Perubahan penutupan lahan dan analisis faktor penyebab perambahan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

(1)

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS

FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

AMRIZAL YUSRI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

AMRIZAL YUSRI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

AMRIZAL YUSRI. E34062415. Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu kawasan konservasi yang mengalami perubahan penutupan lahan hutan yang disebabkan aktivitas tak terkendali oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Masyarakat menggarap lahan disektor pertanian berupa lahan sayur dan kebun yang dikhawatirkan akan menyebabkan konversi hutan dan perubahan penutupan lahan khususnya ladang di kawasan TNGC. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan TNGC dapat dianalisis melalui teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besar, laju perubahan dan distribusi spasial penutupan lahan TNGC selama periode 2006-2009 serta mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan di TNGC.

Pengambilan data penelitian berupa data sosial masyarakat dan ground control point dilakukan di TNGC selama satu bulan pada bulan Juli 2010. Data yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta, citra Landsat ETM+ dan TM tahun 2006 dan 2009 serta data atribut yang meliputi karakter sosial ekonomi masyarakat, pengetahuan serta sikap masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh. Hasil pengolahan citra dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan data atribut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan.

Tipe penutupan lahan di TNGC terdiri atas hutan alam, hutan tanaman pinus, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada periode 2006-2009 terjadi peningkatan dan penurunan luas penutupan lahan. Penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah lahan terbuka sebesar 979.2 ha (-2.26%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan, hutan alam sebesar 51.21 ha (-0.01%) yang terluas di Kecamatan Cigugur dan badan air sebesar 1.62 ha (0.08%). Peningkatan luas terjadi pada tipe penutupan lahan ladang sebesar 178.29 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Argapura, semak sebesar 746.73 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan dan hutan tanaman sebesar 92.88 ha (0.06%) yang terluas di Kecamatan Cilimus. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang mempengaruhi perambahan adalah tingkat pendapatan di luar kawasan, pengetahuan khususnya terhadap fungsi lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan hutan. Untuk mengantisipasi perluasan perambahan kawasan hutan perlu dilakukan upaya pengelola dalam peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasi kawasan taman nasional serta sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat mengenai kawasan taman nasional.


(4)

SUMMARY

AMRIZAL YUSRI. E34062415. Land Cover Changes and Analysis of Factors Causing Expansion In Gunung Ciremai National Park Area. Under supervision of SAMBAS BASUNI and LILIK BUDI PRASETYO.

Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the conservation areas that has been facing forest land cover changes due to uncontrolled activities of people around the area. They have been practicing shifting cultivation system for horticulture that can lead to forest conversion and land cover changes especially fields in GCNP area. Data and information of the conditions in GCNP area can be analyzed through technology Geographic Information System (GIS). The aim of this research was to know rate of land cover and spatial distribution on land cover in GCNP for year periods of 2006-2009 and investigate socio-economic factors that influence expansion in GCNP.

Data on sosial and ground control point were taken in GCNP for one month in July 2010. Collected data included spatial data in the form of maps, Landsat image ETM+ year 2006 and TM year 2009 and attributed data including socio-economic conditions, knowledge and attitude of people. Spatial data were analyzed using Geographic Information System (GIS) technology. The results of image processing were analyzed qualitatively and quantitatively using the attribute data to determine its impact on land cover changes.

Land cover types in GCNP consisted of virgin forest, pine plant forest, shrubs, fields, water bodies, open land and no data. In the period 2006-2009, there were either increases or decreases in land cover areas. Land cover of open land was decreased by 979.2 ha (-2.26%) with the largest in Pasawahan Subdistrict, virgin forest by 51.21 ha (-0.01%) with the largest in Cigugur Subdistrict and water bodies by 1.62 ha (0.08%). On the other hand, land cover of fields was increased by 178.29 ha (0.18%) with the largest in Argapura Subdistrict, shrubs by 746.73 ha (0.18%) with the largest in Pasawahan Subdistrict and pine plant forest by 92.88 ha (0.06%) with the largest in Cilimus Subdistrict. Socio-economic factors that influenced expansion of land cultivation into the park areas were rate of income in outside area, knowledge especially on cover function and attitude of people to the existing forest. To anticipate expansion of land cultivation into the forest area, the national park should create alternative beneficial projects in order to improve people income outside national park zone, rehabilitation of zone of natonal park and supervise the activities to people about national park.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Amrizal Yusri NRP E34062415


(6)

Judul : Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Nama : Amrizal Yusri

NRP : E34062415

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,MS Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP. 19580915 198403 1 003 NIP. 19620316 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc, Ir. Sudaryanto dan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan saran dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak, Ibu, Mbah Putri dan Kakak atas doa, kasih sayang dan segala dukungan baik moril maupun materi yang diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis selama kuliah

5. Teman-teman di Laboratorium Manajemen Kawasan dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan yang diberikan.

6. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE 43 “Cendrawasih” atas bantuan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah terjalin selama ini.

7. Keluarga besar HIMAKOVA periode 2008-2009 dan 2009-2010 atas pertukaran ilmu, pengalaman serta dukungannya selama ini.

8. Pengurus Kelompok Pemerhati Goa “HIRA” HIMAKOVA Kelompok Pemerhati ekowisata” TAPAK” atas pengalaman dan dukungan yang telah diberikan.

9. Heri, Dian dan Erlin sebagai teman seperjuangan yang sudah membantu penelitian di Ciremai.


(8)

10. Teh Nisa, Pak Robi, Pak Engkos, dan semua staf kerja TNGC yang sudah membantu pengambilan data di Ciremai.

11. Reni, Haray, Arga, Chachaw, Nano atas segala bantuan doa, tenaga, akomodasi dan fasilitasnya.

12. Anak-anak “AUTIS” dengan tingkahnya yang memberikan kelucuan canda dan tawa yang luar biasa tak terhingga.

13. My sweetheart “Listya Citraningtyas” yang selalu memberikan support, motivasi, semangat, cinta dan kasih sayang yang besar. Luv u..

14. My ride bluesky yang selalu menemani hari-hariku yang indah dan menemani selama penelitian ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Juni 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kuswandi dan Ibu Pawartining Yuliati. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Pengadilan 2 Bogor (2000), SLTPN 2 Bogor (2003) dan SMAN 1 Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Biro Kekeluargaan pada tahun 2008 dan anggota Biro Sosial Lingkungan pada tahun 2009. Penulis juga tergabung dalam Kelompok Pemerhati Gua (KPG) “Hira” HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) “Tapak” HIMAKOVA. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Manupeu Tanadaru pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi pada tahun 2010.

Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ... 4

2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan ... 7

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 8

2.4 Penginderaan Jauh ... 9

2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat ... 10

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Jenis Data ... 17

3.4 Metode Pengambilan Data ... 17

3.4.1 Data spasial ... 17

3.4.2 Data atribut ... 17

3.5 Analisis Data ... 19

3.5.1 Data spasial ... 19

3.5.2 Data atribut ... 23

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai ... 27


(12)

4.1.2 Letak dan luas wilayah ... 29

4.1.3 Topografi dan iklim ... 29

4.1.4 Hidrologi ... 29

4.1.5 Vulkanologi ... 29

4.1.6 Kondisi biologis ... 30

4.1.7 Potensi wisata ... 31

4.2 Daerah Penyangga TNGC ... 31

4.2.1 Letak dan luas ... 31

4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 32

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC ... 34

5.1.1 Klasifikasi penutupan lahan ... 35

5.1.2 Penutupan lahan di TNGC tahun 2006 ... 37

5.1.3 Penutupan lahan di TNGC tahun 2009 ... 39

5.2 Perubahan Penutupan Lahan ... 42

5.3 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perambahan Lahan ... 54

5.3.1 Karakterisitik sosial ekonomi masyarakat ... 54

5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan dalam kawasan ... 59

5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC ... 65

5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan ... 69

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 72

6.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Saluran citra Landsat TM ... 10

2. Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data penginderaan jauh ... 10

3. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ... 12

4. Objek wisata alam di TNGC ... 31

5. Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat ... 36

6. Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009 ... 42

7. Penutupan lahan tiap kecamatan... 43

8. Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan ... 44

9. Data luasan kebakaran di TNGC ... 51

10. Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 60

11. Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 61

12. Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 62

13. Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 63

14. Hubungan luas lahan garapan diluar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 64

15. Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan ... 65

16. Pengetahuan responden mengenai TNGC ... 66

17. Alasan responden menggarap lahan TNGC ... 67


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi pengambilan data penelitian ... 16

2. Tahapan pengolahan citra ... 19

3. Proses konversi peta analog ke peta digital... 20

4. Tahapan analisis perubahan penutupan lahan ... 22

5. Penutupan dan penggunaan lahan ... 34

6. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2006 ... 39

7. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009. ... 41

8. Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009. ... 46

9. Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun 2006-2009. ... 48

10. Peta distribusi ladang dalan kawasan TNGC. ... 49

11. Peta distribusi semak belukar TNGC. ... 51

12. Peta distribusi lahan terbuka TNGC. ... 53

13. Persentase responden menurut mata pencaharian sampingan ... 54

14. Persentase responden menurut usia kerja ... 55

15. Persentase responden menurut luas garapan diluar kawasan ... 55

16. Persentase responden menurut luas garapan dalam kawasan ... 56

17. Persentase responden menurut jenis penggunaan lahan... 57

18. Persentase responden menurut tanggungan keluarga ... 57

19. Persentase responden menurut pendapatan ... 58

20. Persentase responden menurut pendidikan ... 58


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Uji akurasi ... 77

2. Daftar identitas responden ... 81

3. Kuisioner responden ... 82

4. Uji normalitas data ... 84


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 mengenai perubahan fungsi hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas + 15500 ha terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka Provinsi Jawa Barat menjadi taman nasional. Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, daerah resapan air bagi kawasan dibawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri. Pada saat status kawasan masih hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat diperbolehkan menggarap kawasan dengan adanya sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan pola tumpang sari. Kegiatan tumpang sari oleh masyarakat cenderung mengkonversi lahan hutan yang tidak terkendali sehingga dapat menyebabkan perluasan lahan kritis, berkurangnya tutupan lahan serta menghilangnya fungsi lindung dan konservasi kawasan.

Menurut BTNGC (2006), sekitar 2000 ha lahan hutan kini sudah menjadi ladang kentang dan kebun kopi. Kerusakan yang terjadi seluas 4829.9 ha di lereng bagian selatan Gunung Ciremai akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan lahan sayur tanpa memperdulikan fungsi kawasan tersebut (BTNGC 2006). Gangguan-gangguan yang terjadi selain penggarapan lahan secara intensif antara lain adanya perubahan tegakan hutan alam menjadi tegakan hutan tanaman pinus dengan menanam kebun campuran, perusakan hutan, pencurian kayu dan kebakaran hutan yang mengakibatkan kondisi kawasan TNGC semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan menimbulkan dampak negatif diantaranya bahaya banjir, longsor, sedimentasi sungai dan waduk, hilangnya stok air tanah akibat aliran permukaan


(17)

(run off), serta menurunnya kuantitas dan kualitas pangan daerah dan nasional akibat kurangnya air untuk irigasi persawahan.

Perkembangan perubahan tutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGC sebagai salah satu dasar pengelolaan kawasan, dapat dilihat dengan menggunakan teknologi sebagai alat monitor terhadap perubahan tutupan lahan. Teknologi yang dapat digunakan adalah aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem Informasi Geografi merupakan suatu perangkat yang dapat membantu memperoleh data-data spasial dalam waktu singkat. Penggunaan Sistem Informasi Geografi dapat mempermudah mengetahui perubahan penutupan lahan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan tutupan lahan sehingga dapat menganalisis dinamika perubahan penutupan lahan yang terjadi dan membantu Balai TNGC untuk mengambil langkah lanjutan dalam penyelesaian permasalahan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan penutupan lahan di kawasan TNGC akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan lahan yang semakin tidak terkendali akan menurunkan fungsi kawasan sebagai fungsi lindung dan konservasi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan :

1 Seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di TNGC? 2 Bagaimana distribusi penutupan lahan di TNGC?

3 Faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di TNGC?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1 Mengetahui besar dan laju perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-2009.

2 Mengetahui distribusi spasial perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-2009.

3 Menganalisis faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya perambahan lahan di TNGC.


(18)

1.4 Manfaat

Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai perubahan penutupan lahan TNGC dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta kaitannya dengan kondisi masyarakat. Selain itu juga sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola TNGC dalam manajemen kawasan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Dephut 1990). Taman nasional merupakan kawasan alami baik darat dan atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis satu atau lebih ekosistem untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (b) meniadakan eksploitasi atau penggunaan yang berlawanan dengan maksud penunjukan kawasan dan (c) menyediakan dasar bagi kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi yang sesuai dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994). IUCN memberikan karakteristik mengenai taman nasional sebagai berikut: 1 Taman nasional merupakan suatu kawasan alami yang cukup luas terdiri dari satu atau beberapa ekosistem yang tidak banyak dijamah oleh manusia. Dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan eksploitasi, berkembang berbagai jenis flora dan fauna, serta memiliki nilai ilmiah, pendidikan serta rekreasi. 2 Kegiatan pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pemerintah yang

ditujukan untuk melestarikan potensi sumberdaya alam dan ekosistem taman nasional.

3 Kawasan yang dapat dikunjungi oleh masyarakat dan dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merubah ciri-ciri ekosistem yang ada karena memiliki unsur-unsur pendidikan, penelitian, ilmiah dan rekreasi ilmiah.

Berdasarkan IUCN (1994), terdapat enam tujuan pengelolaan taman nasional, yaitu :

1 Melindungi kawasan alami dan indah untuk pemanfaatan spiritual, ilmiah, pendidikan dan rekreasi.

2 Mengelola penggunaan pengunjung untuk tujuan rekreasi, budaya dan pencarian inspirasi pada tingkat yang akan menjaga kealamiahan kawasan.


(20)

3 Memelihara keanekaragaman dan kestabilan ekologis sumberdaya genetik dan spesies dalam kondisi alami.

4 Menjaga atribut ekologis, geomorfologis dan estetis yang menjamin penetapan kawasan.

5 Mencegah eksploitasi atau penggunaan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan.

6 Menghitung kebutuhan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya. Secara ekologis, taman nasional memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar, misalnya dalam hal pengendalian banjir, menyediakan air minum saat musim kemarau, selain itu adanya spesies liar dapat membantu dalam pertanian misalnya burung-burung pemakan hama dan serangga dalam penyerbukan (MacKinnon et al. 1990). Secara ekonomi dan sosial dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan, produktivitas usaha tani, produktivitas usaha kerja dan jasa-jasa lingkungan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan perekonomian.

Soewardi (1978) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pokok, taman nasional memerlukan adanya alokasi ruang yang berfungsi untuk perlindungan dan pemanfaatan itu sendiri yang disebut sistem zonasi. Menurut Soewardi (1978) taman nasional setidaknya harus mempunyai:

1 Zona inti, pada zona ini kegiatan manusia sangat terbatas hanya untuk penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan dan ilmu pengetahuan dan tidak boleh ada bangunan permanen.

