Eosinofil dan Patogenesa Asma

Tinjauan Pustaka

Dedi Ardinata
Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada sistem pernafasan. Terjadi inflamasi
yang khas karena disertai infiltrasi eosinofil, hal ini membedakan asma dari gangguan inflamasi
jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan mediator inflamasi utama pada asma. Eosinofil
merangsang produksi mediator inflamasi, sitokin dan mediator. Pemahaman efek eosinofil
menjadi dasar terapi asma, yaitu dengan menghambat sitokin, eosinofil dan menghambat interaksi
antara eosinofil dan sel endotel. Selain itu menjadi dasar pengembangan modalitas terapi asma
seperti Cyklophilin, Antibodi monoklonal antihuman IL-5, Anti Interleukin-1, Interleukin 10,
Interleukin 12 dan Antihistamin. Pengetahuan ini memberi pemahaman mekanisme obat yang
lazim digunakan seperti Glucocorticoid dan Anti leukotrine.
Kata kunci: Asma, eosinofil
Abstract: Asthma is chronic inflammation involving the respiratory system. This special
inflammation is cause by Eosinophils infiltration, at this point asthma difference from other air
tract inflammation. Eosinophils is the main inflammation mediator on asthma. Eoinophils
stimulate inflammation mediator production, cytokines and lipid mediator. Understanding the
effect of eosinophils become basic of asthma therapy, by inhibit cytokines, eosinophils and inhibit
the interaction between eosinophils and endothelial cell. Then, its become basis of developing

agent of asthma therapy like Cyklophilin, Antibodi monoklonal antihuman IL-5, Anti
Interleukin-1, Interleukin 10, Interleukin 12 and Antihistamin. This knowledge lead to
understanding of usual use drugs mechanisms like Glucocorticoid and Anti leukotrine.
Keywords: Asthma, eosinofil

PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran nafas
kronis yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius diberbagai
1
negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit
ini bukan merupakan penyebab kematian yang
utama tetapi penyakit ini mempunyai dampak
sosial yang cukup besar terhadap produktifitas
kerja dan kehilangan angka sekolah yang tinggi
serta angka kejadiannya meningkat terus dari
1.2
waktu kewaktu.
Asma dapat terjadi pada segala usia
dengan menifestasi yang sangat bervariasi dan

berbeda-beda antara satu individu dengan
3
individu lainnya. Prevalensi asma pada anakanak bervariasi antara 0-30%, sedangkan pada
dewasa secara umum berdasarkan beberapa
survei sekitar 6% pada beberapa negara yang
4
berbeda. Di Indonesia berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1992, asma, bronkhitis kronis dan emfisiema
merupakan penyebab kematian ke-4 di

Indonesia atau sebesar 5.6%. Pada tahun
1995, prevalensi asma diseluruh Indonesia
1
sebesar 13 dari 1000 penderita.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik
saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi yang terjadi pada asma
adalah inflamasi yang khas yaitu inflamasi
yang disertai infiltrasi eosinofil, hal ini yang

membedakan asma dari gangguan inflamasi
jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan
5
inflamasi utama pada asma, terbukti setelah
inhalasi
dengan
allergen
didapatkan
peningkatan eosinofil pada cairan kurasan
bronkoalveolar (BAL) pada saat reaksi asma
5,6,7
lambat yang disertai dengan inflamasi.
Karena pentingnya peranan sel-sel
inflamasi terutama sel eosinofil didalam
mencetuskan simptoms asma, maka pada
tulisan ini akan dibicarakan tentang peranan
eosinofil pada asma dan aspek patogenesanya
serta pendekatan terapi.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008


268

Dedi Ardinata

Eosinofil dan Patogenesa Asma

PATOGENESA ASMA
Asma merupakan suatu sindroma yang
sangat kompleks melibatkan faktor genetik,
antigen, berbagai sel inflamasi, mediator dan
sitokin yang akan menyebabkan kontraksi otot
jalan napas, hiperaktivitas bronkus dan
4,5
inflamasi jalan napas.
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu
imunitas humural dan imunitas selular.
Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan
sekresi antibodi spesifik sel limfosit B.
Sedangkan imunitas seluler diperankan oleh

limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi
Limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi
melalui
aktivitas
sitotoksin
cluster
diffrentiation 8 (CD8) dan mensekresikan
berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4)
dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1
mensekresi
interleukin-2
(IL-2),
IL-3,

granulocytet monocyte colony stimulating
factor (GMCSF), interferon y (IFN-y) dan
tumor necrosis factor-a (TNF-a). Sedangkan
Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13
4,5,9
dan GMCSF. (Gambar 1)


