Optimasi Media Produksi Sefalosporin Dari Kapang Acremonium Chrysogenum Cb 2/11.1.10.6 Menggunakan Metode Respon Permukaan

OPTIMASI MEDIA PRODUKSI SEFALOSPORIN C
DARI KAPANG Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6
MENGGUNAKAN METODE RESPON PERMUKAAN

ENI DWI ISLAMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Optimasi Media
Produksi Sefalosporin C dari Kapang Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6
Menggunakan Metode Respon Permukaan” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Eni Dwi Islamiati
P051130291

RINGKASAN
ENI DWI ISLAMIATI. Optimasi media produksi sefalosporin dari kapang
Acremonium chrysogenum CB 2/11.1.10.6 menggunakan metode respon
permukaan. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan ERWAHYUNI
ENDANG PRABANDARI
Sefalosporin merupakan antibiotik golongan -laktam yang mempunyai
efektivitas dalam melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik ini
dihasilkan oleh kapang Acremonium chrysogenum. Media kultivasi yang optimal
dapat meningkatkan produksi sefalosporin. Salah satu komposisi media kultivasi
yang paling berpengaruh diantaranya adalah sumber karbon dan nitrogen. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi sumber karbon dan
nitrogen terbaik dalam menghasilkan sefalosporin secara maksimal.
Langkah pertama yaitu memilih sumber karbon dan sumber nitrogen yang
disesuaikan dengan kebutuhan kapang. Molases, sukrosa, minyak kelapa sawit,
malto dekstrin dan glukosa terpilih sebagai kandidat seleksi sumber karbon.

Sedangkan urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak dan corn step liquor (CSL)
sebagai kandidat seleksi sumber nitrogen. Langkah selanjutnya sumber karbon
dan sumber nitrogen secara masing-masing diuji dengan konsentrasi yang sama
dalam media kultivasi untuk produksi sefalosporin. Hasi seleksi yang dilakukan
memperlihatkan bahwa molases merupakan sumber karbon terbaik untuk produksi
sefalosporin. Pengujian level konsentrasi menunjukkan molasses dengan
konsentrasi 70 g L -1 merupakan konsentrasi terbaik dalam menghasilkan
sefalosporin. Selain itu gabungan antara CSL, urea dan ammonium sulfat
merupakan sumber nitrogen terbaik. Pengujian level konsentrasi hasil nitrogen
terpilih yaitu gabungan antara CSL, urea dan ammonium sulfat dengan
perbadingan 80: 1,53:6,82 g L-1 dengan kandungan nitrogen total sebesar 72%
merupakan konsentrasi terbaik.
Optimasi media dilakukan dengan menggunakan metode respon permukaan.
Optimasi terhadap faktor yang signifikan diprediksi dengan model ordo dua
melalui rancangan statistika central composite design (CCD). Untuk memperoleh
komposisi media yang optimal, sebanyak 48 percobaan telah dilakukan. Molases
sebagai sumber karbon, gabungan CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai
sumber nitrogen serta DL-methionin sebagai induser adalah komponen media
yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi sefalosporin. Produksi
tertinggi diprediksi oleh model kuadratik sebesar 3876 mg L-1 dengan komposisi

media 68.28 g L-1 molases, 71.61 %N gabungan dari CSL, urea dan ammonium
sulfat, serta 0.4 g L-1 DL-Methionin. Hasil Verifikasi komposisi media optimal
yang dilakukan di laboratorium menghasilkan sefalosporin sebesar 3696 mg L-1.
Konsentrasi ini mencapai 95.36% dari hasil yang diprediksi oleh model. Optimasi
dengan menggunakan metode respon permukaan mampu meningkatkan produksi
sefalosporin 1.48 kali dibandingkan sebelum dilakukan optimasi, hasil yang
didapatkan sebelum optimasi yaitu sefalosporin dengan konsentrasi 2487 mg L-1.
Kata kunci: Karbon, metode respon permukaan, nitrogen, sefalosporin

SUMMARY
ENI DWI ISLAMIATI. Optimization of cephalosporin production medium from
Acremonium chrysogenum CB 2/11.1.10.6 using Response Surface Methodology.
Supervised by KHASWAR SYAMSU and ERWAHYUNI ENDANG
PRABANDARI
Cephalosporins are -lactam antibiotics that have effectiveness against
gram-positive and gram-negative bacteria. This antibiotic is produced by
Acremonium chrysogenum. Optimum of cultivation medium can increase the
production of cephalosporins. The most influential cultivation medium
composition such is carbon and nitrogen source. The objectives of this study was
to obtain the best concentration of carbon and nitrogen source in producing

cephalosporins maximumly.
The first step was conducted to select the carbon and nitrogen source were
tailored to the needs of the fungi. Molasses, sucrose, palm oil, malto dextrin and
glucose were selected as the candidates of carbon sources. Whereas urea,
ammonium sulfate, yeast extract and corn step liquor (CSL) as the candidates of
nitrogen sources. The next step, each carbon and nitrogen sources were tested at
the same concentration in the medium cultivation for cephalosporins production.
The results showed that molasse was the best carbon source for cephalosporins
production. The tests of level concentration of carbon source showed that
molasses with a concentration of 70 g L-1 was the best concentration to produce
cephalosporins. In addition, the combination of CSL, urea and ammonium
sulphate was the best nitrogen source. The tests of level concentration of selected
nitrogen source was the combination of CSL, urea and ammonium sulphate with a
ratio of 80:1.53: 6.82 g L-1 with a total nitrogen content of 72% as the best
concentration.
Medium optimization was conducted using response surface methodology.
Optimization of the significant factors predicted using a second order polynomial
model central composite design (CCD). To obtain the optimum mediaum
composition, a total of 48 experiments have been carried out. Molasses as a
carbon source, combination of CSL, urea and ammonium sulfate as nitrogen

sources and DL-methionin as an inducer was a medium component showing the
difference significantly to the cephalosporins production. The highest production
predicted by the quadratic model with amount of 3876 mg L-1 with a medium
composition 68.28 g L-1 of molasses, 71.61% N combination of CSL, urea and
ammonium sulfate, and 0.4 g L-1 DL-Methionin. Verification of optimum medium
composition showed that cephalosporin was produced of 3696 mg L-1. This
concentration reached 95.36% than predicted by the model. Optimization using
response surface methodology could increase cephalosporins production 1.48 fold
compared to before optimization which was 2487 mg L-11.
Keywords: Carbon, cephalosporins, nitrogen, response surface methodology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


