Konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan perkembangan wilayah ( Kajian di Kabupaten Kampar)

KONVERSI LAHAN SAWAH, KESEJAHTERAAN
KELUARGA PETANI DAN PERKEMBANGAN WILAYAH
(Kajian di Kabupaten Kampar)

ANIS FAHRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “konversi lahan sawah,
kesejahteraan Petani dan perkembangan wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar)”
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor

Bogor, Juni 2014

Anis Fahri
NRP H152110031

RINGKASAN

ANIS FAHRI. Konversi Lahan Sawah, Kesejahteraan Keluarga Petani dan
Perkembangan Wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar). Dibimbing oleh LALA
M. KOLOPAKING dan DEDI BUDIMAN HAKIM
Kabupaten Kampar merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi
Riau dan memiliki lahan sawah seluas 10.476 ha dengan produktifitas rata-rata
sebesar 4,70 ton/ha. Penurunan produksi disebakan degradasi lahan, sarana
produksi yang tidak tersedia, serangan hama dan penyakit, banyaknya irigasi yang
rusak, menyebabkan land rent semakin menurun. Kondisi ini mendorong petani
untuk mencari solusi pengelolaan lahan memperoleh manfaat yang lebih besar
untuk kesejahteraannya, salah satunya adalah konversi lahan sawah menjadi
kebun kelapa sawit. Fenomena konversi lahan menjadi ancaman yang serius

terhadap ketahanan pangan di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Kampar.
Penelitian ini bertujuan : (1) Menganalisis laju konversi lahan sawah menjadi
perkebunan kelapa sawit, (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap konversi lahan sawah. (3) Menganalisis dampak konversi lahan sawah
terhadap kesejahteraan keluarga petani dan pengembangan wilayah
Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga Desember 2013.
Penggunaan data citra landsat tahun 2002 dan 2010 untuk menganalisis laju
konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit. Penggunaan rancangan survey
dengan responden berjumlah 60 petani terdiri dari 30 petani padi dan 30 petani
yang melakukan konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit untuk
menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah.
Penggunaan indikator kesejahteraan berdasar kriteria BPS, BKKBN dan Bank
Dunia untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan
keluarga petani. Menurut BPS ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah
tangga sejahtera seperti 1) luas bangunan, 2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4)
fasilitas MCK, 5) sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar
untuk memasak, 8) frekuensi mengkonsumsi daging, ayam dan susu selama
seminggu, 9) frekuensi makan setiap hari, 10) frekuensi membeli pakaian dalam
setahun, 11) Akses pusksmas/poliklinik, 12) lapangan pekerjaan,13) pendidikan
kepala keluarga, 14) Kepemilikan aset/tabungan. Jika minimal 9 variabel dipenuhi

maka dikategori sebagai keluarga sejahtera. Mengukur peningkatan kesejahteraan
petani berdasarkan kriteria BKKBN yang diklasifikasikan ke dalam lima
katogori yaitu : 1) Pra Sejahtera ; 2) Sejahtera (I) ; 3) Sejahtera (II); 4) Sejahtera
(III) ; dan 5) Sejahtera (III) plus. Mengukur tingkat kesejahteraan berdasar
kriteria Bank Dunia dengan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 dan US$ 2
perhari. Menganalisis perkembangan wilayah menggunakan data konversi lahan
dan infrastruktur fasilitas pelayanan dengan metode skalogram.
Hasil analisis menunjukkan laju konversi lahan sawah di Kabupaten
Kampar dalam kurun waktu tahun 2002-2010 seluas 1.955,79 hektar ( 21,77 % )
dari 8.984 hektar menjadi 7.028,21 hektar. Konversi lahan sawah terjadi sebagian
besar pada lahan sawah memiliki sarana irigasi yang rusak. Diperkirakan secara
akumulasi telah menyebabkan hilangnya sekitar 32.553 ton gabah setara dengan
20.245 ton beras. Kondisi ini perlu diwaspadai karena terjadi defisit kebutuhan

beras rata-rata sekitar 39,7 ribu ton, produksi beras hanya dapat memenuhi
29,65% kebutuhan penduduk Kampar, sisanya 70,35% diimpor dari daerah lain
Hal ini merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan Kabupaten Kampar.
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah menjadi kebun
kelapa sawit adalah: 1) pendapatan usahatani padi sawah, 2) pendapatan
usahatani kelapa sawit, 3) kendala irigasi dan 4) pengetahuan peraturan tentang

larangan konversi lahan sawah.
Hasil analisis menunjukkan berdasar indikator BPS rata- rata
kesejahteraan keluarga petani padi sebanyak (60,00 %) lebih rendah dari
keluarga petani kelapa sawit sebanyak (86,67 %). Kemudian berdasar indikator
BKKBN rata – rata kesejahteraan keluarga petani padi sebanyak 16,67 %, lebih
rendah dari keluarga petani kelapa sawit sebanyak 49 %. Sementara berdasar
kriteria Bank Dunia dengan tingkat pendapatan US$ 1 dan US$ 2 rata-rata
kesejahteraan petani padi sebanyak (67,67 %) dan (16,67 %). Sedangkan
kesejahteraan keluarga petani kelapa sawit dengan tingkat pendapatan US$ 1
sebanyak (83,33 %) kriteria sejahtera dan US$ 2 sebanyak (50,00%) kriteria
sejahtera. Koversi lahan sawah berdampak positif terhadap pengembangan
wilayah. Hal ini dapat dilihat hierarki perkembangan wilayah Kecamatan Tapung,
Siak Hulu, Tapung Hulu yang pada tahun 2002 termasuk wilayah sedang
berkembang dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi wilayah
berkembang.
Kata kunci: konversi lahan sawah, kesejahteraan, kelapa sawit, padi dan
perkembangan wilayah

