Aktivitas antimikroba ekstrak tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan

(1)

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK TUMBUHAN

LUMUT HATI (

Marchantia

paleacea

) TERHADAP BAKTERI

PATOGEN DAN PEMBUSUK MAKANAN

REZA FADHILLA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2010

Reza Fadhilla


(3)

ABSTRACT

REZA FADHILLA. Antimicrobial Activity of Liverwort (Marchantia paleacea) on Patogenic and Food Spoilage Bacteria. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM and EKA ADITYA PUTRI ISKANDAR

Liverwort (Marchantia paleacea) from Cibodas Botanical Garden was used as raw materials in this research. The objective of this research was to assess the antimicrobial activity of liverwort (M. paleacea). Maceration was used to extract the active compound with 4 different solvents i.e ethanol, methanol, ethyl acetate, and hexane. The potency of antimicrobial activity from extract was assesed by agar diffusion method and direct-contact test by determining the minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC). The effectivity of the best extract as antimicrobial agent was tested at pH 4, 6 and 8, and after heating for 20 minutes at 80C and 100C. S. aureus, S. Typhimurium, and P. aeruginosa were used as tested bacteria. The extract with the best antimicrobial activity was analyzed for its total phenol and phytochemical properties by qualitative analysis. The data showed that extraction with ethanol resulted in the best inhibition zone after tested using three bacteria. The inhibition zone was 10,8 mm, MIC 0,7 mg/ml, and MBC 0,9 mg/ml for S. aureus; 4,5 mm, MIC 8,0 mg/ml, and MBC 10 mg/ml for

S. Typhimurium; and 5,8 mm, MIC 5,9 mg/ml, MBC 10 mg/ml for P. aeruginosa, respectively. The total phenol of the extract was 22 mg/gr. Phenolic, triterpenoid and flavonoid was positively detected in the extract. Ethanol extract worked more effective at pH 4 comparing to pH 6 and 8. Heating the extract for 20 minutes at 80C didn’t influence the antimicrobial activity. Moreover, when the extract was heated at 100C for 20 minutes, its activity against S. Typhimurium was reduced.


(4)

RINGKASAN

REZA FADHILLA. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantiapaleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan. Dibimbing

Oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan EKA ADITYA PUTRI

ISKANDAR

Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk kedalam divisi bryophyta. Umumnya ekstrak dari lumut hati (hepaticae) mengandung senyawa bioaktif yang efektif menghambat mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat sumber antimikroba tumbuhan lumut hati Marchantia paleacea asal Indonesia dan diharapkan antimikroba dari isolat ekstrak tersebut mempunyai aktivitas secara luas terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif.

Keseluruhan penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Penelitian Tahap I merupakan tahap persiapan bahan baku lumut hati spesies M. paleacea yang meliputi proses sortasi, pengeringan (suhu ruang selama 14 hari), analisis kadar air, serta proses ekstraksi dan total rendemen ekstrak. Penelitian Tahap II meliputi uji antimikroba yaitu screening dengan metode agar difusi sumur terhadap bakteri uji S. aureus, P. aeruginosa, S. Typhimurium

ATCC 14028 dan penetapan nilai MIC dan MBC dengan menggunakan medium cair TSB. Penelitian Tahap III terdiri dari analisis komponen fitokimia secara kualitatif dan analisis fenol total. Tahap akhir penelitian (Tahap IV) meliputi uji kajian efektifitas ekstrak pada berbagai perlakuan pH (4, 6, dan 8) dan uji stabilitas terhadap pengaruh suhu 80 dan 100C selama 20 menit.

Hasil pengukuran kadar air lumut segar diketahui sebesar 89,02 %, setelah pengeringan 14 hari didapat lumut kering dengan kadar air 17,47 %. Tingginya kadar air pada lumut segar disebabkan karena lumut memiliki struktur permukaan yang unik. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan bersifat higroskopis dan rizoid yang menyerupai benang berfungsi sebagai akar pada lumut sangat mudah untuk menyerap air dan garam-garam mineral. Rendemen tiap ekstrak yang didapat berbeda, ekstrak metanol merupakan rendemen paling tinggi (15,57 %), ekstrak etanol (5,98 %), ekstrak etil asetat (2,30 %), dan ekstrak heksana (0,87 %).

Berdasarkan hasil data uji difusi sumur, diketahui bahwa ekstrak etanol merupakan ekstrak dengan zona hambat paling besar terhadap bakteri uji S. aureus, P. aeruginosa, dan

S. Typhimurium, sebesar 10,8 mm, 4,5 mm, 5,8 mm. Untuk selanjutnya dalam penelitian ini menggunakan ekstrak terbaik yaitu ekstrak etanol lumut. Nilai MIC dan MBC pada ekstrak etanol lumut terhadap bakteri uji S. aureus adalah 0,7 mg/ml (MIC) dan 0,9 mg/ml (MBC),

S. Typhimurium ATCC 14028 adalah 8,0 mg/ml (MIC) dan 10 mg/ml (MBC), dan terhadap

P. aeruginosa adalah 5,9 mg/ml (MIC) dan 10 mg/ml (MBC). Data nilai MIC dan MBC pada bakteri uji S. Typhimurium ATCC 14028 dan P. aeruginosa menunjukkan adanya


(5)

perbedaan konsentrasi sebesar 10 kalinya S. aureus, yang diketahui merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak etanol.

Kandungan senyawa fenolik, steroid, triterpenoid, tanin dan flavonoid diketahui positif ada dengan analisis fenol total sebesar 22 mg/gr. Perlakuan kombinasi ekstrak etanol dengan pH 4 memberikan efektivitas paling baik dibandingkan dengan pH 6 dan 8 terhadap bakteri uji. Pemanasan suhu 80C selama 20 menit tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba terhadap bakteri uji, sedangkan pada pemanasan 100C selama 20 menit menurunkan aktivitas dari ekstrak hanya terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028.


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK TUMBUHAN LUMUT HATI (Marchantia paleacea) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK MAKANAN

REZA FADHILLA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(8)

(9)

Tanggal Ujian: 24 Maret 2010 Tanggal Lulus: 12 April 2010 HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan Nama : Reza Fadhilla

NRP : F251060241

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc Ketua

Eka Aditya Putri Iskandar, MSc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, NAD, tanggal 2 Mei 1979 sebagai anak dari pasangan Ayah Sunari S. Kanen dan Ibu Nursiah Yusuf, dari lima bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri I Banda Aceh jurusan IPA pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis lulus seleksi masuk UNSYIAH melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pada tahun 2006, penulis diterima di program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister Sains, selama menempuh program S2 penulis melakukan penelitian dengan judul “Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan dibawah bimbingan”


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum dan Eka Aditya Putri Iskandar, M.Sc sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan dukungan, bimbingan, saran dan arahan selama penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr. Suliantari, MS selaku dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga untuk menyempurnakan tesis ini.

3. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mas Taufik dan Mbak Ari atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

4. Staf Kebun Raya Cibodas atas kerjasamanya.

5. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, dan adik-adik atas dorongan moril, kasih sayang, perhatian, kesabaran, serta doa-doa yang tulus. Kasih sayang dan doa-doamu adalah sumber kekuatan bagi penulis.

6. Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah di IPB.

7. Temanku Fauzi D. Anggraini atas motivasi dan dukungannya.

8. Rekan-rekan saya pada Program Studi Ilmu Pangan: Mathelda, Sylviana, Silvana, Ibu Puspita, Rezky, Ibu Sari, Azmier, Isac, yang telah banyak memberikan bantuan selama masa penelitian.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas atas budi baik Bapak/Ibu/ Saudara/i semuanya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2010


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 3

Fisiologis Tumbuhan Lumut (Bryophyta)... 3

Sintesis Metabolit Sekunder Tumbuhan sebagai Senyawa Antimikroba Alami ... 7

Potensi Komponen Aktif Lumut Hati (Hepaticae) ... 15

Mekanisme Senyawa Antimikroba ... 18

Metode Umum Ekstraksi Senyawa Antimikroba ... 21

Karakteristik Bakteri Uji ... 25

METODE PENELITIAN... 28

Waktu dan Tempat Penelitian... 28

Bahan dan Alat... 28

Metode Penelitian ... 28

Penelitian Tahap I ... 30

Analisis Kadar Air Metode Oven ... 30

Metode Ekstraksi Secara Maserasi dan Rendemen Ekstrak... 30

Penelitian Tahap II... ... 32

Uji Aktivitas Antimikroba dari Ekstrak Dengan Metode Agar Difusi Sumur... 32

Penentuan MIC dan MBC Ekstrak Kasar Terpilih ... 32

Analisis Total Mikroba (Total Plate Count) ... 33

Penelitian Tahap III... 34

Analisis Fitokimia ... 34

Analisis Fenol Total ... 35

Penelitian Tahap IV ... 35

Kajian Efektifitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu... 35

Analisis Data... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN... 37

Kadar Air Lumut Hati M. paleacea... 37

Rendemen Ekstrak Lumut Hati... 37


(13)

