Aktivitas antimikroba ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap beberapa bakteri patogen

(1)

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JAHE (

Zingiber

officinale

Roscoe) TERHADAP BEBERAPA BAKTERI PATOGEN

SKRIPSI

SARAH FATHIA

F24061987

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF GINGER EXTRACT (Zingiber officinale

Roscoe) AGAINST SEVERAL PATHOGEN BACTERIAL

1)

Siti Nurjanah and

1)

Sarah Fathia

1)

Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java

Department of Food Sience and Technology, Faculty of Agricultural Technology

Indonesia

ABSTRACT

Foodborne diseases caused by the microbial pathogens are globally recognized

as hazards to the human health. Ginger (Zingiber officinale Roscoe) is commonly

used as traditional medicine. It has a potential as antimicrobial agent by inhibit or

kill microbes in dose dependent manner. The principle compounds of ginger are

essential oils and non volatile compounds which maximum have antimicrobial

activity. The objectives of this research are: (1) to study the yield of ginger extracts

by multistage maceration with different polarity solvents, (2) to study antimicrobial

activity of hexane, ethyl acetate and ethanol extract of ginger against foodborne

pathogen such as Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and Salmonella enterica

serovar Typhimurium. Ginger extracts were prepared by multistage maceration

method using solvent hexane, ethyl acetate and ethanol. The ginger extracts were

assayed for antimicrobial activity by agar well diffusion method with Diameter

Inhibition Zone (DIZ) and dillution broth method. The yield of hexane, ethyl acetate

and ethanol ginger extracts from multistage maceration were respectively 3,57;

3,17; 3,02 g/100 g dry ginger. The DIZ value for Staphylococcus aureus were 5,0;

5,7; 1,3 mm with hexane, ethyl acetate and ethanol ginger extracts respectively 6,1;

6,6; 6,0 mm for Bacillus cereus and Salmonella Typhimurium were show no

inhibitory zone. This results showed that the ginger extracts from multistage

maceration have a weak antimicrobial activity (1,3 – 6,6 mm) against Gram-positive

bacterial. The inhibition activity was determined for ethyl acetate ginger extract that

showed the relatively highest inhibition zone. The minimum inhibition concentration

did not reach in a range concentration between 5 – 20 mg/ml against

Staphylococcus aureus and Bacillus cereus, therefore ginger extracts from

multistage maceration with rotavapor temperature 50

o

C and freeze dry process

were not efficient to developed as natural antimicrobial.

Keywords: ginger extract, antimicrobial activity, Staphylococcus aureus, Bacillus

cereus, Salmonella enterica serovar Typhimurium


(3)

SARAH FATHIA. F24061987. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (

Zingiber

officinale

Roscoe) Terhadap Beberapa Bakteri Patogen. Di bawah bimbingan Siti

Nurjanah, STP MSi. 2011.

RINGKASAN

Kebutuhan pangan masa depan menghendaki penggunaan pengawet pangan yang

berasal dari sumber alami. Pemanfaatan jahe (Zingiber officinale Roscoe) telah

banyak digunakan dalam pengobatan tradisional disebabkan kandungan komponen

bioaktifnya.

Penelitian kajian antimikroba jahe telah banyak dilakukan terhadap bakteri,

kapang maupun khamir tetapi belum ada publikasi aktivitas jahe dalam menghambat

bakteri

Staphylococcus aureus,

Bacillus cereus dan

Salmonella enterica serovar

Typhimurium. Hasil analisis pemetaan kajian antimikroba yang dilakukan oleh

Mawaddah (2008) terhadap hasil penelitian yang dipublikasikan di PITP – IPB

(Pusat Informasi Teknologi Pertanian) memberikan rekomendasi berkaitan dengan

aktivitas antimikroba jahe yang belum lengkap yaitu belum adanya penelitian yang

menggunakan oleoresin jahe yang diperoleh dari hasil ekstraksi. Penelitian ini

bertujuan mempelajari aktivitas antimikroba ekstrak heksan, etil asetet dan etanol

jahe terhadap beberapa bakteri patogen pangan yaitu

Staphylococcus aureus,

Bacillus cereus dan Salmonella enterica serovar Typhimurium.

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: (1) ekstraksi jahe dengan

pelarut (heksan, etil asetat, etanol) menggunakan maserasi bertingkat, (2) menguji

aktivitas antimikroba ekstrak jahe pada bakteri

Bacillus cereus, Staphylococcus

aureus, Salmonella enterica

serovar Typhimurium dengan menggunakan metode

difusi sumur dan metode dillution broth. Pada penelitian ekstraksi dengan maserasi

bertingkat menggunakan beberapa jenis pelarut dihasilkan rendemen ekstrak jahe

dengan menggunakan pelarut heksan sebesar 3,57 % (w/w), rendemen ekstrak jahe

dengan menggunakan pelarut etil asetat sebesar 3,17 % (w/w) dan rendemen ekstrak

jahe dengan menggunakan pelarut etanol sebesar 3,02 % (w/w).

Ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dengan

maserasi bertingkat menghasilkan diameter penghambatan yang beragam pada

konsentrasi 100 mg/ml secara berturut-turut yaitu 6,1; 6,6; 6,0 mm pada Bacillus

cereus, pada Staphylococcus aureus berturut-turut yaitu 5,0; 5,7; 1,3 mm, sedangkan

pada

Salmonella enterica

serovar Typhimurium tidak menunjukkan aktivitas

penghambatan. Konsentrasi ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dari maserasi

bertingkat pada suhu pemekatan 50

o

C antara 5 – 20 mg/ml tidak menunjukkan nilai

hambat minimal. Penggunaan konsentrasi hambat yang lebih besar tidak dilakukan

karena tidak efektif dalam aplikasinya sehingga diperlukan penelitian mengenai

metode ekstraksi komponen aktif pada jahe dengan menggunakan maserasi

bertingkat pada suhu pemekatan yang lebih rendah dan tanpa perlakuan kering-beku.


(4)

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JAHE (

Zingiber officinale

Roscoe) TERHADAP BEBERAPA BAKTERI PATOGEN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SARAH FATHIA

F24061987

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi : Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe)

Terhadap Beberapa Bakteri Patogen

Nama

: Sarah Fathia

NRP

: F24061987

Menyetujui,

Mengetahui :

Tanggal lulus : September 2011

Plt. Ketua Departemen

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi

NIP. 19610802 198703 2 002

Pembimbing

Siti Nurjanah S.TP, M.Si

NIP : 19760131 200501 2 001


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul:

Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (

Zingiber officinale

Roscoe) Terhadap

Beberapa Bakteri Patogen adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen

Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

Yang membuat pernyataan

Nama : Sarah Fathia

NRP : F24061987


(7)

BIODATA PENULIS

Sarah Fathia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1988 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari M. Nasir dan Fatimah. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri 34 Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi pengurus UKM Forces IPB. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan IPB tahun 2010-2011. Penulis pernah mengikuti kompetisi ilmiah tingkat nasional, dan menjadi Finalis National Student Paper Competition HIMITEPA (2008) dan Program Kreativitas Mahasiswa-Kewirausahaan didanai DIKTI (2008). Penulis melaksanakan magang pada tahun 2009 di LPPOM MUI, Bogor, Jawa Barat dan magang di Jurnal Teknologi Industri Pangan pada bulan Februari-Mei 2011.


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis pada Allah swt atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Terhadap Beberapa Bakteri Patogen” dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB, sejak bulan Juni 2010 hingga Juli 2011.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Siti Nurjanah, S.TP, M.Si yang telah membimbing dan memberikan arahan pada penulis selama penyelesaian tugas akhir.

2. Dr. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberi masukan untuk perbaikan penulisan.

3. Besiswa Penelitian Bogor International Club (BIC) yang telah mendukung penulis dalam pendanaan penelitian di IPB.

4. Teknisi laboratorium ITP khususnya pak Rojak, bu Ari, pak Sob, pak Taufik, pak Edi, mas Aldi atas bantuannya selama penelitian.

5. Mama, Ayah, kak Yaya, Afif dan Karim atas doa, dukungan dan kepercayaannya. 6. Karyawan Perpustakan IPB, PITP atas keramahan dan bantuannya.

7. Teman-teman Fateta khususnya ITP 43, 44, 45 Manik, Ste, Zatil, Sai, Wahyu, Wawat. 8. Teman lab: Icang, Linda, Nidya, Nipu, Sindu, Romulo.

9. Teman-teman di UKM Forces IPB khususnya Sari, Aini, Tiwik, Riska, Roni, Amin, Randi atas kekeluargaan dan pembelajarannya.

10.Teman-teman mentoring IPB yang mendewasakan keislaman penulis. 11.Teman-teman kost; Pd. Dewi, Ponytail, Pd. Ixora dan Wahda Indah.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, September 2011


(9)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN ... vii

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. JAHE (Zingiber officinale Roscoe)... 3

B. KOMPOSISI KIMIA JAHE ... 4

C. SENYAWA ANTIMIKROBA DAN KOMPONEN BIOAKTIF JAHE ... 5

D. EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF...7

E. BAKTERI PATOGEN PANGAN ... 8

F. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA ... 12

III. METODOLOGI ... 14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 14

C. METODE PENELITIAN... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 20

A. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI...20

B. C. PEMBUATAN SERBUK JAHE...22

D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL JAHE EKSTRAKSI MASERASI BERTINGKAT DENGAN PELARUT HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL...22

... 24

E. PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN EKSTRAK ETIL ASETAT JAHE...29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

A. KESIMPULAN ... 33

B. SARAN ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN... 38 Halaman


(10)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia rimpang jahe segar per 100g ... 4

Tabel 2. Kandungan senyawa yang terdapat dalam jahe... 5

Tabel 3. Penghambatan mikroba yang dapat dihasilkan oleh jahe... 6

Tabel 4. Karakteristik pelarut heksan, etil asetat, etanol... 8

Tabel 5. Perbedaan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif... 9

Tabel 6. Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe... 11

Tabel 7. Kelebihan dan dan kelemahan metode pengujian... 12

Tabel 8. Komposisi media NA dan NB... 12

Tabel 9. Kombinasi konsentrasi pengujian aktivitas penghambatan metode dillution broth ... 19 Tabel 10. Hasil ekstraksi jahe metode maserasi bertingkat dengan berbagai pelarut... 23

Tabel 11. Kehilangan ekstrak jahe setelah freeze dry... 23

Tabel 12. Zona hambat ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri uji ... 25

Tabel 13. Hasil pengujian aktivitas penghambatan ekstrak etil asetat jahe... 31


(11)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jahe varietas gajah... 3

Gambar 2. Struktur zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen... 4

Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi bakteriostatik dan bakterisidal... 6

Gambar 4. Struktur pelarut yang digunakan... 8

Gambar 5. Bentuk morfologi sel bakteri B. cereus... 10

Gambar 6. Bentuk morfologi sel bakteri S. aureus... 10

Gambar 7. Bentuk morfologi sel bakteri S. Typhimurium... 11

Gambar 8. Struktur DMSO... 13

Gambar 9. Struktur kloramfenikol... 13

Gambar 10. Diagram alir tahap penelitian... 15

Gambar 11. Tahap persiapan kultur bakteri uji... 16

Gambar 12. Tahap persiapan serbuk jahe... 16

Gambar 13. Ekstraksi jahe dengan maserasi bertingkat... 17

Gambar 14. Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur... 18

Gambar 15. Pengujian aktivitas penghambatan dengan metode dillution broth... 19

Gambar 16. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x 20 Gambar 17. Bentuk morfologi bakteri B. cereus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x 20 Gambar 18. Bentuk morfologi bakteri S. Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x... 21

Gambar 19. Ekstrak kasar jahe dengan maserasi bertingkat... 24

Gambar 20. Zona bening ekstrak jahe pada bakteri uji... 25

Gambar 21. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml... 27 Halaman


(12)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jumlah kultur bakteri uji... 38

Lampiran 2. Rendemen serbuk jahe kering... 38

Lampiran 3. Rendemen ekstrak jahe dengan maserasi bertingkat ... 39

Lampiran 4. Diameter penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri uji... 40

Lampiran 5. Nilai penghambatan ekstrak etil asetat jahe maserasi bertingkat ulangan 1... 41

Lampiran 6. Nilai penghambatan ekstrak etil asetat jahe maserasi bertingkat ulangan 2... 42

Lampiran 7. Nilai penghambatan ekstrak etil asetat jahe maserasi bertingkat... 43 Halaman


(13)

1

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Penanganan yang kurang higienis pada saat produksi dapat menimbulkan kontaminasi bakteri patogen dalam produk makanan sehingga menyebabkan keracunan pangan (Todd et al., 2009). Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan keracunan yaitu Staphylococcus aureus (S. aureus),

Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) dan Bacillus cereus (B. cereus). Bakteri

S. aureus dapat mencemari pangan melalui peralatan dan kulit pekerja dengan membentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan penyakit jika dikonsumsi manusia. Bakteri S. Typhimurium dapat mencemari pangan melalui pangan mentah seperti daging, yang dapat menyebabkan penyakit diare. Keracunan pangan bakteri B. cereus terjadi secara intoksikasi yaitu masuknya enterotoksin yang diproduksi oleh B. cereus ke dalam tubuh manusia (Prescott et al., 2005).

Keberadaan pengawet pangan alami sangat diharapkan dapat mempertahankan mutu pangan. Pengawet pangan bertujuan untuk menghambat pembusukan dan menjamin mutu awal pangan agar sifat fisik dan kimia pangan dapat dipertahankan selama penyimpanan. Pengawet pangan alami lebih disukai karena dianggap lebih aman terhadap kesehatan manusia dibandingkan pengawet sintetis (Houghton dan Raman, 1998).

Jahe (Zingiber officinale var Roscoe) termasuk salah satu komoditas rempah yang penting di Indonesia. Berdasarkan data statistika, produksi jahe Indonesia pada tahun 2009 mencapai lebih dari 154 ton dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan di tahun mendatang. Saat ini luas penanaman rimpang jahe di Indonesia mencapai lebih dari 60 juta m2

Penelitian pemanfaatan ekstrak jahe sebagai bahan antimikroba telah dilakukan di luar negeri (Singh et al., 2008). Di Indonesia, penelitian aktivitas antimikroba dari jahe sudah banyak dilakukan, diantaranya oleh Undriyani (1987), Lienni (1991) dan Radiati (2002). Selain sebagai antimikroba, penelitian jahe telah dilaporkan memiliki banyak khasiat terhadap kesehatan manusia diantaranya dapat berperan sebagai antikanker (Surh et al., 1998), antiinflamasi (Jolad et al., 2004), antioksidan (Chan et al., 2008). Dengan perkembangan teknologi, karakteristik jahe dalam bentuk superfine (Zhao

et al., 2010) dapat semakin memperluas pemanfaatan jahe.

(BPS, 2010) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan daerah utama penghasil jahe yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komoditi rempah Indonesia telah dikenal ke mancanegara dan mempunyai peluang pasar yang baik sehingga diharapkan mampu merajai pasar rempah dunia. Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China dalam kontribusi produksi jahe dunia (FAO, 2011).

Sari jahe telah diketahui dapat menghambat bakteri penyebab infeksi makanan yaitu Escherichia coli, Salmonella thompson dan Vibrio cholerae (Lienni, 1991). Diketahui pula bahwa perlakuan sterilisasi dengan otoklaf tidak merusak aktivitas antimikroba dalam sari jahe dan penghambatan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi sari jahe yang ditambahkan.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Mawaddah (2008), jahe termasuk dalam jenis sumber antimikroba alami yang dinyatakan layak untuk dijadikan pengawet pangan karena memiliki efektivitas dalam menghambat beberapa bakteri dan memiliki ketersediaan yang tinggi. Namun penelitian mengenai aktivitas antimikroba jahe telah diketahui oleh Mawaddah (2008) menunjukkan bahwa riset dari sisi metode ekstraksi pada jahe belum lengkap dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimikroba dengan menggunakan ekstrak jahe terhadap bakteri patogen yaitu B. cereus, S. aureus, S. Typhimurium. Hal ini bertujuan untuk


(14)

2 mendapatkan ekstrak jahe yang secara efektif dapat menghambat bakteri sebagai salah satu upaya mengatasi keracunan pangan akibat bakteri patogen dan aplikasi nilai tambah pada produk jahe.

B.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan:

(1) menguji besar rendemen ekstrak jahe dengan maserasi bertingkat menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol,

(2) menguji aktivitas antimikroba dari ekstrak heksan, etil asetat dan etanol jahe terhadap beberapa bakteri patogen yaitu Bacillus cereus, Staphlyococcus aureus dan Salmonella


(15)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

JAHE (

Zingiber officinale

var Roscoe)

Jahe berasal dari Asia tropis. Bentuk liar dari tanaman jahe tidak diketahui asalnya dengan pasti, namun diperkirakan berasal dari India. Jahe disebarkan ke Eropa dan Afrika Timur oleh pedagang arab dari India. Saat ini jahe dibudidayakan di seluruh daerah tropis (Sutarno et al., 1999) termasuk Indonesia.

Berdasarkan taksonomi, jahe termasuk dalam: Kerajaan: Plantae (tumbuhan),

Divisi: Spermatophyta, Kelas: Angiospermae, Bangsa: Musales, Suku: Zingiberaceae, Marga: Zingiber, Jenis: Zingiber officinale

(Situs Dunia Tumbuhan, 2008). Gambar 1. Jahe varietas gajah

Di Indonesia, jahe memiliki nama yang berbeda-beda diantaranya yaitu halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), goraka (Ternate), gora (Tidore), sipodè (Mandailing), lahia (Nias), goraka (Manado), halia, pĕdas (Besemah), pĕmĕdas (Kutai), sipadas (Pantai Sumatra Barat), sipadeh, sipodèh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahè (Sunda), jaé (Jawa), jhai (Madura) dan jae (Bali) (Heyne, 1987).

Rimpang jahe memiliki ciri-ciri diantaranya bentuk rimpang bercabang tidak beraturan, berkulit agak keras, dagingnya berwarna kuning, berserat dan berbau harum (Paimin dan Murhananto, 2002). Jahe dapat dibudidayakan di semua negara tropis dan subtropis dan menyukai iklim lembab (Heyne, 1987).

Berdasarkan ukuran bentuk dan warna kulit rimpang jahe diklasifikasikan menjadi tiga varietas yaitu: (1) Zingiber officinale var Roscoe yang dikenal dengan jahe gajah atau jahe badak atau jahe putih besar, mempunyai rimpang yang besar dan ruas yang menggelembung, (2)

Zingiber officinale var Rubrum, yang dikenal dengan jahe merah atau jahe sunti, dengan kulit rimpang yang berwarna merah, (3) Zingiber officinale var Amarum, yang dikenal dengan jahe putih kecil atau jahe emprit, mempunyai rimpang dengan ruas yang kecil dan agak menggelembung (Paimin dan Murhananto, 2002). Jenis yang digunakan dalam penelitian yaitu varietas jahe gajah (Gambar 1).

Rimpang jahe dipanen pada umur 8 – 10 bulan. Waktu pemanenan tergantung pada tujuan penggunaan. Jahe yang ditujukan untuk pembuatan kembang gula, sirup gula atau untuk pembuatan kristal jahe digunakan jahe berumur 5 – 7 bulan. Sedangkan jahe berumur 8 – 10 bulan digunakan dalam pembuatan jahe kering untuk bahan baku pembuatan biskuit, puding, kue, roti jahe, sup, pikel, bumbu, ginger ale dan ginger wine (Vaughan dan Geissler, 2009) serta untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin (Purseglove et al., 1981).

Jahe diketahui memiliki aktivitas analgesik, antiaggregan, antialkohol, antiallergik, antimikroba, antikanker, antidepresan, antiedemik, antiemetik, antiinflamasi, antimutagenik, antinarkotik, antioksidan, antiserotonigenik, antipiretik, antitrombik, antitusif, immunostimulan


(16)

4 (Duke et al., 2002). Dalam perdagangan, jahe digunakan secara luas sebagai rempah-rempah dengan tiga produk utama yaitu jahe segar, jahe kering dan jahe olahan (Sutarno et al., 1999).

B.

