Klasifikasi Akad, Ingkar Janji dan Sanki

47 d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 54 Ingkar janjiwanprestasi 55 terjadi apabila salah satu pihak yang melakukan perjanjianakad tidak melaksanakan salah satu kewajibannya dalam perjanjian, telah melampaui batas yang ditentukan dalam perjanjianakad yang mereka buat, prestasi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kesepakatan, melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjianakad maka pihak tersebut dapat dikenakan sanksi oleh pihak yang dirugikan atau putusan pengadilan bila masalah tersebut diperkarakan. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi bisa berupa: membayar denda, membayar kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan, membayar biaya perkara apabila masalah tersebut dibawa kepengadilan, pengalihan risiko kepada pihak yang melakukan wanprestasi atau membatalkan akad tersebut. Wanperstasi menurut Hukum Islam adalah bilamana akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh deitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya ada kealpaan, maka terjadilah kesalahan di pihak debitur. Kesalahan dalam fikih disebut at- ta’addi, yaitu suatu sikap berbuat atau tidak berbuat yang tidak diizinkan oleh syarak. Artinya suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban. Wanprestasi dalam hukum Islam secara secara komprehensif dapat dilihat pada pembahasan 54 Abdullah al-mushlih Shalah ash-Shawi, Op.Cit., hlm.37 55 Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 15 48 sebelumnya mengenai konsep ganti-rugi menurut hukum Islam yang dikutip dari Asmuni Mth. dalam Teori Ganti rugi dhaman Perspektif Hukum Islam.

III. METODE PENELTIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. 56

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang merupakan penelitian untuk menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan library research yang akan disajikan secara deskriptif.

C. Sumber Data

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah sebagai berikut: 56 Soerjono Soekanto Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 15. 50 1. Bahan hukum primer diperoleh dari sumber berikut ini: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472. c. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 LN Tahun 2008 No. 94 tentang Perbankan Syariah. d. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia. f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. g. Al- Qur’an dan Al-Hadits. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer; yaitu berupa dokumen atau risalah perundang- undangan, seperti Peraturan Bank Indonesia No. 72PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. 3. Bahan hukum tersier yang memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder antara lain: a. Ensiklopedia Indonesia; b. Kamus Hukum; 51 c. Kamus bahasa Inggris-Indonesia; d. Berbagai majalah maupun jurnal hukum.

D. Pengumpulan Data

Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Data sekunder baik yang menyangkut bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dari bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip pemutakhiran dan relevansi. Selanjutnya dalam penelitian ini kepustakaan, asas- asas, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi utama yaitu: 1. Bersifat umum, terdiri dari buku-buku, teks, ensiklopedia; 2. Bersifat khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun jurnal. Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen.

E. Analisis Data

Data dianalisis secara normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang- undangan. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi baru.

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara- perkara perbankan Syariah. Penyebab faktor timbulnya sengketa perbankan syariah adalah i terjadinya kredit macet bukan hanya terdapat pada diri nasabah sebagai debitur, tetapi pihak bank yang telah memberikan kredit tersebut kepada nasabah sehingga munculnya kasus kredit macet, ii minimnya edukasi masyarakat, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap perbankan, iii kurangnya perhatian dari perbankan syariah terhadap pengaduan masalah yang mereka alami dan iv nasabah selalu diposisikan sebagai pihak yang lemah. Ketiga adalah penyelesaian sengketa perbankan syariah sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat. Melalui upaya dialog ini diharapkan hubungan bisnis tetap terjalin dan lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur