Aktivitas Senyawa Antimikroba Bacillus sp. Terhadap Biofilm Bakteri Patogen Oportunis Asal Tambak Udang Intensif

(1)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIMIKROBA

Bacillus

sp.

TERHADAP BIOFILM BAKTERI PATOGEN OPORTUNIS

ASAL TAMBAK UDANG INTENSIF

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat gelar

Sarjana Sains

YANTI LAMTARULI SIMANULLANG

080805024

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

i

i DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

PERSETUJUAN

Judul : Aktivitas Senyawa Antimikroba Bacillus sp. Terhadap Biofilm Bakteri Patogen Oportunis Asal Tambak Udang Intensif

Kategori : Skripsi

Nama : Yanti Lamtaruli Simanullang

NIM : 080805024

Program Sudi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Agustus 2014

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Dr. It Jamilah, M.Sc

NIP. 19651101 199103 1 002 NIP. 19631012 199103 2 003

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(3)

PERNYATAAN

AKTIVITAS SENYAWA ANTIMIKROBA

Bacillus

sp.

TERHADAP BIOFILM BAKTERI PATOGEN OPORTUNIS

ASAL TAMBAK UDANG INTENSIF

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2014

YANTI LAMTARULI SIMANULLANG 080805024


(4)

iii

iii DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul

Aktivitas Antimikroba Bacillus sp. Terhadap Biofilm Bakteri Patogen Oportunis Asal Tambak Udang Intensif sebagai syarat untuk melengkapi dan memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. It Jamilah. M. Sc selaku dosen Pembimbing I, terima kasih tak terhingga Bu atas kesabarannya selama ini dan juga Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan ilmu dalam penyelesaian skripsi ini,. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku penguji dan Kepala Laboratorium mikrobiologi dan Bapak Mizwar Budi Mulya, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan serta saran untuk kesempurnaan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, yang telah mendanai penelitian ini a.n Dr. It Jamilah dibawah Penelitian Hibah Bersaing tahun 2012.

Ucapan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Tuhan Yesus atas anugrah dan sukacita yang luar biasa di dalam hidup penulis, Engkau sungguh baik Bapa. Terima kasih kepada Orang tua terkasih Bapak Manullang dan Ibu Pasaribu atas dukungan dalam doa, dana, dan dorongan semangat serta kesabarannya selama ini (aku mencintai kalian). Terima kasih juga untuk adik-adik tercinta Yerni Apriani, Yustri Magdalena, dan Yobert Samuel atas dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih juga untuk Tante-Tante tersayang, Tante Hendri dan Tante Angel atas dukungan semangat dan dana, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kakak sekaligus sahabat Jessica Sarah, SE atas dukungan dalam banyak hal, teman-teman yang luar biasa yaitu Nina, Dessy, Rani, Destri, Indri, serta Sari atas dukungan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini, tanpa bantuan kalian tentunya penyelesaian skripsi ini tidak akan berwarna. Untuk teman-teman Biologi 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih juga atas kerjasamanya selama perkuliahan hingga akhirnya kita masing-masing menyelesaikan masa studi. Terima kasih juga kepada junior Biologi 2009, Adrian Tan, Agustina S,Si, Febrin, S.Si dan Norton Pane untuk tenaga dan bantuannnya selama penelitian di Laboratorium Mikrobiologi, sukses selalu untuk kalian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman IMPERATIF 2008, Ira, Zai, Era, Stef dan Leli, murid-murid penulis, Lia, Vero, dan Rika, Bang Daniel Limbong S.Sn, Josua Silaban serta kakak, abang, dan adik-adik IMPERATIF atas dukungan semangat, semoga kita kelak bisa menjadi pemimpin bagi bangsa Indonesia dan menjadi berkat dimanapun kita berada. Amin


(5)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIMIKROBA

Bacillus

sp.

TERHADAP BIOFILM BAKTERI PATOGEN OPORTUNIS

ASAL TAMBAK UDANG INTENSIF

ABSTRAK

Bakteri Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan Escherechia coli merupakan patogen oportunistik pada tambak udang dan mampu membentuk biofilm pada permukaan padat. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kemampuan senyawa antimikroba yang dihasilkan Bacillus sp. dalam menghambat pertumbuhan biofilm bakteri patogen oportunistik. Bakteri patogen oportunis diisolasi dari air, sedimen, dan dari permukaan padat menggunakan cotton bud dari tambak udang intensif di beberapa lokasi di provinsi Sumatera Utara. Bakteri patogen oportunis diuji antagonis dengan isolat Bacillus sp. B1, B4, B9, B11, dan B12, untuk melihat kemampuan penghambatan Bacillus sp. Isolat Bacillus sp. B9 mampu menghambat 3 jenis bakteri patogen sedangkan isolat Bacillus sp. B12 mampu melakukan penghambatan terhadap 2 jenis bakteri patogen kecuali Escherechia coli. Pembentukan biofilm bakteri patogen oportunis menggunakan stainless steel sebagai bahan pelekatan, diinkubasi selama 1, 3, dan 6 hari, kemudian direndam dalam 10 ml senyawa antimikroba ekstrak kasar Bacillus sp. dan dihitung jumlah bakteri yang dapat hidup. Sel biofilm untuk Salmonella sp. Dan Staphylococcus aureus bertambah seiring waktu inkubasi, kecuali untuk Escherechia coli yang menurun pada inkubasi hari ke-6. Senyawa antimikroba ekstrak kasar isolat Bacillus sp. B9 dan B12 mampu mengendalikan biofilm bakteri patogen oportunis inkubasi hari ke-6 dengan jumlah penurunan hingga 102-103 CFU/ml dalam waktu 24 jam.


(6)

v

v DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

ANTIMICROBIAL COMPOUND ACTIVITY OF

Bacillus

sp.

AGAINTS BIOFILM OF OPPORTUNISTIC PATHOGEN

BACTERIAL ORIGIN INTENSIVE SHRIMP POND

ABSTRACT

Salmonella sp., Staphylococcus aureus, and Escherechia coli are opportunistic pathogenic bacteria found in shrimp ponds and able to form biofilm on solid surfaces. The purpose of this study was to determine the ability of antimicrobial compounds produced by Bacillus sp. in inhibiting the growth of opportunistic pathogenic bacterial biofilms. Opportunistic pathogens bacteria were isolated from water, sediment and from solid surface using cotton swab of intensive shrimp ponds in several location in North Sumatera Province. Opportunistic pathogenic bacteria were antagonist tested against isolates of Bacillus sp. B1, B4, B9, B11, and B12, to see the ability of inhibition of Bacillus sp. Isolate of Bacillus sp. B9 were able to inhibit 3 types of pathogen bacteria, while B12 only able to inhibit two types of pathogenic bacteria, except Escherechia coli. Opportunistic pathogenic bacterial biofilm was form using stainless steel as an attachment surfaces, incubated for 1, 3, and 6 days, then immersed in 10 ml of antimicrobial crude extract and the number of bacteria viability were counted. Biofilm cells increased with time of incubation, except for Escherechia coli that decreased on the 6th day of incubation. The crude extract of antimicrobial compounds of Bacillus sp. B9 and B12 isolates were able to reduce the opportunistic pathogen bacteria biofilm up to 102-103 CFU/ml within 24 hours.

Key words: Bacillus sp., Biofilm, Opportunistic pathogen bacteria, Supernatant.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Hipotesis 4

1.5. Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tambak 6

2.1.1. Sistem Ekstensif 7

2.1.2. Sistem Semi-Ekstensif 7

2.1.3. SistemIntensif 7

2.1.4. Sistem Super Intensif 8

2.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia 8 2.3. Penyebab Penurunan Ekspor Udang Indonesia 10

2.3.1. Penurunan Kualitas Air 10

2.3.1.1. Padat Penebaran 10

2.3.1.2. Pakan yang Berlebihan 11

2.3.1.3. Akumulasi Bahan Organik 12

2.3.2. Penyakit 12

2.3.2.1. Virus 13

2.3.2.2. Bakteri 13

2.3.3. Penggunaan Antibiotik 14

2.3.4. Patogen Oportunis 15

2.4. Penggunaan Probiotik 16

2.5. Bacillus sp. Sebagai Agen Biokontrol (mikroba probiotik) 17

2.6. Biofilm 18

2.6.1. Beberapa Bakteri yang Mampu Membentuk Biofilm 20

2.6.1.1. Bacillus 20

2.6.1.2. Pseudomonas 21


(8)

vii

vii DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

2.6.1.4. Aeromonas 21

2.7. Beberapa Pengaruh Bakteri PatogenTerhadap Kesehatan 22 Manusia

2.7.1. Escherechia coli 22

2.7.2. Salmonella typhi, salmonella paratyphi A, 22 Salmonella paratyphi B, Salmonella paratyphi C

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat 24

3.2. Alat dan Bahan 24

3.3. Prosedur Penelitian 24

3.3.1. Pengambilan Sampel Bakteri Patogen Oportunistik 24

3.3.2. Penghitungan Sel Bakteri 25

3.3.3. Pembentukan dan Penghitungan Sel Bakteri 25 3.3.4. Kurva Pertumbuhan Bacillus sp. 26 3.3.5. Uji Tantang Sel Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji 26 3.3.6. Uji Penghambatan Senyawa Antimikroba Ekstrak 26

Kasar Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji

3.3.7. Pengontrolan Sel Biofilm Patogen Oportunistik ` 27 dengan Senyawa Antimikroba Bacillus sp.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri 28

4.1.1. Populasi Bakteri Pada Beberapa Tambak Udang 28 Intensif

4.1.2. Isolasi Bakteri Patogen Oportunistik 29 4.2. Uji Potensi Bacillus sp. Terhadap Bakteri Patogen 31 Oportunistik

4.3. Kurva Pertumbuhan Bacillus sp. 34

4.4. Jumlah Sel Biofilm Bakteri Patogen Oportunistik 36 4.5. Uji Penghambatan Senyawa Antimikroba Ekstrak Kasar 37

Terhadap Bakteri Patogen Oportunistik dengan Metode Cawan Sebar

4.6. Pengontrolan Sel Biofilm Bakteri Patogen Oportunistik 39 dengan Senyawa Antimikroba

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 41

5.2. Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 50


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel

2.1. Perkembangan Volume Ekspor Udang Tahun 2000-2006 10

4.1. Populasi Bakteri Pada Setiap Tambak 28

4.2.Jumlah Bakteri Patogen Oportunistik Pada Setiap Tambak 30 Udang

4.3.Aktifitas Penghambatan Isolat Bacillus sp. B1, B4, B9, 32 B11, dan B12 Terhadap Bakteri Uji dengan Metode Cawan

Sebar

4.4.Jumlah Bakteri Pada Stainless Steel Dalam Media 36 Sea Water Complete (SWC) Cair

4.5.Uji Penghambatan Senyawa Antimikroba Terhadap Bakteri 38 Patogen Oportunistik dengan Metode Cawan Sebar

4.6.Uji Penghambatan Biofilm dengan Senyawa Antimikroba 39 Ekstrak Kasar Bacillus sp.