Gambar 1. Patogenesa asma

Gambar 2. Reaksi ”early onset” pada asma

269

Respon imun dimulai dengan masuknya
alergen kedalam seluran nafas akan ditangkap
oleh sel dendrit yang merupakan sel pengenal
antigen (Antigen Persenting Cell/APC).
Antigen diproses di dalam APC dan
dipersentingkan kepada sel limfosit T dengan
bantuan Mayor histocompatibility (MHC)
kelas II, limfosit T akan membawa ciri antigen
spesifik, teraktivasi dan berdiffrensiasi ke
4,5
profil Th2. Subtipe Th2 ini merupakan
subtipe utama yang terlibat pada asma,
mensekresi

berbagai
sitokine
yang
bertanggung jawab bagi berkembangnya reaksi
cellmediated
tipe
lambat
atau
hypersensitivity reaction.4
Rangsangan interleukin 4 dan interleukin
13 dari Th2, akan memacu sel limfosit B
untuk mensintesa IgE. IgE akan dilepas
limfosit B dan melekat pada high affiniting IgE
reseptors (FceRI) pada permukaan sel mast.
Bila alergen yang sama masuk lagi maka akan
diikat oleh IgE dipermukaan sel mast. Cross
Linked Reseptor IgE dengan alergen akan
mengaktifkan sel mast yang menyebabkan
degranulasi sel mast sehingga terjadi pelepasan
perfomed mediator seperti histamin serta

newly generated modiator antara lain:
prostaglandin, leukotrin yang menyebabkan
terjadinya kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus, vasodilitasi. Mediator inflamasi
menginduksi kebocoran mikrovaskuler yang
melibatkan eksudasi plasma kedalam saluran
napas. Kebocoran plasma protein menginduksi
penebalan dan edema dinding saluran napas
yang menyebabkan penyempitan lumen
saluran
napas,
sehingga
menyebabkan
kontraksi otot pernapasan dan reaksi ini
berlangsung selama 1-2 jam. Reaksi ini disebut
2
”early onset” pada asma (Gambar 2).
Degranulasi sel mast juga menghasilkan
sejumlah sitokin a.l. IL-4,IL-5, IL-6,IL-13 dan
4,5,9.10

TNF- a.
Degranulasi sel mast beserta limfosit T
subtipe Th2 akan menggerakkan dan
mengaktifkan sel-sel inflamasi eosinofil,
basofil, neutrofil dan magrofage, melalui
aktivitas sel endotel yang akan menyebabkan
pembentukan molekul adhesi. Reaksi ini akan
terjadi pada 4-8 jam setelah reaksi pertama
dan menyebabkan kedatangan sel-sel radang
sehingga meningkatkan pelepasan mediator.
4,5,9
Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat.
(Gambar 3)

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Gambar 3. Reaksi lambat pada asma


EOSINOFIL
Pada orang normal, kadar eosinofil hanya
sebagian kecil dari lekosit darah perifer dan
keberadaannya di jaringan terbatas. Pada
penyakit
tertentu,
eosinofil
dapat
berakumulasi pada darah tepi atau jaringan
tubuh.
Gangguan
yang
menyebabkan
eosinofilia didefinisikan sebagai akumulasi
abnormal eosinofil dalam darah atau jaringan
5,10,11
sehingga menimbulkan gejala klinis.
Normalnya kadar eosinofil hanya 1-3 %
dari lekosit darah tepi, dan batas dari rentang
3

nilai normal adalah 350 sel/mm darah.
Eosinofil diklasifikasikan ringan (351-1500
sel/mm3), sedang (>1500-5000 sel/mm3)
11
atau berat (>5000 sel/mm3).
Eosinofil memproduksi mediator toksin
inflamatori yang unik yang disimpan dalam
granul-granul dan disintetis setelah sel ini
teraktivasi, granul tersebut mengandung
kristaloid yang terdiri dari Major Basic Protein
(MBP) dan matrix yang terdiri dari Eosinophil
Cationic Protein (ECP), peroxidase eosinofil
dan Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN)
yang mengandung efek sitotoksin pada
epitelium
repiratori.
Eosinofil
juga
menghasilkan berbagai sitokin yang sebagian
disimpan didalam granul dan mediator lipid
yang dihasikan setelah sel ini teraktivasi,
antara lain rantes, eotaxin dan platelet
activating faktor yang berperan mempercepat
5,7.9,10
(Gambar 4)
migrasi eosinofil.
Eosinofil terjadi melalui 4 proses:
− diffrensiasi
sel-sel
progenitor
dan
proliferasi eosinofil pada sumsum tulang
− intaraksi antara eosinofil dan sel endotel,
termasuk: rolling, adhesi dan migrasi
eosinofil
− rangsangan kimia yang menarik eosinofil
ke lokasi tertentu dan
− aktivasi serta destruksi eosinofil

Gambar 4. Gambaran fisiologi eosinofil

Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor
dalam sumsum tulang. Tiga sitokin yakni
interleukin-3,
IL-5
dan
granulocyte
macrophage colony stimulating faktor (GHCSF) adalah bagian penting dalam mengatur
perkembangan eosinofil. IL-5 adalah spesifik
untuk “eosinofil Lineage” dan bertanggung
jawab
terhadap
diffrensiasi
eosinofil,
menstimulasi pelepasan eosinofil dari sumsum
5,10,11
tulang ke dalam sirkulasi perifer.
Eosinofil di sirkulasi akan berputar
(rolling) pada endothelium yang di perantarai
oleh
ESelectin.
Kemudian
terjadi
perlengketan (adhesion) antara eosinofil dan
sel endothelial yang di perantarai oleh
perlengketan molekul-molekul pada sel
endothelial dan ”counter –ligand” pada
eosinofil. Perlengketan (adhesion) ini melalui
perlengketan
molekul-molekul
dengan
kelompok integrin dari eosinofil, yakni
kelompok CD-18 (B2 Integrin) dan molekul

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

270

Dedi Ardinata

Eosinofil dan Patogenesa Asma

antigen 4 (VLA-9 atau B1 Integrin). B2
Integrin berintereaksi dengan molekul 1
intercelular (I-CAM 1) yang melekat pada selsel endothelial dan B1 Integrin berintereaksi
dengan molekul yang melekat pada sel
vaskuler (VCAM–1). Jalur CD18-ICAM-1
digunakan untuk semua lekosit sedangkan
jalur VLA-9 – VCAM-1 digunakan oleh
eosinofil dan sel mononukler. ICAM-1 di
induksi oleh berbagai mediator inflamasi
antara lain: interleukin 1 dan TNF-a
sedangkan VCAM-1 di induksi oleh
interleukeukin 4, kemudian esinofil bermigrasi
kedalam jaringan yang diperankan oleh
chemoattractant
lokal
molekul-molekul
seperti leukotrin B4, mediator–mediator lipid,
interleukin, dan berbagai chemokines. Dari ke
semua subtansi yang relatif spesifik untuk
eosinofil adalah eotaxin-1 dan eotaxin-2 dan
efeknya dipertinggi oleh interleukin -5.
Eosinofil dapat hidup dan bertahan di jaringan
dalam jangka waktu lama (sampai bermingguminggu) bergantung pada sitokin micro
lingkungan (micro enviroment). Sitokin IL-3,

IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptasi
eosinofil sekurang kurangnya 12 sampai 14
hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan
48 jam pada keadaan tidak adanya sitokin,
eosinofil jaringan juga dapat meregulasi masa
5,7,910,11
hidupnya sendiri melalui jalur autokrin.
(Gambar 5)
Setelah di jaringan eosinofil melepaskan
mediator LTC, PAF, radikal bekas oksigen,
MBP, ECP, EDN sehingga terjadi kerusakan
epitel saluran nafas. Major basic protein secara
langsung meningkatkan reaktifasi obat polos
dan merangsang degranulasi sel mast dan
5,10,11
basofil.
Remodeling merupakan reaksi tubuh
untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat
inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan
ireversibel pada asma. Fibroblas berperan
penting dalan remodeling dan proses
inflamasi. Fibroblas menghasilkan kalogen,
serat elastik dan retikuler, proteoglikans dan
glikoprotein
dari
matriks
ekstraselular
5,7.9
(ECM).

Gambar 5. Diffrensiasi eosinofil, menstimulasi pelepasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi
perifer

271

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Gambar 6. Faktor mediator maupun sitokin yang berperan pada proses asma

PENDEKATAN TERAPI
Pengobatan
asma
dengan
dasar
mempelajari faktor mediator maupun sitokin
yang berperan pada proses asma, saat ini
sedang dalam tahap pengembangan yang
intensip. Dalam hal peranan eosinofil pada
asma, pendekatan terapi didasarkan pada
penghambatan
sitokin,
eosinofil,
dan
menghambat interaksi antara eosinofil dan sel
10,11
(Gambar 6)
endothelial.
Glucocorticoid. Obat ini merupakan agen
paling efektif untuk mereduksi/mengurangi
eosinofil, menekan trankripsi sejumlah gen
mediator
inflamasi,
obat
ini
dapat
menghambat produksi IL -1 sehingga
menghilangkan ekpresi E-selektion dan
ICAM-1 dari stimulasi endotel oleh zat
tersebut. Saat ini kortikosteroid merupakan
obat lini pertama dalam dalam pengobatan
10,11,12
reaksi inflamasi pada asma.
Cyklophilin. (Cyclosporine) Obat ini
dilaporkan dapat memblokade transkripsi dari
eosinophil - active cytokines separti IL-5 dan
11
GM-CSF.
Antihistamin. Cetirizine (CTR) obat anti
H1 dari generasi kedua obat antihistamin
dilaporkan dapat menginhibisi ekspresi ICAM
11,13
-1.

