Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undangundang No.21 Tahun 2008.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Cetakan keempat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Adrian Sutedi. 2009. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia
Badriyah Harun. 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia
C. F. G. Sunaryati Hartono. 1994. Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Penerbit Alumni: Bandung
Cik Basir. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah. Jakarta: Prenada Media group
Jimmy Joses Sembiring. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: negosiasi, mediasi, konsiliasi & arbitrase. Jakarta: Transmedia Pustaka
Khotibul Imam. 2010. Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. Yogyakarta: PT. Pustaka Yustisia.
Muhammad Syafi’i Antonio. 2009. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, cetakan keempat belas. Jakarta: Tzkia Cendekia.
Takdir Rahmadi. 2010. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Totok Budisantro dan Sigit Triandru.2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Penerbit Salemba Empat
Yahya Harahap. 2004. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika Majalah:
Suhartono. “Paradigman Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam majalah Mimbar Hukum:Journal of Islamic Law No. 6, Desember 2008 Internet:
Perbankan Syariah: Lebih tahan krisis global. www.bi.go.id/.../Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf”. Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
Undang-undang:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
(2)
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan
(3)
BAB III
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
A. Melalui Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa perbankan syariah disaat sekarang telah memiliki kejelasan dimana peraturannya telah diatur dengan jelas. Para pihak yang bersengketa memiliki kebebasan dalam memilih, dimana penyelesaian sengketa itu diselesaikan apakah melalui lembaga peradilan atau diluar pengadilan.
1. Peradilan Agama
Hukum acara atau prosedur dalam menangani perkara perbankan syariah yang diajukan di lingkungan peradilan agama adalah bentuk hukum acara perdata yang biasa dilaksanakan di peradilan negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Hukum acara perdata tersebut sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, HIR (Het Herzeine Inlandsche Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) termasuk ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH Perdata, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum serta beberapa peraturan lain yang berkenaan dengan itu.
(4)
Ada 3 (tiga) bentuk kewenangan peradilan agama, pertama; perkara-perkara perdata di luar dibidang ekonomi syariah, yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kedua; perkara-perkara di bidang perkawinan yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum acara khusus sebagaimana dalam Undang-Undang Peradilan Agama itu sendiri, dan ketiga; perkara-perkara dalam bidang jinayah (pidana), yang tunduk pada ketentuan hukum acara pidana yang tidak lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perbankan syariah merupakan perkara perdata di luar bidang perkawinan, oleh karena itu ketentuan hukum acara yang harus diterapkan dalam menyelesaikan perkara-perkara di bidang perbankan syariah di lingkungan peradilan agama adalah ketentuan yang berlaku di peradilan umum. Dalam hal menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara ekonomi syariah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara perdata.
1.2. Perdamaian Sebagai Tahap Awal Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
Suatu kewajiban hakim apabila menerima suatu perkara adalah mendamaikan kedua belah pihak dalam hukum acara perdata. Upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam rangka penyelesaian sengketa syariah khususnya di Pengadilan Agama tertuju pada ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan PERMA No. 01 Tahun 2008 adalah landasan yuridis dalam mengupayakan perdamaian di tingkat pertama. Adanya PERMA ini membuat hakim lebih proaktif dalam mendorong kedua belah pihak untuk berdamai,
(5)
bukan sekedar formalitas saja yang hanya sekedar anjuran selama ini. Perdamaian atau mediasi wajib dilakukan dan apabila tidak dilaksanakan akan melanggar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR yang tertuang didalam Pasal 2 ayat (3) PERMA, akibatnya putusan batal demi hukum (van rechtswege nietig). Pasal 18 ayat (2) PERMA tersebut, baru dibolehkan memeriksa perkara melalui proses hukum acara perdata biasa, apabila gagal proses mediasi sebagaimana yang diperintahkan PERMA gagal menghasilkan kesepakatan.
Tindakan yang harus dilakukan oleh hakim dalam mengupayakan damai berdasarkan ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR adalah:
1. Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantara ketua berusaha mendamaikan
2. Bila dapat dicapai perdamaian, maka didalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa tindakan pertama harus dilakukan oleh seorang hakim adalah mengupayakan perdamaian di kedua belah pihak. Kemudian apabila tercapai kesepakatan unutuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai, maka kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian (akta) perdamaian.
Apabila anjuran damai yang dilakukan semata-mata atas dasar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR ternyata tidak berhasil, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan hakim adalah mengupayakan perdamaian melalui mediasi sesuai dengan ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008. Mediasi yang diterapkan dalam sistem peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 PERMA diartikan “cara penyelesaian sengketa melalui proses
(6)
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator yang dimaksud dalam hal ini adalah:
1. Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antar para pihak 2. Perundingan para pihak tersebut dibantu oleh mediator
Kedudukan dan fungsi mediator dalam proses perundingan tersebut menurut Pasal 1 butir 6 PERMA adalah sebagai pihak yang netral yang akan membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian tertentu.
Tindakan seorang hakim setelah memerintahkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh proses mediasi adalah menyampaikan penundaan proses persidangan perkara, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (5) PERMA. Penundaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak menempuh proses mediasi.
Lamanya proses penundaan persidangan perkara tersebut adalah selama 40 hari sejak mediator terpilih atau ditunjuk oleh hakim, Pasal 13 ayat (3) PERMA. Dalam proses mediasi, ada 2 hal terpenting pula yang harus diketahui yaitu mediasi mencapai kesepakatan atau tidak mencapai kesepakatan. Apabila mediasi mencapai kata kesepakatan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh para pihak, yaitu12:
1. Para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai yang ditandatangi oleh para pihak dan mediator tersebut 2. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak
wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
3. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian
(7)
4. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian
5. Jika tidak, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
Selanjutnya, apabila mediasi tidak mencapai kata kesepakatan atau gagal, maka mediator wajib melakukan:
1. Menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal 2. Memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim.
Setelah pemberitahuan mengenai kegagalan mediasi tersebut, hakim selanjutnya melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. 2. Proses pemeriksaan persidangan di Peradilan Agama
Tidak adanya kata perdamaian baik dalam anjuran hakim hingga perdamaian melalui mediator, maka pemeriksaan perkara pun harus dilanjutkan. Namun dalam pemeriksaan perkara itu, hakim harus melihat dengan cermat mengenai perjanjian antara kedua belah pihak yang bersengketa. Hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua belah pihak tidak membuat klausula arbitrase. Ini suatu hal yang menjadi fokus utama seorang hakim dalam mencermati isi perjanjian oleh pihak yang bersengketa.
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata diluar jangkauan kewenangan absolutnya.