KOMPOSISI KIMIA JAHE

Rimpang jahe segar mengandung komposisi kimia per100g yang dapat disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Komposisi kimia rimpang jahe segar per 100g Kandungan Jumlah

Energi 51 kJ Protein 1,50 g Lemak 1,00 g Karbohidrat 10,10 g Kalsium 21,00 mg Besi 2,00 mg Fosfor 39,00 mg Vitamin A 30 IU Vitamin B1 0,02 mg Vitamin C 4,00 mg Sumber : Departemen Kesehatan RI (1992)

Jahe terdiri atas minyak esensial atau minyak jahe dan oleoresin atau ekstrak jahe yang menjadi sifat khas dari jahe. Minyak jahe berperan dalam aroma jahe. Kandungan minyak jahe beragam antara 1,0 – 3,0 %, sedangkan oleoresin pada jahe berperan dalam menimbulkan rasa pedas dengan kandungan berkisar antara 4,0 – 7,5 %. Minyak jahe umumnya digunakan sebagai flavor minuman, kosmetika, manisan, parfum dan farmasetikal. Oleoresin jahe memiliki aroma, flavor dan rasa pedas (Sutarno et al., 1999). Kandungan senyawa yang terdapat di dalam jahe dapat dilihat pada Tabel 2.

Rasa pedas pada jahe segar disebabkan golongan fenilalkil keton atau yang biasa disebut

gingerol dan [6]-gingerol merupakan komponen teraktif pada jahe. Gingerol memiliki rantai karbon beragam antara (C5 – C9). Selama pengeringan dan penyimpanan gingerol berubah menjadi shogaol yang lebih berpotensi dibanding gingerol. Senyawa [6]-gingerol yang terpapar peningkatan suhu menyebabkan perubahan bentuk menjadi zingeron, yang menghasilkan rasa pedas yang sedang (Fennema, 1996), diantara bentuk komponen bioaktif jahe yaitu zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen yang dapat dilihat pada Gambar 2.


(17)

5 Tabel 2. Kandungan senyawa yang terdapat dalam jahe

Kandungan senyawa dalam jahe Senyawa

Minyak atsiri - geranial (25,9%), - a-zingiberen (9,5%), - (E,E)-a-farnesen (7,6%), - neral (7,6%),

- ar-curcumen (6,6%),

- β-sesquiphellandren (27,16%), * - caryophyllen (15,29%), * - β-bisabolen (11,4%) ** Etanol oleoresin jahe - eugenol (49,8%),

- zingeron (14,5%), - trans-6-shogaol (5,9%), - geraniol (3,7%), - borneol (1,9%); Metanol oleoresin jahe - zingeron (33,6%),

- trans-6-shogaol (14,9%), - diacetoxy-[6]-gingerdiol (4,9%), - decanal (3,8%),

- a-zingiberen (2,7%); CCl4 oleoresin jahe - zingeron (33,3%),

- trans-6- shogaol (10,4%), - geranial (7,5%),

- neral (4,9%),

- methyldiacetoxy- [6]-gingerdione (3,5%) Isooktan oleoresin jahe - zingeron (30,5%),

- palmitoleic acid (10,9%), - trans-6-shogaol (9,3%), - palmitic acid (8,9%),

- diacetoxy-[6]-gingerdiol (3,3%) Sumber: Singh et al. (2008); * El-Baroty et al. (2010); ** Sacchetti et al. (2005)

C.

SENYAWA ANTIMIKROBA DAN KOMPONEN BIOAKTIF JAHE

Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan mikroba baik bakteri, kapang dan khamir pada bahan pangan yang tidak dikehendaki, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Keberadaan antimikroba alami diharapkan dapat menjadi solusi untuk mencegah kontaminasi bakteri dalam bahan pangan (Branen, 1993).

Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik. Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik sedangkan bakterisidal merupakan bahan yang dapat membunuh bakteri (Madigan et al., 2003). Bakteri dalam kondisi bakteriostatik dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat berada lebih rendah dibanding jumlah total sel normal, sedangkan bakteri dalam kondisi bakterisidal dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat pada fase stasioner menurun drastis dibanding jumlah total sel normal (Gambar 3).


(18)

6 Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi bakteriostatik dan bakterisidal (Sumber:

Madigan et al., 2003)

Senyawa antimikroba diharapkan memiliki kriteria yaitu aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma, tidak mengalami penurunan aktivitas disebabkan adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya strain resisten dan memiliki spektrum yang luas dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang dapat bersifat antimikroba yaitu sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat, sorbat, asam organik, sulfit, sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik, asam lemak rantai sedang, halogen, surfaktan dan peroksida. Selain itu senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan fenolik, alkaloid dan terpenoid juga bersifat antimikroba (Branen, 1993). Penghambatan bakteri yang dapat dihasilkan oleh jahe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penghambatan mikroba yang dapat dihasilkan oleh jahe Bentuk jahe Mikroba Nilai

penghambatan

Pustaka

Minyak atsiri jahe Khamir patogen: - C. albicans

- R. glutinis

- S. cerevisiae

- S. pombe

- Y. lypolitica

0,15 mg/ml 0,15 mg/ml 0,09 mg/ml 0,06 mg/ml 0,18 mg/ml

Sacchetti et al. (2005)

Minyak atsiri jahe dosis 2 µl

Kapang:

- Aspergillus flavus

- Aspergillus solani

- Aspergillus oryzae

- Aspergillus niger

- Fusarium moniliforme

7,0 ± 0,4 mm 44,4 ± 1,0 mm 25,2 ± 1,6 mm 27,9 ± 1,8 mm 49,4 ± 0,9 mm

Singh et al. (2008)

Bubuk jahe Bakteri Gram-positif: - Micrococcus varians

- Leuconostoc sp.

- Bacillus subtilis

2 % (v/v) bakteriosidal

Undriyani (1987)

Bubuk jahe Kapang:

- Aspergillus niger

0,25 % (v/v) Fungisidal

Undriyani (1987)

Ekstrak

diklorometan jahe

Bakteri enteropatogen: - E. coli O157: H7 - S. Typhi

- V. cholerae O1

10 mg/ml 10 mg/ml 5 mg/ml

Radiati (2002)

Ekstrak etanol jahe Khamir:

- Candida albicans 2 mg/ml


(19)

7 Senyawa antimikroba memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda-beda. Mekanisme kerja senyawa antimikroba yaitu dapat berupa merusak dinding sel hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga sel bocor, menyebabkan denaturasi protein sel, menghambat kerja enzim dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat dan menghambat sintesis asam nukleat (Prescott et al., 2005).

Senyawa antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolit bakteri dan memiliki kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Selanjutnya antibiotik dibuat lebih efektif dengan modifikasi kimia dalam laboratorium yang dikenal sebagai antibiotik semisintetis (Madigan et al., 2003). Umumnya bakteri Gram-positif lebih rentan dibanding bakteri Gram-negatif. Antibiotik yang dapat bekerja baik pada bakteri Gram-negatif maupun Gram-positif disebut antibiotik dengan spektrum yang luas.

Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan struktur kimianya atau berdasarkan cara kerjanya dalam menghambat mikroba. Pada bakteri, sasaran utama dari kerja antibiotik yaitu menyerang pada dinding sel (seperti vankomisin), menyerang membran sitoplasma (seperti polimixin) dan menyerang sintesis protein (seperti makrolid, kloramfenikol dan tetrasiklin) dan menyerang sintesis asam nukleat (seperti rifamin) (Madigan et al., 2003).

Mekanisme antibiotik dalam menghambat sintesis protein melalui interaksi dengan ribosom. Interaksi ini sangat spesifik dan melibatkan banyak rRNA seperti streptomisin menghambat sintesis protein pada tahap inisiasi sedangkan puromisin, kloramfenikol, sikloheksimid dan tetrasiklin menghambat pada tahap elongasi. Antibiotik yang dapat menghambat dalam tahap sama pun dapat memiliki mekanisme kerja sangat berbeda seperti puromisin berikatan dengan sisi A pada ribosom dan perpanjangan rantai polipeptida dipindahkan ke puromisin, kemudian kompleks puromisin-polipeptida keluar dari ribosom dan berhenti pada tahap elongasi secara prematur. Kloramfenikol menghambat pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida. Antibiotik secara spesifik menghambat ribosom pada organisme tertentu seperti kloramfenikol dan streptomisin spesifik hanya pada ribosom bakteri saja sedangkan sikloheksimid hanya mempengaruhi ribosom dari golongan eukaria saja (Madigan et al., 2003).

D.

EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF

Ekstraksi merupakan tahap untuk pemisahan senyawa dengan matriksnya menjadi senyawa terlarut untuk tujuan identifikasi komponen maupun komersial (Houghton dan Raman, 1998). Senyawa terlarut berupa ekstrak penting didapatkan disebabkan: (1) keragaman komponen yang terkandung dalam bahan segar dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tempat tumbuh tanaman, (2) adanya perubahan komponen selama penyimpanan dalam bentuk segar dan (3) memenuhi konsentrasi tertentu terhadap senyawa yang diinginkan. Hal yang harus diperhatikan diantaranya yaitu tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak serta penggunaan ulang pelarut (Houghton dan Raman, 1998).

Komponen bioaktif pada tanaman dapat diekstrak dengan beragam cara diantaranya menggunakan metode Soxhlet (Mishra dan Behal, 2010), hidrodistilasi (Singh et al., 2008), maserasi (Ahmad dan Beg, 2001), supercritical CO2

Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk jahe dalam pelarut. Prinsip metode maserasi yaitu terjadinya peristiwa leaching pada komponen aktif dalam bahan yang memiliki sifat

(Puengphian dan Sirichote, 2008). Penelitian ini menggunakan maserasi bertingkat dengan pertimbangan penggunaannya yang sederhana, relatif murah dan mudah.


(20)

8 kelarutan yang sama dengan pelarut yang digunakan (Singh, 2008). Maserasi yang berulang untuk memperoleh ekstrak yang semakin banyak. Metode ini tergolong metode konvensional namun masih populer digunakan disebabkan kemudahan pengerjaan dan biaya pengerjaan yang cukup murah dibandingkan metode lainnya (Yang et al., 2010).

