Limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi dan karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah

(1)

and Storaged Carbon on Wood Harvesting Waste at IUPHHK-HA Area of PT. Indexim Utama, Central Kalimantan. Supervised by JUANG R. MATANGARAN.

Forest was one of renewable natural resource. One of mostly used resource was wood. Thus to change it into economically valued, its need to exclude it from forest that named by wood harvesting. Wood harvesting activity could cause any problem such as wood harvesting waste. Total of waste could be used as an estimation base of exploitation factors value. Necromass was essential component of carbon storage and have to be measured to obtain accurate carbon storage. Total of necromass will affect the carbon storage potential of forest. This research was supposed to calculate waste volume that occurred on felling area, TPn (temporary wood collecting site) and TPK (final wood collecting site), to analyze factors that affect waste volume, to estimate value of exploitation factor, and to estimate total of storaged carbon on wood harvesting waste.

Waste on this research was in form of stump, non-branched stem, upper stem and branch with minimum diameter 30 cm. Data were collected from 10 sample plots with 100 m x 100 m dimension. Effect of slope, tree felling intensity, basal area and feller skill to waste volume were analyzed by using multilinear regression model. Exploitation factor was calculated by using waste percentage approach and also felling index, skidding index, and hauling index approaches. Logging waste sample was collected in 3 repetitions by using 5 cm stem cross section of each trees part. Necromass in this research was calculated by using volume approach. Necromass and necromass carbon were obtained from laboratory analysis result.

Average waste volume was 46,57 m3/ha. Wood harvesting waste mostly occurred in felling area. Waste on felling area was amounted 29,20 m3/ha, while at TPn amounted 1,17 m3/ha and at TPK amounted 0 m3/ha. Waste at felling area

mostly caused by chainsaw operator’s mistake in logging, stem cutting and bucking. Waste at TPn was in form of log deformed by hole, crack and crooked,

while at TPK wasn’t found any waste from researched stems. Waste percentage of

non-branched stem based on logged trees was 25,16 %. Most significant factors that affect waste volume variance were trees basal area of logged tree and tree felling intensity. Total of exploitation factor based on waste percentage approach was 0,7484, while based on felling index, skidding index, and hauling index was 0,7484. Storaged carbon of wood harvesting waste was 13,91 ton C/ha, that including stem carbon amounted 10,76 ton C/ha, stomp carbon amounted 2,26 ton C/ha, and branch carbon amounted 0,89 ton C/ha.

Keywords: forest, wood harvesting, wood harvesting waste, exploitation factor, carbon


(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu: karbondiokida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Salah satu cara yang paling efektif dalam penurunan emisi gas rumah kaca dengan memanfaatkan sifat alami pohon penyerap CO2.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan adalah kayu, untuk mengubahnya bernilai ekonomi diperlukan kegiatan mengeluarkan kayu dari hutan yang disebut dengan pemanenan kayu. Selain itu manfaat hutan yang lainnya yaitu sebagai penyimpan karbon. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alam dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi (Hairiah & Rahayu 2007).

Pemanenan hasil hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Kegiatan yang dilakukan dalam pemanenan hutan antara lain penebangan, penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan. Sebagai akibat dari adanya kegiatan pemanenan hasil hutan, timbul beberapa masalah diantaranya ialah terjadinya limbah pemanenan kayu. Limbah tersebut dapat berbentuk tunggak, batang, cabang dan potongan pendek yang dapat terjadi di petak tebang, TPn dan TPK. Menurut Lasco (2002) diacu dalam Rahayu et al. (2005) menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50 %. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktivitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67 %. Cadangan karbon yang hilang dapat dikurangi dengan melaksanakan teknik pemanenan berdampak rendah.


(3)

Limbah pemanenan sering timbul akibat kesalahan teknis di lapangan dan juga akibat kebijakan perencanaan pemanenan yang kurang tepat. Pemanfaatan kayu yang kurang efisien terjadi karena jumlah kayu yang dimanfaatkan pada umumnya masih rendah dibandingkan dengan volume kayu yang ditebang. Hasil penelitian Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), limbah di petak tebang sebesar 71,5 % serta sisanya terjadi di logpond. Selanjutnya hasil penelitian Sukanda (1995) menyebutkan rata-rata limbah di petak tebang sebesar 85,84 m3 (99,28 %) dan di TPn sebesar 0,62 m3 (0,72 %). Kriteria yang berbeda dalam mendefinsikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan limbah yang berbeda pula.

Keberadaan limbah ini sering kali diabaikan, karena pemanfaatan dianggap menyulitkan dan mahal. Bagian pohon seperti tunggak, cabang dan batang yang cacat, umunya ditinggalkan begitu saja di hutan dan menjadi limbah. Perhitungan paling konservatif pada tahun 1980-an diperoleh limbah hampir 7,5 juta m3/tahun dengan nilai sebesar hampir Rp 1,2 triliun/tahun. Konversi limbah tersebut ke luas areal hutan untuk menghasilkan volume kayu sebesar itu adalah lebih dari 124.000 ha/tahun (Tinambunan 2001). Dalam praktek pengelolaan hutan lestari pemborosan seperti ini seharusnya dapat ditekan serendah mungkin. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama.

Selain itu, limbah pemanenan kayu juga erat kaitannya dengan faktor eksploitasi. Makin besar limbah eksploitasi yang terjadi berarti faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam 1995). Berdasarkan hal itu, besarnya faktor eksploitasi yang terjadi dalam pelaksanaan pemanenan kayu secara mekanis mutlak diperlukan untuk memberikan informasi tentang besaran faktor eksploitasi yang tepat dan membantu perusahaan pengusahaan hutan dalam perencanaan target produksi dan juga memberikan kemudahan bagi Kementerian Kehutanan Rebuplik Indonesia dalam melakukan pengawasan.

Nekromassa adalah batang pohon mati, baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah. Menurut penelitian Widyasari (2010) menunjukan bahwa nekromassa paling besar adalah nekromassa batang sebesar 58.862,07 kg/ha. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya tunggak kayu yang ada


(4)

pada areal petak penelitian, sehingga nekromassa pun semakin besar. Tunggak-tunggak kayu yang ada di areal diduga sebagai akibat kegiatan penebangan namun dibiarkan terlantar sehingga menjadi limbah pemanenan. Besarnya nekromassa tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pada biomassa tersimpan pada tegakan di areal tersebut.

Nekromassa merupakan komponen penting dari penyimpanan karbon dan harus diukur agar diperoleh penyimpanan karbon yang akurat. Tunggul-tunggul tanaman, cabang yang masih utuh juga dimasukkan ke dalam nekromassa (Hairiah & Rahayu 2007). Besarnya nekromassa tersebut akan mempengaruhi simpanan karbon dalam hutan. Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian tentang limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi dan karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghitung volume limbah kayu yang terjadi di petak tebang, TPn, dan TPK akibat kegiatan pemanenan kayu di IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam) PT. Indexim Utama.

2. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap besarnya volume limbah akibat kegiatan penebangan kayu.

3. Menentukan faktor eksploitasi yang terjadi di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama.

4. Mengukur besarnya karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu.

1.3Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai volume limbah, faktor eksploitasi, dan simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Atas dasar informasi tersebut, maka limbah kayu yang terjadi akan ditekan serendah mungkin. Sehingga pemanfaatan kayu dapat dilakukan dengan efisien dan efektif.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hutan Hujan Tropis

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Indonesia memiliki berbagai tipe hutan, yaitu: Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai.

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), Indonesia memiliki hutan hujan tropis seluas ± 89.000.000 ha dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Iklim selalu basah

2. Tanah kering dan berbagai macam jenis tanah

3. Topografi berbukit pada tanah dataran rendah (< 1000 m dpl) dan terdapat pada dataran tinggi sampai dengan ketinggian 4000 m dpl

4. Hutan hujan tropis dibedakan menurut ketinggiannya menjadi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan sedang dan hutan hujan dataran tinggi.

2.2 Limbah Pemanenan Kayu

2.2.1 Pengertian Limbah Pemanenan Kayu

Limbah adalah suatu zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang tidak bernilai ekonomis. Limbah pemanenan adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan akan tetapi terpaksa ditinggalkan di hutan (Sastrodimedjo & Simarmata 1981). Limbah pemanenan kayu adalah pohon atau bagian pohon yang tertinggal dan belum dimanfaatkan di areal tebangan yang berasal dari pohon yang ditebang dan pohon-pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan (Simarmata & Haryono 1986), berikut hasil volume dan jenis limbah berdasarkan sumbernya.


