Aktor dan Kelembagaan
3.2 POLRI dan Detasemen Khusus Antiterorisme 88
Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Detasemen Khusus Antiterorisme 88 (Densus 88) yang dibentuk melalui Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, adalah ujung tombak pendeteksian, pencegahan, dan penindakan terorisme di Indonesia. Secara organisasional, pada awalnya Densus 88 AT berada di Mabes Polri dan Polda, di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi dan di bawah Direktorat
Serse (Ditserse) dipimpin oleh perwira menengah polisi. 33 Densus 88 AT Polri memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-
detasemen (Subden), yakni Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan. Di bawah Subden, terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88 AT Polri, misalnya Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen pada Subden Intelijen, Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak pada Unit Penindakan, dan Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis pada Subden Investigasi, serta Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi pada Subden Pembantuan. 34
3.3 Komunitas Intelijen
Berbagai lembaga intelijen yang dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003) telah melakukan kegiatan dan koordinasi intelijen dan bahkan telah membentuk Joint Analysist Terrorist (JAT) upaya untuk mengungkap jaringan teroris di Indonesia. Akan tetapi, meskipun telah ada aturan yang memfasilitas koordinasi antarlembaga intelijen dan telah ada Undang-Undang yang mengatur aktivitas intelijen itu
34 Dikutip dalam http://smsindah.wordpress.com/2010/03/18/sejarah-densus-88-anti-teror/ Ibid.
sendiri, yakni Undang-Undang Intelijen yang disahkan pada bulan Oketober tahun 2011 35 , dalam praktiknya, ego sektoral masih menjadi penghalang koordinasi dan kolaborasi di antara
berbagai lembaga intelijen tersebut. 36 Hal ini hanya bisa diselesaikan dengan dipercepatnya reformasi di tubuh TNI dan Polri, termasuk unit-unit intelijen di bawahnya.
3.4 Militer
Secara teoretis, dalam konsep military aid to the civil power atau bantuan militer kepada kekuasaan sipil (MACP), militer dapat berperan dalam kontraterorisme dengan cara mendukung kekuatan polisi dan otoritas sipil. Dalam hal ini, militer bertanggung jawab kepada Kepala Polisi dan hanya berperan dalam pemertahanan hukum dan ketertiban serta perlindungan masyarakat. Mereka juga harus bisa mempertanggungjawabkan tindakan
mereka dalam kerangka hukum sipil. 37 Hal ini dimungkinkan pula dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini, detasemen-detasemen khusus di bawah militer seperti Dengultor, Denbravo,
dan Denjaka dapat dilibatkan sebagai striking force kontrateror dengan bergabung ke dalam standing joint force yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, hal ini harus diatur melalui payung hukum hingga ke tataran operasional yang memungkinkan militer untuk mengejar dan menangkap teroris hidup-hidup untuk selanjutnya diproses secara hukum tanpa khawatir akan dituding melanggar HAM.