Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Amfibi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo dan Sekitarnya

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN SPASIAL
AMFIBI DI SUAKA MARGASATWA NANTU
GORONTALO DAN SEKITARNYA

LUNA RAFTIKA KHAIRUNNISA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman
Jenis dan Sebaran Spasial Amfibi Di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo dan
Sekitarnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Luna Raftika Khairunnisa
NIM E34090068

ABSTRAK
LUNA RAFTIKA KHAIRUNNISA. Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial
Amfibi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo dan Sekitarnya. Dibimbing oleh
MIRZA DIKARI KUSRINI dan LILIK BUDI PRASETYO
Kawasan Suaka Margasatwa Nantu merupakan salah satu hutan hujan di
Sulawesi yang merupakan bagian dari kawasan Wallaceae. Hingga saat ini Suaka
Margasatwa Nantu lebih terfokus kepada pelestarian babirusa sehingga data
mengenai amfibi belum tersedia. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi tipetipe habitat dan keanekaragaman jenis amfibi di SM Nantu dan sekitarnya.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 14-27 Juni 2013. Pengamatan dilakukan
di tujuh lokasi dengan fokus utama pada daerah timur dari SM Nantu. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah Visual Encountering Survey (VES)
yang dikombinasikan dengan Time Search. Peta sebaran spasial amfibi
menunjukkan perbedaan komposisi jenis berdasarkan 4 tipe habitat (sawah,

kebun, hutan rendah gangguan, hutan tanpa gangguan). Komposisi jenis yang
ditemukan adalah 17 jenis dari 4 famili. Famili Dicroglossidae merupakan famili
yang paling banyak ditemukan. Terlihat perbedaan yang jelas antara komposisi
amfibi di wilayah yang berhutan dengan wilayah yang telah mendapat gangguan
manusia.
Kata Kunci: amfibi, keanekaragaman, Suaka Margasatwa Nantu, Sulawesi

ABSTRACT
LUNA RAFTIKA KHAIRUNNISA. Diversity and Spatial Distribution of
Amphibians in Nantu Wildlife Reserve and Its Surrounding Areas. Supervised by
MIRZA DIKARI KUSRINI and LILIK BUDI PRASETYO.
Nantu Wildlife Reserve area is one of tropical remnant forest in Sulawesi,
a part of Wallaceae bioregion. Nantu Wildlife Reserve was established especially
to conserve babirusa, and therefore amphibians data is not available yet.
Objectives of the research were to identify types of habitat and species diversity of
amphibians in Nantu Wildlife Reserve and its surrounding areas. Data were
collected on 14th to 27th of June 2013. Observations were made at seven locations
focusing on the east area of the Nantu Wildlife Reserve. Species data were
collected using Visual Encountering Survey (VES) combined with Time Search
methods. During observation, 4 families were found consisted of 17 species. A

map of the spatial distribution of amphibians showed that there was species
composition differences among four types of habitats (fields, gardens, low
disturbed forest, undisturbed forest). Family of Dicroglossidae was the most
common family. There was a clear distinction composition of amphibians between
the of amphibians in forest areas with areas that have been cultivated/disturbed by
humans.
Keywords: amphibian, diversity, Nantu Wildlife Reserve, Sulawesi

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN SPASIAL
AMFIBI DI SUAKA MARGASATWA NANTU
GORONTALO DAN SEKITARNYA

LUNA RAFTIKA KHAIRUNNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Amfibi di Suaka
Margasatwa Nantu Gorontalo dan Sekitarnya
: Luna Raftika Khairunnisa
: E34090068

Disetujui oleh

Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
Pembimbing I


Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni 2013 ini ialah
Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Amfibi di Suaka Margasatwa Nantu
dan Sekitarnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan semangat, saran, nasihat dan bimbingan selama penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada

BOPTN DIKTI dan Dr Jody J.L Rowley dari Australian Museum atas bantuan
dana kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. Terima kasih kepada pihak
BKSDA Manado, Bapak Hendrik selaku Kepala Seksi Suaka Margasatwa Nantu,
dan Ibu Hasni beserta keluarga yang telah memberikan akses kepada penulis
untuk melaksanakan penilitan di Suka Margasatwa Nantu. Ungkapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Aria Nusantara, Hendrik Abdul, Kadir, Ipin, dan Podu
yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data. Terima kasih kepada Ibu
Yasmin Lamakarak dan keluarga yang memberikan fasilitas kepada penulis
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Dr
Datep Purwa Saputra, MM), ibu (Dra. Ika Farida), kakak (Muhammad Fathan
Nautika, SH), adik (Muhammad Faturrahman Wiracakti), serta seluruh keluarga,
atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis sampaikan
terimakasih kepada Novita Puji Leksono, SHut, Fatwa Nirza Susanti, SHut,
Kamaludin Asyaebani, SHut, rekan-rekan dan senior di Laboratorium Katak dan
Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, staf pengajar
DKSHE, rekan-rekan Anggrek Hitam KSHE 46, serta pihak-pihak lain yang telah
memberikan dukungan dan masukan sehingga karya ilmiah ini dapat
terselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014


Luna Raftika Khairunnisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan

2

Manfaat

2

METODE

2

Waktu dan Lokasi

2


Metode Pengumpulan Data

3

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

6
6
15
19

Simpulan


19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

23

DAFTAR TABEL
1 Usaha pencarian amfibi
2 Keanekaragaman amfibi dengan menggunakan Shannon Indeks (H’) dan
kemerataan komunitas (E)
3 Jenis amfibi yang ditemukan di Suaka Margasatwa Nantu dan informasi
endemisitas, serta status konservasi berdasarkan CITES, IUCN dan PP

no.7 tahun 1999
4 Jenis amfibi dominan pada setiap tipe habitat
5 Perubahan komposisi jenis amfibi pada habitat sawah, kebun, hutan
rendah gangguan, dan hutan tanpa gangguan
6 Komposisi jenis amfibi berdasarkan kelas ketinggian

4
9

10
11
12
14

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Kawasan Suaka Margasatwa Nantu
2 Diagram Alir Pembuatan Peta Distribusi Amfibi
3 (a) Tipe Habitat Sawah, (b) Tipe Habitat Kebun, (c) Tipe Habitat Hutan
Rendah Gangguan, (d) Tipe Habitat Hutan Tanpa Gangguan.
4 Peta Sebaran Amfibi Berdasarkan Tutupan Lahan
5 Jumlah Jenis dan Individu Setiap Famili
6 Grafik Penambahan Spesies
7 Peta Sebaran Amfibi Berdasarkan Ketinggian dan Sungai
8 Dendogram Kesamaan Jenis Amfibi pada Setiap Lokasi Pengamatan

2
5
7
8
9
9
13
14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perubahan kelimpahan relatif jenis amfibi yang berubah dari satu tipe
habitat ke tipe habitat lainnya.
2 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di suaka margasatwa nantu dan
sekitarnya. (lanjutan)