(10)

ix

ix DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar

4.1. Deteksi Senyawa Antimikroba Bacillus sp. B9 dan B12 33 Terhadap Bakteri Patogen Oportunistik

4.2. Pertumbuhan Bacillus sp. B9 dan B12 Pada Media 34 SWC Cair


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lamp

1. Diagram Alir Penelitian 50

2. Komposisi Media Cair Sea Water Complete (SWC) dan 51 Larutan NaCl 0,9%

3. Alur Kerja Pengambilan dan Penghitungan Sampel Bakteri 52 Patogen Oportunistik

4. Pembentukan dan Penghitungan Sel Biofilm 54

5. Kurva Pertumbuhan Bacillus sp. 55

6. Uji Tantang Sel Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji 56 7. Uji Penghambatan Senyawa Antimikroba Ekstrak Kasar 57

Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji

8. Pengontrolan Sel Biofilm Patogen Oportunistik dengan 58 Senyawa Antimikroba Bacillus sp.

9. Foto Tambak Udang Intensif 59

10. Foto Alat 60


(12)

iv

iv DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

AKTIVITAS SENYAWA ANTIMIKROBA

Bacillus

sp.

TERHADAP BIOFILM BAKTERI PATOGEN OPORTUNIS

ASAL TAMBAK UDANG INTENSIF

ABSTRAK

Bakteri Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan Escherechia coli merupakan patogen oportunistik pada tambak udang dan mampu membentuk biofilm pada permukaan padat. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kemampuan senyawa antimikroba yang dihasilkan Bacillus sp. dalam menghambat pertumbuhan biofilm bakteri patogen oportunistik. Bakteri patogen oportunis diisolasi dari air, sedimen, dan dari permukaan padat menggunakan cotton bud dari tambak udang intensif di beberapa lokasi di provinsi Sumatera Utara. Bakteri patogen oportunis diuji antagonis dengan isolat Bacillus sp. B1, B4, B9, B11, dan B12, untuk melihat kemampuan penghambatan Bacillus sp. Isolat Bacillus sp. B9 mampu menghambat 3 jenis bakteri patogen sedangkan isolat Bacillus sp. B12 mampu melakukan penghambatan terhadap 2 jenis bakteri patogen kecuali Escherechia coli. Pembentukan biofilm bakteri patogen oportunis menggunakan stainless steel sebagai bahan pelekatan, diinkubasi selama 1, 3, dan 6 hari, kemudian direndam dalam 10 ml senyawa antimikroba ekstrak kasar Bacillus sp. dan dihitung jumlah bakteri yang dapat hidup. Sel biofilm untuk Salmonella sp. Dan Staphylococcus aureus bertambah seiring waktu inkubasi, kecuali untuk Escherechia coli yang menurun pada inkubasi hari ke-6. Senyawa antimikroba ekstrak kasar isolat Bacillus sp. B9 dan B12 mampu mengendalikan biofilm bakteri patogen oportunis inkubasi hari ke-6 dengan jumlah penurunan hingga 102-103 CFU/ml dalam waktu 24 jam.

Kata kunci: Bacillus sp., Bakteri patogen oportunistik, Biofilm, Supernatan.


(13)

ANTIMICROBIAL COMPOUND ACTIVITY OF

Bacillus

sp.

AGAINTS BIOFILM OF OPPORTUNISTIC PATHOGEN

BACTERIAL ORIGIN INTENSIVE SHRIMP POND

ABSTRACT

Salmonella sp., Staphylococcus aureus, and Escherechia coli are opportunistic pathogenic bacteria found in shrimp ponds and able to form biofilm on solid surfaces. The purpose of this study was to determine the ability of antimicrobial compounds produced by Bacillus sp. in inhibiting the growth of opportunistic pathogenic bacterial biofilms. Opportunistic pathogens bacteria were isolated from water, sediment and from solid surface using cotton swab of intensive shrimp ponds in several location in North Sumatera Province. Opportunistic pathogenic bacteria were antagonist tested against isolates of Bacillus sp. B1, B4, B9, B11, and B12, to see the ability of inhibition of Bacillus sp. Isolate of Bacillus sp. B9 were able to inhibit 3 types of pathogen bacteria, while B12 only able to inhibit two types of pathogenic bacteria, except Escherechia coli. Opportunistic pathogenic bacterial biofilm was form using stainless steel as an attachment surfaces, incubated for 1, 3, and 6 days, then immersed in 10 ml of antimicrobial crude extract and the number of bacteria viability were counted. Biofilm cells increased with time of incubation, except for Escherechia coli that decreased on the 6th day of incubation. The crude extract of antimicrobial compounds of Bacillus sp. B9 and B12 isolates were able to reduce the opportunistic pathogen bacteria biofilm up to 102-103 CFU/ml within 24 hours.


(14)

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang windu (Panaeus monodon) merupakan komoditi ekspor yang penting bagi perekonomian Indonesia. Budi daya udang windu (P. monodon) di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 70-an dan sampai sekarang masih merupakan salah satu kegiatan perikanan yang cukup potensial. Usaha budidaya udang windu (P. monodon) berkembang cukup pesat pada tahun 90-an, dimana pada saat tersebut kegiatan budi daya bukan hanya melalui intensifikasi lahan, tetapi juga melalui pembukaan areal hutan bakau menjadi lahan pertambakan (Muliani et al. 2003).

Data yang dihimpun sejak tahun 1984 sampai 1999 menunjukkan produksi udang meningkat lebih dari 6 kali lipat (FAO, 2001). Tahun 1994, produksi udang windu budidaya mencapai 250.000 ton/tahun. Produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai produsen udang windu terbesar di dunia. Namun dengan cepat prosuksi udang windu Indonesia mengalami penurunan dan menuju kehancuran dan sejak tahun 2002, udang vanname mulai menggantikan posisi udang windu (Kordi, 2010). Beberapa kajian diketahui penyebab penurunan produksi budi daya udang adalah merosotnya kualitas lingkungan perairan budidaya yang memicu mewabahnya serangan penyakit (Rukyani, 2000; Harris, 2000).

Salah satu penyebab penurunan kualitas perairan tambak selama operasional adalah tingginya konsentrasi limbah organik dan nutrien sebagai konsekuensi dari sisa pakan dan feses yang terlarut ke dalam air (Boyd et al. 1998; Boyd, 1999; Horowitz, 2000; Montoya & Velasco, 2000). Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang yang disebabkan bakteri patogen dan virus. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dimakan oleh udang, sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan pengunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang akan menghasilkan ammonia (NH3) dan hidrogen sulfide (H2S) (Isdarmawan, 2005).


(15)

Kandungan ammonia di dalam media pemeliharaan berasal dari penguraian bahan organik berkadar nitrogen, baik yang berasal dari feses maupun urin udang. Ammonia NH3 bersifat racun, umumnya dominan pada pH tinggi dan ammonium (NH4+) yang tidak beracun pada pH rendah. Ion ammonium dianggap tidak beracun karena tidak mampu menembus membran sel udang, sebaliknya konsentrasi ammonia yang tinggi dalam air dapat menurunkan permeabilitas membran sel sehingga dapat meracuni udang. Permeabilitas membran sel, menghambat kelancaran ganti kulit serta mengurangi efisiensi pemanfaatan pakan (Patang, 2012).

Bakteri patogen oportunis pada tambak udang ialah bakteri yang ada bukan secara alamiah di perairan tambak, tetapi masuk ke tambak akibat tercemarnya lingkungan dengan limbah manusia. Beberapa diantaranya ialah kelompok koliform, E. coli, Salmonella sp. Staphylococcus aureus (Harish et al. 2003; Hatha et al. 2003). Bakteri patogen oportunistik tidak menyebabkan penyakit pada udang, namun dapat menurunkan kualitas udang ketika diekspor, karena keberadaan bakteri ini tidak diperbolehkan terdapat pada udang ekspor. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi bakteri patogen pada udang windu (P. Monodon) antara lain dengan menggunakan obat-obatan kimia dan antibiotik. Penanggulangan patogen dengan menggunakan obat-obatan kimia dan antibiotik dapat membawa dampak serius karena masalah residu bahan antibiotik pada udang dan timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Muliani et al. 2003).

Pemakaian antibiotik untuk mengatasi mikroba patogen di tambak udang dapat menimbulkan resistensi pada mikroba sehingga efeknya sangat beresiko terhadap kesehatan udang maupun konsumen. Residu antibiotik yang tinggi pada produk menyebabkan penolakan produk oleh konsumen pengimpor karena tidak lulus persyaratan keamanan yang telah ditetapkan masing-masing negara yaitu Jepang dan Uni Eropa (Putro, 2008). Bacillus sp. merupakan bakteri yang dapat menghasilkan antimikroba (Bintarti, 2008). Beberapa penelitian melaporkan adanya bakteri oportunistik pada perairan tambak udang seperti E. coli, Salmonella, Staphylococcus dan bakteri ini dapat membentuk biofilm. Keberadaan biofilm berdampak pada aspek kesehatan, karena bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

Biofilm merupakan lapisan gel yang terbentuk dari satu atau multispesies mikroorganisme dan matrik yang tersusun tidak beraturan, serta bahan-bahan organik

yang terperangkap di dalamnya melekat kuat pada suatu permukaan padat (O‟Toole et al, 2001). Penelitian ekosistem perairan yang sudah dipelajari menunjukkan angka tertinggi


(16)

3

3 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

bakteri menempel pada permukaan daripada mengapung. Bakteri yang membentuk biofilm memproduksi suatu senyawa yaitu eksopolisakarida (Lappin-Scott et al. 1992). Sel yang membentuk biofilm 10-1000 kali lebih resisten terhadap antimikroba (O‟Toole

et al. 2001). Oleh sebab itu jika biofilm ditemukan pada aliran pemerosesan makanan, pengontrolannya memerlukan usaha yang lebih keras dan teknik-teknik sanitasi yang khusus seperti konsentrasi yang lebih tinggi dari bahan antimikroba, pemakain chlorin, pemanasan yang lebih lama pada suhu tinggi, dan lain-lain. Beberapa kerugian yang disebabkan biofilm diantaranya adalah korosi logam, pertumbuhan pada alat-alat rumah sakit, kontaminasi pada alat pendistribusian air minum, dan menyebabkan lapisan berlendir pada permukaan pemrosesan makanan (Lappin-Scott, 1992).