(6)

Tabel 1 Volume dan jenis limbah eksploitasi hutan berdasarkan sumbernya di HPH Padeco dan Bamasco

HPH

Volume Jenis Limbah (m3/ha)

Pohon yang Ditebang Pohon Rusak Akibat Total limbah Tunggak Batang

Bebas Cabang

Di atas Bebas Cabang

Jumlah Penebangan Penyaradan

Padeco 5,49 3,57 3,92 13,48 8,14 0,80 22,41

Bamasco 3,48 2,42 2,16 8,18 6,30 1,00 15,46

Total 8,97 5,99 6,08 21,84 14,44 1,80 37,87

Rata-rata 4,49 2,99 3,04 10,82 7,22 0,90 18,94

Persentase limbah

44,23 27,69 28,69 57,12 38,13 4,75 100

Sumber: Simarmata dan Haryono (1986)

Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), besarnya limbah yang ditinggalkan dari setiap pohon yang ditebang berdasarkan perhitungan pemanfaatan kayu sampai batas dahan pertama adalah 26 % sedangkan jika dihitung berdasarkan pemanfaatan kayu sampai batas diameter ujung 30 cm adalah 33,1 %. Selanjutnya kedua penulis tersebut mengemukakan bahwa dari setiap pohon yang ditebang, sebesar 71,5 % dari limbah yang terjadi ditinggalkan di areal tebangan dan sisanya sebesar 28,5 % berada di logyard atau logpond.

Berdasarkan hasil penelitian Widiananto (1981) mengenai limbah tebangan di areal konsesi HPH PT. ITCI, Kalimantan Timur, diperoleh limbah tebangan sebesar 39,89 % dari total volume pohon. Limbah tebangan berupa batang sebesar 26,52 % dan limbah tebangan berupa cabang sebesar 13,37 %.

2.2.2 Klasifikasi Limbah

Soewito (1980) menyatakan bahwa limbah yang terjadi di areal tebangan berasal dari:

1. Limbah dari pohon yang ditebang.

Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hutan hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran (panjang dan diameter) dan kualitas. Bagian-bagian kayu yang cacat alami (berlubang, bengkok) dan pecah atau patah batang akibat benturan ketika roboh, ditinggalkan di dalam hutan.


(7)

2. Limbah akibat kerusakan tegakan tinggal.

Penebangan dan pembuatan jalan sarad yang kurang hati-hati dan tidak berencana dapat menyebabkan pohon lain yang dipertahankan menjadi rusak, umumnya ialah patah tajuk, luka batang atau banir atau roboh.

Sastrodimedjo dan Simarmata (1981) mengklasifikasi limbah berdasarkan tempat terjadinya, sebagai berikut:

1. Limbah yang terjadi di areal tebangan (cutting area), limbah tebangan ini dapat berupa kelebihan tunggak yang diizinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang, sisa cabang dan ranting.

2. Limbah yang tejadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat baik kualitas maupun ukurannya.

3. Limbah yang terjadi di Tempat Penumpukan Kayu (TPK), umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah, dan terserang jamur.

Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan: 1. Bentuknya

a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan.

b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis, dan lain-lain.

c. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan, ranting, maupun tunggak. d. Berupa sisa bagian produksi atau akibat proses produksi.

2. Pengerjaan kayunya

a. Limbah pemanenan yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan kayu yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, TPn dan TPK.

b. Limbah pengolahan kayu yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pabrik gergajian, plywood dan lain-lain.

3. Tempat terjadinya

a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan

b. Limbah yang terjadi di tempat pengumpulan kayu (TPn) c. Limbah yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPK)


(8)

Limbah diklasifikasikan berdasarkan sumbernya untuk mengetahui dari bagian pohon yang mana limbah berasal, yaitu: klasifikasi berdasarkan sumber limbah itu sendiri dan terbatas pada areal tebangan. Sumber limbah berasal dari pohon yang ditebang, pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, sedangkan limbah yang berasal dari pohon yang ditebang berasal dari tunggak, limbah batang bebas cabang, batang kayu di atas cabang pertama (Simarmata & Haryono 1986).

2.2.3 Batasan Limbah

Sinaga et al. (1984) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu meliputi:

1. Limbah tunggak di bagian atas batas yang diperkenankan.

2. Bagian-bagian dari kayu bulat yang pecah atau tercabut seratnya sampai batas cabang.

Budiaman (2000) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu adalah kayu bulat berupa bagian batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang, dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama.

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.

5. Potongan kecil adalah bagian batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis fisik lainnya yang mengurangi nilai ekonomis kayu.


(9)

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah

Limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain topografi, kerapatan tegakan, keterampilan penebangan dan operator traktor serta kebutuhan kayu. Faktor alam tersebut sukar diatasi, walaupun dapat diatasi sudah tidak efisien lagi dengan biaya yang dikeluarkan (Simarmata & Haryono 1986).

Timbulnya limbah juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasaran, jenis dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasarnya pada saat itu. Dengan demikian ukuran serta kualitas yang tidak memenuhi syarat pada saat itu akan menjadi limbah. Faktor penyebab limbah yang tidak dapat dikuasai adalah faktor alam, yaitu kayu tidak dapat dimanfaatkan karena letaknya tidak memungkinkan pemanenan secara ekonomis antara lain di dalam jurang, atau pada lereng-lereng yang curam, juga apabila pohon yang ditebang ternyata busuk, berlubang atau cacat (Soemitro 1980).

Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa limbah pemanenan kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut:

1. Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan.

2. Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang. Pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3. Peralatan, pemilihan jenis dan kapasitas alat yang keliru dapat menyebabkan

kayu tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya.

4. Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi.

5. Sistem upah yang menarik akan memberikan rangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan bersedia melaksanakan sesuai yang diharapkan.

6. Kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan.


(10)

Simarmata (1985) secara umum menunjukkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor alam a. Jenis kayu

b. Keadaan tanah dan topografi c. Kerapatan pohon atau tegakan d. Keadaan cuaca

2. Faktor manajemen dan pemasaran a. Teknik, alat dan pemasaran b. Harga kayu

c. Bentuk, ukuran, dan kondisi kayu yang laku di pasar d. Jenis industri yang ada.

Hasil penelitian Lim (1992) di IUPHHK PT Kayu Pasaguan menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara luas bidang dasar pohon yang ditebang dengan volume limbah yang terjadi, yang terdiri atas limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, limbah cabang, limbah kerusakan tegakan tinggal. Semakin besar luas bidang dasar pohon yang ditebang, maka semakin besar volume limbah yang dihasilkan.

Penyebab-penyebab terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, sebagai berikut :

1. Secara alami, yaitu kayu ditinggalkan karena ada cacat alami sehingga tidak dapat dipasarkan pada saat ini, seperti kayu berlubang, busuk, dan gerowong. 2. Secara mekanis, yaitu kayu ditinggalkan karena ada kerusakan pada kayu

akibat kegiatan pemanenan, seperti pecah, patah, dan lain-lain (Sianturi et al. 1984)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lempang et al. (1995) peubah yang berpengaruh nyata terhadap besarnya limbah pemanenan kayu yaitu panjang kayu di tempat penebangan, rata-rata diameter tebangan, volume kayu di tempat tebangan, dan panjang kayu di TPn.

Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), terjadinya limbah tebangan yang cukup besar disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut:


(11)

Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang benar dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut barber chair, sehingga akan mengurangi batang yang seharusnya dapat dipakai.

2. Kesalahan dalam menentukan arah rebah.

Dalam melaksanakan penebangan pada umumnya operator chainsaw belum memperhatikan arah rebah yang baik. Sering terjadi rebah ke arah jurang, menimpa batang lain, selokan, tunggak dan lain-lain, sehingga batang retak dan pecah.

3. Kesalahan dalam pemotongan batang.

Karena diperkirakan tidak kuat disarad sekaligus, maka pohon-pohon tersebut sering kali dipotong menjadi beberapa batang. Pekerjaan demikian ini dikerjakan sendiri oleh penebang tanpa bantuan scaler, sehingga menimbulkan limbah.

4. Manajemen yang kurang baik.

Sering terjadi ketidaklancaran hubungan antara kegiatan yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini kerjasama yang baik antara unit-unit kegiatan pemanenan akan menjamin lancarnya kayu sampai di logpond. Sehingga dapat menghindari terlalu lamanya kayu yang tertinggal di hutan atau logyard yang dapat memberikan peluang untuk terjadinya limbah karena penurunan kualita.

2.2.5 Upaya untuk Meminimalkan Besarnya Limbah Pemanenan Hutan

Menurut Budiaman (2000) volume limbah kayu bulat dapat dikurangi apabila dilakukan perbaikan dalam teknik penebangan dan pembagian batang. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan (Sinaga et al. 1984).

Soewito (1980) mengemukakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi limbah pemanenan kayu, sebagai berikut:

1. Mendirikan industri pengolahan hasil hutan yang memanfaatkan log berkualitas rendah.


(12)

3. Peningkatan kemampuan manajemen dan keterampilan pelaksana melalui pendidikan dan latihan.

Untuk mengurangi limbah pemanenan kayu dapat di tempuh melalui dua pendekatan, sebagai berikut:

1. Kegiatan sebelum pemanenan kayu

Dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penggunaan teknis dan peralatan pemanenan yang sesuai, dilaksanakannya peraturan TPTI dengan sungguh-sungguh dapat mengurangi timbulnya limbah.

2. Kegiatan setelah pemanenan kayu

Limbah yang terjadi, baik pada kegiatan penebangan maupun industri akan dapat dikurangi dengan adanya peningkatan pemanfaatannya (Sastrodimedjo & Simarmata 1981).

Klassen (2006) menyebutkan contoh spesifik dari limbah kayu yang dapat dihindarkan sebagai berikut :

1. Tunggak yang terlalu tinggi

Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penelitian menunjukkan, limbah ini mewakili 1-2 % dari seluruh limbah kayu yang dapat dihindari.

2. Pemotongan banir dan ujung puncak pohon yang tidak tepat

Cara memotong kayu log dari pohon yang ditebang akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan limbah. Sering kali penebang memotong pohon jauh di atas banir dimana diameter pohonnya mulai mengecil. Lubang kecil pada banir tersebut yang mengakibatkan berkurangnya volume kayu berkualitas karena dipotong, padahal sebenarnya seluruh log bisa ditarik ke TPn. Limbah kayu yang berada pada kategori ini, mewakili 35-55 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari.

3. Meninggalkan pohon yang sudah di tebang dalam hutan

Umumnya, kategori limbah kayu seperti ini merupakan 25-30 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari.


(13)

Menebang pohon yang mempunyai lubang sangat besar menjadi sangat tidak ekonomis untuk ditebang dan seharusnya dapat dihindari karena menyebabkan kerusakan yang tidak perlu pada pohon sekitarnya. Pohon berlubang juga memiliki nilai sebagai pohon bibit atau benih dan pada banyak kasus mempunyai fungsi ekologis dalam hutan. Penebang biasanya dapat menduga apakah suatu pohon berlubang dengan cara memukulkan parangnya pada pohon. Bila pohon dicurigai berlubang besar, penebang harus melakukan potongan secara vertikal untuk menentukan besarnya lubang. Bila ukuran lubang pada pohon tersebut melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, pohon tersebut tidak perlu ditebang.

Menurut Thaib (1991) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya limbah pemanenan kayu, sebagai berikut:

1. Melakukan inventarisasi tegakan sebelum tebangan dengan teliti.

2. Membuat rencana operasional dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaan pemanenan dengan memperhatikan kondisi areal setempat.

3. Peningkatan daya guna peralatan yang ada.

4. Melaksanakan penyempurnaan sistem pengupahan pada kegiatan pemanenan yang merangsang upaya penekanan kayu limbah pemanenan.

5. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan pada kegiatan pemanenan. 6. Meningkatkan keterampilan penebang berupa pelatihan menebang dan

pembagian batang.

2.3Faktor Eksploitasi

Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.


(14)

Dengan cara penetapan yang demikian maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut.

Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam & Simarmata 1985).

Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan.

Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi, sebagai berikut: 1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan

tegakan dan situasi pemasaran. 2. Faktor teknis meliputi :

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

Kelas diameter menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap besarnya faktor eksploitasi. Makin besar diameter batang maka semakin besar limbah pemanenan kayu, sehingga faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam & Simarmata 1985). Hubungan antara diameter setinggi dada dan panjang kayu bebas cabang dengan faktor eksploitasi di hutan alam Dipterokarpa Pulau Laut


(15)

merupakan fungsi kuadratik, dan berlaku bagi Unit Kegiatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Selatan. Besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Pulau Laut yaitu 80% (Sianturi et al. 1984).

Besarnya faktor eksploitasi rata-rata jenis Meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur adalah 0,8. Faktor eksploitasi ini dipengaruhi oleh diameter batang, makin besar diameter batang makin besar faktor eksploitasi. Pada penelitian Lempang et al. (1995) besarnya faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,8.

2.4Siklus Karbon

Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan CO2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000 diacu dalam Novita 2010).

Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon, tumbuhan bawah, nekromassa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4 kali lebih banyak daripada yang disimpan dalam biomassa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt (Hairiah et al.2001).

Kinderman et al. (1993) diacu dalam Novita (2009) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah,


(16)

ketersediaan kandungan hara dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah).

Hairiah et al. (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer dari 285 ppmv (part per million on a

volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di

tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis.

2.5Biomassa

Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan tersebut dibakar.

Whitmore (1985) menyatakan bahwa biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih.

Berdasarkan hasil penelitian Tresnawan dan Rosalina (2002), besarnya biomassa primer adalah 366,95 ton/ha terdiri dari 348,02 ton/ha biomassa pohon, 11,74 ton/ha nekromassa pohon, 0,83 ton/ha tumbuhan bawah, 5,35 ton/ha serasah


(17)

kasar dan 1,01 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 2000 adalah 348,14 ton/ha yang terdiri dari 221,39 ton/ha biomassa pohon, 119,13 ton/ha nekromassa pohon, 0,92 ton/ha tumbuhan bawah, 5,77 ton/ha serasah kasar dan 0,93 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 1998 adalah 312,37 ha/ton terdiri dari 189,26 ton/ha biomassa pohon, 116,68 ton/ha nekromassa pohon, 1,09 ton/ha tumbuhan bawah, 4,67 ton/ha serasah kasar, dan 0,67 ton/ha serasah halus.

2.6Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak konsentrasi karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan (Whitmore 1985). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa karbon merupakan unsur yang mempunyai porsi terbesar di dalam kayu jika dibandingkan dengan unsur lain dan karbon merupakan elemen yang dominan atas berat biomassa tanaman.

Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa komponen karbon daratan menurut keberadaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Simpanan karbon di atas permukaan tanah meliputi :

1. Biomassa pohon. Biomassa pohon dapat dibedakan menjadi biomassa daun, ranting, kulit, cabang dan batang.

2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput, dan gulma.

3. Nekromassa yaitu batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang.

4. Serasah yaitu bagian tanaman/tumbuhan yang gugur berupa daun dan ranting. Simpanan karbon di bawah permukaan tanah terdiri dari :

1. Biomassa akar. Pada tanah hutan biomassa akar lebih terkonsentrasi pada akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang memiliki daur hidup lebih pendek.


(18)

2. Bahan organik tanah. Bahan organik tanah meliputi sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi.

Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi karena keragaman jenis vegetasi yang tinggi, tumbuhan bawah dan serasah di permukaan tanah yang banyak. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam biomassa berupa daun, batang, ranting, cabang, bunga dan buah.

Menurut Junaedi (2007), hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan masa karbon di atas permukaan tanah sebesar 57,68-107,71 ton C/ha dan hutan primer sebesar 229,33 ton C/ha. Hasil penelitian Kusuma (2009) menyatakan bahwa pendugaan potensi karbon di atas permukaan tanah pada tegakan hujan tropis bekas tebangan 1983, menghasilkan massa karbon yang tersimpan adalah 93.440,999 kg C/ha di sekitar TPn, di tengah antara ujung sarad dan TPn 74.636,359 kg C/ha dan di sekitar ujung jalan sarad 73.633,59 kg C/ha sedangkan di plasma nutfah sebagai hutan primer sebesar 123.157,90 kg C/ha. setiap hektarnya rata-rata tersimpan potensi karbon 91.218,51 kg C/ha.

Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mampu menyerap CO2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material yang sukar lapuk di tanah (Whitmore 1985).

Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global (Rahayu et al. 2005).


(19)

2.7 Kadar Abu

Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990).

Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) kayu mengandung senyawa organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu.

2.8 Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950°C yang terkandung pada arang terhadap berat kering bahan bebas air. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena, dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1989).


(20)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim Utama, Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 6 Oktober sampai 16 Nopember 2011. Pengujian contoh uji dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 21 Nopember sampai 10 Desember 2011.

3.2Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian ini adalah pohon yang ditebang beserta limbah kayu yang dihasilkan yang terdapat di petak tebang, TPn, dan TPK. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah sebagai berikut: Phiband meter untuk mengukur diameter pohon dan diameter limbah. Meteran untuk mengukur panjang limbah dan ukuran plot. Haga Hypsometer untuk mengukur tinggi pohon. Kapur untuk menandai log. Clinometer untuk mengukur kemiringan lereng. Cat dan patok untuk menandai batas petak contoh. Global Positioning System (GPS) untuk penentuan koordinat petak contoh. Gergaji untuk memotong contoh uji kayu. Kantong plastik berbagai ukuran sebagai wadah untuk menyimpan contoh

uji. Software minitab versi 14 untuk menganalisis data hasil pengukuran. Label

untuk memberikan nama pada setiap contoh uji. Kamera untuk dokumentasi. Alat-alat bantu lainnya seperti tally sheet serta alat tulis.

Sedangkan Untuk mengetahui kandungan karbon pada limbah pemanenan diperlukan contoh uji kayu untuk diuji di laboratorium. Contoh uji kayu yang diambil berasal dari tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang. Alat yang digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah mesin pencacah, cawan porselin, saringan 40-60 mesh, oven, desikator, timbangan, dan tanur listrik.


(21)

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Batasan Masalah

Perhitungan limbah kayu dilakukan di petak tebang, TPn, dan TPK. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan limbah pemanenan adalah bagian dari pohon yang ditebang tetapi tidak dimanfaatkan oleh pola pemanfaatan yang berlaku pada saat ini dan dibiarkan dalam hutan. Limbah pemanenan ini dapat berasal dari tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama (batang atas), dan cabang. Cabang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian dari

tajuk yang memiliki diameter ≥ 30 cm (Permenhut No. 8 Tahun 2009).

