Strategi Pencegahan dan Penanggulangan T
Konsepsi Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia Anggalia Putri Permatasari (1006743424)
1. Pendahuluan
Dalam dekade terakhir, Indonesia telah mengalami cukup banyak serangan terorisme yang tidak hanya merenggut korban jiwa dan menimbulkan kerugian material, tetapi juga menyebarkan atmosfer kecemasan dan ketakutan di kalangan masyarakat luas. Saat ini, pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai ancaman terhadap
keamanan dan keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan nasional. 1 Pasca-peristiwa 9/11 dan dideklarasikannya Perang Global Melawan Teror oleh Amerika Serikat, dengan
Bom Bali I sebagai tipping point dalam negeri, 2 pemerintah Indonesia semakin mendapat tekanan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk menanggulangi terorisme secara
efektif. Respon kebijakan pertama pemerintah dalam menghadapi serangan teroris kontemporer adalah respon kebijakan cepat, yakni dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi UU dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2003. Berdasarkan UU tersebut, Indonesia menyelenggarakan upaya penanggulangan terorisme yang bertumpu pada penggunaan sistem hukum pidana dan kepolisian sebagai ujung tombaknya.
Upaya dan respon nasional Indonesia di atas seringkali dipuji karena dipandang berhasil menangkapi dan mengadili anggota kelompok teroris secara efektif seraya menjaga agar transisi demokrasi Indonesia tetap berjalan. 3 Akan tetapi, terdapat pula berbagai masalah dan tantangan mengenai penyelenggaraan upaya
penanggulangan terorisme (anti/kontraterorisme) di Indonesia, misalnya dilema penguatan mekanisme hukum yang
1 Bappenas, Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme , diunduh dari www.bappenas.go.id/get-file- server/node/6159/ pada 17 September 2011. 2
Jonathan C. Chow, Asean Counterterrorism Cooperation since 9/11, Asian Survey, Vol. 45, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), hh. 302, diunduh dari http://www.jstor.org/stable/4497099 pada 30 November 2010. 3 Zachary Abuza, Indonesian Counter-Terrorism: The Great Leap Forward. Terrorism Monitor, Volume: 8 Issue: 2 January 14 2010, diunduh dari http://www.jamestown.org/uploads/media/TM_008_2_03.pdf pada 17 September 2011.
represif versus kebebasan sipil dan hak asasi manusia (HAM), perdebatan mengenai keterlibatan dan peran militer dalam kontraterorisme di Indonesia, dan skeptisisme terhadap program deradikalisasi yang saat ini menjadi fokus strategi antiterorisme (pendekatan lunak) di Indonesia.
Untuk mengatasi berbagai masalah dan tantangan tersebut, respons legislatif yang sifatnya reaktif dan penyelenggaraan kebijakan yang sifatnya ad hoc saja tidak cukup. Pemerintah dituntut untuk menyusun sebuah strategi yang komprehensif yang menyediakan dasar, orientasi, serta pengaturan bagi penyelenggaraan berbagai kebijakan untuk menanggulangi terorisme di Indonesia. Hingga saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk pada tahun 2010 dan diserahi tugas untuk menyusun strategi nasional penanggulangan terorisme belum mengeluarkan dokumen strategi resmi sehingga satu-satunya dokumen pemerintah yang ada tentang penanggulangan terorisme adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas.
Dalam konteks di atas, makalah ini bertujuan untuk memaparkan strategi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia (existing policies) dan paparan normatif mengenai strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah untuk mengoptimalkan penyelenggaraan upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Secara umum, makalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Bagian pembahasan dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni strategi dan kebijakan serta aktor dan kelembagaan. Di dalam bagian strategi dan kebijakan, akan diulas mengenai empat hal berikut: 1) pendekatan hard power, yaitu penegakan hukum (pendeteksian dan pencegahan, penindakan, pasca-penahanan) yang turut mengulas mengenai pelibatan masyarakat dan pengaturan faktor-faktor yang memfasilitasi terorisme, 2) pendekatan soft power yang membahas tentang deradikalisasi dan kontraradikalisasi atau kontra/deideologi, 3) pelibatan penyintas (survivor) terorisme dan 4) masyarakat sipil, 5) kerja sama internasional, 6) pendekatan kesejahteraan, 7) transformasi konflik komunal, dan 8) penguatan demokrasi dan HAM. Sementara itu, di bagian aktor dan kelembagaan di bahas mengenai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Polri dan Detasemen Khusus Antiteror 88, dan Militer.
2. Pembahasan
2.1 Strategi dan Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme
Secara umum, strategi penanggulangan terorisme di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan hard power (keras) dan soft power (lunak) yang dikombinasikan menjadi sebuah pendekatan yang komprehensif.
2.1.1 Pendekatan Hard Power: Penegakan Hukum
Meskipun belum ada dokumen strategi resmi yang dikeluarkan oleh BNPT, Ansyad Mbaai sebagai Kepala BNPT telah sering memaparkan apa yang sering dirujuk sebagai strategi penanggulangan terorisme Indonesia. Salah satu prinsip pokok strategi penanggulangan terorisme Indonesia menurutnya adalah bahwa Pemerintah Indonesia memperlakukan aksi terorisme sebagai tindakan kriminal, sehingga yang digunakan adalah
pendekatan hukum. 4 Penyelenggaraan penegakkan hukum terhadap tindak pidana terorisme diatur oleh UU No. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai UU.
Pendeteksian dan Pencegahan
Dalam kerangka penegakan hukum, ada dua elemen, yakni pendeteksian dan pencegahan sebelum tindak teroris terjadi dan penindakan atau pemrosesan secara hukum setelah tindak teroris terjadi. Pendeteksian dan pencegahan tindak teroris dinyatakan oleh Paul Wilkinson sebagai resep rahasia pertarungan melawan terorisme di negara liberal. 5 Di
Indonesia, tugas untuk mendeteksi dan mencegah tindak terorisme bertumpu pada komunitas intelijen Indonesia, terlebih unit intelijen yang berada di bawah Detasemen Khusus (Densus 88). Sebagaimana dinyatakan oleh Ansyad Mbaai, sebagian besar (75%) aktivitas Densus adalah aktivitas intelijen. Tujuan immediate dari aktivitas intelijen adalah mengumpulkan informasi untuk menggagalkan rencana serangan teroris. Namun, intelijen juga dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mencegah bergabungnya individu ke dalam kelompok teroris dan mengurangi kapabilitas kelompok teroris melalui apa yang disebut sebagai covert activities. Aktivitas intelijen adalah mata rantai pertama yang akan membawa pada aktivitas
ke Eropa, dalam http://madina.co.id/index.php/polhukam/9373-indonesia-paparkan-strategi-anti-terorisme-ke-eropa.html. Diunduh 10 Januari 2012. 5
Paul Wilkinson, Terrorism and Democracy (London and New York: Routledge, 2002).
penindakan, yakni disrupsi jejaring teror melalui penyergapan dan penangkapan untuk selanjutnya diproses secara hukum melalui sistem peradilan.
Kunci dari menanggulangi terorisme melalui mekanisme hukum pidana adalah perang intelijen di mana penegak hukum harus diberikan sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat membangun kualitas yang tinggi sehingga dapat membongkar rencana teroris sebelum tindak terorisme itu sendiri terjadi (pre-emptive). Saat ini, Densus 88 dapat menangkap teroris pada tahap perencanaan/persiapan (doktrin 90%), tapi Kadensus 88 menginginkan persentase yang lebih rendah lagi, yaitu untuk dapat menangkap teroris pada tahap ideas inception, seperti tercermin dalam pernyataannya untuk memperkuat UU Antiterorisme Indonesia sehingga dapat mengkriminalisasi tindak penyebaran kebencian, misalnya khotbah-khotbah yang mendorong seseorang menggunakan metode teroris. Perlu adanya pengaturan yang rinci dan transparan mengenai apa saja yang dapat dikriminalisasi jika aturan ini akan dibuat. Selanjutnya, hal ini harus disosialisasikan dengan baik kepada publik sehingga tidak dianggap sebagai general repression. Di Australia, telah disusun sebuah panduan publik yang menarik berkenaan dengan informasi tentang segala peraturan anti/kontraterorisme di negara tersebut dan prosedur-prosedur yang harus dijalankan oleh intelijen dan petugas polisi Australia dalam menangkap seseorang yang dicurigai sebagai teroris. Panduan publik ini berguna untuk memperkecil pelanggaran prosedur hukum dan
mempertinggi legitimasi penegak hukum dan pemerintah di mata publik. 6 Sayangnya, sebagian besar UU di Indonesia kekurangan implementing regulations dan peraturan-
peraturan penjelas. Dengan demikian, saatnya untuk menyusun UU Penanggulangan Terorisme Indonesia panduan publik mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme yang mudah diakses publik.
Secara umum, strategi penegakkan hukum ini dapat dikatakan masih menghadapi berbagai tantangan. Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme dipandang masih lemah. 7 Yang pertama adalah permasalahan aturan yang dianggap kurang ketat. Dari segi payung hukum, institusi keamanan nasional mengalami masalah karena keberadaan UU No.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi operasi pencegahan dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal. Keberadaan
6 Australian Muslim Civil Rights Advocacy Network. 2007. Undang-Undang Anti-Terorisme: ASIO,
Polisi dan Anda. Dikutip dalam 7 http://www.lawfoundation.net.au.
Tri Poetranto, loc. cit.
unit dan satuan pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa institusi juga menjadi kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan. 8 Hal
yang dapat dilakukan untuk mengasi kelemahan-kelemahan ini adalah mengamandemen UU No. 15 tahun 2003 untuk memungkinkan adanya kebijakan pre-emptive yang lebih efektif dalam rangka deteksi dini dan cegah-tangkal terorisme, yakni dengan memberi wewenang kepada intelijen untuk melakukan surveillance yang lebih efektif melalui izin peradilan berdasarkan bukti-bukti intelijen awal. Intelijen tidak dapat diberi wewenang untuk menangkap karena hal ini berpotensi mengarah pada abuse of power. Bukti intelijen saja pun tidak dapat dijadikan bukti yang cukup untuk membawa tersangka teroris ke pengadilan (harus disertai dengan alat bukti lain yang sifatnya non-intelijen), namun intelijen dapat diberdayakan (dalam artian diberi wewenang yang lebih besar) untuk mengumpulkan informasi secara lebih leluasa di bawah kontrol yudikatif. Sementara itu, untuk mengatasi masalah klasik mengenai koordinasi, baik dalam pendeteksian dan pencegahan maupun dalam penindakan, dapat dibentuk sebuah pasukan bersama yang sifatnya permanen (standing joint force) yang terdiri dari elemen-elemen kepolisian (Densus 88) dan detasemen- detasemen khusus militer untuk menanggulangi teror, dan perwakilan dari berbagai komunitas intelijen yang dikoordinasikan di bawah BNPT. Adanya pasukan khusus ini tentunya membawa konsekuensi pengalokasian sumber daya seperti teknologi dan anggaran.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah ketidakmampuan hukum untuk menjangkau tindakan yang tidak dikategorikan melanggar hukum, seperti menyebarkan paham tertentu atau kebencian (hatred speech). 9 Agar lebih efektif dalam menekan tindak terorisme, perlu
ada pengaturan mengenai komunikasi publik yang mendukung penggunaan kekerasan terhadap pihak-pihak tertentu, termasuk dalam bentuknya yang spesifik seperti terorisme. Aturan ini berpotensi menjadi aturan yang kontroversial karena dapat dipandang sebagai bentuk represi terhadap penyebaran ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu diatur secara tegas bahwa yang akan dikriminalkan adalah advokasi secara eksplisit terhadap penggunaan kekerasan, bukan gagasan-gagasan yang dianggap anti-pemerintah atau anti-ideologi tertentu.
8 Tri Poetrantro, Konsepsi Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI, Puslitbang Strahan Balitbang Dephan. Dikutip dalam http://www.
buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=6&vnomor=17. Diakses 10 Januari 2012. 9 Mencari Strategi Penanganan Terorisme, dalam Seminar Penanggulangan Terorisme guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional , yang diadakan Program Pendidikan Singkat Angkatan XVII Lembaga Ketahanan Nasional.
Bagian integral dari pencegahan serangan teroris adalah defensive security countermeasures atau perlindungan objek-objek vital, baik hard targets seperti kantor-kantor pemerintahan, kedutaan asing, dan pos polisi/militer maupun soft targets seperti bandara, pelabuhan, dan tempat-tempat publik lain. Berdasarkan kecenderungan yang terjadi akhir- akhir ini, perlu diperhatikan juga pengamanan atas tempat-tempat ibadah.
Penindakan
Dalam mengupayakan pencegahan dan penanggulangan terorisme, terdapat prinsip- prinsip strategis yang telah diadopsi di tingkat nasional, yaitu prinsip supremasi hukum, indiskriminasi, independensi, koordinasi, demokrasi, dan partisipasi. Melalui strategi supremasi hukum, upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum). Strategi indiskriminasi mensyaratkan upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme diberlakukan tanpa pandang bulu, serta tidak mengarah pada penciptaan citra negatif kepada kelompok masyarakat tertentu. Gagasan mengenai potensi terbentuknya komunitas tersangka atau suspect community yang menjadi sasaran penindakan terorisme hanya karena dia termasuk ke dalam golongan masyarakat tertentu menjadi perhatian dalam prinsip ini. Prinsip independensi dilaksanakan untuk tujuan menegakkan ketertiban umum dan melindungi masyarakat tanpa terpengaruh oleh tekanan negara asing atau kelompok tertentu. 10
Dalam penindakan yang dilakukan oleh kepolisian (Densus 88), selalu ada permasalahan legitimasi dan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran HAM meskipun kepolisian telah memiliki aturan internal yang mengatur tentang prosedur yang menginkorporasi prinsip-prinsip HAM. Legitimasi ini menjadi sangat penting karena merupakan sumber daya yang diperebutkan di antara pemerintah dan kelompok-kelompok teroris. Untuk mengurangi suara-suara miring terhadap Densus yang berkaitan dengan penindakan terhadap teroris (misalnya penyerbuan dan penangkapan), polisi harus selalu mematuhi segala persyaratan internal untuk menangkap atau menyerbu. Selain itu, perlu ada panduan publik yang disebarkan secara luas kepada masyarakat dalam bahasa yang sederhana mengenai prosedur penangkapan teroris dan hak-hak mereka yang akan ditangkap. Transparansi ini akan mempertinggi legitimasi kepolisian itu sendiri dalam menindak
10 Bappenas, loc. cit., h. 5.
tersangka teroris dan sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran HAM dalam proses penindakan terorisme.
Selain prinsip-prinsip yang telah diadopsi di atas, pemerintah perlu juga mengadopsi prinsip-prinsip demokratis dalam penegakkan hukum sebagai berikut: (1) Pemerintah tidak boleh bereaksi berlebihan dan terpancing oleh terorisme untuk menerapkan represi terhadap masyarakat secara umum (general repression). Teroris telah berusaha memancing reaksi berlebihan dari aparat penegak hukum, misalnya dengan menyerang polres di Hamparan Perak. Jika polisi terpancing dan melanggar prosedur dalam menangkap teroris, misalnya, atau dengan merepresi masyarakat secara umum, teroris dapat dikatakan telah menang. (2) Sebagaimana halnya pemerintah dan penegak hukum tidak boleh bereaksi berlebihan, reaksi yang berkekurangan (underreaction) juga berbahaya karena berpotensi membiarkan teroris mengambil kendali teritorial daerah tertentu dan membentuk state shell (lihat Napoleoni 2004: 85). Dalam hal menghindari underreaction ini, Indonesia dapat memanfaatkan mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OPMS) yang juga telah diterapkan, misalnya dengan meminta bantuan TNI untuk mengejar anggota kelompok teroris ke hutan- hutan. Hal ini masuk ke dalam mekanisme Bantuan Militer kepada Kekuasaan Sipil (Military Aid to Civil Power) yang diperbolehkan dalam demokrasi dalam situasi-situasi tertentu asal diiringi dengan pemberian mandat dan wewenang yang jelas dan terbatas. (3) Jika UU Darurat perlu ditegakkan (misalnya dalam bentuk Undang-Undang Keamanan Nasional atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri), UU tersebut harus bersifat sementara dan harus dikaji secara periodik oleh Parlemen dan harus mendapatkan persetujuan parlemen sebelum diperpanjang. Ini yang seringkali disebut sebagai sunset principle.
Penanganan Terdakwa Teroris Selama Masa Penahanan dan Pasca-Penahanan
Penangkapan dan pemrosesan secara hukum saja tidak akan cukup untuk menanggulangi bahaya terorisme karena terdapat permasalahan-permasalahan yang bersifat inheren dalam sistem hukum itu sendiri, di antaranya keterbatasan pembuktian pengadilan, pembinaan napi teroris, dan pengawasan setelah napi teroris itu mengakhiri masa penahanannya. Dua yang terakhir (pembinaan napi teroris di Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasan setelah ia kembali ke masyarakat) adalah titik lemah penanggulangan terorisme Penangkapan dan pemrosesan secara hukum saja tidak akan cukup untuk menanggulangi bahaya terorisme karena terdapat permasalahan-permasalahan yang bersifat inheren dalam sistem hukum itu sendiri, di antaranya keterbatasan pembuktian pengadilan, pembinaan napi teroris, dan pengawasan setelah napi teroris itu mengakhiri masa penahanannya. Dua yang terakhir (pembinaan napi teroris di Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasan setelah ia kembali ke masyarakat) adalah titik lemah penanggulangan terorisme
Strategi selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah pengawasan pasca- penahanan. Indonesia belum memiliki program yang sistematis untuk mengawasi terdakwa teroris pasca-dibebaskan karena kekurangan sumber daya, padahal hal ini seharusnya menjadi bagian integral dari penindakan melalui sistem hukum pidana. Ada baiknya jika Indonesia belajar dari Singapura yang memiliki program rehabilitasi yang terintegrasikan ke dalam penindakan teroris melalui strategi hukum pidananya. Secara konseptual, BNPT telah mengenal konsep rehabilitasi dan re-edukasi, namun hingga saat ini penyelenggaraannya tampak masih bersifat ad hoc, bukan sebuah program yang sistematis dan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dicarikan dana khusus untuk mengatasi masalah residivisme melalui program parole atau pengawasan pasca-penahanan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pencegahan dan Pendeteksian Terorisme
Pelibatan masyarakat adalah hal penting yang seringkali terlupakan dalam upaya pencegahan dan pendeteksian terorisme. China dipandang berhasil dalam menjalankan kontraterorismenya karena berhasil mempenetrasi institusi-institusi akar rumput hingga di tingkat komunitas, bahkan keluarga dan memanfaatkan mereka untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. 11 Salah satu strategi yang dapat dijalankan adalah membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal) yang berlapis dengan ujung tombak institusi-institusi pemerintahan di tingkat komunitas (RT/RW, dusun dan kampung). Strategi ini tentunya harus dijalankan melalui kebijakan sosialisasi yang kuat dan berlapis, tidak hanya di tingkat pemerintah provinsi yang dilakukan BNPT selama ini. Untuk mengoperasionalkan strategi
11 Martin Wayne, China s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security (USA dan Canada: Routledge, 2008).
dan kebijakan di ranah ini, selain payung hukum (baik peraturan pemerintah daerah maupun dari badan tertentu seperti BNPT), perlu adanya panduan operasional untuk menghindari aksi premanisme atas nama pencegahan terorisme. Untuk menjalankan strategi ini, tidak diperlukan lembaga baru, dapat memberdayakan institusi-institusi keamanan lokal yang sudah ada.
Strategi yang dapat dijalankan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah dengan menggalakkan Siskamswakara (Sistem Keamanan Swadaya Masyarakat) di seluruh wilayah Indonesia dengan kebijakan- kebijakan sebagai berikut: 12
1 Menertibkan administrasi penduduk, terutama dokumen identitas dan memperbaiki sistem yang mengeluarkannya
2 Menggalakkan ketentuan wajib lapor di tingkat komunitas
3 Membina sistem pengamanan swakarsa di tingkat komunitas yang memiliki pengetahuan dan atau keterampilan mengenai modus operandi teroris dan langkah- langkah awal penanganannya
4 Menyiagakan perangkat tanggap darurat di tingkat komunitas.
Penanggulangan Faktor-Faktor yang Memfasilitasi Terorisme
Ada banyak faktor yang memfasilitasi terorisme yang tidak terkait dengan penindakan langsung kepada jejaring teroris atau penangkapan tersangka teroris, tetapi terkait dengan pengaturan hal-hal lain yang lebih umum, yang dapat mempermudah teroris dalam merencanakan dan menjalankan rencananya. Beberapa faktor fasilitator terorisme yang regulasinya harus diperketat dan pengawasannya ditingkatkan adalah pengaturan dokumen identitas (misalnya paspor, KTP, kartu keluarga, dsb.), pengaturan senjata dan bahan-bahan peledak, serta bahan-bahan kimia yang dapat digunakan untuk membuat senjata peledak/bom yang dapat diakses luas oleh masyarakat, misalnya bahan-bahan untuk membuat pupuk yang tersedia luas bagi petani. Pengaturan dan pengawasan harus difokuskan juga pada pengaturan bahan peledak dan kimia serta senjata api di lingkungan TNI, Polri, dan instansi pemerintah
12 Tri Poetranto, loc. cit.
lainnya selain juga di masyarakat luas sebagaimana dinyatakan di dalam dokumen Bappenas. 13
2.1.2 Pendekatan Soft Power: Deradikalisasi, Kontraradikalisasi, dan Pendekatan Kesejahteraan
Telah tercapai konsensus di tingkat nasional bahwa penggunaan hard power atau langkah-langkah yang represif saja tidak cukup untuk menanggulangi terorisme di Indonesia yang dipercaya berakar pada permasalahan-permasalahan lain yang lebih luas seperti kondisi- kondisi deprivasi (kemiskinan, kurangnya pendidikan dan layanan dasar, dan sebagainya) dan ideologi yang radikal yang memanfaatkan kondisi-kondisi tersebut. Saat ini, dapat dikatakan bahwa institusi keamanan nasional masih sulit untuk menjangkau pembangunan ideologi sehingga pemberantasan akar-akar terorisme belum sepenuhnya berhasil. 14 Untuk itu, BNPT
menyelenggarakan penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak (soft power), yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua elemen, yakni deradikalisasi dan kontraradikalisasi (sering juga disebut sebagai kontra-ideologi).
Deradikalisasi
Secara konseptual, deradikalisasi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menjadikan mereka yang tadinya memiliki paham yang radikal (mendukung terorisme) sehingga tidak lagi memiliki paham yang radikal tersebut atau setidaknya tidak menindaklanjuti paham tersebut dalam tataran praktis (tindak teroris itu sendiri). Belum ada konsepsi ajeg mengenai bagaimana deradikalisasi itu dilakukan secara programatik dan terpadu oleh pemerintah,baik itu BNPT, Densus 88, maupun lembaga-lembaga lain. Deradikalisasi ini bahkan dikatakan masih berupa konsep dan penyelenggaraannya masih ad hoc, yang dijalankan melalui kebijakan mendekati para tersangka atau terdakwa teroris secara personal untuk menggali informasi mengenai jejaring teror (yang sifatnya transaksional) 15 , yang kemudian dalam beberapa kasus mengarah pada berhentinya beberapa tokoh teroris dari tindak terorisme.
14 Bappenas, op. cit., h. 9. 15 Ibid.
Presentasi Sarie Febriani dalam topik Deradikalisasi pada mata kuliah Terorisme di Indonesia, Desember 2011.
Secara struktural, proyek deradikalisasi ini dipromosikan oleh BNPT sebagai salah satu strategi lunak dalam menanggulangi terorisme. Secara operasional, kegiatan-kegiatannya dilakukan secara ad hoc dan berbasis kasus oleh Densus 88. 16 Dengan demikian, meskipun
dinyatakan sebagai salah satu strategi Indonesia dalam menanggulangi terorisme, deradikalisasi belum menjadi program pemerintah yang mandatnya diberikan pada lembaga tertentu dengan alokasi anggaran dan kurikulum tertentu. Deradikalisasi di Indonesia masih sangat abstrak jika dibandingkan misalnya dengan program deradikalisasi di Singapura yang memiliki badan tersendiri dengan program yang sangat mendetil. 17 Poin yang dapat
ditambahkan untuk memperkuat proyek deradikalisasi di Indonesia adalah pelibatan lebih banyak lagi elemen masyarakat sipil, terutama para pemimpin masyarakat, sampai ke pelosok-pelosok desa, lembaga-lembaga keagamaan di kampus-kampus (terutama kampus- kampus teknik dan eksakta), dan pengadaan program konseling keluarga serta pemberian parole officer kepada eks-napi teroris yang telah bebas.
Mengenai konsep deradikalisasi itu sendiri, meskipun di tataran konsep telah ada konsepsi mengenai deradikalisasi yang secara umum dilandaskan pada prinsip-prinsip
pendekatan jiwa (soul approach), humanis, dan menyentuh akar rumput, 18 wacana mengenai deradikalisasi masih mendapat tentangan di kalangan masyarakat, khususnya komunitas-
komunitas Islam yang menyetarakan deradikalisasi dengan deislamisasi, bahkan pemurtadan dari Islam. 19 Dengan demikian, ada baiknya strategi pemerintah lebih difokuskan pada
bagaimana menangkal radikalisasi di kalangan masyarakat yang belum mengalami radikalisasi namun berpotensi untuk mengalami hal tersebut. Dengan kata lain, fokus deradikalisasi dialihkan menjadi kontraradikalisasi atau sering disebut oleh BNPT sebagai kontra/deideologi.
Kontraradikalisasi dan Kontra- atau Deideologi
17 Ibid. Presentasi Heggy Kearens dalam topik Deradikalisasi dalam mata kuliah Terorisme di Indonesia,
Desember 2011. 18 Mardanih, Deradikalisasi Terorisme: Program Pemberantasan Terorisme, Kompas 20 Agustus 2009, dikutip
dalam http://edukasi.kompas.com/read/2009/08/20/11080199/Deradikalisasi.Terorisme..Program.Pemberantasan.Teror isme. Diakses 10 Januari 2012. 19
Lihat misalnya Ismail Yusanto: Deradikalisasi Mengarah pada Deislamisasi, dalam http://arrahmah.com/read/2011/12/23/16989-ismail-yusanto-deradikalisasi-mengarah-deislamisasi.html. Diakses 10 Januari 2011.
Kontradikalisasi atau kontraideologi diarahkan pada kalangan masyarakat yang belum teradikalisasi namun berpotensi mengalami hal tersebut. Kontraradikalisasi ini dapat dijalankan melalui pendidikan formal dan non-formal, sebagaimana diformulasikan oleh Balitbang Kemenhan, yang mencakup pendidikan formal sejak dini, dimulai dari pendidikan pra-sekolah hingga Perguruan Tinggi, dan pendidikan non-formal, melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi untuk menanamkan nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai non-kekerasan dalam menyelesaikan masalah serta dalam menyelesaikan perbedaan.
Kontraideologi atau deideologi merupakan elemen strategi penanggulangan terorisme di Indonesia saat ini dan perlu ditingkatkan karena relatif lebih mungin dilakukan daripada deradikalisasi. Selain itu, karena ideologi dipandang sebagai faktor penyebab utama terorisme di Indonesia, kontra/deideologi adalah hal yang mau tidak mau harus dijalankan sebagai strategi antiterorisme jangka panjang. Kontraideologi mensyaratkan adanya ideologi baru yang dapat digunakan untuk menggantikan ideologi lama, yaitu ideologi teroris yang berlandaskan pemikiran Islam ekstrim. Di dalam ideologi baru ini, yang perlu ditekankan adalah aspek non-kekerasan sebagai norma tertinggi. Kontraideologi ini, berbeda dengan deradikalisasi, ditujukan kepada masyarakat Indonesia secara luas, dengan penekanan pada kantong-kantong komunitas yang rentan dijadikan basis rekrutmen oleh kelompok teroris.
Peran Media Massa dalam Kontraradikalisasi/Kontra/Deideologi
Media massa dapat berperan sebagai instrumen diplomasi publik pemerintah. Terorisme di dalam media massa harus digambarkan sebagai kejahatan dan masyarakat sipil harus diarahkan untuk melihatnya sebagai sesuatu yang tidak legitimate. Perspektif penyintas (survivor) harus benar-benar diangkat dan disoroti. Harus ada lebih banyak porsi media untuk aktivitas-aktivitas penyintas. Media memegang peran krusial dalam penanggulangan terorisme karena merupakan salah satu front dalam perang ideologi melawan ideologi teroris (counterideology) atau-_dalam bahasa Densus 88_deideologi. Media massa juga tidak dapat disangkal lagi dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk mempropagandakan tujuan- tujuannya yang dapat mengarah pada pembangunan simpati masyarakat sipil terhadap cause
kelompok teroris. 20 Meskipun simpati terhadap cause kelompok teroris tidak berarti merestui Boaz Ganor, Dilemmas Concerning Media Coverage of Terrorist Attacks. Dalam Howard et al. 2005.
Terrorism and Counterterrorism: Understanding the New Security
penggunaan metode terorisme itu sendiri, sebisa mungkin media massa, setidaknya yang mainstream, tidak mem-frame pemberitaan tentang teroris sedemikian rupa hingga membuat masyarakat lebih mudah untuk menganggap mereka pahlawan, misalnya dengan menyoroti pengeluk-elukan Imam Samudera di komunitasnya setelah ia dieksekusi. Media massa memang memiliki idealisme dan prinsip mereka sendiri, salah satunya adalah pemberitaan yang berimbang. Tapi, media massa tidak dapat bersikap netral dalam kasus terorisme; mereka harus membantu pemerintah dan masyarakat untuk mendelegitimasi praktik-praktik terorisme dan kekerasan secara umum. Dalam hal ini, penegak hukum dan pemerintah mutlak membina hubungan baik dengan media massa agar perspektif-perspektifnya mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih besar daripada perspektif teroris. Tentu saja hal ini dilakukan sembari tetap menjaga independensi pers karena pers yang dianggap independen akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya dan di saat yang sama meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat.
Pendidikan Publik sebagai Jendela Kontraradikalisasi/Kontra/deideologi
Yang dimaksud dengan upaya mendidik publik di sini adalah berusaha mensosialisasikan elemen-elemen masyarakat yang krusial bagi penanggulangan terorisme ke dalam norma-norma yang bertentangan dengan tindakan teroris, yaitu norma non-kekerasan dalam penyelesaian masalah atau perbedaan di masyarakat. Jika norma non-kekerasan telah terinternalisasi oleh penduduk Indonesia, terorisme akan lebih sulit untuk mengadakan rekrutmen. Pendidikan publik ini telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Akan tetapi, pemerintah saja tidak mungkin dapat melaksanakan hal ini dengan efektif. Pemerintah Indonesia mutlak harus merangkup elemen-elemen masyarakat sipil seperti sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan lainnya, bahkan sosialisasi hingga ke level rumah tangga. Yang harus ditekankan dalam pendidikan publik ini, sekali lagi, adalah norma non-kekerasan dan pengaitan terorisme dengan komunitas agama Islam tertentu yang memiliki basis konstituensi yang kuat harus dihindari sebisa mungkin karena hal itu justru akan berakibat kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan terorisme.
Environment. New York: McGRaw Hill Companies Inc., h.342.
2.1.3 Pelibatan Penyintas Terorisme
Elemen yang masih jarang terdengar dalam penanggulangan terorisme di Indonesia adalah pelibatan penyintas (survivor) terorisme yang mengalami secara langsung dampak serangan teroris. Di Indonesia, telah ada lembaga yang mewadahi para penyintas terorisme, yakni ASKOBI (Asosiasi Korban Bom Indonesia), namun perannya masih ad hoc, suka rela, dan hanya kadang-kadang dilibatkan. Selain itu, kepedulian dan bantuan pemerintah terhadap korban terorisme juga masih dipertanyakan. Di dalam strategi dan kebijakan penanggulangan terorisme yang komprehensif, organisasi penyintas terorisme dapat diberdayakan dan diintegrasikan ke dalam program-program pemerintah yang telah ada, misalnya sosialisasi dan penyuluhan dalam rangka kontraradikalisasi, atau bahkan upaya deradikalisasi. Selain itu, perlu dianggarkan bantuan untuk mereka yang menjadi korban serangan teroris dan diintegrasikan ke dalam program yang telah ada, misalnya program penanggulangan bencana (karena terorisme dapat dipandang sebagai bencana sosial).
2.1.4 Pelibatan dan Optimalisasi Peran Masyarakat Sipil
Pemerintah memiliki sumber daya yang terbatas, baik dari segi anggaran maupun sumber daya manusia. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat dilibatkan untuk mengisi celah yang tidak dapat ditangani pemerintah atau bahkan untuk membantu tugas pemerintah itu sendiri dalam wilayah-wilayah kegiatan tertentu seperti sosialisasi, penyuluhan, diplomasi publik, dan sebagainya. Masyarakat sipil yang kuat dapat berperan secara strategis dalam melindungi masyarakat lokal, mencegah dan membendung ideologi radikal, dan membantu mengatasi kekerasan politik. Dalam hal ini, masyarakat sipil berperan dalam menyuarakan aspirasi berbagai kelompok sosial yang beragam dan menyediakan saluran berekspresi bagi kaum yang terpinggirkan, serta dapat mempromosikan budaya toleransi dan pluralisme. 21
Di level yang lebih praktis, kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat berkontribusi dengan cara membangun dukungan lokal untuk membantu penanggulangan terorisme, yaitu melalui pendidikan masyarakat, melobi pemerintah untuk mengadopsi respon terhadap terorisme yang bersifat holistik dan menghormati HAM, mengawasi implementasi langkah-
21 Eric Rosand, The Role of Civil Society in Counterterrorism: Presentation to the EU s CounterāTerrorism
diunduh dari http://www.globalct.org/images/content/pdf/Remarks/09Oct14_COTER_CIVILSOCIETY_AM.pdf.
Committee,
14 Oktober
Selain itu, masyarakat sipil juga dapat membantu negara dalam meningkatkan kesadaran akan ancaman dan dampak dari serangan teroris terhadap masyarakat lokal serta dalam membangun dan memperdalam dukungan publik terhadap langkah-langkah pemerintah untuk menanggulangi terorisme. Dukungan publik ini merupakan kunci bagi efektivitas strategi penanggulangan terorisme dalam jangka panjang. Asosiasi-asosiasi korban bom juga dapat memberi kontribusi penting dengan mengutuk aksi-aksi teroris dan memberi
wajah manusia dalam kampanye melawan terorisme serta dengan meningkatkan kesadaran akan human cost dari terorisme. 23
Dalam konteks Indonesia, masyarakat sipil yang dapat berkontribusi dalam upaya penanggulangan terorisme saat ini antara lain terdiri dari lembaga-lembaga yang mengawasi implementasi kebijakan kontraterorisme oleh Negara (misalnya berbagai LSM yang bergerak dalam isu HAM), lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu-isu yang relevan dengan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan munculnya terorisme, misalnya kondisi sosial- ekonomi masyarakat dan pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan institusi-institusi pendidikan (misalnya pesantren- pesantren) yang dapat membantu meredam ideologi ekstrim. Selain itu, komunitas-komunitas berbasis keluarga juga dapat membantu mengawasi lingkungannya dan mencegah anggotanya menembus batas radikal (radical treshold) dan kemudian batas kekerasan (violence treshold) sehingga dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dari serangan dan penyebaran terorisme. Yang tidak kalah penting adalah peran dari asosiasi-asosiasi korban atau penyintas serangan teroris (misalnya ASKOBI) yang dapat memberikan bantuan dan dukungan terhadap korban terorisme dan mengkampanyekan human cost dari terorisme seperti telah dijelaskan di atas. Asosiasi asosiasi ini dapat berperan signifikan dalam menyampaikan pesan bahwa terorisme bukanlah jalan yang produktif dan efektif untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan menunjukkan bahwa human cost dari strategi ini tidak dapat dibenarkan.
23 Ibid. Ibid.
Di luar keterlibatan strategis di atas, ada juga keterlibatan kelompok masyarakat sipil yang sifatnya lebih langsung, lebih praktis, dan lebih hands-on dan berkaitan dengan teroris itu sendiri, misalnya upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian yang didirikan oleh Noor Huda Ismail dan bertujuan untuk menjembatani reintegrasi mereka yang pernah terlibat dalam aksi terorisme ke dalam kehidupan masyarakat yang normal. Konsep yang mereka usung bukanlah deradikalisasi, melainkan disengagement from violence, namun upaya-upaya mereka sering dipandang sebagai bagian dari upaya deradikalisasi yang juga menjadi tekanan pemerintah Indonesia. 24
2.1.5 Kerja sama Internasional (Bilateral dan Multilateral)
Mengenai kondisi pencegahan dan penanggulangan terorisme saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Indonesia menyatakan bahwa sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dalam dan luar negeri, bahkan jejaring teroris internasional yang keberadaan dan aktivitasnya tidak dapat dideteksi secara dini sehingga sulit untuk dicegah dan ditangkal. 25 Karena sifatnya yang lintas-negara, kerja sama internasional dalam menanggulangi terorisme adalah sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan dan ditingkatkan. Saat ini, berbagai upaya kerja sama telah dilakukan antara lain dengan beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia, bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada,
Perancis, dan Jepang. 26 Kerja sama internasional dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan sumber
daya, khususnya kapasitas sumber daya manusia dan teknologi. Sebagai contoh, lembaga pelatihan antiteror Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) dan Platina dengan bantuan dan kerja sama pemerintah Australia, Amerika, Belanda, dan Jepang telah mendukung upayapeningkatan kapasitas kelembagaan Polri dalam menanggulangi terorisme. Upaya peningkatan kemampuan Polri tersebut berkontribusi dalam serangkaian keberhasilan penangkapan kelompok terorisme oleh Densus 88. 27
25 http://www.prasastiperdamaian.com/about/ Tri Poetrantro, Konsepsi Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia dalam Rangka
Menjaga Keutuhan NKRI, Puslitbang Strahan Balitbang Dephan. 26 27 Ibid. Bappenas, op. cit., h. 5.
Selain berkontribusi pada penyelesaian permasalahan anggaran dan teknologi, kerja sama internasional juga dilakukan untuk memperkuat penyelenggaraan penanggulangan terorisme itu sendiri, misalnya dalam bentuk berbagi informasi intelijen, berbagi praktik- praktik terbaik dalam penanggulangan terorisme, latihan bersama, hingga operasi bersama untuk menangkap teroris yang melintasi yurisdiksi negara lain. Indonesia telah menjalankan kerja sama internasional jenis ini baik di level regional maupun internasional. Di level regional, misalnya, Indonesia berperan besar dalam mendorong ASEAN Convention on Counter-Terrorism atau ACCT yang mengatur kewajiban negara-negara ASEAN untuk bekerja sama dalam penanggulangan terorisme, yang sifatnya mengikat secara hukum. Beberapa bidang yang diatur dalam ACCT ini antara lain kerja sama praktis yang melibatkan tukar-menukar informasi, pelatihan bersama, dan koordinasi badan hukum antarnegara. 28
2.1.6 Pendekatan Kesejahteraan dalam Penanggulangan Terorisme
Berdasarkan penelitian Burgoon 29 , kebijakan-kebijakan kesejahteraan (welfare policies) yang dijalankan di suatu negara berkorelasi negatif dengan jumlah total insiden
terorisme (domestik dan transnasional) di negara tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan kesejahteraan dapat mengurangi insiden terorisme dan ini yang harus diberikan pemerintah kepada rakyat Indonesia untuk mengurangi preferensi atau simpati masyarakat terhadap terorisme. Dari perspektif strukturalisme, yang terpenting bukanlah pertumbuhan ekonomi nasional secara agregat atau peningkatan pendapatan per kapita per se, tapi redistribusi kemakmuran atau_dalam bahasa Pancasila_keadilan sosial. Dengan kata lain, ketimpangan antara masyarakat terkaya dan termiskin (tercermin dalam koefisien gini) harus dipersempit. Saat ini perekonomian Indonesia dapat dikatakan telah sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem kapitalis global dan telah bergeser dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi neoliberal. Hal ini memunculkan kerentanan baru karena ketimpangan sosial melebar dan pemerintah dipaksa pasar untuk mengurangi welfare policies dan kebijakan-kebijakan pro-poor lainnya seperti pemberian subsidi. Penghapusan
28 Lihat Analysis_ASEAN Convention on Counter Terrorism, 2006, dikutip dari http://www.pvtr.org/pdf/Legislative%20Response/ASEAN%20Convention%20on%20Counter%20Terrorism-
Analysis%5B1%5D.pdf. Diakses 30 November 2010. 29 Brian Burgoon, On Welfare and Terror: Social Welfare Policies and Political-Economic Roots of Terrorism. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 50, No. 2 (Apr.,2006), h. 176. Sage Publications, Inc. Dalam http://www.jstor.org/stable/27638483. Diakses 30 November 2010.
subsidi yang indiscriminate, misalnya, dapat meningkatkan preferensi masyarakat akan tatanan sosial-ekonomi-politik yang lebih adil yang antara lain ditawarkan oleh kelompok- kelompok radikal dalam bentuk negara Islam. Dalam konteks mempertahankan legitimasi pemerintah yang berusaha direbut oleh teroris, bahaya jika negara mulai dipandang tidak adil dan terlalu berpihak pada_bahkan telah dijadikan alat oleh_kelas ekonomi teratas dunia (kelas kapitalis transnasional). Hal ini akan memberi celah legitimasi pada kelompok teroris untuk mengedepankan cause-nya dan merebut state power untuk mendirikan tatanan sosial- politik-ekonomi yang mereka klaim lebih adil. Dengan demikian, dalam jangka panjang, strategi dan kebijakan penanggulangan pencegahan dan terorisme Indonesia harus menyasar upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak dilihat dari pertumbuhan ekonomi secara agregat, tetapi lebih kepada pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat hingga ke tingkat lokal dan pemenuhan layanan publik dasar hingga menjangkau daerah-daerah terpencil dan desa-desa yang selama ini tidak diperhatikan dan sering dijadikan basis atau safe haven kelompok teror.
2.1.7 Transformasi Konflik Komunal
Transformasi konflik komunal (antaretnis-agama) dan gerakan separatis di Indonesia telah diketahui dimanfaatkan oleh kelompok teror untuk memfasilitasi rekrutmen dan pembentukan sel-sel teroris. Isu ini juga digunakan untuk menjustifikasi keberadaan dan perjuangan mereka. Meskipun telah berhasil diselesaikan (dalam bentuk conflict settlement), konflik-konflik horizontal (misalnya di Poso, dan Ambon) harus ditransformasi dalam proses yang terus-menerus, yakni dengan mengatasi akar permasalahannya (ketimpangan ekonomi, kecemburuan sosial, dsb.). Gerakan separatis juga berpotensi untuk bergabung dengan kelompok teroris dan hal ini lebih membahayakan, misalnya terlihat dalam kasus pendirian kamp latihan militer JI/JAT di Aceh. Separatisme harus ditransformasikan juga dengan menghilangkan ketimpangan pusat-daerah dan memperluas kewenangan daerah untuk mengatur masyarakatnya sendiri. Hal inilah yang disebut sebagai transformasi konflik sebagai tahap lanjutan dari resolusi konflik. Jika tidak ada lagi konflik yang bisa dieksploitasi teroris, kelompok teror akan kehilangan sebagian justifikasi keberadaannya atau setidaknya membatasi kemampuannya memobilisasi gerakan.
2.1.8 Penguatan Demokrasi dan HAM
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terorisme seringkali dipicu oleh ketidakpuasan kaum minoritas yang hak-hak sipil politiknya ditindas. Oleh karena itu, dari perspektif liberalisme, demokrasi yang melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat merupakan obat terorisme dalam jangka panjang. 30 Akan tetapi, demokrasi di Indonesia
harus benar-benar datang dari masyarakat Indonesia sendiri dengan karakter-karakter khas Indonesia sehingga tidak dipandang sebagai hegemoni politik-budaya Barat. Demokrasi liberal model Barat tidak dapat diterapkan bulat-bulat di Indonesia tanpa penyesuaian- penyesuaian, apalagi di daerah-daerah yang keislamannya kuat. Keinginan masyarakat di daerah-daerah tertentu untuk menerapkan elemen-elemen syariat Islam hingga derajat tertentu, misalnya, harus diakomodasi melalui mekanisme otonomi daerah karena saat ini kelompok radikal berpandangan bahwa pemerintah Indonesia menghalangi kebebasan mereka untuk mempraktikan ajaran Islam secara komprehensif. Hal ini telah dilakukan di beberapa daerah, misalnya Sumatera Barat dan Aceh. Dalam hal ini, pluralisme agama tidak bisa dipaksakan. Yang seharusnya dipromosikan adalah toleransi beragama sebagai the least common denominator, bukan pluralisme yang kontroversial dan tidak akan diterima oleh kelompok Islam radikal/fundamental.
Mengenai HAM, terorisme di Indonesia adalah isu yang sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan menyusun UU Antiterorisme yang kuat 31 karena publik
Indonesia saat ini sangat sensitif terhadap pelanggaran HAM dan UU Antiterorisme yang pada awal penyusunannya mengandung asas retroaktif dianggap bersifat otoriter. Asas retroaktif tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal penting yang harus diperhatikan pemerintah dan penegak hukum untuk memperkuat strategi kontra/antiterorisme di Indonesia adalah masalah hak asasi manusia yang sangat sensitif ini. Pemerintah Indonesia harus menunjukkan bahwa ia tetap menjunjung HAM dan melindungi HAM warganya di luar negeri yang dicurigai sebagai teroris jika tidak ada bukti yang kuat. Hanya dengan cara itulah pemerintah Indonesia tidak akan dipandang sebagai pelayan kepentingan Barat, sebuah persepsi yang justru akan memperparah terorisme di Indonesia yang terang-terangan
31 Paul Wilkinson, op.cit., h. 50-51. Ramraj et. al, Global Anti-Terrorism Law and Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
h. 29.
bertujuan mematahkan dominasi dan hegemoni Barat. Dalam konteks demokrasi dan HAM ini, mendirikan ketatapemerintahan yang baik atau good governance sangat penting untuk memberantas terorisme. Kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum harus dibersihkan dulu dari korupsi jika ingin memberantas terorisme secara aktif. Korupsi pun mempengaruhi tersedianya faktor-faktor yang memfasilitasi terorisme seperti pengawasan dokumen dan pergerakan senjata yang longgar. Korupsi dan kebrobrokan sistem juga membuat terorisme dapat mengklaim legitimasi yang lebih tinggi dari masyarakat.
3. Aktor dan Kelembagaan
Di dalam konsepsi strategi dan kebijakan penanggulangan terorisme yang komprehensif, yang perlu diperhatikan bukan hanya strategi dan kebijakan dalam bentuk prinsip-prinsip atau aturan-aturan, tetapi juga aktor dan lembaga yang menjalankan prinsip- prinsip dan aturan-aturan tersebut. Pengaturan harus disediakan hingga mencakup mandat, fungsi, dan mekanisme koordinasi di antara aktor dan lembaga-lembaga ini yang secara kolektif sering disebut sebagai aktor keamanan nasional. Secara sederhana, pengaturan kelembagaan ini dapat disarikan menjadi pertanyaan berikut: who does what when and how with what resources?
3.1 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
BNPT dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dan bertugas untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme, mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme, serta melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah. Bidang penanggulangan terorisme yang ditangani oleh BNPT meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan
kesiapsiagaan nasional. 32 Jika kita lihat cakupan mandat, tugas, dan fungsinya, hampir semua bidang yang tercakup dalam konsepsi strategi dan kebijakan di atas menjadi domain BNPT.