Pemanfaatan musuh alami pada budi daya perairan merupakan alternatif yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah penggunaan antibiotik (Geovany et al. 2007). Menurut Lestari (2007) Bacillus sp. mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen pada udang. Bacillus sp. merupakan bakteri Gram-positif yang mampu menghasilkan berbagai jenis zat antimikroba, diantaranya ialah bakteriosin. Zat antimikroba tersebut memiliki efek bakteriosida atau bakteriostatik (Verschuere et al. 2000). Karakterisasi zat antimikroba isolat Bacillus sp. memperlihatkan aktivitas penghambatan terhadap

Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus (Bintarti, 2008).

Bacillus sp. hasil penelitian terdahulu (Jamilah et al, 2009; Jamilah & Barus, 2010) telah diuji aktivitas enzim protease dan amilasenya yang berpotensi untuk mereduksi cemaran sisa pakan sehingga meningkatkan kualitas perairan. Namun kemampuan Bacillus sp. ini belum diketahui aktivitas senyawa antimikrobanya dalam mengendalikan biofilm, sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan Bacillus sp. dalam mengontrol sel biofilm patogen oportunistik dalam persiapan isolat ini sebagai kandidat probiotik.


(17)

1.2 Perumusan Masalah

Bakteri patogen oportunis di tambak udang seperti E. coli, Salmonella, Staphylococcus aureus dapat membentuk biofilm (Arlyza, 2008), sehingga pengendaliannya perlu terus dilakukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu usaha untuk mengetahui pengendalian sel biofilm dengan menggunakan senyawa antimikroba bakteri yaitu dengan melihat aktivitas penghambatan senyawa antimikroba yang dihasilkan isolat

Bacillus sp..

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah:

1. untuk mendapatkan isolat bakteri patogen oportunistik asal tambak udang intensif, 2. mengetahui kemampuan bakteri patogen oportunistik yang diisolasi dalam membentuk

biofilm,

3. mengetahui kemampuan senyawa antimikroba Bacillus sp. dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen oportunistik dari tambak udang baik dalam bentuk sel bebas maupun biofilm.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini ialah senyawa antimikroba yang dihasilkan bakteri

Bacillus sp. dapat menghambat pertumbuhan sel biofilm bakteri patogen oportunistik

pada tambak udang.

1.5 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini ialah:

1. bagi penulis, bisa menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada yang terjadi di lingkungan sehingga ilmu yang dikuasai tidak hanya bersifat teoritis;

2. bagi kalangan akademik, diharapkan penyusunan skripsi ini nantinya dapat dijadikan sebagai bahan studi serta sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut;

3. bagi kalangan umum khususnya petambak-petambak udang, sebagai sumber informasi menghadapi kondisi-kondisi yang diteliti dalam penyelesaian skripsi ini.


(18)

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tambak Udang

Sistem budi daya udang di Indonesia berkembang dengan cepat, dari sistem tradisioanal (ekstensif) menjadi semi-intensif, intensif, dan tambak super intensif. Sayangnya perkembangan teknologi budi daya udang yang cepat ini tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia dan cara budi daya udang yang benar. Teknologi budi daya udang intensif benar-benar hanya berkutat pada peningkatan padat penebaran yang tinggi, penggunaan pakan berkualitas dan cukup, serta pengunaan kincir dan pompa air. Budi daya udang intensif hanya sebatas upaya meningkatkan produksi maupun pembukaan lahan baru untuk pertambakan. Karena itu, budi daya udang intensif tidak hanya merusak ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi tambak, tetapi meningkatkan pencemaran di pantai dan munculnya serangan penyakit udang yang merata di seluruh kawasan, hingga seluruh dunia (Kordi, 2010).

Budi daya udang intensif juga menghasilkan udang yang membawa residu bahan kimia berbahaya yang tidak baik untuk kesehatan manusia. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida anorganik untuk pemberantasan hama dan penanggulangan penyakit memunculkan masalah baru dalam budi daya udang. Permasalahan yang menghancurkan industri perudangan Indonesia pada tahun 1995-1997 itu kemudian memunculkan inovasi-inovasi baru dalam budi daya udang maupun akuakultur secara umum. Sistem budi daya udang organik, bandeng organik, polikultur rumput laut, bandeng, dan sebagainya adalah bagian dari inovasi untuk bertahan dalam usaha budi daya udang. Menurut Kordi (2010) sistem tambak dapat dibagi menjadi

2.1.1. Sistem ekstensif

Budi daya udang sistem ekstensif atau tradisional masih mendominasi tambak-tambak rakyat di Indonesia. Sistem ini memang sangat sederhana, sehingga pengelolaannya tidak rumit namun hasilnya memang sangat rendah,


(19)

antara 50-500 kg/ha/musim tebar. Pengelolaannya bergantung pada kemurahan alam. Tambak berisi beragam spesies udang dan ikan laut. Berkembang lebih lanjut, tambak tradisional mulai diberi pupuk dan udang di tambak diberi pakan tambahan secara tidak teratur. Pengelolaan tambak tradisional terus mengalami perkembangan yang dikenal sebagai tambak tradisional plus, dimana persiapan tambak sudah dilakukan dengan pengeringan, pengapuran, dan pemupukan. Penebaran dengan menggunakan benih berukuran seragam dengan kepadatan 8-10 ekor/m2. Pemberian pakan dilakukan tidak teratur. Namun, hasil panen dapat ditingkatkan hingga mencapai 500-600 kg/ha/musim setelah pemeliharaan 7-8 bulan. Jika predator di tambak dapat dikurangi, maka hasil panen dapat mencapai 700 kg.

2.1.2. Sistem Semi-Intensif

Budi daya udang sistem semi-intensif atau madya merupakan sistem yang sudah maju. Persiapan tambak mengikuti pola umum yaitu: pengeringan, pembajakan, pemupukan, dan pengapuran. Padat penaburan antara 15-20 ekor/m2 untuk udang windu dan 25-40 ekor/m2 untuk udang vanname. Untuk pengelolaan air, tambak dilengkapi dengan pompa air dan kincir. Pemberian pakan dilakukan secara berkelanjutan sebanyak 2-3 kali sehari. Pakan yang diberikan berupa pelet yang mengandung protein 30-40%. Udang juga diberi pakan tambahan berupa udang rebon dan ikan rucah yang dicacah secukupnya. Dengan pengelolaan yang lebih baik, hasil panen tambak intensif mencapai 2-3 ton/ha/musim.

2.1.3. Sistem Intensif

Budi daya udang secara intensif menerapkan padat penebaran tinggi dan pengelolaan optimal. Padat penebaran udang windu antara 30-50 ekor/m2 dan udang vanname antara 40-100 ekor/m2. Pemberian pakan dilakukan 4-6 kali sehari. Hasil panen yang diharapkan adalah 4-8 ton/ha/musim untuk udang windu dan 10 ton untuk udang vanname. Perkembangan budi daya udang intensif di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1980-an. Pada awal tahun 1990-an, tambak intensif di Indonesia sudah menerapkan padat penebaran antara 30-0 ekor/m2. Namun, padat penebaran yang tinggi tersebut mulai memunculkan masalah, yaitu


(20)

7

7 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

pencemaran perairan pantai, penyakit udang, dan rendahnya kelangsungan hidup (survival rate).

Semakin tinggi padat penebaran makin lambat pertumbuhan udang. Pada padat penebaran sampai 40.000 ekor/ha belum memerlukan kincir air, padat penebaran sampai dengan 75.000 ekor/ha cukup 1 kincir air, sedangkan untuk padat penebaran di atas 30.000 ekor/ha perlu 8-10 unit kincir air/ha. Padat penebaran rendah umumnya udang tetap sehat dan jarang terserang penyakit. Sebaliknya pada padat penebaran di atas 300.000/ha, kasus gangguan fisik dan penyakit sangat tinggi.

2.1.4. Sistem Super Intensif

Sistem super intensif merupakan sistem budi daya yang menerapkan padat penebaran sangat tinggi. Pada sistem ini udang windu dapat ditebar 50-80 ekor/m2, sedangkan udang vanname antara 100-150 ekor/m2. Hasil panen yang diharapkan adalah 6-10 ton untuk udang windu dan 12-16 ton untuk udang vanname. Namun dengan pengelolaan yang optimal, pada udang vanname padat penebarannya dapat ditingkatkan hingga mencapai 500 ekor/m2. Budi daya udang super intensif membutuhkan pengelolaan yang super dan penggunaan teknologi yang memadai. Kontrol kualitas air dilakukan super ketat dengan menggunakan peralatan-peralatan laboratorium yang maju. Perkerjaan tersebut harus dilakukan oleh tenaga-tenaga terlatih dan berpengalaman.

2.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia

Meningkatnya daya beli masyarakat di negara-negara maju mengubah pola konsumsi bahan pangan ke arah bahan pangan yang lebih bermutu dan bergengsi. Jika pada awalnya udang tergolong bahan pangan „mewah‟ pada akhirnya dapat terjangkau oleh masyarakat negara maju. Sehingga kecenderungan peningkatan permintaan udang di pasaran internasional sudah tampak nyata. Bagi kebanyakan negara berkembang yang memiliki sumber daya udang, menguatnya harga udang di pasaran internasional secara langsung mempengaruhi pula jumlah pendapatan ekspornya. Akrabnya konsumen di negara maju terhadap udang tidak terlepas pula dari mutu udang itu sendiri (Murty, 1991).


(21)

Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam budi daya udang pada tahun 1994-an. Tahun 1994, produksi udang windu budi daya mencapai 250.000 ton/tahun. Produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai produsen udang windu terbesar di dunia. Namun dengan cepat produksi udang windu Indonesia mengalami penurunan dan menuju pada titik kehancuran (Kordi, 2010).

Jepang dan Amerika Serikat adalah negara pangsa pasar udang terbesar di dunia. Pemerintah Amerika Serikat memiliki satu badan yaitu FDA (Food and Drug Administration), dalam upaya melindungi kepentingan konsumen di negaranya. Peraturan dan pemeriksaan khususnya terhadap produk pangan terbilang ketat dan tidak pandang bulu. Indonesia pun tak luput dari penahanan FDA. Pada tanggal 18 Maret 1983, 09 Juni 1983, dan 06 Agustus 1984 Jepang melakukan penahanan terhadap udang beku karena ditemukannya Vibrio cholera (Murty, 1991).

Udang yang telah terkontaminasi bakteri patogen jelas tidak memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi. Menurut Murti (1991), apabila kita mengkaji titik pangkal terjadinya penahanan produk udang yang diproduksi di negara-negara berkembang, kemungkinan disebabkan oleh:

- penggunaan prasarana dan sarana pengolahan udang yang kurang memenuhi persyaratan higenis pengolahan;

- penggunaan bahan baku atau bahan oleh udang yang kurang terjamin kesegarannya;

- faktor lingkungan kerja yang kumuh;

- kurangnya disiplin kerja, seperti sering diabaikannya penggunaan sarung tangan dan penutup mulut serta hidung.