MIC Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum

Bactericide Concentration) Ekstrak Etanol Lumut ... 44

Kandungan Senyawa Bioaktif dan Fenol Total Lumut Hati M. paleacea... 51

Efektifitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu... 51

SIMPULAN DAN SARAN... 63

Simpulan... 63

Saran... 63


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Senyawa-senyawa utama antimikroba dari tumbuhan ... 8

2. Sifat berbagai golongan flavonoid ... 11

3. Golongan utama terpenoid tumbuhan... 12

4. Jenis-jenis pelarut untuk ekstraksi komponen aktif ... 23

5. Nilai polaritas beberapa pelarut... 25

6. Komponen Ekstrak Etanol ... 52 7. Distribusi senyawa marchantin pada beberapa spesies Marchantia 53


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus hidup lumut... 4

2. Lumut hati bertalus Marchantia paleacea (kiri), dan Marchantia emarginata (kanan) atas. Marchantia polymorpha (kiri), talus pada Marchantia sp.(kanan) bawah... 6

3. Target spesifik dari antimikroba ... 18

4. Tahapan penelitian ... 29

5. Diagram alir ekstraksi metode maserasi ... 31

6. Tabung-tabung berbagai ekstrak dengan konsentrasi 100 mg/ml dan evaporasi dengan rotavapor suhu 40C... 38

7. Ekstrak lumut dalam berbagai pelarut ... 39

8. Rendemen dari masing-masing ekstrak lumut ... 39

9. Bioaktivitas antimikroba berbagai ekstrak lumut pada konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028... 40

10. Zona hambat aktivitas ekstrak etanol terhadap bakteri uji ... 41

11. Perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif ... 42

12. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. aureus dengan inokulum awal 6,3 log koloni/ml Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05... 44

13. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak Etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 7,2 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05... 47

14. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut (mg/ml) terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa dengan inokulum awal 6,8 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05... 49


(16)

15. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. aureus dengan inokulum

awal 8,0 log koloni/ml ... 55 16. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut dengan

konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S.

Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 8,5 log

koloni/ml ... 58 17. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut dengan

konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap P.

aeruginosa dengan inokulum awal 8,2 log koloni/ml ... 59 18. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10

mg/ml setelah dipanaskan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Rendemen ekstrak tumbuhan lumut hati M. paleacea dengan

menggunakan pelarut etanol, etil asetat, heksana dan methanol... 74 2. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi

ekstrak (0.0, 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0 mg/ml) terhadap

jumlah bakteri S. aureus... 75 3. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi

ekstrak (0.0, 5.0, 6.0, 6.3, 6.6, 6.9, 7.0, 8.0, 9.0, dan 10 mg/ml)

terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 76 4. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi

ekstrak (0.0, 5.0, 5.3, 5.6, 5.9, 6.0, 7.0, 8.0, 9.0, dan 10 mg/ml)

terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 77 5. Analisis fenol total... 78 6. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri S. aureus... 79 7. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 80 8. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 81 9. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri S. aureus... 82 10. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 83 11. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea

terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 84 12. Nilai MIC mikroba berbagai ekstrak tumbuhan lokal terhadap

mikroba patogen dan perusak pangan ... 85 13. Komparasi Antimikroba Lumut Jenis Marchantia ... 86


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan-bahan hayati telah lama digunakan oleh manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Indonesia beriklim tropis memiliki sumber daya alam hayati yang sangat beragam yang memproduksi banyak senyawa kimia karbon alami. Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, kumarin dan lain-lain. Umumnya senyawa bioaktif hampir selalu toksik terhadap sel hidup pada dosis tinggi. Oleh karena itu daya bunuh in vivo suatu senyawa dari ekstrak yang mempunyai bioaktivitas terhadap organisme tertentu dapat digunakan.

Fitokimia dengan aktivitas biologis memiliki kegunaan besar sebagai bahan baku farmasitika. Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak dilakukan penelusuran komponen aktif dari tumbuhan yang dilaporkan bersifat

medicinal (mengobati). Saat ini industri kimia bidang obat-obatan dan pertanian dalam penelusuran produk sangat bergantung pada pendekatan secara sintetik. Proses memodifikasi desain molekuler kimiawi secara sintetik umumnya sukses digunakan dalam bidang farmasitika, akan tetapi kurang disenangi. Maka dari itu ketertarikan untuk menemukan bahan farmasitika baru, nutrasetika dan komponen bioaktif alami semakin meningkat tajam.

Ketertarikan ini didasarkan pada faktor-faktor antara lain; kesadaran bahwa alam telah terlebih dahulu menyeleksi aktivitas biologi tumbuhan, banyaknya komponen tumbuhan yang belum ditelusuri manfaatnya, serta komponen-komponen yang telah diketahui memiliki aktivitas belum cukup dikarakterisasi secara biologi. Akhir-akhir ini eksploitasi tumbuhan dengan aktivitas antimikroba telah meningkat, terkait dengan adanya bahaya yang disebabkan infeksi oleh mikroorganisme resisten antibiotik. Banyak penelitian telah dilakukan dengan mengekstrak dan menguji segala jenis tumbuh-tumbuhan terhadap kandungan aktivitas antimikrobanya, ini dilakukan untuk mendapatkan sumber dan potensi antimikroba baru.

Sebagian besar kandungan kimia utama yang diisolasi dari tumbuhan aktivitas biologisnya belum seluruhnya terungkap. Potensi adanya kandungan


(19)

aktivitas ini perlu untuk didayagunakan sebagai salah satu sumber alternatif baru, untuk antimikroba salah satunya. Telah dilaporkan pada beberapa literatur adanya aktivitas bioaktif dari ekstrak bryophyta di antaranya menunjukkan sifat antitumor, antikanker, antioksidan, dan antimikroba terhadap fungi dan sel-sel prokariotik.

Penggunaan lumut sebagai tumbuhan obat telah lama diterapkan di Cina, Eropa dan Amerika Utara. Beberapa jenis dari lumut Fissidens dan Polytrichum

banyak digunakan sebagai obat di Cina. Negara-negara Amerika Utara juga menggunakan lumut jenis Bryum, Mnium, Philonotis spp., dan Polytrichum juniperinum, sedangkan di Uni Eropa penggunaan Marchantia sebagai antibiotik telah secara luas diterapkan khususnya di Perancis (Basile et al. 1998). Indonesia sebagai negara tropis memiliki penyebaran lumut yang sangat besar, namun informasi tersebut masih belum tereksploitasi secara penuh sehingga pengetahuan mengenai lumut di Indonesia masih kurang, termasuk potensi pada komponen bioaktif yang terkandung pada lumut.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat sumber antimikroba tumbuhan lumut hati Marchantia paleacea, asal Indonesia dan diharapkan manfaat dari penelitian ini antimikroba dari isolat ekstrak mempunyai aktivitas secara luas terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologis Tumbuhan Lumut (Bryophyta)

Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk kedalam divisi bryophyta, termasuk tumbuhan darat sejati. Pada umumnya lumut menyukai tempat-tempat yang basah dan lembab di dataran rendah sampai dataran tinggi. Tumbuhan ini sering disebut sebagai tumbuhan perintis, karena lumut dapat tumbuh dengan berbagai kondisi pertumbuhan di tempat tumbuhan tingkat tinggi tidak bisa tumbuh. Secara ekologi lumut memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan habitat primer dan sekunder setelah adanya kerusakan lingkungan. Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan pertama yang tumbuh ketika awal suksesi pada lahan yang rusak, atau daerah dengan hara yang miskin. Setelah area ditumbuhi lumut, area tersebut akan menjadi media yang cocok untuk perkecambahan dan pertumbuhan tumbuhan lainnya (Damayanti 2006).

Tumbuhan lumut memiliki bentuk-bentuk unik yang bisa menjadi pembeda satu dengan lainnya. Beberapa struktur yang ada pada lumut tidak dimiliki oleh tumbuhan lain, begitu pula sebaliknya. Lumut termasuk kelompok tumbuhan dengan ketidakadaan jaringan vaskular. Meskipun beberapa jenis memiliki batang, tetapi tumbuhan ini tidak memiliki susunan jaringan pembuluh seperti pada tumbuhan tingkat tinggi. Beberapa lumut ada yang memiliki daun dan sebagian tidak, tetapi hanya berupa hamparan tubuh yang disebut talus. Struktur talus yang seperti ini tidak dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi (Smith 2004).

Smith (2004) menyatakan bahwa ciri khas yang dimiliki lumut adalah sistem reproduksinya. Pada tumbuhan lumut terdapat gametangia (alat-alat kelamin) yaitu alat kelamin jantan disebut anteridium yang menghasilkan spermatozoid dan alat kelamin betina disebut arkegonium yang menghasilkan ovum. Tumbuhan ini memiliki generasi gametofit yang dominan, sedangkan pada tumbuhan tingkat tinggi generasi gametofitnya tereduksi. Generasi ini memiliki organ seks (antheridia dan arkegonia) dan gamet (sperma dan sel telur). Generasi sporofit yang menghasilkan spora tidak dapat hidup sendiri sehingga tetap melekat pada gametofit. Suplai air dan nutrisi bagi sporofit sangat bergantung


(21)

pada gametofit, sehingga tumbuhan ini memiliki siklus hidup yang berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 1).