22
22

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Nantu, Gorontalo merupakan salah satu
hutan hujan yang masih utuh di Sulawesi yang merupakan bagian dari kawasan
Wallaceae atau zona peralihan (Clayton 2010). Selain itu Clayton (2010) juga
menyatakan bahwa Hutan Nantu merupakan habitat terbaik berbagai jenis satwa
liar seperti babirusa, anoa, yaki, tarsius dan lebih dari 90 jenis burung, termasuk
35 jenis yang endemik. Menurut Nantu Forest Conservation Fund (NFCF)
(2009), penelitian yang dilakukan di Hutan Nantu terkait survey jenis satwa masih
sangat terbatas karena kurangnya sumberdaya, namun dapat dipastikan bahwa
Hutan Nantu masih menyimpan jenis-jenis yang unik terutama kelelawar, tikus,
ikan, serangga serta amfibi dan reptil.
Jagung dan kelapa menjadi komoditi utama Provinsi Gorontalo sehingga
banyak terjadi konversi lahan, khususnya hutan, menjadi ladang dan perkebunan.
Hal ini juga terjadi di sekitar kawasan SM Nantu yang dikelilingi oleh ladang
jagung dan kebun kelapa. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kondisi SM
Nantu.
Amfibi merupakan kelas yang termasuk ke dalam kingdom animalia dan
terdiri dari berbagai macam jenis yang tersebar di berbagai tipe habitat. Umumnya
data mengenai amfibi yang ada hanya mencakup jumlah jenis dan masih dalam
lingkup wilayah yang luas. Menurut Mistar (2008), terdapat beberapa jenis amfibi
dan reptil yang memiliki habitat yang spesifik sehingga berfungsi untuk
memberikan peringatan saat terjadi perubahan lingkungan. Namun pada beberapa
kawasan belum terdapat data yang memadai baik terkait jumlah jenis maupun
penyebarannya, sedangkan pada kawasan konservasi data mengenai persebaran
jenis di kawasan yang spesifik sangat diperlukan. Selain itu, keberadaan amfibi
dapat dijadikan sebagai bio-indikator kondisi lingkungan. Wanger et al. (2009)
menyatakan amfibi di Sulawesi lebih terpengaruh oleh perubahan penggunaan
lahan dibandingkan reptil. Terdapat perbedaan komposisi jenis serta berkurangnya
keanekaragaman dan kekayaan jenis amfibi seiring dengan kerusakan yang terjadi
pada wilayah yang masih alami menjadi lahan terbuka seperti ladang, perubahan
ini dapat menjadi indikator penting dalam perencanaan konservasi kawasan
(Wanger et al. 2009). Amfibi yang memiliki habitat spesifik seringkali sangat
peka terhadap perubahan kondisi lingkungan meskipun perubahan tersebut sangat
kecil, sehingga hal ini dapat dijadikan indikator terjadinya perubahan kondisi
lingkungan sehingga dapat dilakukan pencegahan sebelum terjadi kerusakan yang
lebih besar (Stebbins dan Cohen 1997).
Habitat amfibi dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan lokasi
ditemukannya yaitu akuatik, semi akuatik, dan teresterial (Mistar 2008). Kawasan
Suaka Margasatwa Nantu memiliki luas sekitar 31215 ha dan dilalui beberapa
anak sungai sehingga sangat memungkinkan kawasan ini memiliki ketiga tipe
habitat tersebut. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya penelitian untuk
mengetahui keanekaragaman jenis amfibi yang ada di serta persebarannya
berdasarkan tipe habitat sehingga dapat dijadikan data awal bagi pengelolaan
habitat Kawasan Suaka Margasatwa Nantu.

2

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi tipe-tipe habitat
amfibi di Suaka Margasatwa Nantu dan sekitarnya. Serta untuk mengidentifikasi
keanekaragaman jenis amfibi di Suaka Margasatwa Nantu dan sekitarnya.
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal bagi Suaka
Margasatwa Nantu mengenai keanekaragaman jenis amfibi beserta sebaran
spasialnya. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pengelolaan kawasan Hutan Nantu.

METODE

Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada tanggal 13-27 Juni 2013 di Suaka Margasatwa
Nantu (Gambar 1) dan kawasan pemukiman di sekitar kawasan Suaka
Margasatwa untuk mengetahui perbedaan antara habitat terganggu dan habitat
yang relatif tidak terganggu. Identifikasi jenis amfibi dilakukn dengan
membandingkan spesimen di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI,
Cibinong dengan spesimen yang ditemukan saat penelitian, serta menggunakan
beberapa buku identifikasi. Pengolahan dan analisis peta dilakukan di
Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Identifikasi tambahan jenis Limnonectes dilakukan berdasarkan
analisis genetik di Australian Museum oleh Dr Jodi JL Rowley.

Gambar 1 Peta Kawasan Suaka Margasatwa Nantu

3

Pengamatan dilakukan di luar dan dalam kawasan SM Nantu. Terdapat
enam lokasi pengamatan yaitu Sawah Boalemo, Mohiyolo, Bontula 1, Bontula 2,
Batu Wanggubo, dan kaki Gunung Boliyohuto. Sawah Boalemo dan Mohiyolo
merupakan lokasi yang berada di luar kawasan SM Nantu. Lokasi yang berada di
perbatasan SM Nantu adalah Bontula 1. Sedangkan Bontula 2, Batu Wanggubo,
dan kaki Gunung Boliyohuto berada di dalam kawasan SM Nantu.

Metode Pengumpulan Data
Habitat
Data habitat diperlukan untuk membandingkan keanekaragaman amfibi
yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan dan tipe habitat yang berbeda.
Parameter habitat yang diukur meliputi suhu dan kelembaban udara, pH air,
substrat, dan cuaca. Suhu dan kelembaban diambil setiap pengamatan pada titik
awal dan akhir pengamatan menggunakan termometer. Parameter lain yang juga
diambil sebagai data habitat adalah ketinggian, penutupan lahan, serta letak dan
kondisi sungai. Data ketinggian, penutupan lahan, dan sungai didapatkan dari
pengolahan peta dan citra landasat 8 (path: 113, row: 59).
Amfibi
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data amfibi adalah Visual
Encounter Survey (VES) yaitu pengambilan data jenis satwa secara langsung
berdasarkan perjumpaan yang dilakukan pada tipe habitat tersetrial dan akuatik
(Heyer et al. 1994). Metode VES yang digunakan dikombinasikan dengan metode
time search yaitu pengamatan dilakukan selama dua jam dengan waktu pencatatan
data satwa saat perjumpaan tidak dihitung. Time search merupakan metode
pengambilan data dengan waktu penuh yang lamanya waktu disesuaikan telah
ditentukan tanpa menghitung waktu pencacatan data.
Pengamatan amfibi dilakukan pada malam hari pukul 19:00-21:00 WITA
untuk mengamati amfibi yang aktif pada malam hari atau nokturnal. Pengamatan
dilakukan dengan berjalan pada lokasi yang telah ditentukan. Pengamatan amfibi
yang dilakukan memiliki beberapa tahap, yaitu :
a. Survey pendahuluan
Kegiatan ini dilakukan sebelum melakukan pengamatan dengan tujuan
untuk mengetahui karakteristik dan kondisi lapang lokasi penelitian yang akan
dijadikan lokasi pengamatan sehingga akan mempermudah dalam pengambilan
data dan memperbesar peluang perjumpaan dengan amfibi.
b. Pengamatan
Pengamatan difokuskan pada lokasi-lokasi yang diduga menjadi sarang
atau tempat persembunyian amfibi seperti ranting pohon, celah batu, diantara
akar kayu, atau di bawah tumpukan serasah. Total usaha pencarian yang
dilakukan adalah 112 jam-orang dengan rincian pengamatan pada Tabel 1.
Pengamatan dan penangkapan amfibi dilakukan pada seluruh lokasi
pengamatan. amfibi yang dijumpai dalam pengamatan ditandai koordinat
perjumpaannya menggunakan GPS. Amfibi yang telah ditandai koordinatnya
dimasukkan ke dalam plastik spesimen yang telah diberi tanda menggunakan
spidol permanen.