Untuk mencapai mutu produk hasil perikanan yang dapat diterima secara internasional, FAO/WHO telah menetapkan syarat-syarat penanganan dan pengolahan hasil perikanan yang dituangkan dalam Codex Alimentarius. Tujuan yang sama agar produk perikanan Indonesia dapat diterima di pasaran internasional, Direktorat Jenderal Perikanan-Departemen Partanian R.I., mengeluarkan pula panduan yang disebut Syarat-syarat Teknik dan Higiene dalam Unit Pengolahan Hasil Perikanan (Murty, 1991).


(22)

9

9 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Tabel 2.1. Perkembangan volume ekspor udang Indonesia tahun 2000-2006 (dalam ton)

Negara

Tujuan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jepang 54.064 59.559 59.618 60.235 48.623 46.051 50.581

USA 16.216 16.153 16.837 21.901 49.966 50.698 61.235

Uni Eropa 17.833 20.056 16.140 23.689 26.317 27.179 35.232 Sumber: Murty, 1991

Dalam beberapa tahun terakhir ini, nilai ekspor udang di pasar dunia cenderung mengalami penurunan, karena muncul berbagai hambatan perdagangan seperti isu dumping, isu lingkungan, serta persyaratan mutu yang dikemas dalam berbagai macam aturan seperti zero tolerance terhadap residu antibiotik, Bioterrorism Act, dan Traceability (Putro, 2008).

2.3 Penyebab Penurunan Ekspor Udang Indonesia 2.3.1 Penurunan Kualitas Air

Kualitas air tambak mengalami penurunan disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal (di dalam tambak) seperti pengelolaan air, pakan, kepadatan dan lain-lain, maupun faktor eksternal (di luar) seperti cuaca dan sumber air. Kordi (2010) mengemukakan beberapa faktor penyebab menurunnya kualitas air.

2.3.1.1. Padat Penebaran

Daya dukung atau mutu lingkungan berpengaruh nyata pada kehidupan udang yang dimanifestasikan pada kesehatan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Kondisi berjejal di dalam tambak yang ditimbulkan oleh padat penebaran tinggi, berpengaruh nyata pada pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kesehatan udang. Padat penebaran juga berpengaruh nyata dengan penurunan kualitas air. Semakin tinggi padat penebaran semakain cepat penurunan kualitas air, sehingga pada tambak yang menerapkan padat penebaran tinggi membutuhkan pengelolaan kualitas air yang ekstra. Pada tambak tradisioonal yang menerapkan padat penebaran rendah, kurang dari 5.000 ekor/ha tidak memerlukan pengelolaan air yang ketat, seperti tidak perlu pegantian air yang sering dan tidak perlu kincir. Di Indonesia, tambak intensif menerapkan padat penebaran antara 40.000-400.000


(23)

benih/ha (udang vanname dapat ditebar 1.000.000-5.000.000 benih/ha), tetapi tingginya padat penebaran tersebut berbanding lurus dengan mortalitas (kematian), artinya semakin tinggi padat penebaran, semakin tinggi mortalitasnya. Mortalitas yang tinggi ini terkait dengan daya dukung tambak, termasuk kualitas air. Tingginya mortalitas (rendahnya kelangsungan hidup/survival rate) udang windu dan semakin kecilnya ukuran hasil panen sejalan dengan peningkatan padat penebaran. Dari segi ekonomi, padat penebaran sekitar 250.000 ekor/ha dianggap baik, namun tidak boleh melupakan kondisi tambak.

2.3.1.2. Pakan yang Berlebihan

Pengelolaan pakan sangat penting dalam budi daya udang, bukan saja karena merupakan biaya pengeluaran terbesar (55-70% total biaya produksi), melainkan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas air tambak dan lingkungan sekitarnya (Cholik et al. 1988 dalam Sudradjat et al. 1998). Menurut Poernomo (1997) bahwa budi daya udang dengan kepadatan 16 ekor/m2 dan pemberian pakan 2,5-5% dari bobot biomassa/hari dapat meningkatkan kandungan bahan organik total dari 10,0 ppm menjadi 29,5 ppm dan ammonia dari 0,7 ppm menjadi 4,5 ppm setelah 14 minggu pemeliharaan. Masukan bahan organik terbesar di tambak berupa senyawa nitrogen, berasal dari pakan 93%, selebihnya dari pupuk 2% dan bahan lain yang terbawa air dan masuk ke petakan tambak sekitar 5%. Dengan begitu, pada tambak intensif, kualitas air cepat mengalami penurunan karena jumlah pakan yang diberikan kepada udang sangat banyak. Kualitas air cepat mengalami penurunan bila sisa pakan yang tertimbun sangat besar. Bila penimbunan pakan di dasar tambak tidak segera diantisipasi, maka sebagai bahan organik akan terjadi proses dekomposisi. Proses dekomposisi membutuhkan sejumlah besar oksigen. Kebutuhan oksigen ini semakin besar dengan makin meningkatnya kandungan limbah dari bahan organik (di dalamnya termasuk sisa pakan) tersebut. Bila suplai oksigen tidak cukup, kondisi anaerobik pada dasar tambak tak dapat dihindarkan. Tentu ini sangat membahayakan udang budi daya yang memang sebagian besar aktivitasnya di dasar tambak. Lebih buruk, kondisi anerobik ini menghasilkan senyawa beracun seperti ammonia, nitrit, dan H2S.


(24)

11

11 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

2.3.1.3. Akumulasi Bahan Organik

Menumpuknya bahan organik pada tambak semi-intensif dan super intensif memang tidak bisa dihindari. Sisa pakan, kotoran udang, organisme dan plankton yang mati serta material organik berupa padatan tersuspensi maupun terlarut yang terangkut lewat pemasukan air (inflow water) merupakan sumber bahan organik di tambak udang. Input bahan organik ini semakin bertambah sejalan dengan aktivitas budi daya udang, sebab tuntutan kebutuhan pakan udang mengikuti pertumbuhan biomassanya. Tentu akumulasi bahan organik ini lebih besar dengan semakin tingginya padat tebar per luasan tambak. Konsekuensinya, padat tebar yang tinggi akan menuntut kemampuan manajemen teknis yang tinggi pula di samping menimbulkan resiko yang lebih besar, terutama karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan budi daya udang tersebut.

Selama ada bahan organik, selama itu pula proses dekomposisi berlangsung. Bahan-bahan organik kompleks, seperti karbohidrat, protein, dan lemak, oleh bakteri-bakteri heterotrofik dipecah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Tahap berikutnya, senyawa sederhana berupa bahan anorganik oleh baktri autotrofik dirombak menjadi senyawa-senyawa yang tidak berbahaya lagi bagi udang. Contohnya, melalui proses nitrifikasi, ammonia (NH3) dioksidasi

menjadi nitrit (NO2) oleh bakteri aerob autotrofik Nitrosomonas, selanjutnya nitrit

dioksidasi menjadi nitrat (NO3) oleh Nitrobacter. Tahap lebih lanjut, nitrat akan

direduksi menjadi unsur N oleh bakteri denitrifikasi lewat proses denitrifikasi.

2.3.2. Penyakit

Penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang udang budi daya tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi inang (udang) dan adanya patogen. Dengan demikian, timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak seimbang antara lingkungan, inang (udang) dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress pada udang, sehingga


(25)

mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang penyakit (Kordi, 2010).

Dalam pembudidayaannya penyakit udang dapat menyerang udang dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan kematian udang, sehingga kerugian yang ditimbulkannya pun sangat besar. Kerugian yang ditimbulkannya bergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) umur udang yang sakit (udang yang terserang penyakit); (2) persentase populasi yang terserang penyakit; (3) parahnya penyakit; dan (4) adanya infeksi sekunder. Menurut Kordi (2010) beberapa virus dan bakteri yang menyerang udang adalah

2.3.2.1.Virus

Virus umum yang menyerang udang dan sangat mematikan adalah WSSV (White Spot Syndrom Virus), IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus), TSV (Taura Syndrom Virus), dan IMV (Infectious Myonecrosis Virus). Dua virus pertama menyerang udang windu dan udang putih diberbagai negara Asia, termasuk di Indonesia pada sekitar tahun 1993. Sementara TSV dan IMV merupakan virus yang masuk ke Indonesia melalui udang vanname. TSV pertama kali ditemukan tahun 1992 di muara sungai Taura, Guayaquil, Equador. Virus ini sangat mematikan dan menyerang benih udang di hatchri maupun tambak pembesaran, dan umunnya terjadi pada akhir ganti kulit tubuh yang banyak bekas luka yang menghitam. Di Indonesia, TSV pertama kali ditemukan tahun 2003 di Situbondo, Jawa Timur, sedangkan virus myo masuk ke Indonesia pda akhir tahun 2006 yang diduga terbawa oleh indukan vanname dari Amerika Serikat.

2.3.2.2. Bakteri

Bakteri yang ditemukan menyerang udang budi daya antara lain: Vibrio harveyii, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V cambelii, V. anguillarum, V.costicola, V. mimicus, Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Mycobacterium sp., Flavobacterium sp., Filamentous bacteri, Aerococcus viridatus, Acid-fast bacteria, Benekea sp., Pasteurella sp., Morella sp., Acromobacter sp., Yersinia sp., dan Leucotrix sp.. Dari beberapa jenis bakteri tersebut Vibrio sp. penyebab kunang-kunang dianggap


(26)

13

13 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

paling berbahaya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penyakit kunang-kunang bersifat patogen pada larva bila populasinya mencapai 104 sel/ml. Udang yang diserang mulai dari fase zoea, mysis, pra larva dan post larva. Stadium yang paling sensitif terhadap infeksi kunang-kunang adalah stadium zoea. Sedangkan pada stadium nauplius, larva belum mempunyai saluran pencernaan dan belum melakukan aktivitas makan, sehingga penyakit kunang-kunang hanya menempel pada permukaan tubuh.

Udang yang terinfeksi penyakit ini dapat dikenali dari larva kelihatan menyala apabila diamati pada saat keadaan sekelilingnya gelap terutama malam hari, keadaan larva lemah, tidak aktif berenang dan nafsu makan berkurang, terlihat bercak-bercak di bagian badannya. Bagian tubuh udang yang terinfeksi adalah hepatopankreas. Pada penyerangan tingkat awal, hepatopankreas mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan. Sedangkan pada penyerangan yang lebih parah, warna berubah menjadi cokelat kehitaman. Serangan kunang-kunang kini sangat ganas dan terjadi secara cepat, dalam waktu 3 hari dapat memusnahkan larva. Penyakit kunang-kunang ini resisten terhadap beberapa jenis antibiotik, seperti Chloramphenciol, Kanamycin, Streptomycin dan Erythromycin. Sehingga sangat beralasan bila penggunaan antibiotik untuk menekan kasus kunang-kunang belum ditemukan dosis yang efektif dan ampuh.

