PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008

(1)

ABSTRACT

The solving of the dispute of syariah bangking based on act no. 21 year 208

Oleh Elsa Gustia Irana

The issue related to the religion court authority in syariah bank field is concerning in procuderal law and case procedural solution in religion court. Wich procedural law will be applied in

solving of syariah bangking dispute in religion court. The issue in this research is the cause of the dispute that occurs in syariah bank. The solving process of syariah bank dispute based on act No. 21 year 2008 and the obstacle in solving it.

This research used juridical normativie approach, that analyzed the secondary data from secondary law materials by understand the law as the positive norms in legislation which relates to the issue of this research.

The research result that the cause of syariah bank dispute are : (i) non performing loans. (II) lack of society knowledge (III) lack of syariah bank concern towards customers complaints and (IV) placing cutomers as the weak parties. Further, the solving of this problem used 2 methods, which are : litigation and non-litigation. The obstacle factors in solving the dispute of syariah bangking are : the incomplete of supporting institution, the effectivity and the efficiency. Religious court bangking needs the regulational system which is suitable to its operational charaeteristics and Indonesian people legal culture which have not understood about the existence of religious court as the substantion which is able to solve the dispute syariah bangking eventually, it is suggested that although there are some methods are able to be applied in solving the dispute in syariah bangking. No wever it should be obey the rules and regulation. Further more, non ligitation method is the best method that is able to be applied in solving this problem. The last but not least, there should be a good cooperation between basyarnas and religion court in order to achieve the appropriate law enforcement.


(2)

i ABSTRAK

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG - UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008 Oleh

Elsa Gustia Irana

Permasalahan yang terkait dengan kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah adalah mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah, proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian bahwa penyebab timbulnya sengketa perbankan syariah adalah (i) terjadinya kredit macet, (ii) minimnya edukasi masyarakat, (iii) kurangnya perhatian dari perbankan syariah terhadap pengaduan masalah yang mereka alami dan (iv) nasabah selalu diposisikan sebagai pihak yang lemah. Selanjutnya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan melalui dua jalur yaitu: litigasi dan non litigasi. Faktor penghambat penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu: struktur atau aparat dalam hal ini institusi pendukung yang belum lengkap, efektif dan efisiensi, substansi dalam hal ini perbankan Peradilan Agama membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya, dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih belum memahami keberadaan Peradilan Agama sebagai penyelesaian sengketa perbankan syariah..

Pada akhirnya disarankan penyelesaian sengketa perbankan syariah walaupun ada beberapa jalur yang bisa dipakai namun hendaknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada. Selanjutnya jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Dan yang terakhir yaitu kerja sama antara Basyarnas dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakkan hukum sesuai yang diinginkan.


(3)

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008

TESIS

Oleh

ELSA GUSTIA IRANA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008

Oleh

Elsa Gustia Irana

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER HUKUM

Pada

Prigram Pascasarjana Program Studi Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008” dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.

3. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S. selaku Pembimbing Utama dan Ibu Dra. Nunung Rodliyah, M.A. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi serta petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. Wagianto, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. dan Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. selaku Penguji atas kritik dan saran yang sangat berarti selama penulisan tesis ini.

6. Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu selama perkuliahan hingga penyelesaian tesis.

7. Papi dan Mami atas semua do’a, usaha dan pengorbanannya untuk keberhasilanku.

8. Suamiku tercinta Briptu Zefrie Hidayat, S.I.P., M.H. yang selalu setia mendampingi dalam kondisi apapun dan selalu memberikan semangat, do’a dan dukungan kepada penulis dalam meniti karier.


(6)

9. Kakak dan Adikku, serta Keluarga Besarku yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010/2011 Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian tesis ini.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 23 Desember 2014 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Hlm

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan Penelìtìan dan KegunaanPenelitian ... 11

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Prinsip Ekonomi Syariah ... 20

B. Hukum Perbankan Syariah ... 27

C. Akad Dalam Ekonomi Syariah ... 35

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 49

B. Spesifikasi Penelitian ... 49

C. Sumber Data ... 49

D. Pengumpulan Data ... 51

E. Analisis Data ... 51

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyebab Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah ... 52

B. Proses Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 ... 61


(8)

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 97 B. Saran ... 98


(9)

----.----.T

1. Tim Penguji

Ketua Tim Penguji

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

MENGESAIIKAN

Dr. Muhammad Fakih, S.H.,

Dr. Nunung Rodliyah, M.A.

Dr. Hamzah, S.H., M.H.

Dr. Wagianto, S.H., M.H.

fr{r,"^l;

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.

Itas Hukum

1 r09 198703

I

003

4.

Tanggal Lulus Ujian : 23 Desember 2014

W

r Program Pascasarjana

. Sudjarwo, M.S. 30528198103 1002


(10)

Judul Tesis

Nama

No. Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi Fakultas

PENYELESAIAN SENGKETA PERBAI\KAN SYARIAH MENURUT UNDANG.UFIDANG

NOMOR 21 TAHUN 2OO8

Elsa Gustia

Irana

T02201tArc

Hukum Bisnis

Program Pascasarjana Magister Hukum Hukum

MBNYETUJUI

Dosen Pembimbing

Ilr.

Nun

NIP

1960

MENGETAI{UI

uhannmad Fakih, S.H., M.S.

9641218 1e8803 I 002


(11)

LEMBAR PERNYA'T'AAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebanarnya balwa:

1.