4

Tabel 1 Usaha pencarian amfibi
No

Lokasi

Koordinat

1.

Sawah Boalemo

122°26'46,351"E
0°48'13,654"N
122026’46,463”E
0048’33,755”N

2.

Sungai Mohiyolo

Pengamat
(orang)

Usaha
(jam)

4

4

4

4

Bontula 1

122 28’12,787”E
0050’12,937”N

4

6

Bontula 2

122 28’12,787”E
0050’12,937”N

4

4

Batu Wanggubo

122 28’32’148”E
0051’20,13”N

4

Usaha
Pencarian
(jamorang)
16
16

0

3.

24

0

4.

16

0

5.
6.

Kaki Gunung
Boliyohuto

122°28'26,318"E
0°51'20,038"N
Total

6
24

4

4

16
112

c. Dokumentasi dan identifikasi spesimen
Dokumentasi spesimen dilakukan menggunakan kamera digital saat satwa
baru ditemukan maupun setelah dilakukannya identifikasi jenis dan pencatatan
data. Data yang dicatat saat satwa ditemukan adalah waktu perjumpaan,
substrat, jarak vertikal dan horizontal dari air. Selain itu juga dilakukan
pencatatan data Snout Vent Length (SVL) menggunakan kaliper serta
pengumpulan data berat tubuh amfibi menggunakan timbangan
Identifikasi jenis amfibi dilakukan menggunakan kunci identifikasi jenis.
Data yang dicatat saat identifikasi yaitu nama lokasi, waktu pengamatan, nama
jenis, jenis kelamin, koordinat ditemukan, dan informasi lain. Jenis-jenis yang
belum teridentifikasi menggunakan kunci identifikasi akan diidentifikasi lebih
lanjut di Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI
Cibinong.
d. Preservasi spesimen
Jenis amfibi yang belum teridentifikasi di lapangan diawetkan (preservasi)
agar dapat tahan lebih lama saat dibawa untuk identifikasi lebih lanjut.
Pengawetan yang dilakukan menggunakan alkohol 70%, kemudian spesimen
diberi label dan disimpan di dalam kotak kedap udara. Spesimen penelitian ini
tersimpan di Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang BiologiLIPI Cibinong dengan nomor spesimen MZB AMPH 22973 dan MZB AMPH
23252 sampai 23363.

5

Analisis Data
Analisis Data Habitat
Analisis data habitat dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil olahan
peta, kondisi kenyataan di lapangan dan referensi-referensi kondisi habitat
spesies-spesies yang ditemukan di lokasi penelitian saat pengamatan. Selanjutnya
setiap lokasi pengamatan di kelompokkan ke dalam beberapa tipe habitat
berdasarkan peta ketinggian, sungai, dan tutupan lahan. Tipe habitat tersebut
kemudian dihubungkan dengan keanakaragaman jenis yang ditemui di lokasi
penelitian berdasarkan parameter-parameter yang diperoleh dari analisis data
amfibi.

Gambar 2 Diagram Alir Pembuatan Peta Distribusi Amfibi
Peta ketinggian dan sungai didapatkan melalu pengolahan data SRTM yang
dilakukan di ArcGis 10. Sedangkan peta tutupan lahan didapatkan dengan
pengolahan klasifikasi terbimbing (supervised) pada citra satelit Landsat 8 bulan
April (path: 113, row: 59) yang dilakukan menggunakan Erdas 9 dan dipadukan
dengan ArcGis 10. Analisis distribusi spasial amfibi dilakukan melalui penyatuan
koordinat perjumpaan amfibi di lapangan dengan data spasial berupa peta tematik
pada Gambar 2.
Analisis data amfibi
Data amfibi yang diperoleh selama penelitian dianalisis menggunakan
beberapa indeks, antara lain:
A. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis yang ditemukan dihitung menggunakan Indeks
Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Odum 1993), yaitu:
H’= -Σ Pi Ln Pi

6

Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-i dibagi
jumlah seluruh individu yang diperoleh di suatu lokasi
Variabel tersebut dapat digunakan dengan skala sebagai berikut:
H’ < 1
= Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah
1 < H’ < 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang
H’ > 3
= Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi
Nilai yang diperoleh kemudian akan digunakan untuk membandingkan
keanekaragaman jenis berdasarkan tipe habitat.
B. Kemerataan Jenis
Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan
Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks
Kemerataan Jenis (Odum 1971), yaitu:
E = H’/ Ln S
Keterangan:
E = Indeks Kemerataan Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
C. Kesamaan Jenis dan Pengelompokkan Jenis
Indeks kesamaan digunakan untuk mengetahui pengelompokan lokasi
penelitian dan komunitas antar lokasi pengamatan. Pengelompokan tersebut
dianalisis dengan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dalam program
Minitab 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Habitat amfibi di SM Nantu dan sekitarnya
Lokasi penelitian dibagi kedalam empat tipe habitat berdasarkan jarak dari
pemukiman dan ladang yaitu tipe habitat sawah, kebun, rendah gangguan, dan
tanpa gangguan. Tipe habitat sawah terletak di dekat pemukiman warga dan
memiliki sumber air yang mengalir berupa selokan. Tipe habitat kebun merupakan
tipe habitat dengan lokasi di perbatasan antara kawasan suaka margasatwa dan
pemukiman atau luar kawasan yang didominasi oleh daerah ladang dan
perkebunan. Tipe habitat rendah gangguan merupakan daerah peralihan antara
perkebunan dan hutan yang lokasinya lebih dekat ke hutan dan termasuk ke dalam
kawasan suaka margasatwa, jenis gangguan yang terjadi pada tipe habitat ini
antara lain pemanenan kayu skala kecil dan pembuatan jalur sarad. Tipe habitat
tanpa gangguan merupakan habitat yang berada jauh dari pemukiman maupun
perkebunan dan bukan termasuk daerah peralihan (edge) (Gambar 4), tidak
terlihat adanya gangguan pada tipe habitat ini.

7

Gambar 3 (a) Tipe Habitat Sawah, (b) Tipe Habitat Kebun, (c) Tipe
Habitat Hutan Rendah Gangguan, (d) Tipe Habitat Hutan
Tanpa Gangguan.
Lokasi sawah Boalemo digolongkan dalam tipe habitat persawahan, tipe
habitat ini merupakan sawah yang lokasinya berada sangat dekat dengan
pemukiman. Lokasi Mohiyolo dan Bontula 1 tergolong dalam tipe habitat kebun,
yaitu daerah yang sangat berdekatan dengan ladang dan kebun campuran tetapi
berada cukup jauh dari pemukiman. Bontula 2 dan Batu Wanggubo merupakan
lokasi yang tergolong tipe habitat hutan rendah gangguan, tipe habitat hutan ini
merupakan daerah yang berada cukup jauh dari ladang tetapi masih dijumpai
aktivitas manusia seperti penebangan skala kecil, dan jalan setapak. Lokasi kaki
Gunung Boliyohuto merupakan tipe habitat hutan tanpa gangguan, yaitu daerah
yang yang berada jauh dari ladang dan pemukiman serta tidak adanya aktifitas
manusia pada daerah tersebut (Gambar 3).
Tipe habitat persawahan merupakan sawah yang terletak di pemukiman
Desa Boalemo. Tipe habitat ini dikelilingi oleh aliran irigasi sawah, namun aliran
ini digunakan untuk berbagai kepentingan masyarakat seperti mandi, cuci, dan
kakus sehingga kondisi air pada daerah ini telah terkontaminasi oleh aktivitas
manusia. Daerah persawahan ini juga berdekatan dengan ladang tebu tetapi berada
jauh dari hutan. Tipe habitat Kebun terbagi dalam dua lokasi yaitu Mohiyolo dan
Bontula 1. Tipe habitat ini memiliki karakteristik berupa daerah dengan vegetasi
homogen sperti ladang dan kebun. Umumnya masyarakat sekitar kawasan Suaka
Margasatwa (SM) Nantu memiliki ladang jagung, kacang tanah, dan tebu. Lokasi
Mohiyolo berada di dekat ladang jagung dan tebu. Sedangkan Bontula 1
merupakan daerah perbatasan kawasan SM Nantu, pada lokasi ini terdapat sebuah
dusun yang hanya terdiri dari 14 kepala keluarga. Hampir setiap keluarga di

8

dusun ini memiliki ladang dan kebun sehingga lokasi ini berada dekat dengan
ladang jangung, kacang tanah, dan kebun kelapa

Gambar 4 Peta Sebaran Amfibi Berdasarkan Tutupan Lahan
Komposisi jenis dan keanekaragaman jenis amfibi di SM Nantu dan
sekitarnya
Berdasarkan pengamatan, ditemukan 18 jenis amfibi dari empat famili
dengan total individu 133 individu. Dicroglossidae merupakan famili dengan
jumlah individu dan jenis terbanyak yaitu 75 individu dari 11 jenis, sedangkan
famili dengan jumlah individu dan jenis yang paling sedikit ditemukan adalah
Rhacophoridae (Gambar 5). Terdapat beberapa jenis yang belum teridentifikasi
dari 18 jenis amfibi yang ditemukan, yaitu empat jenis dari genus Limnonectes
dan satu jenis dari famili Rhacophoridae serta satu jenis yang memiliki kesamaan
morfologi dengan Limnonectes grunniens namun masih diragukan jenisnya (cf =
common form) sehingga selanjutnya akan ditulis sebagai Limnonectes cf
grunniens. Berdasarkan identifikasi lanjutan menggunakan DNA pada jaringan
spesimen yang dilakukan di Australian Museum, ditemukan bahwa terdapat jenis
Limnonectes sp V (Setiadi 2011) dan Limnonectes heinrichi pada lokasi
penelitian. Namun karena mahalnya biaya identifikasi jenis melalui jaringan maka
hanya dilakukan pada enam spesimen, sehingga pembedaan jenis yang belum
diketahui lainnya harus dilakukan melalui pembedaan morfologi. Untuk itu
spesimen Limnonectes yang belum diidentifikasi sampai tingkat spesies ditulis
sebagai Limnonectes sp2, Limnonectes sp3, Limnonectes sp4, dan Limnonectes
sp5. Selain itu ditemukan juga 11 individu berudu yang diidentifikasi sebagai
berudu dari genus Limnonectes.

9

Gambar 5 Jumlah Jenis dan Individu Setiap Famili
Berdasarkan jumlah jenis tersebut dilakukan analisisa terhadap pertambahan
jumlah jenis per hari. Grafik tersebut menunjukkan pada hari terakhir pengamatan
grafik masih mengalamai kenaikan. Hal ini menujukkan bahawa kemungkinan
ditemukannya jenis lain sangat besar terutama jika dilakukan penambahan waktu
dan usaha pencarian serta memperluas lokasi pengamatan (Gambar 6).

Gambar 6 Grafik Penambahan Spesies
Tabel 2 Keanekaragaman amfibi dengan menggunakan Shannon Indeks (H’) dan
kemerataan komunitas (E)
Tipe Habitat
Sawah
Kebun
Hutan Rendah Gangguan
Hutan Tanpa Gangguan

H'
0,29
1,23
2,13
1,49

E
0,42
0,69
0,81
0,72

Indeks keanekaragaman Shannon Wiener menunjukkan bahwa tipe habitat
sawah memiliki nilai keanekaragaman jenis 0,29 yang merupakan nilai terendah
dibandingkan ketiga tipe habitat lainnya. Nilai keanekaragaman dan jenis tertinggi
berada pada tipe habitat hutan rendah gangguan dengan nilai 2,13. Indeks
kemerataan jenis menunjukkan jika nilai yang didapatkan pada suatu lokasi
mendekati 1, maka persebaran jenis-jenis pada lokasi tersebut semakin merata
atau cenderung tidak terdapat jenis yang dominan. Tipe habitat sawah memiliki

10

nilai indeks kemerataan 0,42 yang merupakan nilai terendah. Ketiga tipe
memiliki nilai indeks kemerataan yang tinggi yaitu daerah kebun, hutan
gangguan dan hutan tanpa gangguan, dengan nilai tertinggi pada hutan
gangguan (0,81). Hal ini menunjukkan bahwa amfibi pada ketiga tipe
tersebut cenderung merata (Tabel 2).

habitat
rendah
rendah
habitat

Tabel 3 Jenis amfibi yang ditemukan di Suaka Margasatwa Nantu dan informasi
endemisitas, serta status konservasi berdasarkan CITES, IUCN dan PP
no.7 tahun 1999
Famili
Bufonidae

Dicroglossidae

Ranidae
Rhacophoridae

Nama Latin
Duttaphrynus
melanostictus
Ingerophrynus
celebensis
Fejervarya cancrivora
Fejervarya
limnocharis
Limnonectes cf
grunniens
Limnonectes modestus
Limnonectes heinrichi
Limnonectes sp V
Limnonectes sp2
Limnonectes sp3
Limnonectes sp4
Limnonectes sp5
Occidozyga celebensis
Hylarana celebensis
Hylarana macrops
Hylarana mocquardii
Rhacophorus
endentulus
Rhacophorus sp

