasarkan
informasi yang diperoleh dari masyarakat, bekantan kadang juga terlihat melintas
di sekitar ladang maupun kebun. Bekantan menghabiskan sebagian besar
waktunya di atas pohon di tepi sungai untuk beraktivitas maupun tidur. Bekantan
terlihat pula berada di atas tanah pada waktu tertentu serta terlihat menggunakan
vegetasi yang tumbuh di tebing di tepi sungai untuk tidur.
Jenis pohon yang teramati meliputi ara (Ficus gibbosa), araganang (Shorea
sp), arang (Diospyros borneensis), bayur (Pterospermum javanicum), binuang
(Octomeles sumatrana), biwan (Shorea sp), durian (Durio zibethinus), kandui
(Elateriospermum tapos), kelapa (Cocos nucifera), mahang (Macaranga hosei),
meranti (Shorea sp), nangka (Artocarpus sp), palapi (Heritiera sp), pinang (Areca

7
catechu), rambutan hutan (Nephellium lapaceum), semeneung (Canarium sp),
sengon (Falcataria moluccana), dan tinuk (Dryobalanops spp), sedangkan jenis
tumbuhan lainnya yang teramati adalah kelapa (Cocos nucifera) dan pinang
(Areca catechu). Bekantan terlihat menggunakan jenis-jenis vegetasi tersebut
untuk melakukan aktifitas utamanya, yaitu makan, istirahat, dan berpindah.
Penggunaan tumbuhan kelapa sebagai sumber pakan oleh bekantan disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3 Perilaku makan bekantan di tumbuhan
kelapa
Jenis pohon yang digunakan dengan durasi tertinggi berturut-turut yaitu
binuang dan ara dengan persentase durasi masing-masing 28.11% dan 23.38%.
Ketiga perilaku utama bekantan meliputi makan, istirahat, dan berpindah
ditemukan terjadi pada kedua jenis pohon tersebut. Jenis pohon yang digunakan
dengan durasi terpendek yaitu durian yang hanya digunakan untuk beristirahat
dengan persentase durasi sebesar 0.30%, kandui yang hanya digunakan untuk
berpindah dengan persentase durasi sebesar 0.61%, dan arang yang juga
digunakan untuk beristirahat dengan persentase durasi sebesar 0.76%.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ciri fisik vegetasi yang digunakan
oleh bekantan memiliki diameter berkisar antara 5 cm hingga 90 cm. Perilaku
makan dan berpindah yang teramati dilakukan pada vegetasi dengan diameter 5
cm hingga 90 cm, sedangkan perilaku istirahat dilakukan pada vegetasi dengan
diameter 30 cm hingga 90 cm. Perbedaan ketinggian posisi bekantan dari atas
tanah dalam melakukan perilakunya juga ditemukan pada pengamatan. Perilaku
makan dan berpindah teramati dilakukan pada ketinggian 3 m hingga 30 m,
sedangkan perilaku istirahat dilakukan pada ketinggian 8 m hingga 30 m.
Jarak dari tepi sungai
Sungai merupakan komponen yang penting bagi bekantan (Afrilia 2011).
Pola perilaku dan pergerakan bekantan terpusat di daerah aliran sungai (Soendjoto
2005). Ketergantungan ini didasari pada strategi bekantan dalam menghindari
ancaman predator (Atmoko et al. 2011). Sungai menjadi sarana yang aman bagi
bekantan saat terjun dari pohon dan menyeberang sungai untuk menghindari
ancaman predator (Yeager 1991). Keuntungan ini diperkuat oleh kemampuan
berenang bekantan (Napier dan Napier 1967).

8
Bekantan memulai dan mengakhiri aktifitas hariannya di tepi sungai, sesuai
dengan pernyataan Kartono et al. (2008) bahwa pergerakan harian bekantan
dipengaruhi oleh kebiasaan untuk kembali ke areal semula setiap sore hari.
Berdasarkan pengamatan, perilaku bekantan berlangsung di sekitar sungai dengan
jarak 1 m hingga 45 m dari tepi sungai. Bekantan melakukan perilaku makan dan
berpindah pada daerah dengan jarak 1 m hingga 45 m dari tepi sungai, sedangkan
perilaku istirahat dilakukan pada daerah yang lebih sempit dengan jarak 1 m
hingga 25 m dari tepi sungai. Proporsi penggunaan waktu bekantan berdasarkan
jarak dari tepi sungai disajikan pada Gambar 4.
16%
14%
Persentase

12%
10%
8%
6%
4%
2%
0%
1 2 3 4 6 6.5 8 10 12 13 15 18 20 23 25 28 33 35 40 45
Jarak Sungai (m)

Gambar 4 Diagram proporsi penggunaan waktu berdasarkan jarak
dari tepi sungai
Wilayah jelajah bekantan yang teramati dalam penelitian ini berbeda dengan
penelitian lainnya. Menurut Bismark (2009), perjalanan harian bekantan dapat
mencapai jarak 400 m dari tepi sungai. Temuan ini menjadi dasar untuk
membangun hipotesis baru bahwa kebutuhan pakan bekantan terpenuhi dengan
baik. Luas wilayah jelajah merupakan fungsi dari produktivitas dan distribusi
sumberdaya pakan (Harestad dan Bunnel 1979) yang akan menurun seiring
meningkatnya ketersediaan pakan (Hulbert et al. 1996). Rinaldi (1992) dan
Kartono et al. (2008) juga menyatakan bahwa perbedaan ukuran dan kestabilan
wilayah jelajah bervariasi menurut sumber dan jenis pakan meliputi kualitas dan
kuantitasnya, topografi yang berkaitan dengan struktur habitat dan halangan untuk
berpindah, struktur sosial yang meliputi kepadatan populasi dan ukuran kelompok
serta sistem perkembangbiakkan, dan keberadaan predator.
Suhu udara lingkungan
Suhu udara lingkungan merupakan faktor abiotik yang berpengaruh
terutama pada pemilihan habitat bekantan (Keverne 1987). Bekantan perlu
menjaga suhu tubuhnya dengan meminimalisir keluarnya panas tubuh ke
lingkungan. Suhu udara lingkungan pada pengamatan berkisar antara 16.50oC
hingga 31.50oC. Perilaku makan teramati pada suhu 23.50oC hingga 31.50oC,
perilaku istirahat teramati pada suhu 23.50oC hingga 27.65oC, sedangkan perilaku
berpindah teramati pada suhu 16.15oC hingga 31.50oC.

9
Kondisi cuaca
Dinamika curah hujan dan panjang hari (photoperiods) mempengaruhi
pemilihan habitat oleh bekantan (Keverne 1987). Suradijono (2004) juga
menyatakan bahwa kondisi cuaca mempengaruhi aktivitas makan bekantan. Saat
cuaca mendung aktivitas makan akan dilakukan pada siang atau sore hari setelah
cuaca terang, sedangkan pada kondisi cerah aktivitas makan tinggi pada pagi hari
(Alikodra 1990). Berdasarkan rataannya, durasi perilaku bekantan pada cuaca
cerah sebesar 8.23 menit, sedangkan pada cuaca mendung sebesar 4.33 menit.
Kondisi cuaca selama pengamatan meliputi cerah dan mendung. Kondisi cuaca
cerah terjadi selama 80% waktu pengamatan, kondisi cuaca mendung terjadi
selama 20% waktu pengamatan, sedangkan cuaca hujan umumnya terjadi pada
malam hari.
Kompetitor dan predator
Bekantan merupakan primata yang sangat sensitif. Perlindungan kelompok
bekantan dilakukan oleh jantan dewasa saat terdapat ancaman (Kawabe dan Mano
1972) dengan perilaku agonistik seperti teriakan dan perilaku agresif (Strier 2011).
Jantan dewasa dalam kelompok akan menghadapi sumber gangguan saat anggota
kelompoknya berpindah ke tempat yang lebih aman (Kawabe dan Mano 1972).
Timbulnya kompetisi umumnya didorong oleh keterbatasan makanan (Strier
2011) serta dapat pula disebabkan oleh keterbatasan ruang karena kepadatan
individu yang tinggi (Ciani 1986). Berdasarkan penelitian Kawabe dan Mano
(1972), jenis primata yang dijumpai di habitat bekantan di darerah mangrove yaitu
lutung (Presbytis cristata) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
sedangkan jenis primata yang dijumpai di habitat bekantan di hutan dataran
rendah yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis
cristata), orangutan (Pongo pigmaeus), beruk (Macaca nemestrina), lutung
banggat (Presbytis hosei), lutung merah (Presbytis rubicunda).
Monyet ekor panjang merupakan primata yang berpotensi sebagai
kompetitor bekantan di lokasi penelitian karena sering terlihat berada di dekat
kelompok bekantan. Hubungan bekantan dengan monyet ekor panjang
berlangsung secara simpatrik. Monyet ekor panjang selalu ditemukan pada pohon
yang berbeda dengan bekantan saat kedua kelompok tersebut berdekatan. Temuan
serupa juga diungkapkan oleh Alikodra et al. (1990) bahwa interaksi tersebut
tidak menyebabkan terjadinya kompetisi antar dua jenis tersebut.
Pola penggunaan ruang dalam habitat juga dipengaruhi oleh keberadaan
predator. Satwa yang diketahui merupakan predator bekantan menurut Atmoko et
al. (2007) yaitu buaya siam (Crocodylus siamensis), ular sanca (Phyton
reticulatus), dan ular kobra (Ophiophagus hannah). Jenis lainnya yang juga
merupakan predator bekantan adalah macan dahan Neofelis nebulosa (Matsuda et
al. 2008) dan buaya sumpit atau senyulong Tomistoma schlegelii (Galdikas 1985).
Jenis yang merupakan predator bekantan tidak ditemukan dalam pengamatan.
Pola Perilaku Harian
Perilaku merupakan respon terhadap rangsangan yang berasal dari dalam
diri maupun lingkungan (Skinner 1938). Perilaku pada dasarnya bertujuan untuk
mempertahankan hidup (Soendjoto 2005) dan diwujudkan dalam aktivitas-

10
aktivitas tertentu. Aktifitas utama yang menyusun perilaku harian bekantan terdiri
dari aktifitas makan, istirahat, dan berpindah.
Berdasarkan pengamatan, perilaku sosial dilakukan dengan frekuensi dan
durasi yang sang at kecil pada individu yang diamati (betina dewasa), sedangkan
perilaku agonistik seperti mengamati dan bersuara (teriakan) hanya terlihat
dilakukan oleh individu jantan dewasa dan remaja. Perilaku sosial terdiri atas
komunikasi antar anggota kelompok yang saling bersahutan (Supriatna dan
Wahyono 2000), bermain (Alexander dan Hines 2002), grooming (Dunbar 2008)
dan lainnya. Perilaku sosial akan menumbuhkan ikatan antar individu sehingga
setiap individu akan memberikan manfaat satu sama lain (Dunbar 2008).
Seperti jenis primata lainnya, bekantan memiliki strategi reproduksi K
dengan jumlah anak sedikit dan investasi besar untuk melestarikan jenisnya
(Gubernick dan Klopfer 1981). Perilaku reproduksi meliputi pembuahan,
kebuntingan, melahirkan, hingga parental care untuk menjamin keberhasilan
reproduksinya (Strier 2011). Perilaku parental-care pada anakan meliputi
menggendong, merawat, grooming, memberikan perlindungan, dan menyusui
(Tardif et al. 1992). Perilaku parental-care ditemukan sepanjang waktu aktif
bekantan yang dilakukan dengan menggendong. Perilaku parental-care tersebut
merupakan investasi satwa sebagai bagian dari strategi reproduksi. Bekantan
betina dewasa dengan anakan dalam asuhannya dan anakan bekantan disajikan
pada Gambar 5.