Tesis dengan judul '?enyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut

Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008"

adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan carayang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Uniyersitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Elsa Gustia Irana


(12)

i

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Kupersembahkan karyaku ini kepada keluarga besarku terutama Suami ku tercinta Briptu. Zefrie Hidayat, S.ip , M.H, Ibuku tersayang Hj. Dra Tina Melinda, MM. Mertuaku Zulkarnain dah Hudayah, Spd mereka yang senantiasa memberikan doa yang tulus atas keberhasilanku dalam

menempuh Ilmu sebagai mahasiswi Magister Hukum Universitas Lampung Adik dan Kakakku Taufan Aditya Irana, S.STP, Zessy Oktaviana, S.Pd, Ayuk ku Zelda Nora Aprisa, Amd.kep dan kakak Ipar Ku Cheris SH, MH yang selalu support buat menyelesaikan tesis ini semoga dengan

terselesaikannya tesis ini dapat membuat kalian bangga terimakasih buat keluarga besarku.


(13)

i

MOTO

Jika di antara orang-orang beriman terjadi perselisihan /

bertengkar/bersengketa, maka damaikanlah mereka,

sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil.


(14)

i

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1986 di Bandar Lampung yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara buah hati pasangan Bapak Bambang Irana, S.E. dan Ibu Hj. Dra. Tina Malinda, M.M.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Kartika Candra Kirana II Persit Bandar Lampung Lulus Tahun 1999. Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung Lulus Tahun 2002. Sekolah Menengah Atas Slamet Riyadi Lampung Utara Lulus Tahun 2005. Strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung dan menyelesaikan magister hukumnya pada tanggal 23 Desember 2014.


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah. 1

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui

1

Said Agil Al Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonsia, Jakarta: Kaifa, 2004, hlm. 176.


(16)

2

jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai upaya terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat pembiayaan tak lancar (Non Performing Financing/NPF) atau biasa disebut kredit macet perbankan syariah masih tinggi di kisaran 3% atau lebih tinggi dari industri yang hanya mencapai 2% hal ini disebabkan tingginya pembiayaan macet perbankan karena penyesuaian kondisi karena melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti kasus kredit macet Nasabah Bank Sumut Syariah Tebingtinggi, akibat kredit macet sebesar Rp 181.716.500, aset jaminan tanah dan bangunan senilai Rp 1 milliar dilelang bank. Nasabah mengaku kecewa dengan pihak bank. Nasabah menganggap pihak bank tidak profesional dalam melayani nasabah. Nasabah percaya bank syariah itu lebih baik dari bank konvensional karena memakai sistem bagi hasil dan lebih manusiawi, tapi akibat kredit macet karena usaha rumah makan kurang lancar, pihak bank malah melelang jaminan pinjaman walaupun usahanya tetap berjalan.2 Kasus sengketa perbankan syariah ini menjadi polemik, karena bank syariah bertujuan memberikan pinjaman sesuai hukum Islam tetapi tentu saja mengejar keuntungan, hal ini merugikan nasabah yang menggantungkan hidupnya pada pinjaman bank syariah.

Hukum Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam merupakan hukum yang secara empirik hidup dalam masyarakat Indonesa (the living law) sejak masuknya Islam ke Nusantara. Sebagai hukum yang hidup,

2


(17)

3

hukum Islam di Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan yang menggembirakan. 3

Diundangkanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 206 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama untuk menangani, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Amademen ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, terutama setelah tumbuh dan berkembangnya praktik ekonomi Islam di Indonesia.4

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989 dan Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, peradilan agama berjalan menuruti mekanisme peradilan negara yang sesungguhnya. Artinya peradilan agama menjadi bagian dari peradilan negara yang bersama-sama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diundangkan, tampaknya gairah umat Islam Indonesia untuk melaksanakan syariat Islam semakin menggeliat.5 Gairah umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam ditandai antara lain dengan munculnya gerakan ekonomi Islam untuk mengganti ekonomi konvensional yang

3

Said Agil Al Munawwar, Op.Cit, hlm. 176 4

Ekonomi Syariah yang dimaksud dalam pasal 49 huruf i, penjelasanya mencakup (a) bank syari’ah; (b). lembaga keuangan mikro syari’ah. (c). asuransi syari’ah; (d). reasuransi

syari’ah; (e). Reksa dana syari’ah; (f). obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; (g). sekuritas syari’ah;(h). pembiayan syari’ah; (i). Pegadaian syari’ah; (j). dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan (k). bisnis syari’ah.

5

Rifyal Ka’bah,Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Suara ULDILAG Nomor 3, Mahkamah Agung, 2003, hlm. 67.


(18)

4

berbasis sistem bunga (ribawi) yang dianggap tidak adil dan eksploitatif.6 Pada akhir Tahun 1991 digagas pembentukan lembaga keuangan yang berbasis syariah berbentuk bank dengan modal disetor sejumlah Rp 106.126.382.000. Berawal dari modal tersebut pada tanggal 1 Mei 1992 resmi beroperasi Bank Mumalat Indonesia (BMI).7 Pada awalnya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimum dalam tatanan industri perbankan nasional. Secara yuridis, dasar hukum operasional bank syariah hanya dapat dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tidak dapat rincian landasan syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang hanya menyinggung sepintas lalu mengenai sistem bagi hasil dalam operasional perbankan dan kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pada era reformasi, perbankan syariah mulai menemukan landasan hukum yang kuat, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah mengatur dengan rinci landasan hukum, dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah (disebutkan secara eksplisit dan tegas). Undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang (window) syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Menjelang akhir Tahun 2009 terjadi booming bank-bank konvensional membentuk cabang syariah, seperti Bank

6

Antonio Syafi’i,Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta: Tazkia Institue, 2009, hlm 124-125.