SUMMARY


ANIS FAHRI. Paddy fields Conversion, Farmer Family Welfare and Regional
Development (Studies in Kampar Regency). Supervised by
LALA M.
KOLOPAKING and DEDI BUDIMAN HAKIM.
Kampar district is a center of rice production in Riau Province and it has
10.476 hectares of rice fields. Rice productivity area reached 4.70 tonnes/ ha.
Rice production decreased caused by land degradation, lack of production
facilities, pests and diseases attacks, the number of damaged irrigation. It caused
land rent decreased. This condition encourage farmers to seek solutions about
paddy fields management in order to obtain greater benefits for welfare, one of
those efforts is paddy fields conversion into palm oil plantations. The
phenomenon of land conversion became a serious threat to Kampar District’s
food security in Riau Province. This study aims to : ( 1 ) analyze the rate of paddy
fields conversion to palm oil plantations , ( 2 ) identify the factors were influenced
paddy fields conversion. ( 3 ) analyze the impact of wetland conversion to the
welfare of farmer’s families and regional development
The experiment was conducted from April to December 2013. Use of
Landsat image data of 2002 and 2010 to analyze the rate of paddy fields
conversion to palm oil plantations . The use of draft survey respondents consisted
of 60 farmers. That are 30 farmers and 30 rice farmers who undertake paddy fields

conversion to palm oil plantation in order to analyze the factors that influence the
paddy fields conversion. Use of indicators of well-being based on the criteria of
BPS, BKKBN and the World Bank to analyze the impact of wetland conversion
to the welfare of farmer’s families . According to BPS there are 14 criterias to
determine a family / household welfare such as 1 ) building area, 2 ) the type of
flooring , 3 ) the type of wall, 4 ) sanitary facilities , 5 ) source of drinking water ,
6 ) source of light, 7 ) the type of fuel for cooking, 8 ) the frequency of
consumption of meat, chicken and dairy for a week, 9 ) frequency of meals every
day, 10 ) the frequency of buying clothes in a year, 11) access to health center, 12
) employment, 13 ) education of household’s
head, 14 ) Ownership
savings/assets. If at least 9 variables met then it can categorized as prosperous
family . Measuring improving farmers' welfare by BKKBN criteria classified into
five categories , namely : 1 ) Pre-Welfare ; 2 ) Welfare ( I) ; 3 ) Welfare ( II ) ; 4 )
Prosperous ( III ) ; and 5 ) Prosperity ( III ) a plus. Measuring the level of wellbeing based on the World Bank criteria with per capita income of U.S. $ 1 and
U.S. $ 2 a day. Analyzing regional development by using land conversion data
and service fasilities with schallogram method .
The analysis showed the rate of paddy fields conversion in Kampar
district in the period 2002-2010 covering 1955.79 ha ( 21,77 % ) from 8,984
hectares became 7,028.21 hectares. Paddy fileds conversion occurs mostly in rice

fields that have damage irrigation. Estimated accumulation has caused losses as
much grain 32,553 tonnes equivalent to 20,245 tonnes of rice. This condition
needs to be aware because it cause riced deficits average of about 39.7 thousand
tonnes , rice production only can fulfill 29.65 % the needs of
Kampar’s
population, the remaining 70.35 % is imported from other regions. This is a

threat to Kampar’s food security. Factors that affect wetland conversion into
palm oil plantations are : 1 ) rice farming income, 2 ) palm oil farming income, 3 )
irrigation constraints and 4 ) knowledge regulations about the prohibition of
wetland conversion .
The analysis showed, based on BPS indicators the average of rice famers
family welfare as much as ( 60.00 % ) is lower than palm oil farmers family as
much as ( 86.67 % ). Then based on BKKBN indicators the average of rice
farmers family welfare as much as 16.67 % , lower than palm oil farmers family
as much as 49 % . While based on the World Bank’s criteria with income level of
U.S. $ 1 and U.S. $ 2 the average of rice famers family’s welfare as much as (
67.67 % ) and ( 16.67 % ). Whereas palm oil farmers family’s welfare with
income levels as much as U.S. $ 1 ( 83.33 % ) welfare criteria and as much as
U.S. $ 2 ( 50.00 % ) welfare criteria. The conversion of wetland has positive

impact to regional development. This can be seen in the regional development
hierarchy of the District Tapung, Siak Hulu,Tapung Hulu which in 2002 included
developing regions and in 2010 increased to be a developed regions .
Keywords : paddy fields conversion, welfare, palm oil, rice and regional
development

KONVERSI LAHAN SAWAH, KESEJAHTERAAN
KELUARGA PETANI DAN PERKEMBANGAN WILAYAH
(Kajian di Kabupaten Kampar)