OPTIMASI MEDIA PRODUKSI SEFALOSPORIN C
DARI KAPANG Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6
MENGGUNAKAN METODE RESPON PERMUKAAN

ENI DWI ISLAMIATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, M.Si


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah
Produksi antibiotik dengan judul Optimasi Media Produksi Sefalosporin C dari
Kapang Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 Menggunakan Metode Respon
Permukaan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Khaswar Syamsu,
MSc.St dan Ibu Dr Erwahyuni Endang Prabandari, MSi selaku pembimbing, Ibu
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si, Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai
ketua Program Studi Bioteknologi serta Bapak Rudiyono yang telah banyak
memberi saran selama penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada Balai
Pengkajian Bioteknologi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPB BPPT) Laboratorium Mikrobiologi Serpong. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Eni Dwi Islamiati


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian


1
2
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sefalosporin C
Biosintesis Sefalosporin C
Acremonium chrysogenum
Rancangan Optimasi Media Fermentasi
Sumber Karbon dan Nitrogen
Metode Respon Permukaan

4
5
6
7
8
9


3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Metode

11
11
11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kandungan Sumber Karbon pada Media Seleksi
Pemilihan Sumber Karbon Terbaik
Penentuan Level Konsentrasi Sumber Karbon Terbaik
Analisis Kandungan Sumber Nitrogen pada Media Seleksi
Pemilihan Sumber Nitrogen Terbaik
Penentuan Level Konsentrasi Sumber Nitrogen Terbaik
Penentuan Konsentrasi DL-methionin Sebagai Induser

Optimasi Media dengan Metode Respon Permukaan
Verifikasi Model

16
16
17
18
18
19
20
21
24

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

26
26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
Rancangan percobaan central composite design (CCD)
Kandungan total karbon pada masing-masing bahan
Kandungan total nitrogen pada masing-masing bahan
Level konsentrasi masing-masing faktor pada central composite design
Analisis varian dan Lack of fit test terhadap permukaan respon model
kuadratik
6 Komposisi media hasil prediksi optimasi model yang akan diverikasi

1
2
3
4
5

14
16
18
21
22
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Struktur gugus inti sefalosporin
Jalur mekanisme pembentukan sefalosporin C
Morfologi kapang Acremonium chrysogenum secara mikroskopis
Pengaruh jenis sumber karbon terhadap produksi sefalosporin
Pengaruh level konsentrasi molases terhadap produksi sefalosporin
Pengaruh jenis sumber nitrogen terhadap produksi sefalosporin
Pengaruh level konsentrasi sumber nitrogen terpilih terhadap produksi
sefalosporin
Pengaruh level konsentrasi DL-methionin terhadap produksi sefalosporin
Hubungan antara molases dan gabungan CSL, urea, ammonium sulfat
dalam bentuk kontur plot dan permukaan respon
Hubungan antara molases dan DL-methionin dalam bentuk kontur plot dan
permukaan respon
Hubungan antara gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dengan DLmethionin dalam bentuk kontur plot dan permukaan respon
Perbandingan hasil produksi sefalosporin sebelum dan sesudah optimasi

4
5
6
17
18
19
20
20
23
23
24
25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisa kandungan karbon dari masing-masing sumber karbon yang
digunakan untuk optimasi medium kultivasi
2 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber karbon
3 Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber karbon terhadap produksi
sefalosporin
4 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level
konsentrasi molases sebagai sumber karbon terpilih
5 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi molases
terhadap produksi sefalosporin
6 Analisa kandungan nitrogen dari masing-masing sumber nitrogen yang
digunakan untuk optimasi media kultivasi
7 Kandungan total nitrogen dalam masing-masing bahan seleksi sumber
nitrogen
8 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber
nitrogen
9 Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap produksi
sefalosporin
10 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level
konsentrasi gabungan CSL:urea:ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen
terpilih
11 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi gabungan
CSL:urea;ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen terpilih terhadap
produksi sefalosporin
12 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level
konsentrasi DL-methionin
13 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi DLmethionin terhadap produksi sefalosporin
14 Data hasil analisa respon pada optimasi media kultivasi menggunakan
rancangan central composite design
15 Uraian jumlah kuadrat beberapa model (Sequential Model Sum of Square)
untuk respon konsentrasi sefalosporin
16 Lack of fit test terhadap model respon permukaan
17 Ringkasan model statistik (Model summary statistics) untuk respon
konsentrasi sefalosporin
18 Hasil verifikasi model untuk respon konsentrasi sefalosporin