7


(19)

5

IFI, Bank Niaga dan Bank BNI. Bahkan pada awal Tahun 2000 Bank Mandiri telah mendirikan anak perusahaan dengan nama Bank Mandiri Syariah. Belum lagi munculnya 898 baitul mal wa tamwil yang merupakan lembaga keuangan mikro syariah.8 Selain munculnya beberapa perbankan syariah, juga telah muncul lembaga keuangan syariah lainnya (non bank) seperti Pegadaian Syariah, Asuransi dan Re asuransi Syariah, Reksadana Syariah, Pasar Modal Syariah dan sebagainya dan sehubungan dengan itu Dewan Syariah Nasional (Institusi dibawah MUI) yang dibentuk pada awal tahun 2009, sejak tanggal 1 April 2000 sampai dengan 25 Pebruari 2005 telah menerbitkan 49 fatwa sebagai pedoman bagi lembaga keuangan syariah (Bank dan non Bank) dalam menjalankan kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi syariah sebagaimana terurai di atas, maka telah lahir pula Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah diadakan perubahan dan salah satu ketentuan penting yang diubah adalah ketentuan Pasal 49 yang menyangkut tugas dan kewenangan Peradilan Agama.

Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan terjadinya titik singgung atau persentuhan kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam penegakan hukum. Permasalahan yang terkait dengan

8

Adiwarman Karim, Incentive untuk Bank Islam, Pelajaran dari Bank Muamalat, Makalah Konferensi Internasional Ekonomi dan Bank Islam, Loughborough University, 2000, hlm. 20


(20)

6

kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah tersebut adalah mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Selama ini pengadilan agama terkesan hanya terbatas dalam menangani perkara-perkara dalam bidang hukum keluarga saja, masuknya bidang ekonomi syariah, khususnya bidang perbankan syariah menjadi kewenangan peradilan agama jelas merupakan persoalan baru bagi pengadilan agama yang memerlukan pengkajian dan penelitian secara tersendiri.

Kewenangan baru yang merupakan perluasan kewenangan peradilan agama yang telah ada yaitu kewenangan peradilan agama untuk memeriksa dan memutus serta menyelesaikan sengketa ekonomi syariah diantara orang-orang yang beragama Islam. Perluasan kewenangan ini dalam rangka merespon perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam dan merupakan sebuah lompatan besar dalam perkembangan hukum nasional.9

Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,

antara lain meliputi: (a) bank syariah, (b) lembaga keuangan makro syariah,

(c) asuransi syariah, (d) reasunransi syariah, (e) reksadana syariah, (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g) sekuritas syariah, (h)

9

Taufiq, Nadhariyat al Uqud al Syar’iyyah, (Materi Pelatihan Teknis Ketua PA Sejawa di Malang, Mei 2006.


(21)

7

pembiayaan syariah, (i) pagadaian syariah, (j) dana pensiun lembaga keuangan syariah dan (k) bisnis syariah.

Perubahan atau tepatnya penambahan kewenangan bagi peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah dalam rangka merespon perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang semula ekonomi syariah yang telah dipraktikkan masyarakat Muslim di Indonesia masih sebatas sebagai hukum diyani murni namun dewasa ini telah melibatkan kekuasaan Negara dalam bentuk hukumqodlo’y modern yaitu menunjuk lembaga hukum Negara (Peradilan Agama) untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi syariah tersebut. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 jika terjadi perselisihan dan perbedaan antar sesama bank syariah atau antara bank syariah dengan nasabahnya, maka kedua belah pihak menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI).

Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakekatnya dapat dibagi dua bentuk yaitu:

1. Dalam bentuk litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Di Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005 dikenal adanya empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara.

2. Dalam bentuk alternative dispute resolution (ADR) dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(APS). Bentuk lembaga ini adalah partikulir, ia tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat. Mengenai lembaga ini telah ditaur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun .2009 tentang Arbitrase dan APS. Di Indonesia ada dua badan arbitrase yang dibentuk secara permanent yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dibentuk oleh Kadin Tahun 1997 dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dibentuk oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Tahun.2003


(22)

8

semula bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dibentuk Tahun 1993.

Ekonomi syariah dilaksanakan atas kemitraan dan kebersamaan dalam untung dan rugi (profit and lost sharing) serta amanah sedemikian rupa, tetap saja tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa dan perselisihan. Secara yuridis, untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah sudah dibentuk lembaganya, yakni peradilan agama, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009, namun dalam undang-undang tersebut belum mengatur secara khusus hukum acaranya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan juga belum ada hukum materiil yang tertulis sebagai hukum terapannya, namun demikian mau tidak mau Peradilan Agama harus menyelesaian sengketa ekonomi syariah apabila ada perkara yang diajukan kepadanya karena sesuai ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Salah satu sengketa ekonomi syariah pernah terjadi pada Bank BNI Syariah, dimana BNI Syariah mempunyai program pinjaman mikro khusus pada usaha kecil dengan pinjaman antara Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dan peminjam banyak yang mengalami kesulitan pengembalian pinjaman uang tersebut, banyak terjadi kredit macet yang penyelesaiannya memerlukan intervensi hukum. Namun selama ini penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan adanya penjamin dari pihak keluarga debitor untuk menutupi sisa pinjaman untuk pelunasan pinjaman tersebut. Cara penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda


(23)

9

dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Berdasarkan banyaknya masalah kredit macet yang terjadi di bank syariah maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.

Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 menguraikan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah; b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Penyelesaian sengketa melalui peradilan umum dilakukan


(24)

10

berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah? b. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008?

c. Apa yang menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup kajian Hukum Perdata, khususnya penyelesaian sengketa perbankan syariah. Agar ruang lingkup substansi penelitian tidak menyimpang dari rumusan masalah, maka ruang lingkup substansi meliputi penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah, proses penyelesaian sengketa


(25)

11

perbankan syariah dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah, untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perbankan syariah, serta mengetahui penghambat dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah yang mungkin timbul dan diajukan kepada peradilan agama,

dan menjelaskan penerapan hukum formil dan materiil di peradilan agama dalam litigasi penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, dengan diketahui bentuk sengketa perbankan syariah dan hukum acara yang diterapkan dalam litigasi sengketa ekonomi syariah, dapat dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan hukum formil dan materiil yang khusus bagi litigasi sengketa ekonomi syariah.


(26)

12

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Abdulkadir Muhammad adalah susunan dari beberapa anggapan pendapatan, cara, aturan, asas keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan. Pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.10

Istilah ekonomi syariah hanya dikenal di Indonesia, karena di negara lain istilah yang polpuler adalah Ekonomi Islam (Islamic economy). Secara substansial,

ekonomi syariah (Islamic economy) berbeda dengan ekonomi konvensional yang berkembang dewasa ini. Perbedaan yang terpenting adalah karena ekonomi syariah terikat pada nilai-niali Islam dan ekonomi konvensional melepaskan diri dari ajaran agama, terutama sejak negara Barat berpegang pada sekularisme dan menjalankan politik sekulerisasi. Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi yang bebas nilai, akan tetapi nilai dalam ekonomi konvensional adalah nilai duniawi (profane), sedangkan dalam ekonomi syariah adalah niklai ukhrawi (eternal). 11

Kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi Negara Indonesia, dari sudut pandang kesejarahan,

10

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004, hlm. 32

11

Kurshid Ahmad (eds), Studies in Islamic Economics, The Islamic Foundation Leicester, hlm xiii-xvii (dikutip dari Rifyal Ka’bah), 1983.


(27)

13

jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara, maupun setelah merdeka dan hingga sekarang ini,

negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Di daerah-daerah tertentu hukum ekonomi Islam telah dipraktikkan dalam masyarakat,

seperti sistem bagi hasil dalam pertanian, peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan madzhab-madzhab fiqh yang dikenal dalam masyarakat. Dari segi komunitas yang mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut mayoritas penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam sama sekali tidak terkait dengan apa yang dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas”. Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela para pebisnis non Muslim tertarik dengan praktik ekonomi Islam.12

Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional. Dari sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam, baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga pembiayaan.

12

Jauhari Ahmad, Peran Arbitrase dalam system ekonomi Islam, Makalah Seminar Nasional di Semarang, 2006, hlm.1


(28)

14

Kedudukan hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula peran hukum ekonomi Islam bisa digunakan terutama dalam menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini,

sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) sebagai mana disebutkan di atas, tetapi lebih jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Islam dalam mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri Negara Republik Indonesia.

Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila “KeTuhanan Yang

Maha Esa” dan juga tidak berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia sebagaimana dalam pembukaannya disebutkan “ … Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “ juga Pasal. 29,

33 dan 34 UUD 1945.

Salah satu kegiatan ekonomi Islam adalah perbankan syariah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa bank syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau bentuk lainnya dalam rangka


(29)

15

meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.13 Di samping bank syariah, untuk melayani masyarakat menengah dan bawah, undang-undang juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang dikenal dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian masyarakat Indoensia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada,

karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.14

Bank Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi dilarang oleh Islam. Islam melarang kaum Muslimin menarik atau membayar bunga. larangan atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi perdebatan mengenai apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga (interest) atau tidak,

namun sekarang tampak ada konsensus di kalangan ulama bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga.15

Pada kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan terjadinya perselisihan, dan untuk mengantisipasinya telah dibentuk lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelesaikannya, yaitu peradilan agama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, peradilan agama adalah peradilan bagi orang yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang antara lain

13

Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 14

Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam, Jakarta: PT Kreatama, 2005, hlm. 1 15

Leyla M Algoud dan Mervyn K Lewis, Perbankan Syariah, Jakarta: Serambi, 2005, hlm.11


(30)

16

ekonomi syariah. Ini berarti semua sengketa mengenai kegiatan ekonomi syariah,

baik dalam bidang perbankan syariah, asuransi syariah, sampai bisnis syariah pada umumnya, secara yuridis menjadi kewenangan peradilan agama.

Menyelesaikan sengketa bisnis melalui pengadilan agama sebagai salah satu lembaga peradilan yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa bisnis berbasis syariah. Kompetensi ini merupakan tambahan atas kompetensi peradilan agama yang secara konvensional telah disandang selama ini. Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.

Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan bahwa,

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,


(31)

17

Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ditegaskan bahwa,

yang dimaksud “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.

Berdasarkan penjelasan Pasal 49, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah, dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah baik dalam pelaksanaan Akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Dalam operasionalnya, lembaga perbankan termasuk di dalamnya bank syariah meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan perbankan.16 Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah harus memperhatikan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tanggal 14 Nopember 2005 Pasal 2 yaitu bank wajib membuat Akad dan secara tegas disebutkan jenis Akad / transaksi yang digunakan, dan dalam Akad tersebut tidak boleh mengandung unsur ghoror, maisir, riba, dlalim, risywah, barang haram dan maksiat.

