Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah The effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah Cross-Bredgoats
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah
The effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah Cross-Bredgoats
Usman Budi * Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Abstract: Research was conducted to study the influence of milking interval of Etawah Cross-bred in post-partum sexual activity in Indonesian Animal Production Research Institute (IANPRI), Ciawi, Bogor and Faculty of Animal Husbandry IPB, Bogor from October, 2000 to May, 2001. 5-7 years of 18 heads of Etawah Cross-bred weregrouped of body weight for threegroups. All samples have received same feed and management. The randomized complete block design was used with there were three treatments, (1) 12 hours of milking interval, (2) 16:8 hours of milking interval, and (3) 24 hours of milking interval. According to data processing, all treatments did not shown significantly difference on concentration of progesterone hormone, post-partum estrous, percentage of pregnant and litter size, however milking interval 16:8 shown inclination faster more than another treatment on post-partum estrous. Feed consumption of etawah cross-bredgoats at all treatments did not also show significantly different. The result of this reseach indicated that no significant effect of milking intervals on post-partum sexual activity of etawah cross-bredgoats. Key words: milking interval, sexual activity, post partum,goat, etawah cross-bred.
Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh interval pemerahan terhadap aktivitas seksual setelah beranak kambing Peranakan Etawah (PE) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor dari Bulan Oktober 2000 sampai Mei 2001. Ternak yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina PE dengan umur 5-7 tahun, dikelompokkan berdasarkan bobot badan menjadi tiga kelompok. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok nonfaktorial dengan perlakuan interval pemerahan 12 jam, interval pemerahan 16:8 jam dan interval pemerahan 24 jam. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemerahan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada aktivitas seksual setelah beranak yaitu terhadap kandungan hormon progesteron, berahi setelah beranak, persentase kebuntingan dan jumlah anak sekelahiran, namun demikian interval pemerahan 16:8 menunjukkan kecenderungan lebih cepat dibanding dua perlakuan lainnya terhadap munculnya berahi setelah beranak. Konsumsi pakan kambing PE pada ketiga perlakuan juga tidak berbeda secara statistik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini mengindikasikan bahwa aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE tidak nyata dipengaruhi oleh interval pemerahan. Kata kunci: interval pemerahan, aktivitas seksual, setelah beranak, kambing,
peranakan etawah
Pendahuluan
Kambing sebagai salah satu ternak, keberadaannya di Indonesia memberikan andil yang cukup besar bagi pendapatan masyarakat utamanya masyarakat peternak kecil. Di samping sebagai penghasil daging dan hasil ikutannya berupa kulit dan pupuk yang sudah memasyarakat, kambing juga
berpotensi untuk menghasilkan susu, namun keberadaan dan produksi susu kambing di Indonesia saat ini belum optimal, karena selain belum begitu luas dikonsumsi oleh masyarakat, tata laksana pemerahannya juga belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam upaya meningkatkan produksi susu kambing dan mengetahui tata laksana pemerahan yang baik sehingga
53
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
dapat diterapkan di peternakan rakyat, diperlukan suatu cara yang penerapannya tidak sukar dilaksanakan seperti frekuensi pemerahan (interval pemerahan) yang optimal, sehingga dapat diperoleh produksi susu yang optimal yang didukung dengan pakan dan manajemen yang baik. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah ditemukan bahwa jumlah maksimum air susu yang dihasilkan oleh induk dibatasi tidak hanya oleh kesanggupan genetiknya, tetapi juga oleh frekuensi penyusuan dan kesanggupan anak menyusu serta makanan yang dikonsumsi. Berbeda halnya dengan beberapa jenis hewan yang telah banyak diteliti, seperti pada sapi, domba, dan kuda, sejauh ini banyaknya frekuensi pemerahan yang optimal pada kambing belum banyak diketahui.
Salah satu bangsa kambing di Indonesia yang diharapkan dapat ditingkatkan produksinya adalah kambing Peranakan Etawah (PE) yaitu bangsa kambing yang diperoleh dari kawin tatar (grading-up) antara kambing asli Indonesia (kambing kacang) dengan kambing Etawah yang didatangkan dari India. Hasil perkawinan dari dua bangsa kambing ini menghasilkan peranakan kambing Etawah yang ciri-ciri dan kemampuan produksinya mendekati sifat-sifat karakteristik kambing Etawah.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan kambing PE terhadap aktivitas seksual setelah beranak yaitu kandungan hormon progesteron di dalam darah, persentase kebuntingan, timbulnya berahi setelah beranak, dan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan terhadap konsumsi pakan.
Bahan dan Metode
Materi Penelitian Ternak yang digunakan adalah 18
ekor kambing betina Peranakan Etawah (PE) terpilih dengan bobot badan 35,0 – 45,2kg dan umur berkisar 5-7 tahun. Kambing PE dipelihara dalam kandang individu dengan ukuran 2 x 1 m2 dan rumput raja (Penisetum purpureophoides) segar (protein kasar 9,84% dan serat kasar 39,57%), dan konsentrat (protein kasar 19,25% dan serat kasar 10,73%). Proporsi bahan kering hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah 30:70. Hijauan diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang ± 5 cm. Jumlah pemberian pakan
konsentrat adalah sebesar 5% dari bobot hidup berdasarkan bahan kering (NRC, 1975).
Metode Penelitian Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) nonfaktorial, dengan pengelompokkan ternak berdasarkan bobot badan. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini diurutkan dari bobot badan yang paling rendah hingga ke bobot badan yang paling tinggi, selanjutnya dari 18 ekor ternak yang digunakan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan bobot badan sehingga diperoleh tiap kelompok ada 6 ekor ternak. Adapun perlakuan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan pemerahan, yaitu pemerahan dengan interval 12 jam (2 kali pemerahan sehari); pemerahan dengan interval 16:8 jam (2 kali pemerahan sehari); dan pemerahan dengan interval 24 jam (1 kali pemerahan sehari).
Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam dengan model matematik:
Yij = μ + τi + βj + εij
Perbedaan antara perlakuan terhadap parameter kuantitatif yang diuji menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance) atas dasar rancangan acak kelompok nonfaktorial menurut Steel dan Torrie (1991) dan jika hasilnya berbeda nyata diadakan uji lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2000 sampai dengan Mei 2001. Dimulai saat ternak bunting 4 bulan atau satu bulan sebelum beranak, ternak dimasukkan ke dalam kandang individu dan diberi pakan yang seragam, yaitu: Hijauan rumput raja yang ditimbang beratnya antara 3-4kg/hari/ekor yang telah dipotong menggunakan alat pemotong rumput dan konsentrat buatan BPT Ciawi sebanyak 800g/hari/ekor. Jumlah pakan yang diberikan dan sisanya ditimbang setiap hari. Dengan cara dikumpulkan dari beberapa sampel harian yang diambil secara acak, rumput dan konsentrat disimpan dan selanjutnya dilakukan analisis kandungan zat makanannya secara analisis proksimat di Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Sebelum penelitian diadakan persiapan ternak dan kandang
54
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
dibersihkan, tiap petak kandang diberi
nomor yang sesuai dengan nomor yang ada
pada ternak. Untuk rancangan acak
kelompok,
masing-masing
ternak
ditempatkan pada kandang individu dan
diberi perlakuan secara acak. Adapun
interval pemerahan yang digunakan pada
penelitian ini ada tiga, yaitu: (a) Pemerahan
yang dilakukan dengan interval selama 12
jam dalam sehari (2 kali pemerahan sehari),
yaitu pemerahan dilakukan pada pukul
06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib (b)
Pemerahan yang dilakukan dengan
perbandingan 16:8 jam (2 kali sehari) dalam
arti 16 jam interval pemerahan sebelum
dilakukan pemerahan pukul 06.00 WIB
kemudian 8 jam interval pemerahan
sebelum dilakukan pemerahan pukul 14.00
WIB (c) Pemerahan yang dilakukan dengan
interval selama 24 jam dalam sehari (1 kali
pemerahan sehari), yaitu pada pukul 06.00
WIB.
Sampel darah diambil setiap dua
minggu pada awal laktasi sampai akhir
laktasi dengan alat suntik steril dari vena
jugularis sebanyak 10 ml dimasukkan ke
dalam tabung gelas yang diberi tutup karet
kemudian ditempatkan pada termos berisi
es dan dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis kadar hormon progesteron dengan
metode RIA di Balai Penelitian Ternak,
Ciawi.
Peubah yang diamati adalah
kandungan hormon progesteron di dalam
darah, timbulnya berahi setelah beranak,
persentase kebuntingan, jumlah anak
sekelahiran (litter size), dan bobot lahir
anak. Selain itu diukur juga konsumsi pakan.
Kandungan hormon progesteron ini
diukur setiap dua minggu sekali yang
dimulai setelah ternak beranak sampai
berakhirnya laktasi pada penelitian ini.
Sampel darah 10 ml diambil dari vena
jugularis dengan menggunakan alat suntik
steril pada pagi hari (Ryley, 1983;
Subhagiana, 1998). Sampel darah
dimasukkan ke dalam termos es atau wadah
berisi es, selama beberapa jam dibiarkan
menggumpal. Kemudian serum dipisahkan
dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
2500-3000 rpm selama 30 menit di
laboratorium. Serum disimpan dalam tabung
plastik kecil dalam keadaan beku sampai
diadakan analisis hormon progesteron yang
diukur dengan metode “Radioimmunoassay”
(RIA) teknik fase padat (Diagnostic Products
Corporation, Los Angeles, CA).
Timbulnya berahi setelah beranak
diamati kira-kira satu minggu setelah ternak
beranak dengan cara mengamati tanda-
tanda berahi yang terjadi pada ternak dan
melihat tingkah laku ternak tersebut. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Prasad (1979) bahwa ditemukan sebanyak 17
ekor induk kembali berahi setelah beranak
dalam waktu 5 sampai 20 hari, walaupun
beberapa sumber lain menyatakan bahwa
timbulnya berahi setelah beranak beragam
mulai dari satu sampai tiga bulan ataupun
lebih lama lagi.
Persentase kebuntingan diamati
setelah dihentikan pemerahan (empat bulan
setelah beranak) dan setiap ternak
dikawinkan sebanyak dua kali menggunakan
kambing PE jantan (kawin alam) saat ternak
diketahui berahi. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan kebuntingan dengan cara
melihat timbul atau tidaknya kembali berahi
ternak setelah proses perkawinan tersebut.
Persentase kebuntingan diperoleh dari
jumlah ternak yang bunting setelah
dikawinkan dibagi dengan jumlah ternak
yang dikawinkan.
Jumlah anak sekelahiran diamati
dengan menghitung banyaknya anak yang
lahir dari setiap induk yang beranak pada
seluruh induk yang diteliti. Bobot lahir
ditimbang dengan menimbang bobot anak
yang baru lahir per ekor dalam kilogram.
Selanjutnya diamati juga jenis kelamin anak
yang dilahirkan untuk melihat apakah
perlakuan interval pemerahan berpengaruh
pada rasio jenis kelamin anak yang
dilahirkan.
Konsumsi
pakan
harian
dalamg/BK/hari ditentukan dengan cara
menimbang pakan yang diberikan per hari
dikurangi dengan sisanya, jenis pakan yang
digunakan dianalisis kandungan zat
makanannya dengan cara mengambil sampel
harian untuk analisis proksimat.
Pengujian statistik terhadap
parameter kuantitatif yang diukur
menggunakan analisis sidik ragam atas dasar
rancangan acak kelompok nonfaktorial
menurut Steel dan Torrie (1991) dan
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).
Hasil dan Pembahasan
Kandungan Hormon Progesteron di Dalam Darah
Kandungan hormon progesteron kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan interval pemerahan 12 jam (IP 12), interval pemerahan 16:8 jam (IP 16:8) dan interval pemerahan 24 jam (IP 24)
55
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
masing-masing adalah 0,125 – 2,4 ng/ml
dengan rataan 1,35 ± 0,82 ng/ml, 1,047 –
2,71 ng/ml dengan rataan 1,75 ± 0,6 ng/ml
dan 0,81 – 3,07 ng/ml dengan rataan 2,08 ±
0,47 ng/ml. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa interval pemerahan tidak nyata
mempengaruhi
kandungan
hormon
progesteron di dalam darah kambing PE.
Pola umum kandungan hormon progesteron
pada masing-masing perlakuan disajikan
pada gambar 1, 2, dan 3.
Secara umum, awal pengamatan
kandungan hormon progesteron dalam
penelitian ini pada masing-masing ternak
tidak sama, bervariasi dari 1 – 14 hari
setelah beranak dan selanjutnya diamati
setiap dua minggu sekali. Hal ini terjadi
karena penelitian ini adalah lanjutan dari
penelitian-penelitian sebelumnya dan
ternak yang digunakan merupakan ternak
yang dipakai pada penelitian-penelitian
tersebut, sehingga pengamatan kandungan
hormon progesteron dengan pengambilan
darah pada setiap ternak melanjutkan
pengambilan darah pada penelitian
sebelumnya.
Pada gambar 1 (interval pemerahan
12 jam) dapat dilihat bahwa permulaan
terjadinya siklus, dengan terlihat adanya
peningkatan
kandungan
hormon
progesteron, bervariasi pada masing-masing
ternak yaitu dari 28 – 81 hari setelah
beranak. Pada gambar 1 terlihat ada dua
ternak yang tidak menunjukkan siklus
dengan tidak terlihatnya peningkatan
kandungan hormon progesteron dalam darah
yaitu pada grafik keempat dan grafik
kelima.