Proses pemeriksaan perkara dalam sengketa perbankan syariah adalah sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Setelah melewati proses pengajuan perdamaian yang
(8)
ditengahi oleh seorang hakim hingga mediasi yang ditengahi oleh seorang mediator ternyata tidak mencapai kata kesepakatan, maka akan dimulai dengan proses pembacaan surat gugatan oleh penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab selesai lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak berpekara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap terakhir adalah kesimpulan dari pihak yang merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, kualifsir dan konstituir. Meng-konstituir adalah menguji benar tidaknya suatu peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak melalui proses pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian. Meng-kualifsir adalah menilai peristiwa atau fakta yang telah terbukti termasuk hubungan hukum apa dan menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah di konstatir. Meng-konstituir adalah menetapkan hukum atas perkara tersebut.
3. Pengadilan Umum/Negeri
Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam penjelasan Pasal 55 penyelesaian sengketa perbankan syariah menempatkan Pengadilan
(9)
Negeri sebagai salah satunya. Banyak pendapat yang tidak setuju akan hal ini karena secara peraturan, perbankan syariah menggunakan Al-Quran dan Al-Hadist. Pemeriksaan yang masuk kedalam Pengadilan Negeri secara keseluruhan khususya menggunakan hukum acara perdata sama sekali tidak menggunakan hukum Islam. Secara kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah. Namun di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di penjelasan Pasal 55 disebutkan bahwa pengadilan Negeri dapat dipilih sebagai tempat penyelesaian sengketa syariah.
Para pihak disaat ber akad atau melakukan perjanjian diberikan kebebasan untuk memilih dimana penyelesaian sengketa yang akan diambil. Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang memiliki kompetensi abosolut dalam menangani sengketa syariah yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Silang pendapat mengenai wewenang Pengadilan Negeri apakah memang benar memiliki kewenagan tersebut masih tetap tanda tanya namun apabila dipahami pengadilan negeri merupakan suatu pilihan atau anomali yang tidak menjadi keharusan bagi setiap yang bersengketa untuk menyelesaiakan sengketa yang ada.
Nasabah perbankan syariah tidak seluruhnya merupakan yang beragama Islam tapi tidak demikian pula apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri. Ketika seseorang telah ikut dalam suatu akad yang telah disepakati maka secara tidak langsung ia telah tunduk secara sukarela kepada hukum islam sehingga tidak perlu lagi memilih pengadilan negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa syariah.
(10)
A. Melalui Non Litigasi 1. Musyawarah
Didalam Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah, Musyawarah merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan. Kata musyawarah sedikit asing atau tidak terlalu familiar dikalangan masyarakat, namun sebenarnya musyawah ini dapat disamakan dengan proses negosiasi. Kata “negotiation” dalam bahasa inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu memiliki arti “berunding” atau “bermusyawarah”13. Menurut Joni Emiron secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif14. Sedangkan menurut Garry Goodpaster yang dimaksud dengan negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan bervariasi serta bernuansa sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Maka dapat dipahami bahwa musyawarah merupakan negosiasi yang mana lebih dikenal oleh banyak pihak15.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah,
13 Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Cetakan
keempat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Halaman. 171.
(11)
baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
Terdapat beberapa teknik negosiasi yang dikenal16: 1. Teknik Negosiasi Kompetitif
a. Diterapkan untuk negosiasi yang bersifat alot
b. Adanya pihak yang mengajukan permintan tinggi pada awal negosiasi c. Adanya pihak yang menjaga tuntutan tetap tinggi sepanjang proses d. Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas
e. Perunding lawan dianggap sebagai musuh
f. Adanya pihak yang menggunakan cara-cara berlebihan untuk menekan pihak lawan
g. Negosiator tidak memiliki data-data yang baik dan akurat 2. Teknik Negosiasi Kooperatif
a. Menganggap negoisator pihak lawan sebagai mitra, bukan sebagai musuh b. Para pihak menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama dan mau bekerja sama c. Tujuan negosiator adalah penyelesaian sengketa yang adil berdasarkan analisis
yang objektif dan atas fakta hukum yang jelas 3. Teknik Negosiasi Lunak
a. Menempatkan pentingnya hubungan timbal-balik antar pihak b. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan
c. Memberi konsesi untuk menjaga timbal-balik d. Mempercayai perunding
16Jimmy Joses Sembiring. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: negosiasi,
(12)
e. Mudah mengubah posisi
f. Mengalah untuk mencapai kesepakatan
g. Berisiko saat perunding lunak menghadapi seorang perunding keras, karena yang terjadi adalah pola “menang kalah” dan melahirkan kesepakatan yang bersifat semu
4. Teknik Negosiasi Keras
a. Negosiator lawan dipandang sebagai musuh b. Tujuannya adalah kemenangan
c. Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari hubungan baik d. Keras terhadap orang maupun masalah
e. Tidak percaya terhadap perunding lawan
f. Menuntut perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan (win-lose) g. Memperkuat posisi dan menerapkan tekanan
5. Teknik Negosiasi Interest Based
a. Sebagai jalan tengah atas pertentangan teknik keras dan lunak, karena teknik keras berpotensi menemui kebuntuan (dead lock), sedangkan teknik lunak berpotensi citra pecundang bagi pihak yang minor
b. Mempunyai empat komponen dasar yaitu people, interest, option/solution dan criteria (pioc)
- Komponen people dibagi menjadi tiga landasan 1.Pisahkan antara orang dan masalah
(13)
3.Para pihak menempatkan diri sebagai mitra kerja
- Komponen interest memfokuskan pada kepentingan mempertahankan posisi - Komponen option, bermaksud:
1.Memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memperbanyak pilihan-pilihan kesepakatan
2.Jangan terpaku pada satu jawaban
3.Menghindari pola pikir bahwa pemecahan masalah mereka adalah urusan mereka
- Komponen kriteria mencakup:
1.Kesepakatan kriteria, standar objektif, indepedensi 2.Bernilai pasar
3.Preseden
4.Scientific judgement atau penilaian ilmiah 5.Standar profesi
6.Bersandar pada hukum 7.Kebiasaan dalam masyarakat
Teknik negosiasi sebagaimana yang diuraikan dalam penerapannya sangat tergantung pada sifat dari individu yang melakukan negosiasi. Oleh karena itu seorang negosiator harus memiliki hal-hal sebagai berikut:
1. Kemampuan berkomunikasi yang baik 2. Supel
3. Keterampilan teknis yang baik 4. Memiliki rasa simpati yang tinggi
(14)
Musyawarah atau negosiasi dapat dikatakan sebagai pertempuran diantara masing-masing pihak sehingga diperlukan persiapan yang matang untuk menghadapi negosiasi tersebut, salah satunya dengan cara mendalami materi permasalahan.