(a)
(b)
Gambar 5 (a) Bekantan betina dewasa dengan anakan dalam
asuhannya, (b) anakan bekantan
Rangkaian proses reproduksi disesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Terbentuknya musim kawin pada periode tertentu merupakan bagian dari adaptasi
satwa terkait ketersediaan pakan yang melimpah, menghindari kondisi cuaca yang
mengganggu, kehadiran sejumlah bayi secara bersamaan sehingga meningkatkan
kemanan dari predator, dan kemungkinan adanya perawatan bayi oleh individu
betina lain dalam kelompok (Keverne 1987). Puncak perilaku kawin bekantan
terjadi di pertengahan tahun, namun secara umum perkawinan terjadi antara bulan
Februari hingga November (Afrilia 2011).
Proporsi penggunaan waktu harian bekantan untuk melakukan perilaku
makan sebesar 43.75%, istirahat sebesar 45.89%, dan berpindah sebesar 10.36%.
Perilaku tersebut berlangsung sejak pukul 06.00 WIB setelah bangun dan berakhir
pukul 18.00 WIB untuk kembali tidur. Total durasi perilaku makan tertinggi
ditemukan pada siang hari pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB, total durasi
perilaku istirahat tertinggi ditemukan pada sore hari pukul 14.00 WIB hingga

11
18.00 WIB, sedangkan total durasi perilaku berpindah tertinggi ditemukan pada
pagi hari pukul 06.00 WIB hingga 10.00 WIB. Perilaku makan, istirahat,
berpindah, dan mengamati disajikan pada Gambar 6.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6 Perilaku bekantan (a) makan, (b) istirahat, (c)
berpindah secara quadrupedal, (d) mengamati
perahu yang melintas
Berdasarkan pengamatan, secara umum tidak ditemukan adanya gangguan
yang mengancam populasi bekantan. Bekantan terlihat dapat melakukan perilaku
alaminya. Jenis primata ini tidak terganggu dengan adanya lalu lintas perahu
dengan suara mesin yang keras, melainkan hanya terlihat mengamati perahu yang
melintas. Indikasi gangguan terlihat saat mesin perahu dimatikan atau saat
terdapat manusia yang masuk ke dalam hutan. Pada kondisi tersebut bekatan akan
berpindah menjauh dari keberadaan manusia.
Pengaruh Lingkungan terhadap Durasi Perilaku
Perilaku makan
Bekantan merupakan jenis primata folivorous (Soendjoto 2005). Jenis
primata dalam Sub Famili Colobinae memiliki sistem pencernaan seperti
ruminansia (Bennet 1983). Jenis primata ini memiliki bakteri dalam perutnya yang
mampu mencerna dedaunan menjadi energi yang dibutuhkan (Boonratana 1993).
Namun bekantan diketahui juga dapat mengkonsumsi bagian lain dari tumbuhan
mancakup akar, kulit batang, buah, dan bunga (Supriatna dan Wahyono 2000).

12
Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi perilaku
makan menghasilkan model yang memuat peubah diameter pohon jenis meranti,
palapi, sengon, dan tinuk sebagai peubah yang berpengaruh signifikan terhadap
durasi perilaku makan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah lingkungan dan
durasi perilaku makan memiliki keeratan hubungan sebesar 72%, serta mampu
menjelaskan sebesar 40 % variasi durasi perilaku makan bekantan.
Durasi perilaku makan = 1.998 + 0.542 Ø meranti + 0.283 Ø palapi