Maserasi bertingkat merupakan metode ekstraksi bertahap dengan menggunakan pelarut yang berbeda. Metode maserasi bertingkat lebih banyak digunakan dalam mengekstraksi senyawa antimikroba disebabkan lebih efisien karena dalam prosesnya akan didapatkan lebih dari satu jenis senyawa antimikroba tergantung jenis pelarut yang digunakan (Mawaddah, 2008).

Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan, 1999). Sifat komponen yang akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH. Sifat pelarut yang akan digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan dan harga. Berdasarkan perbandingan polaritasnya, heksan tergolong sebagai pelarut non polar, etil asetat tergolong sebagai pelarut semi polar dan etanol tergolong sebagai pelarut polar (Carey dan Sundberg, 2007). Derajat polaritas bergantung pada ketetapan dielektrik (ε), semakin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Berikut ini karakteristik dan struktur pelarut yang digunakan dalam penelitian (Tabel 4 dan Gambar 4).

Tabel 4. Karakteristik pelarut heksan, etil asetat, etanol Pelarut T d (o Kelarutan dalam air

(%)

C) Ketetapan dielektrik (ε)* Heksan 69 <0,01 1,9

Etil asetat 77 80 6,0 Etanol 78 Sangat larut 24,5 Sumber: Handa (2008);* Carey dan Sundberg (2007)

(a) Heksan (b) Etil asetat (c) Etanol Gambar 4. Struktur pelarut yang digunakan

(Sumber: (a) http://www.hull.ac.uk/chemistry/masspec3/images/pic%20hexane.gif; (b) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Ethyl_acetate2.png; (c) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ae/Ethanol-structural.png)

Menurut Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Dalam pertimbangan ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang murah harganya dan mudah didapatkan.

E.

BAKTERI PATOGEN PANGAN

Bakteri patogen merupakan bakteri penyebab penyakit (Madigan et al., 2003). Bakteri patogen merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia baik secara infeksi maupun intoksikasi. Penyakit yang terjadi secara infeksi merupakan istilah yang digunakan jika bakteri tertelan dalam bentuk vegetatifnya sedangkan penyakit yang terjadi secara intoksikasi


(21)

9 merupakan istilah yang digunakan jika toksin yang dihasilkan oleh bakteri masuk dalam tubuh (Madigan et al., 2003). Bakteri yang akan diuji dalam penelitian ini termasuk dalam bakteri patogen yaitu meliputi B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium.

Berdasarkan susunan dinding sel bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Gram-positif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan dan sedikit membran luar, sedangkan Gram-negatif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang relatif lebih sedikit namun memiliki membran luar yang terdiri atas lipopolisakarida (LPS), lipoprotein dan kompleks makromolekul lainnya (Madigan et al., 2003). Dinding sel bakteri Gram-positif terdiri atas 90 % lapisan peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat, sedangkan pada bakteri Gram-negatif terdiri atas 5 – 20 % lapisan peptidoglikan dan lapisan lain meliputi protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1992). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Perbedaan sifat kedua jenis bakteri tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif

Ciri-ciri Perbedaan

Gram-positif Gram-negatif Dinding sel Tebal dinding 20 – 80 nm berupa

peptidoglikan dan terdapat pula polisakarida dan asam teikoat

Lapisan peptidoglikan inner 2 – 7 nm dan membran outer 7 – 8 nm berupa lipid, protein dan lipopolisakarida Reproduksi Membelah diri Membelah diri, terkadang dengan

tunas Bentuk sel Bulat, batang atau filamen, dapat

menunjukkan cabang

Oval, bulat, batang kaku atau seperti kurva, terkadang seperti kapsul Metabolisme Umumnya kemoorganotropik Fototropik, kemolitoautotropik,

kemoorganoheterotropik Motilitas Kebanyakan non-motil, memiliki

flagel peritrik ketika motil

Motil atau non-motil, flagel dapat beragam-polar, lopotrik, peritrik Endospora Dapat membentuk endospora Tidak dapat membentuk endospora

Sumber : Prescott et al. (2005)

Bacillus cereus

Bacillus cereus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizophyta, Ordo Eubacteriales, Famili Bacillaceae dan Genus Bacillus (Salle, 1961). B. cereus merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi B. cereus yaitu batang (basilus) besar, aerobik dan membentuk rantai, bergerak, membentuk spora yang terletak ditengah basil yang tidak bergerak dan tahan panas. Diameter sel 0,7 – 0,8 µm dengan panjang 2 – 3 µm, sedangkan sporanya berdiameter 0,6 – 0,9 µm dengan panjang 1,0 – 1,5 µm dapat pula bersifat anaerobik. B. cereus memiliki suhu optimum pertumbuhan berkisar antara 35 – 40 oC (Granum dan Baird-Parker, 2000), peritrik, katalase positif dan kemoorganotropik (Prescott et al., 2005). Bentuk morfologi bakteri B. cereus dapat dilihat pada Gambar 5.


(22)

10 Gambar 5. Bentuk morfologi sel bakteri B. cereus

(Sumber: ges/Articleimages/Atlas_Endospore/Bacillus%20species_Endospore% 20stainlabeled_fig14.jpg

B. cereus dapat menyebabkan penyakit jika berjumlah lebih dari 106 CFU/g dalam bahan pangan yang tercemar (Ombui et al., 2008). Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri B. cereus yaitu muntah-muntah, diare dan sakit perut. Gejala yang muncul diantaranya diare atau muntah dalam jangka waktu 2 – 16 jam setelah makanan dikonsumsi (Prescott et al., 2005). Sindrom diare dapat disebabkan akibat produksi enterotoksin yang dihasilkan B. cereus selama pertumbuhan vegetatifnya di dalam usus kecil. B. cereus ditemukan pada susu pasteurisasi, daging beku dan sayur-sayuran (FDA, 2010). Dampak buruk dari B. cereus dapat dicegah makanan harus dimasak dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan yang dapat mencegah germinasi spora kemudian pendinginan yang cepat sehingga memberikan kejutan dan penyimpanan pada suhu refrigerator. B. cereus terdapat secara alami di tanah dan pada produk segar (ICMSF, 2005).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Micrococcaceae dan Genus Staphylococcus (Salle, 1961). S. aureus

merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi S. aureus

yaitu tidak dapat membentuk spora, non-motil, berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,5 – 1,5 µm tersusun dalam kelompok–kelompok yang tidak teratur. S. aureus dapat bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik. S. aureus dapat tumbuh dengan suhu optimum antara 30 – 37 °C (Baird-Parker, 2000), katalase positif, kemoorganotropik (Prescott et al., 2005). Bentuk morfologi bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Bentuk morfologi sel bakteri S.aureus (Sumber:

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d3/Staphylococcus _aureus_VISA_2.jpg)

S. aureus ditemui di peralatan produksi dan tangan pekerja (Todd et al., 2009), produk susu dan produk roti (Prescott et al., 2005). Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan


(23)

11 oleh enterotoksin tipe A. Bakteri S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin jika jumlahnya melebihi 106 CFU/g sehingga menyebabkan penyakit. Gejala keracunan yang ditimbulkan meliputi mual, muntah-muntah, keram perut dan diare dalam jangka waktu 1 – 8 jam setelah enterotoksin masuk dalam tubuh (Prescott et al., 2005). Pertumbuhan S. aureus dapat dicegah dengan penyimpanan beku dibawah suhu 7 oC. S. aureus merupakan bakteri yang kurang dapat berkompetisi dengan bakteri lainnya (ICMSF, 2005).

Salmonella enterica serovarTyphimurium

Salmonella enterica serovar Typhimurium termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Enterobacteriaceae, Genus Salmonellae (Salle, 1961). S.Typhimurium merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-negatif. S.

Typhimurium memiliki ciri-ciri tidak dapat membentuk spora, kebanyakan motil berbentuk batang. Salmonella bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik (Fardiaz, 1992). S. Typhimurium dapat tumbuh pada suhu optimum antara 35 – 43 oC (Park, 2005). Bentuk morfologi bakteri S.

Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Bentuk morfologi sel bakteri S. Typhimurium (Sumber: http://media-2.web.britannica.com/eb-media/01/85001-004-42814A38.jpg)

Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang paling sering yaitu gastroenteritis, selain itu demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid (Fardiaz, 1992). Gejala keracunan yang ditimbulkan meliputi mual, muntah-muntah, keram perut dan diare dalam jangka waktu 8 – 48 jam setelah enterotoksin masuk dalam tubuh (Prescott et al., 2005). Umumnya Salmonella ditemui pada daging mentah (Todd et al., 2009), daging ternak, ikan, telur dan produk susu (Prescott et al., 2005). S. Typhimurium dapat menyebabkan penyakit diare pada manusia (Grimmont et al., 2000). Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe Bahan Bacillus cereus Staphylococcus aureus Salmonella

Ekstrak metanol

Azadirachta indica

(Mimba)

0,165 mg/ml 1,320 mg/ml >2,640 mg/ml

Ekstrak metanol

Raphanus sativus

(Lobak)

>2,640 mg/ml >2,640 mg/ml >2,640 mg/ml

Ekstrak metanol

Camellia sinensis

(Teh)

1,320 mg/ml >2,640 mg/ml >2,640 mg/ml


(24)

12

F.

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA

Prinsip pengujian aktivitas antimikroba adalah untuk mengkaji derajat efisiensi penghambatan atau penginaktivasian organisme tertentu pada kondisi tertentu (Lopez-Malo et al., 2003). Metode untuk menguji aktivitas antimikroba dapat dibedakan menjadi dua yaitu in vitro dan aplikasi dalam sistem pangan. Metode in vitro merupakan metode pengujian aktivitas antimikroba yang tidak diaplikasikan dalam sistem pangan. Metode in vitro hanya dapat memberikan informasi awal mengenai potensi sebagai antimikroba dari komponen suatu bahan (Parish dan Davidson, 1993).

Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengujian aktivitas antimikroba diantaranya yaitu: mikroorganisme uji (jenis, jumlah inokulum yang digunakan, fisiologi sel, kultur media pertumbuhan, bahan antimikroba yang digunakan, interaksi komponen uji dengan komponen media, koefisien partisi), media uji (pH, kadar air, potensial redoks) dan prosedur uji (kondisi inkubasi, tekanan udara, konsentrasi atmosfer, suhu inkubasi, keragaman alat) (Lopez-Malo et al., 2003).

