Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

STRATEGI COPING KELUARGA YANG TERKENA
MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SITI MARYAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

2

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Strategi
coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya
sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar Doktor pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.


Bogor, Agustus 2007

Siti Maryam
NRP. A561020

3

ABSTRAK
SITI MARYAM . Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan
Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Bawah Bimbingan :
DADANG SUKANDAR (KETUA), SUPRIHATIN GUHARDJA (ANGGOTA),
PANG S. ASNGARI (ANGGOTA), DAN EUIS SUNARTI (ANGGOTA)
Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang
Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan
Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang
cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur
dasar, dan (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan
untuk (1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga, (2)
Mengidentifikasi sumberdaya coping yang dimiliki oleh keluarga, (3)

Mengidentifikasi tingkat stres, (4) Mengidentifikasi strategi coping, (5)
Mengidentifikasi keberfungsian keluarga, (6) Menganalisis perbedaan masalah
keluarga, tingkat stres, strategi coping dan keberfungsian keluarga antar tipologi
keluarga, (7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping, dan
(8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi
coping terhadap keberfungsian keluarga
Disain penelitian ini adalah cross-sectional dan retrospective study.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraksa dengan
pertimbangan kedua kecamatan di Kota Banda Aceh tersebut terkena musibah
gempa dan tsunami terparah pada tanggal 26 Desember 2004, pengumpulan data
berlangsung mulai bulan Mei sampai Juli 2006.
Populasi penelitian ini adalah keluarga yang wilayahnya terkena masalah
gempa dan tsunami yang berada pada dua kecamatan tersebut di atas.
Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan penarikan contoh acak
berlapis dengan alokasi proporsional (stratified random sampling). Lapis pertama
adalah keluarga utuh, kedua keluarga duda dan ketiga keluarga janda. Total
contoh yang diambil sejumlah 138 contoh. Data primer meliputi: (1) Masalahmasalah yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami, (2) Sumberdaya
coping yang mencakup karakteristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga,
pengeluaran, pendapatan, dan aset), ciri-ciri pribadi (umur, tingkat pendidikan,
tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial, (3) Strategi

coping (coping berpusat pada masalah dan coping berpusat pada emosi), (4)
Tingkat stres, dan (5) Keberfungsian keluarga. Data skunder meliputi propil
Kecamatan dan daftar bantuan sosial. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan komputer program SPSS 10.1 dan program SAS. Analisis data
yang digunakan adalah statistik dasar (elementary statistic analysis) dan regresi
linear berganda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang masih dialami
keluarga 1,5 tahun pasca tsunami antara lain: tidak adanya pangan hewani untuk
dikonsumsi setiap hari, kesulitan dalam membayar obat-obatan, ketidakmampuan
keluarga menyediakan fasilitas untuk keperluan belajar anak di rumah, tempat
tinggal/rumah untuk tempat berlingdung anggota keluarga tidak memadai
terutama bagi keluarga utuh, tidak memiliki cukup pakaian untuk aktivitas yang
berbeda serta penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari.
Sumberdaya coping yang dimiliki keluarga yakni: (1) karakteristik sosial
ekonomi meliputi: jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang, 1.5 tahun pasca
tsunami masih ada 15,2% kepala keluarga belum kembali bekerja. Rata-rata

4


pengeluaran keluarga perkapita untuk pangan dan non pangan masing-masing Rp
287.000 dan Rp 260.000 (52% dan 48%) dari total pendapatan. Rata-rata nilai
aset yang dimiliki keluarga adalah Rp 20.442.237; (2) ciri-ciri pribadi kepala
keluarga meliputi: umur rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan umumnya
SLTA/sederajat. Tingkat kesehatan selama enam bulan terakhir sebagian besar
(87%) cukup baik. Kepribadian kepala keluarga sebagian besar (87%) adalah
ekstrovet dan konsep diri juga sebagian besar (93.5%) tergolong positif; dan (3)
sebagian besar keluarga (86.2%) menerima dukungan sosial dari berbagai pihak.
Setahun pasca gempa dan tsunami, tingkat stres kepala keluarga dengan
pendekatan metode Family Inventory of Life sebagian besar (88,4%) termasuk
stres minor. Jika menggunakan metode Holmes dan Rahe, masih ada 44.9%
kepala keluarga yang mengalami tingkat stres dengan katagori sedang.
Pendekatan dengan menggunakan metode Holmes dan Rahe lebih tepat
digunakan karena mampu mengungkap tingkat stres yang dialami saat ini yang
diakibatkan oleh peristiwa setahun yang lalu.
Strategi coping yang dilakukan kepala keluarga pasca gempa dan tsunami
adalah strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada
emosi. Namun demikian, strategi coping yang dilakukan oleh kepala keluarga
belum maksimal, baik strategi coping berfokus pada masalah maupun yang
berfokus pada emosi masing-masing hanya 44,2% dan 19.1% yang termasuk

katagori tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada masalah
adalah masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial dan tipologi keluarga.
Dan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada emosi adalah
kepribadian, umur kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan dukungan
sosial. Tingginya tingkat stres kognitif yang dilami kepala keluarga mengakibatkan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi sehingga upaya penyelesaian masalah
menjadi rendah. Keluarga single perent lebih rendah melakukan strategi coping
berfokus pada masalah dibandingkan keluarga utuh. Namun demikian, semakin
tinggi masalah kesehatan yang dialami keluarga, maka upaya penyelesaian
masalah melalui strategi coping berfokus masalah semakin tinggi. Begitu juga
dengan kepribadian yang ekstrovet, umur yang semakin tua, jumlah anggota
keluarga yang besar maka penyelesaian masalah melalui strategi coping berfokus
pada emosi juga semakin baik.
Dalam hal keberfungsian keluarga, masih terdapat keluarga yang tidak
mampu menjalankan fungsinya secara optimal, baik fungsi ekspresif maupun
intrumental. Hal ini terbukti masih ada 37.7% keluarga yang tidak mampu
menjalankan fungsi intrumental untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya,
dan 8,7% keluarga tidak dapat melakukan fungsi ekspresif dengan baik. Fungsi
ekspresif jauh lebih berfungsi dibandingkan dengan fungsi intrumental.

Pendidikan kepala keluarga dan konsep diri yang positif mengakibatkan
fungsi ekspresif yang dilakukan semakin baik. Akan tetapi semakin tinggi masalah
rumah yang dihadapi kepala keluarga, maka fungsi ekspresif yang dilakukan
semakin rendah. Tingginya masalah pendidikan dan masalah pakaian yang dilami
keluarga dan berbagai upaya penyelesaian masalah dilakukan, baik melalui
pendekatan analitis atau yang mengandung resiko serta mencari berbagai
dukungan sosial mengakibatkan fungsi instrumental yang dilakukan kepala
keluarga semakin baik.
Kata Kunci : strategi coping, gempa dan tsunami, tingkat stres, sumberdaya
coping, keberfungsian keluarga

5

ABSTRACT
SITI MARYAM . The Coping Strategies of Families after Earthquake and Tsunami
Disaster in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under supervision of DADANG
SUKANDAR, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, EUIS SUNARTI
In the end of December 2004, earthquake and tsunami disaster attacked
Nanggroe Aceh Darussalam Province and North Sumatera. The disaster caused :
(a) great number of huge human victims; (b) the paralyzed of basic services; (c)

basic infra structure disfunction; as well as (d) the destroy of social and economic
system. The objectives of this research is to analyze the coping strategies of
families after earthquake and tsunami disaster in Nanggroe Aceh Darussalam
province. This research used cross-sectional design study, it’s was performed
since May 2006 in Kuta Alam and Meuraxa sub districts. Number of samples were
138 families, which consist of 103 intact families, 20 widower families and 15
widow families. Sampling technique used proportional random sampling. Then,
data was taken by using questionnaire. The stress level of families by using
Family Live Inventory method indicated that most of families after the disaster
belonged to minor stress, whereas the level stress with Holmes and Rahe method
showed families belonged to moderate stress. Meanwhile, both coping problembased strategy (44.2%) and emotion-based strategy (18.1%) of families were
belonged into high level. Most of families are categorized into high category for
expressive and instrumental. The significant variables which influenced the
family’s expressive function were personality, widower typologi, seeking social
support, planful problem solving and widows typology. Meanwhile, the variables
influenced significantly on family’s instrumental function were health problem,
housing problem, educational problems, plantful problem solving, self controlling,
family size, social support.
Key Words: coping strategies, family, earthquake and tsunami disaster


6

@ Hak Cipta miliki IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7

STRATEGI COPING KELUARGA YANG TERKENA
MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SITI MARYAM


Sebagai salah satu syarat
Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

8

Judul Disertasi

:

Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa
dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Nama


:

Siti Maryam

NRP

:

A 561020031

Program Studi

:

Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc
Ketua

Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS
Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota

Dr. Ir. Euis Sunarti, MS
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Dan Sumberdaya Keluarga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ali Khomsan, MSc

Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Lulus Ujian : 22 Agustus 2007

Tanggal Lulus :

9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang
Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan
Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang
cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur
dasar, serta (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar
pada kondisi psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti
pendidikan,

kesehatan,

keamanan,

sosial,

serta

kurang

berfungsinya

pemerintahan disebabkan oleh hancurnya sarana dan prasarana dasar dan
berkurangnya sumberdaya manusia aparatur. Kegiatan produksi termasuk
perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan memerlukan
pemulihan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami
gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi bencana dapat
segera

diakses.

Sistem

sosial

ekonomi

dan

kelembagaan

masyarakat

memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan
tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak
yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian
mencapai 44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi,
sosial (perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama)
sebesar $1.657 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan
sanitasi, saluran irigasi) $877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan
pertambangan) $1.182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan
keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai
sektor diperkirakan sebesar US$ 4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun.
Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan
masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan
pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum
terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat
kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi
pasti jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002)
dan 1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya

10

gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65%
dari penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa.
Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang
Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama:
tahap tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan
restorasi fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan
dalam 6-20 bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan
dalam 1.5-2 tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun.
Sasaran dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a)
pembangunan dapur umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan
korban meninggal, dan (d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran
dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a)
pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c)
pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan
hukum dan ketertiban umum, dan (e) pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran
dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan
ekonomi melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan
kembali sistem ekonomi, (c) pembangunan kembali sistem infrastruktur regional
dan lokal, (d) revitalisasi sistem sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali
sistem kelembagaan, dan (f) pembangunan sistem peringatan dini untuk
meminimalisir dampak bencana. (BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2005-2009).
Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap
budaya masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan
keyakinan agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah
tamah, kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya
ditinggalkan. Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah
kemajuan menjadi indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki
ketinggalan budaya yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari
masyarakat lain (Kurdi, 2005). Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang
secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai
permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali,
membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di
masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian

11

yang penting, bahkan terpenting dalam pembangunan masyarakat dan keluarga
(Hikmat, 2001).

Masalah Penelitian
Tingginya angka kemiskinan di Aceh mempunyai korelasi positif terhadap
angka pengangguran. BKKBN Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 mencatat
300.000 jiwa menganggur, tahun 2002 sekitar 48.8 persen (1.073.600 jiwa) dari
2,2 juta angkatan kerja menganggur. Tentunya angka pengangguran di Aceh akan
bertambah pasca tsunami mengingat banyaknya masyarakat yang kehilangan
mata pencaharian terutama yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang yang
tempat tinggalnya dekat dengan pantai (coastal zone). Kehilangan pekerjaan
berarti tidak memiliki pendapatan dan akan berdampak langsung terhadap
kehidupan keluarga dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.
Kehilangan pekerjaan seperti nelayan dan petani tambak merupakan
masalah besar, nelayan tidak dapat ke laut karena perahu dan peralatan melaut
hancur dan hilang tanpa bekas, petani tambak juga merasakan bahwa tambaknya
rata seperti laut tanpa ada pembatas satu dengan lainnya. Hal yang sama juga
dirasakan oleh orang-orang yang profesinya sebagai pedagang, toko dan barang
dagangannya hancur berantakan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup
sehari-hari pemerintah dan LSM memberikan bantuan berupa bahan makanan,
pakaian, sarana kesehatan dan lain sebagainya serta uang yang jumlahnya Rp
90.000/orang/bulan. Selain itu pemerintah dan LSM juga membantu menata
kembali perekonomian masyarakat Aceh, mulai dari memberikan bantuan perahu,
menata kembali tambak yang berantakan dan memberikan pinjaman modal usaha
dengan tujuan supaya masyarakat dapat bekerja kembali sehingga perekonomian
mayarakat Aceh secara keseluruhan cepat stabil.
Dalam bidang pendidikan kerusakan yang terjadi adalah untuk tingkat
SD/MI 27 persen, SLTP/MTs 31 persen, dan SLTA/MA 38 persen. Jumlah
pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal/hilang sebanyak 1.400 orang,
peserta didik dan mahasiswa yang meninggal/hilang sebanyak 40.900 orang.
Rusak/hilangnya berbagai sarana dan prasarana tersebut membuat pendidikan di
Aceh pasca tsunami menjadi menurun. Jumlah guru yang minim, kurangnya
fasilitas prasarana dan sarana pendidikan, menjadi faktor penyebab turunnya
kualitas pendidikan di Aceh. Tidak dipungkiri kalau hilang/meninggalnya guru-guru

12

yang merupakan asset human resource di sekolah atau perguruan tinggi tertentu
juga menjadi pemicu semakin turunnya pendidikan di Aceh. Pemerintah telah
mengirimkan beberapa tenaga pendidik dari luar daerah untuk Aceh mengisi
kekosongan guru sehingga tidak ada alasan adanya proses pembelajaran yang
terhenti. Untuk saat ini, Aceh membutuhkan 12.000 guru tambahan yang akan
ditempatkan di seluruh kabupaten/kota. Kekurangan ini diharapkan bisa teratasi
apabila adanya perekrutan yang baru sekitar 5.000 orang.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), ketika
terjadi gempa dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, rumah sakit
yang rusak dan hancur 8 buah dan puskesmas 232 buah dan banyaknya tenaga
medis yang meninggal dan hilang yang menyebabkan pelayanan kesehatan
menurun. Untuk membantu pelayanan kesehatan masyarakat Menteri Kesehatan
telah mengirim 761 tenaga kesehatan (110 orang dokter PTT, 79 bidan desa, 110
sarjana kesehatan masyarakat, 48 ahli gizi, 55 ahli kesehatan lingkungan, 330
perawat dan 29 tenaga farmasi. Semua petugas kesehatan ini diharapkan bisa
memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan masyarakat pasca gempa dan
tsunami.
Masalah perumahan/tempat tinggal menjadi persoalan tersendiri yang
penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk sementara seluruh
pengungsi ditempatkan di barak-barak yang disediakan oleh pemerintah walaupun
dengan kondisi yang tidak memadai. Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani
Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari
musibah gempa dan tsunami

ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, di tiap

kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar, posko-posko tersebut menampung
sebanyak 300-500 orang, ada juga yang menampung 1000 - 4000 pengungsi.
Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka akan pindah ke tempat lain
pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban
bencana juga ada yang menumpang di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.
Banyaknya permasalahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami seperti
yang telah disebutkan di atas akan berdampak terhadap kehidupan keluarga.
Kehidupan keluarga yang semula berjalan normal tiba-tiba terganggu dengan
berbagai persoalan seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan
terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah,
kehilangan aset dan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta
hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai. Semua permasalah ini terjadi

13

secara tiba-tiba dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat
keluarga menjadi kebingungan dan stres.
Untuk mengatasi stres yang dialami keluarga pasca gempa dan tsunami,
setiap keluarga dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Dengan demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi
yang memadai yang disebut strategi “coping”. Hal tersebut didukung oleh
Friedman (1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon
perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau
mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga
diharapkan mampu berperan dalam menyelesaikan masalah melalui strategi
coping yang efektif. Apabila keluarga mampu melakukan “coping” dengan baik,
akan berdampak positif terhadap keberfungsian keluarga.

Sebagaimana

dinyatakan oleh Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga, kita harus
kembali pada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai
fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan, walaupun fungsi-fungsi tersebut
sangat beragam. Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini adalah :
(1) Masalah-masalah apa saja yang dihadapi keluarga pasca gempa tsunami ?
(2) Bagaimanakah tingkat stres yang dialami keluarga ?
(3) Sumberdaya coping apa saja yang dimiliki oleh keluarga ?
(4) Bagaimanakah strategi coping keluarga ?
(5) Bagaimanakah keberfungsian keluarga ?
(6) Apakah ada perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping,
strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga ?
(7) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi coping ?
(8) Bagaimana pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi
coping terhadap keberfungsian keluarga ?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi coping
keluarga yang terkena musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

14

Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga
(2) Mengidentifikasi tingkat stres yang dialami keluarga
(3) Mengidentifikasi sumberdaya coping keluarga
(4) Mengidentifikasi strategi coping keluarga
(5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga
(6) Untuk menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya
coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi
keluarga
(7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga
(8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi
coping terhadap keberfungsian keluarga
Manfaat Penelitian
Hasil penelian diharapkan dapat :
(1) Menyediakan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah baik ditingkat
daerah maupun ditingkat pusat dalam hal penanggulangan korban bencana
(2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam
memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat
dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara lebih mandiri, dengan
cara melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan
bencana
(3) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang teori dan konsep ilmu
keluarga, terutama dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana
alam.
(4) Sebagai bahan masukan bagi penelitian berikut yang relevan.

15

TINJAUAN PUSTAKA
Keberfungsian Keluarga
Definisi Keluarga
Definisi keluarga menurut Mattesssich da Hill (Zetlin et al., 1995) adalah
suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan
hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu
hubungan intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk
beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan
memelihara tugas-tugas keluarga. Para ahli keluarga seperti Gelles (1995); Vosler
(1996); Day et al. (1995) dan UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10,
mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat
yang merupakan landasan dari semua institusi, yang merupakan kelompok primer
yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi
interpersonal, hubungan darah, hubungan darah dan adopsi.
Menurut BKKBN (1997), keluarga yang sejahtera diartikan sebagai
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar
anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang meliputi pendidikan, agama, kesehatan
dan lain sebagainya.
Ruang Lingkup Ilmu Keluarga
Ilmu keluarga secara ontologi membatasi lingkup penelaahan keilmuannya
pada jangkauan fenomena serta interpretasi atau penafsiran hakekat realitas dari
objek kegiatan organisasi kehidupan yang paling primer yang disebut keluarga.
Objek formal dari ilmu keluarga adalah (1) terjadinya/terbentuknya keluarga
(perkawinan); (2) memelihara keluarga (mengusahakan makanan, pakaian,
perumahan, pendidikan/pengasuhan, kesehatan, dan lain-lain); (3) meningkatkan
mutu/kualitas keluarga dan anggota-anggotanya (interaksi antar anggota dalam
keluarga, keluarga dengan keluarga lain dan masyarakat luas); (4) tingkat

16

kehidupan yang dicapai, kualitas individu-individu yang akan terjun ke masyarakat
luas dan/atau membentuk keluarga-keluarga baru (produk yang dihasilkan).
Dilihat dari segi epistemologi tampak bahwa ilmu keluarga dalam
memperoleh, menilai dan memahami fenomena serta realitas dari fenomena
obyek formalnya (misalnya, pola asuh anak dalam keluarga, interaksi antar
anggota dalam keluarga yang berakibat keharmonisan atau konflik, perilaku
keluarga pada setiap perubahan strukturnya) menerapkan metode-metode ilmiah
secara konsisten, sehingga dicapai hasil yang obyektif, rasional, logis, empiris,
pragmatis dan transparan. Secara aksiologi, ilmu keluarga merupakan alat untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seutuhnya dalam konteks kehidupan
keluarga dan interaksinya dengan lingkungan. Biasanya kajian dalam ilmu
keluarga akan berkaitan dengan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, hukum, bisnis
dan biologi/ekologi.
Landasan Teori (Struktural Fungsional)
Para sosiolog ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons
mengemukakan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan
keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomudasi dalam fungsi yang sesuai
dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi, 1999).
Newman dan Grauerholz (2002) mengatakan bahwa pendekatan teori struktural
fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran keluarga agar dapat
berfungsi dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Macionis
(1995) mengatakan pendekatan teori struktural fungsional juga menganalisis
adanya penyimpangan, misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma,
kemudian memperhitungkan seberapa besar penyimpangan dapat berkontribusi
pada stabilitas atau perubahan sosial.
Menurut Megawangi (1999), konsep teori struktural fungsional antara lain:
(1) Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai
peran dan konstribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan
(2) Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam
sebuah sistem (Interdepedensi)
(3) Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui konsensus
daripada konflik

17

(4) Untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan atau integrasi antar
subsistem, elemen atau individu
(5) Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara
evolusioner.
Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis,
berkelanjutan, dan senantiasa menuju kepada suatu keseimbangan, konsep dari
keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu
kemampuan untuk menjaga stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga
(Winton, 1995). Teori struktural fungsional menjadi keharusan yang harus ada
agar keseimbangan sistem tercapai baik pada tingkat masyarakat maupun pada
tingkat keluarga. Adanya struktur atau strata dalam keluarga dimana masingmasing individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Menurut Megawangi
(1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu :
(1) Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya mencakup tiga struktur
utama, yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumahtangga), dan
anak-anak (balita, sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar
individu dengan status sosial berbeda.
(2) Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu menurut
status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran
instrumental (oleh suami/bapak) dan eksprensif (oleh istri/ibu) dalam keluarga
akan membuat keluarga tidak seimbang.
(3) Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan
sosialnya. Norma sosial berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang
merupakan bagian dari kebudayaan. Setiap keluarga dapat mempunyai norma
sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal
pembagian tugas dalam rumahtangga, yang merupakan bagian dari struktur
keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarga.
Fungsi Keluarga
Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah dalam
setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas,
fungsi tersebut terpolakan dalam sebuah struktur hirarkis yang harmonis, dan
komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah

18

sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga
sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem.
Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar
sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan,
integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga
(Megawangi, 1999). Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama
keluarga adalah “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan
dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”
(Megawangi, 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu
peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran
dimana sistem sosial dibangun.
Di Indonesia, PP Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut BKKBN (1997), fungsi keluarga
secara umum diarahkan sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh
anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan
agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka
ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orang tua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir
dan batin.
(4) Fungsi Melindungi, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan
kehangatan
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan takwa.

19

(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk
mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupan di masa depan.
(7) Fungsi Ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.
Menurut Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga kita harus
kembali kepada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai
fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan walaupun fungsi-fungsi tersebut
sangat beragam. Kesuksesan keluarga dapat dipandang sangat berfungsi dan
tidak sukses atau disfungsi. Keluarga yang mengalami stres berisiko mengalami
disfungsi kecuali mereka dapat memperoleh dukungan untuk berfungsi dengan
baik. Fungsi keluarga ada lima, yakni :
(1) Reproduksi. Keluarga menjamin bahwa populasi masyarakat akan stabil,
sehingga sejumlah anak akan terlahir dan dirawat untuk menggantikan
mereka yang telah meninggal
(2) Sosialisasi/Pendidikan. Keluarga menjamin bahwa nilai-nilai masyarakat,
kepercayaan, sikap, pengetahuan, keahlian dan teknologi akan ditransfer
kepada yang lebih muda
(3) Peran Sosial. Keluarga memberikan identitas bagi keturunannya (ras, etnis,
agama, sosial ekonomi dan peran gender). Sebuah identitas mencakup
perilaku dan kewajiban.
(4) Dukungan Ekonomi. Keluarga memberikan tempat berlindung, memelihara
dan melindungi. Pada beberapa keluarga, semua anggota keluarga kecuali
anak yang masih kecil memberikan kontribusi terhadap fungsi ekonomi melalui
produksi barang. Pada keluarga lainnya, salah satu atau kedua orang tua
membayar barang yang dibeli oleh semua anggota keluarga sebagai
konsumen
(5) Dukungan Emosional. Keluarga memberikan pengalaman pertama pada anak
dalam melakukan interaksi sosial. Interaksi ini dapat mengakrabkan,
mengasuh dan sekaligus memberikan jaminan emosional bagi anak, dan
perawatan keluarga bagi anggotanya ketika mereka sakit, luka dan tua.

20

Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian
anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya
orang tua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan keluarga adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1) Pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan
tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus
dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan
merupakan sumber ekspresi bagi individu. Pangan yang cukup diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan gizi, sehingga mampu melaksanakan segala
aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga
(2) Perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar
dari anggota keluarga, maka kesempataan berkembang yang lebih luas dapat
dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan
mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual
dan aspek sosial dari kehidupan mereka
Rice dan Tucker (1986) membagi fungsi keluarga menjadi dua fungsi
utama, yakni fungsi instrumental seperti memberikan nafkah dan memenuhi
kebutuhan biologis dan fisik kepada para anggota keluarga. Fungsi kedua adalah
fungsi ekspresif yaitu memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan emosi serta
pemenuhan kebutuhan psikologis seperti kasih sayang, kehangatan, aktualisasi
dan pengembangan diri anak.
Parsons dan Bales (Megawangi, 1999) menyatakan bahwa peran orang
tua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh
suami atau bapak dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang
oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran pencari nafkah
untuk

kelangsungan

hidup

seluruh

anggota

keluarga.

Peran

ini

lebih

memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam
keluarga inti suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini
agar tujuan secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah
peran memberi dan menerima, mencintai dan dicintai, kelembutan dan kasih
sayang. Peran ini bertujuan untuk dapat mengintegrasikan atau mencip- takan
suasana harmonis dalam keluarga serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi
karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar

21

keluarga. Suami diharapkan berada di luar rumah untuk mencari nafkah, istri
biasanya tinggal di rumah, maka istri diharapkan berperan memberikan
kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.
Keseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif dalam keluarga perlu
dijaga dan dipertahankan.
Parsons dan Bales (Nye & Berardon, 1967) mengemukakan bahwa kajian
tentang hubungan internal dalam sebuah keluarga berfokus pada pembagian
tugas dalam keluarga secara seksual, yakni antara fungsi ekspresif dan
instrumental. Pembedaan fungsi sebenarnya bukan hanya terkait dengan jenis
kelamin, tetapi juga dengan proses interaksi dalam pengambilan keputusan.
Proses interaksi ini menyebabkan spesialisasi dua jenis aktivitas yang berbeda,
yakni ekspresif dan instrumental.
Fungsi instrumental secara primer berkaitan dengan hubungan keluarga
dengan situasi eksternal dan penetapan hubungan keluarga. Menurut Slater
(1974), keterkaitan fungsi ini dengan proses atau upaya adaptasi keluarga dengan
situasi eksternal menyebabkan penyebutan fungsi ini menjadi fungsi instrumentaladaptif. Fungsi atau aktivitas ini menjadi peran utama dari ayah atau suami, dan
salah satu aspeknya adalah pencari nafkah (breadwinner).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ini dengan fungsi kontrol, yang
didasarkan pada penerapan otoritas dan tanggung jawab orangtua terhadap
kesejahteraan anaknya. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari
proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap
yang dianggap baik dan penting bagi anak untuk adaptasi (child adjustment)
dengan lingkungan eksternal. Berdasarkan penjelasan Winch, maka fungsi dan
aktivitas instrumental-adaptif ini lebih luas. Ayah bukan saja dominan sebagai
pencari nafkah, tetapi juga sebagai agen utama sosialisasi ini, perilaku, sikap, dan
norma sosial.
Fungsi ekspresif dikaitkan terutama dengan solidaritas keluarga, hubungan
internal antar anggota keluarga, dan pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional
anggota keluarga. Ibu atau istri dianggap paling dominan dalam melaksanakan
fungsi ini, karena itu dia dianggap menjadi simbol integratif keluarga. Penekanan
fungsi ini pada masalah integrasi keluarga menyebabkan ia disebut juga fungsi
ekspresif-integratif (Slater, 1974).
Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ekspresif dengan fungsi pengasuhan (nurturance). Fungsi ini secara sempit diartikan sebagai kegiatan atau

22

penanganan aspek pemeliharaan (maintenance) anak sehari-hari seperti makan,
memandikan, dan mengenakan baju. Dalam pengertian yang lebih luas
pengasuhan

diartikan

sebagai

proses

psikologis

pemenuhan

kebutuhan

emosional-afeksional anak melalui ucapan (termasuk bercerita, menyanyi), tindakan, dan sentuhan fisik. Kegiatan ini sering dikaitkan dengan istilah penyediaan
kehangatan untuk anak.
Benson (Bigner, 1979) mengemukakan bahwa ibu yang baik juga melaksanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi instrumental, ayah yang baik
melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu yang bersifat ekspresif. Parke (1996)
menjelaskan bahwa akhir-akhir ini fatherhood ideology dalam parenting semakin
fenomenal. Ini menandai bangkitnya sebuah era yang mengakui pentingnya
parenting yang dilakukan oleh ayah. Kecenderungan ini harus dipahami tidak
dalam konteks pergantian fungsi (role replacement). Ayah tetap dianggap sebagai
pelaku utama dari fungsi instrumental, yang dalam momen-momen tertentu dia
juga bisa terlibat dalam fungsi ekspresif.
Dari beberapa fungsi keluarga yang telah dikemukakan di atas ada
beberapa persamaan antara fungsi keluarga yang dikemukaan oleh BKKBN
(1997), Berns (1997), Guhardja et al. (1989) dan Rice dan Tucker (1986) yaitu :
(1) sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan

yang

selanjutnya melestarikan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2)
memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya
mulai dari sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan serta
kebutuhan emosional lainnya, dan (3) memberikan peran sosial dan keagamaan
dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan
norma-norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua
dalam keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan
Yang Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi keluarga yang telah disebutkan di atas terletak
pada peran orang tua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Rice dan
Tucker (1986) membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi
instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah
dan fungsi ekspresif diperankan oleh ibu. BKKBN (1997), Berns (1997), Guhardja
et al. (1989) tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga ke dalam
peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Dalam penelitian ini, fungsi keluarga yang digunakan adalah yang

23

dikemukakan oleh Rice dan Tucker (1986) dengan alasan peneliti ingin melihat
apakah kedua fungsi keluarga yaitu instrumental yang diperankan oleh ayah dan
ekspresif yang diperankan oleh ibu telah dapat dijalankan dengan baik pasca
terjadinya gempa dan tsunami.

Stres
Pengertian Stres
Pengertian stres (cekaman), menurut Haber dan Runyon (1984), adalah
konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya
dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman (1984) memberikan pengertian stres
adalah

keadaan atau situasi yang rumit dan dinilai sebagai keadaan yang

menekan dan membahayakan individu serta telah melampui sumber daya yang
dimiliki individu untuk mengatasinya
Selye (1982) yang dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah stres,
mendefinisikan stres sebagai respon umum dan tidak spesifik terhadap setiap
tuntutan fisik maupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari
dalam diri (internal). Robins (2001) mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi
dinamik, dalam hal ini seorang individu dihadapkan dengan sebuah peluang yang
dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya. Stres tidak hanya mempunyai
nilai negatif, tetapi juga positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu
menawarkan perolehan yang potensial. Stres juga sebagai kendala jika dapat
menghambat seseorang mengerjakan apa yang diinginkannya.
Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy (Sarafino, 2002),
mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai suatu respon dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres
sebagai stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang
dapat mengancam atau berbahaya, sehingga menimbulkan ketegangan dan
perasaan tidak nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres
merupakan reaksi/respon individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan.
Stres sebagai suatu proses terjadi karena adanya interaksi antara individu dan
lingkungan.
Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres akut
(acute stres) dan stres kronis (chronic stres). Stres akut, yang berjangka waktu
tidak lama (short-item), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara

24

umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight).
Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah
sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada umumnya
meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya, infeksi, dan
membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang berbahaya.
Orang yang sering mengalami berbagai situasi yang sifatnya mencekam
secara terus menerus dalam waktu yang lama akan mendorong untuk bertindak
maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa
yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka
panjang, kesepian, dan kekhawatiran akan finansial karena kepala rumahtangga
sebagai pencari nafkah menjadi korban bencana. Ini banyak dialami oleh para
pengungsi, seperti di tempat penampungan atau barak-barak dalam jangka waktu
lama. Mereka berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya
di masa mendatang.
Sumber Stres
Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989), sumber
stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
(1) Perubahan

menyeluruh

(cataclymic

stressor).

Kejadian

yang

dapat

menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh banyak
orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai, tsunami).
(2) Sumber stres dari pribadi (personal stressor). Perubahan yang terjadi dalam
kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres, misalnya:
pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau kehilangan
pekerjaan.
(3) Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa
ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan
gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi masalah
yang

mengganggu

dan

menekan

emosional,

contohnya:

lingkungan

rumah/kerja yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan sebagainya.
Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:
(1) Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang
disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres biologis
dapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.

25

(2) Sumber stres bersifat psikososial. Menurut Atwater (1983) stres psikologis
dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stres yang
bersifat psikososial yaitu :
(a) Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari
dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang tidak
berlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk dapat
berbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat merugikan
individu atau membuatnya tidak berdaya.
(b) Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau
tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula diakibatkan oleh
tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.
(c) Konflik. Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan
dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.
(d) Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman.
Dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuk
lebih menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan
dapat memperburuk perilaku individu.
Gejala Stres
Gejala stres mencakup gejala psikis, fisik dan perilaku, misalnya gejala
psikis kelelahan mental, diikuti gejala fisik seperti gangguan kulit, dan perubahan
perilaku yaitu penurunan kualitas hubungan interpersonal. Menurut Cox dan
Ferguson (1991), stres berkembang secara bertahap, tetapi gejala-gejalanya
dapat dikenali sejak dini. Tanda-tanda stres dapat dilihat dari beberapa aspek:
Kognitif:
(1) Ketidakmampuan untuk menghentikan berpikir tentang bencana.
(2) Kehilangan objektivitas
(3) Ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau mengekspresikan dirinya
baik secara verbal maupun tulisan
Fisik:
(1) Overwhelming/kelelahan kronik/gangguan tidur
(2) Gangguan pencernaan, sakit kepala, dan keluhan lainnya
(3) Adanya masalah makan, misalnya nafsu makan bertambah atau hilangnya
selera makan

26

Afektif:
(1) Timbul keinginan bunuh diri, depresi berat
(2) Mudah marah
(3) Sinisme dan atau pesimisme yang berlebihan
(4) Kekhawatiran yang berlebihan mengenai korban dan keluarganya
(5) Merasa cemburu melihat pihak lain yang sedang menangani korban
(6) Merasa ada tekanan/paksaan
(7) Adanya keresahan yang signifikan setelah mendapatkan penanganan
Tingkah laku:
(1) Mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat
(2) Menarik diri dari hubungan dengan teman, rekan kerja, dan keluarga.
(3) Bertingkah laku sesuka hatinya.
(4) Merasa tidak perlu untuk melakukan hubungan dengan korban lain
(5) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan atau bertanggung jawab atas
pekerjaan secara normal
(6) Berusaha untuk tidak tergantung kepada tim penanganan korban
Allen (2001) mengidentifikasi gejala-gejala (symptoms) orang mengalami
stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Simtom-simtom tersebut
adalah sebagai berikut:
(1)

Pikiran-pikiran menakutkan (scary-thought)

(2) Ada gangguan (distraction)
(3) Pikiran bersaing (racing mind)
(4) Tidak yakin atau ragu-ragu (uncertainty)
(5) Tidak logis (illogic)
(6) Lupa (forgetfulness)
(7) Kecurigaan (suspicion)
(8) Lekas marah (irritability)
(9) Kecemasan (anxiety)
(10) Depresi (depression)
(11) Gusar atau marah-marah (anger)
(12) Kesepian (lonliness)
(13) Rendah diri (low-self esteem)
(14) Gangguan perut (upset stomach)
(15) Keletihan (fatigue)
(16) Sakit punggung (backache)

27

(17) Sak