31
31
32
32
32
32
32
33
33

33

33
34
34
34
36
36
36
36

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antibiotik merupakan bahan obat yang memegang peranan penting dalam
mengatasi penyakit infeksi (Dancer 2011). Departemen kesehatan RI tahun 2013
menyatakan bahwa dana yang diperlukan untuk pengadaan antibiotik kurang
lebih 23.3% dari seluruh anggaran obat-obatan yang terpakai di Indonesia.
Pemenuhan bahan baku antibiotika untuk kebutuhan dalam negeri masih
didatangkan secara impor dari negara lain dengan nilai lebih dari Rp 15 milyar
setiap tahunnya.
Peraturan Kementrian Kesehatan nomer 87 tahun 2011 dalam rangka
pengembangan produksi bahan baku obat, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku obat dalam negeri, membuat pemerintah Indonesia
menetapkan kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara lain.
Kebijakan tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu untuk bahan baku obat
khususnya antibiotika akan diproduksi secara mandiri dalam negeri. Hal ini dapat
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki. Melihat
potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, seharusnya pembuatan
antibiotik dapat diupayakan dan diproduksi secara mandiri di dalam negeri.
Data Kementrian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik di Indonesia masih didominasi oleh golongan penisilin dan turunannya,
akan tetapi penisilin memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif.
Seiring penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resisten terhadap
penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang mampu menghidrolisis
cincin -laktam pada penisilin. Alternatif yang dapat digunakan untuk mensiasati
kelemahan pada pinisilin tersebut adalah melalui penggunaan antibiotik yang
tahan terhadap degradasi enzim penisilinase. Salah satu antibiotik dari golongan
-laktam yang tahan terhadap degradrasi enzim penisilinase adalah sefalosporin.
Sefalosporin c merupakan sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsi
sefalosporin c sebagai antibiotik yang potensial dan merupakan produk antibiotik
yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Berbagai senyawa turunan sefalosporin
diperoleh dengan cara mengubah-ubah gugus sampingnya yang disebut sebagai
sefalosporin semisintetik (Elander 2003). Antibiotik tersebut mempunyai
spektrum anti bakteri yang luas dan lebih resisten terhadap -laktamase
dibandingkan dengan penisilin. Salah satu keunggulan generasi terbaru
sefalosporin yaitu memiliki efektivitas dengan penggunaan dosis yang minimal.
Sebaliknya, penisilin yang digunakan saat ini tidak memiliki efektivitas seperti
yang dimiliki oleh sefalosporin dan turunannya. Kelebihan lain seperti yang
diungkapkan oleh Muniz et al. (2007) bahwa pasien yang alergi terhadap penisilin
biasanya tahan terhadap antibiotik sefalosporin maupun turunannya.
Kelebihan yang dimiliki oleh sefalosporin membuat kebutuhan akan
antibiotik ini semakin banyak. Akan tetapi antibiotik sefalosporin belum
diproduksi secara mandiri di Indonesia. Hal ini mendorong untuk dilakukannya
penelitian bagaimana sefalosporin dapat dihasilkan. Srivastava et al. (2006)
menyatakan bahwa salah satu yang berperan penting dalam produksi sefalosporin
adalah bahan bahan yang terkandung dalam media kultivasi. Menurut Lotfy
(2007) komposisi media kultivasi yang paling berpengaruh dalam produksi
sefalosproin diantaranya adalah sumber karbon dan sumber nitrogen. Hal inilah

2

yang menjadi dasar penelitian ini. Langkah pertama penelitian ini adalah seleksi
beberapa sumber karbon dan nitrogen. Seleksi tersebut dilakukan untuk
mendapatkan sumber karbon dan sumber nitrogen terbaik sebagai media kultivasi.
Bahan tersebut kemudian dikombinasikan dengan inducer DL-methionin. Tahap
selanjutnya adalah optimasi bahan terpilih menggunakan salah satu metode
optimasi yaitu metode respon permukaan (Respone Surface Methodology / RSM)
(Satriaji 2010).
Metode respon permukaan merupakan suatu teknik penyelesaian masalah
untuk menemukan kondisi optimal suatu operasi dengan menggunakan
matematika dan statistik dalam bentuk suatu model yang dapat menganalisis
masalah tersebut. Penggunaan metode ini dapat meminimalisasi waktu
pengerjaan, jika dibandingkan menggunakan teknik konvensional dengan
melakukan percobaan yang berulang-ulang. Penggunaan RSM melalui software
Design Expert dapat diperoleh tingkat keakuratan yang tinggi sekaligus
meminimalisisasi terjadinya kesalahan seperti pada penggunaan metode
konvensional. Pengkombinasian tersebut dilakukan dalam skala erlemeyer. Dalam
skala tersebut diharapkan dapat menghasilkan sefalosporin dalam jumlah yang
optimal (Vastrad 2014).
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1 Bagaimana mendapatkan sumber karbon dengan konsentrasi terbaik
dalam media kultivasi?
2 Bagaimana mendapatkan sumber nitrogen dengan konsentrasi terbaik
dalam media kultivasi?
3 Bagaimana pengaruh komposisi sumber karbon, sumber nitrogen dan
DL-methionin melalui metode respon permukaan terhadap kultivasi
produksi sefalosporin C?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1 Mendapatkan sumber karbon dengan konsentrasi terbaik dalam media
kultivasi.
2 Mendapatkan sumber nitrogen dengan konsentrasi terbaik dalam media
kultvasi.
3 Mendapatkan komposisi sumber karbon, sumber nitrogen dan DLmethionin yang optimal melalui metode respon permukaan terhadap
produksi sefalosporin C.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat antara lain memperkaya khasanah
iptek dan memberikan informasi mengenai cara memproduksi sefalosporin dan
kondisi optimum media kultivasi yang digunakan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian optimasi media fermentasi untuk produksi
sefalosporin C dari Acremonium crysogenum CB2/11/1.10.6 adalah sebagai
berikut:
1 Penyiapan inokulum Acremonium crysogenum CB2/11/1.10.6 yang
meliputi peremajaan sel pada media agar miring.
2 Pemilihan sumber karbon terbaik dalam media kultivasi.
3 Pemilihan sumber nitrogen terbaik dalam media kultivasi
4 Optimasi media melalui kombinasi sumber karbon dan sumber nitrogen
terpilih dengan DL-methionin yang tepat dengan menggunakan metode
Respon Permukaan.
5 Produksi sefalosporin C dengan kultur kocok dalam erlemeyer 250 ml
dengan volume kerja 30 ml pada pH 6 suhu 25oC, pengocokan 220 rpm
selama 120 jam.
6 Analisis konsentrasi sefalosporin menggunakan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT).

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sefalosporin C
Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-amino sefalosporin acid (7ACA), yang mengandung gugus -laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C,
1gugus karbonil dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan
nama ilmiah sefalosporin adalah asam 3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4karboksilat. Berbagai senyawa turunan sefalosporin dapat diperoleh dengan
mengganti R1 dan R2. Sifat-sifat turunan sefalosporin tergantung gugus yang
terikat pada gugus inti. Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya
(proses yang dilalui obat dalam tubuh), sedangkan gugus R2 mempengaruhi
karakteristik anti bakterialnya (Kim et al. 2001).