2 Zona rimba, merupakan kawasan zona yang tidak boleh ada bangunan permanen, kegiatan hanya sebatas penelitian, pendidikan dan wisata alam terbatas.

3 Zona pemanfaatan, merupakan wilayah yang dikhususkan untuk pemanfaatan baik untuk sarana pengelolaan taman nasional berupa penelitian, penunjang budidaya maupun kegiatan wisata antara lain dengan penyediaan bumi perkemahan, shelter dan lain-lain.

Selain itu, zona-zona lain yang mungkin diperlukan dalam taman nasional sesuai dengan situasi dan kondisi setempat adalah zona rehabilitasi, zona pemanfaatan tradisional, zona kultural/budaya dan zona penyangga (MacKinnon


(21)

et al. 1990). Menurut pasal 16 ayat 2 Undang-undang No 5 Tahun 1990, daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam/pelestarian alam, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan. Daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan di sekitarnya (MacKinnon et al. 1990).

Menurut MacKinnon et al. (1990) daerah penyangga memiliki dua fungsi utama, yaitu :

1 Penyangga perluasan, memperluas kawasan habitat yang terdapat di kawasan yang dilindungi ke dalam kawasan penyangga. Contohnya hutan produksi, kawasan buru, hutan alami yang digunakan penduduk untuk mencari kayu bakar, kawasan terlantar dan padang penggembalaan.

2 Penyangga sosial, dimana pemanfaatan sumberdaya alam dari kawasan penyangga merupakan hal sekunder dan tujuan pengelolaannya adalah menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat setempat. Tetapi penggunaan tanah untuk tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama dari kawasan yang dilindungi.

MacKinnon et al.(1990) membagi beberapa tipe utama daerah penyangga taman nasional, yaitu :

1 Zona pemanfaatan tradisional di dalam kawasan yang dilindungi. Ada situasi ketika tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan sebagai zona penyangga serta lebih disukai untuk mengizinkan pengumpulan produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada waktu-waktu tertentu daripadamenjadikan lahan yang bernilai penting sebagai kawasan penyangga.

2 Penyangga hutan. Termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara. Hutan ini dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi


(22)

melindungi air dan tanah. Penggalakan hutan tanaman di zona penyangga mungkin merupakan satu-satunya strategi pengelolaan sumberdaya yang efektif untuk menjamin keutuhan kawasan yang dilindungi dalam jangka waktu yang panjang.

3 Penyangga ekonomi. Daerah penyangga diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komunikasi, atau lahan produktif, perburuan terkendali di daerah penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan kawasan konservasi.

4 Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batas kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga. Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Pada beberapa kasus, yang diperlukan hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon-pohon yang mencolok sebagai batas hidup.

3.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan adalah jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan tersebut dapat berupa gangguan hutan, penyerobotan lahan dan perladangan berpindah (Khalil 2009). Gangguan terhadap hutan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam dan manusia. Gangguan yang disebabkan oleh alam meliputi kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan erosi. Sementara itu gangguan yang disebabkan oleh manusia dapat berupa penebangan dan pencurian kayu, perambahan lahan dan kebakaran dengan sistem ladang berpindah. Lillesand dan Kiefer (1993) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya (Meffe & Carrol 1994 dalam Basuni 2003).


(23)

Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja dibidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.

Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan. Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman dan perluasan areal pertanian (Yatap 2008).

2.3 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI 1990). Sistem informasi geografis adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk (a) akuisisi dan verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpan data, (d) perubahan dan updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f) manipulasi data, (g) pemanggilan dan presentasi data dan (h) analisis data (Bern 1992 dalam Prahasta 2005).


(24)

Menurut Prahasta (2005), sistem informasi geografi merupakan sistem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:

1 Pengorganisasian data dan informasi. 2 Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3 Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya serta analisa spasial lainnya.

2.4 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Informasi tentang objek disampaikan pada pengamat melalui energi elektromagnet yang merupakan pembawa informasi sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi itu dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat elektromagnetik (Lo 1995).

Citra Landsat merupakan citra satelit untuk penginderaan sumberdaya bumi. Thematic Mapper (TM) adalah suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada cahaya tampak dan inframerah bahkan spektral (Lo 1995). Thematic Mapper dipasang pada Landsat dengan tujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik dan ketelitian geometrik. Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi objek-objek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit range panjang gelombang yang digunakan, maka semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan objek. Pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik spektral dari data penginderaan jauh sangat dibutuhkan pada penggunaan teknik analisis dengan bantuan komputer. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.


(25)

Tabel 1 Saluran citra Landsat TM

Saluran Kisaran

gelombang Kegunaan

1 0,45-0,52 Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah dan vegetasi.

2 0,52-0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau

yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 0,63-0,69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi

4 0,76-0,90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air.

5 1,55-1,75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan

kondisi kelembaban tanah.

6 2,08-2,35 Pemisahan formasi batuan

7 10,40-12,50 Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

Sumber : Lillesand & Kiefer (1990)

2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat

Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan diinterpretasikan. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan terlihat pada skema klasifikasi (Lo 1995) pada Tabel 2.

Tabel 2 Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data penginderaan jauh

No Tingkat I

(menggunakan citra Landsat)

Tingkat II

(menggunakan foto udara skala kecil)

1 Perkotaan atau lahan perkotaan aPemukiman

bPerdagangan dan jasa cIndustri

dTransportasi

eKompleks industri dan perdagangan f Kekotaan campuran dan lahan bangunan gKekotaan dan lahan bangunan lainnya


(26)

Tabel 2 (Lanjutan)

No Tingkat I

(menggunakan citra Landsat)

Tingkat II

(menggunakan foto udara skala kecil)

2 Lahan pertanian aTanaman semusim dan padang rumput

bDaerah buah-buahan, jeruk, anggur dan tanaman hias cLahan tanaman obat

dLahan pertanian lainnya

3 Lahan peternakan aLahan penggembalaan terkurung

bLahan peternakan semak dan belukar cLahan peternakan campuran

4 Lahan hutan aLahan hutan gugur daun semusim

bLahan hutan yang selalu hijau cLahan hutan campuran

5 Air aSungai dan kanal

bDanau cWaduk

dTeluk dan muara

6 Lahan basah aLahan hutan basah

bLahan basah bukan hutan

7 Lahan gundul aDataran garam kering

bGisik

cDaerah berpasir selain gisik dTambang terbuka, pertambangan

8 Padang lumut aPadang lumut semak belukar

bPadang lumut tanaman obat cPadang lumut lahan gundul dPadang lumut daerah basah ePadang lumut daerah campuran

9 Es dan salju abadi aLapangan salju abadi

bGletser

Sumber : Lo (1995)

Sistem klasifikasi pada Tabel 2 disusun berdasarkan kriteria berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari penutupan lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke


(27)

dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survei lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap kategori penggunaan dan penutupan lahan. Anderson (1971) dalam Lo (1995) menganggap bahwa pendekatan fungsional atau pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra satelit ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan utama. Pendekatan ini merupakan sistem klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat yang diperkenalkan oleh United States Geological Survey (USGS).

Pada klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya dan untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk melengkapi data penutupan lahan. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan dapat juga ditentukan dengan menggunakan klasifikasi yang ditetapkan oleh Badan Planalogi Kehutanan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan

Kelas Keterangan

Hutan lahan kering primer dataran rendah

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer pegunungan rendah

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer sub-alpine

Seluruh kenampakan hutan di zona sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering sekunder dataran rendah

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.


(28)

Tabel 3 (Lanjutan)

Kelas Keterangan

Hutan lahan kering sekunder

pegunungan rendah

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan lahan kering sekunder

pegunungan tinggi

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan lahan kering sekunder sub-alpine

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (> 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan rawa primer Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan.