3.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Data primer yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

1. Volume limbah dengan mengukur dimensi tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama (batang atas), dan cabang di petak tebang.

2. Volume limbah di TPn dan TPK.

3. Berat jenis kayu dari jenis-jenis pohon yang ditebang dengan pengujian contoh uji kayu tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang di petak tebang.

4. Data berat kering, kadar zat terbang, dan kadar abu jenis-jenis kayu yang diperoleh dengan analisis contoh uji kayu di laboratorium.

Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung penelitian yang diperoleh dari pengutipan data perusahaan. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

1. Letak, luas, dan keadaan umum lokasi penelitian.

2. Laporan Hasil Cruising (LHC) petak yang akan dilakukan penelitian yang digunakan untuk membandingkan pengukuran dimensi pohon di lapangan.


(22)

3.3.3 Pengumpulan Data di Lapangan 1. Penentuan Plot Contoh

Pengambilan data untuk pengukuran limbah dilakukan dengan membuat plot contoh dengan ukuran 100 m x 100 m atau 1 ha pada petak tebang yang sedang dilakukan penebangan. Luasnya plot contoh yang akan dilakukan penelitian adalah 10 ha. Penentuan plot contoh dilakukan secara purposive

sampling yaitu suatu teknik pengambilan contoh dengan mengikuti kegiatan yang

berlangsung di lapangan sesuai dengan tujuan tertentu.

2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan

Setelah petak contoh ditentukan, maka dilakukan Inventarisasi Tegakan

Sebelum Penebangan (ITSP) yang dilaksanakan pada pohon berdiameter ≥ 20 cm

pada plot contoh yang telah ditentukan. Inventarisasi ini dilakukan untuk mengetahui potensi awal, kerapatan tegakan tinggal dan kondisi lapangan. Kegiatan yang dilakukan yaitu pencatatan nomor pohon, jenis pohon, diameter pohon setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah, tinggi bebas cabang, tinggi total, dan pengukuran kelerengan.

3. Pengukuran Sortimen di Petak Tebang

Setelah penebangan dilakukan pengukuran bagian-bagian pohon yang ditebang. Secara umum bagian-bagian pohon terdiri dari dua kelompok, yaitu bagian dibawah cabang pertama dan bagian di atas cabang pertama. Bagian di bawah cabang pertama terdiri dari tunggak dan batang bebas cabang. Bagian di atas cabang pertama terdiri dari batang atas dan cabang. Bagian-bagian yang diukur adalah sebagai berikut:

a. Tunggak adalah bagian pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Dimensi yang diukur adalah diameter dan tinggi tunggak.

b. Batang bebas cabang adalah batang utama dari atas banir sampai cabang pertama. Limbah dari batang bebas cabang dapat berupa potongan pendek atau kayu gelondongan dan hasil trimming. Potongan pendek adalah bagian batang utama yang mengandung cacat atau rusak dan perlu dipotong. Potongan pendek juga meliputi batang dengan cacat nampak, pecah, busuk, dan jenis fisik


(23)

lainnya. Kayu gelondongan dapat menjadi limbah jika jatuh ke jurang atau pecah terlalu banyak sehingga ditinggalkan. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.

c. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.

d. Cabang adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. Limbah cabang yang diukur pada diameter minimal 30 cm. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang. e. Pengumpulan data volume siap sarad. Dimensi yang diukur adalah diameter

pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.

Untuk memudahkan pelaksanannya, semua batang yang diteliti di tempat penebangan diberi nomor kode yang diikuti seterusnya hingga TPK.

4. Pengukuran Sortimen di TPn

Data yang dikumpulkan di TPn yaitu volume limbah dan volume batang (sortimen) siap angkut. Limbah dan sortimen yang diukur berasal dari pohon yang sama dengan pohon yang diukur di petak tebang. Limbah di TPn terjadi akibat dari kegiatan trimming. Limbah di TPn berupa sisa potongan, batang bebas cabang yang tidak terangkut karena mengandung cacat (bengkok, mata buaya, gerowong), kayu gelondongan utuh dengan kondisi baik yang mungkin terdapat di TPn karena jumlah kurang dari satu trip sehingga tidak diangkut. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.

5. Pengukuran Sortimen di TPK

Data yang dikumpulkan di TPK adalah volume batang yang sampai di TPK dan limbah berupa kayu gelondongan yang tidak diangkut karena mengandung cacat. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.


(24)

6. Pengambilan Contoh Uji Kayu di Lapangan

Contoh uji limbah kayu yang akan dilakukan pengujian di laboratorium diambil sebanyak 3x ulangan pada tiap jenisnya pada masing-masing bagian pohon. Contoh uji limbah kayu tersebut terdiri dari tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang.

Adapun cara pengambilan contoh uji kayu di lapangan adalah sebagai berikut:

a. Contoh uji batang utama, diambil dari bagian ujung, bagian pangkal, dan bagian tengah batang utama dengan membuat potongan melintang batang setebal ± 5 cm.

b. Contoh uji batang cabang diambil dari cabang yang besar, sedang, dan kecil yang diameternya ≥ 30 cm. Contoh uji diambil dengan cara membuat potongan melintang batang cabang setebal ± 5 cm.

c. Contoh uji tunggak dimana setiap contoh uji beratnya ± 1 kg.

Selanjutnya contoh uji yang telah diambil di lapangan dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi kode contoh uji agar tidak tertukar antara contoh uji satu dengan contoh uji lainnya. Kode contoh uji pohon adalah sebagai berikut : Batang utama : M BU P (Jenis pohon-Batang utama-Pangkal)

M BU T (Jenis pohon-Batang utama-Tengah) M BU U (Jenis pohon-Batang utama-Ujung) Cabang : M C B (Jenis pohon-Cabang-Besar)

M C S (Jenis pohon-Cabang-Sedang) M C K (Jenis pohon-Cabang-Kecil)

3.4Pengumpulan Data di Laboratorium 3.4.1 Kadar Air

Contoh uji diambil dari masing-masing bagian pohon (tunggak, batang bebas cabang, batang setelah cabang pertama, dan dahan). Contoh uji penetapan kadar air berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Semua contoh uji harus bersih dari serabut dan ditimbang berat basahnya. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2o C sampai tercapai berat konstan. Penurunan berat yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji.


(25)

Perhitungan persen kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

KA (%) = × 100% ……….(Haygreen dan Boyer 1982) Keterangan :

%KA = persentase kadar air BBc = berat basah contoh (kg) BKc = berat kering contoh (kg)

3.4.2 Berat Jenis

Untuk mengetahui biomassa mati (nekromassa) dengan pendekatan volume suatu jenis pohon perlu diketahui berat jenis kayu. Berat jenis kayu diperoleh dengan pengujian contoh uji kayu di laboratorium. Banyaknya contoh uji limbah kayu yang diambil adalah 3 buah contoh uji dari melintang tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas) dan cabang dengan dimensi 2 cm x 2 cm x 2 cm berdasarkan American Society for Testing Material (ASTM) D 2395-97.

Penentuan berat jenis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Setiap contoh uji kayu ditimbang berat basahnya.

2. Pengukuran volume contoh uji kayu mati.

3. Contoh uji kayu dikeringkan dalam oven bersuhu ±105oC selama 24 jam. 4. Setelah kering tanur ditimbang berat kering contoh uji kayu.

Berat jenis dihitung dengan rumus sebagai berikut :

…………...(Haygreen & Bowyer 1989)

3.4.3 Kadar Zat Terbang

Untuk mengetahui suatu kandungan karbon dalam nekromassa perlu diketahui kadar zat terbang dan kadar abu. Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Prosedur penentuan kadar zat terbang yang digunakan berdasarkan

American Society for Testing Material (ASTM) D 5832-98 adalah sebagai

berikut: Contoh uji dari tiap bagian pohon berkayu dipotong menjadi bagian-bagian kecil sebesar batang korek api, kemudian dioven pada suhu 80 °C selama 48 jam. Setelah Contoh uji dioven, contoh uji digiling menjadi serbuk dengan


(26)

mesin penggiling (willey mill). Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran 40-60 mesh. Serbuk contoh uji tersebut diambil sebanyak ± 2 gr yang dimasukkan ke dalam cawan porselen, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya dan ditimbang dengan alat timbang. Setelah itu contoh uji dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 950 °C selama 2 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang kembali. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang.

Kadar zat terbang dinyatakan dalam persen dan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.4.4 Kadar Abu

Prinsip penetapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap) dengan membakar serbuk menjadi abu dengan menggunakan energi panas. Berdasarkan D 2866-94, langkah-langkah prosedur penentuan kadar abu adalah sebagai berikut: Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 900 °C selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang untuk mencari berat akhirnya. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur contoh uji merupakan kadar abu contoh uji. Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut:

3.4.4 Kadar Karbon

Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah penentuan kadar karbon tetap yang telah diarangkan. Prosedur penentuan karbon tetap berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut:


(27)

3.4.5 Nekromassa

Nekromassa dalam penelitian ini menggunakan pendekatan volume yang diperoleh dengan mengalikan volume pada setiap bagian pohon (tunggak, batang, dan cabang) dengan kerapatan kayu pada bagian pohon tersebut yang diperoleh dari uji laboratorium.