ANIS FAHRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Baba Barus, MSc

Judul Tesis :
Nama
NIM

:
:

Konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan
perkembangan wilayah ( Kajian di Kabupaten Kampar)
Anis Fahri
H152110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Lala M Kolopaking, MS
Ketua

Dr Ir Dedi Budiman Hakim
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:
16 April 2014


Tanggal Lulus

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Oktober 2013 ini
adalah konversi lahan, dengan judul Konversi lahan sawah, kesejahteraan
keluarga petani dan perkembangan wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking,
MS dan Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim , M.Ec selaku pembimbing, serta
Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku Ketua program Studi Ilmu
Perencanaan Pengembangan wilayah dan Perdesaan dan Ibu Dr Ir Eka Intan
Kumala Putri, MS selaku Sekretaris Program Studi yang telah banyak memberi
motivasi dan saran. Kepada Dosen dan Staf Program Studi PWD penulis ucapkan
terima kasih.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Pimpinan Badan Litbang
Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Serta kepada Bapak/Ibu Pejabat Dinas
Pertanian, Bappeda dan Petugas Penyuluh Pertanian Lapang di Kabupaten
Kampar yang telah membantu penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda tercinta beserta
ibunda, istri tercinta Nelly Susanti serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat terutama bagi saya pribadi, bagi
masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar.

Bogor,

Juni 2014

Anis Fahri

(C) Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1

2

3

4

5

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitan
Ruang Lingkup Penelitian

1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Konversi Lahan Sawah
Kesejahteraan Keluarga Petani
Pengembangan wilayah
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

5
8
10
13
16

METODE PENELITIAN
Waktu Dan Tempat Penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pemilihan Responden
Metode Analisis
Analsisi Laju Konversi Lahan Sawah
Analisis Faktor Konversi Lahan Sawah
Analisis Konversi Lahan Terhadap Kesejahteraan Keluarga Petani
Analisis Konversi Lahan Terhadap Pengembangan Wilayah

16
16
17
18
18
19
21
24

KONVERSI LAHAN DALAM KONTEKS LOKASI STUDI
Lokasi dan Luas Wilayah
Kependudukan
Ketenagakerjaan
Perekonomian
Prasarana Jalan
Laju Konversi Lahan
Ihtisar

25
26
28
29
31
31
36

FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KONVERSI LAHAN SAWAH
Karakteristik Keluarga
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan
Mengkonversi Lahan Sawah
Pendapatan Usahatani Padi dan Kelapa Sawit

Petani

37
40
41

Kendala Irigasi
Pengetahuan tentang peraturan alih fungsi lahan sawah
Ihtisar

6

7

8

44
45
46

DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN KELUARGA PETANI
Tingkat Kesejahteraan Berdasar Indikator BPS
Tingkat Kesejahteraan Berdasar Indikator BKKBN
Tingkat Kesejahteraan Berdasar Krieteria Bank Dunia
Ihtisar

47
49
50
52

DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP PERKEMBANGAN
WILAYAH
Perkembangan Wilayah
Ancaman dan Strategi Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Pendekatan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Strategi Dasar Pengendalian Lahan Sawah
Ihtisar

52
55
55
56
58

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan

59
59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Luas wilayah dan jumlah penduduk Kabupaten Kampar menurut
Kecamatan Tahun 2010
Pertumbuhan Penduduk dari Tahun 2002 – 2010
Struktur penduduk menurut kelompok umur tahun 2010
Jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Kampar Tahun 2011
Komposisi keluarga di Kabupaten Kampar berdasar tingkat
kesejahteraan Tahun 2006 dan 2010
Jumlah kesempatan kerja, angkatan kerja, tenaga kerja dan
pengangguran terbuka tahun 2007 - 2010
Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha Tahun 20072010
Nilai dan kontribusi sektor dalam PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 Kabupaten Kampar Tahun 2006 – 2010 (jutaan rupiah)
Panjang jalan nasional, provinsi dan kabupaten di Kabupaten Kampar
Tahun 2006 – 2010 (km)
Perubahan luas penggunaan lahan di Kabupaten Kampar tahun 2002 –
2010
Produksi padi yang hilang akibat terjadinya konversi lahan sawah di
Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010 (ton).
Luas tanam dan produksi komoditas perkebunan Kabupaten Kampar
tahun 2007 – 2011
Luas tanam dan produksi kelapa sawit menurut Kecamatan Tahun 2010.
Sebaran responden berdasar karakteristik rumah tangga petani
Hasil estimasi faktor – faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah
Rata – rata penerimaan, biaya dan land rent usahatani padi
Perbandingan nilai Land rent usahatani padi dan kelapa sawit
Sebaran responden berdasar indikator kesejahteraan BPS
Sebaran kesejahteraan responden (%) berdasar indikator BPS
Sebaran responden berdasar kriteria kesejahteraan BKKBN
Sebaran responden (%) berdasar tingkat kesejahteraan Indikator
BKKBN
Sebaran responden berdasar tingkat kesejahteraan Kriteria Bank Dunia
Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani
Hasil skalogram hierarki wilayah Kabupaten Kampar Tahun 2010