Gambar 1. Struktur gugus inti sefalosporin
(Sumber: Curropin 2005)
Sefalosporin umumnya memiliki titik leleh yang rendah. Sifat asam
umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin
dihidrothiazin. Nilai keasamannya tergantung kondisi lingkungannya. Salah satu
sifat fisik yang menonjol dari sefalosporin adalah frekuensi dalam spektrum
inframerah. Absorpsi terjadi pada ferkuensi tinggi yang berasal dari karbonil laktamnya. Dibandingkan dengan ferkuensi gugus karbonil pada senyawa lain,
misal karbonil ester dan amida frekuensi gugus karbonil termasuk cukup tinggi
( Pollegioni et al. 2013).
Adanya gugus -laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari sefalosporin.
Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap didalamnya menjadikan
sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan terjadinya
resonansi. Pembuatan senyawa turunan sefalosporin biasanya dengan melakukan
penyerangan menggunakan nukleofil seperti alkolsida atau hidroksilamin.
Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan.
Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk
antibiotik yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Dengan mengubah-ubah
gugus sampingnya, diperoleh berbagai senyawa turunan sefalosporin yang disebut
sefalosporin semi sintetik dengan sifat sifat yang berbeda (Zhu et al. 2011).
Sefalosporin dapat digunakan dalam melawan infeksi oleh bakteri seperti
halnya dengan antibiotik -laktam lainnya dengan mengikat dan menjadi inhibitor
enzim pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin
yang juga merupakan antibiotik -laktam, sefalosporin memiliki sifat resisten
terhadap enzim -laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan

5
pada cincin -laktam. Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis
infeksi oleh bakteri seperti infeksi saluran pernafasan (pneumonia, bronkitis,
tonsillitis), infeksi kulit, dan infeksi saluran urin (Schmiit et al. 2004).
Biosintesis Sefalosporin C
Biosintesis sefalosporin C dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam
L-α-aminodipik, L-sistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida δ-(L-αamoniadipyl)-L-sisteinil-D-valin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV
sintetase. Tripeptida LLD-ACV kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti
penam (penam nucleus), isopenisilin N, dengan enzim isopenisilin N sintetase
atau siklase.
Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah
gugus samping L-α-aminoadipyl menjadi D-α-aminoadipyl menggunakan enzim
isopenisilin N epimerase (IPNE). Penisilin N kemudian diubah menjadi
deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan
menggunakan
enzim
deasetoksisefalosporin
C
sintetase.
Enzim
deasetilsefalosporin sintetase kemudian mengkatalis reaksi hidroksilasi
deasetoksisefalosporin C pada gugus metil C-3 untuk menghasilkan
deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik ekspansi cincin maupun
aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama, yang dikodekan oleh satu
gen.
Langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin C dikatalisasi oleh enzim
sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang melibatkan transfer satu gugus
asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil atom C-3 pada
deasetilsefalosporin C.

Gambar 2. Jalur mekanisme pembentukan sefalosporin C (Shen et al. 2006).
Asam amino dalam biosintesis sefalosporin merupakan unsur terpenting.
Pada awal pembentukan sefalosporin kondensasi dari ketiga asam amino
merupakan langkah utama. Ketiga asam amino yang digunakan adalah asam L-αaminodipik, L-sistein, dan L-valin. Asam L-α-aminodipik merupakan intermediet
dalam jalur biosintesis lisin. Lisin merupakan produk akhir dari jalur biosintesis,
pada saat level lisin lebih tinggi akan menutupi proses biosintesis dengan

6

menghambat enzim pertama dari jalur pembentuk asam L-α-aminoadipik
(feedback inhibition). Hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya senyawa
intermediet, termasuk asam L-α-aminoadipik. Penambahan lisin dalam media
dapat menghindari pengurangan produksi senyawa intermediet, karena pada saat
kondisi lisin yang tercukupi tidak semua senyawa intermediet akan digunakan
untuk pembentukan biosintesis lisin (Cheng et al. 2013).
Selain asam L-α-aminoadipik, biosintesis dari sefalosporin memerlukan
kehadiran sistein dan valin. Sistein lebih banyak digunakan karena kandungan
sulfurnya, dalam metabolisme A. chrysogenum sumber sulfur terbaik diperoleh
dari methionine melalui reaksi transsulfuration. Dalam hal ini methionine
ditambahkan sebagai stimulant/ induser produksi sefalosporin dan sebagai suplay
sistein. Sebagai sumber sulfur sistein dalam jumlah berlebih akan menghasilkan
enzim sistationin -lyase yang akan menghambat produksi sefalosporin, sehingga
untuk suplay sistein sebagai sumber sulfur digunakan methionine agar tidak
terjadi proses penghambatan produksi sefalosporin (Margret et al. 2013). Selain
kedua asam amino yang telah dijelaskan, terdapat valin yang juga termasuk asam
amino esensial. Biosintesis valin diawali dari asam piruvat yang berturut-turut
diubah menjadi aseto laktat, kemudian diubah menjadi α, dihidroksi isovalerat
dilanjutkan menjadi α ketoisovalerat dan kemudian menjadi valin (Masami et al.
2004).
Acremonium crysogenum
Klasifikasi kapang Acremonium chrysogenum berdasarkan Caltexmold
(1986) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Ascomycota
Order
: Hypocreales
Family
: Hypocreaceae
Genus
: Acremonium
Spesies
: Acremonium chrysogenum
Morfologi

Gambar 3. Morfologi kapang Acremonium chrysogenum secara mikroskopis
(Sumber: Caltexmold 1986)

7

Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu, seorang profesor Hygiene dari
University of Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi strain Cephalosporium
acremonium, sejenis mold, dari air laut dekat saluran pembuangan limbah di
Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya membuktikan bahwa fungi ini
menghasilkan senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella tylhi ( bakteri
gram negatif). Pada tahun 1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya, akan
tetapi kurang menarik perhatian. Atas usul British Medical Research Council,
Brotzu kemudian mengirimkan kultur C. acremonium kepada Howard Florey di
Oxford dan kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium pada
tahun 1971 (Muniz et al. 2007).
Ciri morfologi fungi Acremonium chrysogenum (syn. Cephalosporium
acremonium) adalah hifanya berbentuk filamen, segmen pada hifanya berbentuk
cembung (swollen), memiliki arthrospora dan konidia. Kondisi lingkungan kaya
akan C, N dan beberapa asam amino asensial, sangat sesuai dalam proses
perkembangannya. Hifa Acremonium chrysogenum tumbuh apikal dan bercabang.
Proses reproduksi secara seksual belum ditemukan, sehingga fungi ini
dimasukkan dalam kelas deuteromycetes. Hasil penelitian dengan menggunakan
perlakuan medium menunjukkan adanya pengaruh medium terhadap diferensiasi
morfologi, misalnya pada medium yang mengandung metionin, swollen hypha
dan arthospora tampak lebih jelas daripada ditumbuhkan pada medium yang
mengandung sulfat (Tollnick 2004).
Rancangan Optimasi Media Fermentasi
Proses fermentasi memerlukan media cair, meskipun ada beberapa
fermentasi yang menggunakan media padat. Media fermentasi harus memenuhi
semua kebutuhan nutrisi yang diperlukan mikroorganisme. Formulasi media
merupakan proses formulasi dimana konstituen yang ada harus memenuhi
kebutuhan biomassa sel dan produksi metabolit serta mensuplai energi untuk
biosintesis dan pemeliharaan sel. Nutrisi harus diformulasikan untuk menunjang
sintesis produk yang diinginkan, baik berupa biomassa sel maupun metabolit
tertentu.
Menurut Jerums et al. (2005) pentingnya formulasi media dalam proses
fermentasi adalah untuk meningkatkan dan memaksimalkan hasil produksi. Secara
teknis perbanyakan inokulum dan tahapan fermentasi produksi metabolit sekunder
memerlukan formulasi media yang berbeda. Untuk target produk berupa biomassa
atau metabolit primer, media yang digunakan adalah media yang dapat
mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan fermentasi untuk
target produk berupa metabolit sekunder, maka diperlukan media yang dapat
merangsang pertumbuhan awal, diikuti dengan kondisi yang dapat
mengoptimalkan produksi metabolit sekunder (Waites et al. 2001).
Formulasi media yang telah didesain harus memenuhi nutrisi-nutrisi penting
yang dibutuhkan oleh kapang seperti sumber karbon (C), sumber nitrogen (N),
beberapa senyawa mikro seperti vitamin dan mineral. Penentuan jenis dan jumlah
nutrisi bukan hal yang mudah karena melibatkan metabolisme yang sangat
dipengaruhi oleh komponen penyusun media (Mandenius et al. 2008).

8

Sumber Karbon
Sumber karbon adalah salah satu komponen media utama yang dibutuhkan
dalam metabolisme mikroba selama fermentasi (Arjol et al. 2010). Beberapa
sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini adalah glukosa, sukrosa,
malto dekstrin, molases dan minyak kelapa sawit. Glukosa merupakan senyawa
monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah dimetabolisme oleh mikroba
dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai substrat primer (Wang et al.
2014). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan EmbdenMeyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-fosfat yang selanjutnya dalam
beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat. Senyawa ini merupakan
sumber karbon dan energi utama sebagian besar mikroba serta menjadi titik awal
sebagian besar lintasan metabolisme mikroba.
Sukrosa merupakan senyawa disakarida yang terdiri atas monosakarida
berupa glukosa dan fruktosa. Sukrosa dipecah menjadi glukosa dan fruktosa
menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat oleh
enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat yang selanjutnya piruvat
yang dihasilkan digunakan dalam siklus asam sitrat (Chakraborty 2013).
Dalam medium sefalosporin, minyak kelapa sawit merupakan sumber
karbon dan energi yang lebih utama dibandingkan glukosa. Hal ini dilakukan
untuk membatasi kadar glukosa dan mendukung pembentukan arthrospora dalam
memproduksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat bertindak sebagai surfaktan
untuk mengurangi terbentuknya busa (Tornisielo et al. 2007).
Malto dekstrin merupakan jenis disakarida yang merupakan hasil degradasi
pati tanaman serealia. Penggunaan substrat maltosa membutuhkan siklus yang
lebih panjang untuk memecahnya dibandingkan dengan glukosa. Maltosa
membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang akan memecah maltose menjadi
glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan maltosa menjadi glukosa-1fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi menjadi glukosa-6-fosfat,
sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat et al. 2002).
Molases termasuk media komplek, didalamnya selain masih terdapat
kandungan gula yang cukup tinggi juga terdapat kandungan mineral seperti Mg,
Ca, Fe dan Zn yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan mineral
mikroorganisme. Kandungan gula yang terdapat didalam molases juga beragam
yaitu sukrosa dan beberapa gula reduksi dalam bentuk yang sederhana diantaranya
adalah glukosa. Glukosa merupakan senyawa monosakarida yang paling mudah
dimetabolisme (Wang et al. 2014). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar
mengikuti lintasan Embeden-Meyerhof.
Sumber Nitrogen
Menurut Heo et al. (2009) disamping sumber karbon, nitrogen juga salah
satu unsur yang merupakan komponen media utama yang perlu dilakukan
optimasi selama proses kultivasi. Beberapa sumber nitrogen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah urea, ammonium sulfat, Yeast extract dan CSL (Corn
Step Liquor). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan
biomassa sel pada fase pertumbuhan. Nitrogen juga digunakan sebagai sumber
sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Abbas et al. 2009).

9
Urea adalah senyawa organik yang tersusun dari unsur karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea akan
terhidrolisis dan melepaskan ion ammonium (Jared et al. 2013). Ammonium
sulfat atau (NH4)2SO4 adalah garam anorganik yang memiliki banyak kegunaan.
Ammonium sulfat mengandung 21% unsur nitrogen dan 24% unsur belerang.
Ammonium sulfat akan mengalami penguraian bila dipanaskan hingga suhu
250 °C, dan pertama-tama membentuk ammonium bisulfat. Jika dipanaskan pada
suhu yang lebih tinggi, amonium sulfat akan terurai menjadi amonia, nitrogen,
sulfur dioksida, dan air ( Zhenxing et al. 2008).
Yeast Extract merupakan salah satu jenis nitrogen kompleks. Yeast extract
terbuat dari ragi pengembang roti atau pembuat alkohol (Stiebing, 2011).
Konsumsi yeast extract menurut beberapa penelitian lebih berperan pada konversi
menjadi biomassa dibandingkan dalam pembentukan metabolit sekunder (Zain et
al. 2007).
Corn Steep Liquor atau biasa dikenal dengan CSL adalah produk turunan
dari proses perendaman fermentasi jagung. CSL merupakan konsentrat kental
terlarut yang mengandung asam amino, vitamin dan mineral. Kandungan di dalam
CSL merupakan bagian penting dari beberapa media pertumbuhan. CSL curah
berguna sebagai alternatif murah pengganti pepton untuk berbagai macam metode
produksi mikrobiologi, termasuk produksi protein rekombinan dalam E. coli
( Edwinoliver et al. 2009).
Metode respon permukaan atau RSM (Response Surface Methodology)
Optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengindetifikasi
penyelesaian terbaik dalam mengambil keputusan suatu permasalahan. Unsur
penting dalam permasalahan optimasi adalah fungsi tujuan yan dipengaruhi oleh
sejumlah variabel. Dalam suatu proses, yang paling penting dioptimalkan adalah
produktivitas suatu proses. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan berbagai
faktor yang menentukan aktivitas proses tersebut. Pada dasarnya proses optimasi
merupakan langkah minimalisasi biaya atau penggunaan bahan baku dan
memaksimalisasi hasil atau efisiensi proses produksi (Box dan Draper 1987).
Metode analisis varian dapat membantu peneliti untuk melihat variable yang
menimbulkan keragaman respon. Untuk memahami seberapa jauh suatu proses
yang optimum dipengaruhi oleh sejumlah variabel, sering diperlukan data-data
percobaan dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu lama, yang secara
otomatis juga akan memerlukan biaya dalam jumlah yang besar. Beberapa teknik
statistika dan matematika sering dipakai untuk melakukan pendekatan guna
memperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses, tanpa
memerlukan data yang terlampau banyak. Diantara metode yang sering dipakai
adalah metode respon permukaan (Satriaji 2010).
Metode respon permukaan (response surface methodology/ RSM) merupakan
sekumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis
permasalahan dimana beberapa variabel independen mempengaruhi variabel respon
dan tujuan akhirnya adalah untuk memaksimalkan respon. Salah satu ciri khas dari
metode RSM, yaitu mampu melihat interaksi antar parameter, sehingga RSM dapat
memvariasikan semua parameter bersamaan. Kemampuan RSM dalam mengoptimasi
berbagai macam variabel secara bersamaan dan meninjau interaksi antar variabel
yang divariasikan, membuat optimasi menggunakan RSM menjadi lebih baik dan
cepat (Box dan Draper 1987).

10

Dalam metode respon permukaan terdapat beberapa model rancangan,
antara lain : rancangan faktorial 3 taraf (3-level factorial design), rancangan
komposit pusat (central composite design), rancangan Box-Behnken ( BoxBehnken design ), rancangan D-optimal ( D-optimal design) dengan beberapa
tipe yaitu independen, rotatable dan rotatable quardatic dapat digunakan untuk
melakukan optimasi proses (Montgomery 2001).
Central Composite Design (CCD) adalah salah satu rancangan dalam
metode respon permukaan diperkenalkan oleh Box dan Wilson. CCD merupakan
suatu rancangan yang terdiri dari rancangan faktorial tingkat dua level (tertinggi
dan terendah) ditambah dengan beberapa titik yang memungkinkan untuk
meramal adanya efek interaksi antar faktor yang dicoba. Kelompok titik tambahan
yang pertama disebut starting point yang merupakan matriks bujur sangkar yang
diagonal utamanya bernilai ± 2k/4, dimana k adalah jumlah faktor yang dioptimasi.
Sedangkan kelompok titik tambahan kedua disebut center point yang merupakan
kombinasi dari semua titik tengah faktor yang akan dioptimasi. Central
Composite Design banyak digunakan peneliti untuk merancang percobaan
optimasi setelah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadap hasil akhir
yang diinginkan diketahui melalui percobaan berdasarkan rancangan faktorial
yang lain (Palamakula et al. 2004).

11

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Pengkajian
Bioteknologi – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPB - BPPT),
Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK)
Gedung 630, Serpong, Tangerang Selatan. Penelitian dilaksanakan mulai
September 2014 hingga Agustus 2015.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolate kapang
Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 yang merupakan kultur koleksi (BPB BPPT) Serpong, Tangerang Selatan. Molases, malto dekstrin, sukrosa dan minyak
sawit dan glukosa sebagai sumber karbon, sedangkan urea, ammonium sulfat,
yeast ekstrak dan corn step liquor sebagai sumber nitrogen. MgSO4.7H2O, CaCO3,
Parafin, minyak kedelai dan DL-methionin.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik
(Mettler BB240), magnetic stirrer (Heidolph MR 2002), autoclave (Tomy
autoclave SS-325), microwave oven, incubator (Sanyo Gallenkamp MIR 52/LD
0271), mikroskop cahaya (Olympus BX51), vortex (Heidolph Reax 2000, Fine
PCR), refrigerator (LG 111 KR 00207), sentrifuge (Kubota 7780), jangka sorong
(Mitutoyo Digimatic Caliper), rotary shaker (Infors AG Rittergasse 27 CH-4103
Bottmingen), Laminar Air Flow Cabinet (ICN Biomedicals 303124SO433),
haemocytometer (Superior Marienfeld Germany), pH meter (Beckman 246641),
kertas cakram diameter 6 mm (Whatman) dan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi) water 2695.
Metode
Penyiapan inokulum
Kapang Acremonium chrysogenum dalam agar miring berumur 10 hari
disuspensi dengan 6 ml garam fisiologis, kemudian sebanyak 0.5 ml diinokulasi
pada media seed culture. Media seed culture yang telah dinokulasi kemudian
diinkubasi pada inkubator kocok dengan agitasi 220 rpm, suhu 28 oC selama 72
jam. Inokulum selanjutnya digunakan sebagai starter untuk media kultivasi.
Proses kultivasi
Inokulum hasil inkubasi pada media seed culture diinolukasikan sebanyak
10% ke dalam media kultivasi, setelah itu media kultivasi di inkubasi pada
inkubator kocok dengan agitasi 220 rpm, suhu 25o C selama 120 jam.
Komposisi media basal pada kultivasi sefalosporin (Farmitalia 2001)
Media basal untuk produksi sefalosporin terdiri dari 50 g L-1 malto dekstrin,
110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O,
10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, 0.5 g L-1 DL-methionin
kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC.

12

Analisis total karbon dengan metode dikromat (Horwitz 2000)
Molases, sukrosa, minyak kelapa sawit, malto dekstrin dan glukosa masingmasing ditimbang dan ditambahkan 20 ml larutan kalium dikromat 1 N secara
perlahan lahan kemudian ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan selama
30 menit. Sebanyak 200 ml aquadest, 5 ml asam fosfat pekat 85% dan 1 ml
larutan dipenilalamin ditambahkan pada larutan hasil pemanasan. Perlakuan yang
sama juga dilakukan pada blanko tetapi tanpa penambahan sampel. Blanko dan
sampel dititrasi dengan larutan ferosulfat 1 N hingga berwarna hijau, kemudian
ditambah dengan 1 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan dititrasi kembali dengan FeSO4
1N sampai berwarna hijau.
Perhitungan jumlah karbon

Media kultivasi seleksi sumber karbon (Modifikasi metode Farmitalia 2001)
Hasil yang didapat dari analisis total karbon digunakan sebagai acuan dalam
penentuan konsentrasi masing-masing bahan yang dijadikan kandidat sumber
karbon. Komposisi sumber karbon yang digunakan dalam media kultivasi masingmasing sebanyak 50.00 g L-1 malto dekstrin, 40.00 g L-1 molases, 37.04 g L-1
sukrosa, 39.79 g/L glukosa dan 23.05 g L-1 minyak sawit dengan total karbon
dalam masing-masing bahan adalah 31.60 %karbon. Jumlah karbon yang
digunakan sebanyak 31.60 % tersebut disesuaikan dengan jumlah karbon yang
terkandung dalam malto dekstrin sebagai sumber karbon dalam media basal.
Komposisi media kultivasi yang lain yaitu 110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium
sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan
10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC.
Penentuan konsentrasi terbaik dari sumber karbon terpilih (Nigam et al.
2007)
Level konsentrasi molases yang diuji dalam media kultivasi antara lain 10,
20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 g L-1 dengan total karbon yang diuji pada
masing-masing konsentrasi adalah 9.6; 19.2; 28.8; 38.8; 48; 57.6; 67.2; 76.8;
86.4 % karbon. Masing-masing konsentrasi karbon yang telah ditentukan
ditambahkan dengan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 110 g L-1 CSL, 9
g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4
g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama 25 menit
pada suhu 121oC.
Analisis total nitrogen dengan metode Kjedahl (Maligan 2014)
Urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak dan corn step liquor masing-masing
ditimbang sebanyak 0.5 gram kemudian ditambahkan 1 gram selenium dan 10 ml
H2SO4 pekat. Semua bahan didekstruksi dalam labu kjedhal dengan kisaran suhu
200– 250o C sampai cairan yang terdapat dalam labu jernih. Sampel dipindahkan
kedalam alat distilasi ditambah dengan NaOH dan H3BO3, lalu dititrasi dengan
HCl 0.5 N sampai berwarna abu-abu. Volume HCl yang ditambahkan
dibandingkan dengan blanko untuk perhitungan kadar N.

13
Perhitungan jumlah nitrogen
(Vol sampel – Vol blanko) x N HCL x 14.01 x Vol pengencer x 100
%Nitrogen =
Berat sampel
Media kultivasi seleksi nitrogen (Modifikasi metode Farmitalia 2001)
Hasil yang diperoleh dari analisis total nitrogen digunakan sebagai acuan
dalam penentuan konsentrasi masing-masing bahan yang dijadikan kandidat
seleksi. Jumlah nitrogen yang digunakan disetarakan dengan jumlah nitrogen yang
terkandung dalam media basal yang terdiri dari gabungan corn step liquor, urea
dan ammonium sulfat dengan jumlah nitrogen pada media basal sebesar 99 % N.
Komposisi media kultivasi seleksi nitrogen antara lain 7.89 g L-1 urea, 27.53
g L-1 ammonium sulfat, 56.809 g L-1 yeast ekstrak, 68.54 g L-1 corn step liquor
hasil fermentasi jagung buatan (CSL biotek), 199.126 g L-1 corn step liquor hasil
samping fermentasi jagung (CSL), 20.21 g L-1 ammonium sulfat yang digabung
dengan 2.1 g L-1 urea, 110 g L-1 corn step liquor samping fermentasi yang
digabung dengan 12.32 g L-1 ammonium sulfat, 110 g L-1 corn step liquor
samping fermentasi yang digabung dengan 3.53 g L-1 urea dan gabungan antara
110 g L-1 corn step liquor, 5 g L-1 ammonium sulfat dan 2.1 g L-1 urea secara
masing-masing digunakan sebagai sumber nitrogen dan komposisi media kultivasi
yang lain yaitu 50 g L-1 malto dekstrin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4
g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element.
Penentuan konsentrasi terbaik dari sember nitrogen terpilih (Demian et al.
2006)
Konsentrasi corn step liquor: urea: ammonium sulfat yang diuji dalam
media kultivasi antara lain 60:1.15:2.73 g L-1, 70:1.34:3.18 g L-1, 80:1.53:3.64
g/L, 90:1.72:4.09 g L-1, 100:1.91:4.55 g L-1, 110:2.1:5 g L-1, 120:2.29:5.45 g L-1,
130:2.71:5.91 g L-1, 140:3.44:6.36 g L-1, 150:4.69:6.82 g L-1 dengan total nitrogen
yang diuji pada masing-masing konsentrasi adalah 54, 63, 72, 81, 90, 99, 108,
117, 126, 135 % nitrogen. Masing-masing konsentrasi nitrogen yang telah
ditentukan ditambahkan dengan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 50 g L1
malto dekstrin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g
L-1 trace element.
Penentuan konsentrasi DL-methionin
Konsentrasi DL-methionin yang diuji dalam media kultivasi antara lain 0.1;
0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 0.6; 0.7; 0.8; 0.9 g L-1. Masing-masing konsentrasi DLmethionin yang telah ditentukan ditambahkan dengan komposisi media kultivasi
yang lain yaitu 50 g L-1 malto dekstrin, 110 g L-1 corn step liquor, 2.1 g L -1 urea,
ammonium sulfat 5 g L-1, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin
dan 10 g L-1 trace element.
Optimasi komposisi media kultivasi untuk produksi sefalosporin C
Rancangan optimasi media menggunakan rancangan central composite
design (CCD). Rancangan yang digunakan mengandung tiga taraf faktor, yaitu
rancangan faktorial 23 yang dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, starting point

14

(titik awal) yang dilakukan pengulangan 3 kali, dan center point (titik tengah)
yang diulang 6 kali dan dikodekan untuk tiap faktor (Tabel 1).
Tabel 1. Rancangan percobaan central composite design (CCD)
Level faktor yang dikodekan
Konsentrasi
CSL: urea:
No.
Rancangan
DLsefalosporin
Molases ammonium
Percobaan
Percobaan
methionin
(mg L-1)
(g L-1)
sulfat
-1
(g L )
(%N)
1
Faktorial
-1
-1
-1
Y1
2
-1
-1
1
Y2
3
-1
1
-1
Y3
4
-1
1
1
Y4
5
1
-1
-1
Y5
6
1
-1
1
Y6
7
1
1
-1
Y7
8
1
1
1
Y8
9
Starting
0

0
Y9
10
point
0
α
0
Y10
11
0
0

Y11
12
0
0
α
Y12
13

0
0
Y13
14
α
0
0
Y14
15
Center point
0
0
0
Y15
Pengertian dari kode diatas yaitu -1 adalah batas bawah, 0 adalah titik
tengah, 1 adalah batas atas, dan α adalah starting point. Kultivasi dilakukan
dengan menggunakan kultur kocok pada erlenmeyer 250 mL volume kerja 30 mL
pada suhu 25ºC, 220 rpm selama 120 jam.
Panen ekstrak kasar dan analisa kadar sefalosporin (Farmitalia 2001)
Panen dilakukan dengan cara sentrifugasi kaldu hasil kultivasi sefalosporin
sebanyak 10 ml pada kecepatan 3000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC.
Supernatan diambil sebagai ekstrak kasar dan disentrifugasi kembali pada
kecepatan 15000 rpm 4oC selama 15 menit dengan tujuan mengurangi pengotor
yang terdapat dalam ekstrak. Supernatan yang terbentuk dianalisis dengan
menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Metode KCKT yang
digunakan yaitu KH2PO4 dan methanol sebagai fase gerak dengan perbandingan
sebesar 55:45 %. Detektor Photo Dioda Array (PDA) UV vis pada λ β54 nm dan
kolom C-18 (4.6 x 150 mm).
Analisis data
Seleksi sumber karbon, nitrogen serta penentuan level konsentrasi dirancang
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor pada tiap-tiap proses
penentuan nutrisi. Data yang diperoleh dari masing-masing perlakuan dianalisis
sidik ragam (ANOVA). Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata,
analisis akan dilanjutkan dengan uji t pada taraf 5% menggunakan software
Minitab 14.
Konsentrasi sefalosporin C dari media dengan sumber karbon, nitrogen dan
DL-methionin terpilih dianalisa dengan analisis ragam untuk melihat perbedaan

15
respon peubah. Data optimasi media diolah menggunakan perangkat lunak Design
Expert versi 7 untuk mendapatkan model matematika sebagai berikut:

Y = ao + a1x1i + a2x2i- a3x3i – a11 x12 + a22x22 + a33x32 + a12x1x2+ a13x1x3 +
a23x2x3

Keterangan:
Y

aoaiaij

:Respon yang muncul dari masing-masing perlakuan (konsentrasi)
: Koefisien regresi

x1

: Konsentrasi sumber karbon (g L )

-1

X2
: Konsentrasi sumber nitrogen (%N)
X3
: Konsentrasi DL-methionin (g L-1)
Persamaan dapat digunakan untuk menghitung media kultivasi optimum
antara komposisi sumber karbon dan sumber nitrogen terpilih dengan konsentrasi
metionin terbaik. Pemerikasaan lanjutan terhadap model dilakukan dilakukan
melalui analisis signifikansi model lack of fit dan R2. Kombinasi terpilih
selanjutnya akan di verifikasi pada skala yang sama.
Verifikasi hasil optimasi
Hasil optimasi yang telah dilakukan didapatkan komposisi yang maksimal
dalam produksi sefalosporin. Hal ini perlu dilakukan verifikasi untuk melihat
ketepatan model ketika dilakukan pengulangan pada skala yang sama yaitu skala
laboratorium. Komposisi media hasil optimasi yang di yang dilakukan verifikasi
adalah sebagai berikut 68.28 g L-1 molases, 80 g L-1 CSL, 1.53 g L-1 urea, 3.64 g
L-1 ammonium sulfat, 0.4 g L-1 DL-methionin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1
CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama
25 menit pada suhu 121oC.
Pengujian yang sama juga dilakukan pada media basal yang digunakan
sebelum optimasi untuk produksi sefalosporin. Komposisi media basal yang
digunakan adalah sebagai berikut 50 g L-1 malto dekstrin, 110 g L-1 CSL, 9 g L-1
ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1
parafin dan 10 g L-1 trace element, 0.5 g L-1 DL-methionin.
Hasil yang didapat digunakan untuk perbandingan antara media hasil
optimasi dan media basal dalam produksi sefalosporin. Masing–masing perlakuan
dilakukan pengulangan sebanyak 8 kali.

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis kandungan karbon pada media seleksi sumber karbon
Pemilihan sumber karbon diawali dengan melakukan analisis total karbon
pada masing-masing bahan yaitu molases, sukrosa, minyak kelapa sawit, malto
dekstrin dan glukosa. Hasil analisa tersebut digunakan sebagai acuan untuk
menentukan konsentrasi masing-masing sumber karbon yang digunakan dalam
proses seleksi sumber karbon terbaik. (Lee et al. 2010).
Hasil analisis total karbon yang terdapat dalam Tabel 2 menunjukkan
jumlah karbon dalam masing-masing bahan. Jumlah karbon yang digunakan
disesuaikan dengan jumlah karbon yang terkandung dalam malto dekstrin sebagai
sumber karbon media basal. Hal ini dilakukan agar perbandingan karbon dalam
masing-masing bahan di dalam media kultivasi dalam jumlah yang sama.
xTabel 2. Kandungan total karbon pada masing-masing bahan
Kandungan C dalam
Bobot sumber karbon
Bahan
masing masing bahan
yang dibutuhkan (g L-1)
38.54
41
Molases
40.75
39
Glukosa
42.22
37
Sukrosa
31.93
50
Malto dekstrin
67.72
23
Minyak kelapa sawit
Pemilihan jenis sumber karbon terbaik
Sumber karbon berfungsi dalam penyediaan kebutuhan energi untuk
pertumbuhan mikroba dan juga dapat berfungsi sebagai substrat untuk enzim yang
diperlukan oleh mikroba (Riadi 2007). Seleksi karbon yang dilakukan dari
berbagai sumber karbon secara masing-masing yaitu malto dekstrin, molases,
sukrosa, glukosa dan minyak sawit menghasilkan molases