Gambar 1 Siklus hidup lumut

Sumber: www.wikipedia.com

Akar pada lumut sebenarnya tidak ada, tumbuhan ini melekat dengan perantaraan rhizoid (akar semu), oleh karena itu tumbuhan lumut merupakan bentuk peralihan antara tumbuhan talus (talofita) dengan tumbuhan ber-kormus (kormofita). Daun, batang atau talusnya memiliki pori yang bisa mengalirkan air, gas dan nutrisi ke sel-sel untuk langsung dipergunakan. Pada beberapa jenis terdapat modifikasi struktur daun yang berfungsi untuk memperluas area penyerapan air atau nutrisi. Lumut merupakan rumah bagi invertebrata yang memiliki peran yang penting dalam menjaga porositas tanah dan mengatur kelembaban ekosistem, karena kemampuannya dalam menahan dan menyerap air. Para ahli sudah mulai banyak meneliti komposisi zat yang dikandung lumut, beberapa di antaranya mengandung senyawa antibiotik, dan zat lain yang memiliki khasiat obat (Damayanti 2006).


(22)

Seperti kelompok tumbuhan lainnya, lumut memiliki klorofil sehingga umumnya memiliki warna hijau dan sifatnya autotrof. Tulang daun biasanya ada pada kelompok lumut sejati (musci), satu sampai dua tulang daun. Struktur stomata seperti pada tumbuhan tingkat tinggi umumnya tidak ada, tetapi lumut memiliki pori yang fungsinya hampir sama seperti stomata. Perbedaannya pori selalu berada dalam keadaan terbuka dan tidak bisa menutup atau membuka seperti pada stomata (Smith 2004).

Menurut Conard dan Redfearn (1996), klasifikasi bryophyta terdiri atas tiga kelas yaitu Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut tanduk), Hepaticae/ Hepaticopsida (Lumut hati) dan Musci/Bryopsida (Lumut sejati). Lumut hati memiliki anggota sekitar 5000 jenis. Struktur tubuhnya terdiri dari 2 macam bentuk, yaitu lumut dengan struktur yang memiliki daun dan yang hanya memiliki talus. Kelompok yang memiliki daun disebut lumut hati berdaun, sedangkan lumut dengan struktur talus disebut lumut hati bertalus. Lumut ini umumnya tumbuh secara epifit, bisa tegak ke atas, menjuntai ke bawah, menempel atau merayap di permukaan substrat (Gradstein 2005).

Lumut hati memiliki rhizoid yang terdiri atas 1 sel (uniseluler) berfungsi sebagai alat untuk melekatkan diri pada substrat. Beberapa jenis memiliki 2 – 3 baris daun yang melekat pada batang, terbagi atas dua baris daun dorsal (lobe), satu baris daun ventral (underleaf) yang biasanya memiliki ukuran yang lebih kecil dari pada daun dorsal, atau bahkan tidak ada. Pada beberapa jenis, daunnya memiliki modifikasi membentuk cuping yang disebut lobul. Lobul ini adalah perluasan daun yang bisa menangkap/menampung air yang berada di bagian ventral (Damayanti 2006).

Pada lumut hati sel-sel daun dapat mengalami penebalan pada sudutnya, yang disebut trigon. Sel-sel memiliki banyak kloroplas. Selain itu terdapat badan minyak (oil bodies) yang berfungsi untuk melindungi sel dari kekeringan. Jika dalam keadaan kering badan minyak ini akan pecah. Jumlah dan bentuk badan minyak ini sangat penting untuk identifikasi. Pada beberapa jenis terdapat sel yang memiliki badan minyak yang besar, tanpa kloroplas, sel ini disebut oselli. Sel ini ukurannya lebih besar dibanding sel daun lainnya (http.comenius.susqu. edu 2008).


(23)

Gambar 2 lumut hati bertalus Marchantia paleacea (kiri), dan

Marchantia emarginata (kanan) atas. Marchantia polymorpha (kiri), talus pada Marchantia sp.(kanan) bawah.

Sumber: www.hkflora.com

Newby (2006) menyatakan bahwa telah lama golongan lumut jenis Marchantia diantaranya Marchantia polymorpha, Marchantia emarginata dan

Marchantia paleacea dilaporkan sebagai tumbuhan gulma di wilayah dingin Amerika bagian utara. Pertumbuhannya yang pesat mengganggu penyerapan nutrisi beberapa bibit tumbuhan pertanian. Sampai saat ini penggunaan herbisida belum cukup efektif digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan dari lumut ini. Dengan temperatur optimum pertumbuhan 18 - 22C dan ketersediaan sumber nitrogen yang berlimpah, akan meningkatkan pertumbuhan dari lumut secara signifikan. Pertumbuhan mungkin akan diperlambat jika kadar nitrogen lebih rendah dari 75 bagian per juta (ppm) (Gambar 2).

Kemudahan untuk memperoleh nutrisi dan unsur-unsur hara juga sebagai salah satu pemicu meningkatnya pertumbuhan dari jenis lumut ini. Nutrisi yang digunakan dalam pertumbuhannya dapat diperoleh diantaranya dari tanah, air sungai, debu yang terbawa dari udara, air hujan, dan sampah/kotoran. Termasuk


(24)

juga beberapa mineral seperti Mn, Cu, Zn, Mo, Ni, Cl, dan Bo. Kebanyakan mineral ini tersedia berlimpah dan mudah didapat di alam (Glime 2006).

Sintesis Metabolit Sekunder Tumbuhan Sebagai Senyawa Antimikroba Alami

Metabolit sekunder digambarkan sebagai unsur dengan bobot molekul rendah, bukan merupakan produk dari metabolit primer dari pathway organisme. Telah diketahui sebelumnya bahwa produk ini tidak berfungsi dalam fungsi primer organisme. Beberapa pendapat berlawanan, sekarang ini dipertimbangkan bahwa sel dalam memproduksi metabolit sekunder telah diketahui dapat memberikan keuntungan bagi organisme tertentu melawan organisme lain dalam pertumbuhannya. Faktanya, metabolit sekunder merupakan bagian dari produksi sel berfungsi dalam menghambat organisme lain dalam mendapatkan keperluan nutrisi atau sebagai proses regulator seluler (Berdy 2005).

Metabolit sekunder tumbuhan disintesis hanya dari beberapa prekursor pada pathway dalam sejumlah kecil reaksi pada cabang dari jumlah reaksi yang terbatas dari metabolisme primer. Keragaman struktur tersebut mencerminkan variasi dari aktivitas biologi, diantaranya sebagai penghambat kerja enzim-enzim, sebagai antitumor, immonosuppressive dan bahan antiparasit. Metabolit sekunder telah lama digunakan di bidang kedokteran dan pertanian; sekitar 100.000 metabolit sekunder dari berat molekul rendah yang diteliti, 2500 jenisnya telah diketahui fungsinya dan sekitar 50.000 berasal dari mikroba dan hanya sebagian kecil berasal dari tumbuhan (Berdy 2005).

Metabolit sekunder sangat berperan penting karena aktivitasnya sebagai antimikroba, tetapi terlepas dari aktivitas ini metabolit sekunder menguasai aktivitas pharmacological dalam bidang medis. Beberapa di antaranya bersifat karsinogenik sehingga menyebabkan kanker. Umumnya senyawa-senyawa antikanker sintetik yang digunakan adalah mithramycin, bleomycin, daunomycin dan adriamycin. Karakteristik lainnya adalah sebagai anabolik, anestetik, antikoagulan, antiinflamasi, immunosupressant (cyclosporin A dan tacrolimus), antihemolitik, hipokolesterolemik (statin) dan vasodilator (Berdy 2005).

Penggunaan senyawa antimikroba khususnya yang alami secara umum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Senyawa antimikroba yang


(25)

terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa mikroba patogen maupun pembusuk (Branen 1993). Senyawa antimikroba tersebut dapat berasal dari bagian tumbuhan, seperti bunga, biji, buah, rimpang, batang, daun dan umbi.