Endemik
Sulawesi

CITES

IUCN

PP

Tidak

Tidak

LC

Tidak

Ya

Tidak

LC

Tidak

Tidak

Tidak

LC

Tidak

Tidak

Tidak

LC

Tidak

Tidak

Tidak

LC

Tidak

Tidak
Ya
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Ya
Mungkin
Tidak
Ya
Ya
Ya

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

LC
VU
NE
NE
NE
NE
NE
LC
LC
NT
LC

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Ya

Tidak

DD

Tidak

Mungkin

Tidak

NE

Tidak

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa, tidak ada jenis dalam penelitian ini yang termasuk
kedalam kategori dilindungi serta tidak ada jenis yang termasuk dalam appendiks
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora) meskipun terdapat jenis, Hylarana macrops yang tergolong Near
Threateneddan Limnonectes heinrichi yang tergolong Vulnerable dalam Daftar
Merah IUCN. Daftar tersebut menunjukkan beberapa jenis masih kurang datanya
untuk dievaluasi (status Data deficient pada Rhacophorus edentulus) atau masih
diduga merupakan jenis baru sehingga tidak dievaluasi (NE = Not evaluated).
Terdapat enam jenis amfibi yang tergolong jenis endemik namun jenis
Rhacophorus edentulusbelum terdapat data yang cukup untuk mengetahui
persebaran di Sulawesi untuk menggolongkan dalam jenis endemik. Selain itu
terdapat juga jenis Hylarana macropsyang memiliki persebaran relatif sempit

11

yaitu hanya ditemukan di bagian Utara Pulau Sulawesi (Sulawesi UtaraGorontalo) dan Sulawesi Tengah. Ketiga jenis lainnya memiliki persebaran yang
luas di Sulawesi yaitu Hylarana mocquardii, Ingerophrynus celebensis dan
Hylarana celebensis (Tabel 3).
Tabel 4 Jenis amfibi dominan pada setiap tipe habitat

Jenis
Duttaphrynus
melanostictus
Ingerophrynus celebensis
Fejervarya limnocharis
Limnonectes sp3
Limnonectes sp4
Hylarana macrops
Hylarana mocquardii

Sawah

Tipe habitat
Hutan
Rendah
Kebun
Gangguan

Hutan
Tanpa
Gangguan

Dominan
Dominan
Dominan
Dominan

Dominan

Dominan
Dominan
Dominan

Keempat tipe habitat tersebut juga memiliki komposisi jenis yang berbeda
antara tipe habitat sawah dan kebundengan tipe habitat hutan rendah gangguan
serta hutan tanpa gangguan.Tipe habitat sawah yang berada dekat dengan
pemukiman di dominasi oleh Duttaphrynus melanostictus. Tipe habitat kebun
yang berada dekat dengan kebun namun mulai menjauh dari pemukiman di
dominasi oleh jenis Fejervarya limnocharis dan Ingerophrynus celebensis. Jenis
Hylarana mocquardii dan Limnonectes sp3mendominasi tipe habitat hutan rendah
gangguan yang memiliki jumlah jenis paling banyak. Tipe habitat hutan tanpa
gangguan memiliki jenis yang lebih sedikit serta didominasi oleh Limnonectes
sp4, Hylarana macrops, dan Hylarana mocquardii (Tabel 4).
Sangat terlihat jelas adanya perubahan komposisi jenis dari tipe habitat
sawah hingga hutan tanpa gangguan (Tabel 5).Jenis yang ditemukan pada tipe
habitat sawah hanya Duttaphrynus melanostictus dan Fejervarya cancrivora.
Kedua jenis tersebut tidak lagi ditemukan pada ketiga tipe habitat
lainnya.Ditemukan jenis Fejervarya limnocharis pada tipe habitat kebun, namun
jenis ini tidak ditemukan pada lokasi lainnya. Selain itu juga terdapat jenis
endemik yang umum ditemukan di Sulawesi yaitu Hylarana celebensis dan
Ingerophrynus celebensis.Habitat rendah gangguan memiliki jumlah jenis paling
banyak dan beragam,mulai dari jenis yang relatif umum ditemukan seperti
Hylarana celebensis dan Ingerophrynus celebensis, hingga jenis yang hanya
ditemukan pada tipe habitat tersebut, yaitu Limnonectes sp V dan Rhacoporus sp.
Terdapat pula jenis-jenis yang umum ditemukan pada daerah bervegetasi namun
tidak ditemukan pada daerah tanpa vegetasi, diantaranya Hylarana macrops,
Hylarana mocquardii, Occidozyga celebensis dan Limnonectes modestus. Tipe
habitat hutan tanpa gangguan memiliki jumlah jenis lebih sedikit dibandingkan
hutan rendah gangguan, pada tipe habitat ini tidak lagi ditemukan jenis Hylarana
celebensis dan Ingerophrynus celebensis. Jenis Rhacophorus edentulus yang
merupakan jenis dengan status data deficient (kurang data) menurut IUCN hanya
ditemukan pada tipe habitat ini. Tipe habitat hutan rendah gangguan didominasi

12

oleh Limnonectes sp3 dan Hylarana mocquardii. Kedua jenis ini merupakan jenis
yang memiliki habitat sungai.
Tabel 5 Perubahan komposisi jenis amfibi pada habitat sawah, kebun, hutan
rendah gangguan, dan hutan tanpa gangguan
Tipe Habitat
Jenis
Hutan Rendah Hutan Tanpa
Sawah Kebun
Gangguan
Gangguan
Duttaphrynus
v
melanostictus
Fejervarya cancrivora
v
Fejervarya limnocharis
v
Hylarana celebensis
v
v
Hylarana macrops
v
v
Hylarana mocquardii
v
v
Ingerophrynus celebensis
v
v
Limnonectes cf grunniens
v
v
v
Limnonectes modestus
v
v
Limnonectes heinrichi
v
Limnonectes sp V
v
Limnonectes sp2
v
Limnonectes sp3
v
v
v
Limnonectes sp4
v
v
Limnonectes sp5
v
Occidozyga celebensis
v
v
Rhacophorus endentulus
v
Rhacophorus sp
v
Satwaliar akan menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang
diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002), oleh karena itu
perubahan kondisi habitat akibat gangguan dapat menyebabkan beberapa jenis
tidak dapat beradaptasi dengan baik sehingga kelimpahannya dapat menurun. Hal
sebaliknya bisa terjadi dimana gangguan habitat dapat membuat satu jenis
melimpah karena kurangnya saingan yang tidak dapat beradaptasi terhadapa
perubahan lingkungan. Contoh dari kasus ini adalah keberadaan Duttaphrynus
melanostictus pada sawah yang cukup sering, namun tidak ditemukan di habitat
lain (Lampiran 1).
Keempat tipe habitat dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh ketinggian.
Berdasarkan ketinggian Kawasan Suaka Margasatwa Nantu dan sekitarnya dibagi
menjadi 6 kelas dari daerah pemukiman dengan ketinggian kurang dari 200 m dpl
(hijau tua) hingga daerah perbukitan dengan lokasi tertinggi adalah puncak
Gunung Boliyohuto yang berada pada ketinggian diatas 2000 m dpl (merah).
Tipehabitat sawah merupakan lokasi dengan ketinggian paling rendah yaitu di
bawah 200 m dpl, sedangkan tipe habitat hutan rendah gangguan merupakan
lokasi pengamatan tertinggi yang berada pada kelas ketinggian 600-800 m dpl
(Gambar 7). Lokasi dengan ketinggian diatas 800 m dpl mulai termasuk dalam
daerah perbukitan yang membentang dari di sepanjang Kawasan SM nantu bagian
Utara. Kelas ketinggian diatas 800 m dpl memiliki karakteristik berupa hutan

13

primer dengan tebing-tebing curam dan licin sehingga sangat sulit dan berbahaya
untuk melewati daerah tersebut, maka dalam penelitian ini tidak dilakukan
pengambilan data pada kelas ketinggian di atas 800 m dpl.