2.3.3.Penggunaan Antibiotik

Berbagai usaha penanggulangan penyakit udang telah banyak dilakukan, diantaranya dengan pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik dalam penanganan penyakit udang dapat menyebabkan resistensi pada bakteri, menimbulkan residu antibiotik dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif biokontrol dalam penanggulangan penyakit udang yang bebas bakteri patogen dan residu antibiotik yang sesuai syarat mutu produk pangan (Kordi, 2010).

Antibiotik adalah bahan organik yang berasal dari mikroba yang dapat merupakan racun ataupun dapat menghambat pertumbuhan organisme lain. Nilainya yang tinggi dalam pengobatan penyakit menular terutama bergantung pada daya racun yang selektif, yang ditujukan kepada penyebab penyakit, tetapi


(27)

tidak kepada inang yang kena infeksi. Penemuan antibiotik adalah empiris, dan cara tindakannya yang khusus terhadap organisme yang rentan itu baru ditantukan jauh kemudian. Telah dibuktikan sekarang bahwa banyak golongan antibiotik memperlihatkan daya racunnya yang selektif itu karena kenyataan bahwa sasarannya itu ialah sktruktur (atau fungsi) yang khusus baik bagi sel prokariotik maupun bentuk eukariotik (Stanier et al. 1982).

Sejumlah besar antibiotik menggangu langkah-langkah sintetis protein, dan banyak yang khususnya menghambat fungsi baik ribosom 70S (khas bagi prokariota) maupun ribosom 80S (khas bagi eukariota). Akan tetapi, karena ribosom kloroplast dan mitokondria dalm fungsinya sama dengan ribosom prokariotik, maka sintesis protein pada organel eukariotik juga dapat dipengaruhi. Akan tetapi, konsentrasi antibiotik yang diperlukan untuk mempengaruhi kegiatan mitokondria atau kloroplast itu jauh lebih tinggi daripada yang perlu untuk menghambat pertumbuhan bakteri, mungkin sekali karena bagian luar membran organel ini meletakkan penghalang yang sebagian dapat ditembus (Stanier et al. 1982).

2.3.4. Patogen Oportunis

Bakteri patogen oportunis pada tambak udang ialah bakteri yang ada bukan secara alamiah di perairan tambak, tapi masuk ke tambak akibat tercemarnya lingkungan dengan limbah manusia. Beberapa diantaranya ialah Coliform, E. coli, Salmonella sp. Staphylococcus aureus dan Vibrio (Harish et al. 2003; Hatha et al. 2003). Biasanya bakteri yang menyebabkan kematian pada budidaya udang windu adalah bakteri genus Vibrio sp. Dan setelah diidentifikasi didapatkan 5 spesies bakteri Vibrio yakni bakteri V. harveyii, V. mimicus, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. splindidus dari benih yang diperoleh dari panti benih di Kabupaten Barru pada organ hepatopankreas dan haemolymphnya (Nurjanna, 2003).

Menurut FAO (2010), jalur yang memnungkinkan kontaminasi Salmonella pada system aquakultur yaitu


(28)

15

15 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Selama musim penghujan, meningkatkan aliran bahan organik ke dalam kolam memungkinkan terjadinya kontaminasi ke sistem akukultur

b. Hewan (hewan domestik, katak, hewan pengerat, burung, serangga, reptil, dsb) Pembuangan beragam hewan berpotensi sebagai sumber Salmonella. Pembuangan hewan masuk melalui pembuangan burung yang sedang terbang dan katak yang hidup di sekitar kolam

c. Pemupukan kolam

Pada beberapa sistem akuakultur pupuk hewan digunakan untuk menstimulasi produksi alga. Penggunaan pupuk non-composted dapat menuju produksi sistem yang terkontaminasi Salmonella.

d. Point sourcecontamination

Sebagai contoh pelepasan toilet ke dalam kolam atau berintegrasi dengan sistem peternakan dimana kandang hewan dekat dengan kolam akuakultur. e. Kontaminasi sumber air

f. Kontaminasi makanan (kondisi yang tidak higenis)

Beberapa bakteri patogen portunis dapat membentuk biofilm bukan saja pada udang, tempat pemrosesan, maupun pada permukaan substrat di perairan tambak. Biofilm merupakan sekelompok sel yang dihasilkan oleh bakteri tertentu yang bersifat tidak dapat berubah dan menutupi permukaan dengan bahan utama berupa polisakarida (Donlan, 2002). Mikroorganisme merupakan agen utama yang mengambil tempat di permukaan untuk menghasilkan biofilm (Bishop, 2007). Material non-selular seperti kristal mineral, bahan korosi, tanah liat bahkan komponen darah dalam lingkungan merupakan tempat berkembangnya biofilm selain itu juga akan ditemukan matrik biofilm. Biofilm memiliki bentuk yang beragam dan terdapat pada permukaan merupakan jaringan hidup dan dapat merusak peralatan kesehatan, industri, pipa saluran air, dan saluran mata air (Donlan, 2002; Callow & Callow, 2008). Menurut Lens et al. tahun 2003, terungkap bahwa biofilm memiliki ketahanan terhadap antibakteri, biosida dan temperatur yang tinggi.


(29)

2.4. Penggunaan Probiotik

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang sengaja dimasukkan ke dalam tmabak udang untuk memberikan efek menguntungkan bagi udang. Tujuannya adalah memperbaiki dan mempertahankan lingkungan, menekan bakteri merugikan, menghasilkan enzim yang dapat membantu system pencernaan, menghasilkan nutrisi yan bermanfaat, serta meningkatkan imunitas (kekebalan) udang. Istilah lain untuk probiotik antara lain probion, bioremedasi, sistem bakteri teruus, atau agen mikrobia. Beberapa jenis probiotik yang telah dikenal luas antara lain Spirulina, Bacillus, Lactobacillus, Alteromonas, Cellulomonas, Aerobacter, Bifdobacterium, Nitrosomonas, Nitrobacter, Rhodopseudomonas, Rhodobacter, Rhodococcus, Chromaticeae, Saccharomyces cereviciae, Tetraselmis, dan Chlorella. Untuk menekan bakteri merugikan dan mencegah timbulnya senyawa beracun, diperlukan pemberian (inokulasi) bakteri yang menguntungkan, yaitu probiotik dan pemasangan aerator. Pemberian probiotik dilakukan dengan dua cara, melalui lingkungan dan pakan. Keduanya mempunyai tujuan yang berbeda, tetapi intinya memacu pertumbuhan udang (Suprapto, 2007). Pemberian probiotik melalui lingkungan (air dan dasar tambak) bertujuan: (a) memperbaiki serta mempertahankan kualitas air tambak, mengoksidasi senyawa organic sisa pakan, kotoran udang, plankton, dan oranisme yang mati; (b) menurunkan senyawa metabolit beracun, misalnya ammonia, nitrit, dan H2S;

(c) mempercepat pembentukan dan kestabilan plankton; (d) menekan pertumbuhan bakteri merugikan; (e) penyedia pakan alami dalam bentuk flok bakteri; dan (f) menumbuhkan baktri pengurai (Rajab, 2006; Suprapto, 2007).

2.5.Bacillus sp. Sebagai Agen Biokontrol (bakteri probiotik)

Salah satu mikrob probiotik yang banyak diteliti ialah jenis Bacillus. Bacillus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk batang, memiliki endospore, bersifat motil dan tergolong dalam bakteri aerob atau fakultatif anaerob. Genus Bacillus merupakan bakteri yang sangat baik digunakan sebagai kandidat agen biokontrol karena dapat menghasilkan beberapa metabolit aktif seperti antibiotik, proteinase dan bakteriosin (Kuta et al. 2009).


(30)

17

17 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Pada tahun 1939, Rene Dubos telah mengisolasi dari tanah New Jersey suatu kultur Bacillus brevis yang membentuk suatu substansi yang mampu mematikan banyak bakteri Gram-positif. Ekstrak bebas sel yang diperoleh dari B. brevis ditemukan mengandung dua bahan aktif, yang sekarang dikenal dengan nama gramisidin dan tirosidin (Pelczar & Chan, 2005).

Spesies dalam genus Bacillus menghasilkan suatu kelompok antibiotik yang memiliki banyak sifat biologis dan kimiawi yang sama. Polimiksin dihasilkan oleh Bacillus polymyxa, sedangkan basitrasin oleh B. subtilis. Antibiotik-antibiotik ini secara kimiawi digolongkan ke dalam polipeptida. Polimiksin aktif terhadap banyak bakteri Gram-negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, yang seringkali menyebabkan infeksi pada saluran kemih atau pada orang-orang yang menderita luka bakar yang parah. Basitrasin aktif terhadap bakteri Gram-positif tetapi tidak terhadap Gram-negatif; antibiotik ini sangat beracun sehingga penggunaannya dibatasi sebagai obat luar saja. Polimiksin juga beracun bila digunakan secara internal, tetapi telah diformulasi beberapa siapan yang sesuai untuk penggunaan parenteral, yaitu melalui suntikan subkutan (di bawah kulit), intravenous (di dalam pembuluh darah) atau intramuscular (di dalam otot) (Pelczar & Chan, 2005).

Basitrasin menghambat sintesis struktur dinding sel bakteri dan dapat mempengaruhi integritas membran sitoplasma, sedangkan polimiksin merusak struktur dinding sel. Antibiotik itu bergabung dengan membrane sel, menyebabkan disorientasi komponen-komponen lipoprotein serta mencegah berfungsinya membran sebagai perintang osmotik. Basitrasin indikasi utama hanya untuk infeksi kulit, terlalu toksik untuk pemakaian parenteral efek samping (Hare, 1993).

2.6.Biofilm

Molekul organik dan ion inorganik terakumulasi dengan cepat pada permukaan

padat yang teraliri air yang membentuk lapisan yang disebut dengan “conditioning film”. Awal penempelan bakteri pada permukaan secara berkelanjutan melibatkan bagian dari sel bakteri, flagel atau eksopolisakarida, sementara sel bakteri berkeliling. Selama sinyal penempelan ulang-balik, bakteri menggunakan


(31)

motilitasnya untuk menahan kontak dengan permukaan sambil mencari apakah lokasi permukaan tersebut tepat. Pencarian ini disebut dengan chemosensoring jika bakteri lebih memilih substrat spesifik yang tersedia pada permukaan atau yang diproduksi bakteri lain. Metode translokasi permukaan yang dilakukan motilitas flagel bakteri disebut dengan mekanisme memposisikan (positioning mechanism). Motilitas dari flagel memungkinkan Escherechia coli melakukan dua hal yaitu pendekatan dan berpindah lokasi pada permukaan (Mattila, 2002).