Ada beberapa tahap dalam melaksanakan negosiasi agar hasil yang diharapkan dapat berhasil dengan baik. Adapun tahap-tahap negosiasi sebagai berikut:
a. Tahap persiapan
Sebelum mempersiapkan suatu perundingan, maka perlu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan sebelum mengenal kepentingan orang lain. Dalam praktek pelaksanaan negosiasi biasanya apa yang sudah dipersiapkan belum tentu dapat diterapkan langsung secara formal, sebab selalu ada masalah baru yang muncul ketika negosiasi dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dicari pokok persoalan apa yang cenderung timbul.
b. Tahap berlangsung negosiasi
Dalam tahap ini biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan dengan menetapkan persoalan dan permasalahan apa yang akan dinegosiasi secara terperinci dan sistematis sehingga tidak terjadi pendekatan yang melantur dari masalah yang sebenarnya. Langkah berikutnya adalah dengan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari argumentasi yang dikemukakan. Kedua belah pihak bisa mengungkapkan gagasan-gagasan baru untuk melihat respon yang muncul.
(15)
Setelah negosiasi dilaksanakan, para pihak yang diwakili oleh negosiator mengambil kesimpulan tentang hal-hal yang telah disepakati bersama.kesempatan tersebut sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani bersama.
2. Mediasi Perbankan
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui jalur perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus suatu putusan. Unsur-unsur esensial yang dapat dipahami didalam mediasi, yaitu17:
1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator
3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.
Mediasi perbankan berbeda dengan mediasi yang ada didalam persidangan. Mediasi didalam persidangan yang sesuai dengan PERMA, merupakan mediasi yang sudah masuk diwilayah peradilan namun perkara belum diperiksa oleh hakim dan mediator yang menangani mediasi tersebut adalah seorang hakim pula. Sedangkan mediasi perbankan merupakan mediasi yang belum masuk ke wilayah peradilan dan mediator nya bukan seorang hakim.
17Takdir Rahmadi. 2010. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: PT.
(16)
Dasar hukum mediasi perbankan adalah PBI No. 10/1/PBI/2008 tanggal 30 Januari 2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan. Dalam melaksanakan fungsi mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank. Dalam hal ini, pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan dengan cara memfasilitasi nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan sengketa secara mendasar agar tercapai kesepakatan.
Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk sementara waktu sampai saat pembentukan lembaga mediasi perbankan independen oleh asosiasi perbankan. Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia, sengketa keperdataan yang berpotensi menimbulkan kerugian materil bagi nasabah dengan tuntutan finansial paling banyak Rp. 500 juta, yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah dalam penyelesaian pengaduan nasabah, dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.
Pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.
(17)
2.1. Proses beracara Pada Mediasi Perbankan
Pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah, pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan bank secara lisan dan atau tertulis. Klarifikasi atau permintaan penjelasan dalam meminta informasi mengenai permasalahan yang diajukan dan upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh bank.
Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah dan bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan mediasi perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib menandatangani perjanjian mediasi.
Perjanjian mediasi memuat pernyataan kesepakatan nasabah dan bank untuk menggunakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi. Aturan mediasi memuat kondisi-kondisi yang terkait dengan proses mediasi, yang paling kurang dari hal-hal sebagai berikut18:
1. Nasabah dan bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan seluruh informasi penting yang terkait dengan pokok-pokok sengketa dalam pelaksanaan mediasi. 2. Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan proses mediasi
merupakan informasi yang bersifat rahasia dan tidak dapat disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain diluar pihak-pihak yang terlibat dalam proses mediasi yaitu pihak-pihak selain nasabah, bank, dan meditor
3. Mediator bersikap netral, tidak memihak dan berupaya membantu para pihak untuk menghasilkan kesepakatan
18 Badriyah Harun. 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
(18)
4. Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi adalah kesepakatan secara sukarela antara nasabah dengan bank dan bukan merupakan rekomendasi dan atau keputusan mediator
5. Nasabah dan bank tidak dapat meminta pendapat hukum maupun jasa konsultasi hukum kepada mediator
6. Nasabah dan bank dengan alasan apa pun tidak akan mengajukan tuntutan hukum terhadap mediator, pegawai maupun Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan, baik atas kerugian yang mungkin timbul karena pelaksanaan atau eksekusi akta kesepakatan, maupun oleh sebab-sebab lain yang terkait dengan pelaksanaan mediasi
7. Nasabah dan bank yang mengikuti proses mediasi berkehendak untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, nasabah dan bank bersedia:
a. Melakukan proses mediasi dengan itikad baik
b. Bersikap koperatif kepada mediator selama proses mediasi berlangsung c. Menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan tanggal dan tempat yang
telah disepakati
8. Dalam hal proses mediasi mengalami kebuntuan dalam upaya mencapai kesepakatan, baik untuk sebagian maupun keseluruhan pokok kesepakatan, maka nasabah dan bank menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan mediator, antara lain:
a. Menghadirkan pihak lain sebagai narasumber atau sebagai tenaga ahli untuk mendukung kelancaran mediasi atau
(19)
b. Menangguhkan proses mediasi sementara dengan tidak melampaui batas waktu proses mediasi atau
c. Menghentikan proses mediasi
9. Dalam hal nasabah dan atau bank melakukan upaya lanjutan penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase atau peradilan, nasabah dan bank sepakat untuk:
a. Tidak melibatkan mediator maupun Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan untuk memberi kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase ataupun peradilan dimaksud
b. Tidak meminta mediator maupun Bank Indonesia menyerahkan sebagian dan keseluruhan dokumen mediasi yang ditatausahakan Bank Indonesia, baik berupa catatan, laporan, risalah, laporan proses mediasi dan atau berkas lainnya yang terkait dengan proses mediasi.
10.Dalam hal nasabah dan bank berinisiatif untuk menghadirkan narasumber atau tenaga ahli tertentu, maka nasabah dan bank sepakat untuk menanggung biaya narasumber atau tenaga ahli dimaksud
11.Proses mediasi berakhir dalam hal: a. tercapainya kesepakatan
b. berakhirnya jangka waktu mediasi
c. terjadi kebuntuan yang mengakibatkan dihentikannya proses mediasi d. nasabah menyatakan mengundurkan diri dari proses mediasi
e. salah satu pihak tidak mentaati perjanjian mediasi
Proses mediasi dilaksanakan paling lama dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian mediasi sampai dengan
(20)
penandatanganan akta kesepakatan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 30 hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank yang dituangkan secara tertulis.
3. Arbitrase Syariah
Dalam perspektif islam, arbitrase dapat disepadankan dengan isitilah takhim. Takhim berasal dari kata takaham, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Ini merupakan suatu lembaga yang telah ada sejak zaman pra-islam dan pada masa itu pula apabila ada permasalahan yang muncul akan diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.