Hutan rawa sekunder

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa). Hutan mangrove

primer

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang.

Hutan mangrove sekunder

Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah.

Semak/belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/bercak penebangan.

Semak/belukar rawa Semak/belukar dari bekas hutan di daerah rawa.

Savana Kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian laya).

HTI Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa kahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.

Perkebunan Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta sehingga memerlukan informasi pendukung lain.

Pertanian lahan kering

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang

Pertanian lahan kering bercampur dengan semak

Semua ativitas pertanian di lahan kering, berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan.

Transrnigrasi Seluruh kawasan baik yang sudah diusahakan maupun yang belum, termasuk areal pertanian, perladangan dan permukiman yang berada didalamnya.

Sawah Semua aktivitas pertanian di lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang.


(29)

Tabel 3 (Lanjutan)

Kelas Keterangan

Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) tanah terbuka bekas kebakaran dan tanah terbuka yang ditumbuhi rumput/alang-alang. Kenamapakan tanah terbuka untuk pertambangan dimasukan ke kelas pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas land clearing

dimasukkan ke kelas pertanian, perkebunan atau HTI.

Pertambangan Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka, openpit (batubara, timah, tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, kecuali mempunyai areal yang luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra.

Salju Areal yang tertutup oleh salju abadi.

Permukiman permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri dll. yang memperlihatkan pola alur yang rapat.

Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang dan lamun (lumpur pantai). Khusus kenampakan tambak di tepi pantai dimasukkan ke pertanian lahan basah.

Rawa Kenampakan rawa yang sudah tidak berhutan.

Awan Semua kenampakan awan yang menutupi suatu kawasan. Jika terdapat awan tipis yang masih mempelihatkan kenampakan di bawahnya dan masih memungkinkan untuk ditafsir, penafsiran tetap dilakukan. Poligon terkecil yang di delineasi untuk awan adalah 2 x 2 cm2.

Sumber : Dephut (2001)

Citra satelit Landsat sebagai satelit sumberdaya bumi telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Contoh penggunaan citra Landsat dalam bidang kehutanan dan lingkungan antara lain, identifikasi penyebaran habitat, sebaran spasial dan karakteristik ruang terbuka hijau (RTH), klasifikasi kelas tegakan hutan, pemantauan perubahan penggunaan lahan/tutupan lahan, dan aplikasi-aplikasi yang lainnya. Salah satu contoh aplikasi SIG mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan konservasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Khalil (2009). Penelitiannya dilakukan di Hutan Adat Citorek Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan aplikasi SIG dengan membandingkan penutupan lahan tahun 1990 sampai 2006. Tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah Kasepuhan Citorek dikelompokkan menjadi 9 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, kebun campuran, semak belukar dan rumput, ladang, sawah, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air dan awan. Lebih lanjut Khalil (2009) menganalisis perubahan penutupan lahan di Hutan Adat Cotorek dengan hasil adanya penurunan luas hutan pada kurun waktu 1990-2006 sebesar 1.31%. Ladang mengalami penurunan sebesar 25.48% pada kurun waktu 1990-2006. Sawah mengalami peningkatan luas menjadi 89.92% pada kurun waktu 1990-2006. Kebun campuran dan semak mengalami fluktuasi


(30)

luas pada kurun waktu 1990-2006. Fluktuasi ini disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi areal pertanian seperti kebun campuran, ladang dan sawah yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Penelitan perubahan penutupan lahan dilakukan juga oleh Darmawan (2002) di Cagar Alam Rawa Danau tahun 1994 sampai tahun 2000. Tipe penutupan lahan yang terdapat di Rawa Danau dikelompokkan menjadi 7 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, vegetasi campuran, rumput, sawah, tanah kosong, pemukiman dan badan air. Pada kurun waktu 1994-2000 terdapat peningkatan luas pemukiman sebesar 1%. Hutan mengalami peningkatan luas sebesar 1.3%, badan air mengalami peningkatan luas sebesar 2.4%, sawah mengalami peningkatan luas sebesar 12.2%, rumput mengalami penurunan sebesar 10.2%, vegetasi campuran dengan penurunan sebesar 9.2% dan tanah kosong dengan peningkatan luas sebesar 2.7%. Peningkatan akitvitas masyarakat dalam kawasan cagar alam hanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat pendapatan dan jenis penggunaan lahan yang didominasi sawah.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu pada bulan Juli-November 2010. Pengambilan data lapangan berupa penandaan lokasi (ground check) dilakukan selama satu bulan di Resort Argalingga dan Sangiang di Kabupaten Majalengka dan Resort Cigugur, Pasawahan dan Mandirancan di Kabupaten Kuningan. Selain itu untuk pengambilan data sosial masyarakat dilakukan pada dua desa yaitu Desa Seda di Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan dan Desa Sangiang di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Pengolahan data dilakukan selama empat bulan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(32)

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah Global Positioning Sistem (GPS), kamera digital, alat tulis, kuisioner dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcGis 9.3, ERDAS 9.1 dan SPSS 15.

Bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi, peta batas kawasan TNGC, peta administrasi kecamatan, peta citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun 2009.

3.3 Jenis Data

Data yang diambil dikelompokkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data utama yang diperoleh dari cek lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder adalah seluruh informasi pendukung yang berhubungan dengan penelitian seperti peta, data monografi desa dan kondisi umum kawasan.

3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Data spasial

Data spasial adalah data yang bersifat keruangan meliputi peta rupa bumi, citra Landsat, peta batas administrasi, dan peta batas kawasan TNGC sebagai data sekunder. Peta dan citra Landsat tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, BIOTROP dan BTNGC. Data lain yang digunakan adalah data Ground Control Point (GCP) untuk menandakan lokasi-lokasi jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Data GCP merupakan data yang menyatakan posisi keberadaan suatu benda di atas permukaan bumi. Pengambilan data ini dilakukan dengan cara menandakan lokasi (ground check) dan dicatat koordinat lokasi melalui Global Positioning System (GPS). Data ini kemudian digunakan untuk mengolah citra Landsat agar sesuai dengan keadaan di lapangan dan mengurangi bias.

3.4.2 Data atribut

Data atribut adalah data yang menunjukkan tulisan atau angka-angka yang membantu dalam menginterpretasikan citra Landsat. Data ini meliputi data monografi desa, kondisi umum kawasan dan data kondisi sosial ekonomi


(33)

masyarakat seperti jumlah tanggungan keluarga, usia, mata pencaharian, pendidikan, pendapatan, luas penggunaan lahan, pengetahuan dan sikap penduduk terhadap kawasan. Data ini dibutuhkan dalam menganalisis faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai serta pola penggunaan lahan oleh masyarakat khususnya sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan hutan.

Pengumpulan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut dilakukan melalui wawancara dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian subyektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu (Iskandar 2008). Sampel yang diambil dalam peneltian ini adalah para petani penggarap dalam kawasan TNGC, sedangkan pengambilan jumlah sampel responden berdasarkan rumus Slovin (Santoso 2005) yaitu :

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diinginkan N = Jumlah populasi sampel

E = Tingkat kesalahan yaitu 10%

Berdasarkan perhitungan rumus Slovin diperoleh besar sampel sejumlah 94 kepala keluarga, yaitu 50 kepala keluarga dari Desa Sangiang dan 44 kepala keluarga dari Desa Seda. Total populasi warga Desa Seda dan Desa Sangiang sebesar 1588 kepala keluarga. Pertimbangan pengambilan sampel berdasarkan kepala keluarga dikarenakan seorang kepala keluarga adalah pencari nafkah untuk keluarga sehingga lebih dapat menggali informasi yang dibutuhkan. Selain itu berdasarkan mata pencaharian dominan yaitu petani penggarap di kawasan TNGC.