Nekromassa (kg) = Volume bagian pohon (m3) x Kerapatan kayu (kg/m3)…..

…….Hairiah dan Rahayu (2007)

3.4.6 Karbon

Simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Karbon (ton/ha) = Nekromassa (ton/ha) x Kadar karbon (%)

3.5 Pengolahan dan Analisis Data 3.5.1 Perhitungan Volume

1. Rumus umum yang digunakan untuk menaksir volume pohon berdiri adalah:

Keterangan:

V = volume pohon (m3) D = diameter pohon (cm) T = tinggi pohon (m)

π = konstanta (3,14)

f = angka bentuk (0,7)

2. Perhitungan volume limbah dan batang yang dimanfaatkan dengan menggunakan rumus empiris Brereton :

Keterangan :

V = volume limbah (m3) Dp = diameter pangkal (cm) Du = diameter ujung (cm) P = panjang limbah (m)


(28)

3. Perhitungan volume limbah per hektar :

Volume limbah (m3/ha) = Volume total limbah (m3) Luas plot contoh (ha) 4. Perhitungan volume limbah per pohon :

Volume limbah (m3/pohon) = Volume total limbah (m3) Jumlah pohon yang ditebang

3.5.2 Perhitungan Persen Limbah

1. Perhitungan persen limbah berdasarkan potensi pohon Persen limbah = Volume limbah (m3) x 100%

Volume pohon yang ditebang (m3)

2. Perhitungan persen limbah berdasarkan lokasi terjadinya limbah

Persen limbah di petak tebang = Volume limbah di petak tebang(m3) x100% Volume limbah total (m3)

Persen limbah di TPn = Volume limbah di TPn (m3) x 100% Volume limbah total (m3) Persen limbah di TPK = Volume limbah di TPK (m3) x 100%

Volume limbah total (m3)

3.5.3 Analisis Hubungan Faktor yang Berpengaruh Terhadap Volume Limbah Akibat Kegiatan Penebangan

Faktor yang berpengaruh terhadap volume limbah diantaranya adalah kelerengan, intensitas tebang, luas bidang dasar pohon yang ditebang, dan keterampilan penebang. Hubungan kelerengan, intensitas tebang, luas bidang bidang dasar pohon yang ditebang, dan keterampilan penebang terhadap volume limbah dapat dianalisis dengan menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda, untuk mengetahui hubungan peubah tersebut terhadap volume limbah dilakukan uji F dan uji t. Analisis data yang dilakukan menggunakan software minitab 14. Persamaan regresi linier berganda yang digunakan adalah :

Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 Keterangan :

Ŷ = limbah pemanenan (m3/ha) b0, b1, ... b4 = koefisien regresi


(29)

X1 = kelerengan (%)

X2 = intensitas tebang (pohon/ha) X3 = bidang dasar tegakan (m2/ha) X4 = keterampilan penebang

3.5.4 Faktor Eksploitasi

Penghitungan faktor eksploitasi dihitung dengan dua cara, yaitu : 1. Faktor eksploitasi (Fe) = 100% volume pohon – persen limbah

2. Faktor eksploitasi (Fe) = indeks tebang x indeks sarad x indeks angkut Indeks tebang = Volume batang siap sarad

Volume pohon yang ditebang Indeks sarad = Volume batang siap angkut

Volume batang siap sarad Indeks angkut = Volume batang di TPK

Volume batang siap angkut

Limbah yang dihitung dalam penentuan faktor eksploitasi ini merupakan limbah yang berasal dari tunggak dan limbah yang berasal dari batang bebas cabang.


(30)

29

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

Pengelolaan hutan di areal HPH PT. Indexim Utama dimulai dengan adanya ikatan kerja dalam rangka pengusahaan hutan yang tertuang dalam

Forestry Agreement No. FA/N/030/IV/1976. Perjanjian ini merupakan dasar

dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan pada PT. Indexim Utama melalui SK Menteri Pertanian No. 639/Kpts/Um/10/1977 tanggal 29 Oktober 1977 atas areal seluas 73.000 ha yang terletak dikelompok hutan Sungai Mea-Sungai Luang, Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian keluar SK Menteri Kehutanan RI No. 836/Kpts-II/1991 tanggal 13 Nopember 1991, luas areal HPH PT. Indexim Utama berubah menjadi 41.870 ha terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) 35.020 ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 6.850 ha. Perubahan luas areal ini merupakan tindak lanjut atas SK Menteri Pertanian No. 759/Kpts/Um/X/1982 tentang Penunjukan Sebagian Areal HPH PT. Indexim Utama sebagai Hutan Lindung seluas 31.130 ha untuk kepentingan pengaturan tata air, pencegahan banjir, erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah yang menyangkut hajat hidup orang banyak (PT. Indexim Utama 2011).

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 639/Kpts/Um/10/1977 tanggal 29 Oktober 1977 dan Add. SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 836/Kpts-II/1991 tanggal 13 Nopember 1991, masa pengusahaan hutan untuk jangka 20 tahun pertama berakhir pada tanggal 28 Oktober 1997 (PT. Indexim Utama 2011). Pada tahun 1998, PT. Indexim Utama mengajukan ijin perpanjangan pengusahaan hutan ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Atas dasar SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 729/Kpts-IV/1998 tanggal 9 Nopember 1998 PT. Indexim Utama mendapat Persetujuan Prinsip Perpanjangan untuk jangka waktu 55 tahun berikutnya. Akhirnya berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September 1999, tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT. Indexim Utama di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah untuk jangka waktu pengusahaan hutan 55 tahun berikutnya atas areal seluas 52.480 ha (PT. Indexim Utama 2011).


(31)

4.2 Letak dan Luas Areal

Menurut PT. Indexim Utama (2011), lokasi areal kerja IUPHHK PT. Indexim Utama berada dalam kelompok hutan Sungai Mea-Sungai Luang dan berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, terletak di dalam wilayah Kecamatan Purai, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Areal kerja PT. Indexim Utama terletak pada koordinat 115°54’00’’ sampai

116°00’00’’ BT dan 0°46’00’’sampai 0°56’00’’ LS dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kawasan KPP dan HPH PT. Austral Byna. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan HPH PT. Alas Kusuma.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Lampeong. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Sindo Lumber.

Berdasarkan SK. Menhut No. 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September 1999 luas areal IUPHHK PT. Indexim Utama adalah ± 52.480 ha. Berdasarkan penataan areal kerja luas areal efektif untuk produksi adalah 40.723 ha (PT. Indexim Utama 2011).

4.3 Topografi

Menurut PT. Indexim Utama (2011), hasil pelaksanaan IHMB menunjukkan bahwa pada titik pusat plot contoh di lapangan terdapat kelas lereng E, namun demikian lokasi tersebut masih dalam bentuk spot-spot dan tidak kompak. Dengan demikian kelas kelerengan yang digunakan didasarkan pada Peta Garis Bentuk skala 1:50.000. Berdasarkan acuan tersebut, topografi pada areal PT. Indexim Utama bervariasi dari datar sampai curam, dengan ketinggian antara 50 - 650 m diatas permukaan laut. Kondisi topografi dan kelas lereng areal kerja IUPHHK PT. Indexim Utama, yaitu: daerah datar dengan kemiringan lereng 0-8% seluas 17.272 ha (32,91%), daerah landai dengan kemiringan lereng 9-15% sebesar 28.522 ha (54,35%), daerah agak curam dengan kemiringan lereng 15-25% sebesar 4.962 ha (9,46%), daerah curam dengan kemiringan lereng 25-40% seluas 1.724 ha (3,29%), dan daerah sangat curam dengan kemiringan lereng > 40% seluas 0 ha (0%).


(32)

4.4 Keadaan Tanah dan Hidrologi

Menurut PT. Indexim Utama (2011), areal kerja PT. Indexim Utama terdiri dari dua kelompok tanah yang didasarkan pada Peta Jenis Tanah Provinsi Kalimantan Tengah Skala 1:750.000 yang telah ditinjau kembali berdasarkan Hasil Survei Lapang Intensitas 1 % (2003) dan diverifikasi ulang dengan Peta

Land System and Land Suitability skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Badan

Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran tanah areal IUPHHK PT. Indexim Utama

No. Jenis Tanah

(USDA, 1990/PPT, 1993)

Luas

Ha %

1 Podsolik Merah Kuning (PMK) 21,462 41,00 2 Terinklusi Latosol (TLa) 31,018 59,00 Jumlah 52.480 100,00 Sumber: PT. Indexim Utama (2011)

Selanjutnya menurut PT. Indexim Utama (2011), areal kerja PT. Indexim Utama seluruhnya tercakup dalam daerah aliran sungai (DAS) Barito, Sub DAS Teweh. Adapun empat Sub DAS yang tercakup dalam areal kerja PT. Indexim Utama, yaitu: Sub DAS Luang 12.062 ha (22,98%), Sub DAS Mea 16.848 ha (32,10%), Sub DAS Teweh Hulu 2.979 ha (5,68%), dan Sub DAS Teweh Tengah 20.591 ha (39,24%).