Di alam, biofilm terdiri dari lapisan gel yang terbentuk dari multispesies mikroorganisme dan matrik yang tersusun secara tidak beraturan serta bahan-bahan organik yang terperangkap didalamnya yang melekat kuat (irreversibel) pada suatu permukaan padat. Pelekatan ke suatu material terjadi dengan

menggunakan matrik ekstrasellular (O‟Toole et al. 2001), yang terutama terdiri dari polisakarida. Sel kemudian membelah diri dalam matrik ini untuk menghasilkan sel anak. Sel anak dapat terlepas dari biofilm, kemudian akan mengkoloni permukaan dan dapat membentuk biofilm baru jika kondisi makanan mencukupi (Lappin-Scott, 1992). Dalam kondisi yang diperlakukan di

laboratorium biofilm dapat terbentuk dari satu jenis mikroorganisme (O‟Toole et al. 2001).

Awal penempelan 1 sel bakteri berdasarkan interaksi antara sel dan substrat. Pertumbuhan selanjutnya dan kematangan biofilm bergantung pada interaksi antarsel yang disebut dengan co-agregasi. Co-agregasi dapat didefinisikan sebagai pengenalan dan pelekatan antara bakteri berbeda secara genetik. Pembentukan kumpulan sel biofilm, co-agregasi, diatur dengan sistem sinyal diantara sel yang saling berkomunikasi di lokasi yang sama, entah bakteri tersebut saling berhubungan ataupun tidak. Quorum sensing merupakan sinyal antarsel, merupakan phenomena yang sangat penting dalam komunitas bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal inilah yang mengatur pembentukan biofilm (Davies et al. 1998; Whitehead et al. 2001).

Sistem Quorum sensing memainkan peranan penting dalam komunitas biofilm dewasa. Sistem sinyal mengatur transformasi morfologi bakteri ketika bakteri tersebut menjadi bagian permanen dari biofilm: sintesis pembentukan flagel berkurang dan produksi eksopilosakarida bertambah. Produksi polisakarida


(32)

19

19 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

menjadi penyokong dalam memperkuat struktur biofilm. Sel berlokasi pada senter kerumunan biofilm dan tidak bercabang atau dapat bercabang namun secara perlahan. Difusi produk bacterial dari sel ke sel lain bertanggangunjawab untuk komunikasi interselular. Alasan mengapa komunikasi metabolik, seperti quorum sensing tidak efisien pada plantonik bakteria, adalah karena difusi molekul akan terbilas air dan hanya sedikit jumlahnya yang mampu ditangkap oleh bakteri disekitarnya (Matilla, 2002).

Penempelan permanen dari bakteri ada dua tahapan: (1) reversible attachment, daya tarik transitory phycochemical; dan (2) irreversible attachment, dimana secara biologis menengahi reaksi stabilisasi. Reversible attachment berfungsi sebagai atraksi awal dari bakteri terhadap permukaan dan dikontrol dengan beberapa gaya yang saling bersaing, termasuk didalamnya hidropobik, elektrostatik, dan gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals beratraksi pada permukaan padat, sedangkan gaya hidropobik dan elektrostatik dapat menjadi aktif maupun tidak, bergantung pada sifat permukaan bakteri dan permukaan padat. Sifat permukaan padat dapat dimodifikasi dengan kehadiran conditioning film dari bahan-bahan organik. Sumber bahan-bahan organik hidropobik didekomposisi dari material organik, pengeluaran organisme hidup, atau produk litik dari organisme mati. Bahan organik yang menempel pada permukaan padat menupakan sumber nutrient bagi bakteri, khususnya pada lingkungan oligotropik dimana keberadaan nutrisi terbatas. Awal reversible attachment organisme pada permukaan dapat menjadi permanen. Irreversible attachment diawali dengan pengeluaran polimer ekstraselular dengan pelekatan bakteri yang reversible. Polimer ekstraselular menghasilkan matriks yang menyelubungi sel dan membentuk jembatan ikatan kuat terhadap permukaan padat. Perubahan dari awal pembentukan hingga kematangan biofilm berhak bukan saja pada perkembangbiakan penempelan sel namun juga berlanjut memposisikan sel-sel dari disekitarnya (Maier et al, 2009).

Efek yang ditimbulkan oleh biofilm menyangkut area yang luas yaitu (1) kehilangan energi dalam unit pemindah panas, (2) korosi logam, (3) pertumbuhan pada alat-alat rumah sakit, (4) kontaminasi pada alat pendistribusian air minum dan (5) kontaminasi permukaan alat pemerosesan makanan (Lappin-Scott, 1992).


(33)

Meskipun banyak masalah yang ditimbulkan karena keberadaan biofilm, ada beberapa keuntungan dari pertumbuhan biofilm, seperti aktivasi sludge, trickling filters atau anaerobic digesters pada industri pengolahan limbah (Matilla, 2002).

2.6.1. Beberapa Bakteri yang Mampu Membentuk Biofilm 2.6.1.1. Bacillus

Bacillus merupakan bakteri mesofilik, erobik, memiliki bentuk spora ellipsoidal hingga silindris. Peptidoglikan bakteri ini mengandung berbagai variasi peptide yang terdiri atas asam amino L-Ala-D-Glu-m-Dap-n-Ala, sedang jembatan terminal tersusun atas D karbon dari m-Dap hingga –COOH dari D-Ala (Lamanna et al. 1973). Ukuran sel Bacillus vegetatif kurang dari 0,9 µm. hidup pada pH 6.0 dalam acetyl-methylcarbinol, gelatin terhidrolisis. Bakteri tersebut menghidrolisis pati dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Dari pengamatan di bawah mikroskop didapatkan bakteri berbentuk gulungan kusut rantai panjang. Bakteri tersebut ditemukan bersamaan dengan air yang turun saat hujan ( Burrows et al. 1968).

2.6.1.2.Pseudomonas

Pseudomonas merupakan bakteri berbentuk batang dan memiliki flagella polar. Bakteri ini termasuk anggota Gram-negatif aerobik. Memiliki sifat resisten terhadap antibiotik dan desinfektan. Pseudomonas aeruginosa menghasilkan ekskret ekstraselular berwarna hijau-biru yang dapat berdifusi ke media. Bakteri ini banyak ditemukan di tanah dan alam secara umum tidak sehat. Antibiotik dari kelompok carboxypenicilin, seperti carbenicilin dan ticarcilin memiliki kemampuan melawan infeksi bakteri ini. Adapun Aminoglycodides berjenis Gentamicin dapat mencegah sintesis protein bakteri ini dan bersifal bakterisidal (Tortora et al. 1994).

2.6.1.3. Vibrio

Vibrio merupakan Gram-negatif berbentuk batang-koma (curve-rod) dengan satu flagella polar. Bakteri ini dapat bertahan di lingkungan laut dan darat setra berkoloni dalam saluran pencernaan, khususnya usus halus (Purmoko, 2007). Vibrio harveyii banyak dijumpai dalam darah kura-kura yang terserang tumor dan


(34)

21

21 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

berasosiasi dengan bakteri Gram-positif. Vibrio harveyii merupakan patogen yang signifikan pada krustacea, kuda laut dan finfish (Work et al. 2003). Bakteri ini memiliki autoinducer Nacylated homoserine lactone (OHL) yang merupakan derivat dari N-(3-hydroxybutanol)-L-homoserine lactone (Hydroxy-BHL).

2.6.1.4. Aeromonas

Aeromonas merupakan bakteri Gram-negatif, anaerobik fakultatif, batang motil, lurus, kemo-organotrofik diantara metabolism oksidatif dan fermentasi, sitokrom-oksidase, katalase-positif, mereduksi nitrit menjadi nitrat tanpa membentuk gas dan resisten terhadap vibriostatik. Tumbuh secara optimal selama 24 jam pada suhu 280C dalam medium TSA, tetapi keseluruhan strain Aeromonas dapat hidup pada suhu 420C setelah 24-48 jam (Statner et al. 1988; Taylor at al. 1999; Huys et al. 2002). Bakteri ini menghasilkan pigmen terlarut dalam medium TSA., dan memiliki protein (19-kDa) yang dapat berfungsi sebagai arginin-hydrolase, lysine decarboxylase, indole. Tidak memproduksi urease, trypthopan deaminase, ornithine decarboxylase atau H2S. Selain itu, Aeromonas dapat hidup dalam substrat yang mengandung karbon dan sumber seperti: acetate, N-acetyl-d-glucosamine, cis-aconitate. Keseluruhan strain resistan terhadap ampicillin, penicillin, clindamycin, erythromycin, spectynomicin, sulfachloropyridazine, sulfadimethoxine, tiamulin tilmicosin tylosin tetapi sensitif terhadap kanamycin, apramycin, ceftiofur, enrofloxacin, gentamycin dan neomycin. Selain itu juga mempunyai resistensi terhadap nelidixic acid, streptomycin dan tetracycline. Memproduksi cytotoxin (Hird et al. 1983; Zemelman et al. 1983; Loewy et al. 1993; Huys et al. 2002; Maueal et al. 2002 dan Aydin et al. 2004).

2.7. Beberapa Pengaruh Bakteri Patogen Terhadap Kesehatan Manusia 2.7.1. Escherichia coli

Merupakan basil berbentuk batang pendek (0,004-0,005 µm) tanpa kapsul atau spora tetapi memiliki flagella sehingga dapat bergerak. Semuanya Gram-negatif. Organisme ini selalu terdapat di dalam saluran cerna manusia sebagai flora normal tetapi dapat menyebabkan peritonitis jika isi usus memasuki rongga peritoneum. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi kandung kencing dan pyelonephritis. Galur-galur tertentu dapat menyebabkan gastroenteritis pada anak.


(35)

Akhir-akhir ini juga ditemukan bahwa kuman ini bisa mengakibatkan syok bakterimia karena invasinya yang mendadak ke dalam peredaran darah (Hare, 1993).

2.7.2. Salmonella typhi, salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, Salmonella paratyphi C

Dalam gambarannya organisme tersebut tersebut sangat mirip dengan basil koliform, tetapi beberapa diantaranya tidak memiliki flagella. Tidak satupun diantaranya yang dapat meragi laktosa. Kuman ini mencapai penderita melalui makanan, air atau susu dan menyerang jaringan limfoid pada bercak peyer usus kecil. Setelah kira-kira 12 hari masa inkubasi kuman mencapai peredaran darah. Pasien segera merasakan sakit disertai demam yang semakin tinggi dan bercak kemerahan pada kulit yang khas pada tifoid dan paratifoid. Penyebaran abses dapat terjadi pada hamper setiap bagian tubuh. Yang lebih penting adalah melemahnya dinding usus pada bercak Peyer sehingga dapat terjadi perforasi ke dalam rongga peritoneum atau pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah dinding usus. Penyakit ini dapat sembuh dalam waktu 3 minggu atau lebih. Penyembuhan terjadi secara lambat dan sering terjadi kekambuhan (Hare, 1993).