+ 0.069 Ø sengon + 0.156 Ø tinuk
Persamaan pada model menunjukkan bahwa perilaku makan bekantan akan
berlangsung selama 1.998 menit tanpa adanya pengaruh peubah lingkungan dalam
model. Besarnya pengaruh setiap peubah ligkungan masing-masing dicerminkan
melalui koefisen regresi dalam persamaan. Setiap peningkatan diameter pohon
sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku makan masing-masing
0.542 menit untuk jenis meranti, 0.283 menit untuk jenis palapi, 0.069 menit
untuk jenis sengon, dan 0.156 menit untuk jenis tinuk.
Hubungan diameter terhadap durasi perilaku makan bekantan dijelaskan
melalui kebutuhan pakan, pengendalian iklim mikro, dan struktur fisik pohon
yang mampu menopang tubuhnya. Bismark (2009) menyatakan bahwa luas tajuk
dan kerapatan tumbuhan tingkat tiang dan pohon sangat berpotensi dalam
penyediaan sumber pakan bekantan. Bekantan biasanya makan di ujung-ujung
pohon, duduk pada cabang yang relatif besar (Purba 2009), oleh karena itu
bekantan membutuhkan struktur pohon yang kokoh.
Hubungan jenis pohon terhadap durasi perilaku makan dijelaskan melalui
preferensi jenis pakan bekantan. Rinaldi (1992) menjelaskan bahwa lamanya
aktivitas makan di suatu pohon terutama dipengaruhi oleh jenis dan kelimpahan
pakan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku makan bekantan dan tingkat
kesukaan pakan adalah perubahan musim. Keanekaregaman pakan bekantan
dipengaruhi oleh musim (Purba 2009) sehingga bekantan memiliki tingkat
kesukaan pada pakan yang berbeda-beda setiap bulannya (Yeager 1989).
Perilaku istirahat
Saat beristirahat, bekantan mengerahkan energinya untuk memperlancar
proses fermentasi dan pencernaan makanan (Bismark 1986) serta meregangkan
otot-ototnya (Boonratana 1993). Perilaku istirahat bekantan dilakukan di sela-sela
aktivitas hariannya dan sering dilakukan dengan cara duduk di ranting pohon
(Suradijono 2004).
Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi perilaku
istirahat menghasilkan model yang memuat diameter pohon jenis araganang dan
ara sebagai peubah lingkungan yang berpengaruh signifikan terhadap durasi
perilaku istirahat. Peubah lingkungan dalam model memiliki keeratan sebesar
31% terhadap durasi perilaku istirahat, serta mampu menjelaskan sebesar 9%
variasi durasi perilaku istirahat.
Durasi perilaku istirahat = 1.918 + 0.136 Ø araganang + 0.098 Ø ara

13
Persamaan dalam model menjelaskan bahwa perilaku istirahat akan
berlangsung selama 1.918 menit tanpa ada pengaruh diameter pohon jenis
araganang dan ara. Kontribusi kedua peubah lingkungan ini terhadap durasi
perilaku istirahat dijelaskan melalui koefisien peubah dalam persamaan. Setiap
penambahan diameter sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku
istirahat sebesar 0.136 menit untuk diameter pohon jenis araganang dan 0.098
menit untuk diameter pohon jenis ara.
Hubungan diameter dan jenis pohon terhadap durasi perilaku istirahat
dijelaskan melalui peran pohon dalam menstabilkan fluktuasi iklim mikro.
Tutupan tajuk pohon dengan diameter >50 cm dan tumbuhan tingkat pancang
berpotensi menjaga kestabilan fluktuasi iklim mikro pada strata rendah (0-10 m)
di siang hari (Bismark 2009). Menurut Moen (1973), perilaku istirahat satwa
ruminansia banyak dipengaruhi oleh perilaku makannya karena proses pencernaan
makanan dalam tubuh terjadi pada saat satwa beristirahat.
Selama pengamatan, perilaku istirahat lebih banyak ditemukan setelah
aktifitas makan. Perilaku istirahat setelah makan diketahui juga dilakukan oleh
family Hylobatidae (Rinaldi 1992). Pakan merupakan kebutuhan yang penting
bagi bekantan selain sumber air (Soendjoto 2005), oleh karena itu pemilihan
lingkungan sangat disesuaikan dengan ketersediaan sumber pakan (Purba 2009).
Durasi perilaku berpindah
Perilaku berpindah yang diamati dalam penelitian mencakup perpindahan
dalam satu pohon maupun antar pohon yang berdekatan untuk makan maupun
istirahat. Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi
perilaku berpindah menghasilkan dua model yang memuat diameter pohon jenis
kandui dan bayur sebagai peubah lingkungan yang berpengaruh signifikan
terhadap durasi perilaku berpindah. Peubah dalam model memiliki keeratan
hubungan sebesar 38% terhadap durasi perilaku berpindah serta dapat
menjelaskan sebesar 15% variasi durasi perilaku berpindah.
Durasi perilaku berpindah = 0.629 + 0.116 Ø kandui + 0.037 Ø bayur