N n = 1+Ne2


(34)

3.5 Analisis Data 3.5.1 Data spasial

Penelitian mengenai analisis perubahan penutupan lahan merupakan penelitian yang menganalisis mengenai penggunaan lahan oleh masyarakat dalam beberapa periode. Perkembangan penggunaan lahan ini akan menyebabkan terjadinya perubahan lahan, sehingga dibutuhkan data berupa gambaran/peta perubahan penutupan lahan. Peta penutupan lahan diperoleh melalui pengolahan data spasial meliputi peta rupa bumi, peta batas kawasan taman nasional, peta batas administrasi kecamatan dan citra Landsat tahun 2006 dan 2009. Proses pengolahan peta penutupan lahan dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahapan pengolahan citra. Citra

Tidak

Terima? Citra

Peta Rupa Bumi

Koreksi Geometris

Peta Batas Kawasan TNGC

Overlay Subset Image

Cek Lapangan

Klasifikasi Citra

Citra Hasil Klasifikasi

Uji Akurasi

Ya Peta Tutupan


(35)

1 Pembuatan peta digital

Pembuatan peta digital dilakukan menggunakan seperangkat komputer dengan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Input dalam proses pembuatan peta digital adalah peta rupa bumi, yang diolah melalui empat tahap. Tahapan ini adalah digitasi peta, editing peta, pembuatan atribut dan transformasi koordinat. Hasil pengolahan data ini adalah peta rupa bumi digital. Peta digital digunakan untuk menentukan lokasi penelitian dan menjadi acuan dalam koreksi geometrik saat pengolahan citra. Proses pembuatan peta digital dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses konversi peta analog ke peta digital.

2 Koreksi data citra

Data citra yang diperoleh, harus dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Koreksi data citra yang dilakukan adalah koreksi geometris. Koreksi geometris dilakukan karena adanya pergeseran koordinat, sehingga perlu dilakukan pembetulan data citra. Koreksi geometrisbertujuan agar posisi titik-titik (pixel) pada citra sesuai dengan posisi titik-titik geografi di permukaan bumi. Posisi ini adalah kedudukan geografis daerah yang terekam pada citra.

Kegiatan yang pertama dilakukan saat melakukan koreksi geometris adalah penentuan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tipe proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografis. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra mengunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour).

Peta Analog

Scanning

Screen digitizing

Atributing Transform UTM


(36)

Resampling citra merupakan proses transformasi citra dengan memberikan nilai pixel citra terkoreksi.

3 Pemotongan data citra (subset image)

Pemotongan data citra bertujuan untuk menetukan batas wilayah yang akan diteliti. Pemotongan dilakukan dengan memotong data citra yang sudah terkoreksi untuk mendapatkan wilayah lokasi penelitian.

4 Klasifikasi data citra

Klasifikasi data citra merupakan kegiatan untuk menentukan kelas-kelas yang terdapat pada data citra. Kelas-kelas tersebut menunjukkan kategori-kategori lahan dan didasarkan pada warna yang tampak dalam data citra. Klasifikassi dilakukan dengan cara mengelompokkan warna yang sama pada citra ke dalam kelas-kelas tertentu. Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dan klasifikasi citra terbimbing (supervised).

Klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan (ground check). Penentuan kelas-kelas tidak didefinisikan sendiri dan peta hasil klasifikasi ini dapat dijadikan acuan saat pengambilan data di lapangan. Klasifikasi citra terbimbing (supervised clasification), merupakan kegiatan klasifikasi kelas-kelas citra yang didefinisikan sendiri. Pendefinisian ini didasarkan pada data lapangan yang telah diperoleh berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS. Kelas-kelas yang didefinisikan menunjukkan jenis penutupan lahan yang ada di lapangan dan hasil dari klasifikasi citra ini adalah peta penutupan lahan.

5 Uji akurasi

Saat klasifikasi citra, terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam menentukan kelas tutupan lahan, sehingga perlu dilakukan uji akurasi. Tahapan uji akurasi bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi citra terbimbing. Akurasi citra dilakukan dengan cara menyesuaikan kelas tutupan lahan yang telah diklasifikasi dengan data Ground Control Point (GCP) yang diambil melalui GPS. Nilai akurasi minimal yang diterima adalah 85%. Apabila tingkat akurasinya kurang dari 85%, maka perlu dilakukan klasifikasi ulang.


(37)

6 Analisis perubahan lahan

Analisis perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan peta perubahan lahan tahun 2006 dan 2009. Kedua peta tersebut dioverlay sehingga diketahui perubahan penutupan lahan yang terjadi pada tahun 2006-2009. Tahapan analisis perubahan penutupan lahan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan analisis perubahan penutupan lahan.

Perubahan penutupan lahan dilakukan dengan menghitung selisih luas masing-masing tipe penutupan lahan setiap tahun dan dianalisis secara deksriptif, sedangkan untuk menghitung laju perubahan penutupan lahan menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

V : Laju perubahan (%)

N1 : Luas penutupan lahan tahun pertama (ha) N2 : Luas penutupan lahan tahun kedua (ha)

N2 - N1

V = x 100%

N1 Peta Penutupan

Lahan 2006

Peta Penutupan Lahan 2009

Overlay

Perubahan Penutupan Lahan


(38)

3.5.2 Data atribut

Ada beberapa pendekatan analisis data atribut sosial ekonomi yang digunakan yaitu metode tabulasi deskriptif dan uji statistik. Penjelasan mengenai metode analisis adalah sebagai berikut:

1 Metode tabulasi deskriptif

Data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta pengetahuan dan sikap responden terhadap kawasan TNGC ditunjukan oleh jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah wawancara dilakukan dan data-data sudah terkumpul, maka selanjutnya dilakukan proses tabulasi data-data hasil wawancara dan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan sehingga dapat diketahui perluasan lahan yang mungkin terjadi, dan analisis terhadap pengelolaan yang berlaku secara kualitatif untuk mengetahui pengaruh sejarah pengelolaan kawasan terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi.

2 Metode uji statistik

a Analisis regresi linear sederhana

Metode ini bertujuan untuk mengetahui hubungan/korelasi karakteristik sosial ekonomi masarakat penggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai variabel tak bebas (y) adalah luas lahan garapan dalam kawasan, dan yang bertindak sebagai variabel bebas (x) adalah karakteristik sosial ekonomi penggarap. Model hubungan tesebut dapat dibuat dengan persamaan sebagai berikut :

Model hubungan dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji korelasi (R2). Korelasi diproyeksikan dalam koefisien korelasi yang menunjukan kemampuan model yang dihasilkan dalam menerangkan keragaman populasi (responden) yang ingin dikaji atau dengan kata lain R2 menunjukan persentase variasi data yang terjadi pada variabel tak bebas (y) yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (x) dengan adanya regresi. Dengan demikian semakin besar R2 yang dihasilkan, semakin baik regresi yang diperoleh.