Metode in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pendekatan diantaranya metode pengenceran atau dillution broth (Mishra dan Behal, 2010), metode difusi agar berupa difusi sumur (Ahmad dan Beg, 2001) atau difusi cakram (Tayel dan Eltras, 2009). Kelebihan dan kelemahan dari metode tersebut disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Kelebihan dan dan kelemahan metode pengujian Metode Kelebihan Kelemahan

Difusi agar sederhana dalam pengerjaan senyawa yang diujikan harus dapat berdifusi dengan baik dalam agar serta data yang dihasilkan bersifat kualitatif

Pengenceran dapat mengetahui adanya kontaminasi dan dapat dilakukan untuk bahan berwarna keruh

pengerjaan membutuhkan waktu yang lama

Sumber: Parish dan Davidson (1993)

Kultur media yang digunakan dalam penelitian yaitu media Nutrient Agar (NA) dan Nutrient Broth (NB) dengan komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi media NA dan NB Kandungan NA NB

Beef extract 3 g 3 g

Pepton 5 g 5 g Agar 15 g - Air distilasi 1 l 1 l pH akhir 6,8 ± 0,2 6,8 ± 0,2 Sumber : BAM (2001)

Prinsip metode difusi sumur dan difusi cakram serupa yaitu ekstrak yang diujikan ditempatkan dalam sumur atau kertas cakram yang telah diinokulasi oleh bakteri uji dan diamati daya hambatnya setelah diinkubasi berupa terbentuknya zona bening. Zona bening yang terbentuk disebut diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi


(25)

13 oleh konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak dan kemampuan ekstrak berdifusi dalam agar (Prescott et al., 2005).

Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding. Pada penelitian ini menggunakan dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif. Kontrol negatif untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas antimikroba dari ekstrak. Struktur DMSO dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Struktur DMSO (Sumber:

http://www.bio-world.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg)

Kontrol positif digunakan senyawa antibiotik kloramfenikol ( D(-)-threo-2-dichloracetamido-1-p-nitro-phenyl-1,3-propanediol) (Jardetzky, 1963). Pada awalnya diproduksi oleh kultur

Streptomyces venezuelae namun saat ini telah diproduksi secara sintetis (Prescott et al., 2005). Kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antimikroba. Hal ini disebabkan antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang telah dibuat secara standar. Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan cara berikatan dengan subunit ribosom 50S untuk mencegah sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan kode oleh mRNA (Prescott et al., 2005). Bentuk struktur antibiotik kloramfenikol dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Struktur kloramfenikol (Sumber:

http://www.bifcpresidency.tn.gov.in/Chloramphenicol.png; http://www.bio-world.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg)

Aktivitas antimikroba diukur dengan menentukan jumlah terkecil dari senyawa yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji yang disebut dengan konsentrasi hambat minimal atau MIC (Madigan et al., 2003; CDRH, 2009). Nilai MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari antimikroba yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar dari 90 % (Cosentino, 1999).

Nilai MIC dipengaruhi oleh bakteri uji yang digunakan, jumlah inokulum yang digunakan, komposisi dari kultur media, waktu inkubasi, kondisi inkubasi seperti suhu, pH dan aerasi (Madigan et al., 2003). Ketika seluruh kondisi sudah terstandarkan maka dimungkinkan untuk dapat dibandingkan dengan bahan antimikroba yang berbeda dan dapat ditentukan yang lebih efektif dalam menghambat organisme. Metode MIC tidak membedakan antara sidal dan statis karena metode ini dilakukan di dalam kultur media selama periode inkubasi.


(26)

14

III. METODOLOGI

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8 bulan. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pelarut heksan p.a, etil asetat p.a, etanol p.a dan gas nitrogen yang diperoleh dari Laboratorium ITP, IPB untuk tahap ekstraksi serta beberapa bahan lain seperti KH2PO4

Kultur bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa bakteri yang tergolong bakteri patogen. Jenis bakteri yang digunakan yaitu: bakteri pembentuk spora (Bacillus cereus

ATCC 13061), bakteri Gram-negatif (Salmonella enterica serovarTyphimurium ATCC 14028), bakteri Gram-positif (Staphylococcus aureus ATCC 25923) yang diperoleh dari Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, IPB. Media yang digunakan yaitu media Nutrien Broth

(NB) untuk penyegaran kultur bakteri uji dan media Nutrien Agar (NA) untuk pemeliharaan kultur dan penumbuhan bakteri uji.

sebagai larutan pengencer, pelarut DMSO dan kloramfenikol untuk tahap pengujian aktivitas antimikroba.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: (1) alat untuk persiapan bahan sepertipisau, oven pengering, plastik tahan panas, timbangan kasar; (2) alat untuk ekstraksi terdiri atastabung erlenmeyer, timbangan analitik, shaker Innova 2300 new brunswick scientific, rotavapor BUCHI R210, filter vakum BUCHI B169 vacuum system, lemari pendingin, penangas air, gas nitrogen, oven, freeze dry; (3) alat untuk persiapan kultur mikroba uji dan uji antimikroba yaitu meliputi otoklaf, vortex, mikroskop, hot plate, sudip, cawan petri, tabung reaksi berulir, timbangan analitik, inkubator suhu 37 o

B.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

C, bunsen dan spiritus, mikropipet 10 – 100 µl dan 100 – 1000 µl.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juni 2010 hingga bulan Juli 2011.

C.

METODE PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama meliputi persiapan kultur bakteri uji dan persiapan serbuk jahe kering. Tahap kedua yaitu ekstraksi dengan maserasi bertingkat menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol. Tahap ketiga meliputi pengujian aktivitas antimikroba berupa pengukuran diameter daya hambat ekstrak jahe dengan metode difusi sumur serta pengujian aktivitas penghambatan dengan metode dillution broth. Tahapan penelitian digambarkan sebagai berikut (Gambar 10).


(27)

15 Pengujian aktivitas penghambatan

bakteri uji dengan beberapa konsentrasi dengan metode dillution

broth

Gambar 10. Diagram alir tahap penelitian

1.

Persiapan kultur bakteri uji

Persiapan kultur bakteri uji terlebih dahulu dilakukan pewarnaan Gram sederhana untuk mengetahui keseragaman kultur bakteri uji dan perhitungan total kultur bakteri uji menggunakan metode Aerobic Plate Count (APC) untuk mengetahui jumlah total bakteri awal sehingga dapat dihitung pengenceran yang diperlukan agar kultur yang digunakan pada saat pengujian berkisar 105

Pewarnaan Gram digunakan untuk identifikasi anggota dari domain bakteri ke dalam dua kelompok berdasarkan perbedaan dinding selnya. Tahap pewarnaan Gram sederhana dilakukan diatas preparat kaca, yaitu kultur disebar membentuk lapisan tipis diatas preparat kaca, dikering-udarakan, dilewatkan diatas api untuk fiksasi, diwarnai dengan pewarnaan Gram, dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya morfologi sel bakteri uji dilihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x. Sel bakteri dengan morfologi berwarna violet merupakan bakteri Gram-positif, sedangkan sel bakteri dengan morfologi berwarna merah merupakan bakteri Gram-negatif (Madigan et al., 2003).

CFU/ml dengan menggunakan media NA.

Tahap persiapan kultur bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 11. Sebanyak 1 ose bakteri uji ditumbuhkan dalam media NB 10 ml dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 oC. Kultur bakteri ini digunakan sebagai kultur kerja pada setiap pengujian. Suspensi bakteri ditumbuhkan dengan menggunakan media NA pada seri pengenceran 104 –108 dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 oC. Koloni bakteri dengan jumlah 25 – 250 yang tumbuh dihitung berdasarkan metode Aerobic Plate Count (APC) (BAM, 2001) dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah koloni (CFU/ml) = N =

Keterangan: n = jumlah cawan

d = pengenceran pada cawan pertama

Antimikroba aktivitas tertinggi Ekstraksi etanol

Ekstraksi heksan Ekstrak non polar

Residu

Ekstraksi etil asetat Residu Residu Ekstrak semi polar Ekstrak polar

Uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur Persiapan kultur bakteri uji Rimpang jahe gajah segar

Serbuk jahe kering

d n n cawan pada koloni jumlah ) 1 , 0 ( ) 250 25 ( 2 1+ − Freeze dry


(28)

16 Gambar 11. Tahap persiapan kultur bakteri uji

2.

Persiapan serbuk jahe kering

Persiapan rimpang jahe kering mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Undriyani (1987) yaitu rimpang jahe segar dicuci hingga bersih dan ditiriskan, kemudian diiris tipis dengan slicer ketebalan 1,5 mm, dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 55 oC selama 5 jam sampai kering, selanjutnya dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ukuran 20 mesh hingga didapatkan serbuk halus. Rendemen serbuk jahe kering dihitung berdasarkan pada persentase antara bobot serbuk jahe yang didapatkan dengan bobot rimpang jahe awal yang digunakan (Gambar 12).

Gambar 12. Tahap persiapan serbuk jahe

3.

Ekstraksi jahe dengan maserasi bertingkat

Tahap ekstraksi mengacu pada metode yang digunakan oleh Parhusip (2006) dengan modifikasi pada suhu pemekatan yaitu serbuk jahe sebanyak 100 g diekstrak dengan metode

@ 1 ml @ 1 ml

10-5 10-6

Kultur bakteri uji dlm agar miring diambil 1 ose

Diinkubasi 37oC 24 jam

10 ml NB steril Kultur kerja

Dipipet 1 ml

9 ml pengencer steril Dipipet 1ml

10-7

Dipipet 1ml

@ 1 ml 10-8

@ 20 ml NA steril

Diinkubasi 24 jam suhu 37oC dan diamati Dipipet

1ml

10-1 10-2 10-3 10-4 Dipipet

1ml

Dipipet 1ml

Dipipet 1ml

Diiris tipis (Slicer 1,5 mm) Dicuci bersih, ditiriskan

Dikeringkan dengan oven (55 oC) sampai kering

Diblender kering Diayak ukuran 20 mesh

Serbuk jahe kering Rimpang jahe segar


(29)

17 Dimaserasi (etil asetat 400 ml)

Filtrat

maserasi bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut yaitu masing-masing dengan heksan, etil asetat dan etanol. Serbuk jahe diekstrak dua kali masing-masing dengan heksan 400 ml, selanjutnya residu diekstrak dua kali masing-masing dengan etil asetat 400 ml dan selanjutnya residu kedua diekstrak dua kali masing-masing dengan etanol 400 ml. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu ruang dengan kecepatan rotasi 150 rpm selama 24 jam setiap tingkat. Tiap-tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara penguapan dalam rotavapor. Pelarut pertama dan kedua diuapkan pada suhu 50 oC dan pelarut ketiga diuapkan pada suhu 70 oC. Sisa pelarut dihilangkan dengan gas nitrogen. Rendemen ekstrak jahe yang didapatkan dihitung sebagai persentase ekstrak (mg ekstrak jahe setelah rotavapor/ 100 g serbuk jahe kering). Setelah itu dikeringkan dengan freeze drier untuk menghilangkan kadar air dalam ekstrak. Ekstraksi serbuk jahe dengan berbagai jenis pelarut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Ekstraksi jahe dengan maserasi bertingkat

4.

Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur

Pengujian aktivitas antimikroba mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Shan et al.

(2007). Tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari ekstrak heksan, etil asetat dan etanol terhadap B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium. Masing-masing ekstrak jahe dilarutkan dalam DMSO. Sebagai media pertumbuhan digunakan media NA. Sebanyak 20 ml agar diinokulasikan dengan kultur bakteri yang mengandung bakteri uji sebanyak 105 CFU/ml. Selanjutnya dibuat 5 sumur pada media agar tersebut dengan diameter sumur 5 mm ketebalan 4 mm secara aseptis menggunakan alat pelubang agar steril. Kemudian setiap sumur dimasukkan 60 µl larutan ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml, kontrol positif (kloramfenikol 100 µg/ml air steril) dan kontrol negatif (DMSO). Setelah ditetesi dengan ekstrak jahe, cawan diinkubasi dengan posisi tidak dibalik pada suhu 37 oC

Dipekatkan 70 oC dengan rotavapor

Dihembuskan gas N2

Dipekatkan 50 oC dengan rotavapor

Dipekatkan 50 oC dengan rotavapor Ampas

Ulangan

Ulangan

Ulangan

Ampas

Filtrat Dimaserasi (heksan 400 ml)

100 g serbuk jahe kering

Filtrat

Ekstrak heksan

Ekstrak etil asetat Dimaserasi (etanol 400 ml)

Ekstrak etanol

Ampas Dihembuskan gas N2


(30)

18 selama 24 jam. Aktivitas penghambatan dihitung berdasarkan diameter penghambatan terhadap bakteri uji yang membentuk zona bening dan diukur menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm. Tahap ini dilakukan secara duplo dengan tiga kali ulangan.

Zona penghambatan (d = 2r) yang diukur adalah diameter zona bening dikurangi dengan diameter sumur. Semakin lebar diameter penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan aktivitas penghambatan terkuat akan dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Tahap pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur

5.

Pengujian aktivitas penghambatan dengan metode

dillution broth

Pengujian aktivitas penghambatan mengacu pada Radiati (2002) dengan metode dillution broth menggunakan media NB. Pengujian aktivitas penghambatan dilakukan pada ekstrak jahe yang memiliki aktivitas antimikroba tertinggi terhadap bakteri uji. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0, 5, 10, 15, 20 mg/ml untuk bakteri uji yang menunjukkan penghambatan pada difusi sumur. Kisaran konsentrasi mengacu pendekatan yang dilakukan oleh Radiati (2002) yang menemukan bahwa pada kisaran konsentrasi tersebut terdapat konsentrasi hambat minimal (MIC) untuk bakteri uji yaitu dengan menggunakan ekstrak semi-polar (diklorometan) yang diperoleh dari maserasi bertingkat dapat menghambat bakteri S. Typhi sebesar 10 mg/ml.

Tahap pengujian aktivitas penghambatan dapat dilihat pada Gambar 15 yaitu ekstrak jahe terpilih dibuat larutan stok sebesar 40 % (mg ekstrak/ ml DMSO) ditambah ke dalam tabung berisi inokulum bakteri uji yang mengandung campuran antara media NB. Selanjutnya kultur diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam. Subkultur ditumbuhkan pada media NA pada inkubasi 0 jam dan setelah inkubasi 24 jam dengan kisaran pengenceran antara 103 – 108. Perhitungan konsentrasi ekstrak etil asetat menggunakan rumus:

Diukur diameter penghambatan dengan jangka sorong (diameter zona bening dikurangi dengan diameter sumur)

Keterangan:

a,b,c = ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml DMSO (heksan, etil asetat, etanol)

d= kloramfenikol100µg/ml air steril (w/v) (kontrol positif) e= pelarut DMSO (kontrol negatif)

Diinkubasi suhu 37oC 24 jam 20 ml NA cair

Diinokulasi dengan bakteri uji berkisar 105 CFU/ml

Dibuat sumur diameter ± 5 mm

@ sumur ditetesi 60 µl ekstrak dengan konsentrasi 100 mg ekstrak/ml @ sampel bakteri uji duplo dan ulangan 3x

d a

c b e


(31)

19

M1 V1 = M2 V

Keterangan:

2

M1

V

= 40 % (larutan stok stok) (mg/ml DMSO)

1

M

= volume ekstrak yang ditambahkan (ml)

2

V

= konsentrasi ekstrak yang dikehendaki (mg/ml)

2

Penghitungan jumlah ekstrak etil asetat 40% yang diambil untuk mendapatkan masing-masing volume ekstrak sebagai berikut (Tabel 9):

= volume total saat inkubasi (10 ml)

Contoh: M2

40 % x V

= 5 %

1

V

= 5 % x 10 ml

1= 1,25 ml

Tabel 9. Kombinasi konsentrasi pengujian aktivitas penghambatan metode dillution broth

Konsentrasi ekstrak % (M2

Ekstrak yang ditambahkan (ml) (V ) 1 Kultur (ml) )

NB (ml) Volume total saat inkubasi (ml)

(V2)

5 1,25 1 7,75 10

10 2,50 1 6,50 10

15 3,75 1 5,25 10

20 5,00 1 4,00 10

Keterangan: V NB= V2 – V kultur – V1 (ml)

Penurunan jumlah pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menghitung persentase selisih jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi ekstrak jahe yang menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebesar 90 % merupakan nilai konsentrasi hambat minimal (MIC).

Gambar 15. Pengujian aktivitas penghambatan dengan metode dillution broth

0 5 10 15 20

Diinokulasi dgn bakteri uji s.d @tabung 105 CFU/ml

Ditumbuhkan dalam cawan dengan pengenceran antara

103- 108 Diamati

Diinkubasi 37 oC 24 jam Ditambahkan dalam media NB Dilarutkan dalam DMSO

Ekstrak terpilih

Konsentrasi ekstrak jahe yang ditambahkan (mg/ml)

Ditumbuhkan dalam cawan dengan pengenceran antara

103-108


(32)

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI

Persiapan kultur bakteri uji bertujuan menjamin keseragaman kultur yang digunakan selama pengujian. Kultur bakteri uji terlebih dahulu dilakukan uji konfirmasi sederhana menggunakan pewarnaan Gram untuk mengetahui bakteri uji yang digunakan tidak terkontaminasi dengan bakteri lain. Bakteri diwarnai dengan zat warna kristal violet dan iodium, dibilas dengan alkohol, kemudian diwarnai lagi dengan zat warna merah safranin. Struktur dinding sel akan menentukan respon pewarnaan. Bakteri positif ditandai dengan warna violet sedangkan bakteri Gram-negatif ditandai dengan warna merah. Selanjutnya kultur bakteri uji disegarkan dalam media NB inkubasi 24 jam. Kemudian bakteri uji ditumbuhkan dalam media NA menggunakan metode tuang untuk mengetahui jumlah bakteri awal.

Gambar 16. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x

S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk kokus (bulat). Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 5,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. aureus memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 16.


(33)

21

B. cereus ditandai dengan bentuk morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri B. cereus pada penelitian ini sebesar 7,4 x 106 CFU/ml (Lampiran 1). Jumlah Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri B. cereus memerlukan pengenceran sebesar 1/10 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri B. cereus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 18. Bentuk morfologi bakteri S.Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x

S. Typhimurium ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna merah dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri S.

Typhimurium pada penelitian ini sebesar 6,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri ini disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S.

Typhimurium memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105

Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri Gram-positif terdiri dari peptidoglikan akan menjerap warna violet. Sedangkan bakteri Gram-negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan, yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar selnya tetap menahan zat warna merah.

. Bentuk morfologi bakteri S. Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 18.

Jumlah awal kultur bakteri ini digunakan penyeragaman jumlah bakteri pada saat pengujian sehingga dapat terukur secara proporsional. Jumlah bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas antimikroba berkisar 105. Jumlah bakteri dengan kisaran tersebut dianggap jumlah yang cukup yaitu bakteri dapat tumbuh cukup sehat dan tidak terlalu banyak. Inokulum berkisar 105 direkomendasikan dalam pengujian aktivitas antimikroba (CDRH, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk bakteri uji B. cereus diperlukan pengenceran sebesar 1/10 sedangkan untuk bakteri uji S. aureus dan S. Typhimurium diperlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105

Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Bakteri

B. cereus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 20 jam, bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 16 jam dan bakteri S. Typhimurium mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 12 jam (Parhusip, 2006).

.

Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Menurut Sheu dan Freese (1972) bakteri pada fase stasioner lebih sensitif terhadap antimikroba


(34)

22 asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat daripada fase pertumbuhannya. Hal ini disebabkan penambahan asam lemak rantai pendek dapat dimanfaatkan oleh bakteri pada saat pertumbuhan sebagai sumber pembentuk asam lemak.

B.