Perilaku berpindah akan berlangsung selama 0.629 menit tanpa adanya
pengaruh diameter pohon jenis kandui dan ara. Setiap peningkatan diameter
pohon jenis kandui sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku
berpindah sebesar 0.116 menit dan peningkatan dimeter pohon jenis ara sebesar 1
cm akan diikuti peningkatan durasi perilaku berpindah sebesar 0.037 menit.
Pendeknya durasi berpindah bekantan juga dikemukakan oleh Salter et al. (1985)
bahwa perilaku berpindah yang cepat dan tanpa berhenti jarang dilakukan, namun
kecepatan pergerakan bekantan dapat mencapi 450 m per jam.
Pola pergerakan primata berhubungan erat dengan sebaran pohon pakan
(Jolly 1972, Whitten 1982), pohon tidur, dan cuaca (Chivers 1974). Bekantan
melakukan aktifitas berpindah untuk mencari makan (Kartono et al. 2008).
Pernyataan ini menjelaskan adanya hubungan antara perilaku berpindah dengan
jenis pohon tertentu. Durasi berpindah bekantan mengindikasikan sebaran pakan
dalam lingkungannya, durasi berpindah yang tinggi mengindikasikan sumber
pakan yang semakin menyebar, sedangkan durasi yang rendah mengindikasikan
sumber pakan yang semakin mengelompok.

14
Hubungan diameter pohon terhadap perilaku berpindah dijelaskan melalui
kebutuhan bekantan akan substrat sebagai sarana berpindah terkait dengan
efisiensi energi yang digunakan. Hubungan ini juga diperkuat oleh peran pohon
berdiameter besar dalam menjaga fluktuasi iklim mikro karena bekantan
cenderung mencari kondisi iklim mikro yang nyaman (Bismark 1994).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Durasi perilaku utama bekantan meliputi perilaku makan, istirahat, dan
berpindah berbanding lurus dengan diameter pohon jenis tertentu di habitatnya.
Perilaku makan, istirahat, dan berpindah bekantan dimulai pada pagi hari dan
berakhir di sore hari pada waktu tidur. Puncak durasi perilaku makan terjadi pada
siang hari, puncak durasi perilaku istirahat terjadi pada sore hari, dan puncak
durasi perilaku berpindah terjadi pada pagi hari.
Saran
Saran sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah perlunya dilakukan
penelitian lebih dalam untuk mengidentifikasi latar belakang perbedaan wilayah
jelajah bekantan di lokasi penelitian dengan hasil penelitian lainnya, identifikasi
dinamika pembentukkan kelompok bekantan, kajian pengelolaan habitat bekantan
di dalam kawasan terkait daerah sempadan sungai dan khususnya jenis pohon
yang diketahui berpengaruh dan mendukung berlangsungnya aktifitas dan
perilaku harian bekantan, serta kajian pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat di
kawasan sempadan sungai yang merupakan habitat bekantan.

DAFTAR PUSTAKA
Afrilia GN. 2011. Studi reproduksi bekantan (Nasalis larvatus) di habitat ex-situ
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Alexander GM, Hines M. 2002. Sex Differences in Respons to Children’s Toys in
Non-Human Primates (Cercopithecus aethiops sabaeus). Evolution and
Human Behavior. 23(2002):467-479.
Alikodra HS, Yasuma S, Santoso N, Soekmadi R, Suzanna E. 1990. Studi Ekologi
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto
Kalimantan. PP. 39-43.
Alikodra HS. 1997. Populasi dan Perilaku Bekantan di Koala Samboja,
Kalimantan Timur. Media Konservasi. 5(2):67-72.
Atmoko T, Ma’ruf A, Syahbani, Rengku. 2007. Kondisi Habitat dan Penyebaran
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur.