4.5 Iklim

Sesuai dengan pengamatan di Stasiun Meteorologi Beringin Muara Teweh Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2009, curah hujan bulanan rata-rata 252,3 mm dengan hari hujan rata-rata bulanan 16 hari, temperatur udara rata-rata bulanan maksimum ± 28,3ºC dan minimum ± 26,4ºC dengan kelembaban udara rata-rata bulanan 84% dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 4,5 knot (PT. Indexim Utama 2011).

4.6 Keadaan Hutan

4.6.1 Fungsi Hutan dan Penutupan Lahan

Fungsi hutan areal kerja PT. Indexim Utama berdasarkan Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September


(33)

1999 terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP). Kondisi penutupan berdasarkan peta Citra Landsat 5 TM Path 117 Row 61 liputan tanggal 2 Maret 2011, kondisi penutupan lahan didominasi areal berhutan berupa hutan bekas tebangan (PT. Indexim Utama 2011). Secara rinci kondisi penutupan vegetasi menurut fungsi hutan di areal IUPHHK PT. Indexim Utama disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kondisi penutupan vegetasi areal kerja PT. Indexim Utamaberdasarkan fungsi hutannya

No. Penutupan Lahan

Penutupan Lahan Berdasarkan

Fungsi Hutan (ha) Jumlah

HPT HP Ha %

1. Hutan Primer (VF) 9.210 56 9.266 17,7 2. Hutan Bekas

Tebangan (LOA) 34.783 6.329 41.112 78,1 3. Areal tidak

berhutan (NH) 1.291 811 2.102 4,2 Jumlah 45.284 7.196 52.480 100,00 Sumber : PT. Indexim Utama (2011)

4.6.2 Potensi Tegakan

Menurut PT. Indexim Utama (2011), jumlah jenis pohon yang berhasil diidentifikasi pada saat pelaksanaan IHMB adalah 102 jenis pohon dengan rincian, yaitu: (1) jenis meranti dipterocarpaceae sebanyak 10 jenis pohon dan jenis meranti non dipterocarpaceae sebanyak 5 jenis pohon; (2) jenis rimba campuran sebanyak 76 jenis pohon; (3) jenis kayu indah sebanyak 5 jenis pohon; dan (4) jenis kayu dilindungi sebanyak 6 jenis pohon. Sedangkan jenis pohon yang dimanfaatkan oleh PT. Indexim Utama sebanyak 18 jenis pohon. Jenis-jenis yang dominan di areal PT. Indexim Utama antara lain meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), biwan, bangkirai (Shorea teysmani), kapur

(Dryobalanops abnormis), dan balau (Shorea guiso).

Selanjutnya menurut PT. Indexim Utama (2011), berdasarkan survei IHMB dalam rangka penyusunan RKUPHHK-HA diperoleh data rata-rata perkiraan potensi tegakan per hektar untuk keseluruhan jenis pohon, yaitu: diameter 10-19 cm sebesar 45,57 m3/ha (N = 401,12 batang/ha), diameter 20-39 cm sebesar 64,82 m3/ha (N = 131,43 batang/ha), diameter 40-49 cm sebesar 22,43


(34)

m3/ha (N = 13,61 batang/ha), diameter ≥ 40 cm sebesar 119,36 m3/ha (N = 33,15 batang/ha), dan diameter ≥ 50 cm sebesar 96,93 m3/ha (N = 19,54 batang/ha). Untuk jenis-jenis yang dapat dipanen, mempunyai potensi tegakan, yaitu: diameter 10-19 cm sebesar 18,94 m3/ha (N = 166,99 batang/ha), diameter 20-39 cm sebesar 30,99 m3/ha (N = 61,37 batang/ha), diameter 40-49 cm sebesar 10,50 m3/ha (N=6,35 batang/ha), diameter ≥ 40 cm sebesar 72,82m3/ha (N=18,20 batang/ha), dan diameter ≥ 50 cm sebesar 62,32 m3/ha (N=11,85 batang/ha).


(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pelaksanaan Pemanenan IUPHHK PT. Indexim Utama

Pemanenan hasil hutan merupakan rangkaian kegiatan untuk mempersiapkan dan memindahkan kayu dari hutan ke tempat pengolahan atau penggunaannya. Sistem pemanenan yang dilakukan di PT. Indexim Utama adalah sistem pemanenan secara mekanis artinya semua kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan bantuan mesin. Kegiatan pemanenan kayu terdapat empat komponen utama, yaitu: penebangan (felling), penyaradan (skidding), muat bongkar (loading dan unloading), dan pengangkutan (hauling).

Kegiatan penebangan merupakan salah satu mata rantai dalam kegiatan pemanenan kayu yang mempunyai peranan yang sangat penting. Kegiatan ini merupakan awal kegiatan yang menentukan kualitas dan tingkat pemanfaatan kayu. Kegiatan penebangan kayu di PT. Indexim Utama dilakukan dengan menggunakan gergaji rantai (chainsaw) dengan merk Sthil 070. Status pemilikan gergaji ini merupakan milik dari penebang. Sistem kerja yang diterapkan bersifat borongan dengan pembayaran berdasarkan kubikasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan penebangan pada setiap petak tebang dilakukan secara beregu. Dalam setiap regu tebang terdiri dari dua orang, seorang operator dan seorang

helper. Untuk setiap petak tebang dikerjakan oleh satu regu tebang dengan satu

regu sarad dan satu regu kupas.

Seorang operator tebang mempunyai tugas utama untuk melakukan penebangan hingga pembagian batang. Helper bertugas untuk membawa gergaji pada saat perpindahan ke pohon yang akan ditebang berikutnya, membersihkan areal sekitar pohon yang akan ditebang serta bertugas mengisi bahan bakar. Penentuan pohon yang akan ditebang dan arah rebah saat penebangan pohon dilakukan oleh penebang pohon. Sebelum pohon ditebang, operator membersihkan areal di sekitar pohon tersebut dari semak-semak untuk memudahkan operator dalam membuat takik rebah dan takik balas. Bersamaan dilakukannya pembersihan areal, operator penebangan menentukan arah rebah, sedangkan pembantu operator membuat rintisan untuk perlindungan.


(36)

Penentuan arah rebah tergantung pada tumbuh pohon dan keahlian penebang. Dari pengamatan yang dilakukan, penentuan arah rebah sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu arah kecondongan tajuk dan arah miring pohon, di samping faktor lain seperti kemudahan penyaradan ke TPn (jalan sarad). Liana atau pohon lain yang membelit pada pohon yang akan ditebang dapat menyebabkan berubahnya arah rebah pohon dari arah rebah yang telah ditentukan dan keadaan ini sangat membahayakan keselamatan para pekerja. Pada saat gerimis atau berangin penebangan terpaksa dihentikan karena pandangan ke arah tajuk terhalang, sedangkan pada keadaan berangin arah rebah sukar ditentukan sehingga membahayakan bagi keselamatan penebang.

Pohon yang ditebang, yaitu: pohon yang berdiameter ≥ 60 cm dengan kondisi yang baik, penebangan RKT 2011 (lokasi penelitian) berada di hutan produksi terbatas, dan merupakan virgin forest. Pohon-pohon yang ditebang, meliputi: jenis Meranti (Shorea sp.), Medang (Astinodaphne), Kapur

(Dryobalanops abnormis), Mersawa (Anisoptera marginata), Nyatoh (Palaqium

spp.), Balau (Shorea guiso), Bangkirai (Shorea teysmani), Keruing

(Dipterocarpus spp.), Sindur (Sindora beccariana), dan Palapi (Terrictian spp.)

Pemotongan dan pembagian batang dilakukan di petak tebang, sehingga batang yang disard ke TPn merupakan batang yang siap dimanfaatkan. Pembagian batang dilakukan di petak tebang karena keterbatasan alat sarad yang tidak mampu menyarad kayu yang terlalu besar dan panjang. Namun disisi lain pekerjaan tersebut dilakukan untuk memudahkan penyaradan. Karena bila kayu yang disarad terlalu panjang maka akan menyulitkan penyaradan saat terdapat belokan.

Penyaradan merupakan suatu proses untuk mengangkut kayu bulat yang dihasilkan dari kegiaan penebangan di petak tebangan menuju tempat pengumpulan kayu (TPn). Kegiatan penyaradan kayu dari petak tebangan ke TPn dilakukan dengan menggunakan bulldozer merk Caterpillar D7G bertenaga 250 HP. Sebelum penebangan dilakukan, bulldozer membuat jalan sarad dengan mengikuti perencanaan jalan sarad yang telah dibuat. Operator bulldozer tidak dibantu oleh helper, sistem kerja yang diterapkan bersifat borongan dengan sistem pembayaran bagi pekerja dilakukan dengan cara kubikasi, artinya operator


(37)

bulldozer dibayar berdasarkan banyaknya volume kayu bulat yang disarad dari petak tebangan ke TPn. Dalam hal ini kayu yang dibayar hanya memenuhi syarat untuk diangkut ke TPK atau tempat penimbunan kayu. Untuk menghindari kerugian akibat adanya kayu yang tidak dibayar, operator bulldozer selalu memeriksa kayu lebih dahulu sebelum disarad. Apabila kayu diperkirakan tidak memenuhi syarat, maka kayu itu akan ditinggalkan di dalam hutan sebagai limbah.