27
27
27
28
28
29
29
30
31
32
34
35
36
39
41
42
43
48
48
49
50
51
51
53

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Kurva Land rent dan zona perumahan, kelapa sawit dan lahan sawah
Kerangka pemikiran konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga
petani, pengembangan wilayah di Kabupaten Kampar
Teknik sampling dalam pengambilan data primer
Peta Administrasi Kabupaten Kampar
Kondisi saluran irigasi tersier dan bangunan penjaga pintu air
Peta Perkembangan Wilayah Kabupaten Kampar

12
14
17
25
44
54

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tujuan penelitian, metode analisis, sumber data dan output penelitian
Peta penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2002.
Penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2002.
Peta penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2010
Penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2010.
Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit tahun ke-1 sampai
tahun ke-25
Analisis Land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah dengan
pola tanam Padi - Padi (r = 10% dan t = 25 tahun)
Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman pada
kelas berbagai kelas kesesuaian lahan.
Analisis Land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r = 10%
dan t = 25 tahun).
Variabel yang mempengaruhi keputusan petani terhadap konversi lahan
sawah di Kabupaten Kampar 2013.
Hasil estimasi faktor – faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah

63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia,
karena sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidup di sektor
pertanian. Permasalahan utama pembangunan sektor pertanian di Indonesia adalah
a) semakin berkurangnya lahan pertanian produktif, b) penurunan kualitas
sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan c) kompetensi
penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetensi penggunaan lahan terkait dengan
pemenuhan kebutuhan akan sarana infrastruktur, sedangkan fragmentasi lahan
terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani. Kemiskinan memaksa petani
melepas sebagian kepemilikan lahannya dan adanya sistem pewarisan yang
berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah yang semakin kecil (Hidayat
2009).
Beban sektor pertanian semakin bertambah, seiring dengan menurunnya
rumah tangga petani dan penguasaan lahan pertanian. Berdasar data statistik
rumah tangga usaha pertanian pada tahun 2013 mengalami penurunan sebanyak
5,10 juta rumah tangga dari 31,23 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi
26,14 juta pada tahun 2013, yang berarti terjadi penurunan sebesar 1,77 persen per
tahun. Jumlah rumah tangga petani gurem (rumah tangga yang menguasai lahan
pertanian kurang dari 0,5 ha) di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 14,25 juta
rumah tangga. Komposisi terbanyak berada di Pulau Jawa sebanyak 10,8 juta
rumah tangga, kemudian disusul Pulau Sumatera sebanyak 1,81 juta rumah
tangga, diikuti Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 0,90 juta rumah tangga.
Sementara komposisi rumah tangga petani gurem terkecil berada di Pulau
Kalimantan sebanyak 0,28 juta rumah tangga. Dibandingkan dengan kondisi
tahun 2003, jumlah rumah tangga petani gurem mengalami penurunan. Pada tahun
2003 petani gurem di Indonesia sebanyak 19,02 juta rumah tanggga, pada tahun
2013 berkurang menjadi 14,25 juta rumah tangga atau turun sebesar 25,07 %.
Ditinjau secara persentase penurunan rumah tangga petani gurem, Provinsi Riau
merupakan salah satu provinsi yang mengalami penurunan terbesar yakni 45,33
%. Rata – rata penguasaan lahan pertanian terbesar tahun 2013 adalah Provinsi
Kalimantan Tengah seluas 3,10 ha, diikuti Provinsi Riau seluas 2,16 ha.
sedangkan penguasaan paling sedikit di Provinsi DKI Jakarta seluas 0,17 ha.
Sementara itu Provisni Riau merupakan provinsi dengan rata–rata penguasaan
lahan sawah terkecil yakni seluas 0,07 ha dan terbesar Provinsi Kalimantan
Selatan seluas 0,43 ha.1.
Konversi lahan pertanian khususnya dari lahan sawah menjadi peruntukan
lain baik untuk pertanian di luar tanaman pangan seperti perkebunan sawit, dan
diluar pertanian seperti untuk kawasan pemukiman dan lainnya. Hasil sensus
pertanian tahun 2003 melaporkan bahwa selama tahun 2002-2003 bahwa luas
lahan sawah yang dikonversi ke penggunaan non pertanian (perumahan, industri
1

Berita Resmi Statistik. Hasil Sensus Pertanian 2013. Rumah Tangga Petani Gurem Tahun 2013
sebanyak 14,25 juta rumah tangga, Turun 25,07 persen dari Tahun 2003. No.90/12/Th.XVI, 2
Desember 2013.

