Pengaruh Intervensi Minuman Jelly Cincau terhadap Kadar Malondialdehid dan C-Reactive Protein (CRP) pada Pria Perokok Dewasa

PENGARUH INTERVENSI MINUMAN JELLY CINCAU TERHADAP
KADAR MALONDIALDEHID DAN C-REACTIVE PROTEIN (CRP)
PADA PRIA PEROKOK DEWASA

INDAH PURNAMASARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Intervensi
Minuman Jelly Cincau terhadap Kadar Malondialdehid dan C-Reactive Protein
(CRP) pada Pria Perokok Dewasa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Indah Purnamasari
NIM I14100028

ABSTRAK
INDAH PURNAMASARI. Pengaruh Intervensi Minuman Jelly Cincau terhadap
Kadar Malondialdehid dan C-Reactive Protein (CRP) pada Pria Perokok Dewasa.
Dibimbing oleh LEILY AMALIA FURKON.
Kebiasaan merokok dapat menurunkan status kesehatan, diantaranya ditandai
dengan meningkatnya kadar MDA dan CRP tubuh. Pangan fungsional yang
mengandung antioksidan seperti jelly cincau merupakan salah satu alternatif untuk
menurunkan kadar MDA dan CRP. Tujuan umum penelitian ini adalah
menganalisis pengaruh intervensi jelly cincau terhadap kadar MDA dan hs-CRP
pada pria perokok dewasa. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimental
dengan pre-post test control. Subjek dibagi menjadi empat kelompok yang terdiri
atas 1) Kontrol (K) yang tidak diberikan pangan intervensi apapun; 2) P1 yang
diberikan pangan intervensi selama 14 hari; 3) P2 yang diberikan pangan intervensi
selama 21 hari; 4) P3 yang diberikan pangan intervensi selama 28 hari. Subjek

diminta untuk mengonsumsi jelly cincau 200 gram per hari. Sebelum intervensi,
seluruh subjek memiliki kadar MDA diatas normal dan kadar hs-CRP yang normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar MDA subjek pada kelompok perlakuan
menurun secara nyata (p0.05; Lampiran 11). Jenis minuman dan lainnya
yang sering dikonsumsi subjek adalah kopi dan teh. Menurut Lingga L (2012), zat
antioksidan yang banyak terdapat pada kopi adalah kafein dan asam klorogenat
sedangkan zat aktif yang banyak terdapat pada teh adalah flavonoid dan katekin.

Kepatuhan Konsumsi Pangan Intervensi
Penilaian tingkat kepatuhan konsumsi pangan intervensi dilakukan dengan
cara pengisian form kepatuhan konsumsi jelly cincau. Pengisian form dilakukan
oleh peneliti berdasarkan hasil monitoring dengan subjek. Tingkat kepatuhan
konsumsi pangan intervensi subjek antar kelompok dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tingkat kepatuhan konsumsi pangan intervensi subjek
Kelompok
P1
P2
P3
Rata-rata


Konsumsi pangan intervensi (%)
85.7
90.5
89.3
88.5

Tingkat kepatuhan subjek seluruh kelompok berdasarkan lama hari
mengonsumsi pangan intervensi >85%. Subjek mengonsumsi pangan intervensi
sebanyak 200 gram setiap hari. Hanya sedikit (0.05) dalam hal tingkat konsumsi pangan intervensi
subjek antar kelompok yang dapat dilihat pada Lampiran 12. Waktu konsumsi
pangan intervensi bergantung pada kemauan masing-masing subjek. Tidak terdapat
keluhan negatif dari subjek selama dan setelah mengonsumsi jelly cincau.

