Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SITI MARYAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Strategi coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Doktor pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

Siti Maryam NRP. A561020


(3)

ABSTRAK

SITI MARYAM. Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Bawah Bimbingan :

DADANG SUKANDAR (KETUA), SUPRIHATIN GUHARDJA (ANGGOTA), PANG S. ASNGARI (ANGGOTA), DAN EUIS SUNARTI (ANGGOTA)

Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, dan (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga, (2) Mengidentifikasi sumberdaya coping yang dimiliki oleh keluarga, (3) Mengidentifikasi tingkat stres, (4) Mengidentifikasi strategi coping, (5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga, (6) Menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, strategi coping dan keberfungsian keluarga antar tipologi keluarga, (7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping, dan (8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga

Disain penelitian ini adalah cross-sectional dan retrospective study. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraksa dengan pertimbangan kedua kecamatan di Kota Banda Aceh tersebut terkena musibah gempa dan tsunami terparah pada tanggal 26 Desember 2004, pengumpulan data berlangsung mulai bulan Mei sampai Juli 2006.

Populasi penelitian ini adalah keluarga yang wilayahnya terkena masalah gempa dan tsunami yang berada pada dua kecamatan tersebut di atas. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional (stratifiedrandom sampling). Lapis pertama adalah keluarga utuh, kedua keluarga duda dan ketiga keluarga janda. Total contoh yang diambil sejumlah 138 contoh. Data primer meliputi: (1) Masalah-masalah yang dihadapi keluarga pasca gempa dan tsunami, (2) Sumberdaya coping yang mencakup karakteristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga, pengeluaran, pendapatan, dan aset), ciri-ciri pribadi (umur, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, kepribadian dan konsep diri) dan dukungan sosial, (3) Strategi coping (coping berpusat pada masalah dan coping berpusat pada emosi), (4) Tingkat stres, dan (5) Keberfungsian keluarga. Data skunder meliputi propil Kecamatan dan daftar bantuan sosial. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS 10.1 dan program SAS. Analisis data yang digunakan adalah statistik dasar (elementary statistic analysis) dan regresi linear berganda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang masih dialami keluarga 1,5 tahun pasca tsunami antara lain: tidak adanya pangan hewani untuk dikonsumsi setiap hari, kesulitan dalam membayar obat-obatan, ketidakmampuan keluarga menyediakan fasilitas untuk keperluan belajar anak di rumah, tempat tinggal/rumah untuk tempat berlingdung anggota keluarga tidak memadai terutama bagi keluarga utuh, tidak memiliki cukup pakaian untuk aktivitas yang berbeda serta penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Sumberdaya coping yang dimiliki keluarga yakni: (1) karakteristik sosial ekonomi meliputi: jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang, 1.5 tahun pasca tsunami masih ada 15,2% kepala keluarga belum kembali bekerja. Rata-rata


(4)

pengeluaran keluarga perkapita untuk pangan dan non pangan masing-masing Rp 287.000 dan Rp 260.000 (52% dan 48%) dari total pendapatan. Rata-rata nilai aset yang dimiliki keluarga adalah Rp 20.442.237; (2) ciri-ciri pribadi kepala keluarga meliputi: umur rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan umumnya SLTA/sederajat. Tingkat kesehatan selama enam bulan terakhir sebagian besar (87%) cukup baik. Kepribadian kepala keluarga sebagian besar (87%) adalah ekstrovet dan konsep diri juga sebagian besar (93.5%) tergolong positif; dan (3) sebagian besar keluarga (86.2%) menerima dukungan sosial dari berbagai pihak. Setahun pasca gempa dan tsunami, tingkat stres kepala keluarga dengan pendekatan metode Family Inventory of Life sebagian besar (88,4%) termasuk stres minor. Jika menggunakan metode Holmes dan Rahe, masih ada 44.9% kepala keluarga yang mengalami tingkat stres dengan katagori sedang. Pendekatan dengan menggunakan metode Holmes dan Rahe lebih tepat digunakan karena mampu mengungkap tingkat stres yang dialami saat ini yang diakibatkan oleh peristiwa setahun yang lalu.

Strategi coping yang dilakukan kepala keluarga pasca gempa dan tsunami adalah strategi coping berfokus pada masalah dan strategi coping berfokus pada emosi. Namun demikian, strategi coping yang dilakukan oleh kepala keluarga belum maksimal, baik strategi coping berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada emosi masing-masing hanya 44,2% dan 19.1% yang termasuk katagori tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada masalah adalah masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial dan tipologi keluarga. Dan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping berfokus pada emosi adalah kepribadian, umur kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan dukungan sosial. Tingginya tingkat stres kognitif yang dilami kepala keluarga mengakibatkan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi sehingga upaya penyelesaian masalah menjadi rendah. Keluarga single perent lebih rendah melakukan strategi coping berfokus pada masalah dibandingkan keluarga utuh. Namun demikian, semakin tinggi masalah kesehatan yang dialami keluarga, maka upaya penyelesaian masalah melalui strategi coping berfokus masalah semakin tinggi. Begitu juga dengan kepribadian yang ekstrovet, umur yang semakin tua, jumlah anggota keluarga yang besar maka penyelesaian masalah melalui strategi coping berfokus pada emosi juga semakin baik.

Dalam hal keberfungsian keluarga, masih terdapat keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal, baik fungsi ekspresif maupun intrumental. Hal ini terbukti masih ada 37.7% keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsi intrumental untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, dan 8,7% keluarga tidak dapat melakukan fungsi ekspresif dengan baik. Fungsi ekspresif jauh lebih berfungsi dibandingkan dengan fungsi intrumental.

Pendidikan kepala keluarga dan konsep diri yang positif mengakibatkan fungsi ekspresif yang dilakukan semakin baik. Akan tetapi semakin tinggi masalah rumah yang dihadapi kepala keluarga, maka fungsi ekspresif yang dilakukan semakin rendah. Tingginya masalah pendidikan dan masalah pakaian yang dilami keluarga dan berbagai upaya penyelesaian masalah dilakukan, baik melalui pendekatan analitis atau yang mengandung resiko serta mencari berbagai dukungan sosial mengakibatkan fungsi instrumental yang dilakukan kepala keluarga semakin baik.

Kata Kunci : strategi coping, gempa dan tsunami, tingkat stres, sumberdaya coping, keberfungsian keluarga


(5)

ABSTRACT

SITI MARYAM. The Coping Strategies of Families after Earthquake and Tsunami Disaster in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under supervision of DADANG SUKANDAR, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, EUIS SUNARTI

In the end of December 2004, earthquake and tsunami disaster attacked Nanggroe Aceh Darussalam Province and North Sumatera. The disaster caused : (a) great number of huge human victims; (b) the paralyzed of basic services; (c) basic infra structure disfunction; as well as (d) the destroy of social and economic system. The objectives of this research is to analyze the coping strategies of families after earthquake and tsunami disaster in Nanggroe Aceh Darussalam province. This research used cross-sectional design study, it’s was performed since May 2006 in Kuta Alam and Meuraxa sub districts. Number of samples were 138 families, which consist of 103 intact families, 20 widower families and 15 widow families. Sampling technique used proportional random sampling. Then, data was taken by using questionnaire. The stress level of families by using Family Live Inventory method indicated that most of families after the disaster belonged to minor stress, whereas the level stress with Holmes and Rahe method showed families belonged to moderate stress. Meanwhile, both coping problem-based strategy (44.2%) and emotion-problem-based strategy (18.1%) of families were belonged into high level. Most of families are categorized into high category for expressive and instrumental. The significant variables which influenced the family’s expressive function were personality, widower typologi, seeking social support, planful problem solving and widows typology. Meanwhile, the variables influenced significantly on family’s instrumental function were health problem, housing problem, educational problems, plantful problem solving, self controlling, family size, social support.


(6)

@ Hak Cipta miliki IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

STRATEGI

COPING

KELUARGA YANG TERKENA

MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SITI MARYAM

Sebagai salah satu syarat

Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(8)

Judul Disertasi : Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nama : Siti Maryam

NRP : A 561020031

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS Ketua Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Dan Sumberdaya Keluarga

Prof. Dr. Ali Khomsan, MSc Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, serta (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar pada kondisi psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, serta kurang berfungsinya pemerintahan disebabkan oleh hancurnya sarana dan prasarana dasar dan berkurangnya sumberdaya manusia aparatur. Kegiatan produksi termasuk perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan memerlukan pemulihan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi bencana dapat segera diakses. Sistem sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian mencapai 44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial (perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama) sebesar $1.657 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi, saluran irigasi) $877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan pertambangan) $1.182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai sektor diperkirakan sebesar US$ 4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun.

Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi pasti jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002) dan 1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya


(10)

gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65% dari penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa.

Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama: tahap tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan restorasi fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan dalam 6-20 bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan dalam 1.5-2 tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sasaran dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a) pembangunan dapur umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan korban meninggal, dan (d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c) pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan hukum dan ketertiban umum, dan (e) pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan ekonomi melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan kembali sistem ekonomi, (c) pembangunan kembali sistem infrastruktur regional dan lokal, (d) revitalisasi sistem sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali sistem kelembagaan, dan (f) pembangunan sistem peringatan dini untuk meminimalisir dampak bencana. (BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009).

Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap budaya masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan keyakinan agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah tamah, kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya ditinggalkan. Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah kemajuan menjadi indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki ketinggalan budaya yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari masyarakat lain (Kurdi, 2005). Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian


(11)

yang penting, bahkan terpenting dalam pembangunan masyarakat dan keluarga (Hikmat, 2001).

Masalah Penelitian

Tingginya angka kemiskinan di Aceh mempunyai korelasi positif terhadap angka pengangguran. BKKBN Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 mencatat 300.000 jiwa menganggur, tahun 2002 sekitar 48.8 persen (1.073.600 jiwa) dari 2,2 juta angkatan kerja menganggur. Tentunya angka pengangguran di Aceh akan bertambah pasca tsunami mengingat banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian terutama yang berprofesi sebagai nelayan dan pedagang yang tempat tinggalnya dekat dengan pantai (coastal zone). Kehilangan pekerjaan berarti tidak memiliki pendapatan dan akan berdampak langsung terhadap kehidupan keluarga dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.

Kehilangan pekerjaan seperti nelayan dan petani tambak merupakan masalah besar, nelayan tidak dapat ke laut karena perahu dan peralatan melaut hancur dan hilang tanpa bekas, petani tambak juga merasakan bahwa tambaknya rata seperti laut tanpa ada pembatas satu dengan lainnya. Hal yang sama juga dirasakan oleh orang-orang yang profesinya sebagai pedagang, toko dan barang dagangannya hancur berantakan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari pemerintah dan LSM memberikan bantuan berupa bahan makanan, pakaian, sarana kesehatan dan lain sebagainya serta uang yang jumlahnya Rp 90.000/orang/bulan. Selain itu pemerintah dan LSM juga membantu menata kembali perekonomian masyarakat Aceh, mulai dari memberikan bantuan perahu, menata kembali tambak yang berantakan dan memberikan pinjaman modal usaha dengan tujuan supaya masyarakat dapat bekerja kembali sehingga perekonomian mayarakat Aceh secara keseluruhan cepat stabil.

Dalam bidang pendidikan kerusakan yang terjadi adalah untuk tingkat SD/MI 27 persen, SLTP/MTs 31 persen, dan SLTA/MA 38 persen. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal/hilang sebanyak 1.400 orang, peserta didik dan mahasiswa yang meninggal/hilang sebanyak 40.900 orang. Rusak/hilangnya berbagai sarana dan prasarana tersebut membuat pendidikan di Aceh pasca tsunami menjadi menurun. Jumlah guru yang minim, kurangnya fasilitas prasarana dan sarana pendidikan, menjadi faktor penyebab turunnya kualitas pendidikan di Aceh. Tidak dipungkiri kalau hilang/meninggalnya guru-guru


(12)

yang merupakan asset human resource di sekolah atau perguruan tinggi tertentu juga menjadi pemicu semakin turunnya pendidikan di Aceh. Pemerintah telah mengirimkan beberapa tenaga pendidik dari luar daerah untuk Aceh mengisi kekosongan guru sehingga tidak ada alasan adanya proses pembelajaran yang terhenti. Untuk saat ini, Aceh membutuhkan 12.000 guru tambahan yang akan ditempatkan di seluruh kabupaten/kota. Kekurangan ini diharapkan bisa teratasi apabila adanya perekrutan yang baru sekitar 5.000 orang.

Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), ketika terjadi gempa dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, rumah sakit yang rusak dan hancur 8 buah dan puskesmas 232 buah dan banyaknya tenaga medis yang meninggal dan hilang yang menyebabkan pelayanan kesehatan menurun. Untuk membantu pelayanan kesehatan masyarakat Menteri Kesehatan telah mengirim 761 tenaga kesehatan (110 orang dokter PTT, 79 bidan desa, 110 sarjana kesehatan masyarakat, 48 ahli gizi, 55 ahli kesehatan lingkungan, 330 perawat dan 29 tenaga farmasi. Semua petugas kesehatan ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan masyarakat pasca gempa dan tsunami.

Masalah perumahan/tempat tinggal menjadi persoalan tersendiri yang penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk sementara seluruh pengungsi ditempatkan di barak-barak yang disediakan oleh pemerintah walaupun dengan kondisi yang tidak memadai. Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa dan tsunami ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, di tiap kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar, posko-posko tersebut menampung sebanyak 300-500 orang, ada juga yang menampung 1000 - 4000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka akan pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang menumpang di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.

Banyaknya permasalahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami seperti yang telah disebutkan di atas akan berdampak terhadap kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang semula berjalan normal tiba-tiba terganggu dengan berbagai persoalan seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah, kehilangan aset dan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai. Semua permasalah ini terjadi


(13)

secara tiba-tiba dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat keluarga menjadi kebingungan dan stres.

Untuk mengatasi stres yang dialami keluarga pasca gempa dan tsunami, setiap keluarga dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dengan demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai yang disebut strategi “coping”. Hal tersebut didukung oleh Friedman (1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga diharapkan mampu berperan dalam menyelesaikan masalah melalui strategi coping yang efektif. Apabila keluarga mampu melakukan “coping” dengan baik, akan berdampak positif terhadap keberfungsian keluarga. Sebagaimana dinyatakan oleh Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga, kita harus kembali pada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan, walaupun fungsi-fungsi tersebut sangat beragam. Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

(1) Masalah-masalah apa saja yang dihadapi keluarga pasca gempa tsunami ? (2) Bagaimanakah tingkat stres yang dialami keluarga ?

(3) Sumberdaya coping apa saja yang dimiliki oleh keluarga ? (4) Bagaimanakah strategi coping keluarga ?

(5) Bagaimanakah keberfungsian keluarga ?

(6) Apakah ada perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga ? (7) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi coping ?

(8) Bagaimana pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi coping terhadap keberfungsian keluarga ?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi coping keluarga yang terkena musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(14)

Tujuan Khusus

(1) Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi keluarga (2) Mengidentifikasi tingkat stres yang dialami keluarga

(3) Mengidentifikasi sumberdaya coping keluarga (4) Mengidentifikasi strategi coping keluarga (5) Mengidentifikasi keberfungsian keluarga

(6) Untuk menganalisis perbedaan masalah keluarga, tingkat stres, sumberdaya coping, strategi coping dan keberfungsian keluarga berdasarkan tipologi keluarga

(7) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping keluarga (8) Menganalisis pengaruh masalah keluarga, sumberdaya coping dan strategi

coping terhadap keberfungsian keluarga

Manfaat Penelitian

Hasil penelian diharapkan dapat :

(1) Menyediakan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah baik ditingkat daerah maupun ditingkat pusat dalam hal penanggulangan korban bencana (2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam

memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara lebih mandiri, dengan cara melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan penanggulangan bencana

(3) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang teori dan konsep ilmu keluarga, terutama dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana alam.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Keberfungsian Keluarga

Definisi Keluarga

Definisi keluarga menurut Mattesssich da Hill (Zetlin et al., 1995) adalah suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu hubungan intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan memelihara tugas-tugas keluarga. Para ahli keluarga seperti Gelles (1995); Vosler (1996); Day et al. (1995) dan UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dari semua institusi, yang merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan darah dan adopsi.

Menurut BKKBN (1997), keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang meliputi pendidikan, agama, kesehatan dan lain sebagainya.

Ruang Lingkup Ilmu Keluarga

Ilmu keluarga secara ontologi membatasi lingkup penelaahan keilmuannya pada jangkauan fenomena serta interpretasi atau penafsiran hakekat realitas dari objek kegiatan organisasi kehidupan yang paling primer yang disebut keluarga. Objek formal dari ilmu keluarga adalah (1) terjadinya/terbentuknya keluarga (perkawinan); (2) memelihara keluarga (mengusahakan makanan, pakaian, perumahan, pendidikan/pengasuhan, kesehatan, dan lain-lain); (3) meningkatkan mutu/kualitas keluarga dan anggota-anggotanya (interaksi antar anggota dalam keluarga, keluarga dengan keluarga lain dan masyarakat luas); (4) tingkat


(16)

kehidupan yang dicapai, kualitas individu-individu yang akan terjun ke masyarakat luas dan/atau membentuk keluarga-keluarga baru (produk yang dihasilkan).

Dilihat dari segi epistemologi tampak bahwa ilmu keluarga dalam memperoleh, menilai dan memahami fenomena serta realitas dari fenomena obyek formalnya (misalnya, pola asuh anak dalam keluarga, interaksi antar anggota dalam keluarga yang berakibat keharmonisan atau konflik, perilaku keluarga pada setiap perubahan strukturnya) menerapkan metode-metode ilmiah secara konsisten, sehingga dicapai hasil yang obyektif, rasional, logis, empiris, pragmatis dan transparan. Secara aksiologi, ilmu keluarga merupakan alat untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seutuhnya dalam konteks kehidupan keluarga dan interaksinya dengan lingkungan. Biasanya kajian dalam ilmu keluarga akan berkaitan dengan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, hukum, bisnis dan biologi/ekologi.

Landasan Teori (Struktural Fungsional)

Para sosiolog ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons mengemukakan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomudasi dalam fungsi yang sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi, 1999). Newman dan Grauerholz (2002) mengatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Macionis (1995) mengatakan pendekatan teori struktural fungsional juga menganalisis adanya penyimpangan, misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma, kemudian memperhitungkan seberapa besar penyimpangan dapat berkontribusi pada stabilitas atau perubahan sosial.

Menurut Megawangi (1999), konsep teori struktural fungsional antara lain: (1) Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai

peran dan konstribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan

(2) Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem (Interdepedensi)

(3) Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui konsensus daripada konflik


(17)

(4) Untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan atau integrasi antar subsistem, elemen atau individu

(5) Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara evolusioner.

Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan, dan senantiasa menuju kepada suatu keseimbangan, konsep dari keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu kemampuan untuk menjaga stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga (Winton, 1995). Teori struktural fungsional menjadi keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai baik pada tingkat masyarakat maupun pada tingkat keluarga. Adanya struktur atau strata dalam keluarga dimana masing-masing individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu :

(1) Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya mencakup tiga struktur utama, yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumahtangga), dan anak-anak (balita, sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda.

(2) Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu menurut status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran instrumental (oleh suami/bapak) dan eksprensif (oleh istri/ibu) dalam keluarga akan membuat keluarga tidak seimbang.

(3) Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal pembagian tugas dalam rumahtangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarga.

Fungsi Keluarga

Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah dalam setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam sebuah struktur hirarkis yang harmonis, dan komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah


(18)

sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem.

Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga (Megawangi, 1999). Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama keluarga adalah “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera” (Megawangi, 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun.

Di Indonesia, PP Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut BKKBN (1997), fungsi keluarga secara umum diarahkan sebagai berikut:

(1) Fungsi Keagamaan, keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

(3) Fungsi Cinta Kasih, keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.

(4) Fungsi Melindungi, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan

(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.


(19)

(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan di masa depan.

(7) Fungsi Ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.

(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.

Menurut Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga kita harus kembali kepada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan walaupun fungsi-fungsi tersebut sangat beragam. Kesuksesan keluarga dapat dipandang sangat berfungsi dan tidak sukses atau disfungsi. Keluarga yang mengalami stres berisiko mengalami disfungsi kecuali mereka dapat memperoleh dukungan untuk berfungsi dengan baik. Fungsi keluarga ada lima, yakni :

(1) Reproduksi. Keluarga menjamin bahwa populasi masyarakat akan stabil, sehingga sejumlah anak akan terlahir dan dirawat untuk menggantikan mereka yang telah meninggal

(2) Sosialisasi/Pendidikan. Keluarga menjamin bahwa nilai-nilai masyarakat, kepercayaan, sikap, pengetahuan, keahlian dan teknologi akan ditransfer kepada yang lebih muda

(3) Peran Sosial. Keluarga memberikan identitas bagi keturunannya (ras, etnis, agama, sosial ekonomi dan peran gender). Sebuah identitas mencakup perilaku dan kewajiban.

(4) Dukungan Ekonomi. Keluarga memberikan tempat berlindung, memelihara dan melindungi. Pada beberapa keluarga, semua anggota keluarga kecuali anak yang masih kecil memberikan kontribusi terhadap fungsi ekonomi melalui produksi barang. Pada keluarga lainnya, salah satu atau kedua orang tua membayar barang yang dibeli oleh semua anggota keluarga sebagai konsumen

(5) Dukungan Emosional. Keluarga memberikan pengalaman pertama pada anak dalam melakukan interaksi sosial. Interaksi ini dapat mengakrabkan, mengasuh dan sekaligus memberikan jaminan emosional bagi anak, dan perawatan keluarga bagi anggotanya ketika mereka sakit, luka dan tua.


(20)

Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya orang tua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan kelu- arga adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan merupakan sumber ekspresi bagi individu. Pangan yang cukup diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi, sehingga mampu melaksanakan segala aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga (2) Perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar

dari anggota keluarga, maka kesempataan berkembang yang lebih luas dapat dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial dari kehidupan mereka

Rice dan Tucker (1986) membagi fungsi keluarga menjadi dua fungsi utama, yakni fungsi instrumental seperti memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan biologis dan fisik kepada para anggota keluarga. Fungsi kedua adalah fungsi ekspresif yaitu memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan emosi serta pemenuhan kebutuhan psikologis seperti kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan pengembangan diri anak.

Parsons dan Bales (Megawangi, 1999) menyatakan bahwa peran orang tua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran pencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran memberi dan menerima, mencintai dan dicintai, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk dapat mengintegrasikan atau mencip- takan suasana harmonis dalam keluarga serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar


(21)

keluarga. Suami diharapkan berada di luar rumah untuk mencari nafkah, istri biasanya tinggal di rumah, maka istri diharapkan berperan memberikan kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai. Keseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif dalam keluarga perlu dijaga dan dipertahankan.

Parsons dan Bales (Nye & Berardon, 1967) mengemukakan bahwa kajian tentang hubungan internal dalam sebuah keluarga berfokus pada pembagian tugas dalam keluarga secara seksual, yakni antara fungsi ekspresif dan instrumental. Pembedaan fungsi sebenarnya bukan hanya terkait dengan jenis kelamin, tetapi juga dengan proses interaksi dalam pengambilan keputusan. Proses interaksi ini menyebabkan spesialisasi dua jenis aktivitas yang berbeda, yakni ekspresif dan instrumental.

Fungsi instrumental secara primer berkaitan dengan hubungan keluarga dengan situasi eksternal dan penetapan hubungan keluarga. Menurut Slater (1974), keterkaitan fungsi ini dengan proses atau upaya adaptasi keluarga dengan situasi eksternal menyebabkan penyebutan fungsi ini menjadi fungsi instrumental-adaptif. Fungsi atau aktivitas ini menjadi peran utama dari ayah atau suami, dan salah satu aspeknya adalah pencari nafkah (breadwinner).

Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ini dengan fungsi kontrol, yang didasarkan pada penerapan otoritas dan tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anaknya. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap yang dianggap baik dan penting bagi anak untuk adaptasi (child adjustment) dengan lingkungan eksternal. Berdasarkan penjelasan Winch, maka fungsi dan aktivitas instrumental-adaptif ini lebih luas. Ayah bukan saja dominan sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai agen utama sosialisasi ini, perilaku, sikap, dan norma sosial.

Fungsi ekspresif dikaitkan terutama dengan solidaritas keluarga, hubungan internal antar anggota keluarga, dan pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anggota keluarga. Ibu atau istri dianggap paling dominan dalam melaksanakan fungsi ini, karena itu dia dianggap menjadi simbol integratif keluarga. Penekanan fungsi ini pada masalah integrasi keluarga menyebabkan ia disebut juga fungsi ekspresif-integratif (Slater, 1974).

Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ekspresif dengan fungsi peng-asuhan (nurturance). Fungsi ini secara sempit diartikan sebagai kegiatan atau


(22)

penanganan aspek pemeliharaan (maintenance) anak sehari-hari seperti makan, memandikan, dan mengenakan baju. Dalam pengertian yang lebih luas pengasuhan diartikan sebagai proses psikologis pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anak melalui ucapan (termasuk bercerita, menyanyi), tinda- kan, dan sentuhan fisik. Kegiatan ini sering dikaitkan dengan istilah penyediaan kehangatan untuk anak.

Benson (Bigner, 1979) mengemukakan bahwa ibu yang baik juga melak- sanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi instrumental, ayah yang baik melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu yang bersifat ekspresif. Parke (1996) menjelaskan bahwa akhir-akhir ini fatherhood ideology dalam parenting semakin fenomenal. Ini menandai bangkitnya sebuah era yang mengakui pentingnya parenting yang dilakukan oleh ayah. Kecenderungan ini harus dipahami tidak dalam konteks pergantian fungsi (role replacement). Ayah tetap dianggap sebagai pelaku utama dari fungsi instrumental, yang dalam momen-momen tertentu dia juga bisa terlibat dalam fungsi ekspresif.

Dari beberapa fungsi keluarga yang telah dikemukakan di atas ada beberapa persamaan antara fungsi keluarga yang dikemukaan oleh BKKBN (1997), Berns (1997), Guhardja et al. (1989) dan Rice dan Tucker (1986) yaitu : (1) sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya melestarikan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai dari sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan serta kebutuhan emosional lainnya, dan (3) memberikan peran sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang Maha Pencipta.

Perbedaan dari fungsi-fungsi keluarga yang telah disebutkan di atas terletak pada peran orang tua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Rice dan Tucker (1986) membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif diperankan oleh ibu. BKKBN (1997), Berns (1997), Guhardja et al. (1989) tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga ke dalam peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan bersama-sama. Dalam penelitian ini, fungsi keluarga yang digunakan adalah yang


(23)

dikemukakan oleh Rice dan Tucker (1986) dengan alasan peneliti ingin melihat apakah kedua fungsi keluarga yaitu instrumental yang diperankan oleh ayah dan ekspresif yang diperankan oleh ibu telah dapat dijalankan dengan baik pasca terjadinya gempa dan tsunami.

Stres

Pengertian Stres

Pengertian stres (cekaman), menurut Haber dan Runyon (1984), adalah konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman (1984) memberikan pengertian stres adalah keadaan atau situasi yang rumit dan dinilai sebagai keadaan yang menekan dan membahayakan individu serta telah melampui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya

Selye (1982) yang dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah stres, mendefinisikan stres sebagai respon umum dan tidak spesifik terhadap setiap tuntutan fisik maupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari dalam diri (internal). Robins (2001) mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi dinamik, dalam hal ini seorang individu dihadapkan dengan sebuah peluang yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya. Stres tidak hanya mempunyai nilai negatif, tetapi juga positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan perolehan yang potensial. Stres juga sebagai kendala jika dapat menghambat seseorang mengerjakan apa yang diinginkannya.

Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy (Sarafino, 2002), mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai suatu respon dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres sebagai stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang dapat mengancam atau berbahaya, sehingga menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres merupakan reaksi/respon individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan. Stres sebagai suatu proses terjadi karena adanya interaksi antara individu dan lingkungan.

Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres akut (acute stres) dan stres kronis (chronic stres). Stres akut, yang berjangka waktu tidak lama (short-item), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara


(24)

umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight). Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada umumnya meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya, infeksi, dan membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang berbahaya.

Orang yang sering mengalami berbagai situasi yang sifatnya mencekam secara terus menerus dalam waktu yang lama akan mendorong untuk bertindak maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya meliputi peristiwa yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka panjang, kesepian, dan kekhawatiran akan finansial karena kepala rumahtangga sebagai pencari nafkah menjadi korban bencana. Ini banyak dialami oleh para pengungsi, seperti di tempat penampungan atau barak-barak dalam jangka waktu lama. Mereka berada dalam situasi ketidakpastian terutama dalam kehidupannya di masa mendatang.

Sumber Stres

Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989), sumber stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

(1) Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor). Kejadian yang dapat menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh banyak orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai, tsunami). (2) Sumber stres dari pribadi (personal stressor). Perubahan yang terjadi dalam

kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres, misalnya: pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau kehilangan pekerjaan.

(3) Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi masalah yang mengganggu dan menekan emosional, contohnya: lingkungan rumah/kerja yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan sebagainya.

Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:

(1) Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres biologis dapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.


(25)

(2) Sumber stres bersifat psikososial. Menurut Atwater (1983) stres psikologis dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stres yang bersifat psikososial yaitu :

(a) Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang tidak berlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk dapat berbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat merugikan individu atau membuatnya tidak berdaya.

(b) Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula diakibatkan oleh tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.

(c) Konflik. Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.

(d) Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman. Dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuk lebih menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan dapat memperburuk perilaku individu.

Gejala Stres

Gejala stres mencakup gejala psikis, fisik dan perilaku, misalnya gejala psikis kelelahan mental, diikuti gejala fisik seperti gangguan kulit, dan perubahan perilaku yaitu penurunan kualitas hubungan interpersonal. Menurut Cox dan Ferguson (1991), stres berkembang secara bertahap, tetapi gejala-gejalanya dapat dikenali sejak dini. Tanda-tanda stres dapat dilihat dari beberapa aspek: Kognitif:

(1) Ketidakmampuan untuk menghentikan berpikir tentang bencana. (2) Kehilangan objektivitas

(3) Ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau mengekspresikan dirinya baik secara verbal maupun tulisan

Fisik:

(1) Overwhelming/kelelahan kronik/gangguan tidur

(2) Gangguan pencernaan, sakit kepala, dan keluhan lainnya

(3) Adanya masalah makan, misalnya nafsu makan bertambah atau hilangnya selera makan


(26)

Afektif:

(1) Timbul keinginan bunuh diri, depresi berat (2) Mudah marah

(3) Sinisme dan atau pesimisme yang berlebihan

(4) Kekhawatiran yang berlebihan mengenai korban dan keluarganya (5) Merasa cemburu melihat pihak lain yang sedang menangani korban (6) Merasa ada tekanan/paksaan

(7) Adanya keresahan yang signifikan setelah mendapatkan penanganan Tingkah laku:

(1) Mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat

(2) Menarik diri dari hubungan dengan teman, rekan kerja, dan keluarga. (3) Bertingkah laku sesuka hatinya.

(4) Merasa tidak perlu untuk melakukan hubungan dengan korban lain

(5) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan atau bertanggung jawab atas pekerjaan secara normal

(6) Berusaha untuk tidak tergantung kepada tim penanganan korban

Allen (2001) mengidentifikasi gejala-gejala (symptoms) orang mengalami stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Simtom-simtom tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pikiran-pikiran menakutkan (scary-thought) (2) Ada gangguan (distraction)

(3) Pikiran bersaing (racing mind)

(4) Tidak yakin atau ragu-ragu (uncertainty) (5) Tidak logis (illogic)

(6) Lupa (forgetfulness) (7) Kecurigaan (suspicion) (8) Lekas marah (irritability) (9) Kecemasan (anxiety) (10) Depresi (depression)

(11) Gusar atau marah-marah (anger) (12) Kesepian (lonliness)

(13) Rendah diri (low-self esteem) (14) Gangguan perut (upset stomach) (15) Keletihan (fatigue)


(27)

(17) Sakit kepala (headache) (18) Sembelit (constipation) (19) Diare (diarrhea)

(20) Dada sumpek (chest tightness)

(21) Kebiasaan tidur yang buruk (poor sleeping habits) (22) Kebiasaan bangun yang buruk (poor calling habits) (23) Berbicara cepat (rapid speech)

(24) Menggunakan obat-obatan (drug use)

(25) Mengendarai dengan sembrono (reckless driving) (26) Merokok berlebihan (excessive smoking)

(27) Minum (Alkohol) berlebihan (excessive drinking)

Dari beberapa gejala stres yang telah disampaikan oleh para ahli ada yang telah mengarah kepada coping yang tidak efektif (maladaptif) seperti Kebiasaan tidur yang buruk, kebiasaan bangun yang buruk, berbicara cepat, menggunakan obat-obatan, mengendarai dengan sembrono, merokok berlebihan dan minum alkohol dan obat terlarang.

Pengukuran Tingkat Stres dengan Metode Holmes dan Rahe

Pada tahun 1967, Dr. Thomas H. Holmes dan Dr. Richard H. Rahe telah mengembangkan alat ukur stres diri yang disebut “Social Readjusment Rating Scale” (Tabel 1). Holmes dan Rahe mengkategorikan tingkat stres kedalam empat katagori. Skor kurang dari 150 sebagai stres minor, skor 150-199 tergolong stres ringan, skor 200-299 tergolong stres sedang dan skor di atas 300 tergolong stres mayor/berat. Holmes dan Rahe memperkirakan bahwa 35 persen individu dengan skor di bawah 150 akan mengalami sakit atau kecelakaan dalam dua tahun, 51 persen individu dengan skor antara 150-300 dan mereka dengan skor di atas 300 berpeluang 80% mengalami sakit atau kecelakaan. Dalam penelitian ini tidak semua item yang dinyatakan oleh Holmes dan Rahe diadopsi, hanya 10 item dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan yaitu: kematian pasangan, perpisahan perkawinan, kehilangan aset, perubahan kondisi keuangan, kematian anggota keluarga, luka atau sakit parah, kematian teman dekat, perubahan jenis pekerjaan, pinjaman keuangan dan perubahan tempat tinggal. Pengkatagoriannya tetap mengadopsi dari Holmes dan Rahe.


(28)

Tabel 1. Penyebab dan tingkat stres menurut metode Holmes dan Rahe

No Penyebab Stres Skor

1 Kematian pasangan 100

2 Perceraian 73

3 Perpisahan perkawinan 65

4 Masuk penjara 63

5 Kematian anggota keluarga 63

6 Luka atau sakit parah 53

7 Perkawinan 50

8 Dipecat dari pekerjaan/kehilangan aset 47

9 Pensiun 45

10 Rekonsiliasi perkawinan 45

11 Perubahan kesehatan atau perilaku anggota keluarga 44

12 Kehamilan 40

13 Masalah seksual 40

14 Memperoleh anggota keluarga baru lewat kelahiran atau adopsi 39

15 Penyesuaian bisnis secara besar-besaran 39

16 Perubahan kondisi keuangan 38

17 Kematian teman dekat 37

18 Perubahan jenis pekerjaan 36

19 Perubahan banyaknya argumen dengan rekan 35

20 Mengambil hipotek baru/pinjaman keuangan 31

21 Penyitaan hipotek atau pinjaman 30

22 Perubahan tanggung jawab 29

23 Anak meninggalkan rumah 29

24 Masalah dengan mertua 29

25 Prestasi individu yang luar biasa 28

26 Rekan mulai/berhenti bekerja 26

27 Mulai atau tamat sekolah 26

28 Perubahan kondisi kehidupan 25

29 Revisi kebiasaan individu 24

30 Masalah dengan pimpinan 23

31 Perubahan jam atau kondisi kerja 20

32 Perubahan tempat tinggal 20

33 Perubahan sekolah 20

34 Perubahan kebiasaan tamasya 19

35 Perubahan aktivitas gereja 19

36 Perubahan aktivitas sosial 18

37 Pembelian besar seperti mobil baru 17

38 Perubahan kebiasaan tidur 16

39 Perubahan pertemuan keluarga 15

40 Perubahan kebiasaan makan 15

41 Liburan 13

42 Ketaatan terhadap Natal atau liburan 12

43 Pelanggaran kecil pada hukum 11

Pengukuran Tingkat Stres Metode Family Inventory of Life

Family Inventory Life Efents and Changes (FILE) mengukur setumpuk peristiwa yang dialami keluarga dan dikembangkan sebagai indeks stres keluarga (McCubbin, Patterson & Wilson, 1979). Versi pertama FILE (McCubbin, Patterson


(29)

& Wilson, 1979) terdiri dari 171 item yang secara konseptual dikelompokkan menjadi delapan kategori yaitu perkembangan keluarga, pekerjaan, manajemen, kesehatan, keuangan, aktivitas sosial, hukum dan hubungan keluarga luas. Pemilihan item pertanyaan ditentukan oleh perubahan kehidupan individu

(Dohrenwend, Krasnoff, Askenasy & Dohrenwend, 1978; Coddington, 1972; Holmes dan Rahe, 1967). Selain itu, dimasukkan pula perubahan situasional dan perkembangan yang dialami keluarga pada tahapan yang berbeda pada siklus kehidupan. Item-item tersebut berasal dari pengalaman klinis dan penelitian tentang stres keluarga serta dari literatur tentang stresor yang diidentifikasi selama dekade terakhir. Dalam penelitian ini item pertanyaan tidak semuanya diadopsi, namun disesuaikan dengan kondisi sampel penelitian. Pertanyaan terutama yang berhubungan dengan gejala-gejala stres yang dialami keluarga baik secara fisik, psikis, kognitif dan perilaku yang diakibatkan oleh bencana gempa dan tsunami.

Model Stres Keluarga

Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980) merupakan bentuk pengembangan dari teori ABCX-nya Hill. Mengingat teori Hill meliputi variabel-variabel krisis, teori McCubbin dan Patterson menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga pasca krisis. Setiap variabel asli (ABCX) diuji kembali dan definisi-definisinya dimodifikasi. Setiap variabel dalam model digambarkan secara ringkas pada Gambar 1. Dalam Model ABCX T ganda setumpuk stresor keluarga (AA) yaitu beberapa stresor utama, yang bertumpuk menjadi “stresor keluarga", ini berpengaruh penting dalam tingkat adaptasi keluarga, karena krisis keluarga berkembang dan berubah dalam satu kurun waktu, penumpukan stresor (AA) juga diakibatkan oleh perubahan siklus hidup dan ketegangan yang tidak terse- lesaikan.

Persepsi keluarga terhadap stresor (CC) pada dasarnya menyangkut penilaian keluarga terhadap stres yang dialami. Penilaian dan adanya tuntutan keluarga, secara sadar atau tidak sadar memunculkan interpretasi dari pengalaman sebelumnya. Untuk memenuhi berbagai tuntutan, keluarga memiliki potensi yaitu sumberdaya dan kemampuan. Dalam model ABCX T ganda, sumberdaya dan kemampuan keluarga terdiri dari sumberdaya pribadi anggota keluarga dan sumber-sumber internal dan sistem keluarga (faktor BBB) mencakup semua karakteristik, kompetensi dan makna personal termasuk


(30)

pendidikan, kesehatan, karakteristik kepribadian dan dukungan masyarakat yang merupakan lembaga di luar keluarga yang dapat diakses untuk memenuhi tuntutan keluarga

Keterangan :

X = Krisis keluarga/masalah keluarga R = Tingkat regeneratif keluarga T = Tipologi keluarga

AA = Setumpuk stresor keluarga BB = Sumberdaya coping keluarga BBB = Dukungan sosial

CC= Persepsi rumahtangga terhadap stresor CCC = Skema keluarga

XX = Adaptasi Keluarga

PSC = Penyelesaian masalah keluarga

Gambar 1. Model T ganda ABCX (McCubbin & Patterson, 1980) .

Dalam model ABCX T ganda, faktor tipologi keluarga menjadi suatu hal penting karena tipologi keluarga (faktor T) merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi bagaimana penyesuaian dan adaptasi keluarga dilakukan, karena keluarga memegang teguh kepercayaan atau asumsi-asumsi yang disebut skema keluarga yakni hubungan satu sama lain dan hubungan keluarga dengan masyarakat dan sistem. Untuk mengatasi berbagai stresor dan krisis, keluarga melakukan coping adaptif (PSC). Dalam proses coping keluarga mengalokasikan sumberdaya dan kemampuan semua anggota keluarganya untuk memenuhi berbagai tuntutan yang dihadapi keluarga.

Adaptasi Keluarga (XX) dalam model ABCX Ganda terdiri dari tiga tingkat analisis yaitu anggota keluarga (individu), unit keluarga dan komunitas. Masing-masing unit ini memiliki tuntutan dan kemampuan. Adaptasi keluarga dicapai lewat hubungan timbal balik, tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi lewat kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara simultan pada dua tingkat interaksi primer antara individu dan sistem keluarga dan antara sistem keluarga dengan komunitas diperlukan adanya adaptasi

X R T PSC XX

CC

BB BBB

CCC


(31)

keluarga. Adaptasi keluarga (faktor XX) merupakan outcome dariupaya keluarga untuk mencapai tingkatan baru dari keseimbangan dan penyesuaian setelah krisis keluarga. Dalam penelitian ini Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1980), dijadikan sebagai kerangka konseptual yang melandasi pembuatan kerangka berpikir operasional.

Coping

Pengertian Coping

Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Achir Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), coping adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam pandangan Haber dan Runyon (1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stres.

Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan yang diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi coping sering dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lain-lain sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.

Dari beberapa pengertian coping yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa coping merupakan (1) respon perilaku dan fikiran terhadap stres; (2) penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan sekitarnya; (3) pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan (4) bertujuan untuk mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan di luar dirinya (internal or external conflict), sehingga dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi atau mengurangi berbagai tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan mengganggu kelangsungan hidupnya.


(32)

Strategi Coping

Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang dimiliki. Sumberdaya coping yang dimiliki mempengaruhi strategi coping. Menurut John, Catherine dan MacArthur (1998), ada dua jenis mekanisme coping yang dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem focused form of coping mechanism/direct action) dan coping yang berpusat pada emosi (emotion focused of coping/palliatif form).

Menurut Stuart dan Sundeen (1991), yang termasuk mekanisme coping yang berpusat pada masalah adalah:

(1) Konfrontasi (Confrontative) adalah usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau menyelesaikan masalah secara agresif dengan menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.

(2) Isolasi. Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah yang dihadapi.

(3) Kompromi. Mengubah keadaan secara hati-hati, meminta bantuan kepada keluarga dekat dan teman sebaya atau bekerja sama dengan mereka.

Mekanisme coping yang berpusat pada emosi menurut Stuart dan Sundeen (1991) adalah sebagai berikut:

(1) Denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya.

(2) Rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian secara adil.

(3) Kompensasi, menunjukkan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu.

(4) Represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatannya dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan

(5) Sublimasi, yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan sikap positif.


(33)

(7) Regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil

(8) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau melampiaskan kesalahannya kepada orang lain

(9) Konversi, yaitu mentransfer reaksi psikologi ke gejala fisik.

(10) Displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan kepada seseorang lain

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), secara umum strategi coping dapat dibagi menjadi dua yakni:

(1) Strategi coping berfokus pada masalah. Strategi coping berfokus pada masalah adalah suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan. Yang termasuk strategi coping berfokus pada masalah adalah:

(a) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya seseorang yang melakukan coping planful problem solving akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan perencanaan yang cukup baik serta mau merubah gaya hidupnya agar masalah yang dihadapi secara berlahan-lahan dapat terselesaikan.

(b) Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya seseorang yang melakukan coping confrontative akan menyelesaikan masalah dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.

(c) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Contohnya seseorang yang melakukan coping seeking social support akan selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan profesional, bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik.

Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi


(34)

tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi, contoh penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir besar di Bangladesh adalah strategi coping berpusat pada masalah yaitu: melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan dengan kredit, mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki.

(2) Strategi coping berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, 1984) adalah melakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Yang termasuk strategi coping berfokus pada emosi adalah:

(a) Positive reappraisal (memberi penilaian positif), adalah bereaksi dengan menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya adalah seseorang yang melakukan copingpositive reappraisal akan selalu berfikir positif dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya

(b) Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping accepting responsibility akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagai nama mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialaminya

(c) Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan selalu berfikir sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan

sesuatu tindakan secara tergesa-gesa

(d) Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini dalam penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.


(35)

(e) Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah yang dihadapi. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain

Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut, contohnya masih dalam penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh berpusat pada emosi adalah pasrah menerima apa adanya, berdo’a dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah.

Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Pada situasi yang masih dapat berubah secara konstruktif (seperti mengalami kelaparan akibat bencana) strategi yang digunakan adalah problem focused. Pada situasi yang sulit seperti kematian pasangan, strategi coping yang dipakai adalah emotion focused, karena diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan tawakkal. Keberhasilan atau kegagalan dari coping tersebut akan menentukan apakah reaksi terhadap stres akan menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan yang diharapkan.

Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi coping keluarga, yaitu internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi coping internal, yaitu :

(1) Mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki. Keluarga melakukan strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam keluarga, yakni dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat lebih disiplin dan patuh, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat memecahkan masalah, karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.


(36)

(2) Penggunaan humor. Menurut Hott (Friedman, 1998), perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stres.

(3) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara untuk mengatasi masalah dalam keluarga adalah: adanya wak-tu untuk bersama-sama dalam

keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama, adanya kegiatan bersama keluarga, beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman pekerjaan maupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga. Cara seperti ini dapat membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta dapat mengatasi tingkat stres, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah keluarga.

(4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan coping yang efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif. Menurut Folkman et al. (Friedman, 1998), keluarga yang menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian yang penyebab stres.

(5) Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan sebagai suatu situasi dimana setiap anggota keluarga dapat mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan.

(6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi coping yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi coping fungsional yang penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga.

(7) Normalisasi. Salah satu strategi coping keluarga yang biasa dilakukan untuk menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan coping terhadap sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan


(37)

keluarga. Knafl dan Deatrick (Friedman, 1998), mengatakan bahwa normali- sasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat menggambarkan respons keluarga terhadap stres.

Strategi coping eksternal ada empat yaitu:

(1) Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah rnemberikan respons secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berubungan dengan stresor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga menilai stresor secara lebih akurat.

(2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Coping berbeda dengan coping yang menggunakan sistem dukungan sosial. Coping ini merupakan suatu coping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah coping yang dapat meningkatkan stresor spesifik tertentu. Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi dan kelompok komunitas.

(3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama. Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan bersama. Menurut Caplan (Friedman, 1998), terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dilakukan melalui organisasi.

(4) Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha mencari dukungan spiritual anggota keluarga untuk mengatasi masalah. Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi keluarga dalam mengatasi stres.


(38)

Strategi coping yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) dan Lazarus dan Folkman (1984) memiliki beberapa persamaan yaitu secara garis besar strategi coping dilakukan dengan dua cara yaitu berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Coping berfokus pada masalah menurut Stuart dan Sundeen (1991) dapat dilakukan dengan cara konfrontasi dan kompromi, hal yang sama juga dikatakan oleh Lazarus dan Folkman (1984) bahwa coping berfokus pada masalah dapat dilakukan dengan confrontative dan seeking social support. Kedua jenis strategi coping memiliki pengertian yang sama. Selain persamaan ada juga perbedaan dari kedua pendapat tersebut yaitu pada coping yang berfokus pada masalah yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) menambahkan strategi coping Isolasi dan Lazarus dan Folkman (1984) memasukkan planful problem solving, kedua coping tersebut memiliki pengertian yang bertolak belakang.

Persamaan coping yang berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen dengan Lazarus dan Folkman yaitu pada hal-hal yang positif yakni identifikasi dan sublimasi dengan positive reappraisal, accepting responsibility dan self controlling. Perbedaan kedua pendapat tersebut adalah strategi coping berfokus pada emosi yang dikemukakan olehStuart dan Sundeen lebih banyak yang mengarah kepada perilaku yang negatif atau tidak menguntungkan seperti denial, rasionalisasi, kompensasi, represi, regresi, konversi, proyeksi dan displacement. Strategi coping yang berfokus pada emosi yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman lebih banyak hal-hal yang positif seperti positive reappraisal, accenting responsibility dan self controlling.

Coping yang dikemukakan oleh Friedman tidak jauh berbeda dengan coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Strategi coping dengan cara memahami suatu masalah dan mencari dukungan spiritual memiliki pengertian yang sama dengan coping positive reappraisal. Accepting responsibility memiliki pengertian yang sama dengan pemecahan masalah bersama. Mencari informasi sama dengan self controlling. Seeking social support sama maksudnya dengan mencari pendukung sosial. Walaupun banyak persamaan jenis coping yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut masih ada perbedaan yaitu adanya perilaku coping yang negatif yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman dan semua coping yang dikemukakan oleh Friedman bersifat positif.


(39)

Dalam penelitian ini, strategi coping yang digunakan adalah strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman karena dalam strategi coping ini terlihat dengan jelas upaya penyelesaian masalah yang dilakukan melalui starategi coping berfokus pada masalah yaitu melalui coping planful problem solving. Selain itu strategi coping yang berfokus pada emosi lebih banyak ke arah yang positif seperti positive reappraisal, accenting responsibility dan self controlling. Hal ini sangat sesuai dengan lokasi penelitian yang masyarakatnya yang sebagian besar beragama islam.

Sumberdaya Coping

Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai input dari proses produksi (Suratman, 1994/1995). Menurut Firebaugh dan Deacon (1988), sumber- daya diartikan sebagai:

(1) Alat atau bahan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi atau mencapai tujuan

(2) Bahan yang tersedia atau kemampuan potensial untuk mengatasi keadaan. Bahan tersebut dapat bersifat materi atau non materi.

Dengan demikian sumberdaya merupakan alat dan potensi yang digunakan untuk mencapai kebutuhan. Dalam keluarga sumberdaya terdiri atas:

(1) Unsur manusia: jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, hubungan antar anggota dalam keluarga dan hubungan antara keluarga dengan keluarga lain, dan faktor-faktor yang ada pada manusia seperti pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan minat (intrest).

(2) Unsur materi: pendapatan berupa uang atau barang, kekayaan milik keluarga dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah yang dihuni (3) Unsur waktu. Menurut Steidl dan Bratton (1968), waktu adalah salah satu

sumberdaya, sehingga pemanfaatan waktu perlu dikelola agar seluruh (4) kegiatan dapat dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan tujuan yang

diinginkan.

Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku coping. Sumberdaya coping tersebut bersifat subjektif sehingga perilaku coping bisa bervariasi pada setiap orang. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), cara seseorang atau


(1)

ABSTRACT

SITI MARYAM. The Coping Strategies of Families after Earthquake and Tsunami Disaster in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under supervision of DADANG SUKANDAR, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, EUIS SUNARTI

In the end of December 2004, earthquake and tsunami disaster attacked Nanggroe Aceh Darussalam Province and North Sumatera. The disaster caused : (a) great number of huge human victims; (b) the paralyzed of basic services; (c) basic infra structure disfunction; as well as (d) the destroy of social and economic system. The objectives of this research is to analyze the coping strategies of families after earthquake and tsunami disaster in Nanggroe Aceh Darussalam province. This research used cross-sectional design study, it’s was performed since May 2006 in Kuta Alam and Meuraxa sub districts. Number of samples were 138 families, which consist of 103 intact families, 20 widower families and 15 widow families. Sampling technique used proportional random sampling. Then, data was taken by using questionnaire. The stress level of families by using Family Live Inventory method indicated that most of families after the disaster belonged to minor stress, whereas the level stress with Holmes and Rahe method showed families belonged to moderate stress. Meanwhile, both coping problem-based strategy (44.2%) and emotion-problem-based strategy (18.1%) of families were belonged into high level. Most of families are categorized into high category for expressive and instrumental. The significant variables which influenced the family’s expressive function were personality, widower typologi, seeking social support, planful problem solving and widows typology. Meanwhile, the variables influenced significantly on family’s instrumental function were health problem, housing problem, educational problems, plantful problem solving, self controlling, family size, social support.


(2)

@ Hak Cipta miliki IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(3)

STRATEGI

COPING

KELUARGA YANG TERKENA

MUSIBAH GEMPA DAN TSUNAMI DI PROVINSI

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SITI MARYAM

Sebagai salah satu syarat

Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

Judul Disertasi : Strategi Coping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nama : Siti Maryam

NRP : A 561020031

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS Ketua Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Dan Sumberdaya Keluarga

Prof. Dr. Ali Khomsan, MSc Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(5)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada akhir Desember 2004, terjadi bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) dan Sumatera Utara. Bencana ini mengakibatkan: (a) jumlah korban manusia yang cukup besar, (b) lumpuhnya pelayanan dasar, (c) tidak berfungsinya infrastruktur dasar, serta (d) hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Bencana berdampak besar pada kondisi psikologis penduduk, lumpuhnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, serta kurang berfungsinya pemerintahan disebabkan oleh hancurnya sarana dan prasarana dasar dan berkurangnya sumberdaya manusia aparatur. Kegiatan produksi termasuk perdagangan dan perbankan mengalami stagnasi total dan memerlukan pemulihan segera. Sistem transportasi dan telekomunikasi juga mengalami gangguan yang serius dan harus segera ditangani agar lokasi bencana dapat segera diakses. Sistem sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat memerlukan revitalisasi untuk memulihkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan laporan Satkorlak (2005), jumlah korban pasca gempa dan tsunami mencapai 236.116 ribu jiwa, jumlah pengungsi 514.150 jiwa, jumlah anak yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan mata pencaharian mencapai 44.1 persen, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial (perumahan = 34.000 unit, pendidikan = 105 unit, kesehatan, agama) sebesar $1.657 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi, saluran irigasi) $877 juta, produktif (pertanian, perikanan, industri dan pertambangan) $1.182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah kerugian dari berbagai sektor diperkirakan sebesar US$ 4.57 milyar atau Rp 43.5 trilyun.

Kondisi seperti tersebut di atas akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat yaitu meningkatnya angka kemiskinan karena kehilangan lapangan pekerjaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Sebelum terjadinya gempa dan tsunami BPS menyebutkan Aceh mempunyai tingkat kemiskinan yang terus menerus naik setiap tahunnya. Sejak 1999, perlahan tapi pasti jumlah penduduk miskin naik 1.1 juta (2000), 1.2 juta (2001), 1.4 juta (2002) dan 1.7 juta (2003). Jumlah penduduk miskin meningkat tajam setelah terjadinya


(6)

gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, yaitu 2.703.897 jiwa atau 65% dari penduduk Aceh saat ini yaitu 4.104.187 jiwa.

Rencana penanggulangan bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami di wilayah NAD dan Sumatera Utara mencakup tiga tahapan utama: tahap tanggap darurat; tahap pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan restorasi fisik; serta tahap rekonstruksi. Tahap tanggap darurat dilaksanakan dalam 6-20 bulan, sedangkan tahap rehabilitasi sosial dan fisik akan dilaksanakan dalam 1.5-2 tahun dan tahap rekonstruksi dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sasaran dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan korban melalui: (a) pembangunan dapur umum, (b) pembangunan infrastruktur dasar, (c) penguburan korban meninggal, dan (d) penyelamatan korban yang masih hidup. Sasaran dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pemulihan pelayanan publik, (c) pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan, (d) pemulihan hukum dan ketertiban umum, dan (e) pemulihan hak atas tanah. Adapun sasaran dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan ekonomi melalui: (a) pemulihan kondisi sumberdaya manusia, (b) pembangunan kembali sistem ekonomi, (c) pembangunan kembali sistem infrastruktur regional dan lokal, (d) revitalisasi sistem sosial dan budaya, (e) pembangunan kembali sistem kelembagaan, dan (f) pembangunan sistem peringatan dini untuk meminimalisir dampak bencana. (BAPPENAS Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009).

Upaya rekonstruksi Provinsi NAD akan cepat berhasil apabila sikap budaya masyarakat Aceh yang bernilai positif terutama yang terkait dengan keyakinan agama dan kepedulian pada sesama seperti gotong royong, ramah tamah, kekeluargaan dan sebagainya dikembangkan, dan sikap negatifnya ditinggalkan. Bahkan kuatnya keinginan sebagian masyarakat Aceh ke arah kemajuan menjadi indikator adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki ketinggalan budaya yang diduga selama ini telah ketinggalan jauh dari masyarakat lain (Kurdi, 2005). Potensi lokal yang sudah tumbuh dan berkembang secara turun temurun tetap diperhatikan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sumberdaya dalam mengatasi berbagai permasalahan pasca gempa dan tsunami. Untuk itu upaya untuk menggali, membangkitkan, memotivasi dan mengaktualisasikan potensi lokal yang ada di masyarakat yang kemudian diubah menjadi gagasan strategis sebagai bagian