Akad dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama perikatan atau perjanjian atau kontrak, demikian pula istilah yang biasa dipakai dalam hukum perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).17 Akad menurut Hukum Islam berarti “pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang

16

Dewi Gemala, Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di

Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 80-96

17


(32)

18

menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya“18 Sedangkan pengertian dari perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.19 Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan antara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan atau Akad dalam hukum Islam.

Pada perbankan syariah yang dimaksud dengan Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.20 Konflik atau sengketa keperdataan dapat saja terjadi dalam melakukan hubungan hukum, seperti adanya wan prestasi (cedera janji) atau perbuatan melawan hukum dari salah satu pihak, dan jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam perbankan syariah terutama mengenai pelaksanaan Akad atau perjanjian yang telah disepakati, baik antar sesama bank syariah atau antara pihak bank dengan nasabahnya, maka hal ini akan berakibat hukum terhadap status barang jaminan, upaya hukum bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan perselisihannya dan pelaksanaan terhadap obyek sengketa.

Perselisihan dalam bidang bisnis dan keperdataan, bisa diselesaikan diluar pengadilan seperti perdamaian, arbitrase yang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 disebut negosiasi, konsultasi, mediasi, dan arbitrase, atau dapat pula melalui lembaga peradilan (al-qodlo). Para pihak diberi keleluasan dalam menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara yang dianggap lebih tepat dan

18 Ibid

19

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm.1 20


(33)

19

menguntungkan dengan berpedoman kepada perjanjian yang telah dibuat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelesaian sengketa hakikatnya masuk ranah hukum perjanjian sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan di antara mereka. Klausula penyelesaian sengketa ini hampir dapat dikatakan selalu ada dalam kontrak-kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam kontrak-kontrak pembiayaan yang dibuat antara pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya melalui: a. musyawarah, b. mediasi perbankan, c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Ekonomi Syariah

Sistem ekonomi menurut Islam ada tiga prinsip dasar yaitu Tawhid, Khilafah, dan ‘Adalah.Dalam Sistem Ekonomi Syariah, ada landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan termasuk kegiatan ekonomi, selain harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan, jika kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will) dan tanggungjawab (responsibility).21

Sistem Ekonomi dalam Islam ditegakkan di atas tiga tiang utama, yakni konsep kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah)

dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas).

Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni (1) kepemilikan individu (milkiyatu al-fardiyah), yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan harta itu kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’; (2) kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan,

21


(35)

21

lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya mengambil sedikit upah perkhidmat; dan (3) kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Misalnya harta ghanimah, fa’I, khumus, kharaf, jizyah, i/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagainya. Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.22 Setiap orang bisa memiliki barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk).

1. Karakteristik Ekonomi Syariah

Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis

mu’amalah Islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah

Islam. Sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri.

22

Muhammad Ismail Yusanto, Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas bisnis Islami, Gema Insani, 1998, hlm. 25.


(36)

22

Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 (Lima) jenis karakteristik ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut:23

a. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)

Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat keTuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya memberi kepuasan pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu. Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka

bumi.” (QS. Al Baqarah: 30), Kemudian dilanjutkan dengan ayat AL-Hud 61;

“Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu

pemakmurnya.” Ditambah lagi dengan firmanNya dalam Al Hadid 7 “Dan

nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu

menguasainya.” Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan

dari sistem ekonomi Islam, yaitu sebuah asas ketuhanan, sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.

b. Keseluruhan (syumûliah)

Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian.

23

Muhammad Asyraf Dawabah, Al Iqtishâd al Islâmy Madkholun wa Manhajun,


(37)

23

Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.

c. Fleksibilitas (murûnah)

Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) sertamutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok)dalam agama dan furu’nya (cabang).24 Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada. Fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Rif’at Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al

Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sisi yang bisa

24

Rif’at Audhy,al Mausu’ah al Islâmiyah al ‘Ammah,atas naungan Mahmud Hamdy

Zaqzuq, dengan judul al Iqtishâd al Islâmy, al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet.


(38)

24

diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan zaman.25

Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan

bahasan ahkam taklifiyah yang 5 (lima). Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al

‘afwudalam hadis Rasul:

فع ف هنع تّكُس ام

Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah.26

d. Keseimbangan (tawâzun)

Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian serta keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya. Sebagaimana tersirat dalam firmanNya Surat Al Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu

melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Hal penting lain dari konsep

keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun

25

Rif’at Audhy,Ibid, hlm. 280. 26


(39)

25

sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya. Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi, sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara.

e. Keuniversalan („âlamiyyah)

Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, Al Qur’an surat Al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun 2008.

Unsur 5 (lima) tersebut di atas menggambarkan bagaimana Islam mengatur manusia dalam menjalankan perekonomian dan bisnisnya di dunia tanpa


(40)

26

mengenyampingkan kebaikan dan keberkahan sehingga hubungan antara manusia dan manusia dapat berjalan dengan baik.

2. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Syariah

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum.27

3. Prinsip Ekonomi Syariah

Menurut Yusuf Qardhawi28, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama kita sama-sama tahu pasti tidak ada dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang membuat ekonomi konvensional semakin dikritik dan ditinggalkan orang. Ekonomi Islam dikatakan memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuranmanusia, sedangkan menurut Chapra, disebut sebagai ekonomi Tauhid. Keimanan mempunyai peranan penting dalam ekonomi Islam, karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam

27

Muhammad Asyraf Dawabah, Op.Cit hlm. 61. 28


(41)

27

membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera, dan preferensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Saringan moral bertujuan untuk menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual seuai dengan prioritas sosial dan menghilangkan atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang akan menggagalkan visi sosial tersebut, yang akan meningkatkan keserasian antara kepentingan diri dan kepentingan sosial. (Nasution dkk)

B. Hukum Perbankan Syariah

1. Pengertian Hukum Perbankan Syariah

Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Jadi dapat disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala aturan hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, selain itu perlu juga diketahui dua pengertian berikut:

a. Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam


(42)

28

bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

b. Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

2. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Hukum Perbankan Syariah

Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

b. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

d. Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

f. Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Perbankan Syariah memiliki visi untuk terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.


(43)

29

Misi perbankan syariah berdasarkan visi nya adalah:

a. melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan;

b. mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis risiko guna menujamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya;

c. mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional perbankan syariah;

d. mendisain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas perbankan.

Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai Tahun 2011 adalah:

a. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan yang ditandai dengan: (1) tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam (standardisasi); (2) terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan , baik instrumen maupun badan terkait; (3) rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.

b. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah, yaitu (1) terwujudnya kerangka pengaturn dan pengawasan berbasis risiko yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung o;leh sumber daya insani yang andal; (2) diterapkannya konsep coorporate governance dalam operasional perbankan syariah; (3) diterpkannya kebijakan entry dan exityang


(44)

30

efisien; (4) terwujudnya reatime supervision; (5) terwujudnya self regulatory system.

c. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien yang ditandai dengan: (1) terciptanya pesaing-pesaing yangmampu bersaing secara global; (2) terwujudnya aliansi strategis yang efektif; (3) terwujudnya mekasime kerjasama dengan lembaga-lembaga pendukung.

d. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas, yang ditandai dengan: (1) terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati; (2) terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank syariah diseluruh Indonesia dengan target pangsa pasar 5% dari total aset perbankan nasional; (3) terwujudnya fungsi perbankan syariah yang

kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat; (4) meningkatnya proposal pola pembiayaan secara bagi hasil.

3. Kedudukan Bank Syariah Dalam Tata Hukum Perbankan di Indonesia Istilah lain yang sering digunakan untuk bank syariah adalah bank Islam. Secara akademik, istilah bank syariah dan bank Islam memang mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara tehnis penyebutan bank Islam dan bank syariah mempunyai pengertian yang sama.29

Bank Islam yang biasa juga disebut bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasannya disesuaikan

29

Kurshid Ahmad, (eds) Studies in Islamic Economics, The Islamic Foundation, Leicester, Englang; 1983, hlm. 56


(45)

31

dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Dalam praktiknya, perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga memang dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum Muslim menarik atau membayar bunga (interest).30

Salah satu alasan diharamkan riba adalah agar umat Islam terhindar dari unsur gharar (spekulasi) dalam melakukan transaksi. Di sinilah urgensinya pendirian bank Islam dalam upaya menggalakkan perekonomian umat berdasarkan sistem syariat.31

Bank syariah dalam operasionalisasinya harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadis. Seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

1

ع

س لا ا ا ح لحأ أ اَح ح اح ص اإ

س لا ب ئاج ح صلا

ا ا ح لحأ أ اَح ح ا ش اإ

ش

{

تلا ا

}

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram; dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

Jika dicermati matan hadis di atas, maka didapatkan informasi bahwa maknanya sebenarnya masih umum, sehingga bisa digunakan sebagai dasar beberapa

30

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru, UII Presss, Yogyakarta, 2005, hlm. 47

31

Utari Maharany Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata (Studi mengenai Akad Pembiayaan antara Bank


(46)

32

kegiatan mu'amalah seperti yang disebutkan di atas. Hadis di atas juga dikutip oleh Muhammad Syafi'i Antonio dari kitab al-Ahkam No. 1272. Hadis tersebut dianggap sebagai pemicu kaum Muslimin untuk berjuang mendapatkan materi atau harta dengan berbagai cara asalkan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut di antaranya, carilah yang halal lagi baik; tidak menggunakan cara-cara batil; tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas; tidak dizalimi maupun menzalimi; manjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infaq, dan sedekah.

Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi mengutip hadis di atas dengan matan yang lebih singkat yaitu hanya kata

ش ع

س لا

dengan jalan yang berbeda pula. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Hakim dengan sanad yang sahih. Hadis tersebut dikutip kaitannya dengan hukum memilih dalam jual beli.

2

ا أ حاص ع تشا ب ا لا لا عف ا إ ب ط لا ع ب ا علا ا س اك

ا حب ب ك س

,

ا ا ب ل ا

,

ك ا با ب ت ا

,

كل لعف إف

,

اجأف س لآ ع ه ص ه ل س

ش غ ف

{

ف ا طلا ا

ا ع با ع س أا

}

"Adalah tuan kami Abbas bin Abdul Muthallib, jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-Nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah SAW., maka beliau membenarkannya."


(47)

33

Muhammad Syafi'i Antonio32 menyatakan bahwa berikut adalah hadis yang digunakan sebagai landasan syariah bagi al-mudharabah.

3

لا س لآ ع ه ص لا أ

:

ك لا ف َ

:

لجأ لإ ع لا

,

اق لا

ع ل ا

ل ع لاب لا خ

{

ب ص ع جا با ا

}

"Nabi Muhammad SAW. bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, buka untuk dijual."