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi
Asupan zat gizi subjek antar kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan rata-rata kelompok, asupan energi tertinggi terdapat pada kelompok
P1 (2024±346.6 kkal) sedangkan asupan energi terendah terdapat pada kelompok
K (1923±31.5 kkal). Berdasarkan hasil uji ANOVA, rata-rata asupan energi subjek
antar kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05). Kelompok P1 memiliki rata-rata


12
asupan protein tertinggi (59.9±12.1 g) sedangkan kelompok P2 memiliki rata-rata
asupan protein terendah (51.3±3.5 g). Berdasarkan hasil uji ANOVA, rata-rata
asupan protein subjek antar kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05).
Kelompok P1 memiliki rata-rata asupan kalsium tertinggi (1235.3±997.6
mg) yang berasal dari susu dan yoghurt. Asupan kalsium terendah terdapat pada
kelompok P2 (323.24±142.4 mg). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata terhadap asupan kalsium antar kelompok (p>0.05).
Kelompok K memiliki rata-rata asupan besi tertinggi (13.52±2.8 mg) yang
berasal dari hati ayam dan ampela ayam. Asupan besi terendah terdapat pada
kelompok P1 (11.13±2.4 mg). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata terhadap asupan besi antar kelompok (p>0.05).
Tabel 5 Asupan zat gizi subjek (tanpa intervensi) antar kelompok
Zat gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Ca (mg)
Fe (mg)
Vit A (RE)
Vit C (mg)


K
1923±31.5
58.4±4.9
928.19±1272.3
13.52±2.8
285.46±71.9
10.78±5.6

Kelompok
P1
P2
2024±346.6
1938±178.9
59.9±12.1
51.3±3.5
1235.3±997.6 323.24±142.4
11.13±2.4
12.29±0.3
567.48±253.7 745.62±49.0

51.41±47.9
71.48±39.5

P3
1933±190.6
55±7.1
1091.12±1439.4
13.24±2.7
389.51±360.2
68±17.6

Kelompok P2 memiliki rata-rata asupan vitamin A dan vitamin C tertinggi
(745.62±49.0 RE dan 71.48±39.5 mg). Asupan vitamin A sebagian besar berasal
dari wortel dan sawi sedangkan asupan vitamin C sebagian besar berasal dari jeruk
dan daun singkong. Asupan vitamin A dan vitamin C terendah terdapat pada
kelompok K (285.46±71.9 RE dan 10.78±5.6 mg). Hasil uji ANOVA menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap asupan vitamin A dan vitamin C
subjek antar kelompok (p>0.05; Lampiran 13).
Sebagian besar (50%) tingkat kecukupan energi subjek berada pada kategori
defisit sedang, sedangkan tingkat kecukupan protein subjek (67%) berada pada

kategori normal. Sebagian kecil subjek (33%) dan (25%) memiliki tingkat
kecukupan energi dan protein berada pada kategori defisit ringan. Subjek memiliki
tingkat kecukupan energi defisit sedang karena sebagian besar subjek hanya
mengonsumsi makanan sepinggan sebanyak dua kali dalam sehari dan hanya
mengonsumsi makanan selingan di pagi hari seperti kue bolu dan donat yang
memiliki asupan energi cukup rendah.
Rata-rata tingkat kecukupan protein subjek seluruh kelompok adalah
93.7±12.2%. Tingkat kecukupan protein subjek tergolong normal. Kecukupan
protein umumnya didapatkan dari konsumsi ayam dan telur. Subjek umumnya
mengonsumsi pangan sumber protein tersebut 2-3 kali/hari. Hasil uji ANOVA
menunjukkan tidak terdapat perbedaan terhadap tingkat kecukupan zat gizi subjek
antara kelompok (p>0.05). Tingkat kecukupan zat gizi subjek antar kelompok
terdapat pada Tabel 6.
Tingkat kecukupan kalsium dan vitamin C sebagian besar subjek terdapat
dalam kategori kurang. Kekurangan zat gizi kalsium pada subjek disebabkan
konsumsi yang rendah pada pangan sumber kalsium seperti susu dan produk
olahannya, ikan, kacang-kacangan, dan sayuran hijau. Sebagian besar subjek lebih
banyak mengonsumsi kopi yang tidak diberi susu serta jarang mengonsumsi susu
dan produk olahannya. Menurut Almatsier (2001), susu dan produk olahannya