(39)

Dalam regresi sebelum dianalisis terdapat syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah data harus terdistribusi secara normal. Oleh karena itu, diperlukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk. Distribusi data normal jika kedua-duanya diuji tidak signifikan >0.05 (Iskandar 2008). Apabila data-data tersebut terdistribusi normal maka analisis dapat dilanjutkan, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal maka tidak bisa dilakukan analisis regresi.

b Analisis uji chi-square

Uji chi square menganalisis secara deskriptif hubungan antara variabel terpengaruh dan variabel pengaruh. Variabel terpengaruh dalam penelitian ini yaitu (y) yang merupakan luas lahan garapan dalam kawasan dan yang bertindak sebagai variabel pengaruh adalah (x) yang merupakan karakteristik sosial ekonomi penggarap yaitu jumlah tanggungan keluarga (x1), tingkat umur (x2), tingkat pendidikan (x3), pendapatan (x4), luas garapan di luar kawasan (x5), dan lama masyarakat menggarap (x6). Model hubungan tesebut dapat dihipotesiskan sebagai berikut :

y = f (x1, x2, x3, x4, x5, x6)

Untuk melihat hubungan antara variabel-variabel di atas, maka dibuat kategori terhadap variabel tersebut sehingga dapat diperlukan untuk analisis selanjutnya. Kategorinya adalah sebagai berikut:

1 Luas lahan garapan dalam kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan luas lahan garapan responden dalam kawasan yang dinyatakan:

a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

2 Jumlah tanggungan keluarga, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan jumlah tanggungan keluarga responden yang dinyatakan:

a Kecil, bila jumlah tanggungan keluarga responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

b Besar, bila jumlah tanggungan keluarga responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden.


(40)

3 Tingkat umur, dikategorikan berdasarkan produktivitas manusia yang dinyatakan:

a Produktif, bila usia responden berkisar antara 15-64 tahun. b Non produktif, bila usia responden lebih dari 64 tahun. 4 Tingkat pendidikan, yang dikategorikan dalam:

a Tidak sekolah. b Sekolah Dasar (SD).

c Sekolah Menengah Pertama (SMP). d Sekolah Menengah Atas (SMA).

5 Tingkat pendapatan, dilihat dari besarnya pendapatan rata-rata keseluruhan responden yang dinyatakan:

a Rendah, bila pendapatan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan. b Tinggi, bila pendapatan responden lebih dari nilai rata-rata.

6 Luas lahan garapan diluar kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan lahan garapan responden yang dinyatakan:

a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

7 Lama menggarap, yang dinyatakan: a < 5tahun (setelah penetapan TNGC). b > 5tahun (sebelum penetapan TNGC).

Jumlah responden yang terdapat dalam suatu faktor sosial ekonomi disusun dalam tabel frekuensi dan tabel silang. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat dominansi setiap faktor sosial ekonomi yang telah dikategorikan. Sedangkan tabel silang digunakan untuk menentukan hubungan variabel pengaruh dan variabel terpengaruh melalui uji chi-square dengan rumus sebagai berikut:

∑ (f₀-ft)2

χ2 = ft


(41)

Keterangan : f₀ = frekuensi observasi yang diperoleh dari penelitian.

ft = frekuensi teortis yang nilainya ditentukan dari penggandaan perbandingan jumlah total kolom dengan jumlah total baris data pada tabel silang.

Hipotesis keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut :

H0 : Karakter sosial ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam kawasan.

H1 : Karakter sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam kawasan.

≤χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H0

χ2 hitung

≥χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H1

Apabila terima H0, maka variabel pengaruh (x) tidak berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y), dan sebaliknya apabila terima H1 maka variabel pengaruh (x) berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y). Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%.


(42)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai 4.1.1 Sejarah kawasan

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941. Kawasan hutan ini kemudian berubah status menjadi hutan produksi pada tahun 1978 yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terbagi dalan dua unit wilayah yaitu KPH Kuningan dan KPH Majalengka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.143/Kpts/Um/3/1978. Sebagian kawasan hutan produksi di Gunung Ciremai kemudian diubah statusnya sebagai kawasan hutan lindung di Kawasan Hutan Produksi Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka berdasarkan Kepmenhut nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816603 ha.

Pada saat kawasan dikelola Perum Perhutani, telah ada sistem yang berjalan salah satunya adalah sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dimulai sekitar tahun 1999 (Suryadarma 2009). PHBM adalah sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem pengelolaan taman nasional pada umumnya. Kebijakan PHBM ini tertuang dalam pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang penggunaan dan pemanfaatan hutan berbasis sosial forestry. Program PHBM antara masyarakat dan Perum Perhutani dengan memanfaatkan pola tumpangsari (agroforestry). Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, dijelaskan bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi dengan tujuan perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata untuk kelestarian kawasan sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat khususnya pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan hutan di kawasan ini telah dilakukan sejak lama, yaitu sejak kawasan hutan Gunung Ciremai masih berstatus hutan produksi. Seperti dibeberapa wilayah yang dimanfaatkan untuk pertanian, lahan tumpangsari justru banyak dikonversi lahannya menjadi ladang sayur mayur


(43)

tanpa memelihara hutan pinus sebagai tegakan utama. Pemanfaatan ini semakin tidak terkendali dan sangat berpotensi mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC. Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri kehutanan nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Selanjutnya pada 30 Desember 2004, dilakukan penunjukan BKSDA Jawa Barat II sebagai pengelola TNGC hingga terbentuknya organisasi TNGC berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.SK. 140/IV/Set-3/2004.

Penyelesaian proses perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak mulai dari masyarakat desa sekitar sampai organisasi non pemerintah yang berpendapat bahwa penunjukan kawasan menjadi taman nasional agak terburu-buru, tanpa sosialisasi ke masyarakat dan tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap keberadaan taman nasional sangat merugikan masyarakat karena telah dirubah peruntukannya, tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi dan masyarakat tidak diperbolehkan lagi menggarap dalam kawasan. Hal ini seperti pernyataan Hermawan (2005) bahwa penolakan penunjukan kawasan menjadi taman nasional disebabkan: (1) proses penetapan TNGC dianggap tidak mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) proses penetapan yang penuh ketergesaan dikhawatirkan akan merugikan masyarakat, (3) tidak adanya sosialisasi penetapan TNGC kepada masyarakat dan (4) kekhawatiran tertutupnya akses masyarakat pada kawasan Gunung Ciremai setelah ditetapkan menjadi taman nasional.

Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada di kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi telah menyebabkan perubahan sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan untuk melindungi terhadap tanah dan air sebagai daerah resapan, tetapi juga


(44)

ditingkatkan sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupun dengan kawasan hutan produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya peralihan kawasan menjadi taman nasional, masyarakat sudah tidak bisa lagi menggarap lahan dalam kawasan.

4.1.2 Letak dan luas wilayah

Secara geografis, TNGC terletak pada koordinat 1080 28’ 0” BT – 1080 21’ 35” BT dan 60 50’ 25” LS – 60 58’ 26” LS. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka dengan luas ± 15518.23 ha.

4.1.3 Topografi dan iklim

Kawasan TNGC memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit dan bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian mencapai 3078 m dpl. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TNGC termasuk ke dalam tipe iklim B dan C dengan curah hujan 2000-4000 mm/tahun dan temperatur udara 180C–220C.

4.1.4 Hidrologi

Kawasan Gunung Ciremai kaya dengan sumber daya air berupa sungai dan mata air. Sungai-sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai berjumlah ± 43 buah dan 156 titik mata air, 147 titik mata air terus menerus mengalirkan air sepanjang tahun dengan debit rata-rata 50–2000 liter/detik serta kualitas airnya memenuhi standar kriteria kualitas air minum.

4.1.5 Vulkanologi

Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600 dan berbentuk kerucut. Gunung ini merupakan gunung api soliter yang dipisahkan oleh zona sesar Cilacap–Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada zona Bandung. Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisme Plio-Plistosen di atas batuan tersier. Vulkanisme generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera


(45)

Gegerhalang. Vulkanismegenerasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi sekitar 7000 tahun yang lalu.