Hadis Imam Ibnu Majah No. 2280, kitab at-tijarah, dikutip Muhammad Syafi'i Antonio33 sebagai salah satu landasan syariah bagi produk al-mudharabah dan

bai' as-salam (in-front payment sale). Zainul Arifin juga mengutip hadis di atas ketika berbicara masalah al-murabahah.34

4

ع لجأ لإ ع

ع ل ك ف ش ف سأ

{

ف ا لا ا

ح حص

}

"Barangsiapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui"

Selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, Imam an-Nasai, dan Imam Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Abbas ra. Derajat hadis ini adalah shahih). Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi menggunakan hadis di atas sebagai kebolehan jual beli dengan cara pemesanan dan sebagai landasan syariah bagi hukum salam.

5

ا ا ا

{

لا عس بأ ع ا

غ ط ا لا جا با ا

}

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain"

32

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta : GIP, 2001, hlm. 17

33

Muhammad Syafi’I Antonio, Ibid, hlm. 19. 34


(48)

34

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Ubadah bin Shamit, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya. Hadis ini mempunyai redaksi yang singkat dan masih umum maknanya, tetapi dijadikan landasan syariah dalam berbagai kegiatan Keuangan dan Perbankan Syariah seperti Pembiayaan Mudharabah (qiradh), Uang Muka dalam

Murabahah, Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah, Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah, Pedoman Umum Asuransi Syariah, Jual Beli Istishna' Paralel, Pembiayaan Rekening Koran Syariah, Pengalihan Hutang, Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah, Sertifikasi Investasi Mudharabah AntarBank (Sertifikat IMA), Asuransi Haji, dan Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

Hadis di atas terdapat dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir No. 9899 dan dianggap

hasan oleh penyusun kitab ini, tetapi dianggap shahih oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Hadis di atas pendek atau singkat, tetapi mengandung makna yang padat. Hadis seperti ini biasa juga disebut jami' al-kalim atau jawami' al-kalim (bentuk jamak). Nabi SAW. bersabda tentang kemampuannya mengungkapkan kata-kata jawami' al-kalim ini,

لا ع ا ب عب

{

بأ ع ا

غ س ا لا ا

}


(49)

35

Dengan demikian, tidak mengherankan jika hadis yang singkat ini digunakan untuk berbagai kegiatan mu'amalah. Bank syariah dalam pengertian hukum nasional adalah bank yang tata cara operasionalnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis, sedangkan hukum nasional adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia secara tertulis, dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek kehidupannya, baik berbangsa maupun bernegara.

C. Akad Dalam Ekonomi Syariah

1. Pengertian dan Asas Asas Akad

Akad (al-Aqad) dalam bahasa Arab berarti; pengikat antara ujung ujung sesuatu. Ikatan disini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Menurut istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inil ah yang paling luas dipakai oleh fuqaha (para pakar fiqih).35 Akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.36 Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (iradah munfaridah), seperti: wakaf, perceraian dan sumpah atau yang memerlukan

35

Alfauzi.blogspot.com, diakses pada tanggal 29 September 2014 36

Abdullah Al Mushlih & Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Darul Haq, 1425/2004, hlm. 26


(50)

36

dua kehendak (iradatain) untuk mewujudkannya, seperti: buyu’ (jual beli), sewa-menyewa, wakalah (perwakilan) dan rahn (gadai).37

Akad yang dibuat oleh pihak-pihak harus berdasarkan pada asas-asas sebagai berikut:

1) Asas sukarela (Ikhtiyari);

Setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

2) Asas amanah /menepati janji;

Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan saat yang sama terhindar dari cidera janji.

3) Asas kehati-hatian (ikhtiyati);

Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

4) Asas tidak berubah (luzum);

Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

5) Saling menguntungkan ;

Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

6) Asas Kesetaraan (Taswiyah);

Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

37


(51)

37

7) Asas Transparansi;

Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

8) Asas Kemampuan;

Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

9) Asas Kemudahan (Taisir);

Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuia dengan kesepakatan.

10) Asas Itikad Baik;

Akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsure jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

11) Asas Sebab yang halal; Artinya tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum, dan tidak haram.38

12) Asas Kebebasan berkontrak (Alhurriyah);

Pihak-pihak bebas mengadakan Akad apa saja, asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan prinsip Syariah, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

13) Asas Tertulis (Al-kitabah);

Setiap akad yang dibuat oleh para pihak harus dalam bentuk tertulis, sehingga jelas hak dan kewajiban pihak-pihak dan jelas pula cara melaksanakannya.39

38

Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah


(52)

38

2. Rukun, Syarat dan Kategori Akad

Sahnya suatu Akad menurut Hukum Perjanjian Syariah ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat akad yang bersangkutan. Kata “rukun” berasal dari bahasa Arab Ruknun, bentuk jamak Arkan yang artinya pilar, komponen, atau unsur mutlak. Rukun artinya pilar, komponen, atau unsur mutlak yang harus ada dalam setiap akad.40

Akad memiliki (3) tiga rukun: adanya dua orang atau lebih yang saling terikat dengan akad, adanya suatu yang diikat dengan akad, serta pengucapan akad/perjanjian tersebut.

a. Dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad

Dua orang atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam perjanjian. Kedua belah puhak dipersyaratkan harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. b. Sesuatu yang diikat dengan akad

Yakni barang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya.

c. Pengucapan akad

Pengucapan akaditu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukan keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung. Tentu saja ungkapan itu harus mengandung serah terima (ijab-qabul).41

39

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.10 40

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.11 41


(1)

98

negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa. 2. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan melalui dua jalur yaitu:

litigasi dan non litigasi. Melalui jalur litigasi dilakukan melalui: a. Peradilan Agama, b. Peradilan Umum/Negeri. Selanjutnya melalui jalur non litigasi dilakukan melalui: a. Musyawarah, b. Mediasi Perbankan, dan c. Arbitrase Syariah.