13
merupakan salah satu sumber kalsium, namun bioavailabilitas susu (32.1%) lebih
rendah dibandingkan bioavailibilitas brokoli (61.3%) dan kol (52.7%). Semakin
tinggi nilai bioavailabilitas bahan pangan maka semakin besar jumlah zat gizi bahan
pangan tersebut yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Kalsium
merupakan salah satu zat gizi yang dapat mempercepat produksi CRP di hati.
Tabel 6 Tingkat kecukupan gizi subjek (tanpa intervensi) antara kelompok
Kategori

K
n

Energi
Defisit berat
Defisit sedang
Defisit ringan
Normal
Di atas kebutuhan
Total
Rata-rata (%)

Protein
Defisit berat
Defisit sedang
Defisit ringan
Normal
Di atas kebutuhan
Total
Rata-rata (%)
Ca
Cukup
Kurang
Total
Rata-rata (%)
Fe
Cukup
Kurang
Total
Rata-rata (%)
Vit A
Cukup

Kurang
Total
Rata-rata (%)
Vit C
Cukup
Kurang
Total
Rata-rata (%)

P1
%

n

%

Kelompok
P2
n
%


0
0
3
100
0
0
0
0
0
0
3
100
75.3±1.2

1
33.3
0
0
2
66.7
0
0
0
0
3
100
79.7±13.6

0
2
1
0
0
3

0
66.7
33.3
0
0
100
76±7

0
0
0
0
0
0
3
100
0
0
3
100
97.7±8.2

0
1
0
2
0
3

0
0
2
1
0
3

1
33.3
2
66.7
3
100
84.7±115.5

P3
n

n

Total
%

33.3
33.3
33.3
0
0
100
76±7.5

2
16.7
6
50
4
33.3
0
0
0
0
12 100
76.7±7.5

0
0
66.7
33.3
0
100
86±5.7

0
0
0
0
1
33.3
2
66.7
0
0
3
100
91.7±11.6

0
0
1
8.3
3
25
8
66.7
0
0
12 100
93.7±12.2

1
33.3
2
66.7
3
100
112.3±90.9

0
0
3
100
3
100
29.3±12.9

1
33.3
2
66.7
3
100
99.3±130.6

3
25
9
75
12 100
81.4±90.1

3
100
0
0
3
100
104±22.3

2
66.7
1
33.3
3
100
85.7±94.7

3
100
0
0
3
100
94.7±2.5

3
100
0
0
3
100
101.7±21.2

11
91.7
1
8.3
12 100
96.5±17.1

0
3
3

0
100
100
47.3±12

2
1
3

67
33
100
94.3±42

3
0
3

100
0
100
124±8

2
66.7
1
33.3
3
100
122.6±48.6

7
58.3
5
41.7
12 100
97±42.9

0
3
3

0
100
100
12±6.2

1
2
3

33.3
66.7
100
57±53.7

2
1
3

66.7
33.3
100
79.7±44

0
0
3
100
3
100
53.3±19.7

3
25
9
75
12 100
50.5±40

0
66.7
0
33.3
0
100
99.7±20

1
1
1
0
0
3

%

Sumber vitamin C terbaik ditemukan pada jeruk, jambu, gandaria, mangga,
tomat dan sayuran (bayam, daun pepaya, daun singkong, sawi, dan lainnya) (Beck
2000). Asupan vitamin C yang kurang pada subjek disebabkan karena sebagian
besar subjek kurang mengonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vitamin
C. Sebagian besar subjek hanya mengonsumsi satu porsi buah dalam sehari.

14
Menurut Pedoman Gizi Seimbang (PGS), anjuran konsumsi buah adalah 2-3 porsi
sehari. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara tingkat
kecukupan kalsium dan vitamin C subjek antar kelompok (p>0.05) yang dapat
dilihat pada Lampiran 14.
Tingkat kecukupan vitamin A sebagian besar subjek terdapat pada kategori
cukup. Sumber vitamin A banyak terdapat dalam sayuran (khususnya berdaun gelap
seperti tomat dan wortel), buah-buahan (terutama yang berwarna kuning seperti
mangga), serta beberapa produk hewani (Beck 2000). Asupan vitamin A subjek
sebagian besar berasal dari hati ayam, minyak kelapa sawit, dan sayuran (sawi dan
kangkung).
Tingkat kecukupan zat bezi sebagian besar subjek terdapat pada kategori
cukup. Sumber zat besi rata-rata berasal dari hati, telur, daging, ikan, tepung
gandum, roti, dan sayuran hijau (Beck 2000). Asupan zat besi subjek berasal dari
ayam, telur, dan sawi. Menurut Marks DB et al. (1996), zat besi merupakan salah
satu zat gizi yang dapat memperantarai reaksi fenton untuk merubah H2O2 menjadi
radikal bebas. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara
tingkat kecukupan zat besi dan vitamin A subjek antar kelompok (p>0.05).

