Pembacaan Nass al-Qur’an dengan Model Lingkar Hermeneutik

2. Problem Teks, Pengarang dan Pembaca

  Menurut M. Amin Abdullah, dalam persepektif pendekatan hermeneutik,

  variabel pemahaman manusia itu sedikitnya melibatkan tiga unsur, yaitu unsur author (pengarang), unsur teks dan unsur reader (pembaca). 55 Dalam proses kerja

  hermeneutik tiga unsur ini memiliki fungsi sendiri-sendiri, namun tidak bisa dipisahkan atau berdiri sendiri, karena tiga unsur ini memiliki hubungan saling terkait satu sama lain. Lebih lanjut saya kutipkan penggalan pendapat Amin Abdullah sebagai berikut:

  ‖Masing-masing unsur dalam proses pemahaman memiliki peran dan fungsinya sendiri, sehingga mengunggulakan peran salah satu unsur atau mengabaikan peran salah satu unsur lainnya hanya akan membawa kepada ‖kesewenang-wenangan dalam memahami‖. Apabila variabel-variabel ini dimasukkan ke dalam ranah pemahaman keagamaan, khususnya Islam, situasinya akan menjadi agak rumit dan kompleks. Bagi umat Islam, variabel teks berarti nash syar‟i, variabel author berarti Allah dan variabel reader berarti umat Islam sendiri.‖ 56

  Dari ketiga unsur tersebut jelas sekali bahwa variabel teks yaitu nash Al-Qur‟an dan variabel author yaitu Allah sendiri. Namun yang menemui problem adalah ketika

  54 M. Amin Abdullah, Islamic Studies…, h. 278.

  55 M. Amin Abdullah, ―Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika‖, dalam Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur‟an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h. xviii.

  56 M. Amin Abdullah, ―Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika…, h. xviii-xix.

  berhadapan dengan variabel ketiga, yaitu variabel reader yaitu umat Islam sendiri. Mengapa demikian? Karena biasanya seorang reader (pembaca), merasa paling benar sendiri pemahamannya ketika memahami sebuah teks. Bahkan banyak sekali penafsiran al-Qur‘an sering dipelintir demi maksud-maksud politik, sementara klaim objektivitas dan paling benar sendiri (truth claim) selalu di kedepankan. 57 Tipe pernyataan semacam itu menurut Amin Abdullah—baik ekplisit maupun implisit— mengindikasikan asumsi bahwa reader merasa diberi mandat dan kuasa penuh untuk mengakhiri peran yang semestinya juga dimainkan oleh author dan juga oleh teks (nash). 58 Karena, penentuan makna atau pengambilan kesimpulan secara sepihak yang dilakukan oleh reader tersebut tanpa melibatkan unsur author dan juga unsur teks akan mengakhiri peran yang semestinya juga dimainkan oleh author dan juga oleh teks.

  Penentuan makna secara sepihak inilah oleh Amin Abdullah disebut sebagai ”interpretive despotism” yaitu kesewenang-wenangan dalam penafsiran. Akibat dari interpretive despotism ini menurut Amin Abdullah adalah sejenis authoritarianism, yaitu tindakan reader, baik sebagai individu, keluarga, golongan, kelompok masyarakat, organisasi atau institusi fatwa keagamaan, mazhab atau aliran tertentu yang menutup rapat–rapat atau membatasi kehendak Tuhan (the will of the divine) atau keinginan terdalam maksud suatu teks dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan kententuan-ketentuan tersebut sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, final, serta merupakan hasil akhir yang tidak dapat dibantah atau diganggu gugat. 59

  Dengan demikian dalam fenomena tersebut telah terjadi pengambil alihan otoritas author oleh reader yang semestinya tidak boleh terjadi dalam proses pemahaman teks. Sebagaimana pernyataan Amin Abdullah sebagai berikut:

  ‖Dengan kata lain, dalam fenomena ini terjadi pengambil-alihan begitu saja otoritas author (Allah) yang dalam hal ini adalah otoritas ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh pembaca (reader) teks-teksnash-nash keagamaan. Dengan diiringi asumsi bahwa pemahaman yang peling relevan

  57 M. Amin Abdullah, ―Kata Pengantar‖, h. xxvi. 58 M. Amin Abdullah, ―Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika…, h. xix.

  59 Ibid., h. xix-xx. Lihat juga, M. Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutika dalam Studi

  Fatwa-Fatwa Keagamaan: Proses Negoisasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca, dalam Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. viii-ix.

  dan paling benar adalah keinginan pengarang (the will of author), maka dengan mudah pembaca (reader) menggantikan posisi pengarang (author) dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Disini lalu terjadi proses perubahan instant yang sangat mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya pembaca (reader) dan pengarang (author), dalam arti bahwa pembaca tanpa peduli dengan keterbatasan–keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadikan dirinya seperti author (TuhanAllah) yang tidak terbatas.‖ 60

  Dengan demikian yang paling pokok adalah membangun hubungan yang saling terkait antara teks (text) pengarang (author) dan pembaca (reader). Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh Pengarang (Author) maupun oleh Pembaca (Reader) secara sepihak. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara Pengarang (Author), Teks (Text), dan Pembaca (Reader). 61

  Ketika berbicara mengenai sebuah pemahaman terhadap suatu teks dalam hal ini adalah nash Al-Qur‘an, Amin Abdullah membagi proses pemahaman menjadi tiga bagian dunia pemahaman yaitu: Dunia Satu (firstnes) yaitu teks (textnash), Dunia Dua (secondness) yaitu pengarang (authors) dan Dunia Tiga (thirdness) yaitu pembaca (reader).

  a) Teks (textnash) Sifat atau ciri textnash adalah dunia teks, objektif, final, absolutely absolute,

  al-tsawabit, al-qira‘atu almutakarirah, textual type of riding dan normative. 62

  b) Pengarang (authors). Sedangkan authors adalah dunia pengarang yang bersifat subjektiv, absolutely relative, almutaghayyirat, berpotensi menjadi authoritarian (speaking in god‘s name), covercive type of reading, hubungan tipe komunikasi hirarkis (subjek- objek), historis (terkait dengan situasi social, cultural, politik dan ekonomi). 63

  c) Pembaca (reader). Sedikit berbeda dengan reader yang mempunyai sifat dunia pembaca, subjective, absolutely relative, almutaghayyirat, covercive type of reading, tipe

  60 Lihat, M. Amin Abdullah, ―Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika…, h. xx. 61 M. Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutika…, h. xii.

  62 Ibid., h. 150. 63 Ibid., h. 151.

  komunikasi: equity (kesetaraan), hubungan subjek-objek, historis (terkait dengan situasi social, cultural, politik dan ekonomi), type of reading, kontekstual, kopetensi dasar: pengendalian diri (diligent), kesungguhan (comprehensiveness), Rasional masuk akal (reasonableness), kejujuran (honesty). 64 Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan keterkaitan stu sama lain yang

  begitukuat. Disinilah pentingnya ketika memahami suatu teks tidak bisa mengabaikan faktor pengarang dan para pembacanya nanti. Karena ketika suatu teks hanya dipahami dari satu sisi maka yang ada adalah pemahan yang berat sebelah. Dengan melibatkan faktor pengarang maka setidaknya akan ditemukan suatu pemahaman yang mendekati kepada maksud dari sipengarang teks tersebut. Sehingga, pesan yang ada di balik teks bisa diterima dengan baik oleh para pembaca.