3. Faktor penghambat penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu: struktur atau aparat dalam hal ini institusi pendukung yang belum lengkap, efektif dan efisiensi, substansi dalam hal ini perbankan Peradilan Agama membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya, dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih belum memahami keberadaan Peradilan Agama sebagai penyelesaian sengketa perbankan syariah.

B. Saran

1. Pilihan setiap orang untuk menyelesaikan perkara atas sengketa yang ada adalah kebebasan setiap orang diawal perjanjian yang dibuatnya. Pilihan melalui jalur pengadilan ataupun diluar pengadilan sudah ada di peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Sudah selayaknya apabila terjadi sengketa yang ada maka penyelesainnya di selesaikan melalui syariah, hal ini ditujukan terhadap penyelesaian di Pengadilan Negeri. Walaupun ini adalah pilihan, bukan suatu kewajiban, para pihak sebaiknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada.


(2)

99

2. Jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Selain proses yang cepat, para pihak dapat mengambil keputusan yang memang sebaik-baiknya bagi mereka. Dari segi biaya, jalur non-litigasi juga lebih murah dibanding jalur litigasi yang akan memakan biaya lebih besar.

3. Ketakutan akan tidak dapatnya dijalankan putusan yang dibuat oleh badan arbitrase kini sudah terjawab. Ketua pengadilan agama adalah yang berwenang untuk menjalankannya. Udang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan bahkan memberikan putusan atas sengkera ekonomi syariah. Maka kerja sama antara Basyarnas dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakan hukum sesuai yang diinginkan.


(3)

Daftar Pustaka 1. Buku

AA. Karim, 2000. Incentive untuk Bank Islam, Pelajaran dari Bank Muamalat, Makalah dalam Konferensi Internasional Ekonomi dan Bank Islam, Lugborough.

Algoud, Leyla M dan Mervyn K Lewis, 2005. Perbankan Syariah, Serambi, Jakarta.

Ali, Mohammad Daud. “Pendidikan Syariah dalam Mengisi Kebutuhan Hukum

Nasional” dalam Mimbar Hukum No. II Tahun IV 1993. Jakarta: al-Hikmah dan BITBINBAPERA Islam.

---. 2000. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Al Munawwar, Said Agil, 2004. Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, Kaifa, Jakarta.

Anshori, Abdul Gofur, 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Antonio, Muhammad Syafii, 2005. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Gema Insani, Jakarta.

Antonio, Syafii, 2009. Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Tazkia Institute, Jakarta.

Asyhadi, Zaini, 2005. Hukum Bisnis, Raja Grafindo, Jakarta.

Basir, Cik. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Barus, Utari Maharany, 2006, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama

dengan Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata (Studi mengenai Akad Pembiayaan antara Bank Syariah dan Nasabahnya, Disertasi S.3 USU, Medan.

Dewi, Gemala, 2005. Hukum Perikatan Islam, Prenada Media, Jakarta.

---, 2006. Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.


(4)

Hamidi, Jazim, 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru, UII Presss, Yogyakarta.

Heider Naqvi, Syed Nawab, 2001. Fiqh Mumalah, CV. Pustaka Setia, Bandung. Hermansyah, 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta. HS, Salim, 2006. Hukum Kontrak: Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar

Grafika, Jakarta.

Husain dan Suanto (Ed), 2003. Menggagas Konsep ekonomi Syariah: Jalan Menuju Tatanan Perekonomian Yang Berkeadilan. Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar.

Jauhari, Ahmad, 2006. Peran Arbitrase dalam system ekonomi Islam, Makalah Seminar Nasional di Semarang.

Ka’bah, Rifyal, 2003. Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, Suara ULDILAG, Mahkamah Agung, Jakarta.

Kara, Muslimin H. 2005. Bank Syariah di Indonesia. Cet. I; UII Press, Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lubis, Suhrawardi K. 2008. Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Maksun, 2000. Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar

Hukum.

Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008. Riba Dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah. Politea Press, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1982. Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

---, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ---, 2010. Hukum Perusahaan Indonesia, Edisi Revisi, Cet.4, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir & Rilda Murniati, 2011. Hukum Perbankan Syariah Alternatif Sumber Pembiayaan Usaha, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Nastangin, M. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.


(5)

Perwataatmaja, Karnaen. 2005. et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Kencana, Jakarta.

---, 2005. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta. Qardhawi, Yusuf, 2004. Retorika Islam, Khalifa, Al-Kautsar Group.

Sabirin, Syahril, 2009, Kata Pengantar untuk Buku Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, tazkia Institute, Jakarta.

Siddiqi, M. Nejatullah, 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta.

Subekti, 1996. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Sudikno, Mertokusumo, 1992. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

---, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Suhendi, Hendi, 2002. Fiqh Muamalat, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Sumitro, Warkum. 2004. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syahdeini, Sutan Remy, 2005. Perbankan Islam, PT Kreatama, Jakarta.

Syarifuddin, Amir, 2002 Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Ciputat Press, Jakarta.

Taufik, 2007. Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta. Yuliadi. 2001. Ekonomi Islam, LPII, Yogyakarta.

2. Undang-Undang dan Peraturan Lainnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472).

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia.


(6)

Undang-Undang Nomor 21Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

3. Sumber lain

Yuslam, Seminar Penanganan Sengketa Perbankan Syariah 8 Mei 2014, di Jakarta.