Gambar 7 Peta Sebaran Amfibi Berdasarkan Ketinggian dan Sungai
Semakin rendah ketinggian suatu lokasi maka akan semakin dekat dengan
pemukiman, sehingga komposisi jenis amfibi berdasarkan ketinggian tidak jauh
berbeda dengan komposisi jenis amfibi berdasarkan tipe habitat. Lokasi yang
berada pada kelas ketinggian di bawah 200 m dpl adalah sawah dan sebagian
daerah kebun (Mohiyolo) sehingga jenis-jenis yang ditemukan pada kelas
ketinggian ini merupakan jenis yang berada dekat dengan manusia. Jenis
Hylarana macrops Hylarana Mocquardii, Occidozyga celebensis, Limnonectes
modestus, dan genus Rhacophorus baru ditemukan pada ketinggian dia atas 400 m
dpl, pada ketinggian ini ini vegetasi yang ada telah berubah menjadi vegetasi
heterogen, sedangkan Rhacophorus edentulus hanya ditemukan pada kelas
ketinggian 600-800 m dpl (Tabel 6).
Amfibi merupakan satwa yang sangat tergantung dengan ketersediaan air,
sehingga sebagian besar lokasi pengamatan berada dekat dengan sungai.
Berdasarkan pengamatan di lapang dan hasil overlay pada peta, terdapat
perbedaan karakteristik sungai berdasarkan ketinggian. Kelas ketinggian di bawah
200 m dpl memiliki sungai yang berukuran lebar dengan dasar sungai berupa pasir
dan batu berukuran kecil hingga sedang dan memiliki aliran sedang. Selanjutnya,
semakin tinggi kelas ketinggian maka ukuran sungai semakin sempit, dasar sungai
memiliki pasir yang lebih sedikit tetapi ukuran batu yang semakin besar, serta
aliran air yang semakin deras. Namun pada kelas ketinggian 200-400 m dpl yang
berada dekat dengan ladang sungainya memiliki karakteristik berupa aliran yang
lebih tenang serta dasar sungai berupa pasir yang sesekali diselingi oleh bebatuan
dengan ukuran cukup besar.

14

Tabel 6 Komposisi jenis amfibi berdasarkan kelas ketinggian
Jenis

200400

< 200

Duttaphrynus
melanostictus
Fejervarya cancrivora
Fejervarya limnocharis
Hylarana celebensis
Hylarana macrops
Hylarana mocquardii
Ingerophrynus celebensis
Limnonectes cf grunniens
Limnonectes modestus
Limnonectes heinrichi
Limnonectes sp V
Limnonectes sp2
Limnonectes sp3
Limnonectes sp4
Limnonectes sp5
Occidozyga celebensis
Rhacophorus endentulus
Rhacophorus sp

v
v
v
v

Ketinggian (m dpl)
400600- 800600
800
1000

v
v

v
v

v
v

v
v

v

v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v

> 2000

v
v
v
v

v
v
v
v

v

Similaritas

11,43

40,95

70,48

100,00

tu
ba

w

bu
gu
g
an

bo
ki
a
k

to
hu
o
liy

a
ul
nt
bo

2

a
ul
nt
bo

1
m

lo
iyo
h
o

w
Sa

ah

Lokasi

Gambar 8 Dendogram Kesamaan Jenis Amfibi pada Setiap Lokasi Pengamatan
Dilakukan penghitungan indeks kesamaan menggunakan Minitab 16 untuk
mengetahui tingkat keasamaan komunitas pada setiap lokasi pengamatan. Hasil
penghitungan indeks kesamaan menggunakan Ward’s Linkage Clusteringdalam

15

Minitab 16 menunjukkan jenis-jenis yang ditemukan pada Lokasi Batu Wanggubo
dan kaki Boliyohuto memiliki kesamaan jenis amfibi sehingga kedua lokasi
tersebut membentuk komunitas dengan nilai 76,39%, kedua lokasi ini kemudian
mengelompok dan membentuk komunitas dengan jenis-jenis pada Bontula 2
sebesar 54,75%. Lokasi Mohiyolo dan Bontula 1 juga memiliki kesamaan jenis
dan membentuk komintas dengan nilai kesamaan sebesar 78,39%, sedangkan
lokasi Sawah memiliki komunitas yang berbeda dari kelima lokasi lainnya
(Gambar 8).

Pembahasan
Komposisi jenis yang ditemukan di Suaka Margasatwa Nantu dan
sekitarnya sebanyak 17 jenis dari 4 famili. Hasil tersebut masih lebih sedikit bila
dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Sulawesi
seperti penelitian Iskandar dan Tjan (1996) menemukan sekitar 40 jenis amfibi
dari 5 famili dan penelitian oleh Wanger et al. (2011) di Taman Nasional Lore
Lindu yang menemukan 25 jenis amfibi dari 5 famili. Hal ini dikarenakan
penelitian Iskandar dan Tjan (1996) dan Wanger et al. (2011) dilakukan pada
lokasi yang lebih luas dengan waktu penelitian yang lebih lama. Oleh karena itu
grafik pertambahan jenis (Gambar 6) masih menunjukkan kenaikan, artinya masih
memungkinkan untuk ditemukannya jenis-jenis lain pada lokasi penelitian ini.
Keberadaan beberapa jenis yang belum dideskripsikan sesuai dengan temuan
beberapa penelitian lain di Sulawesi bahwa masih banyak jenis-jenis herpetofauna
yang belum dieksplorasi. Setiadi et al.(2011) menemukan bahwa di Sulawesi
setidaknya ada 7 jenis dari famili Limnonectes yang belum teridentifikasi.
Jenis endemik yang ditemukan merupakan jenis yang memiliki tingkat
penyebaran yang beragam yaitu tersebar luas diseluruh Pulau Sulawesi dan hanya
berada pada daerah tertentu saja. Jenis Ingerophrynus celebensis, Hylarana
celebensis, dan Hylarana mocquardii merupakan jenis endemik dengan
penyebaran yang luas namun pada lokasi penelitian dengan tipe habitat sawah,
ketiga jenis tersebut tidak ditemukan, mereka lebih memilik habitat berupa kebun
dan hutan alam. Berdasarkan IUCN (2013) jenis yang memiliki persebaran sempit
adalah Hylarana macrops dan Limnonectes heinrichi. Jenis Limnonectes heinrichi
hanya tersebar di bagian Utara Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara dan sebagian
Gorontalo), sedangkan jenis Hylarana macrops selain tersebar di bagian Utara
Pulau Sulawesi ditemukan pula di daerah Sulawesi Tengah. Van Kampen (1923)
yang menyatakan bahwa Hylarana macrops ditemukan di Pulau Sulawesi
tepatnya di Pegunung Takalekadjo, sekitar Danau Poso, Pegunung Matinan, dan
Gunung Masarang. Jenis Limnonectes spV, Limnonectes sp2, Limnonectes sp3,
Limnonectes sp4, Limnonectes sp5, Rhacophorus sp, dan Rhacophorus edentulus
belum memiliki data yang cukup untuk mengetahui persebarannya di Pulau
Sulawesi, tetapi Van Kampen (1923) menyatakan bahwa Rhacophorus edentulus
berada di Loka Pegunungan Bone,Pegunungan Bulawa, Lembah Totoyla,
Tomohon, Rurukan, dan Bua Praeng.
Keanekaragaman merupakan jumlah jenis yang ditemukan dalam suatu
komunitas (Primack et al. 1998). Nilai keanekaragaman yang didapat pada
seluruh lokasi penelitian hanya 1,28 atau sedang, hal ini didukung oleh pernyataan