Tabel 1 Senyawa-senyawa utama antimikroba dari tumbuhan

Kelas Subkelas Contoh Mekanisme

Fenolik

Terpenoid, esensial oil Alkaloid

Lectin dan polipeptida Polyacetylen Fenolik sederhana Asam fenolik Quinon Flavonoid Flavon Flavonol Tanin Coumarin Catechol Epicatechin Asam cinnamic Hypericin Chrysin Abyssinone Totarol Ellagitannin Warfarin Capsaicin Berberine Piperine Mannose-spesifik agglutinin Fabatin 8S-Heptadeca-2(Z), 9(Z)- diene-4,6-diyne-1,8-diol

Mengikat substrat merusak membran sel

Mengikat adhesin kompleks pada dinding sel, inaktif enzim Mengikat adhesin kompleks pada dinding sel

Inaktif enzim

Menghambat enzim reverse transkriptase

Mengikat protein Mengikat pada adhesin Menghambat enzim Mengikat substrat

Mengganggu kompleks dinding sel

Merusak membran sel Metal ion complexation

Interaksi dengan DNA eukariotik

Merusak membran sel

Menggangu sintesis DNA dan dinding sel

Block viral fusion atau adsorpsi

Membentuk jembatan disulfida


(26)

Tabel 1 menunjukkan bahwa tumbuhan memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis substansi aromatik. Tumbuhan juga dapat mensintesis berbagai zat bioaktif yang dapat berfungsi untuk hal-hal tertentu. Sebagian dari zat aktif tersebut sudah diteliti berikut fungsinya, dan umumnya terdiri dari satu atau campuran senyawa-senyawa seperti fenolik, terpenoid, alkaloid, polipeptida dan poliasetilen. Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga telah diketahui dapat berfungsi sebagai antibakteri (Cowan 1999).

Sebagian besar antimikroba tumbuhan diketahui merupakan metabolit sekunder tumbuhan, terutama dari golongan fenolik dan terpena dalam minyak atsiri. Sebagian metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti dari asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat dan metabolit antara. Kebanyakan senyawa-senyawa fenolik pada tumbuhan adalah isoflavonoid dengan struktur kerangka dasar C6 – C3 – C6 yang merupakan kelas fitoaleksin

yang dominan (Harborne 1987).

Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substansi gugus hidroksil dan alkil. Senyawa ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: fenol sederhana (vanilin, gingerol, shogaol, guaiakol dan eugenol) dan asam fenol (p-kresol, 3-etilfenol, hidrokuinon, asam galat dan siringit), turunan asam hidroksisinamat (p-kumarin, kafein dan ferulin); dan flavonoid (antosianin, flavonon, flavanon, flavanol dan tanin) (Gould 1995). Menurut Shelef (1993) senyawa fenolik merupakan komponen utama antimikroba tumbuhan. Komponen fenolik tersebar luas pada bagian tumbuhan dan telah diketahui mempunyai sifat antipatogen, antiherbivor dan bersifat allelopatik (Oomah et al. 1995).

Suradikusumah (1989) menambahkan fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air. Senyawa fenol di antaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin, dan flavonol), dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi (Johnson 2001).


(27)

Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak atsiri rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol (Beuchat 1994). Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba termasuk diantaranya adalah menggangu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson 1993(b)). Menurut Mukhopadhyay (2002), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidan, antimikroba, dan antitumor. Sedangkan menurut Bidlack dan Wang (2000), polifenol dapat digunakan sebagai pencegah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Middleton & Chitan 1994). Jenis utama flavonoid yang terdapat pada tumbuhan antara lain dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin (flavan-3-ol), leukoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon, flavanonol (dihidroflavonol), flavon, flavonol, garamflavilium, antosianidin, dan auron. Berdasarkan struktur, flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavoid (1,3-diaril propan), isoflavon (1,2-diarilpropan) dan neoflavonoid (1,1-diarilpropan).

Harborne (2006) menyatakan bahwa flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, serta mengatur kerja anti-serangga (Tabel 2). Hal ini dikarenakan flavonoid memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu 2000). Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tumbuhan dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid lainnya (Robinson 2000).


(28)

Tabel 2 Sifat berbagai golongan flavonoid

Golongan flavonoid Penyebaran Ciri khas Antosianin Proantosianidin Flavonol Flavon Glikoflavon Biflavonil

Khalkon dan auron

Flavanon

Isoflavon

Pigmen bunga merah, biru; terdapat dalam daun dan jaringan lain

Terutama tanwarna, dalam galih dan daun tumbuhan berkayu

Terutama ko-pigmen tanwarna dalam bunga sianik dan asianik; tersebar luas dalam daun

Seperti flavonol

Seperti flavonol

Tanwarna;hampir

seluruhnya terbatas pada gimnospermae

Pigmen bunga kuning, kadang-kadang terdapat juga dalam jaringan lain

Tanwarna; dalam daun dan buah (terutama dalam Citrus)

Tanwarna; sering kali dalam akar; hanya terdapat dalam satu suku, leguminosae

Larut dalam air, maks 515-545

nm, bergerak dengan BAA pada kertas

Menghasilkan antosianidin (warna dapat diekstraksi dengan amil alkohol) bila jaringan dipanaskan dalam HCL 2M selama setengah jam

Setelah hidrolisis, berupa bercak kuning pada kromatogram, forestal bila disinari dengan UV; maksimal spektrum pada 350-386 nm

Setelah hidrolisis, berupa bercak kuning pada kromatogram, forestal bila disinari dengan UV; maksimal spektrum pada 330-350 nm

Mengandung gula yang terikat melalui ikatan C-C; bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa

Pada kromatogram BAA berupa bercak redup dengan RF tinggi

Dengan amonia berwarna merah (perubahan warna dapat diamati in situ), maksimal spektrum 370-410 nm

Berwarna merah kuat dengan Mg/HCl; kadang-kadang sangat pahit

Bergerak pada kertas dengan pengembang air; tidak ada uji warna yang khas

Sumber: Harborne 2006.

Senyawa lain yang disintesis dari tumbuhan adalah senyawa terpenoid, Man (1987) menyatakan bahwa terpenoid merupakan senyawa utama pada tumbuhan yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Senyawa terpenoid terbentuk dari metabolit sekunder dari tumbuhan melalui jalur piruvat, asetil


(29)

ko-A, asam mevalonat. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5H8)n atau dengan

satu unit isoprene-2 metil-2,3 butadiena. Harborne (2006) menyatakan bahwa jumlah n menunjukkan klasifikasi terpenoid yang dikenal dengan monoterpena, seskuiterpen, diterpena, tetraterpena dan politerpena (Tabel 3).

Tabel 3 Golongan utama terpenoid tumbuhan Jumlah

satuan isoprene

Jumlah

karbon Golongan Jenis utama dan sumbernya 1 2 3 4 6 8 N C5 C10 C15 C20 C30 C40 Cn Isoprena Monoterpenoid Seskuiterpenoid Diterpenoid Triterpenoid Tetraterpenoid Poliisoprena

Dideteksi dalam daun Hamamelis japonica

Monoterpena dalam minyak atsiri tumbuhan (misalnya mentol dari Mentha), monoterpena lakton (misalnya nepelakton), tropolon (dalam kayu Gymnospermae) Seskuiterpena dalam minyak atsiri, seskuiterpena lakton (terutama dalam Compositae), absisin (misalnya asam absisat) Asam diterpena dalam damar tumbuhan, giberelin (misalnya asam giberelat)

Sterol (misalnya sitosterol), triterpena (misalnya -amirin), saponin (misalnya yamogenin), glikosida jantung

Karotenoid (misalnya -karoten) karet, misalnya dalam Hevea brasiliensis

Sumber: Harborne 2006

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu

skualena (Teisser 1994). Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusumah 1989). Senyawa triterpenoid yang terdapat pada


(30)

tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol (-sitosterol), stigmasterol dan kampesterol. Senyawa terpenoid dapat digunakan untuk pengobatan dan terapi. Triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri dan antivirus (Robinson 1995). Senyawa terpenoid yang mempunyai aktivitas antimikroba antara lain adalah borneol, sineol, pinene, kamfene dan kamfor (Conner 1993), merediol, linalool, indol dan kadinen. Senyawa ini efektif untuk menghambat pertumbuhan B. subtilis, S. aureus dan E. coli (Kuboa et al. 1993)

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne 2006). Senyawa steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 (steroid sederhana) dan steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol, sapogenin, alkaloid steroid, glikosida jantung dan vitamin D. steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Hogiono & Dangi 1994).

Senyawa alkaloid adalah senyawa alami amina terdapat banyak pada tumbuhan dan sedikit pada hewan. Senyawa alkaloid sebagian besar mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 2006). Berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen alkaloid dapat diklasifikasikan antara lain pirolidin, piperidin dan isokuinolin. Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tumbuhan, memiliki aktivitas fisiologis sehingga banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid dari tumbuhan telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba, diantaranya klausenalena bersifat antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Salmonella lutea, Pseudomonas vulgaris, Echerichia coli dan Staphylococcus aureus, murayanol juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. aureus, E. coli, dan Candida parapsilasis

(Ramsewak 1999).

Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa-senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. alkaloid


(31)

merupakan golongan heterogen, sebagian besar tanwarna dan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Penyebaran alkaloid sangat tidak merata, jumlah besar terdapat pada tumbuhan Angiospermae dan tidak ditemukan pada tumbuhan Gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah (Harborne 2006).