Kadar Malondialdehid
Adanya radikal bebas di dalam tubuh dapat berasal dari dalam tubuh
(endogen) dan dapat pula berasal dari luar tubuh (eksogen) seperti polutan di udara,
makanan, atau obat-obatan yang masuk ke tubuh (Lingga 2012). Pembentukan
radikal bebas di dalam tubuh terjadi saat oksigen di udara mengoksidasi ikatan
rangkap pada asam lemak tidak jenuh. Asam lemak memegang peranan penting
terhadap fungsi sel tubuh dan sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi (Winarsi
2007). Salah satu parameter yang digunakan untuk menganalisis kadar radikal
bebas dalam tubuh adalah dengan menentukan kadar MDA. Analisis MDA
digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengevaluasi kerusakan sel akibat
radikal bebas. Asam lemak tidak jenuh dapat mengalami proses peroksidasi
menjadi peroksidasi lipid kemudian mengalami dekomposisi menjadi
malondialdehid (MDA). MDA bila direaksikan dengan TBA membentuk senyawa
berwarna merah muda. Semakin tinggi kadar MDA maka semakin tinggi lipid
peroksida dalam tubuh (Zakaria et al. 2003).
Rata-rata kadar malondialdehid subjek antar kelompok dapat dilihat pada
Gambar 1. Rata-rata kadar MDA pre-intervensi keempat kelompok adalah
2.64±1.04 mol/L (diatas normal) sedangkan rata-rata kadar MDA post-intervensi
keempat kelompok adalah 1.95±0.79 mol/L (diatas normal). Menurut Wasowicz
et al. (1993) kadar malondialdehid normal pada orang dewasa sebesar 1.01 mol/L.
Dengan demikian, rata-rata kadar MDA pre- dan post-intervensi subjek seluruh
kelompok tergolong diatas normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Zakaria (2000)
yang dilakukan terhadap mahasiswa laki-laki di Pesantren Ulil Albaab, Kedung
Badak Bogor menunjukkan bahwa kadar MDA subjek sebelum diberikan intervensi
minuman jahe sebesar 2.36 mol/L (diatas normal).
Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal rata-rata kadar MDA preintervensi pada seluruh kelompok (p>0.05). Rata-rata kadar MDA pre-intervensi
tertinggi terdapat pada kelompok P2 (3.21 mol/L) sedangkan terendah terdapat

15

Kadar MDA (μmol/L)

pada kelompok P1 (1.81 mol/L). Setelah intervensi, kadar MDA tertinggi sebesar
2.21 mol/L terdapat pada kelompok P2 sedangkan kadar MDA terendah terdapat
pada kelompok P3 (1.40 mol/L).
4,00
3,00