16

Whitten et al. (1987) yang menyatakan bahwa Sulawesi memiliki
keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan pulau-pulau lain di
Indonesia dikarenakan sejarah geologi Pulau Sulawesi itu sendiri. Jika melihat
tingkat keanekaragaman berdasarkan tipe habitat maka ditemukan kondisi yang
cukup beragam. Tipe habitat sawah memiliki nilai keanekaragaman terendah yaitu
0,29 atau rendah. Hal ini dikarenakan tipe habitat sawah yang sangat berdekatan
dengan pemukiman atau aktivitas manusia. Selain itu pada tipe habitat ini tidak
ditemukan adanya vegetasi yang dapat menunjang kelangsungan hidup amfibi.
Menurut Iskandar (1998), sebagian besar amfibi hidup di kawasan berhutan
karena membutuhkan kelembaban untuk melindnungi dirinya dari kekeringan.
Jenis yang ditemukan pada habitat ini hanya Duttaphrynus melanostictus (kodok
buduk) dan Fejervarya cancrivora (katak sawah). Kedua jenis ini merupakan jenis
yang telah beradaptasi dengan lingkungan di sekitar manusia. Keanekaragaman
jenis tertinggi berada pada tipe habitat hutan rendah gangguan dengan nilai 2,08
atau sedang. Tipe habitat rendah gangguan merupakan daerah peralihan antara
kebun dan hutan primer, pada lokasi ini masih dijumpai sedikit aktivitas manusia
serta akses jalan (jalan setapak), sehingga tipe habitat ini memiliki relung yang
lebih beragam. Hal tersebut didukung oleh peryataan Odum (1993) bahwa jumlah
jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar pada daerah
peralihan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan komposisi jenis
pada setiap tipe habitat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wanger et al. (2011) yang menyatakan amfibi di Sulawesi lebih terpengaruh oleh
perubahan penggunaan lahan dibandingkan reptil. Mistar (2008) menyatakan
secara umum terdapat tiga tipe habitat amfibi yaitu amfibi yang dapat berasosiasi
dengan manusia seperti pemukiman, sawah, kolam dan berbagai tipe lain yang
merupakan buatan manusia, amfibi yang hidup di daerah peralihan antara hutan
dan pemukiman, dan amfibi yang berhabitat di hutan primer. Sedangkan Sudrajat
(2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar
yaitu: 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada
manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung
pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiai dengan manusia. Pernyataan tersebut
sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan adanya perbedaan komposisi
jenis amfibi mulai dari tipe habitat sawah yang paling dekat dengan aktivitas
manusia (pemukiman) hingga tipe habitat hutan tanpa gangguan yang merupakan
hutan primer dan berada jauh dari aktifitas manusia. Tipe habitat sawah hanya
memiliki dua jenis amfibi yaitu Duttaphrynus melanostictus dan Fejervarya
cancrivora. Meskipun lokasi pengamatan dilakukan di sawah, jenis yang
mendominasi habitat ini adalah Duttaphrynus melanostictus, hal ini dapat
dikarenakan oleh beberapa faktor seperti penggunaan pestisida dan kondisi air
yang tercemar sehingga Fejervarya cancrivora kurang mampu beradaptasi pada
lokasi tersebut. Sedangkan jenis Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis
yang sangat toleran terhadap perubahan lingkungan dan aktifitas manusia, bahkan
menurut Iskandar (1998) jenis ini selalu berada di dekat manusia atau daerah
terganggu lainnya namun tidak pernah ditemukan di hutan hujan tropis.
Pernyataan Iskandar (1998) tersebut juga mendukung hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa jenis ini tidak lagi ditemukan pada ketiga tipe habitat
lainnya. Begitu pula dengan jenis Fejervarya cancrivora yang tidak lagi