Senyawa antimikroba alami tumbuhan pada fraksi minyak atsiri memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas diantaranya thymol (5-metil-2-(1-metiletil) fenol) dari thyme dan oregano, sinamik aldehida (3-fenil-2-propenal) dari kayu manis, dan eugenol (2-metoksi-4-(2-propenil)fenol) dari cengkeh (Kyung & Flemming 1994). Senyawa sulfur seperti alisin pada bawang putih dan S-metyl-L-sulfoksida yang ada pada kubis juga memiliki sifat antimikroba (Beuchat & Golden 1989).

Penggunaan antimikroba tumbuhan telah banyak diteliti baik dalam bentuk bubuk atau serbuk maupun dalam bentuk ekstrak dan minyak atsiri. Selain itu banyak penelitian yang telah diarahkan untuk mengidentifikasi komponen kimia yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba dari masing-masing tumbuhan tersebut. Menurut Fardiaz (1989) senyawa antimikroba dalam rempah-rempah dapat bersifat bakterisidal yaitu membunuh bakteri dan bakteristatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri.

Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor antara lain (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya. Mekanisme penghambatan antimikroba sebagai target utama adalah dinding sel, membran sel, enzim metabolik, sintesis protein dan materi genetik (Fardiaz 1989).

Penggunaan senyawa antimikroba sintetis pada makanan dan kosmetika telah dikenal secara luas dan memberikan hasil yang memuaskan, akan tetapi keamanannya terhadap tubuh manusia masih diragukan. Oleh sebab itu, setelah diketahui bahwa senyawa antimikroba juga terkandung dalam bahan-bahan alami maka banyak penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan stabilitas masa


(32)

simpan bahan pangan dan kosmetika menggunakan senyawa antimikroba alami, walaupun belum diperoleh hasil yang memuaskan (Nishina et al. 1993).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan senyawa aktif tersebut untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen maupun pembusuk, antara lain terhadap Bacillus cereus, S. aureus, S. Typhimurium, E. coli, Listeria monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Lactobacillus plantarum, Bacillus stearothermophilus, Aspergillus niger, Penicillium rubrum, Candida utilis

dan Saccharomyces cerevisiae. Umumnya aktivitas yang tinggi ditunjukkan oleh zat aktif yang termasuk golongan ekstrak minyak atsiri yang merupakan senyawa fenolik yaitu cavicol, cavibetol, carvacrol, eugenoldan allilpyrocatechol(Jenie et al. 2001).

Pelczar et al. (1993) menyatakan bahwa beberapa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, deterjen dan senyawa ammonium kuartener. Pemakaian antibiotik yang berlebihan menyebabkan bakteri yang semula sensitif menjadi resisten, oleh karena itu senyawa antibakteri baru diperlukan untuk mengatasi bakteri resisten tersebut.

Potensi Komponen Aktif Lumut Hati (Hepaticae)

Umumnya ekstrak dari lumut hati mengandung isoflavonoid, flavonoid dan bioflavonoid yang efektif menghambat mikroorganisme. Senyawa terpenoid dan fenolik serta unsur–unsur yang mudah menguap terdapat pada beberapa jenis lumut (Ilhan et al. 2006). Aktivitas antibakteri, antikapang dan antivirus juga diketahui pada beberapa hepaticae dan ekstrak beberapa jenis musci. Banyak penelitian mengenai isolasi, identifikasi dan penentuan struktur kimia telah dilakukan pada molekul-molekul yang berpotensi terhadap sifat karakteristik aktivitasnya. Sifat substansi aktif dari Atrichum, Dicranum, Mnium, Polytrichum

dan Sphagnum spp. telah diketahui sebagai senyawa polifenolik. Molekul seperti marchantin A, asam lemak cyclopentanol dan beberapa prekursor ditemukan mempunyai aktivitas antimikroba (Basile et al. 1998).


(33)

Beberapa senyawa yang diekstrak dari lumut dan berpotensi sebagai senyawa antimikroba di antaranya senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs), hipnogenol, bioflavonoid dan dihidroflavanol dari lumut Hypnum cupressiforme. Flavonoid C-glikosida dan flavonoid jenis lainnya juga terdapat pada Mnium undulatum (Dulger et al. 2005). Unsur utama pada Marchantia convoluta adalah flavonoid, triterpenoid dan steroid. Flavonoid yang berasal dari

M. convoluta sebagian besar terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O- dan

C-glycosida. Sangat kuat menghambat colibacillus, bacillus, Staphyloccus aureus,

Bacillus enteritidis, hemolytic Streptococci type B, Diplococcus pneumoniae serta mempunyai zat-zat antibiotik, antiinflammatory dan pengaruh-pengaruh diuretik pada tikus (Xiao et al. 2006).

Komponen utama esensial oil yang diidentifikasi dari ekstraksi

Marchantia convulata secara Supercritical fluid extraction (SFE) diantaranya adalah benzothiazole (11.82%), 2-ethylhexanoic acid (9.82%), ethylphenoxybenzene (8.99%), acetic acid octadecyl ester (8.82%), 4-cyanothiophenol (5.49%), cedrol (4.60%), 9,12-octadecadienoic acid ethyl ester (3.25%), 2(3H)-benzothiazolone (2.79%), octadecanoic acid ethyl ester (2.39%), n-hexadecanoic acid (2.08%), 1,1'-(3-methyl-1-propene-1,3-diyl) bis-benzene (2.07%). Kandungan total adalah asam organik dan ester 32.19% (Xiao et al. 2007).

Senyawa-senyawa aktif yang ditemukan pada lumut memiliki beragam aktivitas biologi. Diantaranya mempunyai aktivitas antitumor pada jenis lumut

Plagiochasma japonica dan aktivitas antikapang dan antimikroba, pada

Marchantia tosana (Lahlou et al. 2000). Menurut Ilhan et al. (2006), ekstrak metanol dari Plagiochasma commutata mempunyai potensi aktivitas antibakteri secara in vitro terhadap 5 bakteri yang diujikan, sedangkan ekstrak dengan pelarut aseton mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih luas lagi terhadap 9 bakteri yang diujikan. Ini diperkuat oleh penelitian Cobianchi et al. (1988) yang melaporkan bahwa ekstrak dari beberapa lumut menunjukkan aktivitas antifungi.

Basile et al. (1998) melaporkan bakteri gram positif kecuali B. subtilis

yang diuji tidak menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap ekstrak P. squarrosa. Ent. faecalis lebih resisten terhadap ekstrak, sedangkan S. epidermis


(34)

dan S. aureus dapat dihambat hanya dengan konsentrasi tinggi dari ekstrak (MIC

512 µg/ml). Umumnya bakteri gram negatif menunjukkan lebih resisten daripada

gram positif, khususnya E. coli, P. mirabilis, Ent. cloacae dan B. subtilis. Beberapa bakteri seperti Salmonella typhi, Pr. vulgaris dan P. aeruginosa tidak dipengaruhi ekstrak P. squarrosa. Aktivitas antibakteri dari lumut terhadap bakteri gram negatif telah dikemukakan dalam beberapa studi antara lain: ekstrak

Leptodictyum riparium mempunyai kemampuan untuk menghambat gram negatif dari pada bakteri gram positif, ekstrak juga mampu menghambat bakteri resisten antibiotik seperti P. aeruginosa. Ini perlu dipertimbangkan sejak antibiotik konvensional secara reguler lebih aktif terhadap bakteri gram positif daripada gram negatif.

Ilhan et al. (2006) dalam penelitiannya dengan metode difusi cakram menyatakan bahwa bakteri gram positif B. mycoides lebih sensitif terhadap ekstrak aseton dari Plagiochasma commutata dengan zona penghambatan paling besar yaitu 12 mm. Terhadap B. cereus (11 mm), B. subtilis (11 mm) dan aktivitas yang rendah pada Micrococcus luteus (7 mm). Sedangkan jenis bakteri gram negatif Yersinia enterocolitica dan Klebsiella pneumoniae secara umum lebih sensitif di antara bakteri gram negatif yang diuji dengan zona penghambatan sebesar 11 mm, diikuti oleh P. aeruginosa (9 mm), E. coli (8 mm) dan E. aerogenes (7 mm).

Dulger at al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari delapan jenis lumut yaitu Grimmia pulvinata, Tortula subulata, Weisia controversa, Leucodon sciuroides, Hypnum cupressiforme, Homalothecium sericium, Neckera complanata, dan Mnium undulatum yang berasal dari Turki menunjukkan potensi aktivitas antimikroba yang besar terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Mikroorganisme yang paling sensitif diperlihatkan oleh B. subtilis dan P. aeruginosa, sedangkan terhadap kapang uji Candida albicans, Rhodotorula rubra

dan Kluyveromyces fragilis menunjukkan aktivitas yang rendah. Senyawa-senyawa fenolik dari Marchantia polymorpha sejumlah besar dikarakteristik dalam bentuk senyawa lipofilik dan hidrofilik, termasuk flavon dan flavon glikosida yang diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol (Adam & Beckert 1994).


(35)

Mekanisme Senyawa Antimikroba

Senyawa antimikroba didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar & Reid 1979). Kriteria umum yang digunakan sebagai antimikroba antara lain: tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan aroma, cita rasa dan tekstur makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaliknya baik jika mempunyai kemampuan membunuh dibanding menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier & Westhoff. 1978).

Antimikroba digambarkan sebagai produk alami organik dengan berat molekul rendah dibentuk oleh mikroorganisme dan tumbuhan yang aktif melawan mikroorganisme lain pada konsentrasi rendah. Pengembangan aktivitas ini melalui jumlah terbatas dari mekanisme antimikroba yang dapat mempengaruhi sintesis dinding sel, integritas membran sel, sintesis protein, replikasi DNA dan repair, transkripsi dan metabolit intermediate (Gambar 3) (Wax et al. 2008).

Gambar 3 Target spesifik dari antimikroba

Sumber: Wax et al. 2008

Metabolit sekunder akan memblok biosintesis dinding sel dengan menghambat kerja enzim dalam mensintesis komponen berbeda dari dinding sel. Jika metabolit ini dapat mempengaruhi integritas membran sel maka akan mengacaukan strukturnya atau menghambat fungsi dari membran bakteri tersebut.


(36)

Antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein bertindak sebagai perusak unit ribosom, mengikat pada unit 50S dan mencegah translasi dan mengikat unit 30S menyebabkan terjadinya kesalahan translasi, memproduksi racun dan mempengaruhi protein. Senyawa antimikroba akan mempengaruhi fungsi replikasi DNA dan repair, menghambat enzim girase dan topoisomerase dan N-metiltransferase. Akhirnya beberapa antimikroba mengganggu metabolisme

intermediate dengan menghambat enzim dalam biosintesis dari substansi berbeda (Berdy 2005).

Senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler, kemudian mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Senyawa ini juga mampu memutuskan ikatan silang peptidoglikan oleh usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penghasil membran sel seperti protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Ingram 1981).

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin (Fardiaz 1992). Bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Pada bakteri gram negatif terdapat lapisan diluar dinding sel yang mengandung 5-20% peptidoglikan, lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tersusun oleh fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2000).

Dalam upaya mencapai sasaran, senyawa antimikroba dapat menembus lipopolisakarida dari dinding sel tersebut. Molekul-molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah melewati lipopolisakarida dibandingkan dengan yang hidrofobik. Pada bakteri gram positif tidak ada lapisan lipopolisakarida sehingga molekul senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik maupun yang hidrofobik dapat melewatinya (Best 1999).


(37)

Kemampuan suatu senyawa antimikroba untuk mempengaruhi dinding sel mikroba (Ultee et al. 2000). Nychas dan Tassou (2000) menyatakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural, sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel.

Membran sitoplasma yang berperan pada keutuhan sel dapat terganggu permeabilitasnya oleh beberapa senyawa antimikroba yang dapat menyebabkan kobocoran isi sel sehingga transfer isi sel tidak terkontrol. Bocornya membran sitoplasma dapat dideteksi dengan adanya perubahan jumlah asam nukleat dan protein dalam medium seperti telah dibuktikan oleh Bunduki et al. (1995). Kerusakan pada membran ini umumnya mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler. Mekanisme antimikroba minyak atsiri (karvakrol, sitral dan geraniol) adalah mengganggu lapisan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga kehilangan unsur penyusun sel (Kim et al.

2001).

Sintesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam amino melalui ikatan peptida (Prindle 1983). Proses sintesis tersebut terdiri atas beberapa tahap yaitu inisiasi, penggabungan kompleks asam amino, pembentukan ikatan peptida, translokasi dan terminasi. Menurut Kanazawa et al. (1995), senyawa antimikroba dapat menghambat sintesis protein bakteri pada saat telah berdifusi ke dalam sel yaitu senyawa tersebut bereaksi dengan komponen sel ribosom 50 S yang membentuk kompleks pada tahap inisiasi (tahap awal sintesis protein), sehingga menstimulasi translasi yang salah, selanjutnya terjadi penyimpangan dalam ribosom yang mengakibatkan sintesis protein dilanjutkan dengan pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu pembentukan protein (Nychas & Tassou 2000).

Kemampuan senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh kestabilan terhadap protein, lipid, garam dan tingkat keasaman (pH) dalam medium pertumbuhan (Nychas & Tassou 2000). Beberapa


(38)

penelitian menunjukkan bahwa garam dapat meningkatkan daya hambat senyawa fenolik atau minyak atsiri. Pengaruh yang sama dari garam terhadap daya hambat senyawa fenolik juga dilaporkan oleh Campo et al. (2000). Garam juga memberikan pengaruh sinergisme terhadap senyawa fenolik Butil Hidroksil Amin (BHA). Peningkatan konsentrasi garam dari 3% menjadi 7% akan menurunkan jumlah BHA yang dibutuhkan untuk menghambat S. aureus sebesar dua kali (Stern et al. 1979).

Suhu dan waktu pemanasan juga mempengaruhi stabilitas senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang jika dipanaskan (Branen 1993). Ewald (1999) melaporkan bahwa aktivitas antibakteri kuersetin dan kaemferol dari golongan flavonoid menurun sebesar 48% dan 68% dengan adanya pemanasan pada suhu 60°C selama 2 jam.

Metode Umum Ekstraksi Senyawa Antimikroba

Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut organik yang mempunyai titik didih rendah, tidak beracun dan tidak mudah terbakar. Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatan polar dan nonpolar. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat nonpolar hanya larut dalam pelarut nonpolar. Pemilihan pelarut organik yang digunakan dalam mengekstrak komponen bioaktif merupakan faktor penentu untuk pencapaian tujuan dan sasaran ekstraksi komponen. Untuk memperoleh ekstrak yang baik dapat dilakukan ekstraksi secara bertingkat dimulai dari pelarut non polar (n-heksana, sikloheksana, toluena dan kloroform), lalu dengan pelarut semi polar (diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan polar (metanol, etanol dan air) sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, semipolar dan polar (Houghton & Raman 1998).

Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi. Perbandingan yang baik antara bahan dan pelarut adalah 1 : 10 (Cowley 1973), dimana konsenterasi pelarut akan mempengaruhi ekstrak. Penggunaan pelarut alkohol dengan konsentrasi kurang dari 35% akan menyebabkan terekstraknya


(39)

gum sehingga mempersulit penyaringan. Penggunaan alkohol dengan konsentrasi lebih dari 70% akan menghasilkan ekstrak dengan kandungan fixed oil tinggi, yang akan mengendap pada bagian bawah ekstrak (Purseglove et al. 1981). Berdasarkan penelitian Sofiah et al. (1986), konsentrasi etanol terbaik adalah 50 – 60 %.

Beberapa tahapan isolasi senyawa antimikroba dari tumbuhan yaitu dimulai dengan ekstraksi, pemisahan dan fraksinasi, serta pemurnian komponen. Permasalahan dalam proses persiapan isolasi komponen tumbuhan adalah teknik mendapatkan bahan sampel yang proporsional dari jumlah sampel yang besar dan beragam, kehilangan sebagian besar tumbuhan, perubahan-perubahan enzimatik sebelum dan selama isolasi, perubahan-perubahan komponen bahan selama penggilingan, kontaminasi bahan peralatan penggilingan dan perubahan komponen-komponen yang tidak stabil (Pomeranz & Meloan 1994).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk mengekstrak antara lain: tidak berbau dan tidak berasa, sehingga tidak mempengaruhi mutu produk akhir, mudah berpenetrasi karena viskositasnya rendah sehingga efisiensi ekstraksi tinggi, mudah dipisahkan tanpa menimbulkan residu sehingga produk dapat bebas dari pelarut dan dapat digunakan secara selektif dengan berbagai kondisi suhu dan tekanan ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak dengan mutu terbaik (Moyler 1994).

Selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (DepKes 2000). Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi dari pada aquades sehingga akan lebih banyak melarutkan komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmadja 1981).

Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pemilihan pelarut yang akan dipakai dalam proses ekstraksi, harus memperhatikan sifat kandungan senyawa yang akan diisolasi. Sifat yang penting adalah polaritas dan gugus polar dari suatu senyawa. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar. Derajat polaritas


(40)

bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Tabel 4) (Murphy 1999).

Tabel 4 Jenis-jenis pelarut untuk ekstraksi komponen aktif. Air Etanol Metanol Kloroform Dikloro

Metanol Eter aseton Antosianin Pati Tanin Saponin Terpenoid Polipeptida Lectin Tanin Polipenol Poliasetilen Flavonol Terpenoid Sterol Alkaloid Propolis Antosianin Terpenoid Saponin Tanin Xanthosillin Totarol Quassinoid Lakton Flavon Phenone Polifenol Terpenoid Flavonoid

Terpenoid Alkaloid Terpenoid Coumarin Asam lemak

flavonol

Keterangan: Senyawa yang umum di ekstrak (huruf tebal). Sumber: Murphy 1999.

Secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tumbuhan seperti daun, batang dan akar umumnya dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut organik polar seperti metanol. Beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum digunakan antara lain (Darwis 2000): 1. Maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. Senyawa umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.


(41)

2. Perkolasi

Merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Tetapi efektivitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan.

3. Metode Soklet

Menggunakan soklet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh panas.

4. Destilasi Uap

Proses destilasi lebih banyak digunakan untuk senyawa organik yang tahan pada suhu yang cukup tinggi, yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang digunakan. Pada umumnya lebih banyak digunakan untuk minyak atsiri. 5. Pengempaan

Metode ini lebih banyak digunakan dalam proses industri seperti pada isolasi

Crude Palm Oil (CPO) dari buah kelapa sawit dan isolasi katecin dari daun gambir, dimana pada proses ini tidak menggunakan pelarut.

Umumnya proses ekstraksi secara maserasi diawali dengan penghancuran sampel, perendaman dengan menggunakan pelarut sampai beberapa hari dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Pelarut yang sering digunakan adalah heksana, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa nonpolar, semi polar, dan polar. Heksana merupakan pelarut yang bersifat nonpolar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksana terdiri dari hidokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksana yang digunakan sebagai pelarut berupa cairan tak

berwarna dan memiliki titik didih 69C serta larut dalam air. Sedangkan etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus C4H8O2. Etil asetat

bersifat volatil, nontoksik, dan tidak higroskopis. Pelarut ketiga adalah etanol dengan rumus molekul C2H5OH bersifat volatil (Nielsen 2003).

Beberapa pelarut organik yang digunakan untuk mengekstrak senyawa bioaktif dari tumbuhan diantaranya adalah etil asetat, heksana, petroleum eter,


(42)

benzena, toluena, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay 2002). Nilai polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai polaritas beberapa pelarut

Pelarut Titik didih (°C) Polaritas (E°C)

Etanol Aseton Etil asetat Heksana Penten Diklorometan Isopropanol Air Propilen glikol Dieter eter Karbondioksida 78.3 56.2 77.1 68.7 36.2 40.8 82.2 100.0 187.4 34.6 -56.6 0.68 0.47 0.38 0 0 0.32 0.63 >0.73 0.73 0 Sumber: Mukhopadhyay 2002.

Karakteristik Bakteri Uji

Beberapa mikroba patogen dan pembusuk makanan yang digunakan untuk uji bioaktivitas antimikroba ekstrak dalam penelitian ini diantaranya :

a. Salmonella Typhimurium

Salmonella spp. merupakan bakteri patogen yang digolongkan ke dalam suku Enterobacteriaceae dan tidak berspora, termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang. S. Typhimurium bersifat motil dengan flagela peritrikat, anaerob fakultatif dan harus negatif pada produk makanan. Salmonella terbagi menjadi 3 jenis yaitu Salmonella typhi, Salmonella enterica dan S. enteritidis. S.

Typhimurium merupakan jenis Salmonella enterica serovar Typhimurium (D’Aost 2000).

S. Typhimurium menghasilkan H2S dan asam hasil fermentasi glukosa,

maltose, manitol dan sorbitol. Bakteri ini mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, tetapi tidak dapat memfermentasi salisin, sukrosa dan laktosa (Fardiaz 1989). Pertumbuhan S. Typhimurium mencapai keadaan optimum pada suhu 37°C suhu terendah yang masih memungkinkan pertumbuhan adalah 6 – 20°C, bahkan mikroba ini terkadang tahan terhadap suhu pasteurisasi. S.


(43)

Typhimurium paling tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan jenis

Salmonella lainnya (Jay 1996).

Pada kondisi optimum S. Typhimurium tumbuh pada media dengan pH 4,0 sampai pH 9,0. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan bakteri ini adalah pada kisaran pH 6.0 – 8.0. Pada umumnya media yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi bakteri ini diatur pada pH 6.8 – 7.2. Viabilitas Salmonella menurun selama penyimpanan beku (Portillo 2000). Infeksi Salmonella pada bahan pangan banyak mendapat perhatian, karena bakteri ini seringkali menjadi penyebab Food borne disease. Diperkirakan lebih dari 1/3 kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi disebabkan karena konsumsi makanan terinfeksi oleh Salmonella spp. Insiden ini terjadi dan cenderung semakin meningkat terutama di negara-negara industri (Stock & Stolle 2001).

b. Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan mikro flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan tenggorokan. S. aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0,7 –

0,9 µm dan termasuk dalam suku Micrococcaceae. Bakteri ini tumbuh secara

anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan sel-sel dan sering ditemukan pada makanan yang mengandung protein tinggi, misalnya sosis, telur dan sebagainya (Fardiaz 1989).

S. aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7,5% NaCl serta dapat memfermentasi manitol, umumnya memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulase, sehingga dapat dibedakan atas beberapa group berdasarkan sifat imunitas koagulasenya yaitu koagulase tipe I sampai VIII. S. aureus membutuhkan aw minimal 0,86 untuk pertumbuhannya dengan aw

optimum 0,990 – 0.995 sedangkan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35 °C - 38°C. Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0 – 7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhan (Fardiaz & Jenie 1988).

Ada enam macam enterotoksin yang diproduksi S. aureus di dalam makanan dan merupakan penyebab keracunan stafilokokus intoksikasi yaitu


(44)

enterotoksin A, B, C1, C2, D dan enterotoksin E. S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan pangan (Adam & Moss 1995).

c. Pseudomonas aeruginosa

Bakteri ini bersifat gram negatif, berbentuk batang lurus dan tidak membentuk spora, dapat bergerak, umumnya mempunyai flagela polar tunggal dan tipe metabolisme bersifat oksidatif. Umumnya bakteri ini berukuran kecil dengan lebar 0,5 – 1,0 µm dan panjang 1,5 – 4,0 µm. Tumbuh baik pada suhu rendah, bersifat psikrofilik atau mesofilik dengan suhu optimum relatif rendah, kecuali P. aeruginosa dan P. fluorescens yang tumbuh pada suhu 37°C. P. aeruginosa memproduksi pigmen piosianin yang berwarna biru. P. aeruginosa

termasuk ke dalam suku Pseudomonadaceae dan merupakan salah satu jenis bakteri yang menimbulkan kerusakan berbagai jenis makanan sehingga menyebabkan kebusukan (Fardiaz 1992).

Pseudomonas spp. mudah tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada beragam produk pangan dikarenakan kemampuannya untuk menggunakan berbagai sumber karbon bukan karbohidrat dan komponen nitrogen sederhana sebagai sumber energi, bersifat lipolitik, proteolitik dan pektinolitik (Frazier & Westhoff 1988). Timbulnya kerusakan makanan sebagian besar berhubungan dengan kemampuannya memproduksi enzim yang dapat memecah komponen lemak dan protein dalam makanan. Pseudomonas dapat berkembang dengan cepat pada suhu rendah dan sering mengakibatkan terbentuknya lendir dan pigmen pada permukaan daging (Buckle et al. 2007).

Pseudomonas banyak terdapat dalam tanah, air, tumbuhan, saluran usus manusia dan hewan. Bersifat psikotrofik, sering menimbulkan kerusakan pada daging, unggas, telur dan hasil perikanan. Bakteri ini tidak tahan terhadap panas dan keadaan kering. Pseudomonas spp. merupakan salah satu bakteri yang sering menimbulkan kebusukan pada makanan seperti pada susu, daging dan ikan; diantaranya terdiri dari jenis P. aeruginosa, P. fluorescens, dan P. putida. Pseudomonas dapat tumbuh pada media sederhana, bentuk sel bervariasi dari batang, koma dan kadang-kadang bulat, oksidase dan katalase positif (Doyle et al.


(45)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 sampai dengan Juni 2009 di Laboratorium Mikrobiologi Pangan SEAFAST Center IPB, Laboratorium Pengolahan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) IPB.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumut hati jenis

Marchantia paleacea koleksi Taman Lumut Kebun Raya Cibodas, bakteri referensi uji yang digunakan adalah jenis Salmonella Typhimurium ATCC 14028, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa.

Media dan bahan-bahan yang digunakan antara lain adalah Tryptic Soy Agar (TSA), Tryptic Soy Broth (TSB), Plate Count Agar (PCA), etanol, metanol, heksana, etil asetat, aquades, larutan buffer fosfat, dan NaCl 0.85%. Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat untuk ekstraksi, alat-alat gelas, dan peralatan uji mikrobiologi.