Hadirnya lembaga-lembaga keuangan yang menjalankan prinsip syariah, maka dianggap perlu untuk mendirikan suatu lembaga yang mana tujuannya sebagai media penyelesaian sengketa. Sejak didirkannya tahun 2003, BASYARNAS belum cukup dikenal. Terhitung hanya belasan sengketa yang diselesaikan.
Prosedur beracara dalam proses pemeriksaan sengketa di BASYARNAS ini telah ditetapkan oleh institusi tersebut yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme beracara di peradilan umum atau peradilan agama, sebagaimana diatur dalam HIR/RBg atau dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agam sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang no. 3 tahun 2006. Prosedur beracara BASYARNAS juga hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
(21)
Arbitrase syariah memiliki kewenagan untuk memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum, yaitu pendapat hukum yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan19.
Proses beracara dalam proses pemeriksaan sengketa di BASYARNAS ini telah ditetapkan oleh institusi tersebut yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme beracara di Pengadilan Umum ataupun di Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam HIR/RBg atau dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Prosedur beracara BASYARNAS juga hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Terdapat beberapa hal penting yang telah diatur dalam BASYARNAS sebagai prosedur beracara, diantaranya tentang yuridiksi atau kewenangan, yaitu:
a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain. Para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BASYARNAS sesuai peraturan prosesur yang berlaku
b. Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian permintaan para pihak. Kesepakatan klausula seperti itu dicantumkan dalam perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri setelah sengketa timbul.
19 Rachmad Usman. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung: PT. Citra
(22)
HIR Pasal 130 ayat 1 atau RBg Pasal 154 ayat 1 menyebutkan para piihak yang berpekara hadir pada persidangan pertama yang ditentukan, hakim diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian. Dan apabila berdamai maka akan dituangkan dalam perjanjian dibawah tangan antara pihak-pihak yang berpekara, berdasarkan hal itu hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum pihak-pihak yang berpekara tersebut untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang diamksud. Putusan yang diambil hakim tersebut telah membuat perkara itu berakhir dengan adanya perdamaian. Putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat dimintakan banding.
Prosedur pemeriksaan yang berlaku di BASYARNAS juga berlaku demikian. Arbiter akan mengusahakan perdamaian di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila upaya itu berhasil maka akan dibuat akta perdamaian. Namun jika tidak berhasil, arbiter akan melanjutkan proses pemeriksaan atas sengketa tersebut.
Pencabutan permohonan dan gugat balik (rekovensi) juga diatur dalam proses pemeriksaan sengketa di BASYARNAS. Demikian juga proses pembuktian, baik saksi-saksi maupun ahli. Namun perbedaan yang ada dalam BASYARNAS adalah pembuktiannya bersifat tertutup berbeda dengan di pengadilan yang bersifat terbuka. Proses pemeriksaan dalam hal pembuktian, di BASYARNAS lebih ditekankan pada saksi dan ahli saja. Hira-hira dalam BASYARNAS juga berbeda dengan pengadilan umum atau abiter, yaitu dengan menggunakan kalimat “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”.
Berikut prosedur beracara dalam BASYARNAS: a. Pendaftaran
1. Sebelum sengketa, dengan mencantumkan “Arbitrase Clause” atau perjanjian arbitrase yang terpisah dari perjanjian pokok
(23)
2. Setelah sengketa b. Prosedur penyelesaian
1. Pendaftaran surat permohonan arbitrase yang memuat nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak, uraian singkat tentang sengketa dan tuntutan
2. Dengan melampirkan perjanjian khusus yang menyerahkan penyelesaian sengketa kepada basyarnas atau perjanjian pokok yang memuat arbitration clause
3. Penetapan/penunjukan arbiter (tunggal/majelis)
4. Penawaran perdamaian yang apabila diterima maka arbiter membuat akta perdamaian dan apabila tidak diterima maka dilanjutkan dengan pemeriksaan 5. Pemeriksaan sengketa
6. Putusan arbitrase c. Eksekusi putusan arbitrase
1. Putusan yang sudah ditandatangani arbiter bersifat final
2. Salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama
3. Bilamana putusan tidak dilaksanakan secara sukarela maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan tingkat pertama.
(24)
BAB IV
PERAN ARBITRASE SYARIAH DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
A. Sejarah Badan Arbitrase Syariah di Indonesia
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 199320. BAMUI yang pada saat ini dikenal dengan BASYARNAS merupakan bentuk Badan Arbitrase Institusional. Arbitrase Institusional (institutional arbitration) lembaga atau badan arbitrse yang bersifat permanen21. Badan arbitrase ini sengaja didirikan untuk menyelesaikan dan menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H.
(25)
Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.
Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.22
Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.
22Loc.Cit. Halaman 121.
(26)
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan belum diatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
(27)
terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.
B. Kedudukan Badan Arbitrase Syariah dari Segi Tata Hukum Indonesia
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 Ayat 1 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Negara. Namun demikian didalam Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang tersebut disebutkan antara lain:
(28)
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan”
Dasar hukum Arbitrase disaat pertama kali muncul yaitu adalah Pasal 377 HIR “jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”. Kemudian pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemeen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbarui dan Pasal 705 Reglemen Acara Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227)
BASYARNAS tidak dapat dihelakkan kepada sejarah Badan Arbitrase sebelumnya karena itu merupakan cikal bakal dasar hukum BASYARNAS dapat muncul di Indonesia. Secara khusus badan Arbitrase diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81, undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan Undang-Undang 30 Tahun 1999.
(29)
BASYARNAS merupakan badan arbitrase independen yang secara khusus dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi syariah di luar pengadilan. Kedudukan BASYARNAS adalah sama dengan badan arbitrase institusional nasional lainnya seperti BANI dan BAPMI. Badan ini dibentuk secara permanen yang ditujukan demi kepentingan bangsa atau negara dan ruang lingkupnya hanya sebatas kawasan negara indonesia saja.
C. Putusan Badan Arbitrase Syariah
Arbitrase atau majelis arbitrse syariah dalam memutuskan sengketa tidak hanya berdasarkan pada argumen-argumen dan fakta-fakat yang diajukan oleh para pihak, tetapi juga berdasarkan pendapat saksi dan saksi ahli. Selain itu, arbiter atau majelis arbitrase dapat melakukan pemeriksaan setempat atas sesuatu yang dipersengketakan oleh para pihak. Apabila arbiter atau majelis arbitrase menganggap para pihak diperlukan kehadirannya pada saat dilakukan pemeriksaan, para pihak akan dipanggil secara sah untuk hadir pada pemeriksaan tersebut.