15
Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas
Menuju Hutan Lestari; 2007 Januari 31; Balikpapan. 35-42.
Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran Bekantan
(Nasalis larvatus Wurmb) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.
Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian BPTKSDA Samboja; 2011
November 3; Samboja. 71-83.
Bennet EL. 1983. The Banded Langur : Ecology of a Colobinae in West
Malaysian Rain Forest. Dalam Bismark M. 1994. ekologi makan dan
perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan bakau Taman
Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bennet EL, Sebastian AC. 1988. Social Organization and Ecology of Proboscis
Monkey in Mixed Coastal Forest in Sarawak. International Journal of
Primatology. 9(3):233-255.
Bismark M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam memanfaatkan
dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai,
Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID). Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb 1781) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
[disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Boonratana R. 1993. The ecology and behavior of the proboscis monkey (Nasalis
larvatus) in the Lower Kinabatangan, Sabah [tesis]. Bangkok (TH): Madihol
University.
Chivers DJ. 1974. The Siamang in Malaysia : a Field Study of Primate in Tropical
Rain Forest. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan
(Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam.
Ciani AC. 1986. Intertroop Agonistic Behavior of a Feral Rhesus Macaque Troop
Ranging in Town and Forest Areas in India. Aggressive Behaviour. 12:433439.
[CITES] Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Fora. 1979. Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora. http://www.cites.org/eng/disc/E-Text.pdf. [10
Oktober 2013].
Dawkins M. 2007. Observing Animal Behavior : Design and Analysis of
Quantitative Data. New York (US). Oxford Univesity Press.
Dunbar RIM. 2008. The Social Role of Touch in Humans and Primates :
Behavioural Function and Neurobiological Mechanisms. Neuroscience and
Biobehavioural Reviews. 34(2010):260-268.
Galdikas BMF. 1985. Crocodile Predation on Proboscis Monkey in Borneo.
Primates. 26(4):495-496.
Gubernick DJ, Klopfer PH. 1981. Parental Care in Mammals. New York (US).
Plenum Press.

16
Hanum H. 2011. Perbandingan Metode Stepwise, Best Subset, dan Fraksi dalam
Pemilihan Model Regresi Berganda Terbaik. Jurnal Penelitian Sains.
14(2A):14201.
Harestad AS, Bunnel FL. 1979. Home Range and Body Weight-a Reevaluation.
Dalam Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik Habitat dan
Wilayah Jelajah Bekantan di Hutau Mangrove Desa Nipah Panjang
Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.
Media Konservasi. 13(3):1-6.
Hulbert IAR, Iason GR, Elston DA, Racey PA. 1996. Home Range Sizes in a
Stratified Upland Landscape of Two Lagomorphs with Different Feeding
Strategies. Dalam Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik
Habitat dan Wilayah Jelajah Bekantan di Hutau Mangrove Desa Nipah
Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi
Kalimantan Barat. Media Konservasi. 13(3):1-6.
Jolly A. 1972. The Evolution of Primate Behavior. Dalam Bismark M. 2009.
Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik Habitat dan Wilayah
Jelajah Bekantan di Hutan Mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu
Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media
Konservasi. 13(3):1-6.
Kawabe M, Mano T. 1972. Ecology and Behavior of the Wild Proboscis Monkey
(Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. Primates. 13(2):213-228.
Kern JA. 1964. Obervations on the Habits of Proboscis Monkey, Nasalis larvatus
(Wurmb), Made in Brunei Bay Area, Borneo. Dalam Yeager CP. 1990.
Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Social Organization : Group Structure.
American Journal of Primatology. 20:95-106.
Keverne EB. 1987. Processing of Environmental Stimuli and Primate
Reproduction. The Zoological Society of London. 213:395-408.
Macdonald DW. 1982. Notes on the Size and Composition of Groups of Proboscis
Monkey, Nasalis larvatus. Folia Primatol. 37:95-98.
Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2008. Clouded Leopard (Neofelis diardi)
Predation on Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia.
Primates. 49:227-231.
Moen AN. 1973. Wildlife Ecology, an Analytical Approach. Dalam Bismark M.
2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. Dalam Purba EFB.
2009. Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis
larvatus) di Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah (Studi
Kasus di Areal Research Pondok Ambung) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Nurjannah. 2008. Modul Pelatihan SPSS (Statistical Package for the Social
Science) Advanced – Pertemuan II. Melbourne (AU).
Prayogo H. 2006. Kajian tingkah laku dan analisis pakan lutung perak
(Trachypithecus cristaus) di Pusat Primata Schumtzer Taman Margasatwa
Ragunan. Dalam Pratiwi AN. 2008. Aktivitas pola makan dan pemilihan
pakan pada lutung kelabu betina (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di