Metode Penelitian

Keseluruhan penelitian ini terdiri dari 4 tahap (Gambar 4). Penelitian Tahap I merupakan tahap persiapan bahan baku lumut hati jenis M. paleacea

meliputi proses sortasi, pengeringan (suhu ruang selama 14 hari), analisis kadar air (AOAC 1995), serta proses ekstraksi dan persen rendemen. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan menimbang sebanyak 10 gram lumut kering menggunakan 300 ml (100 x 3) pelarut selama 3 x 24 jam dan digoyang dengan penggoyang (shaker) menggunakan pelarut etanol, metanol, etil asetat, dan heksana (Basile et al. 1998). Kemudian dihitung rendemen yang didapat dari masing-masing ekstrak.

Penelitian Tahap II meliputi uji antimikroba yaitu screening dengan metode agar difusi Sumur terhadap bakteri uji S. aureus, P. aeruginosa dan S.


(46)

penetapan nilai MIC dan MBC dengan menggunakan medium cair TSB. Nilai MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah ekstrak lumut yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% atau menurunkan 1 log koloni dari jumlah koloni awal. Sedangkan nilai MBC ditentukan dari cawan dengan konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri atau mampu mereduksi 99,9% (103) dari populasi bakteri awal selama inkubasi 24 jam (Kim et al. 2001).

Penelitian Tahap III terdiri dari analisis komponen fitokimia secara kualitatif terhadap beberapa senyawa yang diidentifikasikan sebagai senyawa antimikroba tumbuhan, diantaranya senyawa fenolik, steroid, triterpenoid, tanin, dan flavonoid (Harborne 1996) dan analisis fenol total (Sakanaka et al. 2003) dengan menggunakan alat spektrofotometer. Tahap akhir penelitian (Tahap IV) meliputi uji kajian efektivitas ekstrak pada berbagai perlakuan pH (4, 6, dan 8) dan uji stabilitas terhadap pengaruh suhu 80 dan 100C selama 20 menit (modifikasi Carson & Riley 1995). Pengujian Tahap II, III dan IV hanya dilakukan terhadap ekstrak lumut yang mempunyai aktivitas antimikroba paling tinggi.


(47)

Penelitian Tahap I

Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Kadar air diukur 2 kali terhadap sampel lumut segar dan sampel setelah dikeringkan dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100C. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu sampel ditimbang sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Sampel dikeringkan dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu cawan yang berisi sampel kering di dalam desikator didinginkan dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Kadar air (% b/b) = 100% )

( )

(

 

a x

y x

Keterangan:

x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

Metode Ekstraksi Secara Maserasi (Basile et al. 1998) dan Rendemen Ekstrak

Ekstraksi dilakukan terhadap sampel lumut hati jenis Marchantia paleacea. Sampel dalam bentuk segar dibersihkan dengan air. Pengeringan dilakukan pada suhu ruang (dibiarkan selama 14 hari). Sampel yang kering selanjutnya diblender dan disaring sehingga didapatkan sampel dalam keadaan bubuk kering.

Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan menimbang sebanyak 10 gram sampel dengan menggunakan 300 ml (100 x 3) pelarut etanol selama 3 x 24 jam dan digoyang dengan penggoyang (shaker). Selanjutnya campuran disaring


(1)

Lampiran 9. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap

aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati

M.

paleacea

terhadap jumlah bakteri

S. aureus

.

ANOVA

Jumlah Koloni Bakteri

37.596 2 18.798 122.355 .001

.461 3 .154

38.057 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Beda s

uhu Staphylococcus aureus

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Jumlah Koloni Bakteri

Duncana

2 2.5650

2 3.5400

2 8.2950

.089 1.000

Temperatur Pemanasan 80

100 37 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.


(2)

Lampiran 10. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap

aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati

M. paleacea

terhadap jumlah bakteri

S.

T

yphimurium

ATCC

14028

.

ANOVA

Jumlah Koloni Bakteri

11.412 2 5.706 58.772 .004

.291 3 .097

11.703 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Beda s

uhu S.

T

yphymurium

ATCC 14028

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Jumlah Koloni Bakteri

Duncana

2 5.1900

2 7.6500

2 8.4250

1.000 .089

Temperatur Pemanasan 80

100 37 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.


(3)

Lampiran 11. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap

aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati

M. paleacea

terhadap jumlah bakteri

P. aeruginosa.

ANOVA

Jumlah Koloni Bakteri

22.916 2 11.458 1551.883 .000

.022 3 .007

22.938 5

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Uji Beda s

uhu Pseudomonas aeruginosa

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Jumlah Koloni Bakteri

Duncana

2 4.1550

2 4.2450

2 8.3450

.372 1.000

Temperatur Pemanasan 100

80 37 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.


(4)

Lampiran 12.

Nilai MIC mikroba berbagai ekstrak tumbuhan lokal

terhadap mikroba patogen dan perusak pangan

Sumber Ekstrak

Mikroba

Nilai MIC

Pustaka

Ekstrak etanol lumut

Marchantia paleacea

Ekstrak etil asetat bunga

kecombrang

Ekstrak

curcuma longa

Ekstrak daun beluntas

Ekstrak biji atung

Ekstrak jahe

Ekstrak daun sirih

Ekstrak daun salam

Ekstrak kulit kayu sikam

Ekstrak rosemary

Ekstrak buah atung

Ekstrak biji picung

Ekstrak lengkuas

S. aureus

S.

T

yphimurium

P. aeruginosa

P. aeruginosa

B. cereus

L. monocytogenes

A. hydrophila

S. typhimurium

E. coli

S. aureus

S. aureus

B. subtilis

S. typhi

S. aureus

P. fluorescens

V. cholera

E. coli

S. typhi

E. coli

S.

T

yphimurium

P. fluorescens

S. aureus

P. fluorescens

S. aureus

E. coli

B. cereus

B. cereus

L. plantarum

P. aeruginosa

S. typhimurium

S. aureus

S. aureus

B. cereus

B. cereus

P. aeruginosa

0,7 mg/ml

8,0 mg/ml

5,9 mg/ml

3 mg/ml

6 mg/ml

5 mg/ml

4 mg/ml

4 mg/ml

4 mg/ml

10 mg/ml

1 mg/ml

24 mg/g

31,9 mg/g

1,75 mg/ml

3,95 mg/ml

5 mg/ml

10 mg/ml

10 mg/ml

2 mg/ml

2 mg/ml

2 mg/ml

3 mg/ml

6,6 mg/g

39,7 mg/g

50 µl/ml

50 µl/ml

0,6 mg/g

>10 mg/g

7 mg/g

7,5 mg/g

7,5 mg/g

34,6 mg/g

62,5 mg/g

1 mg/ml

7,5 mg/ml

Penelitian ini

Naufalin 2005

Khattak

et al

. 2005

Ardiansyah

et al

. 2003

Murhadi 2002

Radiati 2002

Sugiastuti 2002

Nuraida dan Dewanti

2001

Saragih 2001

Campo

et al

. 2000

Moniharapon 1998

Nuraida et al. 1999

Rahayu 1999


(5)

Lampiran 13. Komparasi Berbagai Antimikroba Lumut Jenis Marchantia

Spesies Lumut Proses Ekstraksi Bakteri Uji Nilai MIC Pustaka

S. typhi 0.625 mg/ml

S. aureus 0.625 mg/ml

D. pneumonia 1.25 mg/ml

S. pyogenes 2.5 mg/ml

B. enteritidis 2.5 mg/ml

E. coli 2.5 mg/ml

B. dysenteriae -

C. albicans -

Marchantia convoluta Maserasi dengan

etanol 80%, suhu ruang

P. aeruginosa -

Xiao, J et al.

2005

Marchantia polymorpha Maserasi vakum

dengan etanol

C. albicans 4 mg/ml Niu, C et al.

2006

E. coli 0.875 mg/ml

S. aureus 0.281 mg/ml

P. mirabilis 0.281 mg/ml

A. flavus -

A. niger -

C. albicans 0.312 mg/ml

Marchantia polymorpha Masarasi vakum

dengan metanol 80%

T. mentagrophytes 0.312 mg/ml

Mewari et al. 2008

Acinetobacter calcoaceticus 6.25 µg/ml

Alcaligenes faecalis 100 mg/ml

Bacillus cereus 12.5 µg/ml

B. megaterium 25 µg/ml

B. subtilis 25 µg/ml

Cryptococcus neoformans 12.5 µg/ml

Enterobacter cloacae 100 mg/ml

Escherichia coli, 100 mg/ml

Proteus mirabilis 100 mg/ml

Pseudomonas aeruginosa 100 mg/ml

Salmonela Typhimurium 100 mg/ml

Alternaria kikuchiana 100 mg/ml

Marchantia sp.

Aspergillus fumigates 100 mg/ml

Asakawa 2007

Aspergillus fumigates 100 mg/ml

Aspergillus niger 25 mg/ml

Candida albicans 100 mg/ml

Cryptococcus neoformans 12.5 mg/ml

Staphylococcus aureus 3.13 mg/ml

Trichophyton mentagrophytes 3.13 mg/ml

Aspergillus fumigates 100 mg/ml

Aspergillus niger 25 mg/ml

Candida albicans 100 mg/ml

Marchantia sp. Kaseru et al.


(6)