Grafik 1 Grafik 2
Grafik 3 Grafik 4 Grafik 5 Grafik 6
Gambar 1. Konsentrasi progesteron secara individual pada IP 12
56
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Grafik 1 Grafik 2 Grafik 3 Grafik 4 Grafik 5
Gambar 2. Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 16:8
Grafik 1
Grafik 2 Grafik 3
Grafik 4
Gambar 3. Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 24
57
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
Pada grafik keempat dari gambar 1,
terlihat bahwa jumlah sampel yang diamati
hanya empat dari sembilan sampel yang
seharusnya ada pada masing-masing ternak
dan sampel yang ada hanya terdapat pada
minggu-minggu awal pengamatan. Hal ini
terjadi karena sampel yang berupa serum
darah tidak ada (tumpah) dari tabung
sampel, sehingga tidak dapat dijadikan
bahan untuk melihat kandungan hormon
progesteron. Pada grafik kelima juga tidak
terlihat adanya peningkatan kandungan
hormon progesteron selama pengamatan.
Hal ini terjadi mungkin karena ovulasi tidak
terjadi selama pengamatan dan mungkin
ovulasi terjadi di luar waktu pengamatan
(setelah pengambilan darah tidak lagi
dilakukan), sehingga tidak terlihat adanya
peningkatan
kandungan
hormon
progesteron.
Gambar 2 juga terdapat variasi awal
peningkatan kandungan hormon progesteron
dalam darah yaitu dari 22 – 41 hari setelah
beranak. Pada gambar ini terlihat bahwa
jumlah ternak yang diamati adalah sebanyak
lima ekor yang seharusnya enam ekor. Hal
ini terjadi karena saat pengambilan sampel,
darah yang telah disentrifuge untuk diambil
serumnya dimasukkan ke dalam tabung
plastik, selanjutnya disimpan di dalam
mesin pembeku (freezer). Saat
penyimpanan ini, beberapa sampel keluar
dari tabung sampel saat serum dalam
keadaan beku, sehingga tidak dapat
digunakan untuk mengamati hormon
progesteron.
Pada gambar 3 juga terdapat variasi
awal peningkatan kandungan hormon
progesteron yaitu dari 24 – 43 hari setelah
beranak. Pada gambar 4 terlihat bahwa
jumlah ternak yang diamati hanya empat
ekor. Seperti pada gambar 2 dan gambar 3,
bahwa tidak lengkapnya jumlah ternak yang
diamati disebabkan keluarnya sampel yang
berupa serum pada saat dibekukan di dalam
freezerr karena tutup tabung plastik
terbuka.
Terjadinya variasi awal peningkatan
kandungan hormon progesteron pada
gambar 1, 2, dan 3 dapat dijadikan
pertanda telah terjadinya siklus berahi pada
kambing PE dalam penelitian ini mungkin
disebabkan adanya variasi saat terjadinya
ovulasi setelah berahi pada masing-masing
ternak. Dengan terjadinya berahi dan jika
diikuti dengan ovulasi terbentuklah corpus
luteum (CL). CL merupakan jaringan utama
di dalam ovarium yang mensekresikan hormon progesteron ke dalam darah sehingga terjadi peningkatan kandungan hormon progesteron. Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa rataan siklus berahi pada kambing PE adalah 19-24 hari.
Berahi Setelah Beranak Data berahi setelah beranak
kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masingmasing adalah 48.75±21.09, 39.80±5.50 dan 52.25±9.78 hari dengan rataan 46.93±5.24 hari (Tabel 5).
Data berahi setelah beranak dalam penelitian ini diperoleh dari data kandungan hormon progesteron pada kambing PE selama penelitian. Hal ini dilakukan karena pengamatan berahi setelah beranak seharusnya dilakukan dengan melihat tandatanda berahi pada ternak secara langsung, namun hasil yang didapat kurang akurat, karena sulitnya melihat tanda-tanda berahi pada ternak yang dipelihara dalam kandang individu.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang melaporkan bahwa terjadinya berahi setelah beranak pada kambing PE terjadi antara 32103 hari.
Kondisi ternak sebelum dan sesudah beranak berpengaruh terhadap aktivitas seksual setelah beranak (Sutama et.al., 1993). Selanjutnya Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa timbulnya berahi setelah beranak pada kambing PE dengan tingkat produsi susu yang berbeda bervariasi antara 32-103 hari. Kecepatan munculnya aktivitas seksual setelah beranak bervariasi diantara bangsa kambing, dan dipengaruhi oleh panjang laktasi dan kondisi pakan yang dikonsumsi.
Selanjutnya Riera (1982, 1984); Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar terhadap berahi pertama setelah beranak yaitu 5-27 minggu pada kambing di daerah beriklim sedang (temperate zone).
Persentase Kebuntingan Persentase kebuntingan (PK) dalam
penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masing-masing adalah 33.33%, 16.67%, dan 66.67% (Tabel 5). Dari data tersebut terlihat bahwa perlakuan IP 24 lebih tinggi dari dua perlakuan lainnya.
58
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 5. Rataan Berahi Setelah Beranak, Persentase Kebuntingan, Jumlah
Anak Sekelahiran, dan Bobot Lahir Anak Kambing PE
Peubah
Interval Pemerahan (IP) dalam Jam 12 16:8 24 Rataan
BSB (hari) 48.75±21.09 39.80±5.50 52.25±9.78 46.93±5.24
PK (%)
33.33
16.67
66.67
38.89
JAS (ekor) 2.00 (n=2) 1.00 (n=1) 1.75 (n=4)
1.71
BL (kg)
2.83 (n=7) 2.6 (n=4) 4.4 (n=1)
2.88
Keterangan: BSB = berahi setelah beranak, n = jumlah sampel yang diamati, PK = persentase
kebuntingan, JAS = jumlah anak sekelahiran, BL = bobot lahir anak
Perbedaan pada persentase kebuntingan ini diduga bukan karena pengaruh dari perlakuan, namun terjadi karena jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga menimbulkan variasi perbedaan yang mencolok.
Terjadinya persentase kebuntingan yang cukup rendah (16.67%) kemungkinan disebabkan kurang telitinya dalam melakukan pengamatan berahi, sehingga pada waktu mengawinkan ternak kurang tepat yang mengakibatkan ternak yang dikawinkan tidak bunting. Menurut Devendra dan Burns (1983); Adiati et.al. (1997) waktu yang terbaik mengawinkan kambing minimal 12 jam setelah timbulnya tanda-tanda berahi pertama. Persentase kebuntingan dalam penelitian ini lebih rendah dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada kambing PE. Adiati et.al. (1997) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE berkisar antara 30-100%, Budiarsana et.al. (1999) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE dalam penelitiannya antara 37-84.2%, lebih tinggi lagi perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang mendapatkan persentase kebuntingan pada kambing PE sebesar 71.4-85.7%. Terjadinya perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, tergantung pada jumlah sampel ternak yang digunakan, kualitas ternak yang dipakai, lokasi (tempat) dilaksanakannya penelitian dan keadaan pakan yang dikonsumsi oleh ternak pada masing-masing penelitian.