17

ditemukan pada habitat lainnya, karena jenis ini cenderung akan berada dekat
dengan habitat persawahan.
Tipe habitat kebun didominasi oleh jenis Fejervarya limnocharis dan
Ingerophrynus celebensis. Jenis Ingerophrynus celebensis merupakan jenis
endemik yang umum ditemukan di Sulawesi, akan tetapi belum banyak penelitian
mengenai jenis ini, namun berdasarkan hasil pengamatan dapat terlihat bahwa
jenis ini masih dapat beradaptasi dengan aktifitas manusia skala kecil. Terbukti
dengan ditemukannya jenis ini pada tipe habitat kebun dan hutan rendah gangguan
tetapi tidak ditemukan pada tipe habitat sawah yang memiliki tingkat aktivitas
manusia lebih tinggi. Wanger et al. (2009, 2011) menggolongkan Fejervarya
limnocharis dan Ingerophrynus celebensis sebagai jenis yang toleran terhadap
gangguan. Jenis Fejervarya limnocharis atau yang biasa dikenal dengan katak
tegalan merupakan jenis yang banyak dijumpai pada daerah perkebunan, tepian
sungai, dan pada kubangan yang dikelilingi rerumputan atau serasah (Kirono dan
Santoso, 2007). Hal ini sesuai dengan kondisi lokasi pengamatan yang berada
sangat dekat dengan daerah kebun (kebun jagung) serta lahan terbuka. Jenis ini
tidak ditemukan pada tipe ketiga tipe habitat lainnya.
Hutan rendah gangguan dan hutan tanpa gangguan memiliki kesamaan tipe
lokasi berupa vegetasi heterogen dan banyak dialiri oleh sungai dengan kondisi air
yang belum tercemar. Hal tersebut yang mempengaruhi tidak lagi ditemukannya
jenis-jenis yang hidup pada daerah dengan vegetasi homogen (sawah dan
perbatasan), seperti Fejervarya limnocharis dan Duttaphrynus melanostictus. Tipe
habitat hutan rendah gangguan meiliki jumlah dan komposisi jenis amfibi paling
banyak yang didominasi oleh jenis Hylarana mocquardii dan Limnonectes sp3.
Jenis Hylarana mocquardii selalu ditemukan berada disekitar aliran sungai pada
daerah bervegetasi, sehingga dapat diasumsikan bahwa jenis ini merupakan jenis
yang hidup disekitar aliran sungai. Sedangkan jenis Limnonectes sp3 selalu
ditemukan berada di aliran sungai yang cukup deras. Menurut Gillespie et al.
(2004) hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat
perubahan sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang
sudah terganggu seperti hutan sekunder, kebun dan pemukiman penduduk.
Tipe habitat hutan tanpa gangguan didominasi oleh jenis Hylarana macrops,
Limnonectes sp4, dan Hylarana mocquardii. Kesamaan tipe vegetasi dan
keberadaan sungai dengan tipe habitat hutan rendah gangguan menjadikan tipe
habitat hutan tanpa gangguan juga didominasi oleh Hylarana mocquardii.
Menurut Ommanney (1974) selain hidup di pohon, lumpur, dan kolam, terdapat
pula spesies yang dapat hidup di aliran air yang deras. pernyataan tersebut
mendukung hasil pengamatan yang menemukan bahwa tipe habitat hutan tanpa
gangguan didominasi oleh jenis Hylarana macrops, karena kondisi aliran sungai
pada tipe habitat ini berupa sungai dengan aliran yang lebih deras dan memiliki
cukup banyak jeram. Selain itu lantai hutan pada tipe habitat ini banyak ditutupi
oleh serasah sehingga jenis Limnonectes sp4 yang merupakan jenis pada daerah
terestrial juga mendominasi tipe habitat ini. Terdapat pula jenis Rhacophorus
edentulus yang hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tanpa gangguan. Jenis ini
merupakan jenis dari genus Rhacophoridae yang merupakan amfibi arboreal.
Sebagian besar hidup genus ini berada diatas pohon, Rhacophoridae seringkali
tidak turun ke air untuk bertelur mereka melakukan kawin dan menyimpan
telurnya di vegetasi di atas air sehingga saat menetas berudu katak akan jatuh ke

18

dalam air (Duellman dan Heatwole 1998). Terdapatnya jenis-jenis yang tidak
umum ditemuka pada daerah yang berada dekat dengan aktifitas manusia
menunjukkan bahwa amfibi cenderung memilih daerah bervegatsi dengan tingkat
kelembaban yang cukup untuk menjaga kelembaban tubuhnya (Iskandar 1998).
Ketinggian juga memiliki pengaruh terhadap komposisi jenis amfibi di
Kawasan SM Nantu dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan tipe habitat di daerah ini
cenderung dipengaruhi oleh ketinggian. Goin et al. (1978) menyatakan amfibi
memiliki sifat ecoterm atau suhu tubuhnya sangat tergantung dengan suhu
lingkungan. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa
jenis yang ditemukan pada kelas ketinggian kurang dari 200 m dpl hingga 400 m
dpl kurang beragam dan merupakan jenis yang memiliki tingkat adaptasi tinggi,
karena pada kelas ketinggian tersebut memiliki habitat yang cenderung terbuka
dengan suhu yang lebih tinggi. Sedangkan kelas ketinggian diatas 400 m dpl
dengan tipe vegetasi yang heterogen memiliki amfibi yang lebih beragam, sesuai
dengan pernyataan Iskandar (1998) bahwa amfibi cenderung memilih daerah
bervegetsi dengan tingkat kelembaban yang cukup untuk menjaga kelembaban
tubuhnya. Selain itu suhu yang lebih rendah pada ketinggian ini dapat mencegah
amfibi mengalami dehidrasi. Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk
pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner dan Tiedemann 2000).
Berdasarkan peta tutupan lahan, sungai, dan ketinggian setiap lokasi
pengamatan dikelompokkan ke dalam tipe habitat tertentu. Indeks similaritas
perlu diketahui kesusaian antara pengelompokkan habitat berdasarkan peta dan
berdasarkan indeks similaritas. Analisis terhadap indeks similaritas menunjukkan
bahwa adanya kesamaan jenis amfibi pada beberapa lokasi sehingga membentuk
suatu komunitas. Kesamaan jenis tertinggi terdapat pada lokasi Mohiyolo dan
Bontula 1. Nilai kesamaan jenis tersebut didapatkan karena pada Mohiyolo dan
Bontula 1 memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang hampir sama. Hal
ini menyebabkan jenis yang ditemukan pada Mohiyolo sering ditemukan juga
pada Bontula 1, sehingga kedua lokasi tersebut tergolong ke dalam tipe habitat
yang sama yaitu tipe habitat kebun. Selain itu lokasi kaki Boliyohuto dan Batu
Wanggubo memiliki kemiripan karakteristik habitat berupa tipe vegetasi
heterogen dengan lantai hutan yang ditutupi serasah dan memiliki tipe aliran
sungai yang serupa. Hal tersebut yang menyebabkan kaki Boliyohuto dan Batu
Wanggubo memiliki kesamaan jenis amfibi dan membentuk satu komunitas. Hasil
tersebut berbeda dengan hasil yang didapatkan melalui pengolahan peta yang
menunjukkan Batu Wanggubo dan Bontula 2 membentuk tipe habitat yang
berbeda dengan kaki Boliyohuto. Hal ini dikarenakan meskipun Bontula 2 berada
pada kelas ketinggian yang sama, memiliki tipe vegetasi dan jenis sungai yang
hampir sama serta berdekatan dengan Batu Wanggubo, namun Bontula 2 berada
lebih dekat dengan kebun sehingga komposisi jenis pada kedua lokasi ini sedikit
berbeda walaupun masih memiliki beberapa jenis yang sama.Meskipun demikian
Bontula 2 masih memiliki kemiripan dengan komunitas yang dibentuk oleh Batu
Wanggubo dan kaki Boliyohuto. Sawah memiliki kondisi yang paling berbeda
dan terletak di pemukiman, sehingga lokasi ini digolongkan menjadi tipe habitat
tersendiri yaitu tipe habitat sawah. Selain itu jenis yang ditemukan pada Sawah
belum tentu dapat ditemukan pada lokasi lainnya, seperti Duttaphrynus
melanostictusdan Fejervarya cancrivorayang hanya ditemukan pada lokasi ini.
Perbedaan ketersediaan sumberdaya pada masing-masing habitat mengakibatkan

19

jenis yang dijumpai relatif berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pengelompokkan habitat berdasarkan hasil indeks kesamaan jenis cukup sesuai
dengan pengolahan citra.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan peta tutupan lahan, ketinggian dan sungai, tipe habitat lokasi
penelitian dibagi menjadi empat yaitu tipe habitat sawah, kebun, hutan rendah
gangguan, dan hutan tanpa gangguan. Peta sebaran spasial amfibi menunjukkan
adanya perbedaan komposisi jenis amfibi b