Antibodi monoklonal antihuman IL-5.
Menghambat interaksi IL-5 beserta reseptorreseptornya.
Anti leukotrine. (Zileuton, zafirlukas),
menghambat
sintesa
leukotrine
dan
menghambat pembentukan leukotrine B4 dan
(11,13,14)
leukotrine C4,D4 dan E4.
Interleukin 10. Pemberian IL -10 dapat
menghambat produksi TNF- a yang dapat
13
mengaktivitas ekspresi ICAM-1 oleh endotel.
Anti Interleukin-1. Dapat menghambat IL1 sehingga menghambat aktivasi endotel untuk
13
menghasilkan ICAM-1.
Pemberian IL -12 dapat menghambat
produksi IL-4 yang mengaktivitas endotel
untuk menghasilkan VICAM. IL -12 juga
menghambat produksi IL-5 yang berperan
11,13
pada proses eosinophilia.
KESIMPULAN
− Asma merupakan suatu sindroma yang
sangat kompleks melibatkan faktor
genetik, antigen, berbagai sel inflamasi,
mediator
dan
sitokin
yang
akan
menyebabkan kontraksi otot jalan napas,
hiperaktivitas bronkus dan inflamasi jalan
napas.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

272

Dedi Ardinata






Eosinofil dan Patogenesa Asma

Eosinofil merupakan inflamasi utama pada
asma, terbukti setelah inhalasi dengan
allergen didapatkan peningkatan eosinofil
pada cairan kurasan bronkoalveolar (BAL)
pada saat reaksi asma lambat yang disertai
dengan inflamasi.
Peranan eosinofil menonjol dalam reaksi
inflamasi pada penderit asma.
Saat ini sedang dikembangkan pendekatan
terapi asma yang mempengaruhi sitokin
yang berperan pada asma.

DAFTAR PUSTAKA
1. PDPI. ASMA. Dalam: Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 2004; 1-19.
2. Yunus F. Terapi Controller Pada Asma.
Dalam: Margono BP, Widjaja A, Amin
M,dkk (editor). Pertemuan Ilmiah Paru
Millenium, Surabaya,2002;1-7.
3. Barnes NC, Crompton GK. Asthma.
In:Brambilla C, Costabel U,et all.
Pulmonary
Disease,
McGraw-Hill,
London, 1999; 65-82.
4. National Institutes of Health, National
Heart Lung and Blood Institute.
Difinition. In: Global Initiative for
Asthma 2002, 2-7.
5. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono HW.
Patogenesis dan Fatofisiologi Asma.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No
141, Jakarta, 2003; 5-10.

273

6. Yddiz F, Basyigit I, Boyact H. Comparison
of Induced Sputum Cell Counts in COPD
and Asthma, Turkish Respiratory Journal,
4, 2003; 43-6.
7. Mangunnegoro H, Yunus F, Soewarta
DKS. Asma,Patogenesis,Diagnosis dan
Penatalaksanaan; 1-12.
8. Buist SA. Definitions In: Asthma and
COPD Basic Mechanisms and Clinical
Management, London, Academic Press,
2002; 1-17.
9. Surjanto E. Patogenesis Asma. Dalam:
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah
Khusus (PIK) X, Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, Makasar, 2003; 35-44.
10. Busse W, Lemanske FR. Asthma, N Engl J
Med, 344, 2001: 350-62.
11. Rothenberg EM. Eosinophilia, N Engl J
Med, 338, 1998: 1592-1600.
12. Saleh T. Peran Kortikosteroid Pada
Serangan Asma. Dalam: Margono BP,
Widjaja A, Amin M,dkk (editor).
Pertemuan Ilmiah Paru Millenium,
Surabaya, 2002; 1-16.
13. Patau JM, Hasbi M. Penggunaan
Kortikosteroid Pada Asma Bronkial.
Dalam: Naskah Lengkap Pertemuan
Ilmiah Khusus (PIK) X, Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Makasar, 2003;
53-44.
14. Yunus F. Terapi Controller Pada Asma.
Dalam: Margono BP, Widjaja A, Amin
M,dkk (editor). Pertemuan Ilmiah Paru
Millenium, Surabaya, 2002; 1-6.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008