2

dan sarana publik dan lain-lain) rata – rata seluas 187.7 ribu hektar per tahun.
Sedangkan luas percetakan sawah baru jauh lebih kecil yaitu hanya 46,4 ribu
hektar, sehingga lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun
(Irawan, 2008).
Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi
konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan karena:
(a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan yang
bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan
keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2002)
Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan
berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang
langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih rendah
pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan,
Kondisi ini menjadi tidak aman, dimana dalam satu dasawarsa terakhir di
Provinsi Riau terjadi konversi lahan sawah seluas 20.069 ha yang tersebar di
Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu,
Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir Kecenderungan lahan
sawah berubah menjadi lahan perkebunan sawit, pemukiman dan non pertanian
lainnya (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau, 2010). Selama
periode 2002-2010 Kabupaten Kampar mengalami penyusutan luas areal sawah
yang signifikan yaitu 20,35% dari 13.152 ha menjadi 10.476 ha, (BPS Kabupaten
Kampar, 2002; 2010).
Konversi lahan sawah harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan
permanen, artinya ketika lahan sawah telah berubah fungsi kapanpun sulit untuk
dapat berubah kembali ke fungsi persawahan. Konversi lahan persawahan
berdampak negatif terhadap ketahanan pangan, mengakibatkan berkurangnya
kapasitas produksi pangan. Akibatnya impor produk-produk pangan untuk
memenuhi konsumsi suatu wilayah meningkat.
Sebagai contoh terjadi di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Kampar,
penurunan poduksi pangan telah memunculkan kerisauan terhadap kerawanan
pangan pada masa yang akan datang. Dalam periode 2002-2010 terjadi defisit
kebutuhan beras di Kabupaten Kampar rata-rata sekitar 39,7 ribu ton, produksi
beras hanya dapat memenuhi 29,65% kebutuhan penduduk Kampar, sisanya
70,35% diimpor dari daerah lain (BPS Provinsi Riau, 2010).
Ada kecenderungan petani yang melakukan konversi lahan sawah ke
perkebunan kelapa sawit pendapatannya juga semakin meningkat. Akibatnya
petani banyak yang melakukan konversi dan menarik orang luar masuk ke
Kabupaten Kampar untuk berkebun kelapa sawit yang berdampak pada
pengembangan perekonomian wilayah. Peningkatan luas tanam kelapa sawit di
Kabupaten Kampar tahun 2010 yaitu 359.807 ha, meningkat 6,63 kali
dibandingkan tahun 2007 yaitu 54.274 ha (BPS Kabupaten Kampar 2010).
Pertambahan jumlah penduduk otomatis meningkatkan kebutuhan pangan dan
juga lahan pemukiman. Data BPS Kampar (2000; 2010) menunjukkan bahwa
pertumbuhan lahan pemukiman meningkat hampir empat kali yaitu dari 16.688 ha
menjadi 82.050 ha.

3

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berupaya tentang “Konversi
lahan sawah, kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah” (Kajian dilakukan
di Kabupaten Kampar).

Perumusan Masalah

Laju konversi lahan sawah khusus di Kabupaten Kampar menjadi lahan
perkebunan kelapa sawit dan penggunaaan non pertanian lainnya dapat terlihat
secara jelas. Dari tahun ke tahun telah terjadi penurunan luas sawah dan
peningkatan luas kebun kelapa sawit.
Konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit terjadi akibat
persaingan dalam pemanfaatan lahan untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan.
Konversi lahan sawah juga menyebabkan meningkatnya pendapatan yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah. Disisi lain
meningkatnya pertumbuhan ekonomi membutuhkan jumlah lahan yang lebih luas
untuk pembangunan sarana produksi dan infrastruktur selaras dengan
pertumbuhan penduduk. Konversi lahan sawah menjadi ancaman tehadap
ketahanan pangan, yakni semakin meningkatnya defisit pemenuhan kebutuhan
beras di Kabupaten Kampar.
Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada
(Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi
senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi
lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian
senantiasa lebih rendah dibanding nilai land rent untuk sektor non pertanian
(perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani yang masih
tertinggal, c) kepentingan pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya
terkait penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian
tidak memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol
dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
Beberapa hasil kajian empiris menunjukkan surplus lahan (land rent)
untuk sawah di pulau Jawa adalah 1/500 dibandingkan dengan pemanfaatan lahan
untuk industri (Iriadi 1990), 1/622 dibandingkan perumahan (Riyani 1992), 1/14
terhadap pariwisata (Kartika 1990) dan 1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991).
Hasil penelitian Asni (2005) di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara
menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi Rp 1.387.577/hektar lebih
rendah dari pada pendapatan usahatani kelapa sawit yaitu Rp 5.735.203/hektar.
Artinya pendapatan dari usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar dari pada
padi sawah.
Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke
penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada
mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi
lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah
berkembang.
Pada penelitian ini berupaya mengungkap dampak konversi lahan sawah
menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap kesejahteraan keluarga petani dan

4

perkembangan wilayah di Kabupaten Kampar. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar laju konversi lahan sawah ke perkebunan?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan ?
3. Bagaimana dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan keluarga
petani?
4. Bagaimana dampak konversi lahan terhadap perkembangan wilayah?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini berangkat dari data citra landsat penggunaan lahan
Kabupaten Kampar tahun 2002 dan 2010.
Adapun tujuan yang diingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis laju konversi lahan sawah ke perkebunan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah.
3. Menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan petani .
4. Menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap perkembangan wilayah
Kabupaten Kampar

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain :
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pengembangan wilayah bagi
pihak Pemerintah Daerah dan mendukung swasembada pangan di Riau dan
terutama di Kabupaten Kampar.
2. Bermanfaat bagi masyarakat dalam pengembangan wilayah dan mendukung
swasembada pangan berkelanjutan di Kampar
3. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan
pengkajian lebih lanjut dalam pengembangan pertanian.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian difokuskan untuk menganalisis laju konversi
lahan sawah, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah
serta dampaknya terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah.
Penelitian ini melingkupi dua tingkatan yaitu, 1) tingkat mikro (rumah
tangga) menggunakan data primer hasil survey wawancara kepada petani
responden. 2) tingkat makro menggunakan data sekunder dengan unit analisis
adalah wilayah kecamatan.
Sehingga langkah awal yang perlu diketahui dalam penelitian ini adalah
bagaimana laju konversi lahan sawah dalam jangka waktu tertentu, yang dalam
penelitian ini jangka waktu konversi dari tahun 2002-2010. Laju konversi
dianalisis secara spasial menggunakan data citra landsat tahun 2002 dan 2010.