Jumlah Anak Sekelahiran (litter size) Kambing PE
Jumlah anak sekelahiran dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2 ekor, 1 ekor dan 1.75 ekor dengan rataan 1.71 ekor (Tabel 5). Hasil dari penelitian ini lebih tinggi dari laporan Adiati et.al. (1997) yang mendapati rataan jumlah anak sekelahiran
sebanyak 1.5 ekor. Demikian juga hasil penelitian Budiarsana et.al. (1999) yang melaporkan bahwa rataan jumlah anak sekelahiran sebanyak 1.46 ekor dan laporan Adiati et.al. (2001) bahwa jumlah anak sekelahiran kambing PE sebanyak 1.65 ekor. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena kambing PE yang digunakan dalam penelitian ini telah berumur sekitar tujuh tahun, sehingga berpeluang untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih banyak dibandingkan dengan kambing PE yang berumur lebih muda. Setiadi et.al. (1997) menyatakan bahwa jumlah anak sekelahiran cenderung meningkat dengan meningkatnya umur induk 2-6 tahun, keadaan ini didukung oleh pengamatan yang dilakukan Sutama et.al. (1995) pada kambing PE betina muda, bahwa jumlah anak sekelahiran sebesar 1.04 ekor.
Bobot Lahir Anak Kambing PE Bobot lahir pada penelitian ini pada
perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masingmasing adalah 2.83kg, 2.6kg, dan 4.4kg dengan rataan 2.88kg (Tabel 5). Hasil penelitian ini hampir lebih rendah dibandingkan penelitian-penelitian pada kambing PE sebelumnya. Adiati et.al. (2001) melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.74kg dan dengan yang dilaporkan Sutama et.al. (1997) yang menyatakan bahwa bobot lahir kambing PE rata-rata sebesar 3.6kg. Selanjutnya Budiarsana et.al. (1999) mendapatkan rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.63kg. Demikian juga halnya dengan penelitian tentang bobot lahir terhadap kambing PE dilakukan oleh Setiadi et.al. (1997), dan Adiati et.al. (1997) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak jantan adalah 3.7kg dan 4.0kg sedang anak betina 3.2kg dan 3.5kg dan Adiati et.al. (1999) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak kambing PE bervariasi antara 2.863.17kg. Lebih rendahnya rataan bobot lahir
59
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
anak kambing PE dalam penelitian ini
dibandingkan
dengan
penelitian
sebelumnya, kemungkinan disebabkan ada
induk yang anaknya mati saat dilahirkan dan
bobot lahir anak yang lahir tersebut (2 ekor)
relatif ringan, sehingga mengurangi rataan
bobot lahir anak kambing PE secara
keseluruhan dalam penelitian ini.
Kemungkinan lain adalah pakan yang
diberikan kepada induk yang sedang bunting
kurang mencukupi kebutuhannya, sehingga
berakibat rendahnya bobot lahir anak.
Konsumsi Pakan Konsumsi pakan kambing PE pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Dari hasil analisis data ternyata bahwa interval pemerahan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap konsumsi pakan. Namun dari rataan terlihat bahwa konsumsi pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan interval pemerahan 24 jam yaitu sebesar 1194.22gBK/hari.
Dari data konsumsi pakan diperoleh bahwa konsumsi bahan kering dibandingkan dengan bobot badan pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.7, 2.85, dan 2.86%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Devendra dan Leroy (1980) bahwa kambing Etawah serta bangsa kambing perah mengkonsumsi bahan kering harian bervariasi dari 2.0 – 4.7% dari bobot badan atau setara dengan konsumsi sebesar 41.1 – 131.1g/kg bobot badan0.75 per hari
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
tersebut di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Interval pemerahan 16:8 jam dapat
meningkatkan produksi susu 32.82%
pada kambing peranakan Etawah
dibandingkan
dengan
interval
pemerahan 12 jam.
2. Komposisi susu tidak terpengaruh
dengan perlakuan interval pemerahan.
3. Efisiensi produksi susu pada perlakuan
interval pemerahan 16:8 jam lebih baik
dari dua interval pemerahan lainnya.
4. Aktivitas seksual setelah beranak pada
kambing peranakan Etawah tidak
terpengaruh dengan perlakuan interval
pemerahan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lain
dengan menggunakan kambing-kambing
induk peranakan Etawah yang umurnya relatif lebih muda dan jumlah sampel yang cukup, agar responsnya terhadap perlakuan yang diberikan lebih akurat, sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil dari penelitian ini dan jika memungkinkan perlu kiranya menambah perlakuan dengan frekuensi pemerahan tiga kali dalam sehari.
Daftar Pustaka
Adiati, U., Hastono, R. S. G. Sianturi, T. D. Chaniago, dan I. K. Sutama. 1997. Sinkronisasi Berahi Secara Biologis Pada Kambing PE. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner II: 411-416.
Devendra, C. and C. B. Mc. Leroy. 1980. Goat and Sheep Production in The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. London. New York. Singapore: First Publ. Longmans.
Devendra, C. dan M. Burns. 1983. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah IDK Harya Putra. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Maryati, T. dan L. Nunik. 1990. Penentuan Kandungan Hormon Progesteron Dalam Darah dan Susu Pada Ternak Kambing dan Sapi. Risalah Pertemuan Ilmiah Pusat Aplikasi Radio Isotop. BATAN. Jakarta.
Ryley, J. W. 1983. Collection of Samples for Laboratory Investigation. In: Dairy Cattle Research Techniques. Edited by J. H. Ternouth. Quensland Dept. of Primary Industries. Brisbane, Australia.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa B. Sumantri. Ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan
Konsentrasi Progesteron dan
Estradiol Selama Kebuntingan,
Bobot Lahir dan Jumlah Anak Pada
Kambing Peranakan Etawah Pada
Tingkat Produksi Susu yang
Berbeda. [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian
Bogor,
Program
60
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Pascasarjana, Program Studi Ilmu Ternak. Sutama, I. K., .IG.M. Budiarsana, dan Y. Saepudin. 1993. Kinerja Reproduksi sekitar pubertas dan beranak pertama kambing PE. Ilmu dan Peternakan, 8: 9-12. Sutama, I. K., B. Setiadi, I.G.M. Budiarsana dan U. Adiati. 1997. Aktivitas Seksual Setelah Beranak dari Kambing PE Dengan Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 18-19 November 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 401-409.