Penyaradan yang dilakukan sangat tergantung kondisi cuaca dan kondisi alat. Cuaca yang buruk akan menyulitkan operasional di lapangan, oleh karena itu tidak dilakukan kegiatan penyaradan pada saat hujan untuk menghindari pemadatan tanah, efisiensi waktu kerja dan jumlah kayu yang disarad. Selain itu, alat yang digunakan sudah berumur pakai 10 tahun, sehingga alat sering rusak dan berakibat kepada tertundanya penyaradan kayu dan pembuatan jalan sarad.

Muat bongkar dilakukan di TPn dan di TPK. Alat yang digunakan dalam kegiatan muat bongkar adalah wheel loader Cat 980 C, wheel loader Cat 980 G

dan wheel loader Cat 966 F di lokasi TPK atau log pond. Pengangkutan dilakukan

setelah penyaradan dan pemuatan. Alat angkut yang digunakan oleh perusahaan adalah logging truck Nissan TZA 520 YYP dengan umur pakai 8 tahun. Jarak angkut rata-rata ±150 km yang terdiri dari angkutan blok tebangan ke TPK hutan dengan jarak rata-rata 39 km, angkutan dari TPK hutan ke base camp ngurit dengan jarak 41 km, dan angkutan dari base camp ngurit ke logpond dengan jarak 70 km. Pengangkutan yang dilakukan sangat bergantung pada cuaca. Jalan angkutan yang berbelok-belok dan curam menyulitkan pengangkutan pada saat jalan licin.

5.2 Bentuk Limbah Pemanenan Kayu

Pengertian limbah pemanenan dalam penelitian ini adalah bagian dari pohon yang ditebang tetapi tidak dimanfaatkan oleh pola pemanfaatan yang berlaku pada saat ini dan dibiarkan dalam hutan. Pengertian pola pemanfaatan yang berlaku ini dipandang dari kondisi fisik dari bagian pohon yang menjadi target produksi PT. Indexim Utama. Beberapa bentuk limbah akibat kegiatan pemanenan kayu, sebagai berikut:


(38)

Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tunggak-tunggak sisa penebangan yang ditemukan rata-rata terlalu tinggi dari batas yang disarankan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah (Gambar 1). Tinggi tunggak yang terdapat pada areal penelitian rata-rata tingginya 1,3 m. Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penebang lebih memilih membuat takik balas yang tinggi untuk kenyamanan mereka pada saat menebang, selain itu penebang kurang tertarik membuat takik rebah lebih rendah karena pertambahan premi yang diharapkan dari pertambahan volume tersebut tidak terlalu besar.

Gambar 1 Tunggak yang terlalu tinggi.

Batang bebas cabang adalah bagian batang utama yang dianggap limbah apabila kondisi fisik batang mengandung cacat atau rusak akibat pemanenan. Limbah batang bebas cabang dapat berupa potongan pendek yang dihasilkan karena adanya trimming di pangkal (Gambar 2) maupun di ujung (Gambar 3).


(39)

Gambar 3 Trimming ujung.

Batang bagian atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (Gambar 4). Batang bagian atas yang ditemukan di areal penelitian sebagian besar berdiameter lebih dari 50 cm dengan panjang rata-rata mencapai 7 m.

Gambar 4 Batang atas.

Cabang pada penelitian ini adalah komponen dari tajuk yang berdiameter minimal 30 cm. Cabang yang ditemukan rata-rata dalam keadaan pecah dan belah (Gambar 5).


(40)

5.3 Jumlah Pohon yang Ditebang

Pohon yang ditebang adalah pohon-pohon terpilih yang masuk dalam pohon layak tebang, yaitu: pohon-pohon yang telah berdiameter ≥ 60 cm, sehat, bernilai komersil, dan berlabel merah dari hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP). Kegiatan ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi tegakan pada plot yang diteliti sebelum dilakukannya kegiatan penebangan. Jumlah pohon yang ditebang dari seluruh plot penelitian ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah pohon yang ditebang

No. Petak-Plot

Pohon Layak Tebang Pohon yang Ditebang

Jumlah (pohon/ha)

Volume (m3/ha)

Jumlah (pohon/ha)

Volume (m3/ha)

LBDS (m2/ha)

22 H-1 10 105,40 7 66,25 3,73

22 H-2 12 156,28 5 79,73 3,77

23 G-3 19 232,30 10 157,97 7,22

23 G-4 21 199,65 15 150,13 8,99

23 G-5 22 246,24 21 227,63 11,64

22 H-6 11 137,40 7 105,18 5,16

23 H-7 19 178,38 9 80,73 4,13

23 H-8 9 76,04 8 70,19 4,02

23 H-9 10 179,99 7 131,03 7,30

23 H-10 11 114,32 3 36,58 2,13

Rata-rata 14,4 162,60 9,2 110,54 58,08

Hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan pada plot penelitian menunjukkan bahwa potensi rata-rata pohon layak tebang sebesar 14,4 pohon/ha atau 162,60 m3/ha. Tidak seluruh pohon layak tebang (berlabel merah) akan ditebang, hal ini tergantung pada penetapan jatah tebang di petak tersebut dan pertimbangan-pertimbangan teknis dari penebang. Pohon yang ditebang hanya 9,2 pohon/ha dari total pohon layak tebang yang berada dalam plot penelitian dengan volume dan LBDS yang dihasilkan sebesar 110,54 m3/ha dan 58,08m2/ha. Hasil inventarisasi dijelaskan pada Lampiran 1


(41)

5.4 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Lokasi Terjadinya Limbah

Limbah pemanenan kayu dapat terjadi di petak tebang, TPn (tempat pengumpulan kayu), dan TPK (tempat penimbunan kayu). Limbah yang dihitung adalah limbah di bawah cabang pertama yang terdiri atas limbah tunggak dan limbah batang bebas cabang. Volume limbah yang terjadi dari 92 pohon yang ditebang sebesar 303,67 m3 dengan rata-rata 3,3 m3/pohon atau 30,37 m3/ha. Persentase limbah pada tiap lokasi berdasarkan total limbah yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Limbah pemanenan kayu berdasarkan lokasi

Lokasi

Volume (m3)

Persen Limbah (%) Total (m3) Rata-rata

(m3/ha)

Rata-rata (m3/pohon)

Petak Tebang 293,30 29,33 3,19 96,17

TPn 11,68 1,17 0,13 3,83

TPK 0,00 0,00 0,00 0,00*

Total Limbah 304,98 30,50 3,32 100,00

Keterangan *: tidak terjadi limbah

Berdasarkan Tabel 5, total limbah yang dihasilkan sebagian besar terjadi di petak tebang sebesar 96,17 %, sedangkan limbah yang terjadi di TPn 3,83% dan limbah yang terjadi di TPK 0 %. Dari hasil pengamatan di lapangan, limbah yang terjadi di TPn sedikit sekali karena hasil produksi penebangan dan penyaradan dibayar berdasarkan volume kayu yang sehat. Jadi operator penebangan dan penyaradan saling bekerja sama dan berusaha agar kayu yang dikeluarkan sudah bersih dari cacat sehingga limbah yang terjadi di TPn sedikit. Limbah yang terjadi di petak tebang lebih besar karena kegiatan di petak tebang terdiri dari penebangan, pemotongan, dan pembagian batang. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sastrodimedjo dan Simarmata (1978) yang menyatakan bahwa limbah di petak tebang lebih besar daripada di logpond, limbah yang terjadi di petak tebangan adalah 71,5 % serta sisanya terjadi di logpond. Selanjutnya hasil penelitian Sukanda (1995) menyebutkan rata-rata limbah di petak tebang sebesar 85,84 m3 (99,28 %) dan di TPn sebesar 0,62 m3 (0,72 %). Kesalahan dalam pemotongan, pembagian batang dan kurangnya pengawasan di petak tebang


(42)

menyebabkan besarnya limbah yang terjadi. Selain itu, adanya batang yang cacat alami karena gerowong menambah besarnya limbah yang terjadi.

Besarnya persentase limbah bebas cabang yang terjadi berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 25,16 % yang terdiri dari 24,06 % terdapat di petak tebang, 1,10 % terdapat di TPn, dan 0 % terdapat di TPK (Lampiran 2). Besarnya persentase limbah tersebut dapat menunjukkan besarnya tingkat pemanfaatan dari kegiatan pemanenan yang dilakukan. Bila dilihat dari angka tersebut, maka besarnya tingkat pemanfaatan kayu sebesar 74,84 %. Persentase limbah pemanenan yang rendah menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan terhadap potensi kayu yang ada cukup besar.

Limbah yang terjadi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan limbah yang terjadi di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya yang dilakukan oleh Sasmita (2003) menyebutkan bahwa besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36 % dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri dari limbah yang terjadi di petak tebang, yaitu: 33,15 %, limbah yang terjadi di TPn 2,68 %, dan limbah yang terjadi di TPK sebesar 0,98 %. Perbedaan persentase limbah ini dikarenakan faktor penyebab terjadinya limbah di IUPHHK PT Sumalindo Lestari Jaya yaitu banyak pohon yang cacat ditebang oleh operator, bukan merupakan penyebab yang dominan terhadap terjadinya limbah dalam penelitian ini. Namun hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Partiani (2010) yang menyebutkan persentase limbah bebas cabang berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 24,58 %, terdiri dari 23,60 % di petak tebang, 0,98 % di TPn, dan 0 % di TPK.Kriteria yang berbeda dalam mendefinsikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan limbah yang berbeda pula.

5.4.1 Limbah Pemanenan Kayu di Petak Tebang

Limbah pemanenan kayu di petak tebang dalam penelitian adalah limbah yang berasal dari pohon yang ditebang terdiri dari limbah di bawah cabang pertama yaitu tunggak dan batang bebas cabang, serta limbah di atas cabang pertama yaitu limbah batang bagian atas dan cabang. Pada umumnya limbah yang


(1)

86

Lanjutan Lampiran 6 No. No.Petak

/Plot

No. Pohon

No. Kode

Jenis Pohon

Volume Pohon yang Ditebang(m3)

IT IS IA FE Keterangan

1 22 H/6 2617 5 Meranti 19,97 0,82 1,00 1,00 0,8243

2 2320 11 Meranti 10,56 0,71 0,78 1,00 0,5540

3 2325 15 Meranti 11,72 0,86 1,00 1,00 0,8557

4 2672 68 Mersawa 8,60 0,83 1,00 1,00 0,8295

5 2955 74 Balau 10,28 0,78 1,00 1,00 0,7821

6 3025 102 Meranti 27,44 0,91 0,88 1,00 0,8020

7 2959 69 Meranti 14,69 0,71 0,77 1,00 0,5474

Rata-Rata 14,75 0,80 0,92 1,00 0,7421

1 23 H/7 11,872 17 Meranti 9,79 0,76 1,00 1,00 0,7567

2 12,178 87 Meranti 10,19 0,73 1,00 1,00 0,7283

3 12,183 89 Mersawa 8,90 0,84 1,00 1,00 0,8375

4 12,187 95 Meranti 7,50 0,76 1,00 1,00 0,7615

5 11,996 101 Meranti 11,69 0,86 1,00 1,00 0,8554

6 12,295 109 Meranti 9,38 0,60 1,00 1,00 0,5994

7 12,201 112 Meranti 12,64 0,87 1,00 1,00 0,8701

8 12,292 113 Meranti 13,21 0,95 0,97 1,00 0,9180

9 12,296 114 Meranti 9,85 0,82 1,00 1,00 0,8211

Rata-Rata 10,35 0,80 1,00 1,00 0,7942

1 23 H/8 9900 2 Meranti 4,88 0,73 1,00 1,00 0,7277

2 9691 37 Meranti 7,44 0,80 1,00 1,00 0,7999


(2)

Lanjutan Lampiran 6 No. No.Petak

/Plot

No.

Pohon No. Kode

Jenis Pohon

Volume Pohon yang Ditebang(m3)

IT IS IA FE Keterangan

4 23 H/8 9903 45 Meranti 4,79 0,81 1,00 1,00 0,8139

5 9547 48 Mersawa 11,52 0,86 1,00 1,00 0,8629

6 9347 81 Meranti 6,07 0,84 1,00 1,00 0,8362

7 9340 84 Bangkirai 6,04 0,67 1,00 1,00 0,6726

8 9191 97 Meranti 33,13 0,83 1,00 1,00 0,8273

Rata-Rata 10,25 0,80 1,00 1,00 0,8021

1 23 H/9 9777 24 Sindur 5,00 0,84 1,00 1,00 0,8404

2 9448 35 Meranti 42,56 0,33 1,00 1,00 0,3313

3 9435 47 Meranti 31,63 0,85 1,00 1,00 0,8492

4 9429 51 Meranti 14,49 0,83 1,00 1,00 0,8290

5 9418 62 Meranti 4,80 0,82 1,00 1,00 0,8161

6 9076 154 Meranti 31,15 0,44 1,00 1,00 0,4427

7 9091 164 Mersawa 13,59 0,89 1,00 1,00 0,8866

Rata-Rata 20,46 0,71 1,00 1,00 0,7136

1 23 H/10 530 73 Meranti 32,24 0,84 1,00 1,00 0,8409

2 833 87 Meranti 10,51 0,65 1,00 1,00 0,6669

3 839 89 Meranti 7,49 0,65 1,00 1,00 0,6493

Rata-Rata 16,74 0,71 1,00 1,00 0,7190

Rata-rata Keseluruhan 13,48 0,76 0,98 0,99 0,7484


(3)

88

Lampiran 7 Kerapatan kayu pada jenis kayu yang ditebang

No. Jenis

Pohon

Rata-rata Kerapatan kayu (gr/cm3)

Tunggak Batang Cabang

1 Balau 0,80 0,77 0,78

2 Bangkirai 0,55 0,57 0,63

3 Kapur 0,60 0,59 -

4 Keruing 0,74 0,72 0,57

5 Medang 0,46 0,48 -

6 Meranti 0,49 0,45 0,57

7 Mersawa 0,60 0,50 -

8 Nyatoh 0,55 0,59 - 9 Palapi 0,71 0,75 - 10 Sindur 0,52 0,52 -


(4)

89

Lampiran 8 Petak kerja penelitian

100

Peta Areal Kerja PT. Indexim Utama RKT 2011


(5)

90

: Jalan angkutan

kayu

: Hutan produksi terbatas : Hutan produksi : Tegakan benih : PUP

LEGENDA

PETA AREAL PT. INDEXIM UTAMA

Kalimantan Tengah


(6)

DWI RATNA PURNAMASARI. E14070012. Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh JUANG R. MATANGARAN.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan adalah kayu, untuk mengubahnya bernilai ekonomi diperlukan kegiatan mengeluarkan kayu dari hutan yang disebut dengan pemanenan kayu. Adanya kegiatan pemanenan kayu, timbul masalah diantaranya adalah limbah pemanenan kayu. Besarnya limbah dapat dijadikan dasar penentuan nilai faktor eksploitasi. Nekromassa merupakan komponen penting dari penyimpanan karbon dan harus diukur agar diperoleh penyimpanan karbon yang akurat. Besarnya nekromassa tersebut akan mempengaruhi potensi simpanan karbon dalam hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung volume limbah yang terjadi di petak tebang, TPn dan TPK, menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap volume limbah, menentukan nilai faktor eksploitasi serta mengetahui besarnya karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu.

Limbah dalam penelitian ini berupa tunggak, batang bebas cabang, batang bagian atas, dan cabang dengan diameter minimal 30 cm. Pengambilan data dilakukan pada plot contoh (100m x 100m) sebanyak 10 plot. Pengaruh kelerengan, intensitas tebang, LBDS, dan keterampilan penebang terhadap volume limbah dianalisis dengan model regresi linier berganda. Perhitungan faktor eksploitasi dilakukan dengan pendekatan persen limbah dan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, serta indeks angkut. Sampel limbah kayu diambil sebanyak 3 kali ulangan dengan potongan melintang batang setebal 5 cm pada masing-masing bagian pohon. Perhitungan nekromassa pada penelitian ini menggunakan pendekatan volume. Nekromassa dan karbon nekromassa diperoleh dari hasil uji analisis laboratorium.

Volume limbah rata-rata yang terjadi adalah 46,57 m3/ha. Limbah pemanenan kayu sebagian besar terjadi di petak tebang. Limbah di petak tebang sebesar 29,20 m3/ha, limbah di TPn sebesar 1,17 m3/ha dan limbah di TPK sebesar 0 m3/ha. Limbah yang terjadi di petak tebang sebagian besar disebabkan oleh kesalahan operator chainsaw dalam melakukan penebangan, pemotongan dan pembagian batang. Limbah di TPn berupa log yang cacat akibat gerowong, belah dan bengkok, sedangkan di TPK tidak ditemukan adanya limbah dari batang yang diteliti. Persentase limbah di bawah cabang pertama berdasarkan total pohon yang ditebang sebesar 25,16 %. Faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap ragam volume limbah adalah LBDS pohon yang ditebang dan intensitas tebang. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah sebesar 0,7484 dan berdasarkan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut sebesar 0,7484. Karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu sebesar 13,91 ton C/ha, yang terdiri dari karbon batang sebesar 10,76 ton C/ha, tunggak sebesar 2,26 ton C/ha, dan cabang sebesar 0,89 ton C/ha.

Kata kunci: hutan, pemanenan kayu, limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi, karbon