17
Pusat Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi-Bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Purba EFB. 2009. Studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan
(Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah
(studi kasus di areal Research Pondok Ambung) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Purnamasari DR. 2012. Limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi dan karbon
tersimpan pada limbah pemanenan kayu di IUPHHK-Ha PT Indexim Utama,
Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rinaldi D. 1992. Penggunaan Metode Triangle dan Concentration Count dalam
Penelitian Sebaran dan Populasi Gibbon (Hylobitidae). Media Konservasi.
4(1):9-21.
Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai P. 1985. Habitat Use,
Ranging Behaviour and Food Habits of Proboscis Monkey Nasalis larvatus
(Van Wurmb) in Sarawak. Primates. 26(4):436-451.
Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta (ID). PT Gramedia
Pustaka Utama.
Skinner BF. 1938. The Behavior of Organisms. Dalam Linggasari. 2008. Faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku terhadap penggunaan alat pelindung diri
di Departemen Engineering PT Indah Kiat Pulp dan Paper TBK Tangerang
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Soemartini. 2008. Principal component analysis (PCA) sebagai salah satu metode
untuk mengatasi masalah multikolinearitas [skripsi]. Jatinangor (ID):
Universitas Padjadjaran.
Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan terhadap hutan karet: studi kasus di
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Strier KB. 2011. Primate Behavioral Ecology: Fourth Edition. Boston (US).
Pearson.
Supriatna J, Wahyono HE. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Suradijono RD. 2004. Perilaku dan aktivitas harian bekantan (Nasalis larvatus) di
hutan karet, Desa Simpung Layung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tardif SD, Carson RL, Gangaware BL. 1992. Infant-care Behavior of Nonreproductive Helpers in a Communal-care Primate, the Cotton-top Tamarin
(Saguinus oedipus). Ethology. 92:155-167.
Tayeb T. 2012. Efektifitas Metode New Stepwise dalam Pemilihan Variabel pada
Model Regresi Berganda. Lentera Pendidikan. 15(2):161-174.
Vié JC, Taylor CH, Pollock C, Ragle J, Smart J, Stuart S, Tong R. 2008. The
IUCN Red List: a key conservation tool. Switzerland (SUI). IUCN Gland.
Warsono IU. 2002. Pola tingkah laku makan dan kawin burung kasuari
(Casuarius Sp.) dalam penangkaran di Taman Burung dan Taman Anggrek
Biak. Dalam Pratiwi AN. 2008. Aktivitas pola makan dan pemilihan pakan
pada lutung kelabu betina (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di Pusat
Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi-Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

18
Whitten AJ. 1982. Diet and Feeding Behavior of Kloss Gibbon on Siberut Island,
Indonesia. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis
larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam.
Yeager CP.1989. Feeding Ecology of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus).
International Journal of Primatology. 10(6):497-530.
Yeager CP. 1990. Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Social Organization :
Group Structure. American Journal of Primatology. 20:95-106.
Yeager CP. 1991. Possible Antipredator Behavior Associated with River
Crossings by Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). American Journal of
Primatology. 24:61-66.

19
Lampiran 1 Ringkasan model durasi perilaku makan

Model

R

1
2
3
4

.623a
.666b
.700c
.718d

a.
b.
c.
d.

Model Summary
Adjusted R
R Square
Square
.388
.381
.443
.431
.490
.473
.515
.493

Std. Error of the
Estimate
5.01849
4.81281
4.63320
4.54117

Predictors : (Constant), meranti
Predictors : (Constant), meranti, palapi
Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon
Predictors : (Constant), emranti, palapi, sengon, tinuk

Lampiran 2 Tabel anova model durasi perilaku makan
Model
1

Regression
Residual
Total
Regression
Residual
Total
Regression
Residual
Total
Regression
Residual
Total

2
3
4

a.
b.
c.
d.

ANOVAe
Sum of
Df
Mean
Squares
Square
1452.270
1
1452.270
2291.859
91
25.185
3744.129
92
1659.448
2
829.724
2084.681
90
23.163
3744.129
92
1833.610
3
611.203
1910.519
89
21.467
3744.129
92
1929.371
4
482.343
1814.758
88
20.622
3744.129
92

F

Sig.

57.664

.000a

35.821

.000b

28.472

.000c

23.389

.000d

Predictors : (Constant), meranti
Predictors : (Constant), meranti, palapi
Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon
Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon, tinuk

Lam