PEMBUATAN SERBUK JAHE

Sebanyak 3,06 kg rimpang jahe gajah segar dicuci bersih, ditiriskan dan diiris menggunakan

slicer dengan ketebalan 1,5 mm. Jahe yang digunakan untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin yaitu jahe yang berumur 8 – 10 bulan (Purseglove et al., 1981). Pengupasan kulit tidak dilakukan untuk menghindari hilangnya kandungan minyak atsiri dalam jahe (Guenther, 1952). Semakin tipis lembaran jahe yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 55 o

Rendemen serbuk jahe gajah kering yang diperoleh dalam penelitian yaitu sebesar 9,98 % (w/w) (Lampiran 2). Serbuk jahe yang diperoleh kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk meminimalisir kerusakan. Serbuk jahe yang digunakan dalam penelitian hanya mengalami penyimpanan dalam lemari pendingin selama dua hari untuk selanjutnya dilakukan tahap ekstraksi.

C selama 5 jam hingga kering. Proses pengeringan dapat menghilangkan air dengan baik sehingga sampel tidak mudah rusak dalam jangka waktu yang lama. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 °C sampai 90 °C, tetapi suhu yang terbaik tidak melebihi 60 °C (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dihaluskan dan diayak dengan ukuran 20 mesh hingga didapatkan serbuk jahe halus yang homogen. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas permukaan dan meningkatkan interaksi antara pelarut dengan senyawa yang akan diekstrak sehingga senyawa yang terekstrak semakin banyak pada tahap ekstraksi (Singh, 2008).

C.

EKSTRAKSI

MASERASI BERTINGKAT

DENGAN PELARUT

HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL

Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam serbuk jahe dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Serbuk jahe sebanyak 100 g diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker

sebesar 150 rpm. Pada metode maserasi bertingkat digunakan pelarut pada berbagai tingkat kepolaran maka akan diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik.

Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan menguapkan dalam rotavapor. Pelarut heksan dan etil asetat diuapkan pada suhu 50 oC dan pelarut etanol diuapkan pada suhu 70 o

Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi bertingkat diperoleh beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe. Masing-masing jenis ekstrak yang diperoleh dihitung rendemennya berdasarkan persentase bobot ekstrak jahe setelah dipekatkan dengan rotavapor dibandingkan dengan bobot serbuk jahe kering (100 gram). Data rendemen ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 3.

C. Sisa pelarut dihilangkan dengan dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak jahe menguap. Setelah itu pemekatan disempurnakan dengan proses keringbeku menggunakan freeze dry. Kemudian ditutup rapat dalam vial dan disimpan dalam lemari pendingin hingga dilakukan analisis lanjut.


(35)

23 Tabel 10. Hasil ekstraksi jahe metode maserasi bertingkat dengan berbagai pelarut

Jenis ekstrak Rendemen ekstrak jahe (g/100g serbuk jahe kering) *

Warna ekstrak jahe

Ekstrak Heksan (EH) 3,57 Coklat pekat Ekstrak Etil asetat (EEA) 3,17 Coklat pekat Ekstrak Etanol (EE) 3,02 Coklat pekat Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa ekstraksi yang diperoleh dari maserasi bertingkat dengan pelarut heksan menghasilkan rendemen ekstrak yang paling besar yaitu 3,57 % (w/w) kemudian ekstraksi dengan pelarut etil asetat yaitu 3,17 % (w/w) dan rendemen yang terkecil yaitu ekstraksi dengan etanol yaitu 3,02 % (w/w). Hasil ini menunjukkan kandungan pada jahe yang bersifat non-polar lebih dominan dibandingkan dengan komponen semi-polar dan polar pada jahe. Rendemen ekstrak jahe dihasilkan serupa dengan yang telah dilakukan oleh Radiati (2002) yang menyatakan ekstrak heksan dan etanol jahe dengan menggunakan metode maserasi bertingkat diperoleh sebesar 3,23 ± 0,25 dan 2,16 ± 0,31 % (w/w). Perbedaan tingkat kematangan jahe yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan perolehan rendemen ekstrak. Hal ini disebabkan akibat perbedaan kandungan senyawa dan jumlah senyawa yang terekstrak (Houghton dan Raman, 1998) .

Pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70 o

Perlakuan keringbeku dimaksudkan untuk menghilangkan air yang masih terkandung dalam ekstrak dan menghindari pengeringan dengan panas yang dapat menghilangkan komponen volatil dalam ekstrak, namun perlakuan kering-beku menyebabkan rendemen ekstrak jahe berkurang. Kehilangan ekstrak jahe setelah perlakuan kering-beku berakibat pada hilangnya komponen aktif yang bersifat volatil yang terdapat dalam ekstrak jahe (Tabel 11, Lampiran 3).

C untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang diharapkan dapat menguapkan sisa pelarut heksan, etil asetat dan etanol yang terdapat pada ekstrak jahe namun diduga menyebabkan komponen aktif pada ekstrak jahe ikut menguap dan dimungkinkan komponen aktif terdegradasi pada suhu pemekatan tersebut.

Tabel 11. Kehilangan ekstrak jahe setelah freeze dry Jenis ekstrak Rendemen

ekstrak jahe (%) (g ekstrak /100g serbuk jahe kering) *

Rendemen ekstrak jahe setelah freeze dry (%) (g ekstrak setelah freeze dry

/100g serbuk jahe kering) *

% kehilangan ekstrak setelah freeze dry

(((rendemen ekstrak– rendemen ekstrak setelah

freeze dry) / rendemen ekstrak) x 100 %) Ekstrak Heksan (EH) 3,57 2,68 24,82 Ekstrak Etil asetat

(EEA)

3,17 2,08 34,23

Ekstrak Etanol (EE) 3,02 0,44 85,43 Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan

Ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut heksan didapatkan rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,00 % (w/w) dan ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut


(36)

24 etanol didapatkan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,13 % (w/w) dan ekstrak jahe menggunakan microwave didapatkan rendemen sebesar 0,88 % (w/w) dengan pelarut heksan sedangkan dengan pelarut etanol didapatkan rendemen sebesar 1,14 % (w/w) (Alfaro et al., 2003).

Menurut Fakhrudin (2008) ukuran serbuk jahe yang berbeda serta lamanya waktu ekstraksi dapat berpengaruh terhadap rendemen ekstrak jahe yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan diduga masih terdapat kadar air dalam jumlah yang sangat kecil pada ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan esktrak etanol jahe dapat dilihat dari karakteristik fisik hasil ekstrak yang berbentuk pasta setelah tahap perlakuan keringbeku.

Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Gambar beragam ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Ekstrak kasar jahe dengan maserasi bertingkat

D.

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK HEKSAN,

ETIL ASETAT DAN ETANOL JAHE

Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat diujikan aktivitas antimikrobanya terhadap B. cereus, S. aureus dan S.

Typhimurium menggunakan metode difusi sumur pada konsentrasi ekstrak jahe sebesar 100 mg/ml dengan diameter sumur sebesar 5 mm ketebalan 4 mm. Pemilihan konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. (2007) yang secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella anatum dengan menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman.

Uji difusi sumur bertujuan mengetahui potensi awal beragam ekstrak jahe sebagai antimikroba alami (Parish dan Davidson, 1993). Aktivitas antimikroba ekstrak jahe dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media NA yang diisikan ekstrak sampel, kontrol positif serta kontrol negatif. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri tidak tumbuh. Zona hambat diukur dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Nilai zona hambat ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 12 dan pada Lampiran 4.


(37)

25 Tabel 12. Zona hambat ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri uji

Bakteri uji Zona hambat (mm)

EH EEA EA Kontrol (+) Kontrol (-)

B. cereus 6,1 6,6 6,0 20,6 0,0

S. aureus 5,0 5,7 1,3 16,6 0,0

S. Typhimurium 0,0 0,0 0,0 15,0 0,0 Keterangan : EH: ekstrak heksan jahe; EEA: ekstrak etil asetat jahe; EA:

ekstrak etanol jahe; (+) kontrol positif /antibiotik kloramfenikol 100µg/ml air steril; (-) kontrol negatif /DMSO

Gambar 20 menunjukkan diameter hambat berupa zona bening yang menandakan adanya penghambatan dihasilkan oleh beragam ekstrak pada bakteri uji.

Gambar 20. Zona bening ekstrak jahe pada bakteri uji

Secara umum terlihat bahwa kloramfenikol dengan konsentrasi 100 µg/ml air steril sebagai kontrol positif menunjukkan diameter penghambatan terbesar (15,0 – 20,6 mm). Pelarut DMSO sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona bening yang menandakan tidak adanya diameter penghambatan yang dihasilkan, sedangkan ekstrak jahe yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol menunjukkan diameter penghambatan yang beragam terhadap bakteri uji (1,3 – 6,6 mm), kecuali bakteri S. Typhimurium tidak menunjukkan adanya diameter penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mg/ml.

Kontrol negatif yaitu DMSO merupakan pelarut untuk melarutkan ekstrak jahe sebelum digunakan dalam pengujian. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa DMSO tidak menunjukkan adanya zona bening sehingga peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antimikroba ekstrak jahe. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Singh et al. (2008) yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO merupakan pelarut umum yang digunakan dalam pengujian karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik non-polar maupun polar. DMSO berperan sebagai emulsifier. Selain itu, DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut komponen organik yang baik (Carey dan Sundberg, 2007).

Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat. Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan karenanya digunakan dalam konsentrasi

Kontrol (-) / DMSO

Kontrol (+) / kloramfenikol Ekstrak etanol Ekstrak etil asetat Ekstrak heksan


(38)

26 yang kecil yaitu 0,01 % (w/v) sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak dengan kontrol positif yaitu sebesar 10.000 : 1. Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan mengukur potensi aktivitas antimikroba jahe. Kloramfenikol dapat menghambat sintesis protein pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida pada ribosom. Kloramfenikol dapat melumpuhkan sel bakteri tanpa mengganggu sel manusia dan eukariota lain (Madigan et al., 2003).

Penggunaan antibiotik kloramfenikol mengacu pada penelitian Ahmad dan Beg (2001) yang secara efektif dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 100 µg/ml. selain itu kloramfenikol termasuk antibiotik yang memiliki spektrum penghambatan yang luas (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil penelitian antibiotik kloramfenikol diketahui dapat menghambat bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium berturut-turut yaitu 20,6; 16,6; 15,0 mm. Kloramfenikol dilaporkan dapat menghambat bakteri patogen lain diantaranya pada 20 serogroups E. coli yaitu serogroups yang bersifat patogen seperti E. coli O8 (enterotoxigenic

E. coli, ETEC) dan E. coli O157 (enterohemorrhagic E. coli, EHEC) serta E. coli yang bersifat non-patogen seperti E. coli O86, O30, O1, O69, O80, O88, O91, O51, O25, O116, O78, O22, O101, O33, O173, O104, O165 dan O63 dengan penghambatan berkisar antara 22 – 31 mm pada konsentrasi 30 µg/disk (Indu et al., 2006). Kloramfenikol pada konsentrasi 10 mg/ml DMSO dilaporkan tidak dapat menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa dan

Klebsiella pneumoniae (Singh et al., 2008).

Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml tidak dapat menghambat bakteri uji S.

Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. Typhimurium lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Kandungan ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml belum mampu melisis sel bakteri S. Typhimurium.

Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dari dinding sel yaitu lapisan lipopolisakarida (LPS) antara bakteri negatif dan bakteri positif. Bakteri Gram-positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana, dengan jumlah peptidoglikan yang relatif banyak. Dinding sel bakteri Gram-negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel Gram-negatif mengandung lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik (beracun) dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem pertahanan sel inangnya (Campbell et al., 2003). Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri S.Typhimurium ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh sehingga diduga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat.

Penggolongan sifat aktivitas penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri S. aureus, B. cereus

dan S. Typhimurium pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Sagdic et al. (2005) yang menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan sebesar > 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm.


(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Jumlah kultur bakteri awal

Bakteri uji Ulangan Pengenceran CFU/ml

10-5 10-6 10-7 10-8

B. cereus 1 64 6 0 0 7,4 x 106

2 85 10 0 0

S. aureus 1 TBUD TBUD 39 5 5,2 x 108

2 TBUD TBUD 64 12

S. Typhimurium 1 TBUD TBUD 53 8 6,2 x 108

2 TBUD TBUD 71 3

Lampiran 2.

Rendemen serbuk jahe kering

Bobot jahe Jumlah

Bobot jahe segar 3060,00 g

Bobot jahe setelah menjadi serbuk 305,65 g Rendemen serbuk jahe kering ((bobot

jahe setelah menjadi serbuk /bobot jahe segar) x100%)


(2)

Lampiran 3. Rendemen ekstrak jahe dengan maserasi bertingkat Pelarut Ulangan W

kosong (g)

W kosong +isi (g)

W ekstrak (g) (W kosong+isi – W kosong)

Rendemen ekstrak (%) ((W ekstrak / 100 g serbuk jahe kering) x 100 %)

W kosong +isi freeze dry (g)

W ekstrak setelah freeze dry (g) (W kosong+isi setelah freeze dry – W kosong)

Rendemen ekstrak setelah freeze dry (%) ((W ekstrak setelah freeze dry/ 100 g serbuk jahe kering) x 100 %)

% kehilangan ekstrak setelah freeze dry (((rendemen ekstrak– rendemen ekstrak setelah freeze dry) / rendemen ekstrak) x 100 %)

Heksan

1 9,54 13,28 3,74 3,74 12,22 2,68

2,68 28,34

2 9,72 13,11 3,39 3,39 12,40 2,68

2,68 20,94

Rata-rata 3,57

2,68 24,82

Etil asetat

1 9,51 12,62 3,11 3,11 11,75 2,41 2,41 22,51

2 9,46

12,69 3,23 3,23 11,74 1,76 1,76 45,51

Rata-rata 3,17 2,08 34,23

Etanol

1 9,34 13,15 3,81 3,81 10,10 0,76 0,76 80,05

2 9,98 12,21 2,23 2,23 10,10 0,12 0,12 94,62


(3)

Lampiran 4. Diameter penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri uji

Pelarut

Ulangan Bakteri uji

B.cereus S.aureus S.Typhimurium

Heksan

1 4,1 5,0 0,0

2 8,1 5,1 0,0

Rata-rata

6,1 5,0 0,0

Etil asetat

1 6,1 5,0 0,0

2 7,2 6,4 0,0

Rata-rata

6,6 5,7 0,0

Etanol

1 5,0 1,4 0,0

2 7,0 1,2 0,0

Rata-rata

6,0 1,3 0,0

Kontrol positif/kloramfenikol 20,6 16,6 15,0


(4)

Bakteri uji Konsentrasi ekstrak etil asetat (%)

Waktu inkubasi

(jam)

10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

Jumlah koloni (CFU/ml)

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

B. cereus

0 0 178 230 34 69 0 7 2,3x10

5

24 80 67 16 18 0 0 7,4x107

5 0 121 197 44 37 11 3 1,8x10

5

24 113 101 13 5 0 0 1,1x106

10 0 160 171 15 18 2 3 1,6x10

5

24 63 47 9 23 3 0 5,5x105

15 0 114 178 43 31 1 0 1,7x10

5

24 5 9 0 3 0 0 7,0x104

20 0 101 131 11 2 1 1 1,2x10

5

24 13 25 2 6 0 0 0 0 2,5x104

S.aureus

0 0 TBUD TBUD 97 89 23 21 9,3x10

5

24 TBUD TBUD 132 98 31 25 1,3x109

5 0 TBUD TBUD 101 79 24 22 9,0x10

5

24 TBUD TBUD 131 71 11 4 1,0x107

10 0 TBUD TBUD 100 73 23 15 8,6x10

5

24 TBUD TBUD 73 54 18 5 6,4x106

15 0 TBUD TBUD 105 81 41 22 9,3x10

5

24 TBUD TBUD 37 42 4 3 4,0x106

20 0 TBUD TBUD 102 83 7 14 9,2x10

5

24 59 47 13 6 0 0 5,3x105


(5)

Bakteri uji Konsentrasi ekstrak etil asetat (%)

Waktu inkubasi

(jam)

10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

Jumlah koloni (CFU/ml)

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

B. cereus

0

0 197 172 64 85 6 10 2,4x105

24 124 79 41 44 15 4 1,3x108

5

0 201 188 33 29 9 7 2,0x105

24 115 89 13 9 0 0 1,0x106

10

0 184 164 31 27 0 0 2,0x105

24 27 51 10 8 0 0 3,9x105

15

0 202 231 45 52 3 1 2,4x105

24 108 102 24 12 3 0 0 0 1,0x105

20

0 207 230 62 78 3 0 2,6x105

24 42 28 4 3 0 0 0 0 3,5x104

S.aureus

0

0 TBUD TBUD 98 77 24 19 8,8x105

24 TBUD TBUD 164 139 32 41 1,7x109

5

0 TBUD TBUD 80 88 20 18 8,4x105

24 TBUD TBUD 89 103 13 23 9,6x106

10

0 TBUD TBUD 102 90 7 14 9,6x105

24 TBUD TBUD 37 42 4 3 4,0x106

15

0 TBUD TBUD 91 97 24 19 9,4x105

24 TBUD TBUD 79 30 11 7 5,4x106

20

0 TBUD TBUD 85 94 9 15 9,0x105

24 41 45 2 7 0 0 4,3x105


(6)

Bakteri uji Konsentrasi ekstrak etil asetat (%)

Ulangan Jumlah koloni yang tumbuh (t = 0 jam)

Jumlah koloni yang tumbuh (t = 24 jam)

Penurunan jumlah bakteri (%) (((jumlah koloni yang tumbuh setelah

24 jam - jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam) / jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam) x 100%) B. cereus 0

1 2,3x 105 7,4 x107 -

2 2,4x105 1,3 x108 -

Rata-rata 2,3x105 1,0 x108 -

5

1 1,8x105 1,1 x106 -

2 2,1x105 1,0 x106 -

Rata-rata 1,9 x105 1,0 x106 -

10

1 1,6 x105 5,5 x105 -

2 2,0 x105 3,9 x105 -

Rata-rata 1,8 x105 4,7 x105 -

15

1 1,7 x105 7,0 x104 57,92

2 2,4 x105 1,1x105 56,42

Rata-rata 2,0 x105 8,8 x104 57,03

20

1 1,2 x105 2,5 x104 78,45

2 2,6 x105 3,5 x104 86,66

Rata-rata 1,9 x105 3,0 x10

84,14 4 S. aureus 0

1 9,3 x105 1,3 x109 -

2 8,8 x105 1,7 x109 -

Rata-rata 9,0 x105 1,5 x109 -

5

1 9,0 x105 1,0. x107 -

2 8,4 x105 9,6 x106 -

Rata-rata 8,7 x105 9,8 x106 -

10

1 8,6 x105 6,4 x106 -

2 9,6 x105 4,0 x106 -

Rata-rata 9,1 x105 5,2 x10

-

6

15

1 9,3 x105 4,0 x106 -

2 9,4 x105 5,4 x106 -

Rata-rata 9,4 x105 4,7 x10

-

6

20

1 9,2 x105 5,3 x105 42,70

2 9,0 x105 4,3 x105 51,96

Rata-rata 9,1 x105 4,8 x10

47,25

5


Dokumen yang terkait

Efek Antiinflamasi Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinalle roscoe) pada Gigi Kelinci (Oryctolagus cuniculus) (Penelitian In Vivo)

4 99 95

Efek Analgesik Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinalle roscoe) Terhadap Inflamasi Pulpa pada Gigi Kelinci (Oryctolagus cuniculus) (Penelitian in vivo)

7 103 91

Formulasi Sediaan Gel dan Krim dari Ekstrak Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe)”.

24 174 112

Pengaruh Pemberian Ekstrak Metanol Rimpang Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma dan Otot Gastroknemius Mencit Sebelum Latihan Fisik Maksimal

1 39 73

Uji Efektivitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus viridans

2 44 61

Pengaruh Sari Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Aktivitas Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Infeksi Makanan

0 14 94

AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roscoe) DAN JAHE MERAH (Zingiber AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roscoe) DAN JAHE MERAH (Zingiber officinale Roscoe var. rubrum) TERHADAP SEL KANK

1 2 16

PENDAHULUAN AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE (Zingiber officinale Roscoe) DAN JAHE MERAH (Zingiber officinale Roscoe var. rubrum) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA T47D.

0 1 17

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL JAHE Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe var rubrum) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Dan Candida albicans.

0 0 7

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL JAHE MERAH (Zingiber officinale Roscoe var rubrum) TERHADAP Staphylococcus aureus, Escherichia coli, DAN Candida albicans Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe var rubrum) Terhada

0 0 14