3,21
1,85 2,07

1,81

2,00

2,21

2,79

1,46

1,40

1,00
0,00
K

P1

P2
Kelompok
pre-intervensi
post-intervensi

P3

Gambar 1 Rata-rata kadar malondialdehid subjek masing-masing kelompok saat
sebelum dan setelah intervensi
Pada ketiga kelompok perlakuan terjadi penurunan kadar MDA darah antara
sebelum dan setelah intervensi sedangkan kelompok K terjadi peningkatan kadar
MDA (11.89%). Peningkatan kadar MDA post-intervensi pada kelompok K diduga
karena adanya paparan radikal bebas dari luar (eksogen) seperti polutan di udara,
air, makanan/obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh serta tidak adanya intervensi
pangan sumber antioksidan juga dapat mempengaruhi peningkatan kadar MDA.
Pada kelompok P1 terjadi penurunan kadar MDA sebesar 19.89%, P2 sebesar
31.15%, dan P3 sebesar 49.82%. Dengan demikian terlihat bahwa semakin lama
intervensi terjadi penurunan kadar MDA yang semakin besar.
Hasil uji T antara kadar MDA darah pre- dan post-intervensi menunjukkan
bahwa kelompok P2 dan P3 memiliki kadar MDA darah post-intervensi yang
berbeda nyata dengan kadar MDA darah pre-intervensi (p=0.047 dan p=0.022).
Penurunan kadar MDA post-intervensi pada kelompok P2 sesuai dengan penelitian
Makaryani (2014) bahwa pemberian cincau selama tiga minggu dapat menurunkan
kadar MDA darah. Tidak terdapat perubahan secara nyata dalam hal kadar MDA
subjek antara pre- dan post-intervensi pada kelompok intervensi dua minggu (P1).
Hal ini berarti waktu konsumsi cincau selama 14 hari dianggap belum efektif dalam
menurunkan kadar MDA secara nyata.
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam
hal selisih kadar MDA plasma antara sebelum dan setelah intervensi antar
kelompok (p=0.002). Berdasarkan uji lanjut Duncan terdapat perbedaan nyata
dalam hal penurunan kadar MDA pada kelompok P2 dan P3 dibandingkan dengan
kelompok kontrol dan P1. Meskipun penurunan MDA bisa juga karena efek
konsumsi pangan sumber antioksidan lain (Tabel 3) ataupun asupan vitamin A dan
vitamin C (Tabel 5 dan 6), tetapi karena konsumsi sumber antioksidan tersebut tidak
berbeda signifikan antar kelompok, maka adanya perbedaan kadar MDA antar
kelompok diduga kuat karena adanya efektivitas jelly cincau setelah intervensi
selama 21 hari dan 28 hari.
Penurunan kadar MDA plasma post-intervensi pada kelompok intervensi
diduga karena adanya pemberian jelly cincau. Menurut zakaria et al. (2001) daun
cincau hijau mengandung senyawa fenolik yang bersifat sebagai antioksidan dan
anti kanker. Menurut Sunanto (2010), daun cincau mengandung komponen
polifenol, saponin, dan flavonoid. Beberapa komponen fenolik, klorofil, karotenoid

16
terbukti memiliki aktivitas antioksidan (Winarno 1997). Menurut Kochhar dan
Rossell (1990), senyawa polifenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer
karena mampu menghentikan reaksi berantai radikal bebas yang terjadi di dalam
sel tubuh sehingga dapat menurunkan kadar MDA yang merupakan produk oksidasi
lemak karena radikal bebas. Cincau juga dapat menjadi antioksidan sekunder yang
berfungsi untuk mencegah reaksi berantai radikal bebas sehingga menghindari
kerusakan sel yang lebih parah.

Kadar hs-CRP
CRP merupakan indikator inflamasi terbaik dibandingkan dengan yang
lainnya seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), lipoprotein-associated
phospholipase A2 (Lp-PLA2), dan Mieloperoksidase (MPO) (Blake & Ridker
2003). CRP diproduksi di hati untuk merespon peningkatan interleukin-6 (salah
satu sitokin dalam tubuh) dan terbukti dapat memprediksikan penyakit
kardiovaskular (Pepys & Hirschfield 2003). Data eksperimental dan hasil studi
cross-sectional pada manusia menunjukkan adanya keterkaitan antara CRP dan
indikator pengerasan pembuluh arteri sehingga diduga adanya hubungan spesifik
antara kadar CRP dan tekanan darah sistolik (Virdis et al. 2007).
Setiap orang memiliki CRP di dalam tubuhnya dengan jumlah yang berbedabeda tergantung genetik dan gaya hidup. Orang yang merokok, memiliki tekanan
darah tinggi, berat badan lebih, dan aktivitas fisik yang rendah cenderung memiliki
kadar CRP yang lebih tinggi (Ridker PM 2003).
Rata-rata kadar hs-CRP subjek sebelum dan setelah intervensi tergolong
normal yaitu