5

Konversi lahan sawah menjadi kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor
internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani
yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan
yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor
eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah
dalam hal pengembangan pertanian.
Pengukuran kesejahteraan keluarga petani dianalisis menggunakan
indikator kesejahteraan BPS, BKKBN dan indikator Bank Dunia. Pengukuran
dilakukan dengan membandingkan kesejahteraan keluarga petani padi dan
keluarga petani yang melakukan konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa
sawit.
Dampak konversi terhadap perkembangan wilayah dianalisis
menggunakan metode skalogram. Data yang dikumpulkan banyak sumberdaya
lahan, sumberdaya manusia (jumlah penduduk), sumber daya ekonomi
(infrastruktur pemasaran hasil pertanian dan koperasi/perbankan)
dan
sumberdaya buatan (infrastruktur pelayanan pendidikan dan kesehatan) serta
jarak atau lokasi wilayah dengan ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan adalah berubahnya penggunaan suatu lahan ke penggunaan
lainnya. Sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait
kepada kebijakan tata guna tanah. Dalam ekonomi lahan, perubahan penggunaan
lahan terkait erat dengan surplus lahan (land rent) yang dapat diartikan nilai
keuntungan bersih (surplus) dari aktifitas pemanfaatan lahan persatuan luas dalam
waktu tertentu (Suparmoko 1989). Penggunaan lahan merupakan gambaran
ekspresi keinginan masyarakat setempat terhadap lahannya. Penggunaan lahan
(land use) suatu wilayah merupakan gambaran kondisi permintaan lahan di
wilayah tersebut.
Maraknya fenomena alih fungsi lahan sawah harus menjadi perhatian
semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan
Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005) menunjukkan, bahwa
sekitar 187.720 hektar lahan sawah beralih fungsi kepenggunaan lain setiap
tahunnya..
Perubahan penggunaan lahan merupakan gambaran perubahan tata ruang
suatu wilayah, oleh karena itu penataan penggunaan lahan merupakan bagian dari
penataan ruang, yang sekaligus merupakan bagian dari perencanaan
pengembangan wilayah. Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap
perubahan kondisi sosial ekonomi. Demikian juga sebaliknya perubahan struktur
sosial ekonomi penduduk, akan berpengaruh terhadap perubahan penggunan
lahan.

6

Semakin besar lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan non sawah
serta akibat pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang
didorong oleh kenaikan pendapatan rumah tangga maka kebutuhan beras
mengalami peningkatan. Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut
produksi beras nasional harus meningkat secara signifikan dalam rangka
memenuhi kecukupan pangan.
Namun berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan
produksi beras akhir-akhir ini justru mengalami pelandaian ( Irawan et al. 2003).
Perlambatan laju pertumbuhan produksi beras terutama disebabkan banyaknya
konversi lahan sawah dan perlambatan produktivitas padi akibat belum adanya
terobosan teknologi yang mampu meningkatkan produktifitas padi secara
signifikan. Hal ini semakin berat usaha dalam memenuhi kebutuhan selanjutnya
mengancam ketahanan pangan.
Pemanfaatan ekonomi lahan sawah berdasar manfaat penggunaan (use
values) dapat dibedakan atas manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan
manfaat bawaannya (intrinsic values) yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan
dan sosial budaya (Irawanet al. 2000). Manfaat langsung lahan sawah dapat
dikaitkan dengan sepuluh unsur yaitu : (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia
kesempatan kerja sawah, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui
pajak lahan (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi
melalui kesempatan kerja yang diberikan, (6) sebagai sarana tumbuhnya
kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau
gotong royong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana
refreshing, dan (10) sebagai sarana parawisata. Sedangkan manfaat tidak langsung
mencakup fungsi – fungsi pelestarian lingkungan ( Nasution dan Winoto, 1996)
yang terdiri manfaat (1) mengurangi peluang terjadinya banjir (2) mengurangi
peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan
sirkulasi air terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat
polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui
pengembalian pupuk organik pada lahan sawah. Sedangkan manfaat bawaan
terdiri dari dua manfaat, yakni sebagai sarana pendidikan, dan sebagai sarana
untuk mempertahankan keragaman hayati.
Penggunaan lahan di pengaruhi oleh beberapa faktor. Saefulhakim et al.
(2003) menyebutkan faktor - faktor yang menentukan perubahan penggunaan
lahan adalah: (1) tipe penggunaan lahan sebelumnya, (2) status kawasan dalam
kebijaksanaan tata ruang, (3) status perizinan penguasaan lahan, (4) karakteristik
lahan, karakteristik sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial, (5)
aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah. Sedangkan Hamdan
(2005) menyatakan faktor- faktor menentukan perubahan penggunaan lahan (1)
ketersediaan air irigasi, (2) resiko kegagalan usahatani padi (3) tenaga kerja
keluarga, dan (4) harga tanda buah sawit.
Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama,
yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam
meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan
harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan
sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani
(Sinukaban 2007). Selanjutnya Sabiham (2007) menyebutkan bahwa ciri utama
penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat

7

memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang,
pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau
bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan
serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi.
Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup
petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang
diperoleh dari usaha tani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem
pengelolahan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang
sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga
harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun
kebiasaan petani.
Secara empiris lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan terhadap
alih fungsi. Hal tersebut disebabkan oleh; Pertama pembangunan kegiatan non
pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang relatif datar dibanding
lahan kering, Kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan Ketiga lahan
persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat
penduduknya (Nasoetion 2003).
Selanjutnya Irawan (2005) menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh
dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau
industri di suatu lokasi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Menurut Manuwoto (1992) bahwa, secara umum konversi lahan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: a) faktor sosial atau kependudukan
yang berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman, b) Kegiatan
ekonomi dan pembangunan, c) perkembangan teknologi. Faktor ini dapat
meningkatkan efisiensi pengelolaan lahan sehingga mempercepat proses konversi
lahan, dan d) kebijakan pembangunan makro.
Harini (2003) dalam penelitiannya menyatakan faktor yang mempengaruhi
perubahan usahatani padi adalah tingkat pendidikan dan luas kepemilikan lahan,
umur, dan kesempatan menabung. Perubahan penggunaan lahan terjadi akibat
pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Kondisi ini
akan mendorong pemilik lahan untuk mengalokasikan milikinya pada usaha yang
lebih efisien dengan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Perubahan
penggunaan lahan dapat menjadi (a) perubahan dari jenis pertanian yang satu ke
jenis pertanian lainnya, (b) perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan bukan
pertanian, (c) perubahan penggunaan non pertanian menjadi lahan pertanian.
Selanjutnya, Munir (2008), faktor yang berhubungan dengan konversi
lahan meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan
keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan.
Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan
pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

8

Kesejahteraan Keluarga Petani
Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun
waktu tertentu. Menurut Sawidak dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan
sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan
yang diterima. Namun tingkatan dari kesejahteraan relatif karena tergantung dari
besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut.
Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera jika dapat memenuhi
kebutuhan dasar anggotanya. Namun jika merujuk Undang – Undang No. 10
tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
kesejahteraan, keluarga sejahtera dimaknai adalah “keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
material dan spritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar
keluarga dengan masyarakrat dan lingkungan”.
Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas
melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut.
Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering
digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga.
Beragamnya latar belakang para ahli, baik dari disiplin ilmu maupun
kepentingan sektoral, maka defenisi dan konsep kesejahteraan pun menjadi
beragam. Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor kesejahteraan keluarga
dipengaruhi oleh : 1) faktor ekonomi : Rendahnya pendapatan yang dialami oleh
keluarga akan menghambat upaya peningkatan pengembangan sumberdaya yang
dimiliki oleh keluarga, yang pada gilirannya menghambat upaya peningkatan
kesejahteraan keluarga. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas
sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi, 2) faktor pendidikan :
Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh tingkat pendidikan keluarga,
semakin tinggi pendidkan keluarga, maka upaya peningkatan sumberdaya yang
dimiliki oleh keluarga tersebut semakin besar yang berhubungan dengan
peningkatan kesejahteraan, 3) faktor teknologi : Peningkatan kesejahteraan
keluarga juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan
teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan
efisiensi produksi. Penguasaan teknologi berkaitan dengan tingkat pendidikan dan
pemilikan modal, 4) faktor kepastian hukum : Peningkatan kesejahteraan keluarga
juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum. Sebagai contoh: suatu
keluarga akan mampu mengusahakan lahannya dengan baik, kalau kepastian akan
hak milik lahan tersebut terjamin.
Ada beberapa defenisi dan pendekatan yang digunakan untuk mengukur
tingkat kesejahteraan manusia. Melalui pendekatan ekonomi mikro, kesejahteraan
dapat didekati dengan surplus konsumen dan surplus produsen. Sumarwan dan
Hira (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga kedalam kesejahteraan
ekonomi (family ekonomi well-being) dan kesejahteraan material ( family material
well-being). Kesejahteraan ekonomi keluarga diukur dalam pemenuhan input
keluarga (pendapatan, aset, upah dan pengeluaran). Sementara kesejahteraan
material diukur dari berbagai barang bentuk dan jasa yang diakses oleh keluarga.