Mengenai putusan yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase dapat berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Pada penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diterangkan:
1.Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukann bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa kepatuhan
2.Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat
(30)
dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter
3.Dalam hal arbiter tidak diberi kewenagan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan bedasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Putusan dari lembaga Arbitrase Syariah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bersifat final sehingga secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang bersengketa untuk mengajukan banding ataupun upaya hukum lainnya. Mengenai hal-hal yang dimuat dalam putusan arbitrase Syariah adalah sebagai berikut:
1. Kepala putusan yang berbunyi “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”.
2. Nama Lengkap dan alamat para pihak
3. Uraian singkat sengketa
4. Pendirian para pihak
5. Nama lengkap dan alamat arbiter
6. Perimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa
7. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase
8. Amar putusan
(31)
10.Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
Hal terpenting dari putusan arbitrase adalah adanya tanda tangan abiter atau majelis arbitrase. Dengan adannya tanda tangan ini, putusan menjadi sah dan dapat dijalankan. Apabila dalam suatu putusan arbitrase tidak terdapat tanda tangan dari arbiter atau majelis arbitrase, alasan tidak ditandatangani putusan harus dicantumkan dalam putusan tersebut.
Putusan BASYARNAS yang sudah ditandatangani arbiter tunggal atau majelis langsung bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum banding atau kasasi seperti lazimnya di pengadilan. Ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak apabila tidak menyetujui dengan putusan tersebut dengan hal permintaan pembatalan putusan secara tertulis dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
a. Penunjukan arbiter tunggal atau majelis tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan prosedur BASYARNAS
b. Putusan melampaui kewenangan BASYARNAS c. Putusan melebihi apa yang diminta oleh para pihak
d. Terdapat penyelewengan diantara salah satu anggota arbiter
e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosedur BASYARNAS
f. Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.
Terhadap putusan arbitrase syariah yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase
(32)
sendiri tidak punya kewenangan untuk menjalankan atau mengeksekusi putusannya sendiri.
Sesuai ketentuan Pasal 61 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah, maka putusan Arbitrase Syariah akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Ada satu hal apabila dicermati akan menimbulkan kesimpang siuran dalam peraturan yang ada mengenai pelaksanaan putusan arbitrase ini. Pelaksanaan putusan arbitrase membutuhakan pengadilan agar putusan arbitrase dapat dieksekusi dan pada umumnya pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali putusan arbitrase. Hal ini bertentangan dengan diterbitkannya SEMA No. 8 Tahun 2008, yang pada angka 4 menyebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan yang berwenang atas permohonan salha satu pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dikatakan bahwa Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, ketua pengadilan agama yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan badan arbitrase syari’ah.
Dengan adanya peraturan yang bertentangan tersebut, maka Mahkamah Agung pada Tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan angka 4 SEMA No.8 Tahun 2008 tidak berlaku lagi sehingga tidak perlu khawatir untuk menyelesaikan sengketa melalui BASYARNAS.
(33)
Selanjutnya dalam melaksanakan eksekusi terhadap putusan Arbitrase Syariah tersebut, pengadilan agama selain harus memedomani ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara teknis juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam SEMA No. 8 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase syariah oleh pengadilan agama. Aturan yang menurut SEMA yang harus diikuti oleh ketua pengadilan agama adalah:
1. Putusan arbitrase Syariah baru dapat dilaksanakan apabila ketentuan dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 telah dipenuhi, yaitu:
a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagaimana arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Agama. d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
(34)
2. Perintah melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon dalam Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah.
3. Ketua Pengadilan Agama sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah:
a.Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak
b.Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-udangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa
c.Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak bertentangan dengan prinsip Syariah d.Dihapuskan sesuai dengan SEMA No. 8 tahun 2010
e.Perintah ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan autentik putusan Badan Arbitrase Syariah yang dikeluarkan
f. Putusan badan Arbitrase Syariah yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(35)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan1. Pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia pada saat ini telah memiliki kejelasan. Tidak ada lagi keraguan bagi para pihak ketika terjadi sengketa pada mereka. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan titik terang atas penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di luar pengadilan melalui Badan Arbitrase Syariah.Kemudian Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun Peradilan Agama ditujukan untuk penyelesaian sengketa di dalam peradilan khususnya Peradilan Agama. Peraturan ini juga memperjelas atas bagaimana pengeksekusian atas putusan badan arbitrase. Dengan itu jelaslah bahwa Peradilan Agama yang memiliki wewenang sebagai eksekutor. Kemudian Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara khusus mengatur mengenai Perbankan Syariah dan mengenai penyelesaian sengketa. Di dalam peraturan ini terdapat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non-litigasi; musyawarah/negosiasi, mediasi dan pengadilan negeri.
2. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak jauh berbeda dari bentuk acara yang dipergunakan lembaga-lembaga sebelumnya. Hukum acara yanng dipergunakan di pengadilan agama tetap menggunakan hukum acara perdata umumnya demikian juga dengan pengadilan negeri. Di jalur non-litigasi, musyawarah/negosiasi proses yang dipergunakan tetap sama. Proses mediasi sedikit berbeda dengan mediasi lainnya. Proses ini disebut mediasi perbankan yang pengaturannya melalui Peraturan Bank Indonesia dimana Bank Indonesia sebagai
(36)
mediatornya. Dalam bentuk arbitrase, Badan Arbitrase Syariah lah yang dipergunakan.
3. Badan Arbitrase Syariah merupakan perubahan dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia. Badan ini merupakan badan permanen yang secara institusional dibentuk secara khusus menangani perkara ekonomi syariah di luar persidangan. Putusan yang dikeluarkan oleh Badan ini hanya dapat di lanjutkan pengeksekusiannya melalui ketua pengadilan agama.
B. Saran
1. Pilihan setiap orang untuk menyelesaikan perkara atas sengketa yang ada adalah kebebasan setiap orang diawal perjanjian yang dibuatnya. Pilihan melalui jalur pengadilan ataupun diluar pengadilan sudah ada di peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Sudah selayaknya apabila terjadi sengketa yang ada maka penyelesainnya di selesaikan melalui syariah, hal ini ditujukan terhadap penyelesaian di Pengadilan Negeri. Walaupun ini adalah pilihan, bukan suatu kewajiban, para pihak sebaiknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada.
2. Jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Selain proses yang cepat, para pihak dapat mengambil keputusan yang memang sebaik-baiknya bagi mereka. Dari segi biaya, jalur non-litigasi juga lebih murah dibanding jalur litigasi yang akan memakan biaya lebih besar.
(37)
3. Ketakutan akan tidak dapatnya dijalankan putusan yang dibuat oleh badan arbitrase kini sudah terjawab. Ketua pengadilan agama adalah yang berwenang untuk menjalankannya. Udang-undang No. 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan bahkan memberikan putusan atas sengkera ekonomi syariah. Maka kerja sama antara BASYARNAS dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakkan hukum sesuai yang diinginkan.
(38)
BAB II
PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan yang saat ini banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun internasional. Hal ini karena melalui lembaga arbitrase, sebuah sengketa bisnis dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif cepat dengan prosedur sederhana.
Arbitrase sudah ada sejak zaman Belanda yang dilandaskan pada ketentuan Pasal 377 HIR/Pasall 705 RBg dan Pasal 615-651 Reglement de BurgerlijkeRechtsvordering (Rv). Peraturan ini mengatur penyelsaian sengketa atau beda pendapat antara pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau voorwaardelijke verbintes. Perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan Pasal 1253-1267 KUHPerdata11. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau perbedaan yang terjadi antara pihak yang berjanji.
(39)
Perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan terhadap masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian tidak diajukan oleh sebuah badan peradilan resmi, tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut “wasit” atau “arbitrase”.
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase direalisasikan dalam bentuk pemberian pendapat hukum yang mengikat dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai sesuatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Para pihak adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah sengketa terjadi. Lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa, disambut sangat baik oleh banyak pihak khususnya dikalangan pe bisnis. Walaupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, namun ini dianggap hanya dikhususkan pada perdata yang bidangnya pada perdagangan, bidang industri dan keuangan. Oleh karena itu dianggap perlu untuk membentuk peraturan baru yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase yang sifatnya lebih luas.
(40)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai dasar dimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dapat muncul. Melalui undang-undang ini pula hingga saat ini, Arbitrase Syariah mengalami perubahan yang menuju perbaikan dimana awalnya bernamakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
B. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Ekonomi syariah pada saat ini tidak hanya dikenal di negara-negara Islam namun juga di negara-negara non-Islam. Suatu perkembangan yang cukup luar biasa bahwa ekonomi syariah khususnya perbankan syariah dapat diterima dengan baik di dunia barat bahkan menjadi kajian khusus bagaimana perkembangannya di kemudian hari.
Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana penyelesaian sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara syariah, di saat itu hanya dikenal dengan nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Lembaga ini dibentuk oleh MUI dengan dasar hukumnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika BAMUI yang kini menjadi BASYARNAS mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan eksekusi karena tidak memiliki kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada lembaga arbitrase inilah
(41)
maka diterbitkan Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai lembaga yang dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah Nasional.
Berlandaskan Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tersebut, Peradilan Agama telah memiliki suatu kompetensi baru khususnya dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah. Penjelasan huruf (i) pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. Bank syariah
b. Lembaga keuangan makro syariah c. Asuransi syariah
d. Reasuransi syariah
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah f. Sekuritas syariah
g. Pembiayaan syariah h. Pegadaian syariah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan j. Bisnis syariah
Dengan demikian tidak ada lagi kesulitan atau kebingungan ketika ada pihak yang merasa dirugikan atas tindakan pihak yang kalah untuk tidak melaksanakan putusan
(42)
arbitrase secara sukarela. Pihak tersebut dapat membuat permohonan secara langsung kepada ketua pengadilan agama.
Peradilan Agama sesuai dengan peraturan yang baru, memiliki kewenangan absolut di lingkungan peradilan di bidang hukum perdata saja. Cakupan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama juga mampu menjangkau dengan pihak yang non-Islam. Transaksi yang menjadi mitra usaha di perbankan syariah tidak hanya pihak yang beragama islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Salah satu kelebihan dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah adanya satu asas penting yang baru diberlakukan. Asas ini terdapat dalam Pasal 49 undang-undang tersebut yang dalam penjelasannya “yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam”: adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa pihak-pihak yang dibenarkan berperkara di peradilan agama tidak hanya terbatas pada mereka yang beragama Islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Yang harus diingat peradilan Agama hanya tidak menjangkau atas klausula arbitrase. Disaat para pihak melakukan perjanjian disertai dengan klausula arbitrase, maka pengadilan agama tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut apa lagi hingga mengeluarkan putusan.
C. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Implikasi berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah terbukanya beberapa cara penyelesaian sengketa baik didalam pengadilan
(43)
ataupun di luar pengadilan yang diberikan kepada pihak yang bersengketa. Pada Pasal 55 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, penyelesaian sengekta dapat dilakukan melalui jalur non-litigasi/di luar pengadilan. Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah.
Undang-undang ini juga memberi ruang kepada Pengadilan Negeri menangani kasus syariah. Dapat dipahami bahwa perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah sudah ditangani oleh pengadilan agama yang secara substansial sangat kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum syariah, sedangkan pengadilan negeri yang memiliki basis hukum positif yang secara keseluruhan hukumnya berdasarkan hukum dari belanda sangat bertentangan dengan hukum agama islam.
Peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif didalam masyarakat yang dinamis dan kompleks akan menciptakan keadaan lebih stabil. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah cukup baik yang secara khusus mengatur sistematika perbankan syariah di Indonesia. Sejak lahirnya sistem perbankan syariah di Indonesia, sangat sulit dirasakan apabila pengaturannya tidak memiliki kejelasan apalagi bila terjadi sengketa, lembaga mana yang akan menyelesaikannya.
Pertumbuhan sistem ekonomi syariah di Indonesia mengalami peningkatan sejak lahirnya undang-undang mengenai perbankan syariah ini. Penyelesaian secara musyawarah dimana para pihak dapat berhadapan secara langsung dengan melakukan pembicaraan dua arah mencari jalan keluar yang terbaik. Kemudian jalan yang dapat diambil adalah melalui mediasi perbankan dimana para pihak akan di hadapakan dengan seorang mediator yang menjadi penengah. Berikutnya para pihak dapat menyelesaiakn melalui Badan Arbitrase Syariah dimana seorang arbiter akan mengambil keputusan yang
(44)
putusannya tidak dapat dibanding atau ditolak terkecuali yang diatur dalam undang-undang. Alternatif lain yang dapat diambil oleh para pihak adalah melalui peradilan negeri yang adalah sebuah pilihan, bukan merupakan suatu keharusan.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mengarahkan para pihak menyelesaikan sengketa yang ada melalui di luar persidangan. Hal ini dianggap karena penyelesaian di luar persidangan dapat diambil keputusan yang tidak merugikan ke dua belah pihak dan juga prosesnya tidak terlalu lama.
(45)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia disebabkan kemajuannya yang ada di negara-negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam, perbankan syariah mendapat respon yang baik dalam masyarakat. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diterapkan, di antaranya adalah Baitul Tamwil-Salman di Bandung dan di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti1.
Pada tahun 1990 para ulama, cendikiawan muslim dan praktisi perbankan menyusun suatu program untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah (BPR Syariah). Pada akhirnya didirikanlah Bank yang pertama kali menggunakan prinsip syariah dalam bentuk BPR yakni BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera dan BPR Amanah Rabaniah2. ketiga BPR tersebut mendapat izin Menteri Keuangan pada tanggal 8 Oktober 1990 namun mulai beroprasi pada tahun 1991. Setahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum mulai beroprasi.3
Keunggulan perbankan syariah telah terbukti, kemampuannya bertahan dalam krisis global pada tahun 2008-2009 menunjukan bahwa sistem perbankan syariah memang layak dan pantas dijadikan alternatif sebagai bank yang membantu perekonomian bangsa.
1 Muhammad Syafi’i Antonio. 2009. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, cetakan keempat belas.
Jakarta: Tzkia Cendekia. Halaman 25
2 Cik Basir. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: di Pengadilan Agama & Mahkamah
Syariah. Jakarta: Prenada Media group. Halaman 32
(46)
Terbukti penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 33,3% pada Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.40,2 triliun4.
Sistem syariah masih tergolong baru di Indonesia dan pengaturannya tidak terlalu sempurna. Namun itu tidak menjadi alasan ketidaksempurnaan suatu undang-undang yang dikarenakan objek pengaturannya masih baru atau lama, karena yang menjadi pokok utamanya adalah kepastian hukum. Sebagai lembaga yang menjalankan sistem syariah, bank dalam setiap operasionalnya, apapun yang muncul dalam setiap permasalahnnya harus diselesaikan secara syariah. Diresmikan pada tanggal 23 Oktober 1993 Badan Arbitrase Syariah Muamalah Indonesia atau disingkat BAMUI, siap untuk menangani semua permasalahan yang berhubungan dengan syariah. Kemudian pada tahun 2002 dalam rakernas MUI, BAMUI berganti nama menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah5.
Faktanya Lembaga Arbitrase yang dibentuk tidak dapat mengakomodir semua permasalahan yang ada, oleh karena itu dibutuhkan sebuah Lembaga Peradilan yang mampu menutupi kelemahan lembaga sebelumnya dan memberikan alternatif dalam penyelesaian sengketa syariah khususnya dalam pebankan syariah. Maka kepastian akan undang-undang yang sebagai landasan hukumnya harus diterbitkan.
4Perbankan Syariah: Lebih tahan krisis global.
www.bi.go.id/.../Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf”. Diakses pada tanggal 15 Mei 2011.
5
(47)
Pada tahun 2006 diterbitkanlah sebuah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan ligitimasi kepada Pengadilan Agama untuk menangani sengketa syariah. Terbitnya Undang-Uundang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah juga semakin memperjelas wewenang Peradilan Agama dalam fungsinya dan memberikan secara khusus terhadap penyelesaian sengketa atas permasalahan yang berhubungan dengan syariah. Didalam undang-undang ini juga memberikan penjelasan mengenai penyelesaian sengketa yang tidak hanya dapat diselesaikan melalui peradilan saja namun dapat melalui non peradilan, musyawarah, Mediasi Perbankan, Lembaga Arbitrase atau Lembaga Arbitrase lainnya. Semua tergantung pada akad atau perjanjian yang telah disepakati antara pihak bank dan nasabah.
Berdasarkan pemaparan diatas maka skripsi ini berjudul PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERBANKAN SYARIAH MENURUT UU. NO.21 TAHUN 2008, untuk melihat lebih jauh bagaimana penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan perbankan syariah diselesaikan melalui lembaga peradilan maupun non lembaga peradilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah? 2. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah?
3. Bagaimana kedudukan arbitrase syariah sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah?
(48)
C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam perbankan syariah. Secara umum akan diteliti bagaimana langkah-langkah yang akan ditempuh oleh pihak kreditur yaitu Bank dalam penyelesaian sengketa terhadap debitur. Dengan mengetahui prosedur penyelesaian sengketa yang ada, maka akan memberikan gambaran yang jelas bahwa perbankan syariah juga memiliki suatu lembaga tersendiri yang diberi legitimasi oleh pemerintah dalam melakukan proses peradilan secara independen.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini mengangkat bagaimana lembaga-lembaga yang diberikan oleh undang-undaang untuk menyelesaikan sengketa di Perbankan Syariah, dan juga bagaimana penyelesaian sengketa yang ada dapat diselesaikan secara non litigasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengetahuan yang besar bagi penulis sendiri bagaimana penyelesaian sengketa di perbankan syariah.
2. Memberikan kontribusi terhadap masyarakat untuk dapat mengetahui bagaimana langkah-langkah yang harus diambil ketika menghadapi sengketa di perbankan syariah.
3. Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khusus nya dalam perbankan dan juga memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti; praktisi hukum, praktisi perbankan, dan juga mahasiswa diharapkan memberikan manfaat yang cukup luas.
(49)
E. Keaslian Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini diperoleh berdasarkan dari berbagai literature baik dari media cetak maupun dari media elektronik, ditambah dengan pemikiran dari penulis sendiri sehingga keaslian penulisan karya ilmiah ini dapat dipertanggung jawabkan. Data-data yang penulis dapatkan juga berasal dari pendapat-pendapat para ahli sehingga isi dari karya ilmiah ini juga dapat dipertanggung jawabkan secara teoritis.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Perbankan Syariah
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank: mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah atau hukum islam. Pada saat ini perkembangan bank syariah di Indonesia cukup pesat, apalagi peran bank-bank cukup signifikan.
Pada awalnya penerapan system perbankan syariah dimaksudkan untuk menciptakan suatu kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek kehidupannya, termasuk aspek ekonomi dengan berlandaskan pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Diluar perkiraan sistem ini mengalami perkembangan dan menjadi objek kajian dan penelitian oleh kalangan barat. Terhitung sampai saat ini, banyak bank-bank yang awalnya berkembang dalam sistem konvensional, ternyata tertarik untuk menggunakan sistem syariah. Bank Sumut Syariah, Bank Mandiri Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank BRI Syariah, semuanya telah menerapkan sistem syariah. Sistem syariah ini juga telah mampu berinteraksi dengan sistem perekonomian dunia dan kenyataan
(50)
yang ada sekarang, sistem perbankan syariah tidak hanya dimiliki dan diklaim sebagai milik negara-negara Islam namun milik masyarakat dunia.
a. Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah
Kegiatan usaha bank umum syariah meliputi6:
1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
6. Melakukan pengambil alihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
(51)
7. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
8. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
9. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau bank indonesia;
10.Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;
11.Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip syariah;
12.Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
13.Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah;
14.Melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah;
15.Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah;
16.Dan melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(52)
17.Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
18.Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
19.Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
20.Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
21.Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
22.Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
23.Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
24.Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
25. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Kedudukan Perbankan Syariah
(53)
Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan7. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah, namun hanya menyebutkan “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan Peraturan Pemerintah”. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan bank umum, yaitu bank konvensional.
Pasal 13 huruf c Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan juga menyatakan salah satu usaha bank perkreditan rakyat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah. Pada tanggal 30 Oktober 1992 pemerintah mengeluarkan PP No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 tersebut menyatakan:
1. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
2. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
7
Adrian Sutedi. 2009. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Halaman 25.
(54)
Dalam menjalankan perannya, bank syariah berlandaskan UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992 yang dijabarkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993, yang menetapkan beberapa hal, yaitu:
1. Bahwa bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan 2. Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan
syariah
3. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil, wajib memiliki dewan pengawas syariah 4. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan kepada prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pada tahun 1998, dibuatlah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mana didalam Undang-Undang tesebut mengakui keberadaan bank yang beroprasi berdasarkan prinsip syariah dalam system prebankan nasional. Dalam Pasal 1 ayat (3) dan (4) UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa:
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
(55)
Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK direksi BI dan peraturan BI telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
b. Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Agar tercapainya tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat. Namun masyarakat saja dianggap kurang cukup karena setiap peran aktif itu tidak dapat didukung dengan namanya suatu legitimasi yang jelas.
Pengembangan sistem perbankan syariah tidak akan dapat maju berkembang dengan pesat tanpa adanya aturan yang jelas. Peng-khususan aturan perbankan syariah sangat dibutuhkan karena demi memperjelas bagaimana bank syariah tersebut beroprasi. Lahrinya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah seakan memberi angin segar terhadap pengembang perbankan yang merapkan sistem syariah.
Pengakuan pemerintah terhadap bank-bank syariah akan dapat mempermudah pertumbuhan bank-bank syariah. Pasca terbitnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan dampak yang sangat positif seperti pelayanan yang baik dalam menghimpun dana masyarkat, kemampuan bank-bank syariah dalam menjangkau nasabahnya dan juga tingkat kepercayaan masyrakat yang cukup tinggi untuk menyimpan dana ke Bank Syariah maupun ke BPR syariah.
Didalam undang-undang tersebut juga menjelaskan bagaimana susunan dewan komisaris dan direksinya dan juga kalah tidak penting, dalam perbankan syariah mengenal juga dewan pengawas syariah. Dalam Undang-Undang ini juga memberikan
(56)
kesempatan kepada bank syariah untuk mempergunakan tenaga kerja asing yang tujuannya untuk membantu jalannya pengembangan bank itu sendiri.
3. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga.
Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju8. Membengkaknya kewajiban nasabah kepada bank akan berdampak buruk kepada bank itu sendiri, dan inilah yang akan mengakibatkan terjadinya kredit macet. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah, dana yang dikelola dalam bentuk jual beli dan kemitraan.
Tabel 1. Perbedaan antara sistem bagi hasil dengan sistem bunga
No Bagi hasil Bunga
1 Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
2 Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh
Besarnya persentase berdasarkan besarnya jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
8
(1)
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERBANKAN SYARIAH
MENURUT UU. NO.21 TAHUN 2008
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
RINI RAHAYU
NIM: 070200040
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Windha,SH.M.Hum Nip.197501122005012002
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr.Bismar Nasution SH.MH Dr.T.KeizerinaD.A.SH.CN.M.Hum Nip.19560329 198601 1 001 Nip.19700201 200212 2 001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2008
RINI RAHAYU ABSTRAK
Penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan proses dimana pihak yang bersengketa berupaya mencari jalan keluar atas sengketa yang ada. Penyelesaian tersebut dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa secara mutlak tanpa ada intervensi baik. Undang-undang telah memberi kejelasan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah baik melalui lembaga pengadilan atau melalui lembaga non pengadilan.
Rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah, bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, bagaimanakedudukan arbitrase syariah sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang mengacu pada penelitian yuridis normatif. Sumber data sekunder yang diperoleh melalui kepustakaan. Data penelitian berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah melalui penulusuran studi dokumen (library research).
Hasil tulisan yang diperoleh menyatakan bahwa pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah diawali dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kemudian dilanjutkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan yang terakhir adalah melalui Undang-Undang No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Arbitrase adalah merupakan lembaga yang pertama kali menangani kasus perbankan syariah karena di saat itu kewenangan Peradilan Agama belum ada. Musyawarah, Negosiasi hingga mediasi perbankan adalah jalur yang sangat diutamakan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, karena melihat jalur non litigasi adalah jalur yang sangat menguntungkan dari pada jalur litigasi.
(3)
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.
Skripsi ini berjudul: “PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERBANKAN SYARIAH MENURUT UU. NO.21 TAHUN 2008”
Selama proses hingga selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari berbagai pihak yang turut andil dalam menyukseskannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, ingin disampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Kedua orang tua saya yang tercinta Muchlis, Een tambusay dan Abang tercinta
M.Iqbal, juga adik-adik tersayang Ellisa,Chindy dan Nazwa atas segala doa, semangat dan perhatiannya yang tiada hentinya kepada saya.
Bapak Prof. DR. Bismar Nasution sebagai Dosen Pembimbing I , Ibu DR. T. Keizerina D.A.SH.CN.M.Hum selaku pebimbing II dan Bapak Arif.SH.MH
selaku dosen wali atas bimbingan, dukungan dan semangat yang sangat berarti dan selalu memberikan motivasi dari awal hingga akhir.
Ibu Windha,SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Bapak
Ramli Siregar,SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi.
(4)
Kekasih hati tecinta Amie Azris yang telah banyak memberikan dukungan,perhatian,semangat dan meluangkan waktu, ,serta sahabat-sahabat terdekat Ts3,Tenia,Puji,Angga,Hendrik,Roby,Gifari yang telah memberikan semangat dan kebersamaan suka dan duka.
Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datan
Medan, Agustus 2011 Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Peneltian ... 4
E. Keaslian Penelitian ... 5
F. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Perbankan Syariah ... 5
2. Kedudukan Perbankan Syariah ... 9
3. Perbedaan Bank Syairah dengan Bank Konvensional ... 13
G. Metode Penelitian ... 16
H. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERBANKAN SYARIAH ... 20
A. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 20
B. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ... 22
C. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ... 25
BAB III MEKANISME PENYELESAIAN PERBANKAN SYARIAH ... 27
A. Melalui Jalur Litigasi ... 27
(6)
B. Melalui Jalur Non Litigasi... 34
BAB IV PERAN ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH ... 50
A. Seajarah Badan Arbitrase di Indonesia ... 50
B. Kedudukan Badan Arbitrase Syariah dari Segi Tata Hukum Indonesia ... 54
C. Putusan Badan Arbitrase Syariah ... 56
BAB V PENUTUP... 63
A.Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 64