(36)

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2012-April 2013, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Central Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: neraca, water bath shaker, oven, autoklaf, inkubator bakteri, pipet serologi, mikroskop, lemari pendingin, vortex, hot plate, glass bead, stainless steel, sentrifugasi, spektrofotometer, mikro pipet dan tube. Bahan yang digunakan adalah isolat Bacillus sp. (Jamilah et al, 2009; Jamilah & Barus, 2010), bakteri patogen oportunistik, media Eosin Metylen Blue (EMB), Salmonella-Shigella Agar (SSA), Manitol Salt Agar (MSA), Sea Water Complete (SWC) cair dan padat, bufer fosfat 0.2 M, Plate Count Agar (PCA), dan media uji biokimia seperti Sulfide Indole Motility (SIM), Simmon’s Citrat Agar (SCA), Triple Sugar Iron Agar (TSIA),

Starch Agar (SA), dan larutan H2O2 3%.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan Sampel Bakteri Patogen Oportunistik

Isolat diisolasi dari tambak udang pada 3 tambak, yaitu Kecamatan Pantai Cermin 1 tambak dan Kecamatan Batubara 2 tambak. Pada lokasi tambak diambil secara random pada salah satu tambak. Sumber isolat diambil dari air, sedimen dan apusan

cotton bud pada permukaan substrat untuk deteksi sel biofilm. Sampel air diambil sebanyak 100 ml dimasukkan ke botol sampel kaca steril. Sedimen bagian paling atas diambil sebanyak 100 g, dimasukkan ke dalam botol sampel. Sampel biofilm bakteri diambil dengan mengoles bahan padat dengan cotton bud steril, permukaan sustrat dibilas sebelumnya dengan aquadest steril untuk menghindari bakteri planktonik. Cotton bud dan sampel bakteri dimasukkan ke tabung reaksi steril dan dimasukkan ke dalam kotak es, di bawa ke laboratorium. Alur kerja isolasi bakteri dapat dilihat pada Lampiran 3 pada halaman 51.


(37)

3.3.2. Penghitungan Sel Bakteri

Di laboratorium semua sampel kteri di simpan dalam lemari es (± 4 °C). Dari setiap sampel dibuat pengenceran berseri dalam larutan garam fisiologis 0,9 %, kemudian 0.1 ml larutan disebar pada media PlateCount Agar (PCA) untuk menghitung sel bakteri, kemudian media differensial dan selektif untuk mendapatkan bakteri patogen oportunistik. Isolasi E. coli dengan menyebar 0,1 ml kultur pada media Eosin Metilen Blue (EMB), Salmonella pada Salmonella-Shiegela agar, Staphyloccoccus aureus pada media Manitol Salt Agar. Konsentrasi sel pada masing-masing media selektif dihitung dalam CFU/ml. Isolat dimurnikan melalui penggoresan pada media SWC, kemudian koloni tunggal digores pada media SWC miring dan disimpan dalam lemari es sampai digunakan. Alur kerja penghitungan sel bakteri dapat dilihat pada Lampiran 3 pada halaman 51.

3.3.3. Pembentukan dan Penghitungan Sel Biofilm

Lempeng stainless stell (SS) dipotong seluas 1 cm2, dicuci dengan deterjen (tergazyme) pada bak sonikator kemudian dibilas dengan akuades, disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit, tekanan 1 atm, suhu 121°C. Lempeng ini akan digunakan untuk substrat pelekatan biofilm. Masing-masing isolat murni bakteri uji ditumbuhkan pada 100 ml media SWC dengan konsentrasi sel 108 CFU/ml, dalam labu Erlenmeyer 250 ml, setelah itu 6 lempeng SS dimasukkan ke masing-masing media pengkulturan tersebut kemudian digoyang pada kecepatan 120 rpm (water bath shaker) pada suhu ruang (28°C). Pembentukan biofilm dilihat pada periode waktu 1, 3, dan 6 hari untuk melihat perkembangan sel. Lempeng diangkat dari kultur, dibilas dengan larutan NaCl 0,9 % dimasukkan ke 9 ml buffer fosfat yang ditambah dengan 1 gram manik-manik kaca (glass bead) kemudian divortek untuk melepas sel biofilm. Sebanyak 0,1 ml kultur dalam NaCl fisiologis 0,9% sebagai pengencer kemudian disebar pada PCA, diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penghitungan. Ulangan penghitungan dibuat sebanyak 3 kali (Jamilah et al, 2004). Alur kerja pembentukan dan penghitungan sel biofilm dapat dilihat pada Lampiran 4 pada halaman 53.

3.3.4. Kurva Pertumbuhan Bacillus sp.

Sebanyak 2 koloni biakan Bacillus sp. berumur 24 jam diinokulasikan ke dalam 100 ml media SWC pada Erlenmeyer 100 ml, sambil digoyang dengan Water Bath Shaker dengan kecepatan 120 rpm. Setiap 3 jam diambil 10 ml dan diukur absorbansi sel pada panjang gelombang 620 nm (Bintarti, 2008). Kemudian dibuat kurva


(38)

25

25 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

pertumbuhannya. Alur kerja pembuatan kurva pertumbuhan Bacillus sp. dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 54.

3.3.5. Uji Tantang Sel Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji

Disediakan masing-masing kultur bakteri patogen oportunistik umur 24 jam pada larutan NaCl 0,9% 10 ml dengan kepadatan sel 107 CFU/ml, diambil dan disebar pada media SWC padat menggunakan cotton bud steril. Diusapkan hingga merata menutupi media. Disediakan kultur Bacillus sp. umur 24 jam pada larutan NaCl fisiologis 0,9 % 10 ml dengan kepadatan sel 107 CFU/ml. Diletakkan kertas cakram (d=6 mm) pada petri yang telah ditetesi sebelumnya dengan 100 µl kultur Bacillus sp.Alur kerja uji tantang sel

Bacillus sp. terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Lampiran 6 pada halaman 55.

3.3.6. Uji PenghambatanSenyawa Antimikroba Ekstrak Kasar Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji

Bakteri uji yang dipanen setiap 3 jam disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit suhu 4°C untuk memisahkan supernatan dari masa sel. Supernatan bebas sel yang diperoleh dari masing-masing sampel diuji aktivitas antimikrobanya. Sebanyak 10 µl supernatan diteteskan pada 3 kertas cakram steril (diameter 6 mm) yang diletakkan di atas permukaan media SWC yang telah disebar 1 ml kultur cair bakteri uji kepadatan 107 CFU/ml. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 33°C selama 24 jam dan dilakukan pengukuran diameter zona bening yang berbentuk di sekitar kertas cakram (Valestine, 2009). Alur kerja dapat dilihat pada Lampiran 7 pada halaman 56.

3.3.7. Pengontrolan Sel Biofilm Patogen Oportunistik dengan Senyawa Antimikroba Bacillus sp.

Supernatan ekstrak kasar bebas sel diambil, kemudian diuji aktivitas antimikroba terhadap biofilm patogen pada lempeng stainless steel inkubasi hari ke-6. 10 ml supernatant ekstrak kasar dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga merendam lempengan ss, diinkubasi selama 24 jam pada 33°C. Lempeng diangkat kemudian dibilas dengan aquadest steril sebanyak 3 kali. Dimasukkan ke dalam 10 ml NaCl 0,9% yang ditambah dengan 1 gram manik-manik kaca (glass bead) kemudian divortek untuk melepas biofilm, diencerkan hingga 107 CFU/ml. Sebanyak 0,1 ml kultur disebar pada media PCA kemudian dilakukan penghitungan. Alur kerja dapat dilihat pada Lampiran 8 pada halaman 57.


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri

4.1.1. Populasi Bakteri Pada Beberapa Tambak Udang Intensif

Hasil penghitungan Total Plate Count (TPC) terhadap sampel air dan sedimen untuk setiap tambak menunjukkan jumlah yang bervariasi. Populasi bakteri pada air dan sedimen di setiap tambak dapat dilihat pada Tabel. 4.1. berikut

Tabel 4.1. Populasi Bakteri Pada Setiap Tambak

Sumber Sampel

Jumlah Rata-rata Bakteri (CFU/ml)

Air Sedimen

Tambak Handoyo, Kec. Pantai Cermin 0,6x109 0,3x1013 Tambak Rindam, Kec. Batu Bara 0,2x1012 0,5x108 Tambak Rim, Kec. Batu Bara 0,2x1011 0,1x1010

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa populasi bakteri bervariasi pada setiap tambak. Jumlah bakteri Tambak Handoyo di sedimen lebih besar daripada di air, yaitu sebanyak 0,3x1013 CFU/ml. Jumlah bakteri Tambak Rindam dan Tambak Rim lebih tinngi di air daripada di sedimen, yaitu masing-masinng sebanyak 0,2x1012 CFU/ml dan 0,2x1011. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kondisi lingkungan dan ketersediaan baham organik yang ada di tambak. Pada tambak Handoyo jumlah bakteri pada sedimen jauh lebih tinggi daripada air, kemungkinan disebabkan kelimpahan bahan organik dan mikronutrient sisa pakan udang berumur 59 hari yang menumpuk pada permukaan sedimen. Pada tambak Rindam dan Tambak Rim jumlah bakteri lebih tinggi di air daripada sedimen, kemungkinan karena tambak belum diberi perlakuan, yaitu belum ditabur benur dan pemberian pakan, sehingga akumulasi bahan organik pada sedimen tidak ada. Bakteri pada air merupakan flora normal air yang kemungkinan terbawa pada saat air dimasukkan ke dalam tambak yang berasal dari sungai dan pantai.


(40)

27

27 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Data Tabel 4.1. memperlihatkan bahwa populasi bakteri melimpah di sedimen pada tambak yang diberi pakan (Tambak Handoyo) daripada tambak yang tidak diberi pakan (Tambak Rindam dan Tambak Rim). Hal ini kemungkinan disebabkan sisa pakan mengendap lebih banyak pada sedimen sehingga menyebabkan tingginya kandungan bahan organik yang merupakan makanan bagi bakteri. Menurut Waluyo (2009) bahan-bahan organik yang terlarut maupun yang tersuspensi dalam air merupakan bagian penting nutrisi mikroorganisme. Populasi bakteri dalam air tergantung seberapa besar perbandingan konsentrasi dan komposisi dari substansi tersebut. Senyawa organik berperan penting dalam faktor pemacu dan sebagai faktor penghambat. Biasanya ada korelasi positif antara jumlah mikroorganisme dengan konsentrasi zat-zat organik. Kemungkinan pada Tambak Rindam dan Tambak Rim konsentrasi bahan organiknya juga tinggi meskipun belum diberi pakan sehingga jumlah bakterinya pun tinggi.

Hatha et al (2003), meneliti kehadiran bakteri patogen oportunis pada tambak udang India, hasil yang didapatnya lebih kecil dari populasi bakteri pada Tabel 4.1., variasinya antara 5.7 x 104 hingga 9.4 x 104 cfu.ml-1 pada air, sedangkan pada sedimen sebesar 6.5 x 105 hingga 7..4 x 104 cfu.g-1 yang dianalisis dengan parameter Total Heterotrophic Bacterial (THB). Nayyarahamed et al (1995), juga memperoleh hasil dengan THB yaitu 102 hingga 103 cfu.ml-1 pada air dan 103 hingga 104 cfu.g-1 pada sedimen. Lakshmanaperumalsamy et al (1981), populasi bakteri heterotropik dapat hidup pada lingkungan bergantung pada ketersediaan bahan organik dan anorganik.

4.1.2. Isolasi Bakteri Patogen Oportunistik

Bakteri patogen oportunistik diisolasi dengan menggunakan media selektif dan diferensial. Jumlah bakteri patogen oportunistik pada setiap tambak dapat dilihat pada Tabel 4.2. berikut:


(41)

Tabel 4.2. Jumlah Bakteri Patogen Oportunistik Pada Setiap Tambak

Medi

a

Bakteri

Jumlah Bakteri Patogen Oportunistik Tambak Handoyo Tambak Rindam Tambak Rim

A S C A S C A S C

SSA Salmonella sp. 1,1x103 3x102 √ - 2x102 √ - 6x102 √ MSA Staphylococcus

aureus

1x102 4x103 √ 4x103 5,2x103 √ 9,7x103 2x102 √

EMB Escherichia coli - - - -

Keterangan: A=Air; S=Sedimen; C=Cotton Bud; √ = Terdapat Biofilm

Pada Tabel 4.2. menunjukkan jenis bakteri oportunistik yang terdapat pada ketiga tambak yang diisolasi dengan menggunakan media selektif, kemudian dilakukan karakterisasi fisiologisnya. Dapat disimpulkan bahwa pada ketiga tambak terdapat bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan tidak terdapat bakteri Escherechia coli, sehingga pada penelitian ini digunakan E. coli koleksi laboratorium. Salmonella tidak terdapat pada sampel air yang berasal dari tambak Rindam dan tambak Rim, namun terdapat pada sedimen. Cotton bud yang diusapkan pada media selektif memperlihatkan pertumbuhan koloni mengikuti pola gores sinambung, menunjukkan bahwa Staphylococcus dan Salmonella dapat menempel pada permukaan benda pada tambak yang diduga sebagai biofilm.

Pada media SSA bakteri Shigella juga tumbuh dengan baik, cara membedakan koloninya dengan bakteri Salmonella yaitu dengan warna koloni pada media. Pada inkubasi berumur 48 jam koloni bakteri Salmonella akan berwarna hitam karena bakteri Salmonella menghasilkan gas H2S dan media pun

berubah warna dari merah menjadi kuning tua. Koloni bakteri Staphylococcus pada media MSA membentuk zona halo berwarna kuning dan Escherechia coli berwarna hijau metalik pada media EMB. Koloni bakteri tersebut diinokulasikan ke media Sea Water Complete (SWC) untuk mendapatkan isolat murni. Setelah itu dilakukan uji pewarnaan Gram, karakterisasi dan uji biokimia.

Pada krustasea maupun biota lain yang dikonsumsi oleh manusia, tidak diperbolehkan terdapat bakteri Salmonella, karena dapat mengakibatkan demam enterik, septikemia dan gastroenteritis. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada lingkungan perairan budidaya biota laut dan kehidupan biota laut harus diupayakan bebas dari bakteri Salmonella spp.. Keberadaan Salmonella mengindentikasikan air tambak telah tercemar. Menurut FAO (2010) jalur yang memungkinkan kontaminasi Salmonella pada sistem akukultur yaitu, pembuangan


(42)

29

29 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

hewan seperti burung atau katak yang hidup di sekitar kolam, sistem peternakan yang dekat dengan sistem akukultur, penggunaan pupuk hewan yang digunakan untuk menstimulasi produksi alga, dan selama musim penghujan yang meningkatkan aliran bahan organik ke dalam kolam memungkinkan terjdinya kontaminasi ke sistem akuakultur. Dapat diamati dari lingkungan tambak seperti Tambak Handoyo yang berada di tepi pantai yang penduduknya berprofesi sebagai peternak unggas seperti ayam dan bebek, Tambak Rindam berada di tepi muara Sungai Rindam dimana kontaminasi Salmonella ke dalam air sungai dapat berasal dari mana saja, termasuk dari pemukiman yang berada di dekat sungai, dan di tambak Rim, sekalipun jauh dari pemukiman, tambak dikelilingi hutan mangrove yang merupakan habitat hewan berdarah panas seperti burung.

Data Tabel 4.2. menunjukkan bahwa pada ketiga tambak tidak terdapat bakteri Escherechia coli, kemungkinan karena penggunaan probiotik seperti EM4® dengan penggunaan sebelum penebaran benur dan pada saat pertumbuhan.

Probiotik EM4®merupakan kultur EM (Efektif Mikroorganisme) dalam medium

cair berwarna coklat kekuning-kuningan yang menguntungkan, yang berguna untuk meningkatkan bakteri pengurai bahan organik, menekan pertumbuhan bakteri patogen, menstimulasi enzim pencernaan, memfermentasi sisa pakan, kotoran, cangkang, dan meningkatkan kualitas air pada tambak serta menekan pertumbuhan Escherechia coli. Efektif mikroorganisme merupakan gabungan atau campuran dari berbagai bakteri bermanfaat yang terdiri dari Lactobacillus yang dominan, merupakan bakteri asam laktat, bakteri fotosintesis yang berfungsi membentuk zat-zat yang bermanfaat, ragi/khamir, dan Actinomycetes yang menghasilkan aktivitas selulase (http://www.em4indonesia.com/). Sedangkan keberadaan Salmonella sp. dan Staphylococcus aureus diduga resisten atau tidak mampu dihambat oleh EM4®.

4.2. Uji Potensi Bacillus sp. terhadap Bakteri Patogen Oportunistik

Isolat Bacillus diuji potensinya dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen oportunistik dengan uji tantang sel terhadap sel dengan menggunakan kertas cakram (diameter=6 mm). Uji penghambatan terhadap bakteri patogen oportunistik dapat dilihat pada Tabel 4.3. berikuTabel 4.3. Aktivitas


(43)

Penghambatan Isolat Bacillus sp. B1, B4, B9, B11, dan B12, Terhadap Bakteri Uji dengan Metode Cawan Sebar

Isolat

Diameter Zona Bening (mm)

E. coli Salmonella sp. Staphylococcus

aureus

B1 - 2 1

B4 - 1 -

B9 2 2 3

B11 - 2 -

B12 - 5 3

Tabel 4.3. menunjukkan kemampuan isolat Bacillus dalam menghambat bakteri patogen oportunistik dengan diameter zona bening yang berbeda-beda. Senyawa antimikroba yang dihasilkan Bacillus mempunyai spektrum penghambatan yang luas, karena dapat menghambat bakteri Gram negatif dan Gram positif. Dari Tabel 4.3. Menunjukkan bahwa hanya isolat Bacillus sp. B9 yang mampu menghambat E. coli dengan diameter zona bening sebesar 2 mm, semua isolat Bacillus mampu menghambat pertumbuhan Salmonella sp. dengan diameter zona bening yang berbeda-beda dan diameter paling besar oleh isolat Bacillus sp. B12 yaitu 5 mm. Isolat Bacillus yang mampu menghambat Staphylococcus yaitu isolat Bacillus sp. B1 dengan diameter terkecil yaitu 1 mm, kemudian Bacillus sp. B9 dan Bacillus sp. B12 dengan diameter yang sama yaitu 3 mm.

Isolat Bacillus sp. B12 mampu menghambat Salmonella dengan zona hambat terbesar yaitu 5 mm. Dalam pengamatan pada petri terdapat 2 bagian zona bening yaitu bagian yang tegas sebesar 3 mm dan bagian yang kurang tegas 2 mm. pinggiran yang tegas diduga merupakan metabolit bakterisidal yang mampu membunuh sel bakteri uji, sementara zona hambat dengan pinggiran kabur diduga merupakan metabolit aktif yang bersifat menghambat pertumbuhan sel bakteri uji (Harahap, 2013).

Senyawa antimikroba Bacillus secara berurutan mampu menghambat Salmonella, Staphylococcus, kemudian E. coli. Penelitian Kuta et al (2009) mengisolasi 12 isolat Bacillus dari 16 sampel tanah di Negeria menunjukkan bahwa senyawa antimikroba secara berurutan mampu menghambat Salmonella,


(1)

Lampiran 7. Uji Penghambatan Senyawa Antimikroba Ekstrak Kasar

Bacillus sp. Terhadap Bakteri Uji

dipanen setiap 3 jam sebanyak 10 ml

disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit suhu 4° C

diambil sebanyak 10 µl supernatan diteteskan pada 3 kertas cakram steril (diameter 6 mm) diletakkan di atas perrmukaan media SWC padat yang telah disebar 1 ml kultur cair bakteri uji kepadatan 107 CFU/ml

diinkubasi pada suhu 33° C selama 24 jam diukur zona bening

Bakteri Uji dalam SWC cair

Supernatan ekstrak kasar

Hasil


(2)

55

Lampiran 8. Pengontrolan Sel Biofilm Patogen Oportunistik dengan Senyawa Antimikroba Bacillus sp.

dimasukkan ke dalam tabung reaksi

ditambahkan 10 ml senyawa antimikroba ekstrak kasar Bacillus sp.

diinkubasi selama 24 jam pada suhu 33° C

diangkat lempeng kemudian dibilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril

dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 10 ml NaCl 0,9 % dan 1 gram manik-manik kaca divortek untuk melepas biofilm

diencerkan

diinokulasikan 0,1 ml pada media Plate Count Agar

dilakukan penghitungan Lempeng stainless

steel inkubasi 6 hari

0,1 ml kultur

Hasil


(3)

Lampiran 9. Foto Tambak Udang Intensif

1. Tambak Handoyo di Kecamatan Pantai Cermin

2. Tambak Rim di Kecamatan Batubara


(4)

57

Lampiran 10. Foto Alat

Neraca Water Bath Shaker

Oven Autoklaf

Inkubator Bakteri Mikro pipet dan tip


(5)

Lampiran 11. Gambar Hasil Penelitian

a. Isolasi Bakteri Pada Media Differensial dan Selektif

Cotton bud yang diusapkan pada permukaan padat di tambak dan diusap pada (a) media MSA; (b) media SSA; isolasi bakteri pada (c) media MSA (d) media SSA.

a

c d


(6)

59

b. Uji Biokimia

(a) Uji hidrogen sulfida dan fermentasi gula; (b) uji sitrat; (c) uji gidrolisa gelatin; (d) hidrolisa pati pada Escherechia coli.

a b

c

d