61
Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah
The effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah Cross-Bredgoats
Usman Budi * Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Abstract: Research was conducted to study the influence of milking interval of Etawah Cross-bred in post-partum sexual activity in Indonesian Animal Production Research Institute (IANPRI), Ciawi, Bogor and Faculty of Animal Husbandry IPB, Bogor from October, 2000 to May, 2001. 5-7 years of 18 heads of Etawah Cross-bred weregrouped of body weight for threegroups. All samples have received same feed and management. The randomized complete block design was used with there were three treatments, (1) 12 hours of milking interval, (2) 16:8 hours of milking interval, and (3) 24 hours of milking interval. According to data processing, all treatments did not shown significantly difference on concentration of progesterone hormone, post-partum estrous, percentage of pregnant and litter size, however milking interval 16:8 shown inclination faster more than another treatment on post-partum estrous. Feed consumption of etawah cross-bredgoats at all treatments did not also show significantly different. The result of this reseach indicated that no significant effect of milking intervals on post-partum sexual activity of etawah cross-bredgoats. Key words: milking interval, sexual activity, post partum,goat, etawah cross-bred.
Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh interval pemerahan terhadap aktivitas seksual setelah beranak kambing Peranakan Etawah (PE) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor dari Bulan Oktober 2000 sampai Mei 2001. Ternak yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina PE dengan umur 5-7 tahun, dikelompokkan berdasarkan bobot badan menjadi tiga kelompok. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok nonfaktorial dengan perlakuan interval pemerahan 12 jam, interval pemerahan 16:8 jam dan interval pemerahan 24 jam. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemerahan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada aktivitas seksual setelah beranak yaitu terhadap kandungan hormon progesteron, berahi setelah beranak, persentase kebuntingan dan jumlah anak sekelahiran, namun demikian interval pemerahan 16:8 menunjukkan kecenderungan lebih cepat dibanding dua perlakuan lainnya terhadap munculnya berahi setelah beranak. Konsumsi pakan kambing PE pada ketiga perlakuan juga tidak berbeda secara statistik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini mengindikasikan bahwa aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE tidak nyata dipengaruhi oleh interval pemerahan. Kata kunci: interval pemerahan, aktivitas seksual, setelah beranak, kambing,
peranakan etawah
Pendahuluan
Kambing sebagai salah satu ternak, keberadaannya di Indonesia memberikan andil yang cukup besar bagi pendapatan masyarakat utamanya masyarakat peternak kecil. Di samping sebagai penghasil daging dan hasil ikutannya berupa kulit dan pupuk yang sudah memasyarakat, kambing juga
berpotensi untuk menghasilkan susu, namun keberadaan dan produksi susu kambing di Indonesia saat ini belum optimal, karena selain belum begitu luas dikonsumsi oleh masyarakat, tata laksana pemerahannya juga belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam upaya meningkatkan produksi susu kambing dan mengetahui tata laksana pemerahan yang baik sehingga
53
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
dapat diterapkan di peternakan rakyat, diperlukan suatu cara yang penerapannya tidak sukar dilaksanakan seperti frekuensi pemerahan (interval pemerahan) yang optimal, sehingga dapat diperoleh produksi susu yang optimal yang didukung dengan pakan dan manajemen yang baik. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah ditemukan bahwa jumlah maksimum air susu yang dihasilkan oleh induk dibatasi tidak hanya oleh kesanggupan genetiknya, tetapi juga oleh frekuensi penyusuan dan kesanggupan anak menyusu serta makanan yang dikonsumsi. Berbeda halnya dengan beberapa jenis hewan yang telah banyak diteliti, seperti pada sapi, domba, dan kuda, sejauh ini banyaknya frekuensi pemerahan yang optimal pada kambing belum banyak diketahui.
Salah satu bangsa kambing di Indonesia yang diharapkan dapat ditingkatkan produksinya adalah kambing Peranakan Etawah (PE) yaitu bangsa kambing yang diperoleh dari kawin tatar (grading-up) antara kambing asli Indonesia (kambing kacang) dengan kambing Etawah yang didatangkan dari India. Hasil perkawinan dari dua bangsa kambing ini menghasilkan peranakan kambing Etawah yang ciri-ciri dan kemampuan produksinya mendekati sifat-sifat karakteristik kambing Etawah.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan kambing PE terhadap aktivitas seksual setelah beranak yaitu kandungan hormon progesteron di dalam darah, persentase kebuntingan, timbulnya berahi setelah beranak, dan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan terhadap konsumsi pakan.
Bahan dan Metode
Materi Penelitian Ternak yang digunakan adalah 18
ekor kambing betina Peranakan Etawah (PE) terpilih dengan bobot badan 35,0 – 45,2kg dan umur berkisar 5-7 tahun. Kambing PE dipelihara dalam kandang individu dengan ukuran 2 x 1 m2 dan rumput raja (Penisetum purpureophoides) segar (protein kasar 9,84% dan serat kasar 39,57%), dan konsentrat (protein kasar 19,25% dan serat kasar 10,73%). Proporsi bahan kering hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah 30:70. Hijauan diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang ± 5 cm. Jumlah pemberian pakan
konsentrat adalah sebesar 5% dari bobot hidup berdasarkan bahan kering (NRC, 1975).
Metode Penelitian Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) nonfaktorial, dengan pengelompokkan ternak berdasarkan bobot badan. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini diurutkan dari bobot badan yang paling rendah hingga ke bobot badan yang paling tinggi, selanjutnya dari 18 ekor ternak yang digunakan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan bobot badan sehingga diperoleh tiap kelompok ada 6 ekor ternak. Adapun perlakuan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan pemerahan, yaitu pemerahan dengan interval 12 jam (2 kali pemerahan sehari); pemerahan dengan interval 16:8 jam (2 kali pemerahan sehari); dan pemerahan dengan interval 24 jam (1 kali pemerahan sehari).
Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam dengan model matematik:
Yij = μ + τi + βj + εij
Perbedaan antara perlakuan terhadap parameter kuantitatif yang diuji menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance) atas dasar rancangan acak kelompok nonfaktorial menurut Steel dan Torrie (1991) dan jika hasilnya berbeda nyata diadakan uji lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2000 sampai dengan Mei 2001. Dimulai saat ternak bunting 4 bulan atau satu bulan sebelum beranak, ternak dimasukkan ke dalam kandang individu dan diberi pakan yang seragam, yaitu: Hijauan rumput raja yang ditimbang beratnya antara 3-4kg/hari/ekor yang telah dipotong menggunakan alat pemotong rumput dan konsentrat buatan BPT Ciawi sebanyak 800g/hari/ekor. Jumlah pakan yang diberikan dan sisanya ditimbang setiap hari. Dengan cara dikumpulkan dari beberapa sampel harian yang diambil secara acak, rumput dan konsentrat disimpan dan selanjutnya dilakukan analisis kandungan zat makanannya secara analisis proksimat di Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Sebelum penelitian diadakan persiapan ternak dan kandang
54
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
dibersihkan, tiap petak kandang diberi
nomor yang sesuai dengan nomor yang ada
pada ternak. Untuk rancangan acak
kelompok,
masing-masing
ternak
ditempatkan pada kandang individu dan
diberi perlakuan secara acak. Adapun
interval pemerahan yang digunakan pada
penelitian ini ada tiga, yaitu: (a) Pemerahan
yang dilakukan dengan interval selama 12
jam dalam sehari (2 kali pemerahan sehari),
yaitu pemerahan dilakukan pada pukul
06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib (b)
Pemerahan yang dilakukan dengan
perbandingan 16:8 jam (2 kali sehari) dalam
arti 16 jam interval pemerahan sebelum
dilakukan pemerahan pukul 06.00 WIB
kemudian 8 jam interval pemerahan
sebelum dilakukan pemerahan pukul 14.00
WIB (c) Pemerahan yang dilakukan dengan
interval selama 24 jam dalam sehari (1 kali
pemerahan sehari), yaitu pada pukul 06.00
WIB.
Sampel darah diambil setiap dua
minggu pada awal laktasi sampai akhir
laktasi dengan alat suntik steril dari vena
jugularis sebanyak 10 ml dimasukkan ke
dalam tabung gelas yang diberi tutup karet
kemudian ditempatkan pada termos berisi
es dan dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis kadar hormon progesteron dengan
metode RIA di Balai Penelitian Ternak,
Ciawi.
Peubah yang diamati adalah
kandungan hormon progesteron di dalam
darah, timbulnya berahi setelah beranak,
persentase kebuntingan, jumlah anak
sekelahiran (litter size), dan bobot lahir
anak. Selain itu diukur juga konsumsi pakan.
Kandungan hormon progesteron ini
diukur setiap dua minggu sekali yang
dimulai setelah ternak beranak sampai
berakhirnya laktasi pada penelitian ini.
Sampel darah 10 ml diambil dari vena
jugularis dengan menggunakan alat suntik
steril pada pagi hari (Ryley, 1983;
Subhagiana, 1998). Sampel darah
dimasukkan ke dalam termos es atau wadah
berisi es, selama beberapa jam dibiarkan
menggumpal. Kemudian serum dipisahkan
dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
2500-3000 rpm selama 30 menit di
laboratorium. Serum disimpan dalam tabung
plastik kecil dalam keadaan beku sampai
diadakan analisis hormon progesteron yang
diukur dengan metode “Radioimmunoassay”
(RIA) teknik fase padat (Diagnostic Products
Corporation, Los Angeles, CA).
Timbulnya berahi setelah beranak
diamati kira-kira satu minggu setelah ternak
beranak dengan cara mengamati tanda-
tanda berahi yang terjadi pada ternak dan
melihat tingkah laku ternak tersebut. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Prasad (1979) bahwa ditemukan sebanyak 17
ekor induk kembali berahi setelah beranak
dalam waktu 5 sampai 20 hari, walaupun
beberapa sumber lain menyatakan bahwa
timbulnya berahi setelah beranak beragam
mulai dari satu sampai tiga bulan ataupun
lebih lama lagi.
Persentase kebuntingan diamati
setelah dihentikan pemerahan (empat bulan
setelah beranak) dan setiap ternak
dikawinkan sebanyak dua kali menggunakan
kambing PE jantan (kawin alam) saat ternak
diketahui berahi. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan kebuntingan dengan cara
melihat timbul atau tidaknya kembali berahi
ternak setelah proses perkawinan tersebut.
Persentase kebuntingan diperoleh dari
jumlah ternak yang bunting setelah
dikawinkan dibagi dengan jumlah ternak
yang dikawinkan.
Jumlah anak sekelahiran diamati
dengan menghitung banyaknya anak yang
lahir dari setiap induk yang beranak pada
seluruh induk yang diteliti. Bobot lahir
ditimbang dengan menimbang bobot anak
yang baru lahir per ekor dalam kilogram.
Selanjutnya diamati juga jenis kelamin anak
yang dilahirkan untuk melihat apakah
perlakuan interval pemerahan berpengaruh
pada rasio jenis kelamin anak yang
dilahirkan.
Konsumsi
pakan
harian
dalamg/BK/hari ditentukan dengan cara
menimbang pakan yang diberikan per hari
dikurangi dengan sisanya, jenis pakan yang
digunakan dianalisis kandungan zat
makanannya dengan cara mengambil sampel
harian untuk analisis proksimat.
Pengujian statistik terhadap
parameter kuantitatif yang diukur
menggunakan analisis sidik ragam atas dasar
rancangan acak kelompok nonfaktorial
menurut Steel dan Torrie (1991) dan
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).
Hasil dan Pembahasan
Kandungan Hormon Progesteron di Dalam Darah
Kandungan hormon progesteron kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan interval pemerahan 12 jam (IP 12), interval pemerahan 16:8 jam (IP 16:8) dan interval pemerahan 24 jam (IP 24)
55
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
masing-masing adalah 0,125 – 2,4 ng/ml
dengan rataan 1,35 ± 0,82 ng/ml, 1,047 –
2,71 ng/ml dengan rataan 1,75 ± 0,6 ng/ml
dan 0,81 – 3,07 ng/ml dengan rataan 2,08 ±
0,47 ng/ml. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa interval pemerahan tidak nyata
mempengaruhi
kandungan
hormon
progesteron di dalam darah kambing PE.
Pola umum kandungan hormon progesteron
pada masing-masing perlakuan disajikan
pada gambar 1, 2, dan 3.
Secara umum, awal pengamatan
kandungan hormon progesteron dalam
penelitian ini pada masing-masing ternak
tidak sama, bervariasi dari 1 – 14 hari
setelah beranak dan selanjutnya diamati
setiap dua minggu sekali. Hal ini terjadi
karena penelitian ini adalah lanjutan dari
penelitian-penelitian sebelumnya dan
ternak yang digunakan merupakan ternak
yang dipakai pada penelitian-penelitian
tersebut, sehingga pengamatan kandungan
hormon progesteron dengan pengambilan
darah pada setiap ternak melanjutkan
pengambilan darah pada penelitian
sebelumnya.
Pada gambar 1 (interval pemerahan
12 jam) dapat dilihat bahwa permulaan
terjadinya siklus, dengan terlihat adanya
peningkatan
kandungan
hormon
progesteron, bervariasi pada masing-masing
ternak yaitu dari 28 – 81 hari setelah
beranak. Pada gambar 1 terlihat ada dua
ternak yang tidak menunjukkan siklus
dengan tidak terlihatnya peningkatan
kandungan hormon progesteron dalam darah
yaitu pada grafik keempat dan grafik
kelima.
Grafik 1 Grafik 2
Grafik 3 Grafik 4 Grafik 5 Grafik 6
Gambar 1. Konsentrasi progesteron secara individual pada IP 12
56
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Grafik 1 Grafik 2 Grafik 3 Grafik 4 Grafik 5
Gambar 2. Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 16:8
Grafik 1
Grafik 2 Grafik 3
Grafik 4
Gambar 3. Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 24
57
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
Pada grafik keempat dari gambar 1,
terlihat bahwa jumlah sampel yang diamati
hanya empat dari sembilan sampel yang
seharusnya ada pada masing-masing ternak
dan sampel yang ada hanya terdapat pada
minggu-minggu awal pengamatan. Hal ini
terjadi karena sampel yang berupa serum
darah tidak ada (tumpah) dari tabung
sampel, sehingga tidak dapat dijadikan
bahan untuk melihat kandungan hormon
progesteron. Pada grafik kelima juga tidak
terlihat adanya peningkatan kandungan
hormon progesteron selama pengamatan.
Hal ini terjadi mungkin karena ovulasi tidak
terjadi selama pengamatan dan mungkin
ovulasi terjadi di luar waktu pengamatan
(setelah pengambilan darah tidak lagi
dilakukan), sehingga tidak terlihat adanya
peningkatan
kandungan
hormon
progesteron.
Gambar 2 juga terdapat variasi awal
peningkatan kandungan hormon progesteron
dalam darah yaitu dari 22 – 41 hari setelah
beranak. Pada gambar ini terlihat bahwa
jumlah ternak yang diamati adalah sebanyak
lima ekor yang seharusnya enam ekor. Hal
ini terjadi karena saat pengambilan sampel,
darah yang telah disentrifuge untuk diambil
serumnya dimasukkan ke dalam tabung
plastik, selanjutnya disimpan di dalam
mesin pembeku (freezer). Saat
penyimpanan ini, beberapa sampel keluar
dari tabung sampel saat serum dalam
keadaan beku, sehingga tidak dapat
digunakan untuk mengamati hormon
progesteron.
Pada gambar 3 juga terdapat variasi
awal peningkatan kandungan hormon
progesteron yaitu dari 24 – 43 hari setelah
beranak. Pada gambar 4 terlihat bahwa
jumlah ternak yang diamati hanya empat
ekor. Seperti pada gambar 2 dan gambar 3,
bahwa tidak lengkapnya jumlah ternak yang
diamati disebabkan keluarnya sampel yang
berupa serum pada saat dibekukan di dalam
freezerr karena tutup tabung plastik
terbuka.
Terjadinya variasi awal peningkatan
kandungan hormon progesteron pada
gambar 1, 2, dan 3 dapat dijadikan
pertanda telah terjadinya siklus berahi pada
kambing PE dalam penelitian ini mungkin
disebabkan adanya variasi saat terjadinya
ovulasi setelah berahi pada masing-masing
ternak. Dengan terjadinya berahi dan jika
diikuti dengan ovulasi terbentuklah corpus
luteum (CL). CL merupakan jaringan utama
di dalam ovarium yang mensekresikan hormon progesteron ke dalam darah sehingga terjadi peningkatan kandungan hormon progesteron. Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa rataan siklus berahi pada kambing PE adalah 19-24 hari.
Berahi Setelah Beranak Data berahi setelah beranak
kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masingmasing adalah 48.75±21.09, 39.80±5.50 dan 52.25±9.78 hari dengan rataan 46.93±5.24 hari (Tabel 5).
Data berahi setelah beranak dalam penelitian ini diperoleh dari data kandungan hormon progesteron pada kambing PE selama penelitian. Hal ini dilakukan karena pengamatan berahi setelah beranak seharusnya dilakukan dengan melihat tandatanda berahi pada ternak secara langsung, namun hasil yang didapat kurang akurat, karena sulitnya melihat tanda-tanda berahi pada ternak yang dipelihara dalam kandang individu.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang melaporkan bahwa terjadinya berahi setelah beranak pada kambing PE terjadi antara 32103 hari.
Kondisi ternak sebelum dan sesudah beranak berpengaruh terhadap aktivitas seksual setelah beranak (Sutama et.al., 1993). Selanjutnya Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa timbulnya berahi setelah beranak pada kambing PE dengan tingkat produsi susu yang berbeda bervariasi antara 32-103 hari. Kecepatan munculnya aktivitas seksual setelah beranak bervariasi diantara bangsa kambing, dan dipengaruhi oleh panjang laktasi dan kondisi pakan yang dikonsumsi.
Selanjutnya Riera (1982, 1984); Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar terhadap berahi pertama setelah beranak yaitu 5-27 minggu pada kambing di daerah beriklim sedang (temperate zone).
Persentase Kebuntingan Persentase kebuntingan (PK) dalam
penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masing-masing adalah 33.33%, 16.67%, dan 66.67% (Tabel 5). Dari data tersebut terlihat bahwa perlakuan IP 24 lebih tinggi dari dua perlakuan lainnya.
58
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 5. Rataan Berahi Setelah Beranak, Persentase Kebuntingan, Jumlah
Anak Sekelahiran, dan Bobot Lahir Anak Kambing PE
Peubah
Interval Pemerahan (IP) dalam Jam 12 16:8 24 Rataan
BSB (hari) 48.75±21.09 39.80±5.50 52.25±9.78 46.93±5.24
PK (%)
33.33
16.67
66.67
38.89
JAS (ekor) 2.00 (n=2) 1.00 (n=1) 1.75 (n=4)
1.71
BL (kg)
2.83 (n=7) 2.6 (n=4) 4.4 (n=1)
2.88
Keterangan: BSB = berahi setelah beranak, n = jumlah sampel yang diamati, PK = persentase
kebuntingan, JAS = jumlah anak sekelahiran, BL = bobot lahir anak
Perbedaan pada persentase kebuntingan ini diduga bukan karena pengaruh dari perlakuan, namun terjadi karena jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga menimbulkan variasi perbedaan yang mencolok.
Terjadinya persentase kebuntingan yang cukup rendah (16.67%) kemungkinan disebabkan kurang telitinya dalam melakukan pengamatan berahi, sehingga pada waktu mengawinkan ternak kurang tepat yang mengakibatkan ternak yang dikawinkan tidak bunting. Menurut Devendra dan Burns (1983); Adiati et.al. (1997) waktu yang terbaik mengawinkan kambing minimal 12 jam setelah timbulnya tanda-tanda berahi pertama. Persentase kebuntingan dalam penelitian ini lebih rendah dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada kambing PE. Adiati et.al. (1997) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE berkisar antara 30-100%, Budiarsana et.al. (1999) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE dalam penelitiannya antara 37-84.2%, lebih tinggi lagi perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang mendapatkan persentase kebuntingan pada kambing PE sebesar 71.4-85.7%. Terjadinya perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, tergantung pada jumlah sampel ternak yang digunakan, kualitas ternak yang dipakai, lokasi (tempat) dilaksanakannya penelitian dan keadaan pakan yang dikonsumsi oleh ternak pada masing-masing penelitian.
Jumlah Anak Sekelahiran (litter size) Kambing PE
Jumlah anak sekelahiran dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2 ekor, 1 ekor dan 1.75 ekor dengan rataan 1.71 ekor (Tabel 5). Hasil dari penelitian ini lebih tinggi dari laporan Adiati et.al. (1997) yang mendapati rataan jumlah anak sekelahiran
sebanyak 1.5 ekor. Demikian juga hasil penelitian Budiarsana et.al. (1999) yang melaporkan bahwa rataan jumlah anak sekelahiran sebanyak 1.46 ekor dan laporan Adiati et.al. (2001) bahwa jumlah anak sekelahiran kambing PE sebanyak 1.65 ekor. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena kambing PE yang digunakan dalam penelitian ini telah berumur sekitar tujuh tahun, sehingga berpeluang untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih banyak dibandingkan dengan kambing PE yang berumur lebih muda. Setiadi et.al. (1997) menyatakan bahwa jumlah anak sekelahiran cenderung meningkat dengan meningkatnya umur induk 2-6 tahun, keadaan ini didukung oleh pengamatan yang dilakukan Sutama et.al. (1995) pada kambing PE betina muda, bahwa jumlah anak sekelahiran sebesar 1.04 ekor.
Bobot Lahir Anak Kambing PE Bobot lahir pada penelitian ini pada
perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masingmasing adalah 2.83kg, 2.6kg, dan 4.4kg dengan rataan 2.88kg (Tabel 5). Hasil penelitian ini hampir lebih rendah dibandingkan penelitian-penelitian pada kambing PE sebelumnya. Adiati et.al. (2001) melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.74kg dan dengan yang dilaporkan Sutama et.al. (1997) yang menyatakan bahwa bobot lahir kambing PE rata-rata sebesar 3.6kg. Selanjutnya Budiarsana et.al. (1999) mendapatkan rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.63kg. Demikian juga halnya dengan penelitian tentang bobot lahir terhadap kambing PE dilakukan oleh Setiadi et.al. (1997), dan Adiati et.al. (1997) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak jantan adalah 3.7kg dan 4.0kg sedang anak betina 3.2kg dan 3.5kg dan Adiati et.al. (1999) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak kambing PE bervariasi antara 2.863.17kg. Lebih rendahnya rataan bobot lahir
59
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
anak kambing PE dalam penelitian ini
dibandingkan
dengan
penelitian
sebelumnya, kemungkinan disebabkan ada
induk yang anaknya mati saat dilahirkan dan
bobot lahir anak yang lahir tersebut (2 ekor)
relatif ringan, sehingga mengurangi rataan
bobot lahir anak kambing PE secara
keseluruhan dalam penelitian ini.
Kemungkinan lain adalah pakan yang
diberikan kepada induk yang sedang bunting
kurang mencukupi kebutuhannya, sehingga
berakibat rendahnya bobot lahir anak.
Konsumsi Pakan Konsumsi pakan kambing PE pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Dari hasil analisis data ternyata bahwa interval pemerahan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap konsumsi pakan. Namun dari rataan terlihat bahwa konsumsi pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan interval pemerahan 24 jam yaitu sebesar 1194.22gBK/hari.
Dari data konsumsi pakan diperoleh bahwa konsumsi bahan kering dibandingkan dengan bobot badan pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.7, 2.85, dan 2.86%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Devendra dan Leroy (1980) bahwa kambing Etawah serta bangsa kambing perah mengkonsumsi bahan kering harian bervariasi dari 2.0 – 4.7% dari bobot badan atau setara dengan konsumsi sebesar 41.1 – 131.1g/kg bobot badan0.75 per hari
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
tersebut di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Interval pemerahan 16:8 jam dapat
meningkatkan produksi susu 32.82%
pada kambing peranakan Etawah
dibandingkan
dengan
interval
pemerahan 12 jam.
2. Komposisi susu tidak terpengaruh
dengan perlakuan interval pemerahan.
3. Efisiensi produksi susu pada perlakuan
interval pemerahan 16:8 jam lebih baik
dari dua interval pemerahan lainnya.
4. Aktivitas seksual setelah beranak pada
kambing peranakan Etawah tidak
terpengaruh dengan perlakuan interval
pemerahan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lain
dengan menggunakan kambing-kambing
induk peranakan Etawah yang umurnya relatif lebih muda dan jumlah sampel yang cukup, agar responsnya terhadap perlakuan yang diberikan lebih akurat, sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil dari penelitian ini dan jika memungkinkan perlu kiranya menambah perlakuan dengan frekuensi pemerahan tiga kali dalam sehari.
Daftar Pustaka
Adiati, U., Hastono, R. S. G. Sianturi, T. D. Chaniago, dan I. K. Sutama. 1997. Sinkronisasi Berahi Secara Biologis Pada Kambing PE. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner II: 411-416.
Devendra, C. and C. B. Mc. Leroy. 1980. Goat and Sheep Production in The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. London. New York. Singapore: First Publ. Longmans.
Devendra, C. dan M. Burns. 1983. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah IDK Harya Putra. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Maryati, T. dan L. Nunik. 1990. Penentuan Kandungan Hormon Progesteron Dalam Darah dan Susu Pada Ternak Kambing dan Sapi. Risalah Pertemuan Ilmiah Pusat Aplikasi Radio Isotop. BATAN. Jakarta.
Ryley, J. W. 1983. Collection of Samples for Laboratory Investigation. In: Dairy Cattle Research Techniques. Edited by J. H. Ternouth. Quensland Dept. of Primary Industries. Brisbane, Australia.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa B. Sumantri. Ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan
Konsentrasi Progesteron dan
Estradiol Selama Kebuntingan,
Bobot Lahir dan Jumlah Anak Pada
Kambing Peranakan Etawah Pada
Tingkat Produksi Susu yang
Berbeda. [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian
Bogor,
Program
60
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Pascasarjana, Program Studi Ilmu Ternak. Sutama, I. K., .IG.M. Budiarsana, dan Y. Saepudin. 1993. Kinerja Reproduksi sekitar pubertas dan beranak pertama kambing PE. Ilmu dan Peternakan, 8: 9-12. Sutama, I. K., B. Setiadi, I.G.M. Budiarsana dan U. Adiati. 1997. Aktivitas Seksual Setelah Beranak dari Kambing PE Dengan Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 18-19 November 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 401-409.
61