Strategi Coping Keluarga Yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami Pasca Enam Bulan Dan Satu Tahun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

H
NEELLIITTIIA
AN
N
HA
ASSIILL PPEEN

HUBUNGAN KONDISI RUMAH DENGAN KELUHAN ISPA PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUNTUNGAN
KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2008
Evi Naria1, Indra Chahaya1 dan Asmawati2
1

Departemen Kesehatan Lingkungan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
2
Alumni Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is the most diseases affecting the children,

especially baby and under five years old children. Every child was estimated
suffered 3-6 times of ARI in one year period, and 40-60% visitors of puskesmas
with ARI symptoms. Risk factors of ARI are included bad environmental condition
and health ineligibility, like housing condition and indoor air pollution. The
objective of this study was to identify housing condition: ventilation, indoor
relative humidity, over crowding, indoor air pollution sources (fuel for cooking,
existence of indoor smoker and using insecticide) related to ARI of under five years
old children in work area of Puskesmas Tuntungan, Medan Tuntungan Sub district.
The study design was cross sectional. The population were mother having
underfive years old children, the number of respondent were 86. Data were
analyzed using chi square test with 95% confidence level. The result showed that
house condition (ventilation, indoor relative humidity, over crowding) and sources
of indoor air pollution (fuel for cooking, existence of indoor smoker and using
insecticide) was statistically significant different (p< 0.05). It is recommended to
do intensive counseling of healthy housing by sanitarian, and Public Health
Service.
Keywords: Housing condition, ARI, ISPA
PENDAHULUAN
Penyakit berbasis lingkungan masih
merupakan masalah kesehatan. Menurut

WHO, pada tahun 1997, diperkirakan lebih
dari 50 juta kematian (52.200.000 orang)
yang disebabkan oleh karena infeksi (ISPA,
Tuberkulosis, Diare, HIV/AIDS dan
Malaria). Dan sampai saat ini penyakit
ISPA masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama baik di negara maju
maupun di negara berkembang (Wahyuni,
2004).
Saat
ini
penyakit
berbasis
lingkungan merupakan masalah kesehatan
di Indonesia. Hal ini tercermin dari masih
tingginya angka kejadian dan kunjungan

penderita beberapa penyakit berbasis
lingkungan seperti penyakit diare, infeksi
saluran pernafasan bagian atas (ISPA),

penyakit kulit, TB paru, kecacingan ke
sarana pelayanan kesehatan (Depkes RI,
2002).
Penyakit ISPA menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat karena
tingginya angka kematian terutama pada
bayi dan balita. Dari seluruh kematian
balita proporsi kematian yang disebabkan
oleh ISPA mencakup 20-30%, setiap anak
diperkirakan mengalami 3-6 kali episode
ISPA tiap tahun dan 40-60% dari
kunjungan puskesmas adalah ISPA
(Depkes RI, 2002).

1
Universitas Sumatera Utara

Infeksi Saluran Pernafasan Akut
disebabkan oleh virus, bakteri dan riketsia.
Pada infeksi saluran pernafasan atas 90% 95% penyebab adalah virus. Dari

pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
ISPA adalah merupakan masuknya kuman
atau mikroorganisme ke dalam tubuh dalam
hal ini saluran pernafasan dan berkembang
biak sampai menimbulkan gejala penyakit
dalam waktu yang berlangsung sampai 14
hari (Depkes RI, 2002).
ISPA merupakan penyakit yang
paling banyak diderita oleh anak. Anak
umur < 2 tahun merupakan faktor resiko
terjadinya pneumonia karena anak di
bawah umur 2 tahun imunitasnya belum
sempurna dan saluran pernafasan relatif
sempit. Prevalensi ISPA bagian bawah
(pneumonia) lebih tinggi pada kelompok
umur yang lebih muda. Hasil SDKI tahun
1991 menunjukkan prevalensi pneumonia
tertinggi pada kelompok umur 12-23 bulan
(Yuliastuti dkk, 1992).
Selain faktor umur, gizi balita dan

kekebalan juga merupakan faktor resiko
ISPA pada balita. Anak yang gizinya
kurang atau buruk akan lebih mudah
terjangkit penyakit menular atau penyakit
infeksi. Menurut Kartasasmita(1994),
pemberian imunisasi campak, DPT, pada
anak dapat menurunkan insiden campak
sekaligus pneumonia. Lebih dari 90%
kematian karena pneumonia kompliasi
dengan pertusis.
Faktor resiko kejadian ISPA yang
lainnya adalah kondisi lingkungan yang
buruk atau tidak memenuhi syarat
kesehatan, salah satunya adalah kondisi
lingkungan
perumahan,
termasuk
pencemaran udara dalam ruang. Sumber
pencemaran udara di luar ruangan antara
lain pembakaran untuk pemanasan,

transportasi dan pabrik-pabrik. Sedangkan
pencemaran udara di dalam ruangan antara
lain pembakaran bahan bakar dalam rumah
yang digunakan untuk memasak dan asap
rokok sera penggunaan bahan pengendali
serangga (Kusnoputranto, 2000).
Kondisi lingkungan perumahan yang
diharapkan adalah memenuhi syarak
kesehatan. Adapun persyaratan kesehatan
suatu rumah tinggal, antara lain: (1)
Bahan bangunan tidak terbuat dari bahanbahan yang dapat melepaskan zat-zat yang
dapat membahayakan kesehatan, dan

2

dapat
menjadi
tumbuh
dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.

(2) Kualitas udara di dalam rumah,
meliputi suhu udara berkisar antara 18-30°
C, kelembaban udara berkisar antara 4070%, konsentrasi gas CO tidak melebihi
100 ppm/8 jam. (3) ventilasi alamiah yang
permanen minimal 10% dari luas lantai,
ruang dapur harus dilengkapi dengan
sarana pembuangan asap. (4) Luas ruang
tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan
digunakan lebih dari 2 orang dalam satu
ruang tidur, kecuali anak di bawah usia 5
tahun. Hal di atas diatur dalam Kepmenkes
RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan (Depkes
RI, 1999).
Berdasarkan
laporan
Tahunan
Peskesmas Tuntungan Tahun 2007 terdapat
sepuluh pola penyakit terbesar di wilayah
kerja Puskesmas Tuntungan. Dari kesepuluh

penyakit tersebut ISPA merupakan penyakit
tertinggi di Puskesmas Tuntungan. Kejadian
penyakit ISPA pada balita di wilayah
tersebut adalah 283 balita dari 1134 balita
yang ada. Sedangkan untuk kondisi
lingkungan rumah masih terdapat rumah
yang semi permanen dan papan sejumlah
748 rumah.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kondisi
rumah
(ventilasi,
kelembaban
dan
kepadatan hunian kamar tidur) dan sumber
polusi udara dalam ruangan (bahan bakar
untuk memasak, kebiasaan merokok, dan
penggunaan bahan pengendali serangga)
dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Tuntungan

Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2008.
Manfaat Penelitian
Sebagai sumbangan pikiran dan
pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kota
Medan untuk menentukan kebijakan serta
perencanaan kesehatan pada masyarakat
untuk penganggulangan kejadian ISPA
dengan prioritas program kesehatan
lingkungan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di wilayah
kerja Puskesmas Tuntungan. Puskesmas
Tuntungan merupakan puskesmas yang ada

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
Universitas Sumatera Utara

di Kecamatan Medan Tuntungan yang terdiri
dari 6 kelurahan yang menjadi wilayah kerja

Puskesmas Tuntungan. Enam kelurahan
tersebut yaitu Ladang Bambu, Sidomulyo,
Laucih, Kemenangan Tani, Namo Gajah dan
Tanjung Selamat.
Jenis penelitian adalah survai
analitik dengan rancangan cross sectional.
Populasi adalah ibu yang mempunyai anak
balita berjumlah 627 orang. Perhitungan
sampel dalam penelitian ini menggunakan
rumus Taro Yamane, dengan jumlah
sampel 86 ibu. Apabila dalam satu rumah
terdapat lebih dari satu balita maka
diminta informasi tentang balita yang
terkecil.
Data primer diperoleh melalui
wawancara
dengan
menggunakan
kuesioner dan melakukan observasi. Data
primer meliputi keluhan ISPA pada balita,

dan kondisi rumah yaitu ventilasi,
kelembaban, kepadatan hunian kamar tidur.
Sumber polusi udara dalam rumah meliputi
bahan bakar untuk memasak, kebiasaan
merokok di dalam rumah, dan penggunaan
bahan pengendali serangga. Data lain yang
melengkapi data primer adalah pendidikan
ibu, dan pendapatan keluarga, serta data
balita yaitu umur balita dan imunisasi. Data
dianalisa dengan uji chi square pada
tingkat kepercayaan 95% atau dengan ά =
0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Tingkat pendidikan responden yang
terbanyak adalah tamat SLTP dan tamat
SLTA yaitu 42 orang (48.8%). Responden
yang tidak sekolah, dan tamat SD sebanyak
32 orang (37,2%) dan tamat Perguruan
Tinggi dan akademi sebanyak 12 orang
(14,0%).
Pendapatan
keluarga
responden
perbulan Rp. 738.000 – Rp. 1.500.000
terdapat pada 49 keluarga (57,0%).
Pendapatan perbulan kurang dari Rp.738.000
terdapat pada 24 keluarga (27,9%), dan
pendapatan perbulan lebih dari Rp.1.500.000
terdapat pada 13 keluarga (15,1%).
Hal ini menunjukkan bahwa persentase
tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan
keluarga perbulannya dapat diperkirakan
bahwa
rata-rata
kondisi
ekonomi
masyarakatnya berada pada golongan

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati

menengah kebawah. Tingkat pendidikan
seseorang berperan dalam mendapatkan
pekerjaan atau mata pencaharian. Tingkat
pendidikan
yang
rendah
umumnya
menghasilkan pendapatan yang rendah pula.
Pendidikan yang tinggi di harapkan
membawa pola pikir positif terhadap
berbagai
masalah
terutama
masalah
kesehatan yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan rumah dan penanganan penyakit
ISPA.
Karakteristik Balita
Balita perempuan lebih banyak yaitu
sebesar 52,3% (45 orang) daripada laki-laki
47,7% (41 orang). Umur balita 0-3 tahun
sebesar 66.3% (57 orang) dan yang berumur
> 3-5 tahun sebesar 33.7% (29 orang). Balita
yang diberi imunisasi lengkap (sudah di
imunisasi BCG, DPT I-III, Polio I-IV,
Hepatitis I-III, Campak) sebesar 43,0% (37
orang), dan imunisasi tidak lengkap (salah
satu imunisasi yang harus diperoleh tidak
terpenuhi) sebesar 57,0% (49 orang).
Anak dengan umur kurang dari 2 tahun
merupakan anak yang sangat beresiko
terkena penyakit pneumonia. Hal ini
disebabkan karena anak di bawah umur 2
tahun imunitasnya belum sempurna dan
saluran pernafasan relatif sempit. Prevalensi
ISPA bagian bawah (pneumonia) lebih tinggi
pada kelompok umur yang lebih muda. Hasil
SDKI tahun 1991 menunjukkan prevalensi
pneumonia paling tinggi pada kelompok
umur 12-23 bulan (Yuliastuti dkk, 1992).
Kondisi Rumah
Kondisi rumah yang diamati pada
penelitian ini adalah ventilasi rumah,
kelembaban, dan kepadatan hunian kamar
tidur. Variabel ini yang diamati, karena
merupakan faktor resiko dan memberikan
kontribusi terhadap kejadian ISPA.
Ventilasi adalah luas penghawaan
yang permanen yang ada pada rumah
minimal 10% dari luas lantai menurut
Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/
VII/1999. Ventilasi yang memenuhi syarat
(lebih dari10% dari luas lantai) sebanyak 35
rumah (40,7%), dan yang tidak memenuhi
syarat (kurang dari10% dari luas lantai)
sebanyak 51 rumah (59,3%).
Kelembaban adalah kualitas keadaan
udara
di
dalam
ruangan
rumah,
kelembaban yang baik berkisar pada 40%

3
Universitas Sumatera Utara

-70%. Pengukuran dilakukan dengan alat
higrometer. Hasil pengukuran menunjukkan
kelembaban rumah yang memenuhi syarat
(40% -70%) yaitu sebesar 43,0% yaitu 37
rumah dan yang tidak memenuhi syarat
(kurang dari 40% dan lebih dari70%) yaitu
sebesar 57,0% yaitu 49 rumah.
Kepadatan hunian ruang tidur adalah
luas ruang tidur minimal 8 m² dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari 2 (dua)
orang dewasa (Kepmenkes RI No.
829/Menkes/SK/II/1999). Kepadatan hunian
ruang tidur dihitung berdasarkan luas
ruangan dan penghuni kamar tidur. Hunian
kamar tidur yang padat (kurang dari 8 m2
untuk lebih dari 2 orang) terdapat pada 59
rumah (68,6%) dan rumah yang kamar
tidurnya tidak padat (8 m2 untuk 2 orang) ada
27 rumah (31,4%).
Ventilasi rumah di wilayah kerja
Puskesmas Tuntungan banyak yang tidak
memenuhi syarat kesehatan Ventilasi sangat
menentukan kualitas udara dalam ruangan
karena dengan ventilasi yang cukup akan
memungkinkan lancarnya sirkulasi udara
dalam rumah dan masuknya sinar matahari
ke dalam rumah yang dapat membunuh
mikroorganisme pathogen.
Ventilasi yang memenuhi syarat dapat
menghindarkan pengaruh buruk yang dapat
merugikan kesehatan manusia pada suatu
ruangan. Ventilasi yang baik akan
memungkinkan
gerakan
angin
dan
pertukaran udara bersih menjadi lebih lancar
(cross ventilation) (Lubis, 1985). Ventilasi
berkaitan dengan kelembaban. Apabila
ventilasi rumah tidak baik maka tidak baik
pula kelembaban rumahnya. Kelembaban
yang
tidak
baik
secara
langsung
mempengaruhi keberadaan spora jamur dan
kemungkinan
terjadi
peningkatan
pertumbuhan pada permukaan yang dapat
menyerap air (Pudjiastuti, 1998).
Selain
ventilasi,
yang
perlu
diperhatikan juga adalah kelembaban.
Keadaan kelembaban rumah memenuhi
syarat atau tidak memenuhi syarat dapat
terjadi karena keadaan ventilasi rumah.
Kurangnya
ventilasi
rumah
akan
meningkatkan
kelembaban
rumah.
Kelembaban udara yang memenuhi syarat
kesehatan untuk rumah tinggal antara 40%70%. Udara yang lembab akan menimbulkan
gangguan kesehatan penghuninya terutama
timbulnya penyakit ISPA. Kelembaban yang

4

tinggi merupakan media yang baik untuk
perkembangan mikroorganisme pathogen.
Kelembaban rumah yang tinggi akan
mendukung
terjadinya
penyakit
dan
penularan penyakit (Jawetz E, 1986).
Pada rumah rumah di wilayah ini,
kamar tidur yang padat penghuninya lebih
banyak daripada yang tidak padat. Hal ini
menunjukkan bahwa keadaan rumah
tergolong tidak baik. Padahal kepadatan
penghuni dalam rumah (over crowding)
dapat menyebabkan penularan penyakit
semakin cepat.
Kepadatan di dalam kamar tidur
merupakan
salah
satu
yang
perlu
diperhatikan dalam lingkungan rumah.
Kamar tidur yang padat menunjukkan tidak
seimbangnya jumlah penghuni dengan luas
kamar tidur. Menurut Kepmenkes RI
No.829/Menkes/SK/VII/1999,
standar
penghuni dengan luas kamar tidur 8m2
adalah 2 penghuni. Kepadatan yang tidak
sesuai dengan standar akan menimbulkan
ruangan menjadi tidak nyaman. Kepadatan
hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di
dalam rumah, dimana semakin banyak
jumlah penghuni maka akan semakin cepat
udara dalam rumah mengalami pencemaran.
Pencemaran Udara dalam Rumah
Pencemaran udara dalam ruang
meliputi variabel bahan bakar untuk masak,
kebiasaan merokok dalam rumah dan bahan
pengendali serangga. Varibel ini dipilih
karena merupakan faktor resiko dari kejadian
ISPA.
Bahan bakar untuk memasak adalah
jenis bahan bakar yang digunakan untuk
memasak, terdiri dari kompor gas/elpiji,
kompor minyak tanah, dan kayu. Rumah
yang menggunakan kayu bakar untuk
memasak ada 48 rumah (55,8%), sedangkan
yang menggunakan kompor minyak tanah
dan kompor gas ada sebanyak 38 rumah
(44,2%).
Kebiasaan merokok adalah adanya
penghuni
rumah
yang
mempunyai
kebiasaan merokok didalam rumah.
Kebiasaan merokok dalam rumah terdapat
pada 57 rumah (66,3%) sedangkan yang
tidak terdapat kebiasaan merokok dalam
rumah terdapat pada 29 rumah (33,7%).
Penggunaan
bahan
pengendali
serangga
adalah
insektisida
yang
digunakan membasmi serangga dalam

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
Universitas Sumatera Utara

bentuk semprot dan obat nyamuk bakar.
Penggunaan bahan pengendali serangga
berupa obat nyamuk bakar, dan semprot,
terdapat pada 56 rumah (65,1%), dan yang
tidak menggunakan obat nyamuk bakar akan
tetapi menggunakan kelambu sebesar 30
rumah (34,9%).
Jumlah rumah yang menggunakan
bahan bakar kayu lebih banyak dibandingkan
yang menggunakan jenis bahan bakar
lainnya. Jumlah rumah yang terdapat
kebiasaan merokok di dalam rumah lebih
banyak dibandingkan yang tidak merokok di
dalam rumah. Jumlah rumah yang
menggunakan bahan pengendali serangga
lebih banyak dibandingkan yang tidak
menggunakan bahan pengendali serangga.
Hal ini tentunya dapat memicu kejadian
penyakit saluran pernapasan pada penghuni
rumah.
Pencemaran dalam ruang merupakan
perubahan kondisi ruangan yang disebabkan
masuknya atau dimasukinya oleh suatu
zat/bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas
manusia. Pencemaran dalam ruangan bisa
berasal dari penggunaan bahan bakar untuk
memasak, keberadaan perokok dalam rumah
dan penggunaan bahan pengendali serangga.
Adanya pencemaran udara di lingkungan
rumah akan merusak mekanisme pertahanan
paru-paru,
sehingga
mempermudah
timbulnya
gangguan
pada
saluran
pernapasan.
Kejadian ISPA pada balita yang
tinggal pada rumah yang menggunakan
bahan bakar kayu lebih tinggi dari pada
balita yang tinggal pada rumah yang
menggunakan bahan bakar gas elpiji atau
kompor. Hal ini kemungkinan karena ibu
rumah tangga pada saat memasak di dapur
menggendong anaknya, atau anak bermain
disekitar dapur sehingga asap bahan bakar
tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang
terjadi dalam rumah juga tergantung lamanya
orang berada di dapur atau ruang lainnya
yang telah terpapar bahan pencemar.
Kebiasaan anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah memberikan
pengaruh pada anggota keluarga yang
lainnya yang tidak merokok. Asap rokok
sangat berbahaya bagi kesehatan, khususnya
terhadap balita karena bahan-bahan toksik
yang terkandung dalam rokok.
Pajanan terhadap orang yang tidak
merokok (perokok pasif) hanya dihubungkan

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati

dengan meningkatnya resiko kesakitan
pernapasan akut pada 2 tahun pertama usia
kehidupan. Pajanan dari ibu merokok adalah
sekitar 2 kali resiko penyakit saluran
pernapasan bagian bawah pada 2 tahun
pertama kehidupan balita (Graham, 1990).
Sumber polutan dalam ruangan yang
berasal dari bahan pengendali serangga yaitu
penggunaan obat nyamuk bakar. Hal ini
kemungkinan terjadi karena penggunaan obat
nyamuk bakar untuk menghindari gigitan
nyamuk dapat memicu terjadinya ISPA
karena menghasilkan asap dan bau yang
mengganggu.
Kepadatan hunian kamar tidur pada
penelitian ini tergolong tidak baik. Artinya,
bahwa masih banyak rumah yang tergolong
padat penghuni atau over crowding. Padahal
kepadatan penghuni dalam rumah (over
crowding) dapat menyebabkan penularan
penyakit semakin cepat.
Keluhan ISPA
Kejadian ISPA pada balita berdasarkan
hasil wawancara dengan pendamping yaitu
ibunya.
Adapun
penentun
dilakukan
berdasarkan gejala-gejala ISPA ringan yang
dikeluhkan seperti batuk, pilek, sakit kepala,
sakit tenggorokan, bisa disertai demam dan
sesak nafas, dalam 2 (dua) minggu
terakhir saat pengambilan data. Balita yang
mengalami keluhan sebanyak 57 balita
(66,3%), dan yang tidak mengalami keluhan
sebanyak 29 balita (33.7%).
Infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) merupakan salah satu penyebab
kematian dan kesakitan yang banyak
menyerang anak-anak di bawah usia lima
tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi
resiko kejadian penyakit ISPA adalah
faktor sosiodemografi, kondisi rumah dan
polusi rumah dalam ruangan (Agustama,
2005).
Hubungan Kondisi Rumah dengan
Kejadian ISPA
Hasil uji Chi Square untuk variabel
kondisi rumah yang meliputi ventilasi,
kelembaban rumah, dan kepadatan hunian
kamar tidur dengan keluhan ISPA pada
tingkat signifikan 0,05 dapat dilihat pada
Tabel 1.

5
Universitas Sumatera Utara

Hasil uji Chi Square menunjukkan
semua variabel mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian ISPA. Variabel
ventilasi dengan keluhan ISPA didapatkan p
= 0,043, kelembaban dengan keluhan ISPA
didapat p = 0,003, kepadatan hunian kamar
tidur dengan keluhan ISPA didapatkan p =
0,000, ternyata semua variabel mempunyai
nilai p lebih kecil dari 0,05.
Hal ini berdasarkan penelitian Dewi
(1995)
di
kabupaten
Klaten
yang
menemukan ada hubungan bermakna antara
kepadatan
hunian
dengan
penyakit
pneumonia pada balita. Balita yang tinggal
pada rumah yang padat penghuni mempunyai
resiko terkena pneumonia 2,55 kali lebih
besar dibandingkan dengan rumah yang tidak
padat penghuni.

Hasil uji Chi Square variabel
pencemaran udara dalam ruang meliputi
bahan bakar untuk memasak, kebiasaan
merokok dalam rumah, dan penggunaan
bahan pengendali serangga dengan keluhan
ISPA dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil uji Chi Square menunjukkan
semua variabel mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian ISPA. Variabel
penggunaan bahan bakar untuk memasak
dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,001,
kebiasaan merokok dalam ruangan dengan
keluhan ISPA didapatkan p = 0,012 dan
penggunaan bahan pengendali serangga
dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,010
ternyata semua variabel mempunyai nilai p
lebih kecil dari 0,05.

Tabel 1. Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008
Kejadian ISPA
tidak ada
ada keluhan
keluhan
tidak memenuhi syarat (10% dr luas lantai)
19
16
Total
57
29
Tidak memenuhi syarat (70%)
39
10
memenuhi syarat (40%-70%)
18
19
Total
57
29
Variabel

Padat (< 8 m 2 untuk lebih dari 2 orang)
Tidak padat (> 8 m 2 untuk lebih dari 2 orang)
Total

Total
51
35
86
49
37
86

50

9

59

7
57

20
29

27
86

p

0,043

0.003

0,000

Tabel 2. Hubungan Pencemaran Udara dalam Ruang dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008
Kejadian ISPA
Tidak ada
Ada keluhan
keluhan

Variabel

Total

Kayu

39

9

48

Gas elpiji, Kompor

18

20

38

57

29

86

Ada yang merokok

43

14

57

Tidak ada yang merokok

14

15

29

57

29

86

Menggunakan Obat nyamuk

48

17

65

Tidak menggunakan obat nyamuk (menggunakan
kelambu)

9

12

21

Total

57

29

86

Total

Total

6

p

0,001

0,012

0.010

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi rumah di wilayah kerja
Puskesmas Tuntungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan yaitu:
Ventilasi sebanyak 51 rumah (59,3%),
kelembaban sebanyak 49 rumah (57,0%),
dan kamar tidur yang padat penghuninya
59 rumah (68,6%). Sumber bahan
pencemar dalam ruangan yaitu bahan
bakar untuk masak yang menggunakan
kayu sebanyak 48 rumah (55,8%), ada
yang merokok dalam rumah 57 rumah
(66,3%) serta yang menggunakan bahan
pengendali serangga 56 rumah (65,1%).
2. Balita yang mengalami keluhan yang
berkaitan dengan kejadian ISPA adalah
57 balita (66,3%).
3. Masing-masing
variabel
kondisi
lingkungan rumah yaitu ventilasi,
kelembaban, kepadatan hunian kamar
tidur, bahan bakar untuk memasak,
keberadaan perokok dalam rumah, dan
bahan pengendali serangga menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna dengan
kejadian ISPA.
Saran
1. Bagi masyarakat yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Tuntungan perlu
memperhatikan
kondisi lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan seperti ventilasi untuk
sirkulasi udara.
2. Bagi instansi kesahatan terutama
Puskesmas
Tuntungan
untuk

Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (1–7)
Eva Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati

mengupayakan penyuluhan yang intensif
tentang perumahan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI,
1995. Pedoman Program
Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut untuk
Penanggulangan Pneumonia pada
Balita dalam Pelita VI, Dirjen PPM
dan PLP, Jakarta.
..................., 2002.
Buku
Pedoman
Pemberantasan Diare, Dirjen PPM
dan PLP, Jakarta.
..................., 2002.
Pedoman
Pemberantasan Penyakit ISPA untuk
Penanggulangan Pneumonia pada
Balita, Jakarta.
Kartasasmita, 1995. Morbiditas dan Faktor
Resiko Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada Balita di Cikutra
Suatu Daerah Urban di Kotamadya
Bandung, Vol 225, No 4, 137-139
Lubis, 1985. Perumahan Sehat, Proyek
Pengembangan Pendidikan Tenaga
Sanitasi Pusat, Depkes RI, Jakarta.
Sarimawar,
1999.
Pravalensi
Pneumonia dan Demam Pada Bayi
dan Anak Balita, Buletin Penelitian
Kesehatan.
Wahyuningsih,
1999.
Rumah
dan
Pemukiman. FKM, UNDIP.
Yuliastuti, dkk, 1992. Gambaran Selintas
Pasien ISPA di Poliklinik UPA
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
Berita Kedokteran Masyarakat.

7
Universitas Sumatera Utara