4.1.6 Kondisi biologis

Tipe ekosistem hutan yang berada di kawasan TNGC secara umum merupakan tipe hutan dataran rendah (2-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan (1000–2400 m dpl), dan hutan pegunungan atas (> 2400 m dpl). Pada stipe ekosistem tersebut terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi berupa keanekaragaman flora, fauna dan potensi wisata. Flora yang ditemukan di kawasan tersebut berdasarkan hasil eksplorasi sebanyak 57 jenis, diantaranya adalah edelweis, pasang, jamuju, harendong, kiteja, kipare, kicalungcung, hamirung, kijagong, kiceuhay, pelending, cereme, kiucing, kileho, kinugrah, cerem, kibeusi, kisieur, walen, nangsi, kiampet, kemuning, ipis kulit, kigawulan, huru, kalimarot, kisalam, totongoan, talingkup, kendung, pendung, kiamis, kitaji, kipait, ramo giling, kihuut, kisareni, tangogo, hamperu badak, hamerang, beunying, kawoyang, kareumbi, masawa, kikacapi, kikacang, baros, songgom, kijeruk, gintung, kisireum dan kijengkol.

Jenis fauna yang ditemukan di kawasan TNGC cukup beragam terdiri dari jenis burung, mamalia dan reptil. Macan tutul (Panthera pardus), kijang (Muntiacus munjak), kera ekor panjang (Macaca Fascicularis), elang hitam (Ictinaetus malayensis), ekek kiling (Cissa thalassina), sepah madu (Perictorus miniatus), lutung (Presbytis cristata), surili (Presbytis comata), ular sanca (Phyton molurus), meong congkok (Felis bengalensis), walik (Ptilinopuscinctus) dan anis (Zoothera citrina). Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki sejumlah potensi wisata alam, yaitu Objek Wisata Talaga Remis, Objek Wisata Situ Nilam, Objek Wisata Situ Ayu Salintang, Situ Cicerem, Bumi Perkemahan Cikole dan Mata Air, Bumi Perkemahan dan Wisata Air Paniis, Bumi Perkemahan Cibeureum, Bumi Perkemahan Cibunar dan Parigi, Bumi Perkemahan Palutungan dan Kawasan Wisata Lembah Cilengkrang.


(46)

4.1.7 Potensi wisata

Kawasan TNGC memiliki objek wisata alam yang telah dikelola sebelum penetapan statusnya sebagai taman nasional. Potensi wisata terdapat di kawasan TNGC cukup unik, variatif dan memiliki nilai jual yang tinggi. Potensi tersebut mencakup potensi fisik maupun hayati antara lain panorama alam, keindahan air terjun, pemandian air panas, bentang alam, kawasan persawahan, aliran sungai yang mengalir dapat dijadikan alternatif wisata bagi para wisatawan. Beberapa objek wisata alam yang selama ini telah diusahakan di kawasan TNGC dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Objek wisata alam di TNGC

No Kabupaten Nama lokasi Jenis daya tarik

1 Kuningan Telaga Remis Danau

Situ Cicerem Danau

Bumi Perkemahan Cikole Aktivitas berkemah

Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Singkup

Aktivitas berkemah

Sumur Cikajayaan Wisata air

Bumi Perkemahan Cibeureum Aktivitas berkemah

Jalur Pendakian Linggarjati Aktivitas pendakian

Jalur Pendakian Palutungan Aktivitas pendakian

Bumi Perkemahan Hulu Ciawi Aktivitas berkemah

Bumi Perkemahan Cibunar Aktivitas berkemah

Bumi Perkemahan Balong Dalam Aktivitas berkemah

Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh Wisata air

Lembah Cilengkrang Air terjun

Pemandian Alam Cigugur Wisata air

Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri Aktivitas berkemah

2 Majalengka Jalur Pendakian Apuy Aktivitas pendakian

Bumi Perkemahan Cipanten Aktivitas berkemah

Curug Sawer Air terjun

Situ Sangiang Wisata air

Sumber : BTNGC (2006)

4.2 Daerah Penyangga TNGC 4.2.1 Letak dan luas

Daerah penyangga TNGC terletak melingkari kawasan TNGC yang meliputi 46 desa di 14 kecamatan dan 2 kabupaten. Ada 25 desa di 7 kecamatan di Kabupaten Kuningan di sekitar kawasan TNGC sebelah timur dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar 105.5 km2. Sementara itu, ada 20 desa di 7 Kecamatan di Kabupaten Majalengka di sekitar kawasan TNGC sebelah barat dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar ± 107.31 km2.


(47)

4.2.2 Kondisi sosial ekonomi masyarakat 1 Kepadatan penduduk

Luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten Kuningan adalah 105.5 km2. Jumlah penduduk dari desa-desa tersebut sebesar 64666 jiwa dengan kepadatan penduduk 612.96/km2 (BPS Kabupaten Kuningan 2003). Sedangkan luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten Majalengka adalah ± 107.31 km2, dengan jumlah penduduk mencapai 287439 jiwa, laki-laki berjumlah 144096 jiwa dan perempuan sebanyak 143341 jiwa (BPS Kabupaten Majalengka 2003).

2 Mata pencaharian

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di sekitar kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak 65476 orang (68.79%), industri sebanyak 2323 orang (2.46%) dan sektor jasa sebanyak 27097 orang (28.55%). Besarnya jumlah petani menunjukkan besarnya jumlah masyarakat yang bergantung pada lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan pertanian oleh petani hanya mencapai 0.2 ha. Adapun komoditas pertanian yang dihasilkan diantaranya padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sedangkan mata pencaharian penduduk Kabupaten Majalengka yang berada di sekitar kawasan TNGC sebagian besar di sektor pertanian (34%), baik di lahan milik, penggarap atau buruh tani dengan komoditi yang ditanam di atas lahan ladang/kebun/tegalan adalah sayuran-sayuran dan buah-buahan. Mata pencaharian lain yaitu 33% di sektor industri pengolahan, 17% di sektor perdagangan dan sisanya tersebar di sektor jasa, angkutan, perkebunan, perikanan dan perdagangan.

3 Penggunaan lahan

Secara umum pola penggunaan lahan masyarakat di sekitar TNGC terdiri dari tanah sawah dan bukan sawah (kebun, hutan rakyat, perkebunan, perumahan dan tanah pekarangan). Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan adalah seluas 5644.48 ha yang terbagi menjadi lahan sawah 15026 ha (berdasarkan sistem pengairan irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa maupun tadah hujan) dan bukan sawah 4141.88 ha yang terdiri dari kebun, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan dan lain-lain (BPS Kabupaten Kuningan 2003). Adapun penggunaan lahan di sekitar kawasan TNGC yang berada di wilayah


(48)

Kabupaten Majalengka secara umum diklasifikasikan menjadi lahan sawah dan lahan kering. Pada tahun 2003 tercatat bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Majalengka sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2002 yaitu dari 51045 ha menjadi 50937 ha. Hal ini disebabkan adanya peralihan fungsi lahan dari sawah menjadi tanah tegalan atau perumahan. Penggunaan lahan di kawasan barat (Majalengka) sampai dengan tahun 2005 didominasi untuk tanah ladang/tegalan yaitu seluas 3047.55 ha.

4 Sosial budaya

Berdasarkan data BPS Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka tahun 2003, sebagian besar penduduk yang ada di 14 kecamatan sekitar kawasan TNGC umumnya memeluk agama Islam (98%), sedangkan sebagian kecil beragama Kristen Protestan dan Katolik (2%). Interaksi masyarakat desa dengan kelompok hutan Gunung Ciremai telah lama berlangsung sejak kawasan tersebut belum ditunjuk sebagai taman nasional. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat, baik secara ekologi, ekonomi dan sosial berhubungan dengan kawasan tersebut, termasuk beberapa situs yang terdapat di dalam kawasan Gunung Ciremai yang merupakan bagian dari kegiatan ritual kepercayaan dan budaya bagi sebagian masyarakat di sekitar dan di luar kawasan Gunung Ciremai.