9

Menurut Syarief dan Hartoyo (1993) pada hakekatnya kesejahteraan
mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material dan spritual. Pengukuran
kesejahteraan material relatif lebih mudah dan akan menyangkut pemenuhan
kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik pangan, sandang dan
papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Secara umum,
pengukuran kesejahteraan material dapat dilakukan dengan mengukur tingkat
pendapatan keluarga
Cara pengukuran kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan (Suandi
2007 yakni :
1. Kesejahteraan diukur dari pendekatan objektif. Pendekatan dengan indikator
objketif melihat bahwa kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat
hanya diukur secara rata – rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi
sosial maupun ukuruan lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan
masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku, contohnya ukuran
kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi
Keluarga Berencana (BKKBN).
2. Kesejahteraan yang diukur dengan pendekatan subjektif atau istilah dengan
kesejahteraan subjektif. Miligan et al. (2006) mengatakan kesejahteraan
dengan pendekatan subjektive diukur dari tingkat kebahagian dan kepuasan
yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain.
Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan, yaitu yang
dilakukan oleh BPS dan BKKBN. Menurut BPS ada 14 kriteria untuk
menentukan keluarga/rumah tangga sejahtera seperti 1) luas bangunan, 2) jenis
lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas MCK, 5) sumber air minum, 6) sumber
penerangan, 7) jenis bahan bakar untuk memasak, 8) frekuensi mengkonsumsi
daging, ayam dan susu selama seminggu, 9) frekuensi makan setiap hari, 10)
frekuensi membeli pakaian dalam setahun, 11) Akses puseksmas/poliklinik, 12)
lapangan pekerjaan,13) pendidikan kepala keluarga, 14) Kepemilikan aset
tabungan. Jika minimal 9 variabel dipenuhi maka dikategori keluarga tidak
sejahtera (Hendrik, 2011).
Sedangkan BKKBN mengambil keluarga inti sebagai unit pengertian.
BKKBN membagi kesejahteraan keluarga dalam tiga kebutuhan yakni :
1. Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiridari variabel pangan, sandang,
papan dan kesehatan.
2. Kebutuhan sosial dan psikologis (social psysichological needs) yang
terdiri dari variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, intraksi sosial
internal dan eksternal.
3. Kebutuhan pengembangan (development needs) yang terdiri dari variabel
tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi.
Berdasar indikator tersebut BKKBN mempunyai kriteria khusus dalam
mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga diseluruh Indonesia dapat
diklasifikasikan ke dalam lima katogori yaitu : 1) Pra Sejahtera ; 2) Sejahtera (I) ;
3) Sejahtera (II); 4) Sejahtera (III) ; dan 5) Sejahtera (III) plus. Dari kelima
katogori tersebut, keluarga yang memiliki tingkat paling minim adalah keluarga
Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS-I). Sedangkan keluarga yang memiliki

10

tingkat kesejahteraan lebih baik adalah keluarga Sejahtera (KS) II, III dan KS-III
Plus (Andriani 2009).
Mengukur tingkat kesejahteraan keluarga Petani berdasar Kriteria Bank
Dunia adalah membandingkan rata – rata pendapatan/kapita/hari dari hasil
usahatani (on-farm) maupun di luar usahatani (off- farm) dengan standar
pendapatan perkapita 1 US $ dan 2 US $ perhari.

Pengembangan Wilayah
Terjadinya konversi lahan terkait erat dengan proses perkembangan
wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan salah satu
kosekuensi dari perkembangan wilayah. Dengan demikian fenomena konversi
lahan akan banyak terkait dengan toeri – teori perkembangan wilayah. Istilah
wilayah mengacu pada pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya, Rustiadi et
al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas
tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan
hubungan fungsional satu dengan lainnya. Dengan demikian wilayah dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana
komponen-komponennya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat
fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), sehingga istilah
wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya
lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan
keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian
pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam
mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah
sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut.
Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam
karakteristik wilayah yaitu: (1) Wilayah maju, (2) Wilayah sedang berkembang,
(3) Wilayah belum berkembang, dan (4) Wilayah tidak berkembang.
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan
penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah
yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan
biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu
mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan
oleh potensi sumberdaya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja
yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan
wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik
secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam
yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk masih
rendah, pendapatan dan pendidikan juga relatif rendah.
Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah
tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun
potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami
pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik

11

sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat
berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung
dieksploitasi oleh wilayah lain.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang tinggi serta
akibat berkembangnya kegiatan perekonomian membawa konsekwensi tekanan
terhadap permintaan lahan untuk berbagai keperluan seperti untuk perluasan lahan
pertanian, perkebunan, kehutanan, pemukiman dan perumahan, maupun untuk
lokasi kegiatan perdagangan dan industri serta keperluan pembangunan
infrastrukturjalan, irigasi dan prasarana publik lainnya.
Ketimpangan antara permintaan dan penawaran sumberdaya lahan
merupakan suatu indikasi bahwa lahan dapat dikategorikansebagai sumberdaya
yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity). Kelangkaan sumberdaya tersebut
bukan hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga
karena kendala – kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan dalam
kaitannya dengan hak-hak akses (property right ) atas lahan, menjadi kendala
dalam pemanfaatannya.
Dilihat dari dinamika produksi pertanian dalam penggunaan lahan ,
mekanisme alokasinya ditentukan melalui asas- asas economic rent. Economic
rent sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas : (1) nilai instrinsik yang
terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga
mempunyai keunggulan produktifitas lahan (ricardiant rent) dan (2) nilai yang
disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent), dimana nilai tersebut
dipengaruhi oleh jarak, dengan asumsi menurut teori von Thunen isotropic plain
(tanah homogen).
Ricardian rent adalah rent (rente) atau surplus yang timbul sebagai akibat
dari kualitas dan daya dukung fisik (faktor intrinsik) lahan. Nilai tanah adalah
nilai sekarang sebagai