(1)

Lampiran 3 Kuisioner

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Kuisioner Penelitian

Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

Amrizal Yusri (E34062415)

Identitas Responden Nama : Umur : Jenis Kelamin : L/P

1 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Taman Nasional Gunung Ciremai

1. Apakah anda tahu Gunung Ciremai menjadi kawasan taman nasional? a) Ya

b) Tidak

2. Apakah anda tahu batas-batas kawasan taman nasional? a) Ya

b) Tidak

3. Apakah anda mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-undang/Peraturan?

a) Ya b) Tidak

4. Apakah anda mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air, perlindungan satwa, dan mencegah erosi?

a) Ya b) Tidak

-Kami berharap Bapak/ibu/Saudara/I bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjawab semua pertanyaan apa adanya


(2)

5. Apakah anda pernah mendapat penyuluhan/sosialisasi dari pihak taman nasional?

a) Ya b) Tidak

6. Apakah yang menjadi dorongan anda menggarap lahan Gunung Ciremai? a) Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan Perum Perhutani (tumpangsari) b) Keterdesakan ekonomi

c) Tidak mempunyai lahan garapan diluar kawasan

d) Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain sebagai petani e) Lainnya, sebutkan………….

2. Sikap

1. Apakah anda setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai tetap lestari? a) Ya

b) Tidak

2. Apakah anda setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas penggarapan?

a) Ya

b) Tidak, karena………

3. Apakah anda setuju dan mau ikut serta bersama pihak petugas dalam mencegah kerusakan di Gunung Ciremai?

a) Ya

b) Tidak, karena………..

4.Apakah anda bersedia mengikuti program pemberdayaan untuk kesejahteraan masyarakat?

a) Ya


(3)

Lampiran 4Uji normalitas data a Log x

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam

kawasan .153 94 .000 .922 94 .000

Tanggungan keluarga .187 94 .000 .906 94 .000 Luas garapan di luar

kawasan .220 94 .000 .808 94 .000

Pendidikan .464 94 .000 .568 94 .000

Lama menggarap .540 94 .000 .203 94 .000

Umur .060 94 .200(*) .979 94 .140

Pendapatan luar .123 94 .001 .851 94 .000

* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction

b Arc sin x

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam

kawasan .149 93 .000 .923 93 .000

Tanggungan keluarga .225 93 .000 .884 93 .000 Luas garapan di luar

kawasan .218 93 .000 .808 93 .000

Pendidikan .463 93 .000 .571 93 .000

Lama menggarap .540 93 .000 .204 93 .000

Umur .062 93 .200(*) .979 93 .130

Pendapatan luar .215 93 .000 .875 93 .000

* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction

Kesimpulan : hanya faktor ‘umur’ saja yang memiliki data sebaran normal, sehingga analisis regresi tidak bisa dilanjutkan.


(4)

Lampiran 5 Tabel uji chi-square

Tabel 1 Luas lahan garapan dalam kawasan dan jumlah tanggungan keluarga

Penggunaan lahan dalam kawasan

Tanggungan keluarga

Total responden

Besar Kecil

f₀ ft

(f₀-ft) 2

ft f₀ ft

(f₀-ft) 2

ft

Rendah 27 26.8 0.00149 33 33.2 0.0012 60 Tinggi 15 15.19 0.00237 19 18.8 0.0021 34

Jumlah 42 52 94

ft : (60x42)/94 = 26.8 ; (60x52)/94 = 33.2 ; (34x42)/94 = 15.19 ; (34x52)/94 = 18.8

(f₀-ft) 2

: (27-26.8) 2 = 0.00149 ; (33-33.2)2 = 0.0012 ;

ft 26.8 33.2

(15-15.19)2 = 0.00237 ; (19-18.8)2=0.0021

15.19 18.8

χ2 = ∑ (f₀-ft)

2

= 0.00149 + 0.0012 + 0.00237 + 0.0021 = 0.0072 ft

χ2 = 0.0072 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan

Tabel 2 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat umur

Penggunaan lahan dalam kawasan

Tingkat Umur

Total responden Produktif Non produktif

f₀ ft (f ₀-ft)2

ft f

₀ ft (f

₀-ft)2 ft

Rendah 49 49.15 0.00045 11 10.85 0.0020 60 Tinggi 28 27.85 0.00080 6 6.14 0.0031 34

Jumlah 77 17 94

χ2 = ∑ (f₀-ft)

2

= 0.00045 + 0.002 + 0.0008 + 0.0031 = 0.0065 ft

χ2 = 0.0065< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Tingkat umur tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan


(5)

Tabel 3 Luas lahan garapan dalam kawasan dan Luas lahan garapan diluar kawasan

Penggunaan lahan dalam kawasan

lahan garapan diluar kawasan

Total responden

Rendah Tinggi

f₀ ft (f

₀-ft) 2

ft

f₀ ft (f

₀-ft) 2

ft

Rendah 47 44.68 0.12046 13 15.31 0.3485 60 Tinggi 23 25.31 0.21082 11 9.06 0.4154 34

Jumlah 70 24 94

χ2 = ∑ (f₀-ft)2 = 0.12046 + 0.3485 + 0.21082 + 0.4154 = 1.0952

ft

χ2 = 1.0952< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Luas lahan garapan diluar kawasan tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan

Tabel 4 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendapatan

Penggunaan lahan dalam kawasan Tingkat Pendapatan Total responden

Rendah Tinggi

f₀ ft

(f₀-ft) 2

ft

f₀ ft

(f₀-ft) 2

ft

Rendah 26 32.66 1.35810 34 28.05 1.2621 60

Tinggi 23 17.72 1.57327 10 15.91 2.1953 34

Jumlah 49 44 94

χ2 = ∑ (f₀-ft)

2

= 1.35810 + 1.2621 + 1.57327 + 2.1953 = 6.3888 ft

χ2 = 6.3888> χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam kawasan

Tabel 5 Luas lahan garapan dalam kawasan dan lama masyarakat menggarap

χ2 = ∑ (f₀-ft)2 = 0.00545 + 0.0794 + 0.00929 + 0.1722 = 0.2664

ft

χ2 = 0.2664< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Lama masyarakat menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan

Penggunaan lahan dalam kawasan Lama Menggarap Total responden >5 tahun <5 tahun

f₀ ft

(f₀-ft)2 ft

f₀ ft

(f₀-ft)2 ft

Rendah 58 57.44 0.00545 3 2.55 0.0794 60 Tinggi 32 32.55 0.00929 1 1.51 0.1722 34


(6)

Tabel 6 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendidikan

Penggunaan lahan dalam kawasan

Tingkat pendidikan

Total responden

Tidak sekolah SD SMP SMA

f₀ ft (f

₀-ft)2 ft f

₀ ft (f

₀-ft)2 ft f

₀ ft (f

₀-ft)2 ft f

₀ ft (f

₀-ft)2 ft

Rendah 2 1.91 0.00424 50 48.51 0.0457 7 7.02 5.7E-05 1 2.55 0.94215 60 Tinggi 1 1.08 0.00592 26 27.48 0.0797 4 3.97 0.0002 3 1.44 1.69 34

Jumlah 3 76 11 4 94

χ2 = ∑ (f₀-ft)

2

= 0.00424 + 0.0457 + 5.7E-05 + 0.94215 + 0.00592 + 0.0797 + 0.0002 + 1.69 = 2.768 ft

χ2 = 2.768< χ2 (α0.05;3) = 7.815

Kesimpulan : Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan